ANALISIS PROSEDUR PERMOHONAN KEPAILITAN DI PENGADILAN

ANALISIS PROSEDUR PERMOHONAN KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA . ... harus ada surat kuasa khusus dalam mengajukan permohonan PKPU, identitas lengkap dar...

21 downloads 465 Views 193KB Size
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005

ANALISIS PROSEDUR PERMOHONAN KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA JAKARTA PUSAT Hermansyah Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: The research finding shows that commercial court law of prosedure done in good manner and in time 0f 30 (thirty) days of the verdict of the application for the annamcement of bankruptcy was also done in good manner. However, in the practice there is still obstacles due to the unclear conception of Bankruptcy Law particularly on the term of debt. Kata Kunci: Hukum acara, Pengadilan niaga, Putusan hakim, Debitur

Hukum tidak dapat dipisahkan dari kultur, sejarah, dan waktu di mana kita sedang berada (law is not separate from the culture, history and time in which it exists). Setiap perkembangan sejarah dan sosial, harus diimbangi dengan perkembangan hukum, karena setiap perubahan sosial pada dasarnya akan mempengaruhi perkembangan hukum (Syahrin, 2002). Sejalan dengan hal di atas, dalam perkembangan masyarakat serta laju dinamis dunia bisnis ternyata membawa implikasi cukup mendasar untuk merubah terhadap pranata, dan norma hukum di bidang kegiatan ekonomi. Sehingga dibuatlah peraturan perundang-undangan baru mengenai bidang-bidang yang menunjang kegiatan ekonomi dan bisnis (Suparman, 2004). Melalui pendekatan kultur, pembinaan hukum dilihat bukan sekedar pergeseran waktu dari zaman kolonial ke zaman kemerdekaan lalu perlunya perubahan hukum, tetapi adalah juga pergeseran nilai yang ingin menjabarkan sistem nilai yang dianut ke dalam konstruksi hukum nasional (Lubis, 1989). Sehingga implikasinya bukan saja pada kegiatan bisnis tetap juga terhadap badan peradilan yang dianggap tidak profesional untuk menangani sengketa-sengketa bisnis. Akibatnya lembaga peradilan dianggap sebagai tempat menyelesaikan sengketa yang tidak efektif dan efisien. Kondisi ini dipahami oleh kalangan bisnis, terutama pengusaha asing yang berbisnis di Indonesia. Oleh karena itu kalangan dunia usaha mengupayakan untuk memilih cara penyelesaian sengketa yang singkat, cepat dan efisien sesuai dengan budaya bisnis. Tanpa kepastian hukum pembangunan ekonomi tidak akan tercapai dengan baik, hukum itu merupakan suatu kebutuhan, suatu prasyarat yang diperlukan untuk mendorong pembangunan ekonomi, oleh karena itu kita melakukan pembaharuan di bidang perundang-undangan, di bidang aparatur, dan di bidang kelembagaan misalnya dengan mengadakan Pengadilan Niaga (Radjagukguk, 1999). Dalam Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 (disingkat UUK No.4/1998), bagian dari hukum ekonomi di dalamnya mengatur tentang Peradilan Niaga (Commercial Court) dan dengan segala infrastrukturnya yang dilandasi oleh Undang-Undang Kehakiman dan Peradilan Umum (Prodjohamidjojo, 1999), dalam memutus dan memeriksa, Pengadilan Niaga hanya berwenang terhadap perkara di bidang niaga (Fuady, 1999). METODE Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, berusaha menggambarkan beberapa permasalahan hukum yang berkaitan dengan permohonan kepailitan, dengan pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan terhadap suatu putusan dengan cara melihat dari segi yuridis (peraturan-peraturan atau norma-norma yang berlaku), serta melihat kenyataan yang sebenarnya terjadi di lapangan (empiris). Dengan kata lain, di samping melihat hukum dalam tatanan normatif, juga melihat hukum dari segi tatanan empiris (kenyataan di lapangan) terhadap sengketa utang di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Untuk selanjutnya apakah telah diterapkan undang-undang kepailitan dalam keputusan kepailitan. HASIL Latar belakang dari Undang-Undang Kepailitan mempunyai ciri filosofis yaitu: (1) Kreditur akan mendapatkan kembali utang-utangnya. (2) Perlindungan hak kreditur lebih tinggi daripada debitur. (3) Beracara di Pengadilan Niaga tidak sepenuhnya membela kepentingan debitur. (4) Dalam perkara kepailitan di Pengadilan Niaga tidak ada harapan untuk debitur menguasai harta-hartanya. (5) Setelah terjadi kepailitan oleh Pengadilan Niaga aset debitur tidak mungkin akan berjalan lagi. (6) Dalam permohonan kepailitan tidak melihat/tidak memperhatikan dampak negatif kepada debitur terhadap masyarakat. (7) Kepailitan kurang memperhatikan terhadap stake holdernya (Hartono, 2000). Sedang tujuan dari Undang-Undang Kepailitan itu sendiri menurut Harold F. Lusk S.J.D. adalah the purpose of the bankruptcy act is: (1) To protect criditors from one an other. (2) To protect creditors their debitor. (3) To protect the honest debtor from his creditors (Lusk S.J.D., 1969:1076). 25

Hermansyah: Analisis Prosedur Permohonan Kepailitan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

Tujuan Undang-Undang Kepailitan adalah: (1) Untuk melindungi kreditur-kreditur satu sama lain. (2) Untuk melindungi kreditur-kreditur dari debitur mereka. (3) Untuk melindungi debitur yang jujur dan para krediturnya. Sudut pandang lain dari Undang-Undang Kepailitan ini adalah apabila permohonan kepailitan diterima dan diputus oleh Pengadilan imbasnya akan mengakibatkan penderitaan, karena yang terkena itu bukan debitur saja akan tetapi juga stake holder-nya dari debitur yakni: (1) Negara yang hidup dari pajak dibayar oleh perusahaan-perusahaan para debitur yang pailit. (2) Masyarakat yang memerlukan kesempatan kerja, dengan kata lain para pegawai dan buruh yang bekerja diperusahaan para debitur yang pailit. (3) Para pedagang, pada umumnya adalah pedagang kecil dan menengah, yang memasok barang dan jasa kepada Perusahaan. (4) Para pengusaha, pada umumnya adalah pengusaha kecil dan menengah, yang tergantung hidupnya dari pasokan barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan para debitur pailit. (5) Para nasabah penyimpan dana bank-bank yang dinyatakan pailit. (6) Para pengusaha, termasuk para pengusaha kecil dan menengah yang memperoleh kredit dari bank-bank yang dinyatakan pailit (Badrulzaman, 1998). Sedang Sutan Remy Syahdeini menyatakan: Undang-Undang Kepailitan harus tidak semata-mata bermuara kepada mempailitkan debitur yang tidak membayar utang. Undang-Undang Kepailitan harus memberikan alternatif muara yang lain sebelum putusan pernyataan pailit diusulkan oleh para kreditur atau dipertimbangkan oleh hakim yang memeriksa permohonan pernyataan pailit. Alternatif lain itu adalah program penyelamatan perusahaan. (Syahdeini, 1998). Kemudian masuk pada hukum acara Pengadilan Niaga, sebagai alat pemandu dan tata tertib bagi para pihak terkait dalam menangani dan memproses perkara kepailitan di Pengadilan Niaga yang dapat ditegaskan sebagai berikut untuk putusan pada tingkat pertama jangka waktu selama 30 hari dan tidak mengenal pemeriksaan tingkat banding di Pengadilan Tinggi seperti seyogianya hukum acara perdata pada Pengadilan Umum, apabila para pihak yang tidak berkenan dengan hasil keputusan dan menginginkan upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Niaga pada tingkat pertama, maka hukum hanya memberikan upaya kasasi dan peninjauan kembali pada Mahkamah Agung RI. Dalam pemerosesan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga, majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara kepailitan tersebut bersifat aktif tidak serupa dengan majelis hakim Pengadilan Umum yang menangani perkara perdata, artinya majelis hakim Pengadilan Niaga dalam menangani perkara kepailitan mulai dari penerimaan berkas sampai dengan menjatuhkan putusan bersifat aktif memproses permohonan pailit karena harus memperhatikan jangka tenggang waktu acara pemeriksaan persidangan yang telah ditentukan selama 30 hari, dengan memperhatikan asas keseimbangan dan dengan bukti yang bersifat sederhana agar tercapai pada asas kepastian hukum, manfaat dan kepatutan (Panggabean, 1999). Permohonan kepailitan yang diajukan oleh kreditur bersifat volunter harus memuat syarat formil dan materil, secara formil permohonan kepailitan tersebut diajukan kepada Pengadilan Niaga di tempat daerah kediaman/domisili pihak debitur berada, sedangkan secara materil harus memenuhi syarat-syarat: (1) debitur benar-benar sudah tidak mampu membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih; (2) penanggung tidak mampu membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih; (3) debitur tersebut mempunyai dua atau lebih kreditur (Prinsip Concursus Creditorium) (Waluyo, 1999) Pada dasarnya objek gugatan permohonan pailit adalah berupa utang yang di dalamnya harus memuat identitas para pihak, posita (uraian kejadian), diktum (permintaan dari permohonan) harus jelas dan pembuktian bersifat sederhana, karena sebelum permohonan masuk ke pengadilan kreditur telah menegur debitur untuk memenuhi kewajibannya membayar utang, dan dalam permohonan pailit kreditur harus dapat membuktikan bahwa debitur mempunyai utang lebih dari satu kreditur. Selain itu untuk mengajukan permohonan kepailitan ke Pengadilan Niaga kreditur harus diwakili oleh seorang kuasa hukum/advokat yang mempunyai izin praktek. Dan setelah permohonan pailit yang dimajukan diterima Panitera Pengadilan Niaga, maka dalam jangka waktu paling lambat 1 x 24 jam permohonan pailit harus disampaikan kepada Ketua Pengadilan dan paling lama 2 X 24 jam Ketua harus mendistribusikan permohonan tersebut kepada majelis hakim untuk dipelajari dan sekaligus majelis menetapkan hari persidangan (Pasal 4 ayat 4 UUK). Kemudian 20 hari kerja majelis hakim memeriksa dan mengadili perkara dimaksud kreditur/kuasanya, debitur/kuasanya harus hadir di persidangan. Dan proses persidangan dapat diperpanjang sampai dengan 25 hari apabila memang ada alasan yang kuat bagi majelis hakim (Pasal 4 ayat 5 UUK). Putusan permohonan pailit harus dijatuhkan paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan dan putusan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan majelis hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 6 ayat 5 UUK), selanjutnya berdasarkan peraturan bahwa putusan Pengadilan Niaga bersifat serta merta (Uitvoerbaar bij Voorraad), dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan upaya hukum kasasi. Bertitik tolak dari uraian di atas, dalam penelitian ini dikaji bagaimanakah prosedur permohonan kepailitan terhadap debitur di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, bagaimana pelaksanaan penegakkan dalam mengadili permohonan kepailitan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, apa hambatan-hambatan dalam prosedur permohonan kepailitan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Pengadilan Niaga diatur dalam BAB III dari UUK, yang memeriksa tentang utang debitur yang telah jatuh tempo, selain itu berwenang memeriksa 26

JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005

perkara di bidang perniagaan yang ditetapkan oleh Keputusan Presiden. Dasar pertimbangan dibentuknya Pengadilan Niaga adalah karena pengaruh dari gejolak moneter yang terjadi di Asia khususnya di Indonesia sejak bulan juli 1997 lalu, Undang-Undang Kepailitan ini diciptakan untuk mewujudkan kepentingan pihak yang berpiutang yang diselenggarakan secara adil, cepat, transparan dan efisien. Pengkhususan untuk Pengadilan Niaga terhadap perkara utang ini dapat dimungkinkan sesuai dengan sitem Peradilan Indonesia, dengan menyatakan bahwa pada lingkungan pengadilan umum boleh dibentuk pengadilan khusus (Pasal 280 ayat 1 UUK)). Karena itu dalam mensosialisasikan Undang-Undang Kepailitan ini dibentuklah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk kewenangan seluruh wilayah Indonesia, dan selanjutnya sekarang berdasarkan Keputusan Presiden telah dibentuk Pengadilan Niaga di daerah-daerah yakni, Medan, Semarang, Surabaya, dan Makasar. Dengan telah terbentuknya Pengadilan Niaga di daerah berarti telah mempunyai wewenang masing-masing untuk mengadilinya, apabila kewenangan dilanggar maka Pengadilan dapat menolaknya dengan syarat apabila: (1) kedudukan tempat tinggal debitur tidak jelas; (2) apabila debitur sudah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, maka permohonan ditujukan kepada Pengadilan Niaga tempat kedudukan hukum terakhir; (3) dalam hal debitur adalah persero/firma, permohonan kepailitan diajukan ke Pengadilan Niaga tempat kedudukan hukum perseroan/firma; (4) dalam hal debitur tidak berkedudukan diwilayah Republik Indonesia tetapi menjalankan usaha/propesi diwilayah Republik Indonesia yang berwenang adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum dari kantor debitur yang menjalankan usahanya; (5) dalam hal debitur Badan Hukum, maka kedudukan hukumnya sebagai diatur dalam anggaran dasarnya (Panggabean, 1998). Sedangkan pihak yang berhak memajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga adalah: (1) kreditur seorang atau lebih; (2) kejaksaan untuk kepentingan umum; (3) dalam hal menyangkut debitur yang merupakan bank, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Bank Indonesia; (4) dalam hal menyangkut debitur yang merupakan perusaan efek, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Yani & Widjaja, 1999). Dari hasil penelitian yang dilakukan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, dapat diketahui, syarat yang harus dipenuhi seorang kreditur manakala akan mengajukan permohonan kepailitan kepada debitur di Pengadilan Niaga adalah sebagai berikut: Data persyaratan untuk mengajukan permohonan kepailitan (check list) di Pengadilan Niaga Jakarta pusat: identitas lengkap pemohon, permohonan dilakukan/diajukan oleh seorang Penasehat Hukum/Advokat yang memliki izin praktek, dengan memakai surat kuasa khusus, mencantumkan utang yang benar dan akurat, jumlah piutang/apabila permohonan diajukan oleh debitur, identitas lengkap kreditur beserta jumlah piutang masing-masing dari mereka, identitas lengkap kreditur beserta jumlah piutang masing-masing dari mereka, Uraian singkat kapan utang jatuh tempo/waktu dan dapat ditagih dan sudah pernah ditagih oleh salah seorang kreditur, Apakah pemohon seorang isteri atau suami harus mendapat persetujuan tertulis di atas materai Rp.6000, dari suami atau isteri (apabila tidak ada janji kawin). Apabila kejaksaan mengajukan permohonan, maka harus diuraikan secara singkat adanya kepentingan umum sebagai alasan untuk mengajukan hal tersebut, apabila debitur yang dimohonkan pailit adalah mengenai perusahaan efek, maka hanya dapat diajukan oleh Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal), apabila debitur yang dimohonkan pailit adalah bank maka diajukan oleh Bank Indonesia, apabila yang dimohonkan pailit adalah firma, maka harus disebutkan identitas lengkap para peseronya. Sumber data diperoleh dari buku besar Panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Syarat pendaftaran untuk permohonan penundaan pembayaran kewajiban utang: hanya diajukan oleh debitur, identitas lengkap debitur dan jumlah utangnya dalam permohonan, permohonan harus ditantatangani oleh debitur dan kuasa hukumnya, harus ada surat kuasa khusus dalam mengajukan permohonan PKPU, identitas lengkap dari semua kreditur dan jumlah masing-masing piutang kreditur, neraca pembukuan dari pasiva dan aktiva dari debitur. Sumber data diperoleh dari buku besar Panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Data lain yang harus diserahkan kreditur di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat: surat permohonan pernyataan kepailitan (asli dan bermaterai), izin kartu praktek dari advokat dimaksud (dilegalisir sesuai aslinya), surat kuasa bertanggal, bulan, tahun, pembuatannya berlaku sekali saja untuk satu perkara (asli dan bermaterai berlaku saat itu saja), promissory note (bukti hutang) bernomor seri, tanggal, bulan dan tahun pembuatan debitur (dilegalisir sesuai dengan aslinya), terjemahan dari promissory note ke dalam bahasa Indonesia (terjemahan resmi/asli dan harus disegel pada kantor pos). Sumber data diperoleh dari buku besar panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Data permohonan kepailitan yang diajukan kreditur terhadap debitur ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dari September s.d. Desember 1998: permohonan kepailitan sebanyak 20 dengan persentase 84%, kreditur terhadap debitur tidak ada, penundaan kewajiban pembayaran utang sebanyak 5 dengan persentase 16%, total keseluruhan sebanyak 31 dengan persentase 100%. Sumber data diperoleh dari buku besar panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Data permohonan kepailitan diajukan oleh kreditur terhadap debitur di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tahun 1999 tahap I: permohonan kepailitan kreditur terhadap debitur sebanyak 81 dengan persentase 90,1%, permohonan kewajiban pembayaran utang sebanyak 9 dengan persentase 9,9% dan total keseluruhan sebanyak 90 dengan persentase 100%. Sumber data diperoleh dari buku besar panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Data permohonan kepailitan diajukan oleh kreditur terhadap debitur di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tahun 1999 tahap II: permohonan kepailitan kreditur terhadap debitur sebanyak 8 dengan persentase 88,8%, 27

Hermansyah: Analisis Prosedur Permohonan Kepailitan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

permohonan kewajiban pembayaran utang (PKPU) sebanyak 1 dengan persentase 11,2%, dan total keseluruhan sebanyak 9 dengan persentase 100%. Sumber data diperoleh dari buku besar panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Tabel 1 Data Permohonan Kepailitan Diajukan Kreditur terhadap Debitur di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Tahun 2000 Kategori Permohonan kepailitan kreditur terhadap debitur Penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) Jumlah

Jumlah

Persentase

62

93,7%

5

7%

67

100%

Sumber: buku besar panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

Tabel 2 Data Permohonan Kepailitan Diajukan Kreditur terhadap Debitur di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Tahun 2001 Kategori Permohonan kepailitan kreditur terhadap debitur Permohonan kewajiban pembayaran utang (PKPU) Jumlah

Jumlah

Persentase

61

88,4%

8

11,6%

69

100%

Sumber: buku besar panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

Tabel 3 Data Permohonan Kepailitan Diajukan Kreditur terhadap Debitur di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Tahun 2003 Kategori Jumlah Permohonan kepailitan kreditur 38 terhadap debitur Jumlah 38 Sumber: buku besar panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

Persentase 100% 100%

Tabel 4 Data Permohonan Kepailitan Diajukan Kreditur terhadap Debitur di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Tahun 2004 Kategori Permohonan kepailitan kreditur terhadap debitur Jumlah

Jumlah

Persentase

30

100%

30

100%

Sumber: buku besar panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Penerapan Hukum Acara Pengadilan Niaga Beracara di Pengadilan Niaga sangat berbeda dengan Peradilan Umum, karena di samping mempunyai ciri yang khusus tentang utang dan jangka waktu dalam pemrosesan, juga ternyata tidak mempunyai upaya hukum banding. Oleh karena itu dengan keluarnya Undang-Undang Kepailitan ini diharapkan kepada hakim, kurator, hakim pengawas dan advokat selaku pihak-pihak diharapkan untuk menjaga keprofesionalannya masing-masing agar penerapan hukum kepailitan berjalan seuai dengan prinsipnya yaitu: terbuka, efektif dan efisien, karena di samping hal tersebut di atas juga untuk menggerakkan roda perekonomian dan menegakan penegakan hukum dalam bidang perekonomian. Oleh karena itu diharapkan sekali kepada seluruh praktisi hukum yang bukan hanya pandai membaca, menafsir undangundang kepailitan, tetapi pandai juga melihat filosofisnya, atau latar belakang arah yang dituju dari Undang-Undang Kepailitan (Radjagukguk, 1999). Dari hasil penilitan yang dilaksanakan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap penerapan hukum yang telah dilakukan majelis hakim terhadap perkara utang melalui keputusannya dapat diketahui sebagai berikut di bawah ini: Data hasil keputusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam Perkara Kepailitan Tahun 1998 kategori; diterima/dikabulkan (jumlah 13, persentase 41,6%, ditolak (jumlah 3, persentase 7,2%), tidak dapat diterima 28

JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005

(jumlah 2, persentase 6,4%), dicabut (jumlah 2, persentase 6,4%), gugur (jumlah 5, persentase 16%), PKPU (jumlah 5, persentase 16%), dicoret (jumlah 1, persentase 3,2%). Sumber data diperoleh dari buku besar panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Data hasil keputusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap perkara kepailitan tahun 1999 tahap I kategori; diterima/dikabulkan (jumlah 28, persentase 30,8%, ditolak (jumlah 31, persentase 43,1%), tidak dapat diterima (jumlah 9, persentase 9,9%), dicabut (jumlah 15, persentase 16,5 %), Gugur (jumlah 4, persentase 4,4%), dicoret (jumlah 3, persentase 3,3%). Sumber data diperoleh dari buku besar panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Data hasil keputusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap perkara kepailitan tahun 1999 tahap II kategori; diterima/dikabulkan (jumlah 6, persentase 67%, ditolak (jumlah 2, persentase 22%), Tidak dapat diterima (jumlah 1, persentase 11%). Sumber data diperoleh dari buku besar panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Tabel 5 Data Hasil Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap Permohonan Kepailitan Tahun 2000 No. 1 2 3 4 5 6

Kategori Dikabulkan/Diterima Ditolak Tidak dapat diterima Dicabut Dicoret Gugur Jumlah

Jumlah 31 18 3 13 1 1 87

Persentase 46 27 4.5 19.5 1,5 1,5 100

Sumber: buku besar panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

Tabel 6 Posisi Register Ditutup pada Tanggal 28 Juni 2002 dengan Jumlah Perkara sebagai Berikut: Perkara sisa bulan Mei 2002 = 1 perkara Perkara masuk bulan Juni 2002 = 6 perkara Perkara putus dikabulkan bulan Juni 2002 = 1 perkara Perkara putus ditolak bulan Juni = ----------Perkara putus dicabut/gugur bulan Juni = -----------Perkara putus NO = -----------Perkara ditunda ada PKPU/proses bulan Mei 2002 Sisa perkara bulan Juni 2002 = 6 perkara

= 3 perkara

Sumber: buku besar panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

Tabel. 7 Data Hasil Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap Permohonan Kepailitan Tahun 2003 Perkara putus dikabulkan = 9 perkara Perkara putus ditolak =13 perkara Perkara putus dicabut/gugur/damai = 9 perkara Perkara putus NO = 3 perkara Sisa perkara tahun 2003 = 5 perkara Jumlah =39 perkara Sumber: buku besar panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

29

Hermansyah: Analisis Prosedur Permohonan Kepailitan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

Tabel 8 Jumlah Perkara Posisi Register Ditutup pada Bulan Mei Tahun 2004 Perkara masuk = 30 perkara Perkara putus dikabulkan = 1 perkara Perkara putus ditolak = -----------Perkara putus dicabut = 2 perkara Perkara putus NO = -----------Perkara sisa = 4 perkara Jumlah = 37 perkara Sumber: buku besar panitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

Hambatan-Hambatan dalam Putusan Permohonan Pailit Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998, penerapannya sedang diuji dalam masyarakat, dalam prakteknya apakah UUK ini telah sesui dengan keinginan masyarakat bisnis atau masih ada lagi kekurangankekurangannya, hal ini tentunya dapat dirasakan melalui putusan kasus-kasus yang telah disidangkan di pengadilan niaga. Dari hasil penelitian di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memang banyak menangani kasus kepailitan bila dibandingkan dengan pengadilan niaga di daerah seperti Medan, Surabaya, dan Makasar, ternyata banyak mengandung kekurangnnya terutama dalam pengertian utang. Pengertian utang yang dikehendaki dalam undang-undang kepailitan ternyata banyak menimbulkan penafsiran di kalangan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara kepailitan, karena ada yang menafsirkan pengertian utang dalam arti sempit dan ada pula yang menafsiran utang dalam arti luas. Akibatnya terjadi kontroversi di kalangan hakim maupun praktisi hukum, bahkan ada yang lebih spesifik berpendapat lain lagi untuk menafsirkan pengertian utang sebaiknya ditempatkan saja pada kewenangan mengadili (yurisdiksi kompentensi) dari suatu pengadilan umum bukan pada pengadilan niaga. Salah satu kasus dari sekian banyaknya kasus kepailitan yang telah terjadi gonjang-ganjing pengertian penafsiran mengenai utang adalah kasus Drs. Husein Sani cs melawan PT. Modern Land Realty Ltd. yang dapat disimak pengertian utang dari majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan majelis hakim kasasi berikut: Para pihak: Husein Sani, beralamat Buncit Indah Blok N.10 Pejaten Barat Ps. Minggu Jakarta Selatan. Johan Subekti, beralamat Jalan Kelapa Hibrida IV RB-9/02, Kelapa Gading Jakarta Utara sebagai Pemohon pailit/kreditur lawan PT. Modern Land Realty Ltd. beralamat jalan Hartono Baulevard Kav.10 Tangerang sebagai termohon pailit/debitur. No. Perkara: (1) Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.07/Pailit/1998/P. Niaga. (2) Mahkamah Agung No.03 K /N/1998. Fakta-fakta: bahwa pada tahun 1996, termohon sedang membangun sebuah komplek apartemen atau satuan rumah susun dengan nama atau sebutan Satuan Rumah Susun ”Golf Modern”, berikut segala fasilitas yang diperlukan untuk rumah tinggal, terletak di Kotamadya Tangerang Jawa Barat dan sebelum termohon membangun apartemen atau satuan rumah susun tersebut, pemohon telah memasarkan kepada masyarakat dan para pemohon berminat untuk membeli. Bukti untuk menguatkan dalil-dalil permohonan pailit pemohon adalah: (1) Surat pesanan dan kwitansi pembayaran. (2) Surat perjanjian pengikatan jual beli. (3) Surat tertanggal 29-5-1998 dan tanggal 24-7-1998. (4) Daftar para pemohon. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat: mengadili: (1) Mengabulkan permohonan para pemohon. (2) Menyatakan PT. Modern Land Realty Ltd. pailit. (3) Mengangkat dan menunjuk: Hirman Purwanasuwa, SH, hakim pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebagai hakim pengawas. (4) Mengangkat Balai Harta Peninggalan Jakarta sebagai Kurator. (5) Menetapkan biaya imbalan jasa kurator sebesar 0,5% (setengah persen) dari aset pailit. (6) Membebankan biaya perkara kepada para pemohon sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan Niaga: Menimbang, bahwa pada asasnya perjanjian bertimbal balik mengatur tentang prestasi dan hak untuk menuntut tengen prestasi. Menimbang, bahwa di dalam perkara ini para pihak pemohon yang telah melakukan prestasinya tidak menuntut tengen prestasi dari termohon sesuai dengan perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun golf modern tersebut, akan tetapi menuntut pengembalian uang pembayaran angsuran satuan rumah susun tersebut yang merupakan utang dari termohon kepada para pemohon. Menimbang, bahwa dengan adanya pembatalan secara sepihak oleh termohon atas perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun tersebut, maka ketika itu juga termohon wajib mengembalikan uang pembayaran yang telah diterima dari para termohon tersebut, dan dengan demikian sejak tanggal 24 Juli 1998 termohon wajib membayar kembali uang pembayaran yang telah merupakan hutang tersebut juga telah dapat ditagih. Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat 1 dari Undang-Undang Kepailitan No.4 Tahun 1998, telah ditentukan bahwa apabila debitur mempunyai 2 atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit, maka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas cukup alasan untuk menyatakan termohon pailit. Putusan Mahkamah Agung RI: Mengadili: (1) Menolak permohonan pernyataan pailit dari para pemohon: Drs. Husein Sani dan Johan Subekti. (2) Menghukum termohon kasasi/para pemohon pernyataan pailit untuk membayar semua biaya perkara, baik yang timbul dalam pengadilan niaga sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan dalam tingkat kasasi sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah). 30

JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005

Pertimbangan hukum majelis hakim kasasi: Menimbang kompetensi atau kewenangan absolut dari pengadilan niaga pada waktu ini sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 280 ayat 2 Undang-Undang No.4 Tahun 1998 adalah memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Sedangkan dalam perkara ini inkasa, sepanjang mengenai masalah pemeriksaan, pembuktian, dan pembatalan atau tindakan suatu perikatan jual beli antara pemohon kasasi dengan para termohon kasasi beserta segala sanksi hukumnya akibat perbuatan wanprestasi oleh salah satu pihak, pada hakekatnya termasuk dalam rung lingkup kewenangan pemeriksaan hakim perdata di pengadilan negeri, sehingga dalam kasus ini majelis hakim pengadilan niaga tidak dapat secara langsung otomatis dan sekaligus menyimpulkan atau menyatakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa termohon kepailitan harus menyatakan mempunyai utang kepada masing-masing para pemohon kepailitan. Bahwa hubungan hukum para pemohon kepailitan dari termohon kepailitan adalah pada hakekatnya bukan dalam hubungan hukum utang piutang melainkan dalam hubungan hukum perikatan jual beli, juga persyaratan bahwa utang telah jatuh waktu (tempo) dan dapat ditagih sebagaimana dicantumkan dalam pasal 1 ayat 1 UUK No.4 Tahun 1998 belum dipenuhi dalam kasus ini. Sebab syarat bahwa telah jatuh waktu (tempo) tersebut tidak dapat disimpulkan sekedar dari adanya surat pemohon kasasi tertanggal 24 Juli 1998, sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Factie, oleh karena surat demikian itu pada hakekatnya hanyalah merupakan penawaran sepihak mengenai alternatif penyelesaian dari pihak pemohon kasasi, hal mana belum disetujui oleh pihak lainnya sehingga disini belum nampak adanya suatu perikatan, dan yang masih harus dibuktikan. Bahwa penentuan tanggal 24 Juli 1998 tersebut adalah penentuan saat berlakunya sikap pemohon kasasi untuk tidak lagi melanjutkan pembangunan perumahan, hal mana tidak dengan sendirinya berarti bahwa utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, sebagaimana yang dimaksudkan oleh pasal 1 ayat 1 UUK No.4 Tahun 1998.

KESIMPULAN Prosedur permohonan kepailitan di pengadilan niaga mempunyai kekhususan tersendiri, baik fakta materil sebagai bukti maupun hukum caranya, di mana pada pengadilan niaga majelis hakim mempunyai jangka waktu 30 hari untuk memutus atau perkara kepailitan, dan tidak mengela upaya hukum banding, hal ini berbeda dengan permohonan gugatan di pengadilan umum yang jangka waktunya cukup lama 6 bulan bagi hakim untuk memutus satu perkara, serta mempunyai uapaya hukum banding. Dalam penegakan hukum majelis hakim pengadilan niaga dapat memberikan putusan akhir berupa mengabulkan/menerima permohonan pailit, menolak permohonan pailit, menyatakan tidak dapat diterima permohonan pailit, dan yang terakhir ini putusan dinyatakan tidak dapat diterima menjadi perdebatan di kalangan praktisi karena pengaturannya untuk ini tidak secara tegas disebutkan dalam UUK No.4 Tahun 1998. Apakah dengan putusan tidak dapat diterima ini dapat diperkenankan kembali kepada pemohon pailit untuk mengakan permohonan kepailitan kedua kalinya kepada debitur hal ini juga perlu mendapat perhatian. Hambatan-hambatan pada putusan kepailitan adalah mengenai penafsiran istilah utang yang ada dalam UUK No.4 Tahun 1998, apakah utang dalam arti sempit atau utang dalam arti luas. SARAN Perlu untuk ditinjau kembali prosedur permohonan pailit, terutama dalam jangka waktu 30 hari diberikan kepada majelis hakim untuk memutus perkara kepailitan, perlu penegasan dalam pengaturan UUK No.4 mengenai putusan hakim tidak dapat diterima, apakah kreditur dapat mengajukan kembali kepada debitur. Terhadap UUK yang baru diharapkan agar pengertian utang dicantumkan secara tegas dan rinci sehingga tidak menimbulkan penafsiranpenafsiran yang keliru. DAFTAR PUSTAKA Badrulzaman, Mariam Darus. 1999. Ruang Lingkup UU Kepailitan, Makalah pada seminar hukum kepailitan, diselenggarakan oleh AEKI dengan STIH Graha kirana, tanggal 19 Oktober 1998, di Medan. Fuady, Munir. 1999. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek. Citra Aditya Bakti. Jakarta Hartono, Sunaryati C.F.G. 2000. Restrukturisasi Utang Perusahaan Swasta, Ceramah Bidang Kepailitan yang diadakan oleh Program Pascasarjana USU, dilaksanakan pada tanggal 24 Maret 2000, di Medan. Lubis, M. Solly. Serba Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung. Lusk, S.J.D. Harold F. 1969. Business Law, Principle and Cases, Uniform Commercial Code, Edition, Richard D. Irwin, inc, Homewood, Illinois. Panggabean, H.P. 1999. Penerapan Asas-asas Peradilan dalam Kasus Kepailitan. Jurnal. Hukum Bisnis. Vol.7. Jakarta. Prodjohamidjojo, Martiman. 1999. Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan. Mandar Maju. Bandung. Radjagukguk, Erman. 1998. Pembaharuan Hukum Bukan Sekedar Reformasi. Majalah Bisnis Vol.6. Jakarta. Suparman, Erman. 2004, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, Tatanusa, Jakarta.

31

Hermansyah: Analisis Prosedur Permohonan Kepailitan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

Syahdeini, Sutan Remi. 1998. Penerapan Asas Keseimbangan sebagai Upaya Penyelesaian Utang dalam Krisis Moneter. Makalah, disajikan pada forum informasi dan dialog hukum bisnis, pada tanggal 30 september 1998, di Gedung AEKI. Jakarta. Syahrin, Alvi. 2002. Beberapa Masalah tentang Hukum, Pustaka Bangsa Press, Jakarta. Waluyo, Bernadette. 1999. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Mandar Maju, Bandung.

32