BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Batak adalah salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Suku Batak tidak hanya satu saja tetapi terdiri dari beberapa sub suku. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak antara lain Batak Toba, Batak Karo, Batak Mandailing-Angkola, Batak Pakpak, Batak Simalungun (Kozok, 1999:12). Menurut mitos yang masih hidup hingga sekarang, leluhur pertama suku Batak bernama Siraja Batak (Simanjuntak, 2006:78). Masyarakat Batak, khususnya Batak Toba memiliki adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Adat istiadat ialah berbagai aktivitas sosial budaya termasuk upacara-upacara kebudayaan yang disepakati menjadi tradisi dan berlaku secara umum di masyarakat dan mencakup sistem kekerabatan di dalamnya. Sistem kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba termasuk satu hal yang amat penting serta berperan banyak dalam hal menentukan perilaku hidup orang Batak sehari-hari termasuk di dalam adat (Revida, 2006:213). Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba tidak dapat dipisahkan dari falsafah hidupnya yang disebut dengan Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu mengandung nilai kekerabatan, religi, hagabeon (banyak keturunan, panjang umur, kepatuhan, ilmu pengetahuan, keberanian), hasangapon (kewibawaan), hamoraon (kekayaan dan pengayoman) (Siagian, 1992). Dalihan Na Tolu merupakan suatu pranata jika sudah menikah. Perkawinan bagi masyarakat Batak adalah semacam jembatan mempertemukan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin laki-laki dengan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin perempuan (Siahaan, 1982:50). Dengan kata lain, pernikahan bukan hanya sekedar ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Tetapi pernikahan juga mempengaruhi pola kekerabatan dan hubungan tertentu
1
antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan serta diakuinya seseorang di dalam adat (Dafrina, 2009:12). Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Falsafah hidup Dalihan Na Tolu inilah yang hingga kini dipegang oleh Orang Batak. Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah Dalihan Na Tolu ini dipegang teguh dan menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak Toba yang harus selalu dijunjung tinggi (Tinambunan, 2010:159). Dalihan Na Tolu merupakan pondasi yang mendasar bagi adat istiadat masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu ditanamkan mulai dari lahir hingga mati pada orang Batak Toba. Prinsip Dalihan Na Tolu dijadikan konsep dasar kebudayaan Batak Toba baik di kampung halaman atau desa maupun tanah perantauan. Falsafah ini menjadi hal yang menentukan tindakan, pemikiran serta perilaku individu di dalam masyarakat Batak Toba. Hal ini dilatarbelakangi oleh keberadaan Dalihan Na Tolu itu sendiri yang diterima ditengah-tengah masyarakat Batak Toba sebagai suatu sistem sosial kemasyarakatan. Hal inilah yang dianut hingga turun temurun oleh masyarakat Batak Toba dalam kehidupannya sehari-hari di lingkungannya. Sistem Dalihan Na Tolu dikalangan Batak Toba timbul pada dasarnya karena perkawinan antar marga yang disebut dengan perkawinan eksogami marga. Bagi masyarakat Batak Toba, upacara adat yang terpenting dan paling mendasari seseorang agar memiliki posisi dalam adat adalah perkawinan, karena hanya orang yang sudah kawin berhak mengadakan atau melaksanakan upacara adat lainnya seperti menyambut lahirnya seorang anak, memasuki rumah baru hingga upacara kematian dan lain sebagainya. Melalui Perkawinan akan muncul sebutan dan posisi hula-hula, dongan sabutuha dan boru. Sistem hubungan antara tiga kelompok kekerabatan ini merupakan suatu kesatuan sosial yang erat. Secara singkat, Dalihan Na Tolu mengatur mekanisme integritas dan identitas antar marga (clan) dan nilai tersebut diaplikasikan dalam bentuk sosial adat Dalihan Na Tolu (Yusrina & Nurdin, 2009).
2
Dalam adat-istiadat masyarakat Batak, ada tuntutan untuk segera menikah bagi orang yang telah dewasa. Hal ini dikarenakan perkawinan merupakan sarana untuk menciptakan relasi kekeluargaan dalam struktur Dalihan Na Tolu (Simanjuntak, 2006) yang secara literer “Tungku Nan Tiga”, yang digambarkan seperti batu tungku tempat perapian menanak nasi (berasal dari kata, dalih= tungku, n= nan/terdiri dari, tolu= tiga). Dalihan Na Tolu sebagai pemetaan masyarakat Batak Toba yang terdiri dari hula-hula, dongan sabutuha dan boru (Situmorang, 1999). Hula-hula adalah pihak yang mengambil putri dalam suatu perkawinan. Dongan sabutuha adalah teman semarga (dari kata dongan = teman, butuha = perut). Dongan sabutuha berarti saudara yang seibu-sebapa, berasal dari kandungan yang sama (disebut juga dengan dongan tubu) dalam arti luas yang disebut marga. Boru ialah pihak yang memberi anak putri dalam suatu pernikahan. Dari ketiga unsur tersebut, Pada dasarnya hubungan ketiga golongan dalam Dalihan Na Tolu bersifat universal. Setiap unsur memiliki posisi, hak dan kewajiban yang berbeda, namun pada prinsipnya sama. Setiap orang Batak Toba menduduki ketiga status ini, pada saat tertentu seseorang bisa menduduki posisi hula-hula, boru dan dongan tubu dalam upacara adat apabila sudah menikah (Vergouwen, 2004). Dalihan Na Tolu yang menjadi tonggak budaya Batak yang mengandaikan tiap individu berada dalam lembaga perkawinan dan sistem kekerabatan berdasarkan pertalian darah dan hubungan marga. Pernikahan membuat masyarakat Batak bersatu, berhubungan erat satu sama lain, artinya melalui perkawinan masyarakat Batak sangat terintegrasi (Simanjuntak, 2006). Lembaga perkawinan dan hubungan kekerabatan merupakan tiang terpenting yang menyangga kehidupan tiap orang Batak. Ada pepatah orang Batak yang berbunyi “Magodang anak pangolihononhon, Magodang boru pamulion” yang berarti dalam bahasa Indonesia anak-anak itu baik laki-laki maupun perempuan, jika sudah dewasa wajib dinikahkan. Orang Batak menyebut mati tanpa keturuan sebagai “mate ponggol” yang secara literer berarti “mati terputus”. Ada
3
umpama/pepatah Batak mengatakan, ”Hosuk humosukhosuk, hosuk di tombak ni Batangtoru; Porsuk ni na porsuk, sai umporsuk dope na so maranak so marboru” yang berarti dalam bahasa Indonesia penderitaan yang terberat adalah tidak memiliki keturunan (Sihombing, 1986). Sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu yang bersifat patrilinear sehingga laki-laki menjadi pemeran utama dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan adalah bagian dari kerabat ayahnya saat ia gadis, kemudian setelah menikah perempuan menjadi bagian kelompok kekerabatan suaminya (Hutabarat, 1999). Hal ini terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang turun dari marga ayahnya dan dari hubungan masyarakat Batak Toba ketika menikahkan anak perempuan, akan menetap di pihak laki-laki. Hal ini juga terjadi karena pemberian marga sesuai dengan marga dari suami ketika sudah menikah dan perempuan harus mengikuti marga dari suaminya tersebut. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat Batak Toba dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum perempuan. Dalam masyarakat Batak Toba anak perempuan belum dikatakan dewasa apabila belum kawin dan mendirikan rumah tangga sendiri. Sebelum kawin meskipun anak perempuan yang sudah cukup umur pada zaman dahulu, tidak memberikan iuran (guguan) pada pesta adat di masyarakat karena dianggap masih menjadi beban orang tuanya. Hal ini tetap berlaku meskipun perempuan tersebut sudah mempunyai pekerjaan. Kedudukannya hanya akan berubah apabila sudah kawin. Ketika perempuan kawin, mulai saat itu dia sudah diterima dalam adat (Vergowen, 2004:299-302). Namun yang terjadi saat ini masyarakat mengalami perubahan sebagaimana semua organisme hidup lainnya khususnya perempuan sebagai salah satu bagian besar dalam masyarakat juga mengalami perubahan. Pada kenyataannya saat ini ada perempuan Batak Toba yang tidak menikah namun sudah berusia matang. Padahal bagi orang Batak Toba perempuan Batak ketika belum menikah pada usia yang terbilang sudah matang adalah kondisi yang sulit
4
karena dalam falsafah-falsafah hidup orang Batak didapati adanya tuntutan bagi orang dewasa untuk menikah. Masyarakat juga memahami bahwa kodrat perempuan adalah menjadi istri dan ibu sehingga mengakibatkan adanya desakan sosial bagi perempuan bahwa pernikahan adalah kewajiban bagi perempuan. Maraknya perempuan yang hidup melajang salah satunya diakibatkan karena adanya perubahan pada ilmu pengetahuan dan modernisasi yang membuat pola pikir perempuan semakin berkembang dan dapat menyaingi laki-laki. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat maka posisi perempuan berubah dari sektor domestik menjadi terlibat dalam sektor publik. Dapat dilihat dalam hal pekerjaan kaum perempuan dan laki-laki tidak dibedakan, yang mana disesuaikan dengan bidang kemampuannya. Kaum perempuan saat ini mempunyai alasan yang berbeda-beda dalam menanggapi adat yang melekat di dalam dirinya sehingga pernikahan bukan lagi menjadi hal yang diutamakan oleh perempuan. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan kebudayaan Batak Toba yang menjunjung tinggi falsafah Dalihan Na Tolu dimana nilai-nilainya dicapai hanya melalui pernikahan dan membentuk kekerabatan yang baru dengan clan marga yang lain. Pilihan hidup tidak menikah pada perempuan Batak Toba ini juga memunculkan stereotype negatif dari masyarakat Batak Toba. Misalnya perempuan yang hidup melajang sering dikatakan karena tidak laku, terlalu memilih jodoh, sampai dengan istilah ”perawan tua”. Stereotype negatif akan ditujukan bagi mereka yang belum menikah di usia yang sudah dianggap sepantasnya. Pernikahan menjadi sesuatu yang wajib dilakukan agar tidak dianggap menyimpang dari norma masyarakat. Sebutan perjaka tua tersedia bagi laki-laki, sedangkan perempuan disebut dengan istilah perawan tua. Namun, sebutan itu sering dirasakan berdampak jauh lebih besar bagi perempuan dibandingkan kepada laki-laki (Dafrina, 2009). Perubahan pada perempuan Batak Toba ini khususnya terjadi ketika berada di perantauan yang jauh dari wilayah Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan
5
suku Batak yang ada di perantauan cenderung jauh dari kegiatan adat sehingga pemeliharaan adat tidak seperti di Bona Pasogit (tanah kelahiran Batak Toba) serta karena adanya sistem yang terbuka dalam lapisan masyarakat. Penerapan Dalihan Na Tolu tidak lagi seketat dan sekental di tanah Batak Toba. Perubahan yang terjadi selain karena komposisi penduduk yang heterogen serta perubahan lingkungan hidup, juga disebabkan oleh adanya penyebaran kebudayaan lain ke dalam masyarakat yang bersangkutan. Secara pelan-pelan dan biasanya tanpa disadari, berbagai pola perilaku, norma, nilai, dan pranata menjadi berubah karena sebagian dari unsur kebudayaan dan struktur sosial yang telah berlaku harus diubah dan disesuaikan dengan komposisi penduduk yang menjadi warga masyarakat tersebut. Adaptasi dan interaksi menjadi salah satu yang wajib dilakukan oleh orang Batak ketika sampai di tanah rantau. Yogyakarta sebagai salah satu kota budaya dan pendidikan dikenal sebagai salah satu kota perantauan bagi suku Batak Toba. Perantauan dilakukan dengan menjadi pekerja maupun sebagai pelajar di Yogyakarta. Banyaknya perkumpulan atau komunitas suku Batak Toba yang terbentuk atas dasar kesamaan marga membuktikan bahwa banyaknya suku Batak Toba di Yogyakarta. Saat ini terdapat beragam perkumpulan perantau suku Batak Toba di Yogyakarta baik dalam bentuk arisan marga, komunitas Batak dari gereja, komunitas Batak dari musik tradisi Batak, maupun perkumpulan marga (Hutagaol, 2013). Berdasarkan
hal
yang
diuraikan
diatas
maka
dapat
dilihat
permasalahannya adalah perempuan Batak Toba yang memilih untuk tidak menikah dan merantau telah mengalami pergerseran dalam memahami falsafah hidup Dalihan Na Tolu sehingga muncul pilihan hidup tidak menikah dan tentunya menjadikan perempuan-perempuan ini tidak menjalankan adat dan dianggap mengingkari adat kebiasaan dalam masyarakat Batak Toba. Sebagai perempuan yang diikat oleh kebudayaan yang menjunjung tinggi Dalihan Na Tolu, pilihan untuk tidak menikah merupakan hal yang sangat bertolak belakang dengan falsafah hidup yang harus dijalankannya dan masih mengutamakan unsur budaya tradisional (http://rapolo.wordpress.com/2009). Bagi masyarakat Batak
6
Toba adat harus selalu dilestarikan dan dijunjung tinggi, terlukis dari ungkapan atau pepatah Batak Toba “raja na di jolo, martungkot siala gundi, adat pinungka ni na parjolo, siihut honon ni parpudi” (raja yang terdahulu bertongkat siala gundi, adat yang diciptakan orang dahulu harus diikuti orang yang kemudian). Hal inilah yang menarik minat penulis untuk meneliti sejauh mana pergeseran pemaknaan falsafah Dalihan Na Tolu pada perempuan tidak menikah sehingga tidak lagi memegang falsafah Batak Toba “Dalihan Na Tolu” di Yogyakarta saat ini.
1.2. Rumusan Masalah Dalihan Na Tolu merupakan falsafah yang dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat yang mengandung nilai utama dari inti budaya masyarakat Batak Toba. Selain menciptakan kekerabatan, Dalihan Na Tolu merupakan landasan suku Batak Toba apabila melaksanakan upacara adat. Nilai-nilai dan posisi yang terkandung di dalam Dalihan Na Tolu dapat dijalankan seseorang dalam adat Batak Toba apabila sudah menikah khususnya perempuan. Namun yang terjadi saat ini, seiring dengan perkembangan zaman yaitu adanya perempuan yang tidak menikah sehingga bertolak belakang dengan kebudayaan yang melekat dalam dirinya. Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Sejauh mana pergeseran pemaknaan perempuan tidak menikah terhadap falsafah hidup Dalihan Na Tolu?
1.3.Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan mengidentifikasi aspek perubahan sosial yang terjadi di kalangan perempuan Batak Toba yang tidak menikah yang merantau di Yogyakarta serta memahami sejauh mana pergeseran
7
yang terjadi pada perempuan Batak Toba khususnya dalam memahami nilai Dalihan Na Tolu yang menjadi setting sosialnya.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berarti bagi pengembangan keilmuan, terutama sosiologi yang berkaitan dengan masyarakat dan individu serta menjadi bahan kajian untuk kepentingan yang lebih bermanfaat.
1.4.2. Manfaat praktis Menjadi sumbangan bagi upaya pelestarian tradisi suku Batak Toba yang saat ini dirasa telah terjadi perubahan dalam penerapannya dan masukan kepada semua pihak yang peduli maupun yang berkepentingan terhadap masalah ini serta memberikan gambaran tentang bentuk perubahan sosial kultural atau pergeseran yang terjadi di kalangan perempuan Batak Toba yang tidak menikah yang merantau di Yogyakarta saat ini dalam memahami falsafah hidup Dalihan Na Tolu.
1.5. Landasan Teori 1.5.1. Tinjauan Pustaka Ada sebuah penelitian dilakukan oleh Prima Dafrina Hutagalung mahasiswa Universitas Sumatera Utara Tahun 2010 tentang “Fenomena Pilihan Hidup Tidak Menikah (Studi Deskriptif Pada Wanita Karir Etnis Batak Toba di Kota Medan)” dalam penelitiannya dikatakan hidup melajang adalah merupakan fenomena yang tidak disukai oleh anggota keluarga, dan merupakan salah satu bentuk penyimpangan bagi masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian yang 8
dilakukan pada wanita karir etnis Batak Toba di Kota Medan tersebut, pilihan tidak menikah dilihat karena wanita sudah berada pada Comfort zone (memiliki kedudukan tertentu dan telah memiliki pendapatan yang telah memadai) alias sudah kadung (terlanjur) asyik dengan kehidupan melajang. Terjadinya perubahan yang cepat pada wanita dibandingkan pria di Indonesia. Wanita Indonesia makin cerdas, berpendidikan dan makin mudah beradaptasi dengan perubahan. Ini membuat para wanita susah untuk menentukan pilihan hidupnya untuk berkeluarga. Kecenderungan saat ini wanita bisa berpikir lebih rasional dan tidak lagi emosional, dan yang terpenting lagi adalah mampu untuk mengontrol diri. Berdasarkan gambaran tersebut dalam pandangan masyarakat Batak Toba dihasilkan kesimpulan bahwa wanita karir etnis Batak Toba, yang memilih untuk tidak menikah mendapat respon yang biasa saja dari masyarakat Batak Toba, walaupun ada pertentangan pada masyarakat karena pada umumnya masyarakat Batak Toba mempunyai nilai-nilai prinsip pada kehidupan Batak Toba untuk menuju kesempurnaan yaitu hamoraon, hasangapon, dan hagabeon dimana ketiga prinsip ini hanya dapat tercapai apabila sudah menikah. Hal ini disebabkan karena wanita karir sudah mengalami perubahan untuk dapat berada pada sektor publik, bukan hanya laki-laki saja yang bisa bekerja dan dihargai di lapisan masyarakat, tetapi wanita juga dapat dihargai dilingkungannya. Namun dalam penelitian tersebut tidak dibahas mengenai perubahan sosial perempuan Batak Toba yang tidak menikah padahal memiliki kebudayaan yang sangat kental dan menjunjung tinggi Dalihan Na Tolu, apalagi jika perempuan tersebut
lebih
memilih
melajang
karena
berbagai
dorongan
sehingga
mengesampingkan sistem kebudayaan yang seharusnya melekat dalam hidupnya dan harus dijalankannya. Tetapi penelitian tersebut telah menggugah minat penulis untuk lebih mengetahui tentang perubahan sosial pada perempuan Batak Toba yang tidak menikah.
9
1.5.2. Teori Perubahan Sosial Perubahan adalah proses sosial yang dialami oleh masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan sistem sosial, semua tingkatan kehidupan masyarakat secara sukarela atau dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal meninggalkan polapola kehidupan, budaya dan sistem sosial lama kemudian menyesuaikan diri atau menggunakan pola-pola kehidupan, budaya, dan sistem sosial baru (Susanto, 1979). Menurut Sztompka, masyarakat senantiasa mengalami perubahan di semua tingkat kompleksitas internalnya. Dalam kajian sosiologis, perubahan dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan tidak linear. Dengan kata lain, perubahan tidak terjadi secara linear. Perubahan sosial secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses pergeseran atau berubahnya struktur/tatanan di dalam masyarakat, meliputi pola pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat. Pada tingkat makro, terjadi perubahan ekonomi, politik, sedangkan ditingkat mezo terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi, dan ditingkat mikro sendiri terjadi perubahan interaksi, dan perilaku individual. Masyarakat bukan sebuah kekuatan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait bertingkat ganda (Sztompka, 2004). Alfred (dalam Sztompka, 2004), menyebutkan masyarakat tidak boleh dibayangkan sebagai keadaan yang tetap, tetapi sebagai proses, bukan objek semu yang kaku tetapi sebagai aliaran peristiwa terus-menerus tiada henti. Diakui bahwa masyarakat (kelompok, komunitas, organisasi, bangsa) hanya dapat dikatakan ada sejauh dan selama terjadi sesuatu di dalamnya, seperti adanya tindakan, perubahan, dan proses tertentu yang senantiasa bekerja. Perubahan sosial sebagai perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga, dan struktur sosial pada waktu tertentu. Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Oleh sebab itu, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan.
10
Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat itu tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi masalah yang dihadapinya. Gerth dan Mills (dalam Soekanto, 1983) mengasumsikan beberapa hal, misalnya perihal pribadi-pribadi sebagai pelopor perubahan, dan faktor material serta spiritual yang menyebabkan terjadinya perubahan. Definisi lain dari perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 1990). Lebih lanjut menurut Soekanto, faktorfaktor yang menyebabkan perubahan adalah: a. Keinginan-keinginan secara sadar dan keputusan secara pribadi b. Sikap-sikap pribadi yang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang berubah c. Perubahan struktural dan halangan struktural d. Pengaruh-pengaruh eksternal e. Pribadi-pribadi kelompok yang menonjol f. Unsur-unsur yang bergabung menjadi satu g. Peristiwa-peristiwa tertentu h. Munculnya tujuan bersama Selanjutnya Bottomore juga mengatakan bahwa perubahan sosial mempunyai kerangka. Adapun susunan kerangka tentang perubahan sosial, antara lain : a. Perubahan sosial itu dimulai pada suatu masyarakat mana yang pertamatama
mengalami
perubahan.
Kondisi
awal
terjadinya
perubahan
mempengaruhi proses perubahan sosial dan memberikan ciri-ciri tertentu yang khas sifatnya. b. Kecepatan proses dari perubahan sosial tersebut mungkin akan berlangsung cepat dalam jangka waktu tertentu.
11
c. Perubahan-perubahan sosial memang disengaja dan dikehendaki. Oleh karenanya bersumber pada prilaku para pribadi yang didasarkan pada kehendak-kehendak tertentu (Soekanto, 1990). Perubahan sosial selalu mendapat dukungan/dorongan berbagai faktor. Adapun faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial, adalah: a. Kontak dengan kebudayaan lain Salah satu proses yang menyangkut dalam hal ini adalah difusi. Difusi merupakan proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari perorangan kepada perorangan lain, dan dari masyarakat kepada masyarakat lain. Dengan difusi, suatu inovasi baru yang telah diterima oleh masyarakat dapat disebarkan kepada masyarakat luas di dunia sebagai tanda kemajuan. b. Sistem pendidikan yang maju Pendidikan formal sangat penting, karena dengan pendidikan formal masyarakat akan mendapatkan nilai-nilai tertentu untuk menerima hal-hal baru dan berpikir lebih rasional dan ilmiah serta cara pandang terhadap masalah yang lebih obyektif. c. Sikap menghargai hasil karya dan keinginan-keinginan untuk maju Keinginan-keinginan untuk maju merupakan salah satu pendorong bagi jalannya perubahan-perubahan. Apabila sikap tersebut telah melembaga, maka masyarakat akan memberikan pendorong bagi usaha-usaha untuk mengadakan penemuan-penemuan baru. d. Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat Sistem terbuka memungkinkan adanya gerakan mobilitas sosial vertikal secara luas yang berarti memberi kesempatan perorangan untuk maju atas dasar kemampuan-kemampuanya.
12
e. Penduduk yang heterogen Masyarakat-masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang memiliki latar belakang, ras, dan ideologi yang berbeda mempermudahkan terjadinya kegoncangan yang mendorong terjadinya proses perubahan. f. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu Ketidakpuasan baik dalam sistem kemasyarakatan, ekonomi dan keamanan akan mendorong masyarakat melakukan perubahan sistem yang ada dengan cara menciptakan sistem baru agar sesuai dengan kebutuhan. g. Orientasi ke depan Seseorang dalam masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa masa yang akan datang berbeda dengan masa sekarang sehingga masyarakat berusaha menyesuaikan diri baik yang sesuai keinginannya. Untuk itu masyarakat umumnya berusaha melakukan perubahan-perubahan agar dapat menerima masa depan. Selain itu ada juga faktor-faktor yang menghambat tejadinya perubahan: a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat c. Sikap masyarakat yang tradisionalistis d. Adanya kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan f. Prasangka terhadap hal-hal yang baru/asing g. Hambatan ideologis h. Kebiasaan i. Nilai pasrah (Soekanto, 1990). Perubahan sosial akan mengubah adat, kebiasaan, cara pandang, bahkan ideologi suatu masyarakat. Hal ini tentu saja memengaruhi pola dan perilaku masyarakat. Hal-hal positif atau bentuk kemajuan akibat adanya perubahan sosial
13
memunculkan ide-ide budaya baru yang sesuai dengan perkembangan zaman, membentuk pola pikir masyarakat yang lebih ilmiah dan rasional, terciptanya penemuan-penemuan baru yang dapat membantu aktivitas manusia dan munculnya tatanan kehidupan masyarakat baru yang lebih modern dan ideal. Namun perubahan sosial juga akan memunculkan hal-hal negatif atau bentuk kemunduran dimana tergesernya bentuk-bentuk budaya nasional oleh budaya asing yang terkadang tidak sesuai dengan kaidah budaya-budaya nasional, adanya beberapa kelompok masyarakat yang mengalami ketertinggalan kemajuan budaya dan kemajuan zaman, baik dari sisi pola pikir ataupun dari sisi pola kehidupannya (cultural lag atau kesenjangan budaya), munculnya bentuk-bentuk penyimpangan sosial baru yang makin kompleks, lunturnya kaidah-kaidah atau norma budaya lama, misalnya lunturnya kesadaran bergotong-royong di dalam kehidupan masyarakat kota (Susanto, 1978). Adapun proses-proses perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat berupa penyesuaian masyarakat terhadap perubahan, saluran-saluran perubahan yang dilalui oleh suatu proses perubahan, disorganisasi (disintegarsi) dan reorganisasi (reintegarsi). Organisasi merupakan artikulasi dari bagian-bagian yang merupakan bagian dari satu kebulatan yang sesuai dengan fungsinya masingmasing. Disorganisasi adalah proses berpudarnya norma dan nilai dalam masyarakat, dikarenakan adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam lembaga-lembaga masyarakat. Reorganisasi adalah proses pembentukan normanorma dan nilai-nilai yang baru agar sesuai dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengalami perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat tentunya menggeser makna dari falsafah Dalihan Na Tolu yang menjadi sistem sosial dan mengatur kehidupan masyarakat Batak Toba yang memiliki nilai-nilai tersendiri. Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam
14
masyarakat (Soemardjan, 1962). Perubahan nilai-nilai kultural yang dimiliki dari nenek moyang Batak Toba kepada masyarakat Batak Toba saat ini yang kemungkinan besar sudah memiliki nilai-nilai yang berbeda, membuat individu khususnya perempuan Batak Toba ini memandang berbeda dari makna nilai-nilai falsafah yang sebenarnya. Perubahan selalu terjadi seiring perjalanan waktu, menurut Macionis (dalam Usman, 2004) terdapat empat karakteristik perubahan. Pertama, perubahan sosial akan selalu terjadi dalam setiap masyarakat, tergantung dimana setting terjadinya, ketika perubahan terjadi di masyarakat primitive maka perubahan akan berjalan lambat, akan tetapi jika perubahan terjadi di masyarakat berteknologi maka perubahan akan berjalan cepat. Kedua, perubahan sosial sulit di kontrol, atau mungkin hanya sekedar rekayasa si penguasa. Ketiga, perubahan sosial sering memunculkan kontroversi. Keempat, perubahan sosial selalu berpihak pada satu pihak, di waktu yang bersamaan merugikan pihak yang lain.
1.5.3
Teori Pilihan Rasional Dalam menganalisis perubahan yang menjadi dasar perempuan memiliki
pilihan tersendiri dalam hidupnya sehingga memilih untuk tidak menikah namun bertentangan dengan adat yang melekat pada dirinya, digunakan teori pilihan rasional. Teori pilihan rasional Coleman tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa “tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan itu) ditentukan oleh nilai atau pilihan ( Coleman, 1990:13). Dasar untuk teori pilihan rasional adalah asumsi bahwa fenomena sosial yang kompleks dapat dijelaskan dalam kerangka dasar tindakan individu di mana mereka tersusun. Sudut pandang ini, yang disebut metodologi individualisme, menyatakan bahwa unit elementer kehidupan sosial adalah tindakan individu. Hal ini untuk menjelaskan perubahan sosial adalah bagaimana mereka timbul sebagai akibat dari aksi dan interaksi individu.
15
Dalam teori pilihan rasional, masing-masing pilihan perempuan Batak Toba ini untuk tidak menikah didorong oleh keinginan atau tujuan yang mengungkapkan 'preferensi'. Mereka bertindak dengan spesifik, mengingat kendala dan atas dasar informasi yang mereka miliki tentang kondisi di mana mereka bertindak. Paling sederhana, hubungan antara preferensi dan kendala dapat dilihat dalam istilah-istilah teknis yang murni dari hubungan dari sebuah sarana untuk mencapai tujuan. Karena tidak mungkin bagi individu untuk mencapai semua dari berbagai hal-hal yang mereka inginkan, mereka juga harus membuat pilihan dalam kaitannya dengan tujuan mereka dan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Teori pilihan rasional berpendapat bahwa individu harus mengantisipasi hasil alternatif tindakan dan menghitung bahwa yang terbaik untuk mereka. Rasional individu memilih alternatif yang akan memberi mereka kepuasan terbesar. Individualisme metodologis teori pilihan rasional membuat mereka mulai keluar dari tindakan-tindakan masyarakat Batak pada umumnya. Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuannya, aktor pun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan. Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor (coleman, 1990). Perilaku yang terjadi pada perempuan Batak Toba yang tidak menikah ini tidak lepas dari sebuah pengambilan keputusan. Menurut coleman, aktor akan bertindak untuk mencapai tujuannya dengan memuaskan dirinya sendiri melalui prefrensi-prefrensi (nilai). Untuk mengetahui tindakan aktor-aktor tersebut, maka data-data individu dikumpulkan untuk mengetahui fenomena yang terjadi dalam tataran sistem sosial, intinya tindakan makro yang terjadi karena tindakan aktor-
16
aktor (mikro). Dalam hal ini untuk memenuhi tujuan atau maksudnya, aktor akan berpikir rasional sesuai dengan keadaan kelompok sosial (masyarakat). Teori pilihan rasional Coleman tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan (Ben Agger, 2003). Sesuai dengan teori pilihan rasional, masing-masing perempuan memiliki alasan hingga memilih untuk tidak menikah. perempuan-perempuan ini membuat cara tersendiri yang dianggap akan membuat mereka mencapai tujuannya. Cara itu ialah dengan memilih hidup tidak menikah. Keinginan-keinginan secara pribadi memunculkan pilihan-pilihan rasional perempuan ini. Perempuan-perempuan Batak Toba ini kemudian bertindak sesuai dengan keinginannya, yang dianggap mampu mencapai tujuannya. Namun perempuan Batak Toba yang membuat pilihan untuk tidak menikah dianggap mengingkari adatnya dan keluar dari tindakan-tindakan yang seharusnya dilaksanakan oleh orang Batak Toba.
1.6. Metode Penelitian Metode atau cara penelitian merupakan sebagai proses dan teknik pengadaan penelitian, mulai dari penentuan fokus penelitian, pencarian data, analisa data, sampai menyimpulkan hasil penelitian ke dalam laporan penelitian. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih karena dapat menganalisa realitas sosial yang terjadi pada perempuan Batak Toba ini secara lebih mendalam. Penelitian ini dilakukan dengan intensif, terinci, dan mendalam terhadap suatu organisme, individu-individu, atau gejala tertentu. Metode deskriptif memberikan gambaran dan melaporkan apa saja yang telah diperoleh dari hasil penelitian terhadap perubahan sosial perempuan Batak Toba yang tidak menikah (Arikunto, 1991:115). Sebagaimana pendapat Lincoln dan Guba (Pujosuwarno, 1992:34) menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif dapat juga disebut dengan case study 17
ataupun qualitative, yaitu penelitian yang mendalam dan mendetail tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan subjek penelitian.
1.6.1. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Peneliti mengumpulkan data para informan dengan cara berinteraksi dengan para informan lebih dari satu kali. Dalam penelitian ini kriteria informan yang ditentukan adalah: 1. Perempuan Batak Toba yang tidak menikah sudah berusia 30-60 tahun. Usia 30 tahun merupakan usia kritis bagi perempuan yang belum menikah dan pada usia awal 40-an masih terdapat sedikit keinginan pada perempuan untuk menikah, namun keinginan tersebut akan berkurang pada usia lebih dari 50 tahun keatas (Hurlock, 1993). 2. Perempuan tersebut bersuku Batak Toba dan tinggal merantau di Yogyakarta. 3. Jumlah informan yang telah ditetapkan adalah enam orang. Dari ke enam informan masing-masing adalah Merry Tobing (39), Yemima Silaban (36), Ria Simanjuntak (55), Sintia Sihotang (44), dan Esti Silalahi (32). Sebelum menetapkan informan sebagai subjek penelitian, peneliti terlebih dahulu menjalin komunikasi kepada orang-orang dilingkungannya, baik teman maupun kerabatnya untuk menanyakan mengenai status maupun keadaan perempuan-perempuan ini berdasarkan pengamatan teman-temannya maupun hasil dari curahan hati informan kepada orang terdekatnya. Tujuannya, agar memantapkan peneliti dalam memilih informan yang sesuai dengan kriteria penelitian. Sehingga saat melakukan permohonan kepada perempuan-perempuan Batak Toba yang tidak menikah untuk menjadi informan tidak terjadi kesalahpahaman dan menyinggung para informan.
18
Dalam mengumpulkan informasi dan data peneliti pergi ke gereja HKBP untuk
menemukan
informan
sesuai
dengan
kriteria,
dimana
peneliti
mengharapkan adanya informan yang masih menjadi jemaat di HKBP. Di gereja peneliti kemudian menanyakan kepada natua-tua dan pemuda-pemudi gereja informan yang peneliti harapkan. Selama ikut beribadah di HKBP peneliti juga melakukan pengumpulan data mengenai adat Batak Toba di Yogykarta. Informan yang dipilih untuk mengumpulkan data mengenai adat Batak Toba dirantau adalah sintua gereja HKBP dan tokoh adat Batak Toba. Selain itu, peneliti juga ikut kegiatan sosial di sebuah LSM sebagai volenteer, peneliti mendapat informasi dari teman terdekat informan sehingga peneliti ikut serta dalam kegiatan LSM tersebut agar dapat berinteraksi langsung dengan informan. Informan yang lainnya ditemukan peneliti karena sudah saling mengenal sebelumnya. Penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan untuk memperoleh data mengenai perubahan sosial yang terjadi pada perempuan yang tidak menikah, teknik yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut : a. Data primer; data yang diperoleh langsung dari perempuan Batak Toba yang tidak menikah, adapun teknik pengumpulan data primer adalah:
Wawancara Mendalam (Indepth Interview); proses selama mengumpulkan data, peneliti berinteraksi lebih dari sekali dengan para informan. Hal ini bertujuan agar terjalin hubungan yang akrab dengan informan. Penelitian ini bersifat mengetahui urusan pribadi seseorang, sehingga peneliti merasa perlu melakukan interaksi yang
membuat
informan
nyaman
sehingga
peneliti
akan
memperoleh data yang maksimal sesuai dengan harapan. Wawancara dilakukan setelah pertemuan ke-3 dengan Merry (39), pertemuan ke-4 dengan Sintia (44), pertemuan ke-5 dengan Ria (55) dan Esti (32) beserta Yemima (36) adalah informan yang sudah peneliti kenal sebelumnya. Wawancara dengan Merry (39) dan Esti (32) dilakukan saat makan siang bersama, dengan Ria (55) dan Sintia (44) dirumahnya dan dengan Yemima (36) dilakukan di
19
ruang pelayanan gereja. Sebelum wawancara dilakukan, peneliti dan informan berkomunikasi seperti biasanya agar tercipta suasana nyaman.
Kemudian
bersepakat
untuk
mulai
masuk
pada
wawancara. Peneliti mengajukan pertanyaan yang telah peneliti persiapkan. Wawancara dilakukan bebas terpimpin, tidak semua pertanyaan diajukan karena peneliti sudah menemukan sebahagian informasi selama berinteraksi dengan informan melalui percakapan sehari-hari. Pedoman wawancara hanya berfungsi untuk melihat pertanyaan yang terlewatkan yang peneliti belum dapatkan dan ingin ketahui.
Observasi; seperti yang telah dijelaskan diatas, peneliti ikut serta dalam kegiatan beberapa informan. Peneliti juga pergi gereja bersama dengan informan bahkan sekedar jalan-jalan dan makan bersama di mall. Peneliti juga menjalin komunikasi dengan temanteman terdekatnya untuk mengetahui bagaimana perilaku informan dengan lingkungannya. Pendekatan dengan informan ini juga dilakukan untuk mengetahui perilaku serta bagaimana informan dalam kesehariannya. Selama berinteraksi dengan mereka, peneliti juga merasa komunikasi berjalan dengan sangat menyenangkan. Seluruh informan menunjukkan sikap yang positif.
b. Data sekunder; data yang diperoleh untuk mengetahui adat Batak Toba lebih dalam dan jelas. Peneliti memuat data sekunder melalui bacaanbacaan yang diperoleh dari beberapa sumber. Peneliti juga melakukan pengumpulan data melalui informasi yang diperoleh dari tokoh adat Batak di Yogyakarta agar mendapat data mengenai adat Batak Toba di Yogyakarta saat ini. selain itu peneliti juga memperoleh data mengenai Batak Toba dari Sintua Gereja di HKBP.
20
1.6.2. Analisis Data Setelah melakukan pengamatan, wawancara dan pengumpulan data. Peneliti kemudian menganalisis apa yang telah ditemukan di lapangan. Peneliti menyajikan hasil dari wawancara dengan seluruh informan maupun dari Sintua atau tokoh adat Batak Toba di Yogyakarta. Kemudian peneliti menggolongkannya berdasarkan apa yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini dan perubahan apa yang peneliti temukan pada perempuan-perempuan Batak Toba ini. peneliti membuang yang tidak perlu agar fokus pada apa yang ingin diteliti. Setelah seluruh gambaran dan analisis dilakukan, maka peneliti menarik kesimpulan dari apa yang telah ditemukan dilapangan sesuai dengan rumusan masalah. Analisis data dilakukan setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul, baik data primer maupun sekunder sehingga menghasilkan data yang bersifat deskriptif analisis, yakni data yang dinyatakan secara utuh dan diperoleh secara langsung dari pedoman pertanyaan.
Analisis data terdiri dari tiga hal, yaitu
penyajian data, reduksi data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles & Huberman, 1992). Dengan dilakukannya analisis terhadap data yang didapatkan maka diperoleh gambaran bagaimana perubahan sosial pada perempuan Batak Toba yang tidak menikah yang tidak berpegang pada falsafah dalihan na tolu di yogyakarta. Reduksi data sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan tertulis ketika melakukan wawancara dengan perempuan Batak Toba yang tidak menikah ini. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Miles & Huberman, 1992). Penarikan kesimpulan merupakan bagian dari konfigurasi yang utuh. Penarikan kesimpulan merupakan penjelasan dari pengumpulan data perempuan-
21
perempuan yang tidak menikah ini, menganalisis dan mulai mencari perubahanperubahan apa yang terjadi serta apa pendorong perubahan sosial pada perempuan Batak Toba yang tidak menikah.
22