Saparso et al.: Anasir Lingkungan Penentu Produksi Kubis di Lahan Pasir Pantai J. Hort. 19(3):301-312, 2009
Anasir Lingkungan Penentu Produksi Kubis di Lahan Pasir Pantai Saparso1), Tohari2), D. Shiddieq2), dan B. Setiadi3)
Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Kampus Karangwangkal, Jl. Dr. Suparno, Purwokerto 2) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta Naskah diterima tanggal 12 Maret 2008 dan disetujui untuk diterbitkan tanggal 26 November 2008 1)
ABSTRAK. Penelitian bertujuan mengkaji anasir lingkungan yang menentukan produksi kubis di lahan pasir pantai. Percobaan lapangan dilaksanakan di Samas, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada musim hujan dan kemarau dari Januari-Agustus 2005. Musim hujan memiliki intensitas cahaya, suhu udara, dan suhu tanah lebih tinggi daripada musim kemarau. Air pengatusan musim hujan lebih rendah daripada musim kemarau. Kadar prolin daun tidak berbeda nyata antarmusim, yaitu 6,58 µmol/g. Laju pertumbuhan tanaman minggu ke-8-10 ditentukan oleh intensitas cahaya (ISMH) dan air pengatusan sesuai persamaan Ylpt 8-10 = 211,73-0,151 X ismh -0,244 Xatus (R2=0,923**). Bobot segar hasil kubis ditentukan oleh suhu tanah dan air pengatusan mengikuti model Ybsh= 151,66 -2,96X stnh -0,0171 X atus (R2=0,612*). Tanaman kubis dapat tumbuh baik di lahan pasir pantai pada musim hujan maupun musim kemarau dengan hasil berkisar 37-40 t/ha. Katakunci: Brassica oleracea; Anasir lingkungan; Produksi kubis; Lahan pasir pantai; Musim ABSTRACT. Saparso, Tohari, D. Shiddieq, and B. Setiadi. 2009. Environment Elements Determinant for Cabbage Yield in Coastal Sandy Land. The objective of this study was to examine environmental determinant for cabbage yield in coastal sandy land. Field experiment was carried out in Samas, Bantul, Yogyakarta Special Province in the rainy and dry season from January up to August 2005. The rainy season had higher radiation intensity, air temperature, and soil temperature than the dry season. Drainage water, therefore, was smaller than those drainage water at the dry season. Proline leaf content was not significantly different between season, of 6,58 µmol/g. Plant growth rate was determined by radiation intensity and drainage according to equation Ylpt 8-10 = 211,73-0,151 X -0,244 Xatus (R2=0,923**). The cabbage productiviy was determined by soil temperature and drainage as Ybsh = ismh 151,66 -2,96X stnh -0,0171 X atus (R2=0,612*). The cabbage crop grown well either in the rainy or dry season and it produced 37,0-40,0 t/ha. Keywords: Brassica oleracea; Environmental determinant; Cabbage yield; Coastal sandy land; Season.
Konsumsi sayuran di Indonesia akan meningkat rerata 4,1% per tahun selama kurun waktu 1995-2010 dan perluasan areal merupakan faktor dominan pertumbuhan produksi tanaman sayuran (Adiyoga 1999). Indonesia memiliki potensi luas lahan pasir pantai 1.060.000 ha yang dapat mengganti penyusutan lahan selama 41,2 tahun. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu model spesifik pengembangan budidaya hortikultura lahan pasir pantai (Kertonegoro 2003). Pemanfaatan lahan secara optimal berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas lahan wilayah pesisir (Sukrisno 1999 dalam Sukrisno et al. 2000) namun masih terjadi fluktuasi luas pertanaman dan hasil, sehingga upaya perluasan areal juga harus disertai teknologi spesifik lokasi (Rahmanto 2004, Lembaga Penelitian UGM 2006, Suryana 2007).
Produksi kubis menyumbang 16% produksi sayuran nasional yaitu sebesar 9.008.380,2 t/ha selama tahun 2000-2004 (Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura 2005). Selama ini, 99,3% produksi kubis dipenuhi dari hasil tanaman dataran tinggi (Badan Pusat Statistik Jawa Tengah 2004). Pengembangan tanaman kubis di wilayah tersebut bersaing dengan tanaman kentang, wortel, dan bawang daun, yang ditanam pada lahan dengan kemiringan lebih dari 15% (tidak berwawasan lingkungan). Produksi kubis juga dihadapkan pada endemi penyakit akar gada yang dapat bertahan sampai 17 tahun dalam tanah (Cicu 2006). Selain itu, produksinya sangat bergantung pada air hujan dengan musim tanam serempak pada awal musim hujan, sehingga harga kubis berfluktuasi antarbulan (Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura 2005), bahkan harga kubis 301
J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009 meningkat sampai 600% pada saat terjadi musim kemarau panjang tahun 1997. Lahan pasir pantai di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki sumber air yang cukup dengan dukungan teknologi sumur renteng (Kertonegoro 2003). Lahan pasir pantai diharapkan dapat memenuhi kebutuhan lahan untuk produksi kubis sepanjang tahun (kesinambungan produksi) sekaligus memanfaatkan peluang pasar di luar musim (dataran tinggi) untuk meningkatkan pendapatan petani dan produktivitas lahan pasir pantai. Tanaman kubis KK Cross sebagai salah satu komoditas alternatif, merupakan komponen baru usahatani lahan pasir pantai yang memberikan hasil 24,83 t/ha (Saparso et al. 2003), lebih tinggi daripada hasil kubis dataran rendah di wilayah Bantul, yaitu 15,56 t/ha (BPS Bantul 2000) namun masih lebih rendah dibanding potensi hasilnya, yaitu 62,3 t/ha (Takii dan Co. Ltd). Pengembangan tanaman kubis di lahan pasir pantai dihadapkan pada tanah bertekstur pasir dan agroklimat yang spesifik. Tanah pasiran pantai memiliki N tersedia sangat rendah (26,79 ppm), kandungan bahan organik tanah rendah (0,39%), dan KPK sangat rendah yaitu 5,64 me/100 g (Saparso 2001). Massoud (1975) menyatakan bahwa budidaya tanaman pada tanah pasiran dihadapkan pada tingginya laju pengatusan dan rendahnya daya pegang air. Di sisi lain, tanaman kubis memerlukan air 380-500 mm per musim (FAO 1992) dan nitrogen dalam jumlah banyak, yaitu 147 kg N/ha pada hasil 45 t/ha. Tanah pasiran yang aerobik mendorong terbentuknya N-NO3yang peka terhadap pelindian (Boswell et al. 1997). Tiap 10 mm air pengatusan dapat melindi 10,2 kg N-NO3/ha dan produksi bahan kering total semusim berkurang 65 kg/ha akibat pelindian 1 kg N-NO3/ha (Smika et al. 1977). Serapan nitrogen dikendalikan oleh suhu tanah (Saparso et al. 2002). Pertumbuhan tanaman sangat ditentukan oleh lingkungan edafis yang meliputi kondisi atmosfer dan tanah atau disebut iklim mikro. Proses pada permukaan lahan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap fenomena iklim dekat permukaan. Intensitas cahaya merupakan sumber utama bagi pemanasan atmosfer, tanah, dan berpengaruh terhadap proses metabolisme 302
tanaman (Schulz dan Dumenil 1998). Kondisi atmosfer, seperti intensitas cahaya, kecepatan angin, suhu udara, dan kelembaban udara, merupakan faktor penentu evapotranspirasi potensial tanaman (FAO 1992). Intensitas cahaya berbeda antarmusim (Barkley 2001). Penelitian Moss (1992) pada tanaman kelapa cv. Mawa dan kelapa dalam Thai, menunjukkan bahwa sekapan cahaya beragam antarbulan selama 1 tahun. Membuka dan menutupnya stomata sangat bergantung pada sinar matahari dan ketersediaan air dalam tanah. Kemampuan tanaman memanfaatkan foton cahaya bergantung pada jumlah klorofil. Tanpa ada cahaya, fotosintesis tidak dapat berlangsung, namun intensitas cahaya yang berlebihan berpotensi membahayakan tanaman akibat penurunan laju fotosintesis permanen. Klorofil merupakan sentral kegiatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, terbentuk dari hara N sebagai inisiasi pembentukannya (Foyer dan Noctor 1999). Setiap tanaman berbeda kemampuan untuk menyesuaikan terhadap lingkungan dan kemampuan menghadapi cekaman. Menurut Bessieres et al. (1999) dan Jensen et al. (1996) solut kompatibel, seperti prolin dan karbohidrat terlarut (glukosa), terakumulasi dalam jumlah besar sebagai tanggap tanaman terhadap cekaman. Solut ini diyakini sebagai senyawa fungsional, yaitu menurunkan potensial osmotik sehingga tetap bertahan menghadapi cekaman sebagai osmoprotektan. Arora dan Saradhi (1995) menyatakan bahwa klorosis merupakan gejala penting pada tanaman yang menghadapi cekaman. Transpirasi dan pertukaran gas melalui stomata juga dipengaruhi oleh cekaman lingkungan. Penelitian bertujuan menentukan anasir lingkungan yang mengendalikan pertumbuhan dan hasil kubis di lahan pasir pantai pada musim hujan dan kemarau. BAHAN DAN METODE Percobaan lapangan dilaksanakan di lahan pasir pantai Samas, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak 20 m dpl., 110,20, BT dan 08,03 LS (Sukrisno et al. 2000) pada musim hujan dan musim kemarau mulai bulan Januari-Agustus 2005. Percobaan disusun dalam
Saparso et al.: Anasir Lingkungan Penentu Produksi Kubis di Lahan Pasir Pantai rancangan petak terpisah dengan 3 ulangan. Faktor lapisan bentonit disusun sebagai petak utama, terdiri atas lahan tanpa lapisan bentonit dan lahan dengan lapisan bentonit. Tingkat naungan disusun sebagai anak petak, terdiri atas tanpa naungan (0%), naungan paranet 30%, dan naungan paranet 60%. Tiap unit perlakuan terdiri atas 64 tanaman terdiri atas 4 baris tanaman dengan jarak tanam 40x60 cm (Gunadi dan Asandhi 1989). Lahan percobaan telah dihijaukan dengan tanaman gamal (Glyricidia sp.), Acasia sp., dan lamtoro (Leucaena leucocephala (Lmk)) sebagai tanaman pematah angin. Lahan percobaan memiliki tanah bertekstur pasir yang terdiri atas, 95,6% fraksi pasir, 1,9% fraksi debu, dan 2,5% fraksi lempung. Total lengas tanah tersedia adalah 38,9 mm/30 cm dengan lengas kapasitas lapang (KL) 48,2 mm/30 cm dan titik layu permanen (TLP) 9,3 mm/30 cm. Campuran bentonit Punung, Pacitan Spec A, dan tanah pasir dengan nisbah 15% (m3/m3), diletakkan pada jeluk 30 cm dengan tebal 2 cm. Lubang tanam diberi pupuk kandang sapi 20 t/ha dan 30 t/ha vertisol (Astuti 2003), pupuk dasar 200 kg P2O5/ha, dan 200 kg K2O/ha (Sumarni 1982). Mulsa jerami padi 5 t/ha (Saparso et al. 2002) dipasang 1 hari sebelum tanam. Tanaman mendapatkan air, baik dari hujan maupun penyiraman, berturut-turut 787,7 mm per musim dan 732,4 mm per musim pada musim hujan dan kemarau. Dosis pupuk susulan berupa pupuk Urea 161,384 kg N/ha (329,1 kg Urea/ha), diberikan 7 hari sekali dengan cara dilarutkan dalam air (Saparso dan Shiddieq 2008) dan disiramkan ke dalam tanah di sekitar tanaman. Panen kubis dilakukan pada saat tanaman berumur 70 hari. Anasir lingkungan yang diamati adalah (a) lengas tanah ditentukan dengan neutron probe tipe hydroprobe CPN-530, (b) intensitas cahaya diukur menggunakan alat luxmeter DX-100, 100 lux cahaya setara dengan 2 µmol/m2/det (Nobel 1999). Mengingat bahwa di wilayah lahan pasir pantai selatan Daerah Istimewa Yogyakarta hujan lebih sering terjadi pada malam hari dan cuaca selalu cerah pada siang hari (Saparso 2001), (c) suhu udara, kelembaban udara, suhu tanah, dan kecepatan angin ditentukan pada jam 06.30, 13.00, dan 17.00 pada umur 2, 4, 6, 8, dan 10 minggu, dan (d) evapotranspirasi potensial ditentukan menurut Penman-Montheith
(FAO 1992). Variabel pertumbuhan tanaman yang diamati, antara lain panjang akar, laju pertumbuhan tanaman, luas daun penutup, umur pembentukan krop (Andaloro et al. 1983), bobot segar hasil tanaman, lebar bukaan stomata diamati dengan lensa okuler mikrometer berbentuk pagar pada perbesaran 420 kali, kadar klorofil ditentukan menurut Foyer dan Noctor (1999), kadar prolin ditentukan terhadap daun ke-4 dari pucuk dengan metode Bates et al. (1973) dalam Arora dan Saradhi (1995), dan kandungan air nisbi (KAN) daun ditentukan terhadap daun ke-3 atau ke-4 dari pucuk (Jensen et al. 1996, Karyudi dan Fletcher 2002, Rahman et al. 2000). Data dianalisis ragam menggunakan uji F dan dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf 5%. Variabel pengamatan anasir lingkungan antarmusim selama periode pertumbuhan tanaman diuji χ2 pada taraf 5%. Hubungan antarlingkungan dan fisiologi pertumbuhan tanaman ditentukan dengan regresi langkah demi langkah (Pollet dan Nasrullah 1994). HASIL DAN PEMBAHASAN Iklim Mikro Pertumbuhan Tanaman Uji χ2 menunjukkan bahwa dinamika intensitas cahaya di luar dan di dalam pertanaman, (iklim mikro) berbeda nyata (Gambar 1) akibat adanya naungan. Kondisi komponen cuaca lain di luar dan di dalam sistem pertanaman, seperti suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin, tidak berbeda nyata. Analisis ragam menunjukkan intensitas cahaya yang diterima tanaman berbeda antarmusim (Tabel 1). Pertanaman musim hujan, minggu ke-2, mendapatkan intensitas cahaya paling rendah. Intensitas cahaya tertinggi terjadi pada minggu ke-4. Tanaman kubis umur 6, 8, dan 10 minggu mendapatkan intensitas cahaya yang tidak berbeda nyata (Tabel 1 dan Gambar 1a). Menurut Nobel (1999), pada 22 Desember, matahari berada di titik balik selatan dan akan bergerak ke khatulistiwa sehingga bumi di bagian selatan khatulistiwa mendapatkan sinar matahari yang lebih banyak. Sebaliknya, pada musim kemarau, tempat penelitian mendapatkan intensitas cahaya yang rendah. Intensitas cahaya tertinggi terjadi pada minggu ke-2. Intensitas terendah terjadi 303
J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009
Musim kemarau (Dry season)
600 400 200
(a)
600 400 200
(b)
Periode pertumbuhan tanaman (Plant growth periods) Bulan (Months)
b M ar Ap r M ei Ju n
0
b M ar Ap r M ei Ju n
Fe
Ja n
0
800
Fe
800
Musim hujan (Rainy season) Musim kemarau (Dry season)
1000
Ju l
(Rainy season)
Ja n
1000
Intensitas cahaya (Light intensity) µmol/m2/det (µmol/m2/sec)
1200 Musim hujan
Ju l
Intensitas cahaya (Light intensity) µmol/m2/det (µmol/m2/sec)
1200
Periode pertumbuhan tanaman (Plant growth periods) Bulan (Months)
Gambar 1. Intensitas cahaya luar (a) dan dalam sistem pertanaman (b) musim hujan (Januari-Maret 2005) dan kemarau (Mei-Juli 2005) (Light intensity of experimental location (a) and cropping system (b) in rainy season (January-March 2005) and dry season (May-July 2005) Tabel 1. Intensitas cahaya, suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara, kecepatan angin, dan evapotranspirasi aktual sistem pertanaman di musim hujan (Januari-Maret 2005) dan kemarau (Mei-Juli 2005) (Light intensity, air temperature, soil temperature, relative humidity, wind speed, and actual evapotranspiration in the cropping system in the rainy season (January-March 2005) and dry season (May-July 2005) Anasir iklim mikro (Microclimate element)
Satuan (Unit)
Musim (Season)
Periode pertumbuhan tanaman Uji χ2 Crop growth periods ( χ2 test) minggu (weeks) 4 2 4 6 8 10 288,1 744,3 483,1 489,3 390,0 638,85** 344,0 294,5 143,4 282,6 281,9 29,9 33,5 33,5 33,5 30,7 0,12 tn(ns) 31,8 30,4 29,7 28,2 29,4 28,0 30,3 30,2 29,8 29,3 0,85 tn(ns) 28,7 28,1 27,8 26,9 26,7 82,1 69,7 76,6 71,1 80,8 8,01 tn(ns) 67,1 75,9 83,8 87,6 75,7 0,04 2,1 0,2 0,5 0,5 167,82** 2,9 1,1 0,3 0,8 2,1 5.6 6,3 6,3 5,7 5,7 1,44tn(ns) 5.6 5,6 4,2 4,2 4,5
Intensitas cahaya mml/m2/ Hujan (Rainy) det (Light intensity) Kemarau (Dry) o C Suhu udara Hujan (Rainy) (Air temperature) Kemarau (Dry) o Suhu tanah C Hujan (Rainy) (Soil temperature) Kemarau (Dry) Kelembaban udara % Hujan (Rainy) (Relative humidity) Kemarau (Dry) Kecepatan angin km/jam Hujan (Rainy) (Wind speed) Kemarau (Dry) Evapotranspirasi aktual mm/hari Hujan (Rainy) (Actual evapotranspiraKemarau (Dry) tion) tn dan * adalah tidak berbeda nyata dan berbeda nyata pada taraf 5%, ** adalah berbeda nyata pada taraf 1%, χ2 11,07; χ2 5, 1% = 15,08 (ns and * is not significant and significant different at 5%, ** is significant different at 1%, χ2 11,07; χ2 5, 1% = 15,08)
304
5, 5% 5, 5%
= =
Saparso et al.: Anasir Lingkungan Penentu Produksi Kubis di Lahan Pasir Pantai pada minggu ke-6. Pertanaman umur 4, 8, dan 10 MST mendapatkan intensitas cahaya yang tidak berbeda nyata. Intensitas cahaya berkorelasi sangat nyata dengan suhu udara (r=0,925**) maupun suhu tanah (r=0,891**). Suhu udara terendah terjadi minggu ke-2 pada musim hujan. Suhu udara minggu ke-4, 6, dan 8 tidak berbeda tetapi berbeda dengan minggu ke-3 maupun ke-10. Suhu udara minggu ke-10 tidak berbeda nyata dengan minggu ke-2. Suhu udara tertinggi musim kemarau terjadi pada minggu ke-2 dan suhu terendah terjadi pada minggu ke-8. Suhu udara minggu ke-4, 6, dan 10 tidak berbeda nyata (Tabel 1). Analisis ragam menunjukkan bahwa suhu tanah rerata musim hujan (29,5oC) nyata lebih tinggi daripada musim kemarau (27,7oC) (Tabel 2). Data Tabel 1 menunjukkan bahwa pada musim hujan, suhu terendah terjadi pada minggu ke-2. Suhu tanah minggu ke-4, 6, 8, dan 10 setelah tanam, tidak berbeda nyata. Ada kecenderungan terjadi penurunan suhu tanah selama pertumbuhan
Uji F menunjukkan bahwa kecepatan angin tidak berbeda nyata antarmusim. Angin bertiup dengan kecepatan rerata 1,01 km/jam namun dinamika kecepatan angin berbeda antarperiode petumbuhan tanaman berdasarkan uji χ2. Angin musim hujan bertiup dari utara sampai barat daya dengan kecepatan rendah, kecuali pada minggu ke-4 kecepatan angin mencapai 2,11 km/jam. Angin tenggara bertiup pada musim kemarau 3,0
(a)
30
28
26
24
(b)
2,5
Musim hujan (Rainy season)
2,0
Musim kemarau (Dry season)
1,5 1,0 0,5
Periode pertumbuhan tanaman kubis (Cabbage growth periods) Bulan (Months)
l Ju
ar Ap r M ei Ju n
b
M
Fe
Ja n
Ju l
Fe b M ar Ap r M ei Ju n
0
n Ja
Kelembaban udara musim hujan 75,9% dan tidak berbeda nyata dengan musim kemarau 78,4%. Dinamika kelembaban udara tidak berbeda antarmusim. Kelembaban tertinggi musim hujan terjadi pada minggu ke-2 dan tidak berbeda dengan minggu ke-10. Kelembaban udara terendah terjadi pada minggu ke-4 dan tidak berbeda dengan minggu ke-8. Kelembaban udara minggu ke-6 dan berbeda dengan minggu yang lain (Tabel 1).
Kecepatan angin (Wind speed) km/jam (km/hour)
Suhu tanah (Soil temperature) o C
32
tanaman. Suhu tanah tertinggi terjadi pada minggu ke-2 dan ke-4, serta lebih tinggi dibandingkan suhu tanah minggu ke-6 dan ke-8. Suhu terendah terjadi pada minggu ke-10.
Periode pertumbuhan tanaman kubis (Cabbage growth periods) Bulan (Months)
Gambar 2. Suhu tanah (a) dan kecepatan angin (b) selama periode pertumbuhan tanaman kubis di musim hujan (Januari-Maret 2005) dan kemarau (Mei-Juli 2005) (Soil temperature (a) and wind speed (b) over cabbage growth periods in rainy season (January- March 2005) and dry season (May-July 2005)
305
J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009 dengan kecepatan tertinggi 2,58 km/jam yang terjadi pada minggu ke-2 dan ke-10 masingmasing 2,58 km/jam dan 2,07 km/jam (Tabel 1, Gambar 2b). Analisis ragam iklim mikro menunjukkan bahwa musim hujan dan kemarau dibedakan oleh intensitas cahaya, suhu udara, dan suhu tanah. Pemberian naungan berpengaruh nyata terhadap seluruh komponen iklim mikro, kecuali suhu udara dan kelembaban udara (Tabel 2). Intensitas cahaya dalam sistem pertanaman di musim hujan, 470,9 µmol/m2/det, nyata lebih tinggi daripada musim kemarau, yaitu 237,8 µmol/m2/ det. Analisis ragam evapotranspirasi aktual (ETa, menurut Penman-Monteith 1992 berdasarkan rerata iklim bulanan) sistem pertanaman menunjukkan berbeda nyata (Tabel 3). Evapotranspirasi aktual berbeda antarbulan dan sistem pertanaman serta menunjukkan adanya interaksi kedua faktor tersebut. Evapotranspirasi aktual tertinggi terjadi pada bulan Februari, yaitu 6,3 mm/hari dan terendah pada bulan Juni (4,2 mm/hari). Evapotranspirasi aktual bulan Januari (5,6 mm/hari), Maret (5,7 mm/hari), April (5,3 mm/hari), dan Mei (5,6 mm/hari) tidak berbeda nyata serta lebih rendah daripada evapotranspirasi aktual bulan Februari dan lebih tinggi daripada bulan Juli (4,8 mm/hari) dan Agustus (4,5 mm/hari) (Tabel 4). Hal ini terjadi karena perbedaan intensitas cahaya antar- musim akibat perbedaan letak matahari terhadap garis lintang. Evapotranspirasi aktual berbeda nyata antarsistem pertanaman. Semakin rendah intensitas cahaya akibat semakin tinggi naungan, menyebabkan evapotranspirasi semakin rendah (FAO 1992).
Intensitas cahaya berkorelasi tinggi dengan suhu tanah (r=0,925 **) pada pertanaman kubis monokultur tanpa naungan. Kedua komponen iklim tersebut berkorelasi nyata dengan suhu udara, yaitu r=0,891 ** untuk intensitas cahaya dan r=0,899 ** untuk suhu tanah. Kelembaban udara berkorelasi positif dengan suhu tanah (r=0,645*) dan suhu udara (r=0,701*). Hal ini menunjukkan bahwa angin dari luar lahan percobaan memiliki suhu udara yang lebih tinggi dengan kelembaban udara yang lebih rendah. Analisis ragam menunjukkan bahwa total lengas tanah tidak berbeda antarmusim, sedangkan air pengatusan berbeda nyata antarmusim. Air pengatusan menunjukkan adanya interaksi antara naungan dengan musim (Tabel 4). Air pengaturan musim hujan nyata lebih rendah terhadap musim kemarau, masing-masing 334,5 dan 383,6 mm per musim. Evapotranspirasi tanaman yang relatif tinggi di musim hujan (422,8 mm per musim) dan curah hujan yang tidak berbeda nyata, menyebabkan air pengatusan rendah. Sebaliknya, pada musim kemarau evapotranspirasi relatif rendah (322,9 mm per musim) dan terjadi hujan pada bulan Juni-Juli di mana pada saat suhu udara rendah menyebabkan air pengatusan lebih banyak. Ekofisiologi Pertumbuhan Tanaman Kubis Musim Hujan dan Kemarau Musim hujan dan kemarau berbeda nyata dalam hal intensitas cahaya, suhu udara, dan suhu tanah (Tabel 2). Pertanaman kubis monokultur
Tabel 2. Intensitas cahaya, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan suhu tanah pertanaman kubis pada berbagai tingkat naungan pada musim hujan dan kemarau (Light intensity, air temperature, relative humidity, wind speed, and soil temperature of cabbage cropping under shading level at rainy and dry season) Anasir (Element) Intensitas cahaya (Light intensity) Suhu udara (Air temperature) Kelembaban udara (Relative humidity) Kecepatan angin (Wind speed) Suhu tanah (Soil temperature)
306
Satuan (Unit) µmol/m2/det C
o
% km/jam C
o
Musim (Season) Hujan (Rainy) Kemarau (Dry) Hujan (Rainy) Kemarau (Dry) Hujan (Rainy) Kemarau (Dry) Hujan (Rainy) Kemarau (Dry) Hujan (Rainy) Kemarau (Dry)
60 260,10 a 124,10 b 31,50 a 29,40 a 76,43 a 78,06 a 0,64 a 0,74 b 28,45 a 26,85 b
Naungan (Shading ), % 30 0 478,80 a 717,20 a 239,40 b 358,20 b 31,50 a 31,50 a 29,40 a 29,40 a 76,08 a 75,98 a 77,98 a 78,04 a 0,64 a 0,65 a 0,64 a 0,67 b 29,44 a 30,85 a 27,75 b 28,23 b
Saparso et al.: Anasir Lingkungan Penentu Produksi Kubis di Lahan Pasir Pantai Tabel 3. Evapotranspirasi aktual berbagai tingkat naungan pada musim hujan (Januari-April 2005) dan kemarau (Mei-Agustus 2005) (Actual evapotranspiration on the various shading levels at rainy season (January-April 2005) and dry season (May-August 2005) Bulan (Month)
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus Rerata
Evapotranspirasi aktual pada naungan (Actual evapotranspiration on the various shading) % 60 30 0 ..................... mm/hari .................... 3,9 bc 5,1 b 6,2 bc 4,6 a 5,7 a 6,8 a 4,0 bc 5,0 b 6,3 b 3,9 bc 4,9 b 5,8 cd 4,2 b 5,1 b 5,7 d 3,0 d 3,8 d 4,5 f 3,1 d 4,1 cd 4,9 ef 3,7 c 4,4 c 5,1 e 3,8 c 4,8 b 5,6 a
tanpa naungan mendapatkan intensitas cahaya rerata 717,2 µmol/m2/det pada musim hujan dan 347,8 µmol/m2/det pada musim kemarau. Intensitas cahaya berkorelasi sangat nyata dengan suhu udara (r=0,891**) dan suhu tanah (r=0,925**). Suhu tanah musim hujan 30,9oC, nyata lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau, 28,3oC. Suhu udara musim hujan 31,5oC juga berbeda nyata terhadap suhu udara musim kemarau 29,428 oC (Tabel 2). Analisis ragam menunjukkan bahwa laju pertumbuhan tanaman musim hujan dan kemarau berbeda nyata pada minggu ke-2-4 dan ke-8-10. Pertumbuhan tanaman musim hujan minggu ke-
4-6 berbeda dengan minggu ke-2-4 dan minggu ke-6-8 serta tidak berbeda dengan minggu ke-810, (Tabel 5 dan Gambar 3a). Pada minggu ke-4 tanaman mendapatkan intensitas cahaya tertinggi yang menyebabkan suhu udara tinggi dan kelembaban udara 69,7% (terendah 38%). Data Tabel 1 menunjukkan bahwa evapotranspirasi potensial minggu ke-2 musim kemarau lebih tinggi daripada minggu yang lain, hal ini akibat komponen atmosfir lain, seperti suhu udara dan kecepatan angin yang tinggi serta kelembaban udara terendah. Laju pertumbuhan tanaman kubis musim kemarau minggu ke-2-4, paling rendah, yaitu 6,2 g/m2/mg dan berbeda terhadap laju pertumbuhan tanaman minggu ke-4-6, 6-8, dan 8-10. Kandungan air nisbi yang rendah minggu ke-2-4 akibat tekanan lingkungan, menyebabkan laju pertumbuhan rendah. Kondisi lingkungan yang lebih baik pada minggu berikutnya, terutama suhu udara dan suhu tanah yang lebih rendah, memungkinkan tanaman memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi. Laju pertumbuhan tanaman relatif, masing-masing kh = 0,39 dan kk=0,81. Hal ini sesuai kenyataan bahwa pada minggu 2-4 terjadi evapotranspirasi potensial (ETo) tertinggi selama musim kemarau. Intensitas cahaya yang tinggi pada musim hujan cenderung menurunkan laju pertumbuhan tanaman (r=0,221). Laju pertumbuhan tanaman minggu ke-8-10 berkorelasi positif dengan kadar klorofil daun (r=0,684*). Laju pertumbuhan tanaman minggu ke-8-10 juga dipengaruhi dengan nyata oleh intensitas cahaya (ISMH) dan air pengatusan (ATUS) mengikuti persamaan: Ylpt8-10 = 211,728-0,151 Xismh -0,244 Xatus (R2=0,923 **).
Tabel 4. Total lengas tanah tersedia (TLTT), evapotranspirasi tanaman (EVTC), dan air pengatusan (ATUS) pada berbagai tingkat naungan pada musim hujan (JanuariApril 2005) dan kemarau (Mei-Agustus 2005) (Total of available soil water (TLTT), crop evapotranspiration (EVTC), and water drainage (ATUS) on the various shading levels at rainy season (January-April 2005) and dry season (May-August 2005) Anasir (Element) TLTT
Satuan (Unit) mm 30/cm
EVTC
mm per musim
ATUS
mm per musim
Musim (Season) Hujan (Rainy) Kemarau (Dry) Hujan (Rainy) Kemarau (Dry) Hujan (Rainy) Kemarau (Dry)
60 43,1 45,5 280,5 a 221,5 b 383,0 a 422,6 b
Naungan (Shading), % 30 42,9 44,8 350,9 a 275,9 b 342,2 b 388,6 b
0 42,6 44,2 422,8 a 322,9 b 309,4 a 365,0 b
307
J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009 Tabel 5. Lebar bukaan stomata, kandungan air nisbi daun, luas daun penutup, panjang akar, laju pertumbuhan tanaman, dan evapotranspirasi potensial (mm/hari) tanaman kubis setelah tanam musim hujan dan kemarau di lahan tanpa naungan (Stomatal aperture, relative water content of leaf , cover leaf area, root length, growth rate and potential evapotranspiration of cabbage in the rainy and dry season with or without shading) Komponen (Component) Lebar bukaan stomata (Stomatal aperture) Kandungan air nisbi (Relative water content) Luas daun penutup (Wrapped leaves area) Panjang akar (Root length) Laju pertumbuhan tanaman (Growth rate) Evapotranspirasi potensial
Satuan (Unit) µm
Musim (Season) Hujan (Rainy) Kemarau (Dry) Hujan (Rainy) Kemarau (Dry) Hujan (Rainy) Kemarau (Dry) Hujan (Rainy) Kemarau (Dry) Hujan (Rainy) Kemarau (Dry) Hujan (Rainy) Kemarau (Dry)
% cm/tan m/tan g/m2/ mgg
Periode pertumbuhan tanaman (Plant growth periods), minggu (weeks) χ2 hit 2 4 6 8 10 6,9 6,8 6,6 8,3 7,1 0,79 tn(ns) 6,8 5,9 7,3 6,9 6,2 82,2 89,2 88,2 89,2 91,3 13,93** 59,5 70,4 87,6 87,9 90,6 202,6 1600,0 2993,0 3591,3 3844,6 2030,44** 66,7 606,4 3307,0 5366,7 4776,5 0,7 2,3 10,8 29,8 30,1 13,08** 1,7 6,7 10,3 19,4 28,2 3,7 27,7 10,3 45,6 21,3 75,01 ** 0,1 6,2 31,8 37,1 63,2 5,6 6,3 6,3 5,7 5,7 1,44tn(ns) 5,6 5,6 4,2 4,2 4,5
χ2 (0,05;4) = 9,49, χ2 (0,01;4)= 13,28
Kadar prolin tidak berbeda antarmusim dengan rerata 6,583 µmol/g (Tabel 6). Peningkatan intensitas cahaya yang tidak diikuti pembentukan prolin, secara nyata menunjukkan bahwa peningkatan intensitas cahaya juga diikuti oleh pemanfaatan energi (ATP dan NADPH+) hasil reaksi terang Hill untuk memfiksasi CO2 dalam
100
(a)
mh aktual mk aktual
80
Kandungan air nisbi (Relative water content), %
Bobot kering tanaman (Plant dry weight), g
100
mh regresi mk regresi
60
Wt.mk=0,039 e (0,8143) Wt.mh=1,5399 e (0,932 t)
40 20 0
0
2
4
6
siklus Celvin. Peningkatan jumlah klorofil per bobot segar daun dapat meningkatkan sekapan cahaya untuk fotosintesis. Menurut Nobel (1999) tiap 1 klorofil hanya dapat menangkap 1 foton pada suatu waktu. Kadar klorofil berkorelasi positif dengan luas daun penutup tanaman (r=0,638*). Peningkatan jumlah klorofil per
8
Umur tanaman (Plant age) minggu (week)
10
(b)
80 60 Musim hujan (Rainy season)
40
Musim kemarau (Dry season)
20 0
2
4
6
8
10
Umur tanaman (Plant age) minggu (week)
Gambar 3. Pertambahan bobot kering tanaman kubis aktual dan model eksponensial, Wt = Wo e (kt) (a) kandungan air nisbi, (b) selama periode pertumbuhan tanaman kubis umur 2, 4, 6, 8, dan 10 minggu (mgg) musim hujan (mh) dan kemarau (mk) (Increasing of actual cabbage dry weight and exponential model, Wt = Wo e (kt) (a) relative water content of leaf, (b) over cabbage growth periode of 2, 4, 6, 8, and 10 weeks (mgg) in the rainy (mh) and dry season (mk)) 308
Saparso et al.: Anasir Lingkungan Penentu Produksi Kubis di Lahan Pasir Pantai Tabel 6. Kadar klorofil, lebar stomata, kandungan air nisbi, kadar prolin, dan kadar glukosa tanaman kubis monokultur tanpa naungan pada musim hujan dan kemarau (Chlorophyll content, stomatal aperture, relative water content , proline content, and glucose content of monoculture cabbage crop without shading in the rainy and dry season) Komponen (Component) Klorofil (Chlorophyll) Lebar bukaan stomata (Stomatal aperture) Kandungan air nisbi (Relative water content) Prolin (Proline) Glukosa (Glucose)
Satuan (Unit) mg/g
Musim (Season) Hujan (Rainy) Kemarau (Dry) 20,940 b 30,460 a
Rerata (Mean) 25,100
µm
7,114 a
6,603 b
6,859
%
87,750 a
79,200 b
84,680
µmol/g
6,410 a
6,754 a
6,583
% g/g
0,518 a
0,499 a
0,508
berat segar daun dapat meningkatkan proses penyekapan cahaya untuk fotosintesis. Suhu tanah berkorelasi negatif (r=-0,516) terhadap kadar klorofil daun tanaman. Kadar klorofil tanaman kubis musim kemarau, 30,46 mg/g, nyata lebih tinggi daripada musim hujan, 20,94 mg/g (Tabel 6). Diduga bahwa suhu tanah yang lebih tinggi pada musim hujan menyebabkan laju nitrifikasi lebih tinggi dan menyebabkan berkurangnya ketersediaan nitrogen dalam tanah akibat pelindian. Menurut Boswell et al. (1997) koefisien suhu (Q10) = 2 terjadi pada rentang suhu 5-35oC. Uji χ2 (χ2 hit = 5,22; χ2 tabel 0,05, 4= 9,49) proses fisiologi antarmusim tidak berbeda nyata namun stomata tanaman kubis membuka 7,114 µm pada musim hujan dan 6,603 µm pada musim kemarau (Tabel 6). Perbedaan pembukaan stomata diduga karena adanya perbedaan intensitas cahaya yang diterima. Pada musim hujan, intensitas cahaya pukul 07.00 lebih tinggi daripada musim kemarau. Menurut Nobel (1999), pembukaan stomata dipengaruhi oleh adanya sinar matahari. Selanjutnya ditegaskan oleh Foyer dan Noctor (1999), bahwa stomata akan membuka apabila mendapatkan cahaya paling sedikit 20 µmol/m2/det, mampu memengaruhi pembukaan stomata akibat adanya klorofil di dalam sel tetangga. Panjang akar berkorelasi meningkatkan evapotranspirasi tidak nyata, namun evapotranspirasi meningkatkan kandungan air nisbi yang berpotensi meningkatkan pembukaan stomata. Meningkatnya evapotranspirasi akibat
meningkatnya intensitas cahaya menurunkan total lengas tersedia tidak nyata. Kandungan air nisbi berkorelasi nyata dengan intensitas cahaya (r=0,570*) dan suhu tanah (r=0,596*). Uji χ2 menunjukkan bahwa dinamika kandungan air nisbi berbeda nyata antarmusim. Kandungan air nisbi minggu ke-2 dan ke-4 musim kemarau 58,67 dan 70,98%, serta lebih rendah daripada minggu yang sama pada musim hujan, yaitu 81,22 dan 94,52 % (Tabel 5, Gambar 3b). Menurut Arora dan Saradhi (1995) kandungan air nisbi lebih rendah dari 70% menyebabkan kapasitas fotosintesis daun menurun secara bertahap akibat menurunnya kapasitas fiksasi CO2. Kelembaban udara terendah yang mencapai 34,0%, suhu udara yang relatif tinggi dengan rerata 31,787 o C, dan suhu udara tertinggi mencapai 38,0oC, serta kecepatan angin yang tinggi pada minggu ke-2 musim kemarau (5,6 km/ jam), menyebabkan kandungan air nisbi menjadi rendah. Evapotranspirasi aktual minggu ke-2 lebih tinggi daripada periode pertumbuhan yang lain (Tabel 2). Menurut FAO (1992) evapotranspirasi potensial ditentukan oleh keadaan atmosfer dan evapotranspirasi aktual dikendalikan oleh serapan air dari dalam tanah. Tanaman berumur 2 minggu masih beradaptasi dengan lingkungan dan belum terbentuk perakaran yang sempurna untuk menyerap hara dan air dari dalam tanah, menyebabkan evapotranspirasi yang tinggi tidak dapat diimbangi oleh serapan air. Hasil Tanaman Kubis Analisis ragam menunjukkan bahwa hasil tanaman kubis tidak berbeda nyata antarmusim. 309
J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009
30
20
10
0
60
A
50
a
45
B
40
50
Hasil krop (Crop yield), t/ha
Periode pembentukan krop (Period of head formation)
40
70
b
a
Laju pertumbuhan tanaman (Growth rate of plant), g/m2/mgg
50
40 30 20
b
a
35 30 25 20 15 10
10 0 Hujan Kemarau (Rainy) (Dry) Musim (Season)
a
C
5 0 Hujan Kemarau (Rainy) (Dry) Musim (Season)
Hujan Kemarau (Rainy) (Dry) Musim (Season)
Gambar 5. (A) Periode pembentukan krop, (B) laju pertumbuhan tanaman minggu ke 820, dan (C) hasil krop, tanaman kubis musim hujan (Januari- Maret 2005) dan musim kemarau (Mei-Juli 2005) ((A) period of head formation, (B) growth rate of plant 8-10 th week, and (C) yield of cabbage crop at rainy season (January-March 2005) and dry season (May-July 2005) Hasil kubis musim hujan, 37 t/ha, lebih rendah daripada hasil musim kemarau, 40 t/ha (Gambar 5c). Lambatnya pertumbuhan awal pada musim kemarau (Gambar 3a) akibat tekanan lingkungan, menyebabkan tanaman membentuk krop pada umur 48,3 hari lebih lambat daripada musim hujan, 45,2 hari (Gambar 5A). Laju pertumbuhan tanaman minggu ke-8 sampai ke-10 berbeda nyata antara musim hujan dengan kemarau dan merupakan periode kritis pembentukan krop kubis. Menurut Andaloro et al. (1983) periode kritis tanaman kubis terjadi pada fase pembentukan dan perkembangan krop. Laju pertumbuhan tanaman secara nyata (r=0,626*) meningkatkan luas daun penutup tanaman sebagai sumber asimilat bagi pertumbuhan dan perkembangan krop. Namun suhu tanah yang tinggi pada musim hujan menurunkan kandungan klorofil dan kemampuan mengasimilasi CO2 menjadi bahan organik, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan asimilat untuk perkembangan krop. Menurut Andaloro et al. (1983) bahwa pada saat pembentukan krop terjadi pertumbuhan daun 310
yang cepat dan saling menumpuk. Bobot segar hasil krop juga dipengaruhi oleh suhu tanah (STNH) dan air pengatusan sesuai persamaan: Ybsh=151,66-2,96X stnh -0,0171 X atus (R2= 0,612*). KESIMPULAN Musim hujan memiliki intensitas cahaya, suhu udara, dan suhu tanah lebih tinggi daripada musim kemarau. Air pengatusan musim hujan lebih rendah daripada musim kemarau. Kadar prolin daun tidak berbeda nyata antarmusim. Laju pertumbuhan tanaman minggu ke-8-10 ditentukan oleh intensitas cahaya dan air pengatusan sesuai persamaan Ylpt 8-10=-211,73; -0,151 X ismh; -0,244 Xatus (R2=0,923**). Bobot segar hasil kubis ditentukan oleh suhu tanah dan air pengatusan mengikuti model Ybsh=151,66-2,96X stnh; -0,0171 X atus (R2=0,612*). Tanaman kubis dapat tumbuh baik di lahan pasir pantai pada musim hujan maupun musim kemarau dengan hasil berkisar 37,0-40,0 t/ha.
Saparso et al.: Anasir Lingkungan Penentu Produksi Kubis di Lahan Pasir Pantai PUSTAKA 1. Adiyoga, W. 1999. Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Sayuran di Indonesia. J. Hort. 9(3):258-265. 2. Andaloro, J.T., K.B. Rose, A.M.Shelton, C.N.Hoy, and R.F.Becker. 1983. Cabbage Growth Stage. New York’s Food and Life Sci. Bull. p.101-103. 3. Arora, S. and P.P. Saradhi. 1995. Light Induced Enhancement in Proline Levels in Vigna radiata Exposed to Environmental Stress. Aust. J. Plant Physiol. 22:283286. 4. Astuti, F. W. 2003. Kombinasi Pupuk Kandang dan Vertisol Untuk Meningkatkan Kapasitas Menahan Lengas Udupsmment Pantai yang Dirajai Oleh Berbagai Subfraksi Pasir. Skripsi Faperta UGM, Yogyakarta. 101 Hlm. 5. Barkley, S. 2001. Basic Plant Science (Botany): Albuquerque Master Gardeners, Agric, Food and Rural Development Government of Alberta. On line: ‘/app21/rtw/ sendmail.jsp?docurl’-‘document.location.’MailAFriend/ Botany.htm. [26 Maret 2006]. 6. Bessieres, M.A., Y. Gibon, J.D. Lefeuvre and F. Larher. 1999. A Simple Step Purification for Glycine Betaine Determination in Plant Extract by Isocratic HPLC. J. Agric. Food Chem. 47:3718-3722. 7. Boswell, F.C., J.J. Meisinger, and N.L. Case. 1997. Produksi, Pemasaran dan Penggunaan Pupuk Nitrogen. (terjemahan Goenadi,D.H. 1997). Edisi Ketiga. UGM Press, Yogyakarta. 982 Hlm. 8. Biro Pusat Statistik Bantul. 2000. Bantul dalam Angka. BPS Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 403 Hlm. 9. Biro Pusat Statistik Jawa Tengah 2004. Jawa Tengah dalam Angka. BPS Jateng, Semarang. 78 Hlm. 10. Cicu. 2006. Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora brassicae Worr.) pada Kubis-kubisan dan Upaya Pengendaliannya. J. Litbang Pert. 25(1):14-21. 11. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2004. Luas, Produksi, dan Produktivitas Sayuran Indonesia. On line: www.ditjen
[email protected]. [19 Desember 2006]. 12. Food and Agriculture Organization. 1992. Crop Water Requirment, Penman-Montheith Combination Approach. FAO International Commision fot Irrigation and Drainage Paper, World Meterological Organization, Rome. 113 Hlm. 13. Foyer, C.H. and G. Noctor. 1999. Leaves in the Dark See Light. Science 287:599-601. 14. Gunadi, N. dan Asandhi. 1989. Pemberian Pupuk N dan Mulsa pada Tanaman Kubis Dataran Rendah. Bul. Penel. Hort. XVII(3):99-107. 15. Jensen, C.R., V.O. Mogensen, G. Mortesen, M.N. Andersen, J.K. Schjoerring, J.H. Thange, and J. Koribidis. 1996. Leaf Photosynthesis and Drought Adaptation in Field-Grown Oilseed Rape (Brassica napus L.). Aust. J. Plant Physiol. 23:631-644.
16. Karyudi and R.J. Fletcher. 2002. Osmoregulative Capacity in Birdseed Millet Under Condition of Water Stress, I. Variation in Setaria italica and Panicum miliaceum. Euphytica. 125:337-348. 17. Kertonegoro, B.J. 2003. Pengembangan Budidaya Tanaman Sayuran dan Hortikultura pada Lahan Pasir Pantai: Sebuah Model Spesifik dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Agr-UMY. XI(2):67-75. 18. Lembaga Penelitian UGM. 2006. Ketahanan Pangan. On line: Html.http:/lemlit.ugm.ac.id/agro. [29 Mei 2006]. 19. Massoud, F.I. 1975. Physical Properties of Sandy Soil in Relation to Cropping and Soil Conservation Practices. Dalam Sandy Soil. Report of FAO/UNDP Seminar on Reclamation and Management of Sandy Soil in the Near East and North Africa. FA-UNO. Roma. p.47-72. 20. Moss, J.R.J. 1992. Measuring Light Interception and the Efficiency of Light Utilization by Coconut Palm (Cocos nucifera). Experimental Agric. 28(2):273-285. 21. Nobel, P.S. 1999. Plant Physiology, Physiochemistrical and Environment. 2nd ed. Academic Press, New Sandiego. 474 pp. 22. Pollet, A. dan Nasrullah. 1994. Penggunaan Metode Statistik untuk Ilmu Hayati. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 423 Hlm. 23. Rahman, S.M.L., W.A. Mackay, B.Quebedeaux, E.Navata and T. Sakuratani. 2000. Application and Validation of Leaf Water Content Index to Tropical Seasonal Forest Region. On line: www/http/
[email protected]. [20 Februari 2004]. 24. Rahmanto,B. 2004. Studi Agribisnis Kubis di Sumatera Barat. ICASERD Working Paper No. 52. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (ICASERD), Balitbang Pertanian, Departemen Pertanian. 26 Hlm 25. Saparso. 2001. Kajian Serapan N dan Pertumbuhan Tanaman Kubis pada Berbagai Kombinasi Mulsa dan Dosis Pupuk N di Lahan Pasir Pantai. Tesis Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta. Hlm. 167. 26. _______, Subiyanti-Harsono, dan Tohari. 2002. Serapan Nitrogen Tanaman Kubis pada Berbagai Kombinasi Mulsa dan Dosis Pupuk Nitrogen di Lahan Pasir Pantai. Agrin 6(1):20-29. 27. ______, Subiyanti-Harsono, dan Tohari. 2003. Pengembangan Tanaman Kubis Lahan Pasir Pantai: Pertumbuhan Tanaman pada Berbagai Kombinasi Mulsa dan Cara Pemupukan Nitrogen. Agrin 7(2):60-73. 28. _______ dan Dj. Shiddieq. 2008. Budidaya Cabai Hot Beauty Berwawasan Lingkungan Melalui Perbaikan Takaran Bahan Pembenah Tanah dan Interval Pemupukan Nitrogen Tanah Pasiran. Makalah Seminar Nasional Pengendalian Pencemaran Lingkungan Pertanian Melalui Pendekatan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Secara Terpadu, Universitas Sebelas Maret, 28 Maret 2006, Surakarta: 329339. 29. Schulz, J.P. and L. Dumenil, 1998. Land Surface Energy and Moisture Fluxes: Comparing Three Models. Amer. Meteor.Soc. 37:288-307.
311
J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009 30. Smika, D.E., D.F. Heermann, H.R. Duke, and A.R. Batchchelder. 1977. Effect on Soil Properties and Tomato Growth Using Micro Irrigation. Agron. J. 69:623-626.
32. Sumarni, N. 1982. Pengaruh Pemupukan N, P dan K terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kubis Varietas Osena dan Konstanta. Bul. Pen.Hort.IX(5):25-32.
31. Sukrisno, Mashudi, A.P. Supangat, Sunaryo, dan D. Subaktini. 2000. Pengembangan Potensi Lahan Pantai Berpasir dengan Budidaya Tanaman Semusim di Pantai Selatan Yogyakarta. Dalam Sudibyakto, M. Pramonohadi, Sutikno, dan Sunarto (Eds.) Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Ekosistem Pantai dan Pulau-pulau Kecil dalam Konteks Negara Kepulauan. Fakultas Geografi UGM, 2 September 2000, Yogyakarta. 438 Hlm.
33. Suryana, A. 2007. Strategi dan Inovasi Iptek Sumberdaya Lahan dalam Menghadapi Perubahan Iklim Global dan Perbaikan Kualitas Lingkungan. Kertas Kerja Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Balitbangtan, 7-8 November 2007, Bogor.
312