BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PARTIKEL

Download 1.1. Latar Belakang. Partikel adalah unsur butir (dasar) benda atau bagian benda yang sangat kecil dan berdimensi; materi yang sangat kecil...

0 downloads 385 Views 294KB Size
BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Partikel adalah unsur butir (dasar) benda atau bagian benda yang sangat

kecil dan berdimensi; materi yang sangat kecil, seperti butir pasir, elektron, atom, atau molekul; zarah (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Menurut beberapa sumber, partikel dapat dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan ukurannya, yaitu partikel makroskopis, partikel mikroskopis, dan partikel sub-atom. Partikel makroskopis pada umumnya digunakan untuk partikel-partikel yang lebih besar dari atom dan molekul, contohnya adalah debu dan pasir. Partikel mikroskopis pada umumnya digunakan untuk partikel-partikel yang memiliki ukuran sama dengan atom hingga molekul, seperti karbondioksida dan nanopartikel. Partikel sub-atom digunakan untuk partikel-partikel yang lebih kecil dari atom, seperti proton, neutron, dan elektron. Partikel-partikel

hasil

sintesis

manusia

telah

banyak

membantu

perkembangan peradaban manusia. Partikel-partikel buatan ini membantu perkembangan teknologi, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan, serta telah membantu menjaga kestabilan lingkungan manusia. Selain itu, banyak juga terdapat partikel-partikel yang tidak diinginkan dalam suatu sistem, seperti emisi dalam pembakaran, unsur-unsur pengotor dalam sebuah logam, dan sebagainya (Particle Engineering Research Center, 2010). Untuk itu, perlu terus dilakukan penelitian tentang partikel agar dapat ditemukan metode baru yang lebih baik dalam membuat partikel yang berguna bagi kehidupan. Partikel makroskopis merupakan kumpulan dari beberapa jenis atom atau molekul yang berikatan satu sama lain, sehingga dalam sebuah partikel akan terdapat beragam jenis unsur. Tidak semua unsur yang berada di dalam sebuah partikel berguna untuk teknologi yang akan dibuat, atau bahkan unsur-unsur tersebut menghambat perkembangan teknologi. Oleh karena itu, diperlukan sebuah metode untuk mengeluarkan unsur-unsur yang tidak diinginkan (pengotor) tersebut.

1

Salah satu metode pemurnian yang dapat dilakukan adalah dengan menggiling partikel-partikel makroskopis sehingga menjadi kumpulan partikel mikroskopis. Partikel mikroskopis yang hanya mengandung satu jenis unsur atau molekul tersebut dapat dipisahkan sesuai dengan unsurnya masing-masing dan dijadikan kembali menjadi partikel makroskopis. Partikel yang terbentuk akan menjadi lebih murni. Semakin kecil partikel dapat digiling, partikel pengotor yang akan dipisahkan juga menjadi semakin banyak. Dengan kata lain, tujuan milling adalah untuk mendapatkan partikel-partikel yang berukuran mendekati nano atau nanopartikel itu sendiri. Nanopartikel adalah partikel ultrafine dengan panjang lebih besar dari 0,001 mikrometer (1 nanometer) dan lebih kecil dari 0,1 mikrometer (100 nanometer) (American Society for Testing and Materials). Secara umum, nanopartikel juga dikenal sebagai kumpulan atom-atom yang berikatan satu sama lain dengan diameter struktur kurang dari 100 nm (Nordlund, 2005). Nanopartikel memiliki ukuran yang sangat kecil bahkan tidak kasat mata, namun memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan kita. Nanopartikel membuat kerja obat-obatan semakin efektif, telepon genggam serta laptop berukuran semakin kecil dan semakin efisien, mobil semakin ramah lingkungan, dan sebagainya. Nanopartikel dapat diperoleh dengan memanfaatkan sumber daya alam di sekitar kita. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang kaya akan bahan tambang. Beraneka bahan tambang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri (Setiawan dkk., 2013). Bahan tambang ini tidak tersebar merata di seluruh Indonesia (Setiawan dkk., 2013). Beberapa daerah hanya memiliki potensi tambang beberapa jenis mineral, contohnya Yogyakarta hanya memiliki potensi tambang pasir besi dan mangan (Setiawan dkk., 2013). Daerah pantai selatan Kulonprogo, Yogyakarta, memiliki potensi pasir besi sebesar 33,6 juta ton Fe dengan produksi direncanakan 500.000 ton per tahun dan umur tambang diperkirakan sampai usia 25 tahun (Yunianto, 2009). Daerah penyebaran pertambangan pasir besi di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.1.

2

Selain untuk dijadikan pig iron, pasir besi di daerah ini dapat juga dimanfaatkan untuk membuat nanopartikel besi oksida.

Gambar 1.1. Potensi dan sebaran pasir besi di Indonesia (Tekmira, 2011)

Nanopartikel besi oksida adalah partikel besi oksida dengan diameter antara 1 dan 100 nanometer. Besi oksida terdapat di alam dalam berbagai bentuk. Bentuk yang paling umum adalah magnetit (Fe3O4), maghemite (γ-Fe2O3), dan hematit (α-Fe2O3) (Xu dkk., 2012; Cornel dan Schwertmann, 1996; Chan dan Ellis, 2004). Partikel besi oksida dapat diusahakan sampai ukuran mendekati nano agar dapat diperoleh besi dengan kemurnian konsentrat yang tinggi. Nanopartikel besi oksida banyak diteliti karena karakteristik magnetik yang dimilikinya serta potensi aplikasinya di berbagai bidang. Selain itu, nanopartikel besi oksida dengan toksisitas rendah, chemical inertness, dan biokompatibilitas yang baik menunjukkan bahwa partikel ini memiliki potensi yang luar biasa untuk menjadi material bioteknologi (Xu dkk., 2012; Huang dkk., 2003; Roco, 2003; Gupta dan Gupta, 2005). Melihat peran nanopartikel besi oksida yang begitu penting, diperlukan sebuah upaya riset untuk menghasilkan partikel besi oksida berukuran mendekati nano atau nanopartikel itu sendiri secara efektif dan efisien.

3

Nanopartikel memiliki luas permukaan yang besar karena ukuran geometri yang kecil. Luas permukaan yang besar ini mengakibatkan nanopartikel menjadi sangat reaktif dan mudah berikatan satu sama lain membentuk partikel yang lebih besar (Schulenburg, 2008) hingga menjadi ukuran makro. Untuk mendapatkan nanopartikel, dapat melalui metode bottom-up dan top-down. Metode bottom-up adalah cara membentuk nanopartikel dengan penyusunan atom-atom atau molekul-molekul terkecil. Metode ini pada umumnya digunakan oleh alam untuk membentuk nanopartikel (Schulenburg, 2008). Metode top-down adalah cara membentuk nanopartikel dengan peralatan mekanik, pada umumnya dengan proses milling. Pada prosesnya, material diberikan energi secara terus menerus sehingga ukuran partikel material akan tereduksi hingga ukuran nano (Castro dan Mitchell, 2002). Ada beberapa variabel yang harus diperhatikan untuk mendapatkan ukuran partikel yang diinginkan, seperti: jenis penggiling, durasi milling, suhu penggiling, jenis material yang akan digiling, jumlah dan jenis material media penggiling, rasio massa media penggiling dan serbuk, serta frekuensinya (Balaz, 2008). Pada penelitian ini, akan digunakan tipe penggiling jenis ball mill dan media penggiling berupa bola baja. Mekanisme milling ball mill dapat dilihat pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2. Mekanisme milling ball mill

Penelitian yang dilakukan oleh Can dkk. (2010) menunjukkan bahwa semakin lama durasi milling, ukuran partikel yang sudah tereduksi akan semakin bertambah besar. Durasi yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang

4

diinginkan bervariasi tergantung kepada tipe penggiling, intensitas milling, rasio massa bola:serbuk, serta suhu milling (Suryanarayana, 2001). Semakin besar rasio, durasi yang dibutuhkan untuk milling semakin sedikit karena intensitas tumbukan akan semakin meningkat. Suhu milling juga akan meningkat akibat peningkatan intensitas tumbukan bola (Suryanarayana, 2001). Ada kemungkinan peningkatan suhu ini akan mengakibatkan cold welding dan bertambahnya ukuran partikel. Pengaruh yang sama juga ditunjukkan akibat variasi ukuran bola baja. Semakin besar ukuran, energi tumbukan yang akan terjadi juga semakin besar. Meskipun kebanyakan peneliti hanya menggunakan satu ukuran bola untuk tiap penelitian, Gavrilov dkk. (1995) memberikan prediksi bahwa energi tumbukan tertinggi akan diperoleh ketika variasi ukuran bola dilakukan untuk tiap penelitian (Suryanarayana, 2001). Kecepatan putaran penggiling berbanding lurus dengan energi yang akan dihasilkan. Semakin tinggi kecepatan putaran, energi yang akan dihasilkan juga semakin besar. Kecepatan putaran penggiling jenis ball mill dibatasi oleh kecepatan kritis. Ketika kecepatan putaran diatas kecepatan kritis, bola-bola baja akan bergerak mengelilingi permukaan dalam penggiling dan tidak akan memberikan beban kejut kepada serbuk (Suryanarayana, 2001). Oleh karena itu, perlu diketahui kecepatan yang paling optimal untuk dapat menghasilkan energi tumbukan terbesar. Ringkasan latar belakang yang dapat ditarik berdasarkan uraian di atas adalah adanya potensi untuk menghasilkan partikel mendekati ukuran nano atau nanopartikel (partikel mikroskopis) besi oksida dari pasir pantai selatan Kulonprogo, Yogyakarta, melalui metode top-down yang menggunakan ball mill. Untuk mengetahui proses yang paling optimal dalam menghasilkan partikel besi oksida berdasarkan ukuran dan kemurnian partikel, akan dilakukan variasi terhadap durasi milling dan ukuran bola baja.

1.2

Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

5

1. Bagaimana pengaruh variabel ukuran media milling pada alat ball mill terhadap kandungan besi oksida dari pasir pantai selatan Kulonprogo, Yogyakarta? 2. Bagaimana pengaruh variabel durasi milling pada alat ball mill terhadap kandungan besi oksida dari pasir pantai selatan Kulonprogo, Yogyakarta? 3. Bagaimana pengaruh proses milling dengan alat ball mill terhadap reduksi ukuran partikel?

1.3

Batasan Masalah Batasan-batasan yang dipakai untuk membatasi rumusan masalah di atas

adalah sebagai berikut: 1. Metode

top-down

dengan

ball

mill

akan

digunakan

untuk

menghasilkan partikel yang mendekati ukuran nano besi oksida dari pasir besi pantai selatan Kulonprogo, Yogyakarta. 2. Ukuran material mentah adalah 210 mikrometer (mesh ukuran 70). 3. Kecepatan putaran ball mill adalah 75% dari kecepatan kritis. 4. Durasi milling adalah 2, 6, dan 10 jam. 5. Rasio massa bola baja:serbuk adalah 10:1. 6. Ukuran bola baja yang akan digunakan adalah 4,76, 6,35, dan 7,93 mm. 7. Temperatur milling adalah temperatur kamar. 8. Ukuran diameter partikel akan ditentukan dengan alat Scanning Electron Microscopy (SEM). 9. Komposisi besi oksida yang dihasilkan akan ditentukan dengan alat Atomic Absorption Spectroscopy (AAS).

1.4

Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh ukuran bola baja pada proses milling terhadap kandungan besi oksida dari pasir pantai selatan Kulonprogo, Yogyakarta.

6

2. Mengetahui pengaruh durasi milling terhadap kandungan besi oksida dari pasir pantai selatan Kulonprogo, Yogyakarta. 3. Mengetahui pengaruh milling terhadap ukuran partikel besi oksida. 1.5

Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memanfaatkan

pasir besi pantai selatan Kulonprogo untuk hal lain selain dibuat menjadi pig iron. Selain itu, untuk mengetahui proses yang paling optimal dalam menghasilkan partikel besi oksida yang mendekati ukuran nano serta pengaruhnya terhadap perubahan kandungan besi dari pasir besi.

1.6

Hipotesis Penelitian Semakin besar bola baja yang digunakan, gaya impact yang akan

diperoleh semakin besar. Semakin besar gaya impact dan semakin lama durasi milling, partikel yang akan dihasilkan semakin kecil. Semakin kecil partikel yang dapat dihasilkan, semakin murni pasir besi yang dapat dihasilkan. Ilustrasi pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 1.3.

Sebelum milling

Ket:

Setelah milling

A= Besi oksida B= Pengotor

Gambar 1.3. Ilustrasi pemisahan besi oksida dan pengotor

7