BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis

strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 ... manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitori...

66 downloads 547 Views 606KB Size
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis 2.1.1. Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4). Sejak tahun 1969 pengendalian dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar Isonoazid (INH), Asam Para Amino Salisilat (PAS) dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Asam Para Amino Salisilat (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Ethambutol selama 6 bulan. Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh Fasilitas pelayanan kesehatan terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. Menurut laporan WHO (2009), Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria (ppti.info, 2012). Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan, setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan kematian 62.246 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk.

10 Universitas Sumatera Utara

11

Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi sakit TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan factor resiko utama bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas system daya tahan tubuh seluler (cellular immunity). Jika terjadi infeksi penyerta (opportunistic) seperti tuberkulosis, pasien akan menjadi sakit parah bahkan bias mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang yang terinfeksi HIV meningkat, maka pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula. Menurut WHO (2009), prevalensi HIV pada kelompok TB di Indonesia sekitar 2.8%. Kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance) diantara kasus TB baru sebesar 2%, sementara MDR diantara kasus pengobatan ulang sebesar 20% (Kemenkes RI, 2011). Hasil Survei Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1) wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4% setiap tahunnya.

Universitas Sumatera Utara

12

Sampai tahun 2009, keterlibatan dalam program Pengendalian TB dengan Strategi DOTS meliputi 98% Puskesmas, sementara rumah sakit umum, Balai Kesehatan Paru Masyarakat mencapai sekitar 50%. 2.1.2. Tujuan dan Sasaran Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia Pengendalian tuberkulosis di Indonesia bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Sasaran strategi nasional pengendalian TB ini mengacu pada rencana strategis kementerian kesehatan dari 2009 sampai dengan tahun 2014 yaitu menurunkan prevalensi TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000

penduduk.

Sasaran keluaran adalah: (1) meningkatkan prosentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari 73% menjadi 90%; (2) meningkatkan prosentase keberhasilan pengobatan kasus baru TB paru (BTA positif) mencapai 88%; (3) meningkatkan prosentase provinsi dengan CDR di atas 70% mencapai 50%; (4) meningkatkan prosentase provinsi dengan keberhasilan pengobatan di atas 85% dari 80% menjadi 88%. 2.1.3. Kebijakan Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia Pengendalian TB

di

Indonesia

dilaksanakan

sesuai

dengan

azas

desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).

Universitas Sumatera Utara

13

Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS dan memperhatikan strategi Global Stop TB partnership. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program pengendalian TB. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya MDR-TB. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah Balai/Klinik Pengobatan, Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas kesehatan lainnya. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB). Peningkatan kemampuan laboratorium di berbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma dan dikelola dengan manajemen logistik yang efektif demi menjamin ketersediaannya. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya terhadap TB. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam Millenium Development Goals (MDGs).

Universitas Sumatera Utara

14

2.1.4. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014 Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi, antara lain : a.

Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu

b.

Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya

c.

Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private Mix dan menjamin kepatuhan terhadap International Standards for TB Care.

d.

Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.

e.

Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program pengendalian TB

f.

Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB

g.

Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.

2.1.5

Organisasi Pelaksanaan Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia Organisasi pelaksanaan strategi nasional pengendalian TB di Indonesia dilihat

melalui aspek manajemen program antara lain : a.

Tingkat Pusat Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan RI sebagai

Universitas Sumatera Utara

15

penanggung jawab teknis upaya pengendalian TB. Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq. Sub Direktorat Tuberkulosis. b.

Tingkat Propinsi Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan Propinsi.

c.

Tingkat Kabupaten/Kota Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten/kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Tatalaksana pasien TB dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit,

BP4/Klinik dan Dokter Praktek Swasta. a. Puskesmas Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS). Pada keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan sputum BTA.

Universitas Sumatera Utara

16

b. Rumah Sakit Rumah Sakit Umum, Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM), dan klinik lainnya dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana pasien TB. c. Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas layanan lainnya. Secara umum konsep pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS sama dengan pelaksanaan pada rumah sakit dan Balai Pengobatan (klinik) (KemenKes RI, 2011).

2.2 Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit Pelayanan TB menggunakan strategi DOTS disediakan dan diberikan kepada pasien sesuai dengan ilmu pengetahuan kedokteran mutakhir dan standar yang telah disepakati oleh seluruh organisasi profesi di dunia, serta memanfaatkan kemampuan dan fasilitas rumah sakit secara optimal. Tujuan pelayanan TB dengan strategi DOTS di rumah sakit adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan medis TB di rumah sakit melalui penerapan strategi DOTS secara optimal dengan mengupayakan kesembuhan dan pemulihan pasien melalui prosedur dan tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan serta memenuhi etika kedokteran. 2.2.1

Kriteria Pelayanan TB dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit Setiap pelayanan TB dengan strategi DOTS bagi pasien TB harus berdasarkan

standar pelayanan yang telah ditetapkan oleh Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional.

Universitas Sumatera Utara

17

Setiap pelayanan TB berdasarkan International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) atau Standar Diagnosis, Pengobatan dan Tanggung Jawab kesehatan Masyarakat. (KemenKes RI,2010). 2.2.2

Administrasi dan Pengelolaan Pelayanan TB dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/2009 tentang Pedoman

Nasional Penanggulangan Tuberkulosis mengamanatkan bahwa penanggulangan terhadap TB merupakan program nasional yang wajib dilakukan oleh setiap institusi pelayanan kesehatan dan menjadi dasar bagi semua pelaksanaan penanganan TB. Mengingat pelaksanaan pelayanan TB di rumah sakit sangat rumit dengan keterlibatan berbagai disiplin ilmu kedokteran serta penunjang medik, baik di poliklinik maupun bangsal bagi pasien rawat jalan dan rawat inap serta rujukan pasien dan spesimen. Maka dalam pengelolaan TB di rumah sakit dibutuhkan manajemen tersendiri dengan dibentuknya Tim DOTS di Rumah Sakit. Tim DOTS di Rumah Sakit dipimpin oleh seorang Direktur/Wakil Direktur berfungsi sebagai administrator, yang berfungsi sebagai : a. Membuat kebijakan dan melaksanakannya. b. Mengintegrasikan, merencanakan, dan mengkoordinasikan pelayanan. c. Melaksanakan pengembangan staf dan pendidikan/pelatihan. d. Melakukan pengawasan terhadap penerapan standar pelayanan medis/kedokteran termasuk medicolegal.

Universitas Sumatera Utara

18

e. Berkoordinasi dengan Komite Medik untuk memfasilitasi implemantasi etika kedokteran dan mutu profesi, penetapan Standar Pelayanan Medis dan Standar Pelayanan Operasional. f. Membentuk Tim DOTS yang dipimpin oleh Ketua/pimpinan yang berfungsi : Pengatur administrasi, pengatur pengembangan staf, pengawas kualitas pelayanan agar sesuai dengan standar pelayanan medis, pengawas bahwa penanganan pasien TB di rumah sakit menggunakan strategi DOTS dan jejaring internal berjalan optimal serta aktif melaksanakan jejaring eksternal, pengawas bahwa pencatatan dan pelaporan baik kepada Direktur maupun Dinas Kesehatan/Kota semuanya terlaksana dengan benar dan tepat waktu. 2.2.3

Staf dan Pimpinan Penempatan penetapan, hak dan kewajiban staf medis untuk pelayanan TB

dengan strategi DOTS oleh pimpinan rumah sakit. Terdapat pengorganisasian kelompok Staf Medis Fungsional (SMF) berasal dari unit terkait dengan pasien TB dalam wadah fungsional yaitu Tim DOTS. Tim DOTS mempunyai uraian tugas, fungsi dan kewajiban yang jelas. Staf medis dalam Tim DOTS berperan aktif dalam membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) bagi pelayanan pasien TB. Adapun kriteria staf dan pimpinan antara lain : a. Pimpinan rumah sakit membentuk Tim DOTS sebagai wadah khusus dalam pengelolaan pasien TB di rumah sakit. b. Pembentukan Tim DOTS di rumah sakit bersifat fungsional ditetapkan melalui surat keputusan direktur rumah sakit.

Universitas Sumatera Utara

19

c. Tim DOTS di rumah sakit berada di bawah koordinasi Direktur/Wakil Direktur Pelayanan Medik. Tugas, fungsi, serta wewenang Tim DOTS di rumah sakit ditetapkan berdasarkan kompetensi dan diatur sebagai berikut: a. Ketua Tim DOTS adalah seorang dokter spesialis paru atau penyakit dalam atau dokter spesialis atau dokter umum yang bersertifikat Pelatihan Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit (PPTS DOTS). b. Ketua Tim DOTS merangkap sebagai anggota, dimana anggotanya terdiri dari SMF Paru, SMF Penyakit Dalam, SMF Kesehatan Anak, SMF Lainnya bila ada (Bedah, Obgyn, Kulit dan Kelamin, Saraf, dll), Instalasi Laboratorium (PA, PK, Mikro), Instalasi Farmasi, perawat rawat inap dan perawat rawat jalan terlatih, petugas pencatatan dan pelaporan, serta petugas Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS). 2.2.4

Standar Ketenagaan Pelayanan TB dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit Standar ketenagaan pelayanan TB dengan strategi DOTS di Rumah Sakit

antara lain : a. Rumah Sakit Umum Pemerintah 1) RS Kelas A : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter, 3 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium 2) RS Kelas B : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter, 3 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium

Universitas Sumatera Utara

20

3) RS Kelas C : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 4 dokter, 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium 4) RS Kelas D : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 2 dokter, 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium b. Rumah Sakit Swasta : menyesuaikan. c. Dokter Praktek Swasta : minimal telah dilatih. Apabila rumah sakit tidak dapat membentuk Tim DOTS karena keterbatasan tenaga profesional, maka paling sedikit ada 3 orang staf rumah sakit yang menjalankan tugas untuk mengkoordinir pelaksanaan strategi DOTS di rumah sakit, yaitu : seorang Dokter, seorang Perawat (paramedis), seorang Petugas Laboratorium (Kemenkes RI, 2010). Dokter ataupun Dokter Spesialis bertugas untuk melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik pada pasien, penegakkan diagnosa hingga pemberian obat, juga memberikan penjelasan (edukasi dan informasi) mengenai TB dan pentingnya kepatuhan minum obat. Perawat (paramedis) bertugas untuk memberikan obat setelah diagnosis ditegakkan oleh dokter, memberikan penjelasan (edukasi dan informasi) mengenai TB dan pentingnya kepatuhan minum obat, juga melakukan pencatatan dan pelaporan. Petugas laboratorium bertugas memeriksa sputum pasien TB dan melakukan pencatatan dan pelaporan. Ketiga petugas tersebut di atas harus bersertifikat Pelatihan Pelayanan Tuberkulosis Dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit.

Universitas Sumatera Utara

21

Tugas Tim DOTS di rumah sakit adalah menjamin terselenggaranya pelayanan TB dengan membentuk unit DOTS di rumah sakit sesuai dengan strategi DOTS termasuk sistem jejaring internal dan eksternal (KemenKes RI, 2011). Petugas TB rumah sakit di Medan yang telah dilatih oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara harus melakukan pencatatan sesuai dengan standar operasional yang ada dan memberikan pelaporan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan mengenai perkembangan kasus TB yang terdapat di rumah sakit tersebut. Halhal yang harus dilaporkan dari rumah sakit kepada Dinas Kesehatan Kota Medan tersebut antara lain : a. Jumlah pasien TB secara keseluruhan (kasus TB BTA +/-) b. Apakah strategi DOTS di rumah sakit tersebut berjalan atau tidak, dengan melihat jumlah pasien yang sembuh (angka kesembuhan dan keberhasilan pengobatan), jumlah pasien yang putus obat (drop-out), jumlah pasien konversi. c. Hasil laboratorium Petugas

TB

rumah

sakit

harus

aktif

melakukan

semua

kegiatan

penanggulangan TB sesuai dengan strategi DOTS. Semua kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan materi saat pelatihan program penanggulangan TB yang sudah diberikan dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara pada saat pelatihan. Menurut Dinas Kesehatan Kota Medan, indikator keaktifan petugas TB rumah sakit dilihat dari:

Universitas Sumatera Utara

22

a. Pelaporan yang harus tepat waktu b. Seluruh pemeriksaan dan pengobatan TB harus sesuai dengan tahapan strategi DOTS c. Tidak ada pasien yang putus obat (drop-out) Apabila petugas TB rumah sakit tidak memberikan laporan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan maka dapat dikatakan petugas TB tersebut belum bekerja secara maksimal dalam melaksanakan program HDL walaupun petugas TB rumah sakit tersebut telah melakukan pemeriksaan dan pengobatan TB sesuai dengan tahapan strategi DOTS. Selain petugas TB rumah sakit, Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara juga melatih supervisor untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan program HDL. Untuk tingkat Kabupaten/Kota, kriteria supervisor tersebut adalah : a. Supervisor terlatih pada Dinas Kesehatan. b. Jumlah tergantung beban kerja yang secara umun ditentukan jumlah puskesmas, RS dan fasyankes lain di wilayah kerjanya serta tingkat kesulitan wilayahnya. Secara umum seorang supervisor membawahi 10-20 Fasyankes. c. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 Fasyankes dapat memiliki lebih dari seorang supervisor.

Universitas Sumatera Utara

23

Tabel 2.1. Uraian Tugas Program TB untuk Petugas di Rumah Sakit No

Uraian Tugas

1

MENEMUKAN PENDERITA : a. Memberikan penyuluhan tentang TB kepada pasien TB, keluarga dan PMO b. Menjaring suspek (penderita tersangka) TB c. Mengumpul dahak untuk pemeriksaan pasien TB d. mengisi buku daftar suspek Form TB.06 e. Membuat sediaan hapus dahak. f. Mewarnai dan membaca sediaan dahak, mengirim balik hasil bacaan, mengisi buku register laboratorium (TB.04), dan menyimpan sediaan untuk di cross check g. Menegakkan diagnosis TB sesuai protap h. Membuat klasifikasi/tipe penderita i. Mengisi kartu penderita (Form TB.01) dan kartu identitas penderita (Form TB.02) j. Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA positif k. Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TB yang ditemukan MEMBERIKAN PENGOBATAN : a. Menetapkan jenis paduan obat b. Memberikan obat tahap intensif dan tahap lanjutan c. Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita (Form TB.01) d. Menentukan PMO bersama penderita e. Memberikan KIE (penyuluhan) pada penderita, keluarga dan PMO

2

Dokter

Paramedis

X

X

X

X

Petugas Lab

X X

X X X

X X X

X X

X

X X

X X

X

X X

Universitas Sumatera Utara

24

Tabel 2.1. (Lanjutan) No

Uraian Tugas f. Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan g. Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara penanganannya h. Menentukan hasil pengobatan i. Mencatat hasil pengobatan di kartu penderita

PENANGANAN LOGISTIK : a. Menjamin tersedianya OAT di RS b. Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formulir, reagens, dll) 4 PENGELOLAAN LABORATORIUM : a. Memelihara mikroskop dan alat laboratorium lainnya b. Menangani limbah laboratorium c. Melaksanakan prosedur keamanan dan keselamatan kerja 5 JAGA MUTU PELAKSANAAN SEMUA KEGIATAN No. 1 s/d 4 Sumber : Kemenkes RI, 2011

Dokter

Paramedis X

X

Petugas Lab X

X

X X

3

2.2.5

X X

X

X X X X

Pelatihan Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan

keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan mutu dan kinerja petugas. Konsep pelatihan dalam program TB, terdiri dari : a. Pendidikan/pelatihan sebelum bertugas (pre service training) Dengan memasukkan materi program penanggulangan tuberkulosis strategi DOTS dalam pembelajaran/kurikulum Institusi pendidikan tenaga kesehatan (Fakultas Kedokteran, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Farmasi dan lain-lain).

Universitas Sumatera Utara

25

b. Pelatihan dalam tugas (in service training) Dapat berupa aspek klinis maupun aspek manajemen program : (1) Pelatihan dasar program TB (initial training in basic DOTS implementation) yang terdiri dari pelatihan penuh, pelatihan ulangan (retraining), pelatihan formal (yang dilakukan terhadap peserta yang telah mengikuti pelatihan sebelumnya tapi masih ditemukan banyak masalah dalam kinerjanya dan tidak cukup hanya dilakukan melalui supervisi), dan pelatihan penyegaran (pelatihan untuk peserta yang telah mengikuti pelatihan sebelumnya minimal 5 tahun); (2) Pelatihan lanjutan (continued

training/advanced

training)

:

pelatihan

untuk

mendapatkan

pengetahuan dan keterampilan program yang lebih tinggi. Materi berbeda dengan pelatihan dasar. Evaluasi pelatihan adalah proses penilaian secara sistematis untuk menentukan apakah tujuan pelatihan telah tercapai atau tidak, untuk menentukan mutu pelatihan yang dilaksanakan dan untuk meningkatkan mutu pelatihan yang akan mendatang. Demikian pentingnya evaluasi pelatihan maka pelaksanaanya harus terintegrasi dengan proses pelatihan. Jenis dan tahap evaluasi pelatihan : a. Selama pelatihan, terdiri dari : evaluasi reaksi dan evaluasi pembelajaran. Evaluasi ini menilai penyelenggaraan pelatihan, peserta, fasilitator, materi dan metode pembelajaran.

Universitas Sumatera Utara

26

b. Paska pelatihan, terdiri dari : (1) Evaluasi kinerja, menilai kompetensi dan kinerja ditempat tugas. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan supervisi dan dilakukan setidaknya setelah 3-6 bulan setelah mengikuti pelatihan; (2) Evaluasi dampak, menilai dampak pelatihan terhadap tujuan program/organisasi, dilakukan sesuai dengan kebutuhan dapat dilakukan melalui penelitian operasional. Materi-materi yang diberikan saat pelatihan tatalaksana TB antara lain mengenai : (1) program pengendalian TB; (2) penemuan dan pengobatan TB; (3) komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) TB; (4) logistik program pengendalian TB di Fasyankes; (5) pencegahan dan pengendalian infeksi TB; (6) jejaring program pengendalian TB; (7) monitoring dan evaluasi program pengendalian TB. 2.2.6

Supervisi Supervisi adalah kegiatan yang sistematis untuk meningkatkan kinerja petugas

dengan mempertahankan kompetensi dan motivasi petugas yang dilakukan secara langsung. Kegiatan yang dilakukan selama supervisi adalah observasi, diskusi, bantuan teknis, bersama-sama mendiskusikan permasalahan yang ditemukan, mencari pemecahan permasalahan bersama-sama, memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran perbaikan. Supervisi merupakan salah satu kegiatan pokok dari manajemen. Kegiatan supervisi ini erat hubungannya dengan kegiatan “monitoring langsung”, sedangkan monitoring dapat dikatakan sebagai “supervisi tidak langsung”.

Universitas Sumatera Utara

27

Tujuan supervisi untuk meningkatkan kinerja petugas, melalui suatu proses yang sistematis dengan peningkatan pengetahuan petugas, peningkatan keterampilan petugas, perbaikan sikap petugas dalam bekerja, peningkatan motivasi petugas. Supervisi selain merupakan monitoring langsung, juga merupakan kegiatan lanjutan pelatihan. Melalui supervisi dapat diketahui bagaimana petugas yang sudah dilatih tersebut menerapkan semua pengetahuan dan keterampilannya. Selain itu supervisi dapat juga berupa suatu proses pendidikan dan pelatihan berkelanjutan dalam bentuk on the job training. Supervisi harus dilaksanakan di semua tingkat dan di semua unit pelaksana, karena dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik tentang kinerja harus selalu diberikan untuk memberikan dorongan semangat kerja. Supervisi merupakan kegiatan monitoring langsung dan kegiatan pembinaan untuk mempertahankan kompetensi standar melalui on job training. Supervisi juga dapat dimanfaatkan sebagai evaluasi pasca pelatihan untuk bahan masukan perbaikan pelatihan yang akan datang. Supervisi juga untuk mengevaluasi ketercukupan sumber daya selain tenaga, misalnya : OAT, mikroskopik dan logistik, maupun non OAT lainnya. Agar supervisi efektif dan mencapai tujuannya, maka supervisi harus direncanakan dengan baik. Supervisi harus dilaksanakan secara rutin dan teratur pada semua tingkat. Seperti supervisi ke Fayankes dan ke kabupaten/kota dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali. Sedangkan supervisi ke propinsi dilaksanakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.

Universitas Sumatera Utara

28

2.3 Kinerja 2.3.1. Pengertian Kinerja Kinerja berasal dari pengertian performance. Performance ialah hasil kerja atau prestasi kerja. Namun, sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja, tetapi termasuk berlangsungnya proses pekerjaan. Menurut Stolovitch dan Keeps (1992) yang dikutip oleh Rivai (2005) kinerja merupakan merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta. Untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Menurut Robbin (1996) dalam Rivai (2005) pencapaian tujuan yang telah ditetapkan merupakan salah satu tolak ukur kinerja individu. Ada tiga kriteria dalam melakukan penilaian kinerja individu, yakni : (a) tugas individu ; (b) perilaku individu ; (c) ciri individu. (Rivai, 2005) Menurut Mangkunegara (2009) kinerja merupakan suatu prestasi kerja ataupun hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai karyawan dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pada hakikatnya kinerja merupakan prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya atau pekerjaannya sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan untuk pekerjaan itu.

Universitas Sumatera Utara

29

2.3.2. Penilaian Kinerja Penilaian kinerja merupakan kajian sistematis tentang kondisi kerja karyawan yang dilaksanakan secara formal yang dikaitkan dengan standar kerja yang telah ditentukan perusahaan. Selain itu, kinerja sebagai suatu sistem pengukuran, dan evaluasi, memengaruhi atribut-atribut yang berhubungan dengan pekerjaan karyawan, perilaku dan keluaran, dan tingkat absensi untuk mengetahui tingkat kinerja karyawan, perilaku dan kelaran, dan tingkat absensi untuk mengetahui tingkat kinerja karyawan pada saat ini. Penilaian kinerja merupakan analisis dan interpretasi keberhasilan atau kegagalan pencapaian kinerja. Penilaian sebaiknya dikaitkan dengan sumber daya (input) yang berada di bawah wewenangnya seperti SDM, dana/keuangan, saranaprasarana, metode kerja dan hal lain yang berkaitan. Tujuannya adalah agar dapat diketahui dengan pasti apakah pencapaian kinerja yang tidak sesuai (kegagalan) disebabkan oleh faktor input yang kurang mendukung atau kegagalan pihak manajemen. (Rivai, 2005) Menurut Ilyas (2001) yang dikutip oleh Munawaroh (2012) pada hakikatnya penilaian kinerja merupakan suatu evaluasi terhadap penampilan kerja personel dengan membandingkannya dengan standar baku penampilan. Dengan melakukan penilaian demikian, seorang pemimpin akan menggunakan uraian-uraian pekerjaan sebagai tolak ukur. Bila pekerjaan sesuai dengan uraian pekerjaan berarti pekerjaan itu berhasil dilaksanakan dengan baik, bila hasilnya dibawah uraian pekerjaan berarti pelaksanaan pekerjaan tersebut kurang.

Universitas Sumatera Utara

30

Menurut Mangkunegara (2009) tujuan penilaian kinerja adalah : a. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi, pemberhentian dan besarnya balas jasa. b. Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya. c. Sebagai dasar untuk mengevaluasikan efektifitas seluruh kegiatan dalam perusahaan. d. Sebagai dasar untuk mengevaluasikan program latihan dan keefektifan jadwal kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan. e. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang berada di dalam organisasi. f. Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai performance yang baik. g. Sebagai alat untuk dapat melihat kekurangan atau kelemahan dan meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya. h. Sebagai kriteria menentukan, seleksi dan penempatan karyawan. i. Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan. j. Sebagai dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job description).

Universitas Sumatera Utara

31

2.3.3. Metode Penilaian Kinerja Menurut Rivai (2005) metode penilaian kinerja adalah sebagai berikut : a. Metode Penilaian Subjektif Beberapa teknik yang dapat digunakan dalam system penilaian kinerja subjektif antara lain adalah sebagai berikut : 1) Alphabetical/Numerial rating Dalam metode ini, penilai diminta untuk merating/member peringkat karyawan-karyawan dengan menggunakan angka yang mempunyai bobot yang berbeda. Faktor yang dinilai antara lain : a) Kualitas dan kuantitas pekerjaan b) Pengetahuan tentang pekerjaan c) Kemampuan dalam memecahkan masalah Skala peringkat misalnya dengan menggunakan angka 1 sampai 5, atau A sampai E yang menunjukkanperbedaan antara kinerja yang lebih baik dan yang lebih buruk. Kelebihan dari metode ini adalah mudah dimengerti dan digunakan. Sementara itu, kekurangannya adalah terkena bias. 2) Forced Choise Rating Index Pada metode ini penilai diminta untuk membuat kata sifat atau ungkapan-ungkapan yang dapat menggambarkan tentang kinerja karyawan yang dinilai. Dalam hal ini, penilai hanya memilih salah satu dari dua pernyataan yang dianggap sesuai atau mendekati kinerja karyawan yang dinilai.

Universitas Sumatera Utara

32

3) Personality Trait Rating Metode ini terdiri dari lima atau enam poin kualitas personal dan karakteristik kepribadian seperti : keyakinan diri (confidence), antusiasisme (enthusiasm), kedewasaan (maturity), (steadiness under preasure), initiative dan lain-lain. Penilai diminta untuk memilih salah satu angka yang menggambarkan kepribadian seseorang tersebut. 4) Graphic Rating Scale Metode ini menggunakan skala grafik yang memberikan gambaran mulai dari kinerja tertinggi sampai terendah. Penilai diminta memberikan tanda pada grafik skala tersebut sesuai dengan karyawan yang dinilai. Metode ini disamping mudah dipahami dan digunakan juga dapat menghindari penempatan karyawan pada kategori yang spesifik (baik atau bagus). Namun, rater bias, dan central tendency masih mungkin terjadi. Disamping itu, sulit untuk menginterpretasikan skala tersebut. 5) Forced Distribution Metode ini dapat menghindari masalah-masalah seperti central tendency yang terlalu longgar atau terlalu ketat, namun kinerja kelompok mungkin tidak sesuai dengan pola normal. Selain itu metode ini sulit diterapkan jika jumlah karyawan yang akan dinilai terlalu sedikit. 6) Ranking Metode ini adalah metode yang paling sederhana. Penilaian hanya mengurutkan karyawan berdasarkan peringkat atau rangking mulai dari yang mempunyai kinerja yang baik sampai pada kinerja yang paling jelek.

Universitas Sumatera Utara

33

Metode ini selain mudah digunakan juga memaksa penilai untuk membedakan antara tingkat-tingkat kinerja karyawan yang berbeda. Akan tetapi kelompok yang ada mungkin tidak dapat memenuhi distribusi yang diatur, misalnya karyawan yang berada dibawah atau diatas rata-rata. 7) Paired Comparisons Metode ini, penilai diminta untuk membandingkan seorang karyawan denngan karyawan lainnya, kemudian dinilai apakah kinerjanya lebih tinggi atau lebih rendah dari karyawan lain. Dengan

menggunakan

metode

ini,

penilai

dituntut

untuk

membandingkan kekuatan dan kelemahan dari para karyawan. Namun demikian metode ini tidak memungkinkan perbandingan yang mudah antara klompok-kelompok pekerja yang berbeda. Disamping itu, metode ini tidak dapat memberikan umpan balik yang jelas kepada karyawan untuk meningkatkan kinerja dimasa yang akan dating. Dan kelemahan ini adalah penilai merasa enggan membuat perbandingan diantara para karyawan. b. Metode Penilaian Objektif Penilaian kinerja objektif dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode atau teknik. Beberapa teknik yang dapat digunakan dalam sistem penilaian kinerja objektif adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

34

1) Free Written Report Free written report disebut juga sebagai metode esai atau metode karangan. Penilai memberikan pendapat tentang kinerja masing-masing karyawan dalam bentuk tulisan atau karangan yang menunjukkan kriteria yang dianggap sesuai atau cocok dengan karyawan yang dinilai. Penilai harus memberikan komentar tentang kinerja masa lalu karyawan dan peningkatan atau target baru untuk masa yang akan datang. Keuntungan dari metode ini adalah dapat menghasilkan pendapat yang berguna bagi kinerja saat ini dan potensi dimasa yang akan datang. Namun dengan metode ini perbandingan antara individu mungkin sulit dihasilkan. 2) Controlled Written Report Metode ini mirip dengan metode free written report, namun lebih terarah karena adanya heading dalam dokumen penilaian yang mengarahkan komentar penilai. Metode ini menuntut penilai untuk memikirkan dengan seksama kinerja seorang karyawan yang dapat berguna bagi kinerja masa kini dan masa akan datang. 3) Critical Incident Technique Dalam hal ini penilai diminta untuk mencatat kedua sisi kinerja, baik yang positif maupun yang negatif dari karyawan. Melalui metode ini, penilai dituntut untuk berpikir secara seksama mengenai kinerja tiap karyawan. Metode ini membutuhkan pengawasan secara dekat yang kadang berlebihan dan dapat menimbulkan kebencian karyawan serta pengenduran semangat kerja.

Universitas Sumatera Utara

35

4) Result Oriented Scheme Metode ini berorientasi pada hasik yang ingin dicapai yang lebih menekankan kinerja daripada kepribadian. Dalam melakukan penilaian, terdapat kemungkinan kecil untuk dipengaruhi oleh sudut pandang subjek dari penilai.

Disampimg

dapat

mendorong

diskusi

terbuka

dalam

memfformulasikan saran-saran, juga memberikan umpan balik terhadap peningkatan kinerja dimasa yang akan datang. 5) Self Appraisal Metode ini melibatkan karyawan dalam proses penilaian tentang kinerja masing-masing. Metode ini dapat mendorong karyawan untuk memikirkan masalah pekerjaan dan kinerja sehingga dapat memberikan umpan balik yang positif terhadap penningkatan dimasa yang akan datang. 6) Behaviourally Anchored Rating Scales (BARS) Walaupun belum digunakan secara luas, metode ini memiliki kelebihan yang dapat diperhitungkan dalam mengatasi masalah yang biasanya muncul apabila kita ingin mengkarakteristik skala penilaian konvensional alfabetik/numerik. BARS membutuhkan formulir penilaian yang secara khusus dirancang bagi tiap kelompok pekerjaan. c. Metode Penilaian Kinerja Yang Berorientasi Masa Lalu Metode penilaian kinerja berorientasi masa lalu (past oriented evaluation methods) dilakukan berdasarkan kinerja masa lalu.

Universitas Sumatera Utara

36

Keuntungan dari metode ini adalah dapat dijadikan umpan balik (feed back) yang dapat mengarahkan usaha untuk peningkatan kinerja. Dalam praktiknya, sebagaimana diuraikan di atas ada beberapa metode untuk mengevaluasi kinerja di waktu yang lalu, dan hampir semua teknik tersebut merupakan suatu upaya untuk meminimalkan berbagai masalah tertentu yang dijumpai dalam pendekatan-pendekatan ini. Dengan mengevaluasi prestasi kerja kinerja di masa lalu, karyawan dapat memperoleh umpan balik dari upaya-upaya mereka. Umpan balik ini selanjutnya bisa mengarahkan kepada perbaikanperbaikan prestasi. Teknik-teknik penilaian ini antara lain: 1) Skala Peringkat (Rating Scale) Meskipun metode ini sering dianggap sebagai metode yang subjektif, namun metode ini paling banyak digunakan dalam menilai/mengevaluasi kinerja karyawan. Metode ini merupakan metode yang paling tua yang digunakan dalam menilai prestasi, dimana para penilai diharuskan melakukan suatu penilaian yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-skala tertentu, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. 2) Daftar Pertanyaan (checklist) Penilaian berdasarkan metode ini biasanya menggunakan sejumlah pertanyaan dengan menggunakan kalimat: Berilah jawaban pertanyaan berikut dengan cara memberi tanda (√) pada kolom yang tersedia.

Universitas Sumatera Utara

37

Metode ini menggunakan formulir isian yang menjelaskan beraneka ragam tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan tertentu. Penilai hanya perlu memilih kata atau pertanyaan yang menggambarkan karakteristik dan hasil kerja karyawan. Keuntungan dari checklist ialah biaya relatif murah, pengurusannya mudah, penilai hanya membutuhkan pelatihan yang sederhana dan standarisasi. Kelemahannya ialah terdapatnya kepekaan pada penyimpangan penilai yang lebih mengedepankan kriteria-kriteria pribadi karyawan dalam menentukan kriteria-kriteria hasil kerja, kesalahan dalam menafsirkan materimateri checklist, kerugia metode ini tidak memungkinkan penilai untuk memberikan nilai yang berbeda. Sebagai contoh, karyawan yang dengan senang hati bekerja lembur mendapatkan nilai yang sama seperti karyawan yang bekerja lembur dengan setengah hati. d. Metode dengan Pilihan Terarah (Forced Choise Methode) Metode ini dirancang untuk meningkatkan objektivitas dan mengurangi subjektivitas dalam penilaian. Salah satu sasaran dasar pendekatan pilihan ini ialah untuk mengurangi dan menyingkirkan kemungkinan berat sebelah penilaian dengan memaksakan sesuatu pilihan antara pernyataan-pernyataan deskriptif yang kelihatannya mempunyai nilai yang sama. Metode ini mengharuskan penilai untuk memilih pernyataan yang paling sesuai dengan pasangan pernyataan tentang karyawan yang dinilai.

Universitas Sumatera Utara

38

e. Metode Peristiwa Kritis (critical Incedent Methode) Metode ini merupakan pemilihan yang mendasarkan pada catatan yang dibuat penilai atas perilaku karyawan yang sangat kritis, seperti sangat baik atau sangat jelek dalam menjalankan pekerjaan. Pernyataan-pernyataan diatas disebut sebagai insiden kritis dan biasanya dicatat oleh atasan selama masa penilaian untuk setiap karyawan yang amat berguna dalam memberikan umpan balik karyawan yang bersangkutan. Kejadian yang dicatat meliputi penjelasan ringkas dari apa yang terjadi. f. Metode Catatan Prestasi Metode ini berkaitan erat dengan metode peristiwa kritis, yaitu catatan penyempurnaan, yang banyak digunakan terutama oleh para profesional, misalnya penampilan, kemampuan berbicara, peran kepemimpinan dan aktifitas lain yang berhubungan dengan pekerjaan. Informasi ini secara khusus digunakan untuk menghasilkan detail laporan tahunan tentang kontribusi seorang profesional selama satu tahun. Selanjutnya, laporan akan digunakan oleh atasan untuk menentukan kenaikan dan promosi untuk memberikan saran-saran tentang hasil kerjanya di masa yang akan datang. Penafsiran atas materi-materi mungkin subjektif dan biasanya terjadi penyimpangan, karena hanya memberikan sesuatu yang baik saja terhadap apapun yang diberikan karyawan.

Universitas Sumatera Utara

39

g. Skala Peringkat Dikaitkan Dengan Tingkah Laku (Behaviorally Anchored Rating Scale = BARS) Metode ini merupakan suatu cara penilaian prestasi kerja karyawan untuk satu kurun waktu tertentu di masa lalu dengan mengaitkan skala peringkat prestasi kerja dengan perilaku tertentu. Salah satu kelebihan metode ini adalah pengurangan subjektif dalam penilaian. Deskripsi prestasi kerja, yang baik maupun yang kurang memuaskan, dibuat oleh pekerja sendiri, rekann sekerja dan atasan langsung masing-masing. h. Metode Peninjauan Lapangan (Field Review Methode) Disini penilai turun ke lapangan bersama-sama dengan ahli dari SDM (sumber daya manusia). Spesialis SDM mendapat informasi dari atasan langsung perihal prestasi karyawannya, lalu mengevaluasi berdasarkan informasi teersebut. Hasil penilaian dikirim ke penyelia dan dibawa ke lapangan untuk keperluan review, perubahan, persetujuan dan pembahasana dengan pihak karyawan yang dinilai. Telah dimaklumi bahwa penilaian yang subjektif mungkin dapat mengukur prestasi kerja karyawan perlu diusahakan. Berarti subjektifitas penilaian harus dihilangkan paling sedikit dikurangi hingga seminimal mungkin. i. Test dan Observasi Prestasi Kerja (Performance Test and Observation) Karena berbagai pertimbangan dan keterbatasan, penilaian prestasi dapat didasarkan pada test pengetahuan dan keterampilan, berupa test tertulis dan peragaan, syaratnya test itu harus valid (sahih) dan reliabel (dapat dipercaya).

Universitas Sumatera Utara

40

Untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu penilaian dapat berupa test dan observasi. Artinya karyawan dinilai, diuji kemampuannya baik melalui ujian tertulis yang menyangkut berbagai hal seperti, tingkat pengetahuan tentang prosedur dan mekanisme kerja yang telah ditetaapkan dan harus ditaati atau melalui ujian taktik yang langsung diamati oleh penilai. j. Pendekatan Evaluasi Komperatif (Comparative Evaluation Approach) Metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang dengan karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis. Perbandingan demikian dipandang bermanfaat untuk manajemen sumber daya manusia dengan lebih rasional dan efektif, khususnya dalam kenaikan gaji, promosi dan pemberian berbagai bentuk imbalan kepada karyawan.

2.4 Landasan Teori Pengembangan sumber daya manusia dalam program TB bertujuan untuk menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki keterampilan, pengetahuan, dan sikap (dengan kata lain kompetensi) yang diperlukan dalam pelaksanaan program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. (KemenKes RI, 2011). Menurut Sugiartono (2007) dalam penelitiannya di Bandung menemukan bahwa secara umum kepatuhan petugas program pemberantasan tuberkulosis (P2TB) puskesmas di Kabupaten Bandung masih rendah hal ini diakibatkan dari sikap

Universitas Sumatera Utara

41

petugas yang tidak mendukung, tidak dilakukan supervisi oleh petugas kabupaten dan tidak adanya pengawasan dan pembinaan dari kepala puskesamas. Menurut Gumilar (2003) dalam penelitian Sugiartono (2007), rendahnya kepatuhan petugas disebabkan oleh faktor internal (motivasi petugas kurang, pengetahuan yang kurang, dan petugas kurang disiplin) dan faktor eksternal (sarana prasarana yang kurang mendukung, pengawasan dan pembinaan yang kurang dari pimpinan). Sedangkan menurut Depkes (1999), bila petugas patuh melaksanakan tatalaksana pelayanan dengan baik sesuai dengan standar yang telah ditentukan, secara tidak langsung dapat membawa dampak yang positif terhadap pencapaian cakupan program penanganan tuberculosis strategi DOTS. Menurut Kemenkes RI (2011), dalam menangani pasien TB ada standar yang harus digunakan oleh semua profesi yang terkait dalam penanggulangan TB di semua tempat. Standar tersebut disebut sebagai ISTC. ISTC merupakan standar yang harus dipenuhi dalam menangani pasien tuberkulosis, yang terdiri dari 6 standar untuk penegakan diagnosis, 11 standar untuk pengobatan dan 4 standar untuk fungsi tanggung jawab kesehatan masyarakat. Dengan kata lain ketentuan keaktifan di dalam tatalaksana standar tuberkulosis adalah petugas harus melaksanakan anamnesa, pemeriksaan, diagnosa, pengobatan, penyuluhan dan melaksanakan pencatatan pelaporan. Dalam menilai keaktifan petugas rumah sakit terhadap pelaksanaan strategi DOTS di rumah sakit, sangat dipengaruhi oleh perilaku dari pada petugas rumah sakit tersebut. Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme

Universitas Sumatera Utara

42

(makhluk hidup) yang bersangkutan. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. (Notoatmodjo, 2007). Menurut Nilawati (2008) yang mengutip pendapat Green (2005), perilaku manusia merupakan refleksi dari beberapa gejala kejiwaaan, seperti keinginan, minat, kehendak pengetahuan, emosi, berpikir, sikap, motivasi, reaksi dan sebagainya, namun sulit dibedakan antara refleksi dengan kejiwaan. Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan yang tercermin dalam perilaku manusia itu adalah pengalaman, keyakinan, sarana fisik, dan sosio masyarakat, aktif tidaknya seseorang dalam melakukan suatu tindakan sangat dipengaruhi oleh perilaku, dimana keaktifan merupakan Out Come dari perilaku. Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007) menganalisis perilaku seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu ; a. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors) Faktor predisposisi ini meliputi : 1) Pengetahuan Menurut Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2010) pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui

Universitas Sumatera Utara

43

indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya) dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran (telinga), dan indra penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tuingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yakni : (a) Tahu (know) Tahu diartikan hanya sebagai mengingat kembali (recall) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. (b) Memahami (comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar

dapat

menyebutkan,

tetapi

orang

tersebut

harus

dapat

mengintrepretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. (c) Aplikasi (application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi lain. (d) Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan dan atau suatu memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui.

Universitas Sumatera Utara

44

(e) Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. (f) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. 2) Pendidikan Menurut Notoatmodjo (2003) pendidikan adalah merupakan upaya untuk mengembangkan sumber daya manusia, terutama untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian manusia. Pendidikan adalah suatu proses yang akan menghasilkan suatu perubahan perilaku sasaran diklat. Dengan kata lain, pendidikan adalah suatu bentuk intervensi atau upaya yang ditujukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut kondusif untuk kesehatan. Pendidikan formal di dalam suatu organisasi adalah suatu proses pengembangan kemampuan ke arah yang diinginkan oleh organisasi yang bersangkutan. Pendidikan adalah suatu proses yang unsur-unsurnya terdiri dari masukan (input) yaitu sasaran pendidikan, keluaran (output) yaitu suatu

Universitas Sumatera Utara

45

bentuk perilaku baru atau kemampuan baru dari sasaran pendidikian. Kemampuan tersebut dipengaruhi oleh saran lunak (software) yang terdiri dari kurikulum, pendidik, metode, dan sebagainya, serta sasaran keras (hardware) yang terdiri dari ruang, perpustakaan (buku-buku), dan alat bantu pendidikan lainnya. (Notoatmodjo 2005) 3) Pelatihan Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan mutu dan kinerja petugas. Materi pelatihan dan metode pembelajaran dalam pelatihan harus disesuaikan dengan kebutuhan program dan tugas peserta latih. Tidak semua harus dipelajari, tetapi yang terkait secara langsung tugas pokok peserta dalam program. Metode pembelajaran harus mampu melibatkan partisipasi aktif peserta dan mampu membangkitkan motovasi peserta. Baik materi pelatihan maupun metode pembelajaran tersebut dapat dikemas dalam bentuk modular.(Kemenkes RI, 2011). Menurut Anda syahputra (2009) dalam penelitiannya pelatihan adalah satu bentuk peningkatan produktivitas kerja yang dapat dilakukan di dalam maupun di luar instansi. Pelatihan yang dilakukan di luar instansi umumnya bersifat khusus, lokakarya atau pendidikan formal dengan maksud meningkatkan keterampilan pegawai baik secara horizontal maupun vertikal. Peningkatan secara horizontal berarti memperluas aspek atau jenis pekerjaan yang diketahui. Sedangkan peningkatan secara vertikal berarti memperdalam pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu.

Universitas Sumatera Utara

46

4) Sikap Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang telah melibatkan faktor pendapat dan emosi seseorang. Sikap terdiri atas 3 komponen pokok, yaitu kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek, arrtinya bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian (didalamnya terkandung faktor emosi) orang terhadap objek. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan). Ketiga komponen tersebut bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total adtidude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini pengetahuan, pikiran keyakinan dan emosi memegang peranan penting. (Notoatmodjo, 2005) 5) Kepercayaan Kepercayaan adalah komponen kognitif dari faktor sosio-psikologis. Kepercayaan disini tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang gaib, tetapi hanyalah keyakinan bahwa sesuatu itu benar atau salah. Semakin baik kepercayaan seseorang maka akan semakin baik pula sikap yang akan terbentuk, sehingga pada akhirnya membuat semakin baik pula perilaku yang dimunculkan oleh orang tersebut. (Notoatmodjo, 2010).

Universitas Sumatera Utara

47

6) Motivasi Motif atau motivasi berasal dari kata Latin moreve yang artinya dorongan dari dalam diri manusia untuk bertindak atau berperilaku. Pengertian motivasi tidak terlepas dari kata kebutuhan atau needs atau want. Kebutuhan adalah suatu “potensi” dalam diri manusia yang perlu ditanggapi atau direspons. Salah satu teori yang merumuskan konsep tentang motivasi adalah Teori Hierarki oleh Abraham Maslow (1970). Abraham Maslow menyatakan bahwa terdapat lima kelompok kebutuhan utama manusia, yaitu : kebutuhan dasar, kebutuhan rasa aman, kebutuhan bersosialisasi, kebutuhan ego/ penghargaan, kebutuhan beraktualisasi diri. Pada hakekadnya manusia selalu mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhannya. (Nurdin, 2011) b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factor) Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas (fisik dan umum)

yang

mendukung

kelancaran

kegiatan

program

pemberantasan

tuberkulosis. Fasilitas-fasilitas atau sarana kesehatan yang meliputi rumah sakit, obat-obatan, peralatan perlengkapan pemeriksaan sputum (dahak), reagen-reagen untuk pemeriksaan laboratorium, dan lain sebagainya. c. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) Faktor penguat yang dimaksud di sini adalah pengawasan dan pembinaan Direktur RS (kepemimpinan). Apakah petugas P2TB mendapatkan dukungan atau motivisai dari pimpinan/pengawasan dan pembinaan Direktur rumah sakit, supervisi, penghargaan (reward) maupun hukuman (punishment) yang tentunya

Universitas Sumatera Utara

48

akan mempengaruhi sikap dan perilaku pertugas P2TB ini untuk aktif dalam pelaksanaan program pemberantasan TB di rumah sakit.

2.5 Kerangka Konsep Berdasarkan tujuan penelitian serta tinjauan pustaka di atas, maka dapat disusun kerangka konsep penelitian ini sebagai berikut : Variabel independen

Variabel dependen

Faktor Predisposisi: 1. Pengetahuan 2. Pelatihan 3. Sikap 4. Motivasi Faktor Pemungkin Sarana dan prasarana kesehatan)

(fasilitas

Kinerja petugas P2TB Rumah Sakit : 1. Pemeriksaan laboratorium 2. Ketersediaan obat 3. Pencatatan dan pelaporan

Faktor Penguat 1. Pengawasan dan pembinaan Direktur RS (Kepemimpinan)

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara