1 Analisis Model Komunikasi Antarbudaya: Studi Kasus Komunikasi Mahasiswa Papua dan Jawa di Universitas Brawijaya 1,2)
Ima Hidayati Utami1), Darsono Wisadirana2), Zulkarnain Nasution3) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UB; 3) Universitas Negeri Malang E-mail 1)
[email protected] ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komunikasi antarbudaya (KAB) mahasiswa Papua dan Jawa di Universitas Brawijaya (UB) dan menemukan model KAB yang berlangsung di antara mereka. Fokus penelitian adalah: pertama, KAB mahasiswa Papua dan Jawa yang dianalisis berdasarkan pengaruh latar belakang budaya, sosiobudaya, dan psikobudaya sesuai model KAB Gudykunst dan Kim (1992); Kedua, penemuan model KAB mahasiswa Papua dan Jawa di UB. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi kasus. Informan utama terdiri dari 6 mahasiswa Papua dan 8 mahasiswa Jawa angkatan 2010, 2011, 2012 dari berbagai fakultas di UB, yang dipilih melalui teknik purposive sampling. Sumber data dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam, pengamatan, dan dokumentasi. Temuan penelitian ini menunjukkan: Pertama, ditinjau dari aspek budaya, mahasiswa Papua mengalami hambatan komunikasi dengan mahasiswa Jawa karena perbedaan bahasa dan pengaruh latar belakang budaya kolektif mereka yang kuat. Ditinjau dari aspek sosiobudaya, persepsi tentang batas-batas pelanggaran norma dan aturan sosial yang bisa ditolerir oleh masyarakat di daerah asal membuat mahasiswa Papua tidak sensitive terhadap norma dan aturan sosial yang berlaku di lingkungan tempat tinggal yang baru. Ditinjau dari aspek psikobudaya, stereotip, etnosentrisme dan prasangka yang dimiliki oleh mahasiswa Papua menjadi penghalang untuk membaur dan berinteraksi dengan mahasiswa Jawa, namun aspek-aspek psikobudaya bagi beberapa mahasiswa Jawa justru menumbuhkan empati yang mendorong untuk membantu teman-teman mereka beradaptasi dengan lingkungan dan iklim kampus. Kedua, penelitian ini menghasilkan 2 buah model, yaitu: (1) model KAB mahasiswa Papua dan Jawa dengan melibatkan mahasiswa Jawa sebagai mediator untuk beradaptasi; (2) model KAB mahasiswa Papua dan Jawa tanpa mediator. Kata kunci: Komunikasi antarbudaya; aspek budaya, sosio budaya dan psikobudaya; model komunikasi antarbudaya. ABSTRACT This research aims to analyze intercultural communication between Papua and Java students in the University of Brawijaya (UB) and to find out model of their intercultural communication. The research focuses are: First, intercultural communication between Papua and Java students analyzed based on cultural, sociocultural, as well as psychocultural background stated on Gudykunst and Kim model of intercultural communication (1992); Second, illustrating their model/s of intercultural communication. This study employs a descriptive-qualitative approach using case study method. Key informants consists of 6 Papua students and 8 Java students from various Faculties in UB, Academic year 2010, 2011, and 2012, who are selected based on purposive sampling technique. The source of the data are collected from in-depth interviews, observations, and documentations. The findings of this research indicate that: Firstly, in terms of cultural background, Papua students face barriers to interact and communicate with Java student because of language difference and their strong collectivistic culture. In terms of sociocultural background, perceptions about the limits of social norms and rules violations that can be tolerated by the community in their former environment makes Papuan students insensitive to social norms and rules applied in their new neighborhood. In terms of psychocultural background, stereotype, ethnocentrism, and prejudice owned by Papua students become barriers to get along and interact with Java students, but for some Java students, those psychocultural aspects raise empathy that motivates them to help their counterparts adapt with campus environment and atmosphere; Secondly, research findings resulting two models of intercultural
communication: (1) model of intercultural communication involving Java student as a mediator of adaptation; (2) model of intercultural communication without mediators involvement. Keywords: intercultural communication; cultural,sociocultural and psychocultural background; model of intercultural communication.
PENDAHULUAN Budaya yang diperoleh dan dimiliki seseorang sejak bayi sangat mempengaruhi cara seseorang tersebut dalam berpikir, berperilaku, dan berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain (TubbsSylvia Moss, 1996:237). Oleh karena itu, ketika seseorang dipindahkan ke lingkungan beda budaya, dia tidak bisa serta merta meninggalkan pengaruh budaya yang melekat dalam dirinya di lingkungan yang baru. Begitu juga pemuda-pemudi etnis Papua yang dipindahkan ke kota Malang dalam rangka menempuh studi, cara mereka berpikir, berperilaku, berinteraksi atau berkomunikasi di lingkungan baru sangat dipengaruhi oleh budaya asal mereka. Pada tahun Pendidikan 2012/2013, Universitas Brawijaya (UB) tercatat memiliki 92 mahasiswa asal Papua yang tersebar di beberapa Fakultas. Mereka diterima sebagai mahasiswa UB melalui Program Kemitraan Daerah tahun 2010, 2011, dan 2012, serta Program Afirmasi Dikti tahun 2012 (BAAK UB, Mei 2013). Bergabungnya generasi muda asal Papua tersebut ke dalam civitas akademika UB merupakan fenomena menarik untuk dikaji mengingat perantauan mereka ke kota Malang membawa misi keberhasilan studi, yang menuntut mereka untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan baru sekaligus tugas dan kewajiban sebagai mahasiswa dalam waktu yang bersamaan. Data dari Bagian Kerjasama UB menunjukkan bahwa 79% mahasiswa Papua yang menempuh studi di UB bertempat tinggal bersama teman sesama etnis (BAAK UB, Mei 2013). Dampak dari tingginya kecenderungan tinggal berkumpul dengan sesama etnis ini adalah kurangnya interaksi dengan orang-orang dari luar kelompok (outgroup). Bagi mahasiswa pendatang, seperti Papua, kondisi semacam ini tentunya kurang menguntungkan karena hampir semua kegiatan kampus (akademik maupun nonakademik) menuntut semua mahasiswa
mampu berinteraksi dan bekerjasama di lingkungannya. Studi yang dilakukan Rundengan (2013) terhadap mahasiswa Papua di Unversitas Sam Ratulangi Manado juga menunjukkan bahwa mahasiswa Papua mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan dan lebih banyak berkumpul serta berinteraksi dengan teman sesama etnis, sehingga komunikasi dengan mahasiswa Manado belum berjalan efektif. Perbedaan simbol-simbol, verbal maupun non-verbal, disebut sebagai salah satu penyebab ketidak efektifan komunikasi di antara mereka. Selain itu, perbedaan fisik dan kemampuan akademik juga disebut sebagai penyebab mahasiswa Papua merasa minder berada di tengah-tengah mahasiswa Manado. KAJIAN PUSTAKA Komunikasi Antarbudaya (KAB) dibangun atas dua konsep utama, yaitu konsep komunikasi dan konsep kebudayaan. Mulyana dan Rakhmat (2005: 20) menyebut kedua konsep tersebut ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi juga turut menentukan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisikondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Charley H. Dood (dalam Liliweri, 2003:10-11) menyatakan KAB melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta. Dalam komunikasi antarpribadi, meskipun latar belakang budaya individu mempengaruhi pribadi individu tersebut, namun perilaku komunikasi masing-masing individu tidak akan sama persis dengan bentuk budaya yang ia anut. Semakin besar perbedaan latar belakang budaya pengirim
3
pesan (encoder) dengan penerima pesan (decoder) maka makin besar pula perubahan budaya yang terjadi karena besarnya perbedaan perbendaharaan perilaku komunikasi dan persepsi antara keduanya menyebabkan usaha penyandian balik pesan semakin besar dan perbedaan makna yang dihasilkan juga lebih besar. Sebaliknya, kemiripan latar belakang budaya menyebabkan perbendaharaan perilaku komunikasi dan makna keduanya semakin mirip sehingga usaha penyandian balik yang terjadi juga lebih kecil, karena itu makna yang dihasilkan mendekati makna yang dimaksudkan dalam penyandian pesan asli. Model KAB Model adalah representatif dari suatu fenomena, nyata maupun abstrak, dengan menonjolkan unsur-unsur terpenting dari fenomena tersebut, namun model bukanlah fenomena itu sendiri (Mulyana, 2001 : 121). Jika dikaitkan dengan fenomena komunikasi, Sereno dan Mortensen (dalam Mulyana, 2001:121) mendefinisikan model KAB sebagai deskripsi ideal mengenai apa yang dibutuhkan untuk terjadinya komunikasi. Gudykunst dan Kim (1992:33) mengilustrasikan sebuah model KAB (gambar 1) yang menunjukkan bahwa proses penyandian dan penyandian balik pesan dalam interaksi antar individu beda budaya dipengaruhi oleh filter-filter konseptual yang terdiri dari: (1) Faktor budaya, berhubungan dengan nilai, norma dan aturan yang mempengaruhi perilaku komunikasi manusia yang meliputi pandangan dunia (agama), bahasa, dan sikap terhadap orang lain yang dipengaruhi oleh budaya individu atau budaya kolektif; (2) Faktor sosiobudaya, menyangkut proses penataan sosial (social ordering process) yang berkembang berdasarkan interaksi dengan orang lain ketika pola-pola perilaku menjadi konsisten dengan berjalannya waktu, misalnya pola outgroup dan ingroup, konsep diri, ekspektasi peran, dan defenisi hubungan antar pribadi; (3) Faktor psikobudaya, mencakup proses penataan pribadi (personal ordering process) yang memberi stabilitas pada proses psikologis, misalnya: stereotip, etnosentrisme dan prasangka; (4) Faktor lingkungan meliputi: lingkungan fisik atau ruang dan
wilayah komunikasi, lingkungan situasi dan kondisi atau latar dan tujuan interaksi, lingkungan aturan dan norma atau kesepakatan sosial yang menjadi aturan main sosial, lingkungan psikologi meliputi persepsi tentang kebebasan pribadi, penggunaan waktu dan interaksi lingkungan yang potensial.
Gambar 1. Model KAB Gudykunst dan Kim Dalam komunikasi antar personal, untuk mengakomodir perbedaan latar belakang budaya individu-individu yang terlibat dalam KAB, Liliweri (2003:32) menggambarkan strategi komunikasi yang adaptif dan efektif dalam sebuah model KAB pada gambar 2 berikut:
Gambar 2, Model KAB Liliweri Perbedaan budaya menyebabkan individu A dan B memiliki perbedaan kepribadian dan persepsi terhadap relasi antar pribadi. Jika A dan B “menerima” perbedaan maka tingkat ketidakpastian dan kecemasan relasi antar pribadi akan menurun. Menurunnya tingkat ketidakpastian dan kecemasan akan memotivasi terciptanya strategi komunikasi akomodatif. Strategi tersebut juga dihasilkan
karena terbentuknya “kebudayaan” baru (C) yang menyenangkan kedua belah pihak dan menghasilkan komunikasi adaptif, yakni A dan B saling menyesuaikan diri sehingga menghasilkan komunikasi antar pribadi-antar budaya yang efektif (Liliweri, 2004:33). Prinsip-Prinsip KAB Untuk lebih memahami KAB, Joseph De Vito (1997:486) memaparkan prinsip-prinsip KAB yang sebagian besar diturunkan dari teori KAB, yakni: (1) Relativitas Bahasa, masing-masing budaya mempunyai bahasa yang menjadi penyebab kesulitan awal jika harus langsung berada di tengah-tengah lingkungan beda budaya; (2) Bahasa sebagai Cermin Budaya, makin besar perbedaan budaya, makin besar perbedaan komunikasi, dalam bahasa verbal maupun nonverbal ;(3) Mengurangi Ketidakpastian, makin besar perbedaan budaya maka makin besar ketidakpastian yang membuat seseorang makin sulit memprediksi dan menjelaskan perilaku orang lain. Terkait hal ini, Lilian Chaney (2004:11) menyatakan bahwa agar komunikasi berlangsung lebih bermakna atau efektif, individu-individu yang terlibat dalam komunikasi harus mampu dan mau berempati dan berniat mengurangi tingkat ketidakpastian dalam komunikasi. Bila, salah satu peserta komunikasi mampu dan mau melanjutkan komunikasi, maka ia harus berusaha masuk menuju titik pemahaman (convergence) sehingga tercapai komunikasi efektif. Bila tidak, maka ia akan menghentikan komunikasi (divergence) sehingga komunikasi menjadi tidak efektif; (4) Kesadaran Diri dan Perbedaan Antar budaya (mindfulness); (5) Interaksi awal sangat mempengaruhi seseorang untuk tetap berhubungan dengan orang lain yang berbeda budaya atau akan mengakhirinya. Kita harus mencoba untuk menghindari kecenderungan untuk menilai orang lain yang berbeda budaya secara tergesa-gesa dan perlu lebih fleksibel memperbaiki pendapat dan penilaian kita terhadap orang lain; (6) Memaksimalkan Hasil Interaksi. Orang akan berinteraksi dengan orang yang mereka perkirakan memberikan hasil positif, karena itu kita cenderung lebih memilih berbicara dan berhubungan dengan teman yang memiliki kesamaan atau kemiripan karakter
sehingga dapat mempersempit wawasan dan pandangan kita terhadap orang lain yang memiliki perbedaan budaya. Prinsip lain yang mendasari berlangsungnya KAB adalah prinsip Homofili-heterofili (Rogers,1962), yakni proses komunikasi interpersonal akan efektif jika sesuai dengan prinsip homifili (kesamaan), seperti: asal daerah, bahasa, kepercayaan, tingkat pendidikan, dsb. Jika seseorang diberi kebebasan untuk berinteraksi dengan sejumlah orang, ada kecenderungan dia memilih orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya karena proses komunikasi antara orang yang homifili akan lebih akrab dan lancar dengan sedikit gangguan. Sebaliknya, komunikasi yang heterofili atau antara individu yang tidak serupa dapat menyebabkan disonansi kognitif (cognitive dissonance) karena individu yang terekspos pesan yang tidak konsisten dengan apa yang diyakininya akan merasa ragu-ragu atau tidak percaya diri sehingga dapat menyebabkan gangguan psikologi dalam komunikasi. Dalam KAB, perbedaan atribut budaya yang dimiliki oleh masing-masing interaktan berpotensi mengurangi atau bahkan menghambat dihasilkannya komunikasi efektif. Namun, perbedaan yang tidak dapat dihindari tersebut dapat melahirkan jalinan komunikasi antar individu atau antar kelompok budaya berbeda yang menghasilkan informasi atau hal-hal baru yang tidak dijumpai dalam komunikasi dengan individu homofilus, yang menguntungkan kedua belah pihak. Penelitian ini bertujuan menganalisis dan menggambarkan kecenderungan model KAB antara mahasiswa Papua dan Jawa di UB. Model KAB yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan untuk mengembangkan kemampuan komunikasi dan adaptasi mahasiswa Papua yang menempuh studi di tanah rantau, khususnya di UB, serta bermanfaat untuk mendukung keberhasilan program pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di daerah-daerah yang dinilai masih tertinggal di bidang pendidikan. Penelitian Terdahulu Imanuel Virgini Olga (2006) melakukan studi terhadap Model KAB antara Expatriat
5
Cina dengan orang Indonesia yang bekerja pada sebuah perusahaan China di Surabaya. Dengan pendekatan kualitatif, data dikumpulkan melalui teknik wawancara dan observasi. Penelitian menghasilkan model KAB yang menunjukkan bahwa perilaku komunikasi expatriate China dipengaruhi latar belakang budaya, sosiobudaya, dan psikobudaya sebagaimana digambarkan dalam model KAB Gudykunst dan Kim (1992). Pengaruh budaya, sosiobudaya dan psikobudaya muncul pada bahasa, sikap, kegiatan makan bersama, pembagian job description, dan motivasi beradaptasi yang dipengaruhi nilai-nilai dan ajaran Konfusius. Rundengan, Nabella (2013) meneliti pola komunikasi antarpribadi mahasiswa Papua dengan mahasiswa Manado di FISIP Unsrat. Dengan pendekatan penelitian kualitatif, sumber data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap informan yang dipilih secara purposif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa Papua berkomunikasi dengan mahasiswa Manado sesuai pola komunikasi primer, yakni proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan masih menggunakan simbolsimbol sebagai media atau saluran. Namun pola komunikasi tersebut juga masih belum efektif karena hambatan berupa tidak adanya feedback dari komunikan (mahasiswa Manado) ke komunikator (mahasiswa Papua). METODE PENELITIAN Penelitian ini mengaplikasikan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Penetapan pendekatan kualitatif didasarkan pada tujuan penelitian, yakni menemukan fakta sehubungan fenomena KAB yang terjadi antara mahasiswa Papua dan Jawa yang sedang menempuh studi di UB Malang. Menurut Lindlof & Taylor (2011) pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti memberi penjelasan komprehensif tentang fenomena tertentu, tidak hanya sekadar memberikan generalisasi terhadap fenomena tersebut. Dengan pendekatan kualitatif peneliti juga dapat mempelajari interaksi simbolis antar manusia dalam beragam bentuk dan konteksnya. Penetapan metode studi kasus didasarkan pada pendapat Narendra (2008: 83) bahwa penelitian ini bersifat spesifik dan
mempunyai beberapa keunikan, yaitu: (1) dari segi konteks alamiah, komunikasi mahasiswa Papua dan Jawa berlangsung dalam kehidupan nyata secara natural, tanpa ada treatment khusus; (2) Dari segi lingkungan fisik, setting penelitian ini sangat spesifik, yakni lingkungan kampus yang multikultural dengan berbagai fasilitas pendukung terjadinya KAB; (3) Dari segi sosial, kehidupan sosial di lingkungan kampus selain dipengaruhi norma maupun nilai-nilai sosial yang berlaku pada masyarakat sekitar juga didasarkan pada tata tertib dan etika kehidupan kampus yang ditetapkan dalam buku panduan pendidikan. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui teknik wawancara mendalam, observasi terhadap informan kunci, serta studi dokumentasi terhadap referensi- referensi maupun dokumen terkait dengan penelitian. Informan penelitian dipilih melalui teknik purposive sampling dengan kriteria berikut: (1) Informan Papua merupakan putra daerah asli Prov.Papua/Papua Barat, belum pernah menetap di luar daerah asal, berstatus sebagai mahasiswa aktif UB, dan bersedia memberikan informasi terkait penelitian; (2) Informan Jawa adalah mahasiswa beretnis Jawa, berstatus mahasiswa aktif UB pada jurusan/program studi yang sama dengan informan Papua, berkomunikasi secara intens dengan informan Papua, dan bersedia memberikan informasi terkait penelitian. Berdasarkan kriteria informan kunci yang telah ditetapkan, diperoleh 6 informan Papua dan 8 informan Jawa. Informan Papua terdiri dari 4 mahasiswa semester 2, 1 mahasiswa semester 4, dan 1 mahasiswa semester 6. Sedangkan informan Jawa terdiri dari 5 mahasiswa semester 2, 1 mahasiswa semester 4, dan 2 mahasiswa semester 6. Penambahan 2 informan Jawa, yang semula 6 orang sebagaimana jumlah informan Papua, semata-mata bertujuan untuk melengkapi data yang tidak bisa didapatkan dari informan Jawa sebelumnya. Metode Analisis Data Analisis data penelitian mengacu pada pendapat Miles and Huberman (2009: 15-20) yang dilakukan melalui tiga alur
kegiatan yang terjadi secara bersamaan yakni: proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan. Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data dari catatan lapangan. Penyajian data merupakan sekumpulan informasi yang mengarah pada penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan setelah penelitian dilakukan. Sedangkan penarikan simpulan merupakan verifikasi setiap data yang diperoleh sehingga didapatkan makna yang tersembunyi dibalik makna benda-benda, pola-pola, konfigurasi-konfigurasi, alur sebab akibat dan proposisi. Uji keabsahan data dilakukan melalui metode triangulasi sumber data, yakni dengan cara mengecek informasi yang diberikan masing-masing informan kunci, kemudian meng-crossceck-nya dengan dokumen dan informasi yang diberikan oleh pegawai BAAK UB. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengaruh Budaya pada Perilaku mahasiswa Papua Ditinjau dari aspek agama, semua informan, baik mahasiswa Papua maupun Jawa, menyatakan agama tidak menjadi penghambat dalam berinteraksi maupun berkomunikasi. Pernyataan ini sesuai dengan latar belakang kedua kelompok etnis yang sudah terbiasa hidup di tengah-tengah keberagaman agama di lingkungan asal mereka masing-masing. Merujuk pada hasil sensus penduduk tahun 2010, masyarakat Provinsi Papua menganut berbagai agama,yakni: (51,2%) beragama Kristen, (25,42%) Katolik, Islam (20%) Islam, sedangkan sisanya beragama Hindhu dan Budha. Sementara masyarakat Provinsi Papua Barat 50,7% beragama Kristen; 41,3% Islam; 7,7% Katolik , sisanya beragama Hindu, Budha, dan Konghuchu. Sedangkan masyarakat kota Malang 89% memeluk agama Islam; 5,7% Kristen; 3,7% Katolik, sisanya beragama Hindu, Buddha dan Konghuchu 1. Kesamaan Field of experience dalam hidup berdampingan dan bertoleransi 1
Sumber: http://sp2010.bps.go.id/ diakses 30 Juni 2013 jam 12.45
dengan orang-orang beda agama membuat mereka tidak memandang agama sebagai kendala bersosialisasi di lingkungan kampus. Ditinjau dari aspek bahasa, perbedaan bahasa menjadi salah satu kendala bagi mahasiswa Papua yunior (semester 2) untuk bisa berkomunikasi secara layak dengan dengan mahasiswa Jawa. Kebiasaan mahasiswa Jawa, yang sering berbahasa daerah ataupun mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerah dalam komunikasi non-formal, menjadi kendala bagi mahasiswa Papua untuk langsung bisa melibatkan diri dalam komunikasi sehari-hari. Sebagai efeknya, ketika berada di tengah-tengah teman Jawa mereka lebih banyak diam. Beberapa mahasiswa Papua yunior menyatakan, ketika berkomunikasi dengan teman Jawa yang sudah biasa mengajak mereka berinteraksi, mereka tidak segan menanyakan arti kata-kata yang tidak dipahami. Tetapi ketika berada di tengah orang yang belum akrab, mereka dihinggapi rasa malu atau enggan menanyakan hal yang kurang mereka pahami secara terus terang sehingga komunikasi antar mahasiswa beda etnis tersebut sering diwarnai ketidakpastian tanpa klarifikasi. Dalam komunikasi formal, mahasiswa Papua juga sering tidak melakukan klarifikasi jika kurang memahami pesan yang disampaikan oleh komunikator. Berbeda dengan mahasiswa yunior, mahasiswa senior (semester 4 dan 6) kadangkadang juga menjumpai beberapa kata yang tidak mereka ketahui artinya, namun mereka cukup bisa memahami pesan keseluruhan yang disampaikan mahasiswa Jawa karena mereka telah banyak belajar Bahasa Jawa dari percakapan sehari-hari, dengan teman kuliah maupun masyarakat sekitar. Karena itu, mereka merasa tidak perlu terlalu sering melakukan interupsi untuk mengkonfirmasi kata-kata yang belum mereka pahami. Bagi informan Jawa, penyumbang kesalah pahaman dalam berkomunikasi dengan mahasiswa Papua adalah aksen dan dialek mereka yang unik serta nada bicara yang cepat. Untuk mengatasi kesalah pahaman, biasanya informan Jawa meminta klarifikasi, mengulang, atau memperlambat kecepatan bicara. Sebagai konsekuensinya, semakin banyak pesan yang kurang dipahami maka semakin banyak pula interupsi yang
7
mereka lakukan, sehingga komunikasi menjadi kurang layak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat De Vito (1997) berikut: “Perbedaan bahasa terlihat paling besar pada awal interaksi, dan perbedaan bahasa tersebut membuat KAB efektif menjadi tidak mungkin terjadi. Semakin besar perbedaan budaya semakin besar pula perbedaan persepsi yang dapat menimbulkan semakin banyak kesalah pahaman dan semakin banyak potong kompas”. Ditinjau dari pengaruh budaya individu dan budaya kolektif terhadap sikap manusia, sikap mahasiswa Papua di lingkungan kampus banyak dipengaruhi budaya kolektif. Analisis ini didasarkan pada temuan berikut: (1) Mayoritas mahasiswa Papua yang sedang menempuh studi di UB bertempat tinggal berkelompok dengan sesama etnis, yakni 79% menampati rumah kost, rumah sewa, atau asrama yang dihuni bersama dengan sesama teman Papua2; (2) Mahasiswa Papua kurang percaya diri ketika harus tampil individu atau terpisah dari kelompok. Mereka yang 1 kelas dengan sesama etnis kurang berupaya mencari teman dari luar kelompok etnis. Sedangkan yang tidak 1 kelas dengan sesama etnis tampil kurang percaya diri, menyendiri, dan pendiam di tengah mahasiswa etnis lain. Para informan Jawa menilai mahasiswa Papua bersikap tertutup dan kurang supel terhadap mahasiswa outgroup. Jika tidak ada yang mengajak berkomunikasi, mereka lebih banyak diam. Dalam komunikasi formal, perkuliahan atau forum diskusi, mereka juga jarang memberikan tanggapan atau mengajukan pertanyaan. Menanggapi hal tersebut, 5 dari 6 informan Papua mengakui bahwa mereka malu, ragu-ragu, dan takut melakukan kesalahan atau mendapat penolakan jika memulai komunikasi dengan orang yang tidak mereka kenal dekat. Selain itu, 3 informan Papua juga mengaku minder dan segan ketika berada di tengah-tengah mahasiswa Jawa; (3) Kurang termotivasi menyelesaikan tugas dan tanggung jawab
2
Sumber: BAAK UB, Mei 2013
pribadi, sebagaimana pernyataan beberapa informan Jawa berikut: “Pada semester 1 aku tidak mengenal Deby (informan Papua) dengan baik, dia selalu berdua saja dengan teman sedaerahnya. Karena temannya itu jarang masuk, Deby jarang ngampus juga, nggak ada barengannya gitu hlo. ……semester 2 ini ada 3 tugas kelompok. Dia kelompokan sama aku. Tapi menurut aku, dia itu kalau ada tugas gitu, effort-nya kurang. Jadi dia sering nggak ngerjakan tugas” (Mira, informan Jawa). “kalau PR Hermina (informan Papua) sering lupa bahkan tidak menyerahkan sama sekali. ……dia nggak punya buku pegangan, nggak pernah pinjam buku ke perpustakaan, juga nggak pernah nampak browsing untuk mencari materi kuliah atau tugas” (Adriana, mahasiswa Jawa). (4) Solidaritas kelompok sangat tinggi, yang membawa dampak positif dan negatif. Ketua perhimpunan mahasiswa Papua UB memaparkan manfaat solidaritas kelompok, diantaranya: mempererat persaudaraan dan saling bantu jika menghadapi kesulitan, mengupdate informasi tentang Papua maupun kampus, membantu mahasiswa baru mendapatkan tempat tinggal dan beradaptasi. Namun, temuan penelitian menunjukkan beberapa dampak negative dari solidaritas kelompok yang tinggi, antara lain: kurang bersosialisasi dengan outgroup yang membuat mereka terisolasi ketika berada di lingkungan kampus maupun di dalam ruang kelas, kurang termotivasi mengembangkan kompetensi diri, dan lebih mendahulukan kepentingan kelompok dibandingkan dengan tanggung jawab pribadi. Ramses (informan Papua) mengakui pernah terlambat dan atau tidak mengumpulkan tugas kuliah kesibukan kegiatan kelompok atau perhimpunan. Beberapa mahasiswa yunior yang tinggal di asrama UB juga sering absen kuliah dalam waktu yang bersamaan. Solidaritas yang tinggi juga ditunjukkan mahasiswa Papua terhadap orang-orang yang dipandang telah menanam jasa baik pada mereka. Tiga informan Jawa yang berteman dekat dengan mahasiswa Papua menilai
teman-teman Papua mereka sangat loyal dan solider terhadap teman dekat. Kedekatan para informan Jawa tersebut dengan mahasiswa Papua dimulai pada awal-awal kuliah, ketika mereka melihat teman Papua yang sekelas dengan mereka nampak kesulitan beradaptasi dengan lingkungan dan sistem perkuliahan. Pada waktu itu, mereka mengajak teman Papua tersebut berkomunikasi dan bersosialisasi dengan teman-teman Jawa, serta mengerjakan tugas-tugas kuliah bersamasama. Semenjak berteman dekat, teman Papua tersebut bersikap sangat loyal dan solider terhadap mereka. Misalnya: selalu berkumpul bersama mereka; menunggu dengan sabar jika mereka masih melakukan kegiatan lain, memberi kopi materi kuliah bila mereka absen, bahkan tidak jarang menraktir makan jika sedang punya uang. Temuan yang berhubungan dengan sikap dan perilaku kolektif mahasiswa Papua di lingkungan kampus tersebut sesuai dengan pendapat Hofstede, 1984 (dalam Liliweri, 2002:124-126) bahwa Collectivistic Culture memandang seseorang sebagai bagian dari anggota kelompok yang melihat dirinya untuk loyalitas sehingga mereka tidak akan bertindak atau berperilaku di luar kebiasaan kelompok, lebih mengutamakan harmoni dan kerjasama dibandingkan fungsi dan tanggung jawab individu, lebih tertarik pada tradisi (nilai yang biasa terjadi), conformity (rasa tenang dan aman), benevolence (berperilaku sesuai harapan lingkungan), serta cenderung menghindari hal-hal baru karena tidak mau meninggalkan zona aman. 2. Pengaruh Sosiobudaya dan lingkungan pada Perilaku mahasiswa Papua Sifat alami perilaku sosial manusia dipandu oleh aturan-aturan yang berbeda dari satu budaya ke budaya lainnya. Namun, meskipun mahasiswa Papua yang sedang menempuh studi di UB berasal dari berbagai daerah di Papua dengan suku, marga, dan budaya yang berbeda-beda, tapi sebagai bagian dari masyarakat Papua modern, perilaku sosial mereka tidak lagi 100% dipandu oleh aturan yang sesuai dengan budaya mereka masing-masing, karena pengaruh budaya luar dan arus modernisasi yang masuk ke lingkungan asalnya.
Ditinjau dari aspek sosiobudaya, norma dan nilai yang mendasari perilaku mahasiswa Papua tidak menjadi hambatan dalam beradaptasi karena mereka berpedoman pada nilai-nilai dasar yang bersifat universal seperti membantu yang lemah, tidak mencuri, tidak berzina. Selain itu, mereka yang mayoritas beragama Nasrani, juga berpedoman pada ajaran gereja, seperti cinta kasih, dan berbuat baik terhadap sesama. Kuatnya pengaruh agama juga teraktualisasikan dalam rirual rutin yang mereka lakukan. Misalnya: sebelum dan sesudah bangun tidur meluangkan waktu untuk beribadah, setiap akhir pekan beribadah bersama di asrama atau gereja terdekat, dan pada hari besar agama semua mahasiswa Papua kota Malang berkumpul untuk beribadah dan merayakan hari besar. Dari sisi norma dan etika, semua informan Jawa menilai bahwa mahasiswa Papua yang satu kelas dengan mereka selalu berperilaku sesuai dengan etika dan norma yang ada di kampus. Mereka juga berkomunikasi dengan ekspresi verbal maupun non-verbal secara layak dan etis terhadap mahasiswa, pegawai kependidikan maupun dosen. Namun di luar kampus, beberapa mahasiswa Papua sering melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma dan aturan sosial di lingkungan setempat. Salah seorang informan Jawa, yang beberapa kali bermalam di asrama UB untuk mengerjakan tugas kelompok dengan salah satu teman Papua, menyaksikan beberapa mahasiswa Papua yang tinggal di asrama pada malam hari sering berkumpul disertai minum minuman keras hingga mabuk dan membuat keributan atau bahkan perkelahian yang mengganggu penghuni lain yang sedang beristirahat. 4 informan Papua yang tinggal di asrama UB membenarkan perilaku buruk teman-teman mereka, yang mengganggu dan membuat takut penghuni lain. Bahkan, menurut mereka, saat penghuni asrama sedang tertidur lelap, kadang-kadang muncul serangan dari sekelompok orang, baik anakanak muda Papua dari luar asrama atau etnis lain, yang malam itu „minum‟ di luar bersama mahasiswa Papua penghuni asrama. Meskipun petugas keamanan asrama sudah beberapa kali memberikan teguran, namun kejadian seperti itu tetap berulang. Beberapa
9
mahasiswa Papua yang tinggal di rumah kost juga memiliki kebiasaan buruk serupa. Salah satu informan Papua senior, menceritakan pengalaman temannya sebagai berikut: “Kan di dekat kost-anku dulu ada temantemanku, juga dari Papua. Mereka tinggal dalam 1 kost itu. Mereka sering setiap malam miras (minuman keras), terus berbicara keras-keras dan musiknya di gedein. Itu sering mengganggu tetangga. Terus di usir” (Hasil wawancara dengan informan Papua, Ronald). Longgarnya sangsi sosial yang diberikan oleh masyarakat di daerah asal pada individu-individu yang melanggar norma dan aturan sosial menyebabkan anggota masyarakat tersebut memiliki persepsi bahwa pelanggaran norma dan aturan sosial tersebut merupakan hal biasa. Salah seorang informan Papua menyatakan bahwa di daerah asalnya, minum minuman keras hingga mabuk di tengah pemukiman warga atau di area publik merupakan hal biasa dan di tolerir oleh anggota masyarakat sekitar. “Kalau di Papua itu bebas sekali, misalnya, disana orang minum mabuk itu biasa-biasa saja, tapi kalau di sini kan tidak boleh. …..Orang mabuk di tempat umum, sudah biasa. Tidak ada yang menegur” (Hasil wawancara dengan Ramses). Sebaliknya, di lingkungan baru mahasiswa Papua harus berhadapan dengan kelompok masyarakat yang tidak bisa mentolerir kebiasaan mabuk minuman keras yang mengganggu dan meresahkan warga sekitar. Persepsi yang berbeda antara mahasiswa Papua dengan kelompok masyarakat di sekitar tempat tinggalnya yang baru tersebut membuat mereka menerima penilaian negative atau bahkan ditolak kehadirannya. Menanggapi hal tersebut, 2 mahasiswa Papua senior menyatakan bahwa perilaku buruk individu-individu yang menjadi bagian dari kelompok mereka tersebut mempermalukan diri sendiri dan masyarakat Papua secara umum karena individu-individu tersebut kurang bisa membawa diri di lingkungan beda budaya.
Dari sisi penampilan dan gaya berpakaian, mayoritas mahasiswa Papua tidak menampakkan identitas etnis mereka. Dalam kesehariannya, mereka berpakaian tidak berbeda dengan mahasiswa etnis lain. Namun, menurut beberapa informan Jawa, kadang-kadang identitas etnis teman Papua mereka tertandai dari asesoris yang mereka kenakan, seperti tas anyaman tali atau tas berhias monte dengan motif khas Papua, dan kalung berbandul motif khas Papua. Pengaruh lingkungan juga nampak dalam sikap mahasiswa Papua dalam memanfaatkan waktu. Mereka menilai waktu sebagai ruang dimana orang dapat mengalokasikan kegiatan sesuai kebutuhan yang ada3. Sebagai dampaknya, semua informan Papua tidak terbiasa merencanakan kegiatan secara terjadwal ataupun terstruktur. Tugas dan kegiatan dilaksanakan secara fleksibel sesuai kebutuhan yang ada,sehingga seringkali target kerja yang ingin mereka capai tidak selesai tepat waktu. Selain itu, mereka juga berorientasi pada pemanfaatan waktu yang memberikan hasil langsung pada dirinya, oleh karena itu mereka tidak terikat pada jadwal/janji yang tidak menguntungkan dirinya. Misalnya, ketika peneliti sudah mendapatkan jadwal kesepakatan dengan informan Papua untuk wawancara, hanya 1 dari 6 informan datang tepat waktu. Sementara, 3 orang datang terlambat antara 30 menit sampai dengan 2 jam; Bahkan, 2 informan tidak datang tanpa pemberitahuan sehingga peneliti berupaya me-reschedule pertemuan dengan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat informan Papua, Ronald, berikut; “Kalau saya, biasanya janji yang aku pandang penting ya aku tepati, misalnya janji yang sudah pasti dan yang menguntungkan buat saya”. Di sisi lain, semua informan Jawa datang tepat waktu atau beberapa menit sebelumnya. Beberapa suku di Papua memandang pendidikan belum begitu penting untuk menaikkan status sosial di masyarakat (social stratification)4. Pandangan ini nampak 3
Sumber: http://www.kemitraan.or.id, diakses 30 Juni 2013 jam 14.10 4 Sumber: http://www.kemitraan.or.id, diakses 30 Juni 2013 jam 12.45
mempengaruhi motivasi belajar beberapa mahasiswa Papua di UB. Banyaknya kasus membolos tanpa alasan jelas pada mahasiswa yunior (angkatan 2012/2013) merupakan salah satu indikator kurang kuatnya motivasi belajar. Data dari BAAK UB menunjukkan bahwa pada semester 1, 49% mahasiswa yunior dari Program ADIK 2012 terkena kategori (tidak bisa ikut ujian akhir semester) pada beberapa mata kuliah karena presensi mereka tidak memenuhi syarat (BAAK UB, Mei 2013). Deby, informan Papua, menyatakan bahwa iklim belajar di daerah asalnya lebih santai di bandingkan dengan di Malang. Daniel, informan Papua, pada awalawal kehadirannya di kampus, bahkan merasa ganjil menjumpai para mahasiswa mengerjakan tugas di area-area hotspot kampus sampai lewat tengah malam. Namun, menurutnya itu membuatnya termotivasi untuk belajar lebih keras. Oleh karena itu dia bersama salah seorang teman senior yang berasal dari kota yang sama merencanakan memantau dan mengarahkan yunior mereka yang akan datang untuk bekerja keras sesuai kondisi dan tuntutan studi dan tidak mengikuti kebiasaan buruk beberapa pendahulu yang sering bolos kuliah dan dan kurang bersemangat untuk beradaptasi. 3. Pengaruh Psikobudaya pada Perilaku mahasiswa Papua
a. Stereotip Stereotip adalah penilaian yang kita berikan kepada seseorang secara negatif hanya karena keanggotaan orang itu pada kelompok (Liliweri, 2003:92). Sebelum mengenal mahasiswa Jawa secara personal, mahasiswa Papua mengakui memiliki stereotip bahwa masyarakat Jawa tidak mengespresikan pendapatnya secara terus terang dan to the point. Pernyataan yang diungkapkan secara face to face seringkali tidak sama dengan yang mereka ungkapkan pada orang lain sesudahnya. Stereotip tersebut mereka dapat dari cerita teman dan perilaku orang Jawa yang merantau ke Papua. Namun, stereotip itu berubah setelah mereka mengenal teman-teman Jawa di kampus, karena setelah kenal secara personal mereka lebih menilai mahasiswa Jawa
berdasarkan karakter dan perilaku individu, bukan berdasarkan pada kelompok etnisnya. Di lain pihak, mahasiswa Jawa juga memiliki stereotip tentang masyarakat Papua, yakni masyarakat Papua memiliki sikap yang kaku (kurang ramah, kurang senyum, dan kurang bersosialisasi dengan etnis lain), emosional, berbicara dengan suara keras, dan suka mengkonsumsi minuman keras. Namun stereotip yang dimilikia mahasiswa Papua maupun Jawa tersebut hanya ada dalam pikiran dan tidak menghalangi komunikasi mereka dengan mahasiswa Papua. Sehingga, pada prakteknya semua informan menyatakan dapat bergaul dengan temanteman di kampus secara natural. b. Etnosentrisme Etnosentrisme adalah pola psikologistik di mana individu atau kelompok menganggap etnis mereka mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan dengan kelompok etnis atau budaya lain (Gudykunst dan Kim,1992 dalam Mulyana, 2000:169). Mayoritas informan Papua memiliki stereotip bahwa masyarakat Jawa suka menundanunda penyelesaian masalah atau menunggu sampai orang-orang yang terlibat dalam permasalahan melupakan masalahnya baru kemudian membahasnya untuk menemukan solusi. Hal ini nampaknya terkait dengan filosofi masyarakat Jawa yang mengenal prinsip „Ojo grusa-grusu‟ atau jangan terburu-buru, yang artinya sebelum melakukan sesuatu harus di pikirkan baikbaik segala akibatnya supaya tidak kecewa di kemudian hari. Sedangkan beberapa informan Jawa memiliki stereotip bahwa kelompok etnis Papua belum maju atau masih tertinggal. Namun, dengan pandangan tersebut, beberapa informan Jawa merasa terdorong untuk membantu teman Papua mereka beradaptasi di lingkungan kampus. c. Prasangka Prasangka merupakan sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang tidak luwes yang diekspresikan sebagai perasaan (Liliweri, 2002:92). Beberapa informan Papua memiliki prasangka bahwa masyarakat Jawa menilai masyarakat Papua kasar, emosional, dan suka mengkonsumsi minuman keras. Prasangka tersebut
11
menyebabkan beberapa informan Papua khawatir mendapat respon kurang baik jika mengajak berkomunikasi lebih dulu. Selain itu, beberapa informan Papua juga merasa ragu-ragu berkomunikasi dengan mahasiswa Jawa karena mereka berpikir adat Jawa lebih sopan dan lebih halus sehingga mereka merasa segan untuk mengawali komunikasi. Ini menunjukkan bahwa yang menjadi penghambat komunikasi antarbudaya tidak hanya stereotype yang bersumber dari prasangka yang negative, tetapi juga penilaian positif yang berlebihan karena penilaian semacam itu bisa menimbulkan perasaan segan atau bahkan minder. 4. Model KAB Mahasiswa Papua dan Jawa Hasil analisis data menunjukkan bahwa perbedaan latar belakang budaya, sosiobudaya, psikobudaya, dan lingkungan dapat menjadi faktor penghambat KAB mahasiswa Papua dan mahasiswa tuan rumah. Yang termasuk dalam hambatan budaya adalah perbedaan bahasa dan perilaku kolektif yang sangat kuat pada mahasiswa Papua. Hambatan sosiobudaya terjadi karena perbedaan persepsi tentang pelanggaran norma dan aturan yang bisa di tolerir dan tidak. Hambatan lingkungan muncul karena perbedaan orientasi tentang waktu dan makna pendidikan. Sedangkan hambatan psikobudaya tidak nampak mempengaruhi perilaku komunikasi mahasiswa Papua dan Jawa secara langsung karena meskipun masing-masing etnis memiliki stereotip, etnosentrisme dan prasangka tapi tersimpan dalam kepala dan belum diaktifkan dalam perbuatan nyata. Meskipun berbagai hambatan tersebut tidak bisa dihindari, namun sebagian informan Papua berhasil melampauinya karena mereka bertemu dengan teman sekelas dari etnis Jawa, yang memiliki empati, toleransi, dan mindfulness sehingga mereka lambat laun bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Teman sekelas inilah yang selanjutnya menjadi mediator yang menjembatani komunikasi mahasiswa Papua dengan mahasiswa Jawa yang lain. Empati adalah partisipasi emosional dan intelektual secara imajinatif pada pengalaman orang lain (Bennet, dalam
Mulyana dkk. 2010:87). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, empati pada awalnya tumbuh dari informan Jawa yang menaruh perhatian pada kesulitan yang dihadapi teman Papua yang sekelas dengannya dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga mereka tergerak untuk mengulurkan bantuan. Informan Jawa Adriana, misalnya, menunjukkan empatinya pada Hermina dengan mengajak berinteraksi dan bergabung dengan teman Jawa yang lain, mengerjakan tugas-tugas kelompok, meminjami catatan, memotivasi untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah, serta mengunjunginya di asrama untuk memberi dukungan moral. Informan Jawa Mira juga melakukan hal yang sama untuk membantu teman Papua, Deby, yang nampak selalu canggung dan menyendiri di tengah teman-teman di kelas. Sedangkan informan Jawa Muchsin mengenal Ronald, mahasiswa Papua yang satu jurusan dengannya, pada semester 3 dimana Ronald dalam kondisi putus asa karena merasa tidak mampu melanjutkan kuliah. Muchsin berupaya mendampingi, memotivasi dan bahu membahu mengatasi kesulitannya sehingga akhirnya Ronald berhasil melewati masa kritis dan tetap survive melanjutkan studi hingga semester 6 sekarang ini. Para informan Jawa tersebut melakukan semua itu karena dorongan emosional yang membuat mereka bisa merasakan kesulitan yang dihadapi oleh teman-teman Papua mereka. KAB mengandung sifat ambigu karena ketidakpastian antara kebudayaan sendiri dan kebudayaan orang lain, sehingga diperlukan toleransi dan sikap luwes dari para interaktan (Dodd, dalam Liliweri (2002:240. Pada mahasiswa Papua yunior, minimnya komunikasi dengan mahasiswa Jawa membuat ketidakpastian dalam KAB tidak terekspresikan dalam bahasa verbal. Namun, dari bahasa non-verbal, para informan Jawa dapat memahami bahwa teman Papua yang sekelas dengan mereka mengahadapi kesulitan untuk membaur dan membangun komunikasi secara wajar dengan mahasiswa tuan rumah. Oleh karena itu, mereka bersikap luwes menghadapi teman Papua yang kurang membuka diri terhadap teman-teman di luar kelompok etnisnya. Firman mengemukakan pengalamannya sbb:
“Menurut saya, Yosef (informan Papua) modelnya kita yang harus mendekati, agak pasif begitulah. Biasanya melalui pengelompokan acak atau kerja kelompok gitu kita ngajak ngobrol dia, jika tidak dia diam saja, jadi biasanya kita yang memulai pembicaraan” (Hasil wawancara dengan informan Firman). Sikap luwes juga ditunjukkan oleh Adriana (informan Jawa) dengan menawarkan catatan kuliahnya meskipun teman Papuanya tidak meminjam, sebagaimana dideskripsikan berikut: “ ….dia nampak selalu mencatat tapi tidak lengkap, sebagian saja dan juga kurang nyambung kalau saya baca. Makanya saya meminjamkan catatan saya” (Hasil wawancara dengan informan Adriana). Sedangkan toleransi merupakan kemampuan untuk menahankan hal-hal yang tidak disetujui atau disukai untuk membangun hubungan sosial yang lebih baik. Toleransi mensyaratkan adanya penerimaan dan penghargaan terhadap hal-hal yang berbeda dengan kita. Pada informan Jawa, toleransi nampak dari sikap mereka yang memaklumi kebiasaan mahasiswa Papua makan sirih, berkumpul dengan teman-teman sedaerah, dan berbicara dengan cepat dan suara keras. Selain itu, mahasiswa Jawa melakukan code switching atau merubah bahasa dari bahasa daerah ke Bahasa Indonesia ketika teman Papua hadir di antara mereka. Sedangkan informan Papua yang sudah bisa membaur dan beradaptasi dengan mahasiswa Jawa juga menunjukkan toleransi dengan menahan diri untuk tidak mudah marah menghadapi kebiasaan mahasiswa Jawa yang suka saling ledek dalam bercanda. Mereka juga berupaya mengurangi kecepatan dan nada suara, serta mempelajari Bahasa Jawa untuk mempermudah komunikasi. De Vito (1997:486) menyatakan bahwa untuk mempermudah kita dalam KAB diperlukan kesadaran diri (mindfulness) akan adanya perbedaan yang akan selalu ada di lingkungan kita. Sedangkan Langer (dalam Gudykunst dan Kim, 2003: 40). menyatakan jika ingin menjadi mindful
dalam berkomunikasi, seseorang harus dapat mengakui bahwa ada beragam perspektif untuk menciptakan atau menginterpretasi pesan. Seseorang yang mindful mempertimbangkan apa yang dipikirkan orang dalam berkomunikasi. Sikap mindful ditunjukkan oleh beberapa informan Jawa dengan memberi ruang dan waktu pada mahasiswa Papua untuk beradaptasi., dengan cara mengajaknya berinteraksi, bekerjasama dan bahkan menjembatani komunikasi dengan kelompok mahasiswa Jawa yang lain, serta mengajak bergabung dengan organisasi di kampus untuk memperluas jaringan pertemanan. Di sisi lain, para informan Papua yang sudah berhasil membaur dan beradaptasi dengan baik juga menunjukkan sikap mindful dengan berperilaku sesuai kebiasaan-kebiasaan mahasiswa Jawa, misalnya: berbicara dengan suara dan nada yang lebih pelan dan lebih jelas; mempelajari bahasa Jawa yang dipergunakan dalam kegiatan sehari-hari; dalam tugas kelompok berupaya menyelesaikan tanggung jawab sesuai pembagian kerja yang disepakati; disiplin terhadap waktu, dan bersikap lebih sabar serta menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak disukai lingkungan seperti berteriak-teriak, mabuk-mabukan; dan kebut-kebutan tanpa mengenakan helm pengaman. Model KAB yang melibatkan adanya mediator digambarkan dalam gambar 3, yang menunjukkan bahwa di lingkungan kampus UB, mahasiswa Papua dan Jawa memiliki perilaku komunikasi yang berbeda karena pengaruh latar belakang budaya, sosiobudaya dan psikobudaya yang dibawa masingmasing mahasiswa. Hal ini sesuai dengan model KAB Gudyunst dan Kim (1992) yang menggambarkan bahwa penyandian pesan dan penyandian balik pesan dalam KAB dipengaruhi oleh filter-filter konseptual yang terdiri dari faktor budaya, sosiobudaya, psikobudaya, dan lingkungan.Perbedaan latar belakang tersebut menyebabkan mahasiswa Papua kesulitan membaur dan menjalin komunikasi secara lebih intens dengan mahasiswa outgroup. Dampaknya, mereka menghadapi kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Oleh karena itu, kehadiran seorang mediator yang memiliki empati,
13
toleransi, dan mindfulness bisa menjembatani komunikasi di antara mereka. Dalam penelitian ini, mediator tersebut muncul dari teman sekelas yang secara natural menemani dan membawa mereka masuk ke lingkup
pergaulan teman-teman Jawa yang lebih luas sehingga perbedaan latar belakang tersebut lambat laun mencair dan membuat mahasiswa Papua lebih percaya diri, terbuka, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Gambar 3 Model KAB antara Mahasiswa Papua dan Jawa dengan Mediator
Sumber : Data Olahan Peneliti Setelah mahasiswa Papua berhasil masuk ke dalam kelompok mahasiswa Jawa, maka diantara mereka saling menyesuaikan diri sehingga membuahkan perilaku komunikasi adaptif yang merupakan pembauran atau penyesuaian dari perilaku asal mereka masing-masing. Hal ini sesuai dengan model komunikasi Liliweri (2003) yang menggambarkan bahwa strategi komunikasi akomodatif dihasilkan karena pembauran kebudayaan yang dihasilkan dari proses adaptasi sehingga para interaktan tidak lagi berperilaku sesuai budaya asal masingmasing, melainkan membentuk sebuah kebudayaan baru yang secara psikologis menyenangkan kedua belah pihak sehingga menghasilkan komunikasi adaptif yang pada akhirnya menghasilkan KAB efektif. Namun, pada kasus khusus, salah seorang informan Papua yunior, Daniel, menunjukkan proses adaptasi yang relative lebih cepat dibandingkan 5 informan Papua lain, sehingga dia tidak membutuhkan mediator sebagaimana rekan-rekannya. Model KAB tanpa mediator tersebut digambarkan dalam gambar 4, dimana Kompetensi akademik yang relative bagus membuat mahasiswa Papua mampu beradaptasi dengan sistim perkuliahan
dengan cepat karena kemampuan tersebut membuatnya mudah bekerja-sama dengan teman-teman sekelas, khususnya dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah, sehingga dia mendapat apresiasi dan penerimaan yang baik dari teman-teman di kelas. Penerimaan dan apresiasi tersebut membuat perilakunya berubah menjadi lebih terbuka, aktif dan percaya diri sehingga dia lebih mudah membaur dan memperoleh banyak teman. Setelah mahasiswa dari 2 kelompok etnis berbeda tersebut saling beradaptasi, maka perilaku mereka tidak lagi sama persis dengan budaya mereka masingmasing, melainkan perilaku adaptif sesuai hasil pembauran dari 2 budaya yang berbeda. Hal ini sesuai dengan model komunikasi Liliweri (gambar 2) yang menggambarkan bahwa strategi komunikasi akomodatif dicapai karena pembauran kebudayaan yang dihasilkan dari proses adaptasi sehingga masing-masing interaktan tidak lagi berperilaku sesuai budaya asalnya, melainkan membentuk sebuah kebudayaan baru yang secara psikologis menyenangkan kedua belah pihak sehingga menghasilkan komunikasi adaptif yang mempermudah tercapainya KAB efektif.
Gambar 4 Model KAB antara Mahasiswa Papua dan Jawa tanpa Mediator
Sumber
: Data Hasil Olahan Peneliti
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Mahasiswa Papua menghadapi kendala dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan mahasiswa tuan rumah karena perilaku komunikasi mereka dipengaruhi latar belakang budaya, sosiobudaya, psikobudaya, dan lingkungan sebagaimana model KAB Gudykunst dan Kim (gambar 1). Hambatan budaya muncul karena perbedaan bahasa dan budaya kolektif mereka yang kuat; Hambatan sosiobudaya muncul karena persepsi tentang pelanggaran norma dan aturan sosial yang biasa di tolerir oleh masyarakat di daerah asal ; Hambatan psikobudaya timbul karena stereotip, etnosentrisme dan prasangka tentang masyarakat Jawa yang menjadi kendala bagi informan Papua untuk berinteraksi dengan mahasiswa Jawa secara natural, terutama pada awal kehadiran mereka di lingkungan kampus. Namun sebaliknya, bagi beberapa informan Jawa, aspek psikobudaya tersebut justru menimbulkan empati untuk membantu mahasiswa Papua membaur dan beradaptasi dengan lingkungan maupun budaya kampus. Sedangkan perbedaan lingkungan muncul dalam bentuk orientasi tentang waktu dan makna pendidikan. 2. Penelitian ini menghasilkan 2 model KAB. Pertama: Model KAB Mahasiswa
Papua dan Jawa dengan melibatkan mediator. Model ini menggambarkan bahwa perbedaan perilaku komunikasi menyebabkan mahasiswa Papua kesulitan beradaptasi dengan mahasiswa Jawa sehingga KAB efektif sulit dicapai. Oleh karena itu, kehadiran seorang mediator dari mahasiswa Jawa diperlukan untuk menjembatani komunikasi dengan kelompok mahasiswa Jawa sekaligus menjadi pendamping di kelas. Mediator ini muncul dari teman sekelas yang memiliki empati, simpati dan mindfullnes terhadap mahasiswa Papua, yang membantu kedua kelompok etnis tersebut membaur dan berkomunikasi lebih intens. Setelah proses adaptasi berhasil maka terbentuk perilaku komunikasi adaptif yang merupakan pembauran atau penyesuaian dari perilaku asal mereka masing-masing sehingga KAB efektif bisa lebih mudah tercapai. Kedua: Model KAB Mahasiswa Papua dan Jawa tanpa mediator, yang menggambarkan bahwa mahasiswa Papua yang memiliki motivasi belajar yang tinggi dan kompetensi akademik yang relatif bagus bisa diterima dengan baik oleh teman-teman di kelas karena dia mampu beradaptasi dengan sistim perkuliahan dan mampu menjalin kerjasama dengan teman-teman di kelas, khususnya dalam mengerjakan tugas-tugas kelompok. Penerimaan yang baik tersebut menumbuhkan rasa percaya diri yang
15 membuat perilakunya berubah menjadi lebih terbuka, aktif, dan luwes. Perubahan perilaku komunikasi ini menimbulkan empati, toleransi, dan mindfull pada mahasiswa Jawa sehingga kedua belah pihak bisa membaur dan berkomunikasi secara lebih intens dengan mengembangkan perilaku komunikasi adaptif. Saran 1) Untuk mendukung keberhasilan adaptasi di lingkungan baru, mahasiswa Papua perlu lebih membuka diri untuk membangun relasi sosial dengan outgroup, mengadaptasikan diri dengan norma dan nilai sosial yang dikehendaki masyarakat setempat, serta memotivasi diri untuk belajar dan bekerja lebih keras karena hasil penelitian menunjukkan bahwa cara-cara tersebut dapat merubah stereotip, etnosentrisme dan prasangka yang dimiliki mahasiswa tuan rumah menjadi simpati, empati , dan mindfulness yang membantu proses adaptasi mereka di lingkungan baru. 2) Bagi penentu kebijakan terkait yakni: - Pemprov. Papua dan Papua Barat serta Dikti, agar lebih selektif dalam menyeleksi calon penerima beasiswa pendidikan dengan mempertimbangkan motivasi dan kompetensi akademik sebagai kriteria penetapan kelulusan, karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dan kompetensi akademik bagus bisa lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan dan sistim perkuliahan. - Pemprov. Papua dan Papua Barat, perlu memfasilitasi mahasiswa untuk mendapatkan tempat tinggal yang membaur dengan etnis lain, tidak terkonsentrasi dalam satu asrama. Memberikan program pendampingan pada mahasiswa Papua pada awalawal studi. Pendamping sebaiknya di rekrut dari teman sekelas beretnis Jawa yang bisa membantu mahasiswa beradaptasi dengan lingkungan sosial maupun sistim perkuliahan. Agar peran pendamping ini memberi hasil optimal, perlu diberi arahan atau
pelatihan singkat tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendamping. DAFTAR PUSTAKA Chaney, Lilian H dan Martin, Jeanette S. 2004. Intercultural Business Communication (3rd Ed). Upper Saddleriver, New Jersey: Pearson Education Inc. Devito, Joseph A. 1996. Human Communication, USA: Haper Collins Pub. Inc. Gudykunst. William B dan Kim. Young Yin. 1992. Communicating with Strangers: An Approach to Intercultural Communication. 3rd Edition, USA: McGraw Hill. Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam KAB, Yogyakarta: LKIS. Lindlof, T.R., & Taylor, B.C. 2011.Qualitative communication research methods (3rd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage. Miles, Mattew B dan Huberman, A.Michael. 2009. Analisis Data Kualitatif. Terjemah Oleh Tjetjep Rohendi Rohidi dkk. UI-Press. Jakarta. Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT Remaja. Rosdakarya. Mulyana, Dedy dan Rahmat, Jalauddin. 2005 Komunikasi Antar Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Narendra, P. 2008. Metodologi Riset Komunikasi. Yogyakarta: Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi Pusat Kajian Media dan Budaya Populer. Natalia, Imanuel Virgini Olga. 2006. Model KAB expatriat Guangdong Machinery Exp. Imp. Ltd. dengan orang Indonesia”, http://dewey.petra. ac.id/ jiunkpe_dg_4026.html. Rundengan, Nabella. 2013. Pola Komunikasi Antar Pribadi Mahasiswa Papua di Lingungan FISIP Unsrat. Rogers. 1962. Diffusion of innovations. New York: Free Press
Tubbs, Stewart L. & Moss, Sylvia Moss. 1996. Human Communication : Kontekskonteks Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya. http://sp2010.bps.go.id/ diakses 30 Juni 2013 jam 12.45 http://www.kemitraan.or.id, diakses 30 Juni 2013 jam 14.10