BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BATAK ADALAH

Download Dalam kehidupan masyarakat asli Batak di pedesaan, tradisi ini menjadi hal utama yang harus dilakukan ketika berinteraksi dengan sesama suk...

0 downloads 440 Views 233KB Size
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batak adalah salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Suku Batak tidak hanya satu saja tetapi terdiri dari beberapa sub suku. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak antara lain Batak Toba, Batak Karo, Batak Mandailing-Angkola, Batak Pakpak, Batak Simalungun (Kozok, 1999:12). Menurut mitos yang masih hidup hingga sekarang, leluhur pertama suku Batak bernama Siraja Batak (Simanjuntak, 2006 : 78). Marga dalam suku Batak diambil dari nama Si Raja Batak. Si Raja Batak kemudian mempunyai keturunan dan nama-nama dari keturunannya inilah yang kelak berkembang menjadi marga-marga suku Batak (Siahaan: 1964). Turunan leluhur Si Raja Batak mendiami daerah Sianjur Mula-Mula (daerah Samosir). Kemudian sebagian besar dari mereka kemudian menyeberangi Danau Toba, lalu berpencar ke segala penjuru mendiami daerah-daerah yang ada di Sumatera Utara. Persebaran ini kemudian berkembang hingga keluar Sumatera Utara. Pola imigrasi masyarakat Batak tersebut bermula dari Pusuk Buhit (Sianjur MulaMula) yang terletak di Pulau Samosir, sampai pada pembukaan lembah-lembah baru yang meluas dan memanjang di garis pantai selatan Danau Toba (Siahaan :1964). Seiring berjalannya waktu dan dengan meluasnya persebaran suku Batak, marga dalam suku Batak kemudian berkembang menjadi beberapa marga dan terdapat sebuah tradisi yang dilakukan untuk menghubungkan kembali identitas kemargaan mereka. Tradisi tersebut dinamakan sebagai martarombo atau martutur. Martarombo bersalah dari kata “tarombo” atau dalam bahasa Indonesia “silsilah”, sedangkan arti kata “mar” dalam Bahasa Batak Toba

1

bermakana kata kerja. Jadi dapat diartikan bahwa martarombo dalam Bahasa Indonesia adalah “bersilsilah” atau “menentukan silsilah”. Martarombo atau martutur adalah suatu bentuk komunikasi tanya jawab antara dua individu atau lebih yang dilakukan untuk mengetahui hubungan kekerabatan di antara mereka. Hubungan kekerabatan ini didasarkan atas latar belakang marga keluarga mereka (baik yang berasal dari ayah maupun ibu dan keluarga lainnya) yang disesuaikan dengan falsafah Dalihan Na Tolu 1 (Sihombing, 1986:103). Tradisi martarombo sudah diterapkan sejak zaman dahulu dan digunakan pada semua sub suku Batak. Tradisi ini muncul sebagai suatu kebiasaan turun temurun yang diwariskan antar generasi. Dalam kehidupan masyarakat asli Batak di pedesaan, tradisi ini menjadi hal utama yang harus dilakukan ketika berinteraksi dengan sesama suku Batak yang baru dikenal. Dengan adanya tradisi martarombo, asal usul marga dari seseorang yang baru dikenal akan dapat diketahui. Dengan mengetahui asal usul marga orang lain yang baru dikenal, maka dapat dicocokkan dengan asal usul kemargaannya dan marga-marga lain yang memiliki hubungan dengan keluarganya. Hal ini yang kemudian menentukan perbedaan “sikap” dan “panggilan” kepada orang yang baru dikenal tersebut apakah sebagai dongan tubu (teman satu marga dari marga ayah), sebagai boru yakni marga nenek dan marga suami kakak perempuan ayah dan sebagai hula-hula yakni marga dari keluarga ibu. Ketiga unsur panggilan dalam kekerabatan suku Batak di atas merupakan aturan dalam falsafah dalihan na tolu sehingga dalihan na tolu menjadi dasar penentu ketika akan bersikap dan menentukan panggilan kepada orang yang baru

1

Dalihan Na Tolu merupakan falsafah yang membagi kedudukan masyarakat batak ke dalam tiga bagian dalam sistem kekerabatan.

2

dikenal. 2 Di daerah asal Bona Pasogit (asal marga suku Batak), yang masih kental memegang adat Bataknya, martarombo digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Adanya kebiasaan suku Batak Toba yang memantangkan pemanggilan nama seseorang

yang lebih tua dan terutama seseorang yang sudah menikah

mengharuskan orang Batak Toba untuk bisa martarombo. Sekarang ini ada kecenderungan bahwa generasi muda suku Batak Toba kurang memahami esensi dasar tradisi martarombo. Anak muda suku Batak Toba kurang memahami kaidah tradisi martarombo yang didasari oleh dalihan na tolu. Falsafah dalihan na tolu yang merupakan unsur dasar dalam tradisi martarombo tidak dijadikan sebagai acuan ketika martarombo. Akibatnya banyak orang Batak khususnya generasi muda yang kurang bisa menempatkan diri terhadap orang Batak terutama terhadap individu yang lebih tua. Perubahan pemaknaan ini khususnya terjadi ketika berada di daerah perantauan yang jauh dari wilayah Sumatera Utara sebagai tempat munculnya tradisi martarombo 3. Adanya interaksi suku Batak Toba dengan suku lainnya di daerah perantauan dalam bentuk komunikasi antar budaya meyebabkan terjadinya pembauran. Adanya bauran budaya Batak dengan budaya tertentu di suatu tempat yang jauh dari tanah Batak bisa saja menghilangkan budaya Batak pada waktu tertentu. Hal ini dikarenakan suku Batak yang ada di perantauan cenderung jauh dari kegiatan adat sehingga pemeliharaan adat dan tradisi tidak seperti di Bona Pasogit.

2

Dalam falsafah dalihan na tolu akan diatur bagaimana orang Batak toba ketika bersikap dan menentukan panggilan terhadap seseorang yang baru dikenal. Contoh memanggil dengan sebutan tulang karena orang yang baru dikenal masuk ke dalam golongan hula-hula. Menurut falsafah dalihan na tolu, hula-hula adalah golongan yang paling dihargai karena dianggap sumber berkat. Dengan demikian harus diperlakukan lebih hormat melebihi golongan dongan tubu dan boru. Falsafah dalihan na tolu bersifat universal sehingga seorang individu dalam suku Batak akan mengalami menjadi dongan tubu, boru, dan dongan tubu. 3 Wawancara dengan Bapak S. Hutagaol, seorang pemangku adat Batak Toba di Sidamanik, Sumatera Utara, 27 Desember 2012

3

Suku Batak merupakan suku yang terkenal dengan ativitas merantaunya. Adanya

konsep

hamoraon (kekayaan),

hagabeon (kesejahteraan),

dan

hasangapon (kehormatan) dalam budaya Batak menjadi dasar utama suku Batak (terutama Batak Toba) untuk merantau keluar dari kampung halaman. Faktor geografis di daerah asal suku Batak yang kurang subur di sekitaran pulau Samosir membuat masyarakat Batak Toba lebih

memilih merantau meninggalkan

kampung halaman. Selain itu aktivitas merantau suku Batak juga didorong oleh adanya motif ekonomi untuk mencari penghidupan yang lebih baik di tempat lain. Hal ini terutama didorong oleh berhasilnya sejumlah perantau yang lebih dulu di daerah asing. Selain itu, faktor pendidikan tinggi juga menjadi faktor yang sangat mempengaruhi perantauan suku Batak yang lebih banyak dilakukan diluar pulau Sumatera (Sulistyowati, 2005:91-92). Yogyakarta sebagai salah satu kota budaya dan pendidikan dikenal sebagai salah satu kota perantauan anak muda suku Batak. Perantauan ini dilakukan dengan menjadi pekerja maupun sebagai pelajar di Yogyakarta. Banyaknya perkumpulan atau komunitas suku Batak yang terbentuk atas dasar kesamaan marga maupun ikatan mahasiswa di berbagai kampus membuktikan bahwa banyaknya anak muda suku Batak Toba di Yogyakarta. Saat ini terdapat beragam perkumpulan anak muda perantau suku Batak Toba di Yogyakarta baik dalam bentuk arisan marga, komunitas Batak dari gereja, komunitas Batak dari musik tradisi Batak, maupun perkumpulan mahasiswa Batak di kampus. Banyaknya suku Batak Toba yang merantau ke Yogyakarta menjadi fenomena yang menarik untuk diteliti jika dilihat dari aspek penerapan dan pemeliharaan kebudayaan, khususnya tradisi martarombo. Adanya kegiatan pertemuan suku Batak Toba dalam berbagai acara dan kelompok perkumpulan memungkinkan adanya interaksi yang signifikan. Dengan demikian akan terjadi perkenalan antar

4

anggota kelompok yang baru bertemu sehingga sangat terbuka kemungkinan untuk diketahui apakah tradisi martarombo diterapkan dalam kegiatan perkenalan tersebut. Adanya interaksi suku Batak Toba dalam bentuk komunikasi antarbudaya dengan berbagai kebudayaan asing di Yogyakarta menimbulkan pertanyaan apakah tradisi martarombo masih diterapkan oleh anak muda perantau suku Batak Toba di Yogyakarta.

Hal inilah yang menarik minat peneliti untuk

mengetahui bagaimana anak muda perantau suku Batak Toba menerapkan tradisi martaombo di daerah perantauan. Dengan demikian akan diketahui nantinya sejauhmana tradisi martarombo diterapkan dalam komunikasi anak muda perantau suku Batak Toba di Yogyakarta. Selain itu akan diketahui nantinya bagaimana pergeseran di dalamnya beserta faktor yang mempengaruhinya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana penerapan tradisi Martarombo dalam komunikasi anak muda perantau suku Batak Toba di Yogyakarta?” C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan tradisi martarombo dalam komunikasi anak muda perantau suku Batak Toba di Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan berarti bagi pengembangan keilmuan, terutama ilmu komunikasi yang berkaitan dengan komunikasi sebagai tradisi dan ritual.

5

2. Manfaat Praktis Memberikan sumbangan bagi upaya pelestarian tradisi suku Batak Toba yang selama ini dirasa telah terjadi pergeseran dalam penerapannya. E.

Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah anak muda perantau suku Batak Toba di

Yogyakarta yang berasal dari Sumatera Utara. F. Kerangka Pemikiran 1. Martarombo Martarombo merupakan salah satu tradisi suku Batak yang dilakukan untuk mengetahui kekerabatan antarsuku Batak. Martarombo berasal dari kata “tarombo” atau dalam bahasa Indonesia “silsilah”, sedangkan arti kata “mar” dalam Bahasa Batak Toba bermakana kata kerja. Jadi dapat diartikan bahwa martarombo dalam Bahasa Indonesia adalah “bersilsilah” atau “menentukan silsilah”. Tradisi martarombo dilakukan dengan berkomunikasi dua arah (interpersonal) yang dilakukan dua orang atau lebih dan saling bertanya mengenai asal usul kemargaan seluruh keluarga mereka, baik dari marga pihak ayah, marga pihak ibu, marga ibu ayah, marga ibunya ibu, dan marga keluarga dekat/jauh. Setelah saling bertanya maka akan terbentuk sistem kekerabatan yang menentukan panggilan serta cara bersikap terhadap orang yang baru dikenal tersebut yang didasarkan atas falsafah Dalihan Na Tolu (Sihombing, 1986 : 103). T.M. Sihombing menjelaskan bahwa hubungan antarmarga dalam tradisi martarombo dibedakan atas dua bagian, yaitu hubungan semarga dan tidak semarga. Hubungan semarga menjadikan hubungan “pardongan tubuon” yaitu hal berteman semarga, sedangkan hubungan tidak semarga

6

menjadikan hubungan “parhula ianakkonon” yaitu hal ber”hula-hula” dan hal ber “boru” (Sihombing, 1986:109). Penerapan tradisi martarombo dalam hubungan teman semarga (dongan tubu) bersifat satu arah. Artinya jalur hubungan marga yang akan digunakan hanya satu dikarenakan kesamaan marga di antara pihak-pihak yang martarombo (baik yang bermarga sama maupun yang bermarga induk sama). Dengan demikian hubungan kemargaan ini sudah memiliki hubungan yang tetap, dan tidak bisa diubah. Jadi ketika martarombo terjadi dalam hubungan teman semarga (dongan tubu), maka tidak perlu ada penyesuaian akan dibawa ke jalur marga apa hubungan kekerabatan tersebut. Hal ini dikarenakan kesaman marga di antara kedua belah pihak yang martarombo dimana hubungan marga di antara mereka tidak bisa diubah. Dalam hubungan berbeda marga (pahula ianakkonon), penetapan panggilan dan cara bersikap dalam tradisi martarombo pada dasarnya bersikap kontekstual. Artinya penetapan pangilan dan cara bersikap terhadap orang yang baru dikenal disesuaikan dengan marga masing-masing pihak yang martarombo. Setelah saling mengenal marga masing-masing maka ditentukan dari arah marga mana hubungan kekeluargaan akan dibentuk. Biasanya hubungan yang akan dibentuk didasarkan atas sedekat mana hubungan marga itu bisa dibentuk. Hal ini dikarenakan inti dari tradisi martarombo

itu

sendiri

yaitu

bagaimana

membentuk

hubungan

persaudaraan di antara orang Batak yang sedekat mungkin. T.M. Sihombing juga menjelaskan bahwa hubungan berbeda marga (parhula ianakkonon) dalam tradisi martarombo bersifat tidak tetap. Hal ini dikarenakan setiap ada acara pernikahan dalam lingkungan keluarga otomatis akan menambah jumlah hula-hula dan boru (Sihombing, 1986:110).

7

Dengan demikian setiap marga hula-hula dan boru yang baru itu akan menambah hubungan yang baru ketika martarombo. Terdapat sebuah pantun yang selalu menjadi pengingat martarombo dalam kehidupan suku Batak Toba. Pada dasarnya setiap individu dalam masyarakat Batak harus mengingat dan menjalankan makna pantun ini. Bunyi pantunnya sebagai berikut : Jolo tinitip sanggar, Asa binahen huru-huruan, Jolo sinungkun marga, Asa binoto partuturan Pantun tersebut berarti: Pimping (batang gelaga) dipotong rata terlebih dahulu, Kemudian dibuat sebagai sangkar burung, Tanyalah marga terlebih dahulu, Agar dapat diketahui kekerabatan (Silitonga, Saut, 2010:94). Pantun ini sangat berarti dalam menginspirasi suku Batak ketika berkenalan. Makna pantun ini menekankan bahwa martarobo penting untuk membentuk tali kekerabatan di antara suku Batak. Dengan begitu suku Batak harus selalu menanyakan asal-usul marga seseorang ketika sedang berkenalan. Dengan mengetahui asal usul marga, akan diketahui nantinya bagaimana kekerabatan mereka berdasarkan falsafah Dalihan Na Tolu. Tidak hanya sebatas itu, terjalinnya kekerabatan yang dimulai dari kegiatan martarombo akan berpengaruh dalam hubungan selanjutnya. Dalam tradisi martarombo, kegiatan perkenalan yang dimulai dengan kegiatan martarombo tidak hanya sebatas mengetahui marga seseorang saja akan tetapi telah membentuk hubungan persaudaraan. Hubungan yang terbentuk setelah saling mengetahui panggilan dan cara bersikap akan diaplikasikan ketika bertemu dengan dengan orang yang baru dikenal

8

tersebut kapan pun mereka bertemu. Hal inilah yang menyebabkan kuatnya persaudaraan di antara sesama orang Batak dimana pun mereka berada. Martarombo bukanlah ajang dimana orang Batak berkenalan dan membentuk relasi, akan tetapi lebih kepada bagaimana orang suku Batak berusaha memperlakukan sesama suku Batak sebagai saudara yang saling menghargai. Tradisi martarombo mempunyai peran vital dalam pergaulan sehari-hari masyarakat Batak. T. M. Sihombing menjelaskan bahwa terdapat sebuah filsafat Batak yang menjelaskan betapa pentingnya pengetahuan akan martarombo dalam kehidupan masyarakat Batak. Bunyi filsafat itu sebagai berikut : “habang sihurhur songgop tu bosar, na so malo martutur ingkon maos hona osar” (Sihombing, 1986 :103). 4 Makna dari filasat ini yakni barang siapa yang tidak pintar dalam menerapkan tradisi martarombo maka akan memperoleh kehidupan yang tidak tenang. Kehidupan yang tidak tenang ini terjadi akibat tidak bisa bersikap dalam kehidupan masyarakat Batak, sehingga tidak disukai oleh masyarakat di sekitarnya. Pada dasarnya tradisi martarombo tidak hanya berperan dalam hubungan pergaulan masyarakat Batak Toba. Tradisi martarombo berperan sangat vital dalam konteks peradatan masyarakat Batak. Dalam acara adat pernikahan maupun kematian suku Batak Toba misalnya, tradisi martarombo merupakan inti dari acara adat tersebut.

Dalihan na tolu membagi

masyarakat Batak mejadi tiga golongan berdasarkan tarombo (silsilah). Ketiga golongan inilah yang menjadi aktor dalam acara adat tersebut. Semua tamu yang datang dalam acara adat Batak Toba akan dibagai ke dalam tiga golongan dalihan na tolu dan mereka menjalankan perannya masing-masing

4

T. M. Sihombing memaknai filsafat batak sebagai pemikiran, pendapat, dan kepercayaan tentang suatu hal. (Sihombing, 1986:5).

9

dalam acara adat tersebut sebagaimana yang ada dalam aturan dalihan na tolu Bisa dikatakan bahwa ruang lingkup peran tradisi martarombo sebenarnya sangat luas. Tradisi martarombo tidak hanya berperan dalam pergaulan masyarakat Batak, akan tetapi masyarakat Batak hidup dalam tradisi ini. Tradisi martarombo hidup dalam pergaulan dan dalam seluruh kegiatan adat masyarakat Batak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seorang individu yang tidak bisa martarombo sebenarnya sudah kehilangan pengetahuan akan kebudayaan Batak Toba sendiri. a. Dalihan Na Tolu Falsafah dalihan na tolu merupakan inti dasar tradisi martarombo. Dikatakan sebagai dasar karena pengambilan sikap beserta pemanggilan seseorang yang baru dikenal diatur dalam dalihan na tolu. Dalihan na tolu menjadi acuan ketika orang Batak martarombo. Marga seseorang yang baru dikenal akan disesuaikan berdasarkan tiga golongan suku Batak dalam dalihan na tolu. Penyesuaian inilah yang nantinya melahirkan istilah pemanggilan beserta cara bersikap terhadap orang yang baru dikenal tersebut. Penyesuaian hubungan berbeda marga dalam tradisi martarombo bersifat dua arah, yakni disesuaikan dengan marga dari dua pihak yang melakukan tradisi martarombo. Dalihan berarti Tungku, Na berarti Yang, sedangkan Tolu artinya Tiga. Dengan tiga definisi tersebut dapat diartikan bahwa dalihan na tolu bermakna tungku yang berpilar tiga. Tungku itu diibaratkan sebagai orang Batak secara keseluruhan, sedangkan tiga pilar itu adalah tiga golongan dari masyarakat Batak yang sejajar dan menyokong berdirinya tungku (Simanjuntak, 2006 : 99).

10

Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku Batak sebagai falsafaf hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama dongan sabutuha,hulahula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu 5(Sitanggang, 2010 : 48) . Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat Batak, Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut antara lain : (Tito dkk, 1993 : 26-27). Dongan tubu (teman semarga). Secara luas pengertian dongan tubu adalah orang yang memiliki marga yang sama. Sebagai orang yang memiliki marga yang sama, dongan tubu dalam adat Batak Toba adalah orang yang memiliki perasaanyang sama, sepenanggungan dan sebagai saudara kandung. Dalam masyarakat Batak Mandailing istilah dongan tubu disebut dengan kahanggi, Simalungun disebut Sanina masyarakat 5

Dalam adat Batak Toba, Ketiga posisi tersebut ( dongan tubu, boru, dan hula hula) akan dialami oleh masing-masing individu pada konsteksnya masing-masing. Artinya posisi tersebut bukanlah posisi absolut akan disandang suatu individu untuk selama-lamaya namun akan sesuai konteks adat. Misalnya seorang individu marga Purba akan menduduki posisi sebagai dongan tubu jika ia hadir saat acara adat seorang marga Purba. Ia juga akan menduduki posisi boru jika ia hadir dalam acara adat marga ibu, dan menduduki posisi sebagai hula-hula jika ia berada pada acara adat seorang yang bermarga istrinya.

11

Batak Karo disebut senina, dan masyarakat Batak Angkola/Pakpak disebut dengan istilah sabeltek. Boru (anak perempuan). Yang termasuk golongan boru dalam masyarakat Batak Toba adalah suami anak perempuan beserta anakanaknya, orang tua suami dan dongan tubu suaminya. Hula-hula (pihak pengantin perempuan). Dalam perkawinan adat Batak, semua dongan tubu (teman semarga) orang tua pengantin perempuan menjadi hula-hula bagi pihak pengantin laki-laki. Selain dalam adat pernikahan, yang termasuk ke dalam golongan hula-hula adalah tulang (paman), yakni saudara laki-laki ibu beserta dongan tubu (laki-laki yang semarga dengan ibu). Hula-hula merupakan derajat yang paling tinggi dalam adat Dalihan Na Tolu. Pihak Hula-hula dipandang pihak Boru sebagai matahari kehidupan yang memberi berkat karena dari merekalah pihak boru mendapat berkah, dengan demikian masyarakat Batak sangat menghargai Hula-hula nya (Tito dkk, 1993 : 28). Pada dasarnya hubungan ketiga golongan dalam falsafah dalihan na tolu bersifat universal. Meskipun ada sistem kasta di dalamnya yaitu pihak hula-hula dipandang sebagai derajat tertinggi dan boru sebagai derajat terendah, pada dasarnya setiap individu dalam suku Batak akan merasakan menjadi ketiga golongan tersebut. Dalam tradisi martarombo, adanya penentuan menjadi salah satu dari ketiga golongan itu didasarkan terhadap marga apa dia berhubungan. Jika seorang individu Batak Toba berhadapan dengan marga istrinya maka ia akan menjadi hula-hula, jika dengan teman semarga maka orang tersebut adalah dongan tubunya. Seorang individu dalam suku Batak juga akan menjadi boru jika berhadapan dengan hula-hulanya (marga istri).

12

b. Martarombo sebagai Komunikasi Interpersonal Dengan mengacu pada cara berkomunikasi yang dilakukan dalam tradisi Martarombo, maka proses komunikasi ini dapat digolongkan ke dalam komunikasi interpesonal. Penggolongan tradisi Martarombo sebagai bentuk komunikasi interpersonal dilakukan dengan menilik proses komunikasinya yang bersifat dua arah dan adanya umpan balik secara langsung dari komunikator dan komunikan. Dalam tradisi martarombo komunikasi bersifat langsung dan dua arah serta mengutamakan umpan balik sehingga akan tercipta reaksi dan rasa simpati dari kedua komunikator dan komunikan. Hal ini sesuai dengan karakteristik komunikasi interpersonal sebagaimana seperti dikatakan Deddy Mulyana, komunikasi interpersonal terjadi di antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun non verbal. Setiap orang yang melakukan komunikasi interpersonal berada dalam jarak yang dekat dan mereka saling mengirim dan menerima pesan baik verbal ataupun non-verbal secara simultan dan spontan (Mulyana, 2000 : 73). Sejalan dengan hal di atas, Devito (dalam Effendy, 2003:30) mengemukakan

bahwa

komponen

utama

dalam

komunikasi

interpersonal adalah adanya penyampaian pesan oleh individu dan penerimanya adalah individu lain dalam kelompok kecil orang, terdapat dampak, dan ada umpan balik yang bersifat langsung. Liliwery mengemukakan bahwa umpan balik (feedback) merupakan pemberian tangapan terhadap pesan yang dikirimkan dengan suatu makna tertentu. Umpan balik menunjukkan bahwa suatu pesan berhasil didengar, dilihat dan dimengerti (Liliweri, 1994 :17). Dalam tradisi martarombo, dampak

13

dan umpan balik yang terjadi adalah adanya penentuan panggilan dan cara bersikap terhadap orang yang baru dikenal. Komunikasi interpersonal melibatkan paling sedikit dua orang yang mempunyai sifat, nilai-nilai, pendapat, sikap, pikiran dan perilaku yang khas dan berbeda-beda. Selain itu, komunikasi interpersonal juga menuntut adanya tindakan saling memberi dan menerima di antara pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Dengan kata lain para pelaku komunikasi saling bertukar informasi, pikiran, gagasan, dan sebagainya (Rakhmat, 2001). 2. Martarombo sebagai Tradisi dan Ritual Komunikasi a. Tradisi dan Ritual Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat, tradisi juga merupakan penilaian atau anggapan bahwa caracara yg telah ada merupakan yang paling baik dan benar.6 Sejalan dengan definisi di atas, Hanafi (dalam Hakim, 2003 :29), menjelaskan tradisi sebagai segala warisan masa lampau yang masuk pada manusia dan masuk ke dalam kebudayaan yang sekarang berlaku. Tradisi tidak hanya merupakan persoalan peninggalan sejarah, tetapi sekaligus merupakan persoalan kontribusi zaman kini dalam berbagai tingkatannya. Menurut Julius, istilah tradisi berasal dari bahasa latin yakni “traditio” yang bermakna “diteruskan” atau” kebiasaan”. Dalam pengertian paling sederhana yakni sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari 6

http://kbbi.web.id/, diakses 10 Juni 2013

14

generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya hal ini, suatu tradisi dapat punah (Julius, 2009:40). Di dalam tradisi diatur bagaimana manusia berhubungan dengan manusia yang lain atau satu kelompok manusia dengan kelompok manusia lain, bagaimana manusia betindak terhadap lingkungannya, dan bagaimana perilaku manusia terhadap alam yang lain. Ia berkembang menjadi suatu sistem, memiliki pola dan norma yang sekaligus juga mengatur penggunaan saksi dan ancaman terhadap pelanggaran dan penyimpangan. 7 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi mengandung suatu pengertian tentang adanya kaitan antara masa lalu dan masa kini. Tradisi merujuk pada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud

dan

dilaksanakan

hingga

masa

sekarang.

Tradisi

memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah aku dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi indentitas masyarakat itu. Dari pemaparan definisi tradisi di atas dapat diketahui bahwa terdapat hubungan signifikan antara tradisi dan ritual. Tradisi dan ritual adalah bagian dari budaya. Tradisi tidak bisa dilepaskan dari unsur budaya karena mengandung unsur budaya yang terus dilestarikan. Konsep ritual juga merupakan bagian dari budaya dimana ritual merupakan serangkaian kegiatan adat yang dilaksanakan berulang-ulang untuk tujuan simbolis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa ritual adalah hal ihwal ritus atau tata cara dalam upacara keagamaan (KBBI, 2001 : 959). Sementara itu Paper mendefinisikan ritual sebagai teknik atau cara membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci (sanctify the

7

http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/chapter_ii/07210093-widyastuti.ps, didkses 10 Juni 2013

15

custom). Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan agama. Ritual bisa pribadi atau berkelompok (Paper ,1990 : 992). b. Komunikasi sebagai Tradisi dan Ritual Dalam kaitannya terhadap tradisi, komunikasi merupakan unsur budaya yang berfungsi untuk menjalin hubungan antar manusia dan yang digunakan secara turun temurun. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan interaksi dengan individu lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komunikasi merupakan kebutuhan vital manusia. Cara berkomunikasi, media yang digunakan dan berbagai aturan yang menyertainya diatur dalam norma budaya tertentu. Budaya berperan dalam menentukan praktik-praktik komunikasi suatu suku bangsa, dengan demikian praktik komunikasi suatu masyarakat akan beraneka ragam tergantung budayanya. Mulyana menjelaskan bahwa pada dasarnya cara manusia berkomunikasi bergantung pada budaya tempat manusia lahir dan dibesarkan. Lebih lanjut Mulyana mengatakan bahwa bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi (Mulyana, 2003 :19). Sejalan dengan kompleksnya budaya manusia, maka praktik komunikasi juga akan beraneka ragam. Praktik komunikasi yang beraneka ragam merupakan adat dalam suatu proses budaya manusia. Komunikasi yang beraneka ragam ini diturunkan melalui proses belajar dari generasi ke generasi dalam bentuk tradisi. Komunikasi merupakan hasil karya manusia yang menjadi kebudayaaan sekaligus identitasnya. Kebudayaan merupakan

keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya

manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2000).

16

Dalam konteks budaya, komunikasi merupakan konsep gagasan, ide dan karya manusia yang di dapat dalam komunitasnya masing-masing melalui proses belajar sejak kecil. Mahjinir mengatakan bahwa kemampuan seorang anak manusia berbicara diperoleh secara lambat laun melalui proses belajar dalam lingkungan rumah tangga maupun dalam pergaulan sehari-hari (Mahjinir, 1967 :76). Dalam konsep ritual, komunikasi tidak hanya dimaknai sebagai proses pertukaran pesan. Komunikasi dalam konsep ritual memandang komunikasi sebagai milik bersama yang digunakan untuk memelihara suatu nilai dan norma tertentu dalam masyarakat.

James W. Carey

seorang ahli komunikasi mengembangkan komunikasi dalam perspektif budaya dan melihat komunikasi berkaitan dengan upaya untuk membangun

komunitas

(maintain

community).

Menurut

Carey,

komunikasi lekat dengan kata sharing (saling berbagi), partisipasi, asosiasi, pengikut,dan kepemilikan akan keyakinan bersama. Praktikpraktik komunikasi yang dilakukan manusia pada dasarnya ditujukan untuk menjalin interaksi. Proses komunikasi pada konteks ritual juga tidak sekedar mengirim dan menerima pesan, akan tetapi ditujukan untuk menjaga dan memelihara nilai dan norma yang telah dibentuk sejak lama (Carey dalam Mc Quails, 2002:38). Dalam

tradisi

sosiokultural

(socio-cultural

tradition)

mewakili

pandangan komunikasi sebagai ritual yang didasarkan atas nilai dan pranata sosial sebagai dasar perspektif. Tradisi sosikultural menyatakan peran komunikasi yang utama adalah sebagai perekat masyarakat (communication as the glue of society). Dalam pandangan tradisi sosiokultural, bahasa tidaklah netral dan mengandung elemen-elemen kebudayaan, seperti struktur, ritual, norma, kaidah, dan adat istiadat (Littlejohn, 2001 :14). 17

c. Martarombo sebagai Tradisi dan Ritual Komunikasi Suku Batak Dalam konsep komunikasi sebagai tradisi, martarombo dikatakan sebuah tradisi karena merupakan unsur budaya yang diterima dari nenek moyang dan dilestarikan hingga saat ini. Sejalan dengan konsep tradisi bahwa martarombo mengatur pola interaksi masyarakat Batak ketika bertemu dan berkenalan dengan suku Batak. Adanya keharusan bagi masyarakat Batak Toba untuk menanyakan marga orang yang baru dikenal dan kemudian bersikap berdasarkan falsafah dalihan na tolu merupakan ajaran yang ditekankan oleh nenek moyang bangsa Batak hingga saat ini. Martarombo merupakan tradisi yang duturunkan antar generasi pada suku Batak, khususnya suku Batak Toba. Tradisi ini senantiasa dilakukan karena dianggap memiliki nilai luhur untuk selalu menghargai keberadaan identitas marga suku Batak dimanapun ia berada. Dalam konsep komunikasi sebagai ritual, kegiatan martarombo merupakan cara berkomunikasi yang mengandung unsur nilai dan norma sosial yang diturunakan dari generasi terdahulu hingga sekarang. Sejalan dengan konsep komunikasi sebagai ritual yang dijelaskan

Carey,

martarombo berperan dalam menjaga nilai dan norma adat Batak yang diatur dalam tatakrama adat Batak Toba. Nilai dan norma ini perlu dijaga untuk melangsungkan hubungan kekerabatan di antara suku Batak. Martarombo dikatakan sebuah nilai karena mengandung unsur kebaikan untuk mengikat rasa persaudaraan terhadap orang lain. Martarombo juga dikatakan sebuah norma karena adanya keharusan dalam masyarakat Batak untuk bisa menjalin hubungan kekerabatan terhadap sesama suku Batak. Kedua unsur nilai dan norma inilah yang kemudian menjadi bagian dalam tradisi yang dianggap penting dalam kebudayaan Batak Toba. 18

3. Diaspora Suku Batak Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diaspora adalah masa tercerai-berainya suatu bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara, misalnya bangsa Yahudi sebelum negara Israel berdiri pada tahun 1948.8 Steven Vertovec, 1999 dari University of Oxford dalam tulisannya “ Three meanings of ‘diaspora’, exemplified among South Asian religions “ mengatakan bahwa diaspora merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan penduduk yang berasal dari tempat yang berbeda dengan tepat yang diduduki sekarang, ‘DIASPORA’ is the term often used today to describe practically any population which is considered ‘deterritorialised’ or ‘transnational’ -that is, which has originated in a land other than which it currently resides, and whose social, economic and political networks cross the borders of nation-states or, indeed, span the globe. To be sure, such populations are growing in prevalence, number, and self-awareness. Several are emerging as (or have historically long been) significant players in the construction ofnational narratives, regional alliances or global political economies.

Dengan mengacu pada dua pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa diaspora

adalah kegiatan merantau

meninggalkan tanah

kelahirannya, tinggal dan menetap di suatu tempat dan berkembang dalam berbagai bidang. a. Diaspora Suku Batak Toba Menurut Garry, suku Minangkabau dan Bugis adalah suku yang lebih dulu melakukan aktivitas merantau dibandingkan dengan suku Batak, namun perkembangan aktivitas merantau suku Batak tergolong pesat. Menurutnya diaspora Batak yang cukup masif dimulai pada penghujung abad 19 atau awal abad 20, dimulai dari menyebarnya mereka dari 8

(http://kbbi.web.id/), Diakses 23 Maret 2013

19

wilayah Tapanuli ke daerah sekitar, seperti Medan dan Deli karena berkembangnya perkebunan di wilayah tersebut. Seiring dengan pertambahan populasi yang cepat maka semakin pesat pula arus urbanisasi orang orang dari tanah Batak ke seantero nusantara (Garry, 2001). Dalam buku tahunan yang dikeluarkan PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) 1992, gereja yang berafiliasi kepada kelompok etnik dengan jumlah umat terbesar adalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), dengan jumlah umat dua juta jiwa (Ihromi, dalam Sulistyowati, 2005:8990). Berdasarkan data di atas, dapat dicermati bahwa angka pertumbuhan masyarakat Batak cukup besar. Keadaan tanah daerah asal (bona pasogit) yang gersang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan besarnya angka persebaran masyarakat Batak di berbagai daerah (Garry, 2001). Penulis dan ahli budaya Batak, Bungaran Antonius Simanjuntak menyebutkan migrasi suku Batak keluar dari kampung halamannya di bona pasogit (tanah Batak) didorong pandangan hagabeon (sukses berketurunan), hasangapon (kehormatan), dan hamoraon (kekayaan) (Simanjuntak, 2006). Ketiga konsep tersebut manjadi konsep dasar secara budaya ketika suku Batak merantau. Keadaan daerah perantauan yang danggap dapat mewujudkan ketiga konsep di atas menjadi motivasi tersendiri bagi suku Batak untuk merantau ke daerah lain. Budayawan Batak, Togarma Naibaho mengatakan pada umumnya suku Batak melakukan aktivitas merantau untuk bersekolah dan bekerja. Bagi orangtua

masyarakat

Batak,

pendidikan

anak

menjadi

keberhasilan orangtua. Untuk meraih pendidikan anaknya,

ukuran orangtua

dalam masyarakat Batak rela menjual harta benda miliknya. Hal inilah

20

yang membuat masyarakat Batak sebagai salah satu suku yang mempunyai tingkat pedidikan yang cukup tinggi. Sejalan dengan hal ini, Anthony Reid dalam buku “Menuju Sejarah Sumatera” menuliskan, suku Batak Toba, Mandailing, dan Karo termasuk suku di Indonesia yang berpendidikan terbaik pada abad ke-19, selain Minangkabau, Minahasa, dan Toraja.9 Bisa disimpulkan bahwa rasa ketertarikan suku Batak Toba terhadap pendidikan menjadi salah satu faktor pendorong aktivitas merantau anak muda suku Batak ke daerah yang jauh sekalipun. Setelah menempuh pendidikan di daerah perantauan suku Batak Toba biasanya tidak langsung pulang ke kampung halaman tetapi tetap merantau dan mencari pekerjaan di daerah yang membutuhkan banyak tenaga kerja seperti daerah perkotaan. Hal inilah yang menyebabkan tingginya tingkat persebaran suku Batak di Indonesia.10 b. Suku Batak di Yogyakarta Adanya tingkat kepedulian yang tinggi akan pendidikan membuat suku Batak rela menginggalkan kampung halaman dalam waktu yang cukup lama. Salah satu kota yang menjadi kota perantauan suku Batak yang cukup masih adalah Yogyakarta. Yogyakarta sebagai kota pendidikan menjadi salah satu tempat perantauan suku Batak Toba. Selain untuk mengenyam pendidikan, para perantau suku Batak juga datang ke Yogyakarta untuk menjadi pekerja maupun membuka usaha. Sensus penduduk tahun 2000 menyatakan bahwa jumlah suku Batak di Yogakarta mencapai 7.890 ribu jiwa dan berada pada peringkat kelima 9

(http://megapolitan.kompas.com/read/2013/02/03/09135265/Melacak.Jejak.Batak.di.Jakarta, diakses 20 Maret 2013 10 Wawanca dengan Bapak St. Masinton Marpaung, seorang Raja Parhata (tokoh adat) Batak Toba di Yogyakarta, 18 Juni 2013.

21

setelah Jawa, Sunda, Melayu, dan Tionghoa (BPS, 2000). Sementara itu, Rusdin Sinaga, SE yang berasal dari paguyuban suku Batak Yogyakarta mengatakan bahwa tahun 2011 jumlah suku Batak yang ada di Yogyakarta mencapai + 11.000 jiwa. 11 Dengan mengacu pada data ini maka dapat disimpulkan bahwa jumlah suku Batak yang ada di Yogyakarta cukup banyak akan dapat merepresentasikan penerapan tradisi martarombo di Yogyakarta. Jauhnya jarak perantau suku Batak di Yogyakarta terhadap kampung halaman (Bona Pasogit) ternyata tidak menghilangkan identitas budaya Batak di Yogyakarta. Adanya kerinduan untuk berinteraksi dengan sesama suku Batak menjadi motivasi tersendiri untuk mendirikan paguyuban atau perkumpulan sesama masyarakat Batak di Yogyakarta. Hal ini terlihat dari banyaknya perkumpulan suku Batak di Yogyakarta sepert arisan marga dan paguyuban mahasiswa Batak diberbagai kampus. Salah satu paguyuban suku Batak terbesar di Yogyakarta adalah Parbopas (Parsadaan Bona Pasogit) yakni perkumpulan masyarakat Batak yang ada di Yogyakarta. Selain itu di berbagai kampus di Yogyakarta juga dibentuk paguyuban mahasiswa Batak seperti Komunitas Mahasiswa Batak Atmajaya (KMBA) di Universitas Atmajaya Yogyakarta, Permaba ( Persaudaraan Mahasiswa Batak Atmajaya) di Universitas Atmajaya Yogyakarta, IMPY ( Ikatan Mahasiswa Pakpak Yogjakarta), dan KBMB (Keluarga besar Mahasiswa Batak) Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta (UPN Yogyakarta). 12 Selain paguyuban di kampus, perkumpulan perantau suku Batak dalam berbagai arisan marga juga cukup besar. Adanya berbagai acara dan 11

http://agendajogja.com /hari-ini-jabatan-gubernur-diy-diperpanjang/, diakses 25 Maret 2013 http://www.mahasiswabatak.com/2012/03/organisasi-mahasiswa-batak.html,diakses 26 Maret 2013.

12

22

kegiatan yang dilakukan berdasarkan marga merefleksikan hubungan persaudaraan antar marga di Yogyakarta cukup kuat. Besarnya jumlah perantau suku Batak Toba berserta ikatan yang cukup kuat dalam berbagai ikatan maupun paguyuban akan mampu merepresentasikan bagaimana tradisi martarombo diterapkan oleh suku Batak Toba di Yogyakarta. G. Kerangka Konsep Suku Batak merupakan suku di Indonesia yang terkenal dengan aktivitas merantaunya. Pandangan dari para pakar budaya Batak mengatakan bahwa migrasi suku Batak keluar kampung halamannya didorong pandangan hagabeon (sukses berketurunan), hasangapon (kehormatan), dan hamoraon (kekayaan). Selain untuk bekerja, biasanya hal yang menjadi motivasi orang Batak merantau adalah bidang pendidikan. Suku Batak dikenal memiliki kegigihan dalam menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. Hingga kini pendidikan tinggi dianggap sebagai tolak ukur kehormatan keluarga sehingga orang tua suku Batak tidak segan menghabiskan harta bendanya demi pendidikan anak-anaknya. Yogyakarta sebagai kota budaya dan pendidikan merupakan salah satu kota tempat perantauan suku Batak. Kualitas pendidikan tinggi di Yogyakarta yang dirasa sangat baik ditambah dengan kenyamanan kotanya membuat banyak anak muda suku Batak memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Yogyakarta. Walaupun jauh dari kampung halaman, adat dan tradisi yang diturunkan dari nenek moyang tetap dipertahankan suku Batak di Yogyakarta. Adanya nama marga yang disandang menjadi identitas dirinya dan digunakan untuk membangun ikatan dengan sesama suku Batak di Yogyakarta. Tradisi martarombo merupakan sebuah tradisi suku Batak yang dilakukan untuk membangun ikatan antar sesama suku Batak berdasarkan sistem kekerabatan. Tradisi ini telah menjadi kebiasaan turun temurun suku Batak yang

23

dilakukan ketika berkenalan dengan sesama suku Batak. Keberadaan marga merupakan aspek terpenting dalam penerapan tradisi martarombo karena marga adalah aspek mendasar yang diperbincangkan dalam tradisi ini. Tradisi martarombo dilakukan dengan berkomunikasi dua arah (interpersonal) yang dilakukan dua orang atau lebih dan saling bertanya mengenai asal usul marga seluruh keluarga mereka, baik dari marga ayah (diri sendiri), marga ibu, marga ibu ayah, marga ibunya ibu, dan marga keluarga dekat atau jauh. Setelah saling bertanya maka akan terbentuk sistem kekerabatan yang menentukan panggilan beserta cara bersikap terhadap orang yang baru dikenal tersebut yang didasarkan adat Dalihan Na Tolu. Berdasarkan adat Dalihan Na Tolu ini maka hubungan kekerabatan suku Batak digolongkan ke dalam tiga bagian yakni dongan tubu (teman semarga), hula hula (keluarga istri/ibu), dan boru (keluarga suami saudara perempuan). Proses martarombo yang didasarkan pada falsafah Dalihan Nato Tolu dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Gambar 1.2 Proses Tradisi Martarombo Dalam falsafah dalihan na tolu, terdapat perbedaan cara bersikap terhadap ketiga golongan tersebut. Golongan hula hula yang dianggap sebagai golongan tertinggi harus dihormati dan diperlukan sebaik mungkin, karena hula hula

24

dinggap sebagai matahari yang membawa berkat sehingga hula hula dan semua teman semarga (dongan tubu) hula hula harus dihargai. Selain itu suku Batak juga diharuskan untuk menjaga sikap terhadap dongan tubu agar tidak berkonflik dengan dongan tubu (teman semarga) karena mereka dianggap sebagai teman sepenanggungan dalam menjalani hidup dimanapun suku Batak berada. Begitu juga dengan pihak boru yang dalam adat Batak dapat diperintah untuk mengerjakan sesuatu, akan tetapi perintah itu harus menjaga perasaan mereka (membujuk) agar tidak tersinggung dan merasa direndahkan. Jauhnya jarak dari kampung halaman dan jarangnya melihat dan mengikuti kegiatan adat seperti di kampung halaman menjadi pertanyaan bagaimana penerapan tradisi Martarombo oleh anak muda perantau suku Batak Toba di Yogyakarta. Pola komunikasi anak muda suku Batak yang berbeda terhadap orangtua suku Batak dan dengan sesama anak muda suku Batak akan dilahat pengaruhnya dalam penerapan tradisi martarombo. Selain itu kota Yogyakarta sebagai kota yang multietnis ditambah lagi dengan interaksi anak muda perantau suku Batak terhadap anak muda suku Batak yang sudah lahir dan besar di perantauan (kurang memahami tradisi martarombo) dirasa dapat memberi pengaruh terhadap penerapan tradisi martarombo. Melalui wawancara mendalam dan kegiatan obsevasi yang dilakukan penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan secara jelas bagaimana anak muda perantau suku Batak Toba menerapkan tradisi ini di Yogyakarta. Selanjutnya penelitian ini juga berusaha memaparkan bagaimana perkembangan maupun pergeseran di dalam penerapan tradisi martarombo di Yogyakarta beserta faktor- faktor yang mempengaruhinya. Di Yogyakarta, ikatan-ikatan kultural suku Batak terbangun dari perkumpulan maupun paguyuban beserta serangkaian kegiatan sosial dan acara adat yang mereka lakukan. Anggota dari beberapa perkumpulan dan paguyuban ini akan

25

diminta untuk menjadi informan karena tingkat interaktivitas mereka yang dirasa mampu menjelaskan penerapan tradisi martarombo. Kegiatan observasi juga dilakukan untuk melihat bagaimana nilai nilai budaya Batak dalam interaksi mereka diterapkan. Pada dasarnya, proses komunikasi yang terjadi dalam tradisi martarombo bukanlah sebatas bertanya dan mengetahui asal usul marga dari lawan bicara. Proses komunikasi yang dilandaskan pada adat Dalihan Na Tolu bertujuan untuk membangun hubungan kekerabatan di antara sesama suku Batak yang berkenalan. James W. Carey menjelaskan bahwa komunikasi sebagai ritual berupaya untuk membangun komunitas masyarakat adat tertentu. Komunikasi sebagai ritual lekat dengan kata sharing (saling berbagi), partisipasi, asosiasi, pengikut, dan kepemilikan akan keyakinan bersama. Komunikasi pada dasarnya dibangun untuk menjalin interaksi. Martarombo merupakan sebuah tradisi yang sudah diterapkan secara turun temurun untuk membangun ikatan di antara suku Batak. Penelitian ini nantinya ingin menggambarkan bagaimana tradisi martarombo diterapakan anak muda suku Batak Toba di Yogyakarta terkait nilai nilai budaya di dalamnya. Pada dasarnya kegiatan martarombo dilakukan di semua sub etnik Batak, seperti Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pak-pak, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Adanya hubungan masing-masing sub suku Batak ini dihubungakan oleh identitas marga mereka yang berasal dari satu nenek moyang, yakni Si Raja Batak. Akan tetapi sub suku Batak Toba dengan jumlah etnik terbesar yang hingga sekarang masih sangat mejaga nilai-nilai tradisi ini. Biasanya sub etnik diluar Batak Toba menerapkan tradisi ini ketika berinteraksi dengan suku Batak Toba.

26

H. Metodologi Penelitian 1. Sifat Penelitian Penelitian tentang penerapan tradisi martarombo oleh anak muda perantau suku Batak Toba di Yogyakarta ini bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan

kehidupan sehari-hari. Penelitian kualitatif berangkat pada

pendekatan holistik yakni berupa suatu konsep yang besar yang diteliti pada objek spesifik dan hasil yang didapatkan akan dikembalikan pada konsep besar tersebut (Moehadjir, 1998). 2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut M. Nasir, metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu strata, peristiwa pada masa sekarang dan terjadi ketika penelitian sedang berjalan. Adapun tujuan metode deskriptif adalah untuk mengggambarkan atau melukiskan secara sistematis, aktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang sedang diselidiki (Nasir,1998 :63). Menurut Jalaludin Rakhmat, metode deskriptif merupakan metode yang tidak menjelaskan hubungan antara variabel dan tidak menguji hipotesis atau prediksi. Metode penelitian deskriptif dapat diuraikan sebagai prosedur pemecahan

masalah yang diselidiki dengan

menggambarkan

atau

melukiskan subyek atau objek penelitian dalam masyarakat (Rakhmat, 1989 :37). Dengan demikian pelaksanaan metode deskriptif tidak hanya sampai pada pengumpulan data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi tentang makna yang dikandung data itu (Surakhmad, 1982:139).

27

Menurut Singarimbun dan Effendy, terdapat dua tujuan dilakukannya suatu penelitian deskriptif yaitu : 1. Untuk mengetahui perkembangan saran fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu aspek fenomena sosial tertentu. 2. Untuk mendeskripsikan fenomena sosial tertentu, umpamanya sistem sosial, sistem kekerabatan dan sebagainya. Penelitian ini biasanya dilakukan tanpa hipotesa yang telah dirumuskan secara kilat (Singarimbun dan Efendy, 1989 : 4). 3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini akan menggunakan teknik wawancara (in dept interview) dalam mengumpulkan data primer. Informan yang dianggap memiliki pengalaman dan pengetahuan dalam bahasa dan tradisi Batak Toba akan dilakukan wawancara untuk menggali informasi mengenai penerapan tradisi martarombo di Yogyakarta. Untuk mendapatkan data sekunder, penelitian ini juga akan melakukan observasi secara langsung untuk melihat bagaimana nilai nilai budaya Batak diterapkan dalam interaksi mereka. Observasi dilakukan dengan masuk dan mengikuti acara perkumpulan/pertemuan anak muda suku Batak Toba di Yogyakarta. Penelitian ini tidak hanya mengumpulkan fakta tetapi data yang dikumpulkan akan disusun, dijelaskan, dan kemudian diberi analisis. Untuk memilih informan yang dapat memberikan data secara efektif dalam wawancara maka akan digunakan teknik penggalian data seperti yang dikatakan Spradley dalam Burhan Bungin, 2007 : 1. Subyek yang telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau

aktivitas

yang

menjadi

informasi

serta

menghayati

keterlibatannya yang cukup lama dengan kegiatan tersebut.

28

2. Subyek yang masih terlibat secara aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi perhatian peneliti. 3. Subyek punya cukup banyak waktu untuk diwawancarai 4. Subyek yang memberikan informasi tidak cenderung mempersiakanya terlebih dahulu. 4. Analisis Data Penelitian ini adalah suatu penelitian deskriptif, sesuai dengan prinsip penelitian deskriptif bahwa penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menghubungan antar variabel dan menguji hipotesis berdasarkan teori-teori tertentu. Hasil pengamatan yang dilakukan melalui wawancara dan observasi akan dijelaskan melalui laporan yang bersifat deskriptif dengan menggunakan analisis data kualitatif. Dengan dilakukannya analisis terhadap data yang didapatkan maka akan diperoleh nantinya gambaran bagaimana penerapan tradisi martarombo dalam komunikasi anak muda perantau suku Batak di Yogyakarta. 5. Informan Penelitian Informan dalam penelitian ini adalah anak muda suku Batak Toba yang berasal dari daerah Sumatera Utara yang sedang merantau dan tinggal di Kota Yogyakarta. Kategori anak muda dalam penelitian ini adalah pria maupun wanita Batak Toba yang belum menikah. Selain itu, informan juga harus bisa berbahasa Batak Toba dan memiliki paguyuban/perkumpulan dengan sesama perantau suku Batak Toba, baik di kampus maupun lingkungan tempat tinggal. Pemilihan informan yang memiliki paguyuban dan bisa berbahasa Batak Toba dikarenakan adanya kecenderungan bahwa orang Batak yang tidak bisa berbahasa Batak Toba dan jauh dari kegiatan adat biasanya tidak mengerti tradisi dan adat Batak Toba.

29