ASPEK-ASPEK HUKUM HARTA KEKAYAAN DAN KAITANNYA DENGAN HARTA

Download dinilai dengan uang. 1. Pengertian tersebut memberi makna bahwa hukum harta kekayaan mengatur hubungan hukum, yang dilakukan oleh dua orang...

0 downloads 621 Views 198KB Size
ASPEK-ASPEK HUKUM HARTA KEKAYAAN DAN KAITANNYA DENGAN HARTA AGAMAMENURUT HUKUM PERDATA INDONESIA Oleh: EMK Alidar Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Hukum USU Medan

Abstract In principle, Indonesian Civil Law Code has managed comprehensively all aspects of civil cases involving properties or objects. This study focuses on the ownership of the property (wealth), both private, joint and public property. Specifically, this paper also want to explore the religion’s treasures/property (harta agama) in accordingto Indonesian Civil Law System. The concept of ownership of religious property is specifically not known in the Civil Law Code (KUHPdt). However, the existence of this religious treasure of muslims is implicitly regulated by the Civil Law Code (KUHPdt). A number of regulations in the Civil Law Code acknowledge the existence of religious property and also have been included as a standard concept, for instanceUU No. 11 Tahun 2006 on Aceh Governance, UU No. 48 Tahun 2007 on Rehabilitation and Reconstruction of Aceh and Nias After Tsunami, Zakat Law, WakafLaw, and Indonesian Islamic Compilation (KHI) and variety of other legal regulations.

A. Pendahuluan Harta kekayaan atau harta benda adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, dalam mencapai kesejahteraan hidupnya di dunia dari mulai lahirnya sampai dia meninggal selalu haris didampingi oleh kebutuhan akan harta benda. Karenanya agar kepentingan dan kebutuhan manusia yang satu dengan manusia lainnya akan benda tidak bersinggungan atau bertabrakan satu sama lainnya maka diperlukanlah pengaturannya secara hukum. Hukum harta kekayaan digolongkan ke dalam lapangan hukum perdata, yang lingkup uraiannya mencakup segala aspek menyangkut harta kekayaan atau benda secara komprehensif, mulai dari pengertian harta kekayaan/benda, ciri, sifat, macamnya, pemilikannya, hak-hak yang dapat dilekatkan atasnya, dan lain sebagainya. Tulisan ini akan mencoba menguraikan beberapa aspek tentang harta kekayaan tersebut menurut hukum perdata Indonesia, khususnya dari sudut pandang peraturan perundang-undangan yang mengatur aspek-aspek harta

128

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

129

kekayaan/benda, dengan fokus kajian tentang kepemilikan dan kaitannya dengan harta agama Islam di Indonesia, khususnya di Aceh. B. Objek Kajian Hukum harta Kekayaan Hukum harta kekayaan adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang bernilai uang atau peraturan-peraturan yang mengatur hubungan hukum antara orang dengan benda atau sesuatu yang dapat dinilai dengan uang.1 Pengertian tersebut memberi makna bahwa hukum harta kekayaan mengatur hubungan hukum, yang dilakukan oleh dua orang subjek hukum atau lebih terhadap sesuatu benda/barang atau hak yang dapat dijadikan objek perikatan secara hukum, dimana objek tersebut mempunyai manfaat bagi subjek dan dapat dinilai dengan uang. Akibat dari pengertian yang demikian maka secara tersirat dapat dikatakan bahwa hukum harta kekayaan dalam pembahasannya akan meliputi dua lapangan hukum, yaitu; pertama, lapangan Hukum Benda, yaitu peraturanperaturan hukum yang mengatur hak-hak kebendaan yang bersifat mutlak, artinya hak terhadap benda yang oleh setiap orang wajib diakui dan dihormati. Kedua, lapangan Hukum Perikatan, yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur perhubungan yang bersifat kehartaan antara dua orang atau lebih, dimana pihak pertama berhak atas sesuatu prestasi (pemenuhan sesuatu) dan pihak lain wajib memenuhi sesuatu prestasi.2 Ketentuan di atas secara umum memperlihatkan bahwa hukum harta kekayaan dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: hukum harta kekayaan mutlak, dan hukum harta kekayaan relatif. Hukum harta kekayaan mutlak adalah ketentuan yang mengatur tentang hak-hak kebendaan baik terhadap benda/barang yang berwujud atau yang tidak berwujud (hak immaterial). Hukum harta kekayaan mutlak disebut juga dengan hukum kebendaan, yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara seseorang (subjek hukum) dengan benda (zakelijk recht). Hubungan hukum ini memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang untuk menguasai sesuatu benda di dalam tangan siapapun benda itu berada. Sedangkan hukum harta kekayaan relatif disebut juga dengan hukum perikatan, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan seseorang lainnya yang melahirkan hak perseorangan (persoonelijk recht), yaitu hak yang memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk menuntut seseorang yang lain agar berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. 1

Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta, Kencana, 2008, hlm. 243. 2 CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2000,hlm. 243

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

130

Menurut ilmu hukum, tanda-tanda pokok perbedaan antara hukum harta kekayaan mutlak atau hukum hak kabendaan (zakelijk recht) dengan hukum harta kekayaan relatif (hukum perikatan) atau hukum hak perorangan (persoonelijk recht), adalah sebagai berikut: 1. Hak kebendaan adalah absolut, artinya pemegang hak ini dapat mempertahankan haknya dan menuntut setiap orang yang mengganggu haknya tersebut. Sedangkan hak perorangan itu bersifat relatif, artinya hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitur orang tertentu yang terikat dalam perjanjian saja. 2. Hak kebendaan jangka waktunya tidak terbatas atau berlangsung lama. Sedangkan hak perorangan jangka waktunya terbatas yaitu hanya sampai dengan dilakukannya pemenuhan prestasi oleh debitur, jika prestasi ini telah dilakukan dan dipenuhi debitur dengan sempurna sesuai perjanjian maka berakhirlah hak perorangan tersebut. 3. Hak kebendaan mempunyai droit de suite, artinya hak itu mengikuti bendanya di dalam tangan siapapun benda itu berada. Jika hak kebendaan yang diletakkan atas suatu benda ada beberapa macam maka kekuatan hak tersebut ditentukan oleh urutan waktunya. Sedangkan hak perorangan mempunyai kekuatan yang sama, tanpa memperhatikan saat kelahirannya. 4. Hak kebendaan memberikan wewenang yang luas kepada pemiliknya, hak itu dapat dialihkan, diletakkan sebagai jaminan, disewakan, atau dipergunakan sendiri. Sedangkan hak perorangan memberikan wewenang terbatas kepada pemiliknya. Pemilik hak perorangan hanya dapat menikmati saja apa yang menjadi miliknya, hak ini hanya dapat dialihkan dengan persetujuan pemilik.3 C. Pembagian Hak Atas Harta Kekayaan Pada dasarnya hak atas harta kekayaan atau hak kebendaan dapat dibagi menjadi 2 yaitu; 1 Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan (zakelijk genotsrecht), Yaitu hak dari subjek hukum untuk menikmati suatu benda secara penuh. Hak kebendaan ini dibagi menjadi 2 yaitu: (1) Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas bendanya sendiri, misalnya hak milik atas tanah yang kesemuanya diatur dalam UUPA No. 5 Tahun 1960, dan hakhak atas benda bergerak yang diatur dalam KUH. Perdata seperti hak milik dan bezit.4(2) Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas benda 3

Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Jakarta, Alumni, Cet. 2, 1997, hlm. 30-31. 4 Menurut Pasal 529 KUH. Perdata, yang dimaksud dengan bezit adalah ”kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri, maupun dengan

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

131

milik orang lain, misalnya hak guna usaha, hak guna bangunan, hak sewa, hak memungut hasil dan hak pengelolaan atas tanah yang diatur dalam UUPA No. 5 tahun 1960. Adapun hak yang diatur dalam KUH. Perdata adalah hak atas benda bergerak misalnya, bezit, hak memungut hasil bezit, hak pakai bezit, dan lain-lain. 2 Hak kebendaan yang memberikan jaminan (zakalijk zakerheidsrecht).Yaitu hak kebendaan yang memberikan kepada yang berhak (kreditur) untuk didahulukan mengambil pelunasan dari hasil penjualan barang yang dibebani hak, misalnya hak tanggungan atas tanah dan hak fiducia, sedangkan menurut KUH. Perdata misalnya hak gadai yang meletakkan jaminannya bergerak, hipotek yang meletakkan jaminannya benda-benda tetap dan sebagainya.5 D. Konsep Hak Milik Atas Harta Kekayaan Hak milik bersumber pada kenyataan hidup manusia yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari kebutuhan-kebutuhannya sehari-hari, dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejateraannya masing-masing. Untuk sampai kepada itu semua, tentunya setiap orang harus memiliki harta kekayaan berupa benda dan barang-barang tertentu. Kepemilikan seseorang atas benda ini tentunya dibatasi oleh hukum, agar tidak merugikan orang lain. Menurut ketentuan hukum perdata, hak milik adalah hak terkuat dan paling sempurna atas harta kekayaan, hak milik memberikan kekuasaan kepada setiap orang untuk menikmati sepenuhnya suatu benda dengan sebebasbebasnya, sejauh tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk itu, dan asal tidak mengganggu hak orang lain (Pasal 570 KUH. Perdata). Kepemilikan mempunyai sosok hukum yang lebih jelas dan pasti dibandingkan dengan penguasaan atas benda, dalam penguasaan yang penting adalah seseorang menguasai sesuatu barang secara nyata pada waktu itu, tanpa perlu menunjuk kepada legitimmasi hukum lain kecuali barang itu di tangan seseorang. Sedangkan kepemilikan memerlukan adanya legitimasi, sehingga hubungan antara seseorang dengan objek yang menjadi sasaran kepemilikan perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu”. Dari ketentuan Pasal 529 KUH. Perdata tersebut diketahui bahwa pada dasarnya kedudukan berkuasa atau menguasai memberikan kepada pemegang kedudukan berkuasa tersebut kewenangan untuk mempertahanka atau menikmati benda yang dikuasainya sebagaimna layaknya seorang pemilik. Dengan demikian atas suatu benda yang tidak diketahui pemiliknya secara pasti, seorang pemegang kedudukan berkuasa dapat dianggap sebagai pemilik dari kebendaan tersebut. Kartini Mulyadi & Gunawan Widjaya, Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik Dalam sudut Pandang KUH. Perdata, Jakarta, Prenada Media, 2004, hlm. 138. 5 Salim, HS., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 100.

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

132

terdiri atas suatu komplek hak-hak.6 Kepemilikan adalah suatu hak, bukan suatu barang. Kepemilikan adalah tuntutan yang dapat dipaksakan dan diciptakan oleh negara.7 Prof. Mariam Darus Badrulzaman mengistilahkan hak milik dengan “hak kemilikan”, yaitu hak milik dalam arti umum (luas), tidak terbatas hanya pada hak milik atas benda-benda berwujud, benda bergerak atau tidak bergerak seperti tanah, bangunan, mobil, sepeda dan sebagainya. Akan tetapi mencakup seluruh hak atas benda baik berupa barang ataupun hak, sepanjang hak kemilikan tersebut mempunyai objek yang diperbolehkan hukum, yaitu benda (berwujud dan tidak berwujud).8 Dalam konsep hukum Islam pengertian hak milik yang digambarkan oleh ulama fiqh ada beberapa macam, namun keseluruhan dari definisi tersebut secara esensial dapat dikatakan hampir sama. Untuk itu di sini hanya akan dikemukakan salah satu konsep saja yang dianggap dapat mewakili kesemua definisi tentang hak milik dalam Islam yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahra yaitu: Pengkhususan seseorang terhadap suatu benda yang memungkinkannya untuk bertindak hukum terhadap benda itu (sesuai dengan keinginannya), selama tidak ada halangan syara’.9 Artinya benda yang dikhususkan kepada seseorang itu sepenuhnya berada dalam penguasaannya, karena itu si pemilik harta bebas untuk melakukan perbuatan hukum atas hartanya tersebut, seperti menjual, hibah, wakaf, wasiat, atau meminjamkannya kepada orang lain selama tidak adanya halangan syara’. Contoh halangan syara’ yang dapat membatasi kebebasan pemilik hak atas harta kekayaannya seperti anak-anak yang belum dewasa (baligh), orang gila, orang yang jatuh pailit, sehingga dalam hal-hal tertentu mereka tidak dapat bertindak terhadap harta miliknya sendiri.10 Dari semua pengertian tentang hak milik yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa hak milik mempunyai ciri tersendiri yang berbeda dengan ciri hak lainnya. Menurut P. J. Fitgerald sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum, ciri hak milik adalah sebagai berikut; 1. Pemilik mempunyai hak untuk memiliki barangnya, meskipun dia dalam kenyataannyaa tidak memegang atau menguasai barang itu;

6

Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, Cet. 5., 2000, hlm. 62. 7 C. B. Machperson, Pemikiran Dasar tentang Hak Milik, Jakarta, Yayasan LBH Indonesia, 1978, hlm. 234. 8 Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., Mencari Sistem Hukum..., hlm. 43. 9 Muhammad Abu Zahra, al-Milkiyah wa Nazhariyah al-“aqd fi asy-Syari’ah alIslamiyah, Mesir, Dar al-Fikr al-Arabi, 1962, hlm 15-16 10 Mustafa Ahamad az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqhi al-Am, Jilid III, Damaskus, mathlabi Fata al-Arab, 1965, hlm. 241.

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

133

2. Pemilik mempunyai hak untuk menggunakan hak dan menikmati barang yang dimilikinya secara merdeka; 3. Pemilik mempunyai hak untuk menghabiskan, merusak atau memindahkan/menyerahkan barangnya kepada siapapun yang dikehendakinya; 4. Kepemilikan mempunyai ciri tidak mengenal jangka waktu, oleh karena itu secara teoritis hak milik berlaku untuk selamanya; 5. Kepemilikan mempunyai ciri yang bersifat sisa, maksudnya seorang pemilik bisa memberikan hak kepada orang lain seperti hak sewa misalnya, namun si pemilik tetap memiliki hak atas bendanya itu terdiri dari sisanya sesudah hak-hak itu ia berikan kepada orang-orang lain.11 Sementara Titik Triwulan Tutik menyebutkan bahwa ciri-ciri hak milik antara lain: 1. Merupakan hak pokok terhadap hak-hak kebendaan lain yang bersifat terbatas; 2. Merupakan hak yang paling sempurna; 3. Bersifat tetap, artinya tidak akan lenyap oleh hak kebendaan yang lain. Sedangkan hak kebendaan yang lain dapat lenyap oleh hak milik; dan Merupakan inti dari hak-hak kebendaan.12 E. Landasan Hukum Hak Milik Atas Harta Kekayaan (Benda) Di Indonesia 1 Undang-Undang Dasar 1945 Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, kita dapati bahwa pengakuan terhadap hak milik sudah mendapat tempat tersendiri.Berbeda halnya dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang tidak menyebutkan secara tersurat permasalahan lembaga hak milik ini, kendati secara tersirat sebenarnya hal tersebut ada, yang dapat dijabarkan dari ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Lembaga hak milik dalam UUD 1945 hasil amandemen dimasukkan ke dalam Bab XA tentang hak asasi manusia. Pada Pasal 28H ayat (4) dengan tegas dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Selain itu, UUD 1945 hasil amandemen pada Pasal 28G juga menjamin perlindungan terhadap setiap harta benda atau kekayaan yang dimiliki oleh setiap orang. 11 12

Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Ilmu Hukum, hlm. 64. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Hukum Perdata..., hlm. 164.

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

134

Dengan adanya ketentuan tentang hak milik dan perlindungannya dicantumkan langsung dalam UUD 1945, berarti bahwa hak milik sudah mendapat pengakuan yang sangat kuat dan telah mendapat tempat tersendiri dalam sistem hukum dan perundang-undangan di Indonesia, tidak lagi hanya tersurat dalam peraturan perundang-undangan operasional semata sepertu UUPA Nomor 5 Tahun 1960, UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, atau UU Hak cipta Nomor 19 tahun 2002 saja misalnya. 2 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 Pasal 20 UUPA mengatakan bahwa hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 (Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial). Penjelasan Pasal 20 ini menjelaskan tentang sifat-sifat hak milik yaitu hak yang “terkuat” dan “terpenuh”, yang dapat dipunyai orang atas tanah. Sifat terkuat dan terpenuh ini menjadi pembeda antara hak milik dengan hak-hak lainnya atas tanah. Pemberian sifat yang demikian dalam UUPA tidak berarti bahwa hak itu merupakan “hak yang mutlak” tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat, sebagaimana hak eigendom menurut pengertian yang asli pada masa dulu. Apabila sifat hak milik yang dimaksud UUPA adalah seperti yang dimaksud hak eigendom pada masa lalu, tentu sifat tersebut akan sangat bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata terkuat dan terpenuh itu, bermaksud untuk membedakan hak milik dari hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak lainnya yaitu untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak milik adalah hak yang “ter” (artinya: paling) kuat dan terpenuh dibanding dengan hak-hak atas tanah lainnya.13 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 570 KUH. Perdata mengatakan bahwa hak milik pada umumnya adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkan dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum

13

Prof. Dr. Mariam darus Badrulzaman, S.H., Mencari Sistem Hukum..., hlm. 45.

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

135

berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi. 4 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 UU nomor 19 Tahun 2002 mengakui adanya hak milik atas ciptaan, pengertian yang diberikan oleh undang-undang ini tentang hak cipta dalam Pasal 2 yaitu: “Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Selain itu, dalam Pasal 1 angka 4 juga disebutkan bahwa Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut. Karena hak cipta digolongkan sebagai hak milik, maka hak cipta dapat dialihkan kepemilikan baik seluh atau sebagiannya kepada orang lain, seperti halnya benda pada umumnya. Ketentuan mengenai ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2) yaitu: Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena a. Pewarisan; b. Hibah; c. Wasiat; d. Perjanjian tertulis; atau e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Kiranya penjelasan Pasal-pasal dari UU Hak Cipta di atas dapat memberikan gambaran bahwa hak cipta adalah hak milik intelektual atas benda bergerak. 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga meletakkan ketentuan mengenai harta kekayaan, khususnya menyangkut tentang harta kekayaan anak di bawah perwalian, harta yang diperoleh suami dan isteri selama dalam ikatan perkawinan (harta bersama), dan mengenai harta bawaan atau harta yang diperoleh sebelum perkawinan. Pasal 35 ayat (1) UU No. 1/1974 menyatakan bahwa: Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama. Sementara

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

136

KHI melalui Pasal 85 juga mengakui tentang adanya harta bersama, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami isteri. Terhadap harta bersama ini UU No. 1 /1974 juga menentukan bahwa suami isteri apabila ingin melakukan perbuatan hukum atas harta bersama maka harus mendapat persetujuan dari pihak lainnya (Pasal 35 ayat (2)). Demikian pula KHI menentukan yang demikian dalam Pasal 92. Berikutnya UU No. 1/1974 juga menentukan selain harta bersama, juga dimungkinkan suami isteri mempunyai harta milik masing-masing yang terpisah dari harta bersama dan berada di bawah penguasaan masingmasing. Pasal 35 ayat (2) mengatakan bahwa harta bawaan dari masingmasing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Senada dengan UU No. 1/1974, KHI dalam Pasal 87 ayat (1) juga menyatakan hal yang sama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Selanjutnya KHI dalam Pasal 87 ayat (2) melanjutkan bahwa Suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, shadaqah atau lainnya. Selain itu, UU No. 1/1974 juga mengatur tentang pengurusan harta anak di bawah umur, baik yang berada di bawah kekuasaan orang tua maupun anak yang berada di bawah perwalian, ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat (3) dan (4). Orang tua atau wali juga dilarang untuk melakukan perbuatan hukum seperti memindahkan hak atau menggadaikan harta anak di bawah umur, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya (Pasal 48 dan 52). Wali juga bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya (Pasal 51 ayat (5)). Mengenai hal ini, KHI juga mengaturnya dalam Pasal 110 ayat (1), (2), (3) dan ayat (4), serta dalam Pasal 111 ayat (1). F. Kepemilikan Bersama Menurut Hukum Perdata Sebelumnya telah disinggung sepintas tentang kepemilikan bersama atas benda atau harta kekayaan, yaitu kepemilikan harta bersama dalam perkawinan. Berikutnya di sini akan diuraikan lebih lanjut tentang kepemilikan bersama menurut ketentuan hukum perdata. KUH. Perdata secara konkrit tidak mengatur ketentuan umum mengenai pemilikan bersama, karenanya yang

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

137

dianggap ketentuan umum dalam hal ini adalah ketentuan mengenai pemisahan dan pembagian harta dalam hukum waris. Hak milik bersama terjadi jika lebih dari seorang merupakan pemilik dari suatu benda yang sama. Setiap pemilik peserta memiliki bagian yang tidak dapat dipisahkan dari benda itu. Pasal 573 KUH. Perdata menyatakan bahwa “Membagi suatu kebendaan yang menjadi milik lebih dari satu orang, harus dilakukan menurut aturan-aturan yanmg ditentukan tanggal pemisahan dan pembagian harta peninggalan”. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu benda dapat dimiliki oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, dan jika akan diadakan pemisahan atau pembagian terhadap harta tersebut kepada para pemegang hak milik bersama maka harus dilakukan menurut ketentuanketentuan yang berlaku dalam pemisahan dan pembagian harta peninggalan.14 Dengan penjelasan tersebut kiranya jelaslah bahwa meskipun KUH. Perdata tidak menentukan mengenai harta bersama ini dalam ketentuan umum, atau dalam salah satu pasalnya secara konkrit, namun sebenarnya hal itu ada diatur kendati dalam bentuk yang memerlukan kepada penafsiran atau penalaran lebih lanjut. Selain itu, hukum perdata juga telah menunjukkan beberapa macam bentuk lembaga pemilikan bersama, yang secara ilmiah dan praktiknya dapat diterima dalam pasal-pasalnya, baik dalam hukum kebendaan, hukum perikatan, maupun dalam hukum warisnya. Diantara contoh kepemilikan bersama yang dapat ditemukan dalam KUH. Perdata adalah lembaga pemilikan bersama berikut ini: 1 Yang terjadi karena pembelian bersama; 2 Rumah susun; 3 Warisan yang belum dibagi; 4 Persekutuan/perseroan; 5 Firma; dan 6 Harta benda perkawinan.15 7 Hak milik bersama dapat terjadi melalui perjanjian atau karena undangundang. Hak milik bersama yang muncul dari perjanjian misalnya beberapa orang bersepakat dan menghendaki untuk membeli suatu benda atau barang seperti tanah, toko, gudang, atau lainnya secara bersama-sama (patungan). Untuk menentukan hak masing-masing pihak atas benda yang dibeli bersama tersebut ditentukan secara seimbang dengan jumlah pembayaran harga yang mereka berikan masing-masing untuk membeli benda tersebut. Undang-undang menetapkan bahwa harta warisan menjadi milik bersama dari para ahli waris, 14 15

Ibid., hlm., 54 Ibid., hlm., 55.

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

138

dan milik bersama ini dapat dipisahkan dengan melakukan pembagian warisan tersebut (Pasal 1066 KUH. Perdata). G. Kepemilikan Publik/Negara Atas Benda Menurut Hukum Perdata Kepemilikan harta kekayaan selain hak milik pribadi, baik itu pemilikan perorangan atau pemilikan secara bersama telah diuraikan dalam bahasan sebelumnya. Berikutnya di sini akan dibahas tentang kepemilikan publik atau kepemilikan masyarakat umum secara bersama-sama. Konsep pemilikan publik atau pemilikan umum secara tegas tidak didapati dalam KUH. Perdata, konsep ini dapat ditemukan dalam UndangUndang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960. Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menjelaskan bahwa semua hak apapun atas tanah yang dimiliki seseorang tidak boleh semata-mata digunakan untuk kepentingan pribadinya, namun juga penggunaan tanah tersebut harus memberikan manfaat bagi kepentingan masyarakat dan negara. Di samping itu, tidak boleh dilupakan pula bahwa interpretasi asas fungsi sosial hak atas tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya, sehingga bermanfaat bagi si pemegang hak dan bagi masyarakat, dan bahwa kepentingan perseorangan itu diakui dan dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. 16 Dengan adanya keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan umum, dalam pemanfatan tanah dan harta kekayaan lainnya diharapkan akan tercapai keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat.17 Lebih konkritnya tentang kepentingan umum disebutkan dalam Pasal 7 UUPA No. 5/1960 yaitu “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Kata “kepentingan umum” dalam UUPA ini dapat diartikan sebagai kepentingan seluruh masyarakat, karenanya dapat pula ditafsirkan bahwa apabila tanah atau benda lainnya sudah alihkan kepemilikannya dari milik individu kepada kepentingan umum, berarti tanah atau benda tersebut telah menjadi “milik publik” atau milik masyarakat umum yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan semua masyarakat secara bersama-sama. Kepemilikan publik bila diinterpretasikan lebih jauh, pada dasarnya adalah “milik negara” yang digunakan untuk kepentingan bersama seluruh warga masyarakat (kepentingan umum).

16

Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta, Kompas, 2006, hal. 79 17 Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung, Alumni, 1984, hal 21

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

139

Pada beberapa tahun terakhir ini juga terlihat adanya kecenderungan dalam perumusan peraturan perundang-undangan untuk memperluas makna dan arti keuangan negara sebagai keuangan publik secara keseluruhan.18 Hal ini tercermin setidaknya dalam beberapa produk perundang-undangan misalnya; UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 19 tahun 2003 Tentang badan Usaha Milik Negara, UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan pemeriksaan Keuangan Negara, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas secara gamblang menyebutkan dan mengakui tentang keberadaan hak milik publik, yang pada hakikatnya merupakan milik negara yang digunakan untuk kepentingan publik atau rakyatnya. seperti ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara misalnya mengatakann bahwa keuangan negara adalah: “Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara sehubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. Definisi keuangan negara dalam Pasal 1 UU No. 17/2003 tersebut, dengan jelas menyebutkan tentang adanya harta milik negara yang identik dengan milik publik, meliputi uang maupun barang. Semua harta milik negara tentunya harus digunakan untuk kepentingan umum negara, dan kepentingan umum rakyatnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan. H. Konsepsi Harta Agama Islam Menurut Fiqh dan Hukum Perdata Islam Indonesia Kataal-maldalam bahasa arab bermakna senang, condong atau berpaling dari satu posisi kepada posisi yang lain.19 Sedangkan makna terminologi, menurut Wahbah Zuhaili pengertian yang diberikan Mustafa Ahamd az-Zarqa yang relatif sempurna, karena makna itu sesuai dengan yang

18

Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmaja, S. H., Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara dalam Implikasi Hukumnya Terhadap Risiko Fiskal, dalam Buku “Paradigma Kebijakan Hukum Pasca reformasi” (dalam rangka ultah ke 80 Prof. Solly Lubis), Jakarta, PT. Sofmedia, hlm. 252. 19 A. W. Munawwir,. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997, hal. 1372.

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

140

dimaksudkan Alquran surat Al-Baqarah:29, yakni segala sesuatu yang diciptakan-Nya di bumi adalah untuk dimanfaatkan umat manusia. Secara teknis pembatasan makna harta dapat ditentukan dengan dua cara: berdasarkan‘ainiyah, yaitu harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’yan) dan ‘urufiyah. Secara ’urufiyah, harta adalah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia. Sementara menurut i’ainiyah, manfaat sebuah rumah yang dipelihara seseorang tidak disebut harta, tetapi dinamakan dengan hak. Dalam Alquran, istilah harta (almal/al-amwal) disebutkan dalam 87 ayat. Secara umum penyebutan itu ada tiga tujuan diberikan Allah kepada makhlukNya. Pertama, harta merupakan cobaan Allah kepada manusia dalam menjalan kehidupan (2:155, 34:37, 9:55, 27:36, 9:85, 10:88, 26:88); Kedua, harta sebagai kebutuhan hidup manusia sehari-hari (4:5, 33:27); Ketiga, harta dipergunakan untuk masyarakat, agar tata kehidupan kebersamaan mereka lebih baik (9:41, 49:15, 61:11). Dari ketiga tujuan itu dapat dipahami bahwa harta lebih difungsikan sebagai alat yang presenden bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Artinya, posisi harta dalam kehidupan memiliki wadah pengikat antar individu dalam masyarakat. Oleh karena itu, harta lebih diperuntukkan pada kepentingan sesama manusia daripada kepentingan individu.20 Abi Abdul Qasim ibn Sallam menyebutkan bahwa pada awal Islam harta dibagi kepada tiga kelompok: harta yang diberikan Allah kepada RasulNya (fai’); ghanimah; dan, khumus ( 15 %). Ketiga bentuk harta ini merupakan ketetapan Allah yang memiliki tujuan sebagai wadah membangun kehidupan yang bermartabat di bawah panji-panji Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, kepemilikan harta dibagi kepada tiga macam; pemilikan individu (private property), pemilikan umum (collective property), dan pemilikan negara (state property).21Kepemilikan umum dan negara kemudian menjadi milik bersama (umat). Oleh sebab itu, dua kelompok ini cenderung disatukan. Hanya saja, kepemilikan negara mencakup seluruh masyarakat, sedangkan fasilitas umum kadang-kadang dibatasi pada masyarakat tertentu.22 Harta umat dinamakan juga dengan harta agama, yakni milik Allah yang diberikan kepada umat manusia secara kebersamaan. Peneyebutan harta agama bagi negara Islam dimaknakan dengan harta yang mencakup seluruh 20

Isma’il Muhammad Syah (Ismuha), dkk.Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, hal. 189. 21 Didin Hafidhuddin, Agar Harta Berkah dan Bertambah, Jakarta: Gema Insani, 2007, hal. 21. 22 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2002, hal. 20-30.

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

141

harta yang pemilikannya adalah umat, sementara dalam negara sekuler, harta umat dikelompokkan kepada dua; yang berhubungan dengan agama dinamakan dengan harta agama, dan di luar dari itu dinamakan dengan harta negara.Harta agama itu pengelolaannya dilakukan negara secara adil untuk masyarakat, sehingga mereka dapat memperoleh kebahagiaan dalam kehidupannya. Lembaga yang dijadikan intrumen pengelolaan harta ini untuk dapat dimanfaatkan dan difungsikannya adalah melalui Baitul Mal.23 Menurut al-Mawardi, Baitulmal merupakan tempat mendaftar, mencatat tentang pengumpulan dan penyaluran harta agama. 24Jika dilihat pengertian yang terdapat dalam Dictionary of Islam, Baitul Mal dimaksudkan sebagai perbendaharaan negara yang menerima uang yang dipungut oleh negara Islam dari berbagai sumber.25 Konsepsi harta agama di Indonesia, hanya dikenal sebagai harta bersama yang dimiliki umat Islam melalui Baitul Mal, karenanya harta agama ini hanya digunakan untuk kepentingan agama Islam saja, serta untuk kepentingan umum yang tidak bertentangan dengan syari’at. Untuk melihat lebih jauh tentang konsepsi harta agama yang dikenal di Indonesia, dapat ditelusuri melalui beberapa peraturan hukum perdata Islam yang telah dikeluarkan pemerintah Indonesia. 1 Kompilasi Hukum Islam Indonesia (Inpres No. 1 Tahun 1991) Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI), merupakan tonggak awal diakui dan berlakunya hukum materil Islam khususnya dalam bidang keperdataan tertentu di Indonesia, kendati kedudukan KHI sendiri dalam hirarkhi perundang-undangan di Indonesia sanagat lemah dan sampai saat ini masih terus diperdebatkan. KHI memang tidak secara tegas mendefinisikan dan menyebut tentang harta agama, namun kandungan isi KHI dan menyangkut aturan-aturan mengenai harta umat Islam ada di dalamnya. Sebagai contoh dapat ditilik bunyi Pasal 191 KHI yang menyatakan bahwa ”Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau atau ahli warisnya tidak diketahui ada tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum”. Dari bunyi Pasal 191 KHI tersebut, dapat ditangkap makna bahwa harta agama itu adalah harta umat Islam yang sumbernya dapat dari harta warisan yang tidak ada ahli warisnya, atau dari sumber lain seperti zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah dan lain sebagainya yang dikelola oleh Baitul Mal atau BAZIS. Di mana harta agama tersebut harus dimanfaatkan 23

Didin Hafidhuddin, Agar Harta...hal. 21-23. A. W. Munawwir,. Kamus …, hal. 124. 25 Patrick Thomas Huges, Dictionary of Islam, London, 1964, hal. 35. 24

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

142

untuk kepentingan agama Islam, dan kepentingan masyarakat umum yang tidak bertentangan dengan syara’. Selain itu dalam buku ke III KHI tentang hukum perwakafan, pada Pasal 215 ayat (1) ketentuan umum, juga disebutkan bahwa ”Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam”. Ketentuan ini memperlihatkan bahwa adanya harta atau benda yang dimiliki umat Islam, yang kemudian diserahkan kepada Baitul Mal atau lembaga terkait lainnya dan menjadikannya sebagai harta agama, untuk digunakan demi kepentingan ibadah atau kepentingan umum sesuai ajaran Islam.26 2 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU No. 11 Tahun 2006) Istilah ”harta agama” secara tegas diperkenalkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam Pasal 191 ayat satu disebutkan bahwa ”Zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal kabupaten/kota. Kendati undang-undang ini tidak menjelaskan secara rinci maksud dari istilah harta agama tersebut, namun setidaknya istilah ini telah baku digunakan dalam produk hukum di negeri ini. 3 Fatwa MPU Aceh (Fatwa No. 2 dan 3 Tahun 2005) Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan mengeluarkan Fatwa Nomor 2 Tahun 2005 tanggal 7 Februari 2005, diantara isi fatwa tersebut adalah: ”Tanah dan harta benda yang ditinggalkan korban gempa dan tsunami yang tidak meninggalkan ahli waris, adalah menjadi milik umat Islam melalui Baitul Mal setelah mendapatkan penetapan dari Mahkamah Syar’iyah”. Bunyi butir fatwa tersebut kembali dipertegas dan diulangi dalam Fatwa Nomor 3 Tahun 2005 tanggal 17 April 2005. 4 Perpu Nomor 2 Tahun 2007 yang mejadi UU No. 48 Tahun 2007. Dalam rangka memperlancar proses pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara pasca tsunami, pemerintah pada tahun 2007 telah pula mengeluarkan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang26

Sebelumnya mengenai perwakafan ini telah diatur melalui PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Saat ini mengenai perwakafan ini telah diatur dalam UU No. 41 tentang Wakaf.

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

143

Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 pada tanggal 28 Desember 2007. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2007 juga menyinggung tentang keberadaan harta agama umat Islam ini. Pada Bab III tentang Kepemilikan dan Pengelolaan ahli Tanah, Pasal 8 dinyatakan bahwa: “Tanah yang tidak ada lagi pemilik dan ahli warisnya yang beragama Islam menjadi harta agama dan dikelola oleh Baitul Mal”. 5 Qanun Aceh tentang Baitul Mal (Qanun No. 10 Tahun 2007) Konsepsi yang lebih rinci dan jelas tentang harta agama di Indonesia diberikan oleh Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal. Dalam aturan umum qanun ini, angka 11 disebutkan bahwa ”Baitul Mal adalah lembaga daerah non struktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat”. Harta agama yang dimaksud dalam aturan ini dijelaskan lebih lanjut oleh aturan umum angka 22 Qanun Baitul Mal yaitu: ”Sejumlah kekayaan umat Islam yang bersumber dari zakat, wakaf, hibah, meurasa, harta wasiat, harta warisan, dan lain-lain yang diserahkan kepada Baitul Mal untuk dikelola dikembangkan sesuai dengan ketentuan syari’at”. I. Penutup Dari uraian di atas tergambar bahwa hukum harta kekayaan yang diatur dalam KUH. Perdata Indonesia, pada prinsipnya sudah mencakup segala aspek keperdataan mnyangkut harta kekayaan atau benda. Kajian ini telah memfokuskan diri pada kepemilikan terhadap harta yang di atur dalam KUH. Perdata, baik kepemilikan pribadi, kepemilikan bersama, maupun kepemilikan publik/ masyarakat umum. Konsep mengenai kepemilikan harta agama secara khusus memang tidak dikenal dan diatur oleh KUH. Perdata, namun demikian pada hakikatnya mengakui keberadaan harta agama ini terutama harta agama umat Islam, sebagai sebuah bentuk kepemilikan publik/ kepemilikan umum dari umat Islam Indonesia. Berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir setelah KUH. Perdata, telah mengakui tentang adanya harta agama, dan telah pula dimasukkan sebagai konsep baku di dalamnya, seperti UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU No. 48 Tahun 2007 tentang Rehabilitasi dan

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

144

Rekonstruksi Aceh dan Nias Pasca Tsunami, UU Zakat, UU Wakaf, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, dan berbagai peraturan hukum lainnya. Kiranya konsep harta agama yang telah mendapat tempat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ini, terus dapat dikembangkan sehingga melingkupi segala aspeknya secara keperdataan. Hal ini penting dilakukan dalam rangka memantapkan keberadaan dan keberhasilan politik hukum Islam di Indonesia di masa datang, sehingga keberadaan harta agama ini kemudian hari dapat lebih bermanfaat dan terlindungi dengan baik.

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

145

DAFTAR PUSTAKA Arifin P. Soeria Atmaja, Prof. Dr. S. H., Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara dalam Implikasi Hukumnya Terhadap Risiko Fiskal, dalam Buku “Paradigma Kebijakan Hukum Pasca reformasi” (Dalam Rangka Ultah ke 80 Prof. Solly Lubis), Jakarta: 2010, PT. Sofmedia. A. W. Munawwir,.Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap, Surabaya, 1997: Pustaka Progresif. CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, 2000: Balai Pustaka. C. B. Machperson, Pemikiran Dasar tentang Hak Milik, Jakarta, 1978: Yayasan LBH Indonesia. Didin Hafidhuddin, Agar Harta Berkah dan Bertambah, Jakarta, 2007: Gema Insani, 2007, Isma’il Muhammad Syah (Ismuha), dkk., Filsafat Hukum Islam, Jakarta: 1999, Bumi Aksara. Kartini Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: 2002, Raja GrafindoPersada. Mulyadi & Gunawan Widjaya, Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik Dalam sudut Pandang KUH. Perdata, Jakarta: 2004, Prenada Media. Mariam darus Badrulzaman, Prof. Dr. S.H., Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Jakarta; 1997, Cet. 2, Alumni. Muhammad Abu Zahra, al-Milkiyah wa Nazhariyah al-“aqd fi asy-Syari’ah alIslamiyah, Mesir: 1962, Dar al-Fikr al-Arabi. Mustafa Ahamad az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqhi al-Am, Jilid III, Damaskus: 1965, Mathlabi Fata al-Arab. Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta: 2006, Kompas. Patrick Thomas Huges, Dictionary of Islam, London: 1964. Salim, HS.,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: tt., Sinar Grafika. Satjipto Rahardjo, Prof. Dr. S.H., Ilmu Hukum, Bandung: 2000, Cet. 5, Citra Aditya Bakti. Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: 1984, Alumni. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: 2008, Kencana.

EMK Alidar Aspek-Aspek Hukum Harta Kekayaan dan Kaitannya dengan Harta Agama Menurut . . .

146