BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Download sariawan adalah C.albicans dan salah satu fungi penyebab kutu air adalah ... Berdasarkan latar belakang di atas, batang kayu kuning berpote...

0 downloads 280 Views 313KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Indonesia

merupakan

negara

tropis

yang

memiliki

banyak

keanekaragaman hayati. Tumbuh-tumbuhan yang ada di dalamnya memiliki manfaat beragam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu manfaatnya adalah untuk pengobatan. Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah memanfaatkan tanaman obat sebagai obat tradisional yang dipercaya memiliki banyak khasiat. Seperti jamu, baik yang diseduh maupun direbus. Dewasa ini, banyak masyarakat yang kembali memanfaatkan kearifan lokal dalam dunia pengobatan. Back to nature adalah istilah yang saat ini tidak asing dalam dunia pengobatan. Jamur atau fungi adalah salah satu sumber penyebab timbulnya penyakit. Infeksi oleh mikroba banyak terjadi apalagi di negara tropis seperti di Indonesia yang kelembabannya cukup tinggi. Hal ini menyebabkan baik bakteri maupun jamur tumbuh dan berkembang dengan cepat. Perkembangannya yang sangat cepat dan kemudahannya untuk tumbuh telah menuntut para penemu obat untuk mencari dan menemukan obat baru yang berfungsi sebagai antimikroba, karena infeksi oleh bakteri maupun jamur sering dialami oleh manusia ataupun hewan. Sementara itu, saat ini banyak mikroba yang telah resisten terhadap beberapa jenis antibiotik. Tubuh kita merupakan tempat tinggal bagi sebagian jamur dan bakteri. Sebagian dari mikroba tersebut berguna bagi manusia, dan yang lain

1

2

dalam kondisi tertentu dapat dengan cepat menggandakan diri dan akhirnya menyebabkan peradangan atau infeksi pada tubuh kita. Infeksi dapat diobati dengan menggunakan antibiotik. Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi (jamur), yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Sofa, 2004). Akan tetapi penggunaan antibiotik secara besar-besaran untuk terapi dan profilaksis adalah faktor utama terjadinya resistensi. Banyaknya bakteri yang sudah resisten terhadap antibiotik tertentu menyebabkan pengobatan terhadap penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan jamur menjadi lebih lama (Anonim, 2011). Tingginya

kasus

resistensi

antibiotik

di

Indonesia

cukup

mengkhawatirkan. Bahkan Indonesia menduduki peringkat ke-8 dari 27 negara dengan

beban

tinggi

kekebalan

obat

terhadap

kuman

(Multidrug

Resistancy/MDR) di dunia berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2009. Resistensi antibiotik sudah menjadi masalah dunia dikarenakan kurangnya rasionalitas penggunaan antibiotik. Banyak antibiotik diberikan, dijual dan dibeli dengan tidak semestinya (Anonim, 2011), sehingga dapat menimbulkan resistensi ataupun efek lain seperti alergi, idiosinkrasi dan keracunan (Sofa, 2004). Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011), bahwa penggunaan antibiotik dalam pelayanan kesehatan sering kali tidak tepat, sehingga dapat menimbulkan pengobatan yang kurang efektif, peningkatan resiko terhadap pasien, meluasnya resistensi dan tingginya biaya pengobatan. Maka dari itu,

3

dibutuhkan solusi yang tepat untuk mencegah permasalahan tersebut. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan obat-obat alam. Antifungi merupakan salah satu antibiotika yang digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh fungi atau jamur. Antifungi adalah aktivitas suatu senyawa yang dapat menghambat atau membunuh jamur tertentu, sehingga antifungi ini diharapkan dapat menyembuhkan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur. Beberapa antifungi yang digunakan oleh masyarakat umum adalah obat-obat hasil sintesis secara kimiawi, misalnya Nistantin, Ketoconazole, Fluconazole yang mungkin lebih mahal dan sulit disintesis. Namun, sekarang

banyak masyarakat yang mulai memanfaatkan

tanaman untuk pengobatan. Penyakit infeksi juga dapat diobati menggunakan obat-obat tradisional. Salah satu tanaman yang telah dimanfaatkan sebagai obat adalah tanaman kayu kuning (A.flava). Tanaman ini sangat berpotensi sebagai antifungi (Nakamoto dkk, 1995). Rebusan batang kayu kuning telah lama dimanfaatkan di beberapa daerah di Indonesia misalnya di Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat dan Selatan, Kalimantan, dan beberapa daerah di Papua, terutama untuk mengobati diare berdarah, hepatoprotektor, obat cacing dan gangguan saluran pencernaan lainnya dimana bakteri penyebabnya adalah Shigella sp., Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Dari aspek fitokimia diduga rebusan batang kayu kuning mengandung senyawa kimia alkaloid yaitu berberin yang merupakan senyawa golongan alkaloid isokuinolin.

4

Banyaknya masyarakat yang kembali menggunakan obat herbal, memacu penulis untuk melakukan penelitian tentang aktivitas antifungi dari ekstrak air batang kayu kuning, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui adakah aktivitas lain yang mungkin bisa dimanfaatkan. Uji aktivitas ini menggunakan fungi C.albicans dan T.mentagrophytes. Pemilihan fungi tersebut didasarkan pada penggunaan tanaman ini di masyarakat. Rebusan batang kayu kuning biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat sariawan, pembersih luka, obat kutu air, dan obat diare. Sariawan adalah salah satu infeksi yang sering sekali diderita oleh masyarakat. Begitu pula dengan kutu air atau yang disebut sebagai tinea pedis, merupakan salah satu jenis penyakit dermatofitosis yang prevalensinya paling tinggi (Jawetz dkk., 2001). Sementara itu, mikroba penyebab sariawan adalah C.albicans dan salah satu fungi penyebab kutu air adalah T.mentagrophytes. Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud melakukan penelitian tentang aktivitas antifungi yang berasal dari tanaman, yaitu dari ekstrak larut air batang kayu kuning. Penelitian ini akan memberikan bukti ilmiah kemanfaatan ekstrak larut air batang kayu kuning sebagai antifungi.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, batang kayu kuning berpotensi untuk dikembangkan sebagai antimikroba alami, maka perlu diketahui: 1.

Apakah ekstrak larut air batang kayu kuning (A.flava) mempunyai aktivitas sebagai antifungi terhadap jamur C.albicans dan T.mentagrophytes.

5

2.

Bagaimanakah profil kandungan kimia dan berapakah kadar relatif senyawa alkaloid yang terkandung dalam ekstrak larut air batang kayu kuning (A.flava).

3.

Berapakah konsentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh minimum (KBM) ekstrak larut air batang kayu kuning (A.flava) terhadap C.albicans dan T.mentagrophytes.

C. Pentingnya Penelitian Diusulkan Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui aktivitas antimikroba suatu senyawa, terutama untuk mikroorganisme yang resisten terhadap antibiotik tertentu. Penelitian ini untuk memberikan dukungan atau bukti ilmiah bahwa ekstrak air batang kayu kuning (A.flava) memiliki aktivitas sebagai antifungi, dalam hal ini terhadap jamur C.albicans dan T.mentagrophytes. Sehingga kedepannya dapat digunakan sebagai sumber obat antifungi, khususnya bagi masyarakat yang jauh dari pusat kesehatan. Selain itu, dewasa ini banyak kalangan yang tertarik dengan obat-obatan yang bersumber dari tanaman, mengingat obat-obatan alami memiliki efek samping yang relatif lebih lebih kecil dibanding obat-obat sintetik. Maka dari itu, penelitian ini diharapkan akan memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas khususnya masyarakat pengguna tanaman kayu kuning sehingga tanaman ini dapat dimanfaatkan secara optimal, terutama oleh masyarakat terpencil. Selanjutnya penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dalam pembuatan formulasi sediaan herbal yang mungkin nanti akan dikembangkan.

6

D. Tujuan Penelitian 1.

Mengetahui aktivitas antifungi ekstrak larut air batang kayu kuning terhadap jamur C.albicans dan T.mentagrophytes.

2.

Mengidentifikasi dan menetapkan kadar relatif senyawa alkaloid yang terkandung dalam ekstrak larut air batang kayu kuning (A.flava) dengan KLT (Kromatografi Lapis Tipis).

3.

Mengetahui kadar hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM) ekstrak larut air batang kayu kuning (A.flava) terhadap jamur C.albicans dan T.mentagrophytes.

E. Tinjauan Pustaka 1.

Tanaman Kayu Kuning (Arcangelisia flava L. Merr)

Gambar 1. Tanaman kayu kuning (Arcangelisia flava L.Merr) (Anonim, 2012)

a.

Morfologi tumbuhan Tumbuhan ini berupa terna, memanjat atau liana, menahun, panjangnya

dapat mencapai ± 20 m. Batang utama sebelum bercabang dua, besarnya seperti lengan/betis orang dewasa, batang tersebut mengandung air, batang dan

7

cabangnya liat, batang bulat, membelit, kasar, berwarna cokelat kehitaman, dalam batang berwarna kuning dan rasanya pahit. Bentuk daun bundar telur sampai lonjong atau oval yang meruncing di bagian ujung, permukaan daun hijau mengkilat. Perbungaan malai, terdapat pada batang tua atau di ketiak daun, warna bunga kuning pucat. Pada batang atau cabang-cabang yang besar terdapat tandan buah yang menggantung, buah berbentuk kotak, berwarna kuning, permukaan berbulu, terdiri atas daging buah yang berlendir dan biji besar, bulat pipih (Anonim, 1995b). b.

Ekologi dan penyebaran Merupakan tumbuhan liar yang umumnya ditemukan tumbuh di pantai

berbatu atau di tepi-tepi hutan, pada ketinggian 100 m sampai 800 m di atas permukaan laut. Berbunga pada bulan Juli-September, pengumpulan bahan sebaiknya dilakukan pada musim kemarau. Kayu kuning dapat dijumpai di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan sebagian di Irian (Sitepu dan Sutikno, 2001). Namun pada penelitian ini sampel diambil langsung dari habitat aslinya yaitu di Desa Suban Jeriji, Kecamatan Rambang Dangku, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. c.

Taksonomi

Nama umum :Kayu kuning Nama daerah :Daun bulan, tali kuning (Sumatera), Katola (Muna, Sulawesi), uwus (Sulawesi) (Anonim, 2009), Kayu kunino (Palembang), Areuy ki koneng (Sunda), Oyod sirawan, Sirawan kunyit, peron kebo, peron sapi (Jawa), Wali

8

bulan (Maluku), Wari bulan (Ambon); Gumi modoku, Mololeya, gumini (Halmahera Utara) (Heyne, 1987). Sinonim

: Arcangelisia lemniscata (Miers) Becc., Archangelisia loureiri

(Pierre) Diels., Anamirta flavescens Miq. Klasifikasi tanaman kayu kuning dalam sistematika tumbuhan adalah sebagai berikut: Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Sub divisio

: Angiospermae

Classis

: Dicotyledonae

Ordo

: Ranuncuiales

Familia

: Menispermaceae

Genus

: Arcangelisia

Species

: Arcangelisia flava L.Merr. (Backer dan Van den Brink, 1969)

d.

Kandungan kimia Batang kayu kuning mengandung senyawa saponin, flavonoid dan tanin, di

samping itu kayunya juga mengandung glikosida dan alkaloid. Alkaloid yang terkandung di dalam batang Kayu kuning adalah alkaloid isokuinolin seperti yang telah dilaporkan oleh Singh dkk., (2010). Menurut Kawpradub dkk., (2004) alkaloid isokuinolin seperti jatorrhizine, palmatine dan berberine biasa diisolasi dari bagian batang tanaman kayu kuning.

9

Terdapat juga beberapa alkaloid minor seperti kolumbanina, dehydrocorydalmine, homoaromoline dan thalifendine. Sedangkan terpen yang terkandung dalam akar kuning termasuk golongan diterpen antara lain fibraleusin, fibraurin (Siwon,1982). Selain itu, batang kayu kuning juga mengandung saponin, flavonoid dan tannin walaupun jumlahnya sedikit (Sitepu dan Sutikno, 2001).

Gambar 2. Struktur alkaloid berberin (Harborne, 1973)

e. Manfaat Batang kayu kuning banyak digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat Asia tenggara, baik sebagai obat luar maupun obat dalam. Cairan yang keluar dari kayu yang masih muda sering digunakan sebagai obat panas dalam atau sariawan, sedangkan rebusan kayu digunakan sebagai obat penyakit kuning, diare dan obat cacing. Di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, rebusan batang kayu kuning digunakan sebagai obat diare berdarah, sakit kuning dan air perasannya digunakan untuk sakit mata (Larisu, 2011). Sementara itu dari penelitian lain, diketahui bahwa berberin yang merupakan alkaloid isokinolin yang terkandung dalam tanaman kayu kuning ini memiliki banyak aktivitas farmakologi yaitu sebagai antihipertensi, antiinflamasi,

10

antidepresan, antikanker, antimikroba, hipolipidemik, hepatoprotektif dan antidiabetik (Singh dkk., 2010). 2.

Candida albicans Agen infeksi dikenal sebagai mikroba yang beredar seharian di seluruh

tubuh kita. Sebagai flora normal mikroba ini berada di mulut, tenggorokan, gusi, saluran hidung, gastroinstentinal, dan beberapa organ lainnya seperti vagina. Beberapa kali kematian disebabkan oleh adanya infeksi. Hanya sel jaringan sehat dan organ dalam tubuh kita yang dapat secara efektif mempertahankan diri terhadap mikroorganisme menular. Mikroba, baik berupa bakteri, virus atau jamur, biasanya tidak menimbulkan penyakit sampai perlawanan dari tubuh menurun. a. Morfologi dan identifikasi Jamur

C.albicans

adalah

spesies

jamur

patogen

dari

golongan

deuteromycota. Spesies ini merupakan penyebab infeksi oportunistik yang disebut kandidiasis pada kulit, mukosa, dan organ dalam manusia. Beberapa karakteristik dari spesies ini adalah berbentuk seperti telur (ovoid) atau sferis dengan diameter 3-5 µm dan dapat memproduksi pseudohifa. Spesies C.albicans memiliki dua jenis morfologi, yaitu bentuk seperti khamir dan bentuk hifa. Selain itu, fenotipe atau penampakan mikroorganisme ini juga dapat berubah dari berwarna putih dan rata menjadi kerut tidak beraturan, berbentuk bintang, lingkaran, bentuk seperti topi, dan tidak tembus cahaya serta memiliki kemampuan untuk menempel pada sel inang dan melakukan kolonisasi. Jamur C.albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu

11

sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi blastospora dan menghasilkan kecambah yang akan membentuk hifa semu (Jawetz dkk., 2001). Klasifikasi C.albicans:

b.

Kingdom

: Fungi

Filum

: Ascomycota

Sub filum

: Saccharomycotina

Classis

: Saccharomycetes

Ordo

: Saccharomycetales

Familia

: Saccharomycetaceae

Genus

: Candida

Species

: Candida albicans

Struktur Fisik Dinding sel C.albicans berfungsi sebagai pelindung dan juga sebagai

target dari beberapa antimikotik. Dinding sel berperan pula dalam proses penempelan dan kolonisasi serta bersifat antigenik. Fungsi utama dinding sel tersebut adalah memberi bentuk pada sel dan melindungi sel ragi dari lingkungannya. Jamur C.albicans mempunyai struktur dinding sel yang kompleks, tebalnya 100 sampai 400 nm. Komposisi primer terdiri dari glukan, manan dan khitin. Manan dan protein berjumlah sekitar 15,2-30 % dari berat kering dinding sel, -1,3-D-glukan dan 1,6-D-glukan sekitar 47-60 %, khitin sekitar 0,6-9 %, protein 6-25 % dan lipid 1-7 %. Dalam bentuk ragi, kecambah dan miselium, komponen-komponen ini menunjukkan proporsi yang serupa tetapi bentuk miselium memiliki khitin tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan sel ragi.

12

Gambar 3. Morfologi Jamur Candida albicans (Anonim, 2000)

Dinding sel C.albicans terdiri dari lima lapisan yang berbeda. Jamur C.albicans merupakan salah satu dari 70 spesies dari jamur Candida sp.. Istilah kandidiasis diterapkan untuk proliferasi berlebihan C.albicans dalam usus, mulut, kerongkongan, atau vagina. Kandidiasis sistemik melibatkan proliferasi berlebihan dari C.albicans seluruh tubuh. Jamur C.albicans bisa mendiami semua bagian tubuh manusia, tetapi biasanya hanya dalam jumlah kecil. Sampai dengan 33% dari orang-orang di daerah barat menderita kandidiasis yang lebih proliferasi. c.

Patogenesis Kandidiasis superfisial (kulit dan mukosa) ditandai oleh penambahan

jumlah Candida dalam kerusakan kulit atau epitel yang memungkinkan invasi lokal oleh ragi dan hifa semu. Kandidiasis sistemik terjadi bila candida masuk ke dalam aliran darah dan pertahanan fagositik inang tidak kuat untuk menahan pertumbuhan dan penyebaran jamur. Dari sirkulasi, Candida dapat menginfeksi ginjal, menempel pada jantung atau menimbulkan infeksi hampir dimana saja (misalnya meningitis, arthritis). Histologi lokal lesi kulit atau mukokutan ditandai oleh reaksi peradangan yang bervariasi dari abses pirogenik sampai granuloma

13

kronis. Lesi ini mengandung pseudohifa dan sel jamur tunas yang berlimpah. Peningkatan candida yang besar dalam saluran pencernaan sering mengikuti pemberian antibiotik antibakteri oral, dan ragi dapat masuk ke sirkulasi dengan menembus mukosa usus (Jawetz dkk., 2001). Jamur C.albicans berada dalam tubuh manusia dan infeksi baru terjadi apabila terdapat faktor predisposisi pada tubuh. Faktor-faktor yang dapat meningkatnya kasus kandidiasis antara lain disebabkan oleh : 1) Kondisi tubuh yang lemah atau keadaan umum yang buruk, misalnya: bayi baru lahir, orang tua renta, penderita penyakit menahun, orang-orang dengan gizi rendah 2) Penyakit tertentu, misalnya: diabetes melitus 3) Kehamilan 4) Rangsangan setempat pada kulit oleh cairan yang terjadi terus menerus, misalnya oleh air, keringat, urin atau air liur. 5) Penggunaan obat di antaranya: antibiotik, kortikosteroid dan sitostatik. Faktor predisposisi berperan dalam meningkatkan pertumbuhan C.albicans serta memudahkan invasi jamur ke dalam jaringan tubuh manusia karena adanya perubahan dalam sistem pertahanan tubuh. Blastospora berkembang menjadi hifa semu dan tekanan dari hifa semu tersebut merusak jaringan, sehingga invasi ke dalam jaringan dapat terjadi. Virulensi ditentukan oleh kemampuan jamur tersebut merusak jaringan serta invasi ke dalam jaringan. Enzim-enzim yang berperan sebagai faktor virulensi adalah enzim-enzim hidrolitik seperti proteinase, lipase dan fosfolipase.

14

Jamur C.albicans menyebabkan penyakit sistemik progresif pada penderita yang lemah atau sistem imunnya tertekan, terutama jika imunitas perantara sel terganggu. Candida dapat menimbulkan invasi dalam aliran darah, tromboflebitis, endokarditis atau infeksi pada mata dan organ-organ lain bila dimasukkan secara intravena (keteter, jarum, hiperalimenasi, penyalahgunaan narkotika dan sebagainya). Infeksi kandidiasis mengakibatkan komplikasi minimal seperti kemerahan, gatal dan ketidaknyamanan, meskipun komplikasi bisa berat atau fatal jika tidak ditangani sesegera mungkin. Dalam bidang kesehatan, kandidiasis adalah infeksi lokal biasanya pada mukosa membran kulit, termasuk rongga mulut (sariawan) faring atau esofagus, saluran pencernaan, kandung kemih, atau alat kelamin (vagina, penis). Infeksi tersebut bisa menyebar ke seluruh tubuh. d. Penatalaksanaan Sariawan dan bentuk kandidiasis mukokutan lain biasanya diobati dengan nistatin topikal, gentian violet, Ketoconazol atau Fluconazol. Kandidiasis sistemik diobati dengan Amphoterisin B, terkadang dikombinasikan dengan Flucytosine oral. Penyembuhan lesi kulit dipercepat dengan menyingkirkan faktor-faktor yang berpengaruh seperti kelembaban yang berlebihan, obat-obat antibakteri. Kandidiasis mukokutan kronis merespon Ketoconzol dan azol-azol lainnya dengan baik, tetapi pasien mengalami defek genetik dan sering membutuhkan pengobatan jangka panjang. Seringkali sulit untuk menetapkan diagnosis awal dari kandidiasis sistemik, gejala-gejala klinis tidak pasti, dan biakan seringkali negatif (Jawetz dkk., 2001).

15

e. Zat yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan C.albicans Zat yang dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan Candida, diantaranya adalah vitamin dan mineral yang khususnya penting bagi pemeliharaan sistem kekebalan yang kuat meliputi: vitamin A, Vitamin B6, Zinc, Selenium, magnesium, asam folat, zat besi (terkandung dalam rosella), Asam lemak esensial. Adapun zat lain yang menghambat pertumbuhan C.albicans : 1) berberin (terkandung dalam A.flava dapat membunuh C.albicans; 2) antioksidan (terkandung dalam rosella) mengurangi kerusakan radikal bebas yang disebabkan oleh C.albicans, 3) beta 1,3-Glucan exerts bersifat anti-jamur terhadap pertumbuhan C.albicans; 4) chitosan menghambat proliferasi C.albicans; 5) glukomanan menekan proliferasi C.albicans; 6) beta-carotene (terkandung dalam rosella) melindungi vagina terhadap proliferasi C.albicans; 7) bromelain meningkatkan kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk pertahanan terhadap C.albicans; 8) dismutase superoksida (SOD) (disuntikkan intravena) mengurangi poliferasi Candidas sp.; 9) Alpha Linolenic Acid (LNA) adalah fungisida yang efektif yang dapat membunuh ragi C.albicans; 10) asam kaprilat menghambat pertumbuhan C.albicans dalam usus; 11) Echinacoside mencegah kambuhnya infeksi oleh C.albicans,

16

dan masih banyak senyawa lain yang bisa membunuh ataupun menghambat pertumbuhan jamur C.albicans (Tanjong, 2011).

3.

Trichophyton mentagrophytes Jamur ini merupakan salah satu penyebab terjadinya mikosis kutaneus.

Mikosis kutaneus disebabkan oleh jamur yang hanya menginfeksi jaringan permukaan berkeratin (kulit, rambut, dan kuku). Kelompok jamur yang menyebabkan mikosis kutaneus disebut dermatofit, yaitu genus Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton dan infeksi oleh kelompok jamur ini sering disebut dermatofitosis. Dermatofitosis merupakan salah satu infeksi yang paling sering terjadi di dunia. Jamur ini tidak mengancam jiwa penderita, tapi mereka menetap dan menyusahkan, serta jutaan dollar telah dihabiskan setiap tahun untuk mengobatinya (Jawetz dkk., 2001). Menurut Jawetz dkk., (2001), dermatofitosis sering disebut tinea, karena adanya lesi sirkuler yang membesar. Spesies tunggal dapat menyebabkan lebih dari satu tipe tinea, dan sebaliknya bentuk klinis tunggal sepertitinea corporis bisa disebabkan oleh lebih dari satu spesies dermatofit. T.mentagrophytes adalah salah satu jamur dari genus Trichophyton yang sering menyebabkan infeksi dermatofit, misalnya tinea pedis, tinea cruris, tinea capitis, tinea barbae, dan tinea ungueum. Berikut adalah kalisifikasi dari jamur tersebut Kingdom

: Fungi

Filum

: Ascomycota

Classis

: Euascomycetes

17

Ordo

: Onygenales

Familia

: Arthrodermataceae

Genus

: Trichophyton

Species

: Trichophyton mentagrophytes

a. Morfologi dan karakteristik Bentuk makroskopis T.mentagrophytes adalah merupakan tenunan lilin, berwarna putih sampai putih kekuningan yang agak terang atau berwarna violet merah. Kadang bahkan berwarna pucat kekuningan dan cokelat, koloninya bisa seperti kapas sampai bergranula, berkelompok seperti anggur yang sangat banyak pada cabang-cabang terminal (Jawetz dkk., 2001). Jamur ini merupakan jamur filamentous yang menyerang kulit yang menggunakan keratin sebagai nutrisinya. Keratin adalah protein utama dalam kulit, rambut dan kuku.

Gambar 4. Morfologi jamurTrichophyton mengrophytes (Anonim, 2013)

b. patogenesis Athlete’s

foot

atau

tinea

pedis

merupakan

dermatofitosis

yang

prevalensinya paling tinggi (Jawetz dkk., 2001). Infeksi ini terjadi ketika jamur dermatofit tumbuh dan menggandakan diri pada kaki, terutama pada jari kaki, dan beberapa menyerang tangan. Athlete’s foot adalah suatu infeksi atau peradangan

18

yang berhubungan dengan kaki dan jamur penyebabnya adalah T.rubrum, T.mentagrophytes dan E.floccosum. T.mentagrophytes tumbuh dengan subur di area yang hangat dan lembab. Hal tersebut menjadi lazim apabila kita memakai sepatu yang berbahan plastik dan berkeringat banyak. Tinea pedis menular lewat kontak langsung atau hubungan dengan materi seperti sepatu, kaus kaki, atau permukaan kolam. Penyakit tinea pedis disebabkan oleh hifa yang menyerang kulit pada jari kaki dan menyebabkannya jadi kering dan kawasan lesi yang bersisik. Lesi membesar, tergantung pada kelembaban. kemudian kulit akan merekah, pucat dan terdapat infeksi sekunder dari bakteri yang menyebabkan gatal-gatal, lembapb dan kawasan putih terbentuk di antara jari-jari kaki. Kulat yang menyebabkan tinea pedis akan tersebar di sekitarnya. jamur menjangkiti jaringan apabila sistem kekebalan tubuh tidak dapat melawannya. Pencegahan tinea pedis tergantung pada keseimbangan kesehatan, kebersihan dan kaki yang kering. Agen antifungi seperti miconazole, biasanya efektif dalam menangani masalah ini (Jawetz dkk., 2001). c. Penatalaksanaan Terapi terdiri dairi pelepasan menyeluruh struktur epitel yang mati dan yang terinfeksi serta pemberian antijamur kimia atau antibiotik topikal. Untuk mencegah infeksi ulang, daerah tersebut dijaga agar tetap kering dan terhindar dari sumber-sumber infeksi, misalnya binatang piaraan yang terinfeksi serta mencegah pemakaian peralatan mandi bersama-sama. Pada kasus tinea corporis, tinea pedis obat-obatan yang paling efektif adalah itraconazol dan terbinafin. Sejumlah preparat topikal juga bisa dipakai, misalnya miconazol nitrat,tolnaftat

19

dan clotrimazol. Jika dipergunakan selama sedikitnya 2-4 minggu, angka kesembuhan biasanya mencapai 70-100%. Pengobatan sebaiknya dilanjutkan selama 1-2 minggu setelah lesi bersih. Pada kasus-kasus yang menyusahkan, dapat diberikan griseofulvin oral jangka pendek (Jawetz dkk., 2001).

4.

Media Media dappat dianggap sebagai kumpulan zat organik maupun anorganik

yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri dengan syarat-syarat tertentu, seperti: a. Susunan makanan; b. Tekanan osmose; c. Derajat keasaman; d. Temperatur; e. Sterilitas Selain untuk isolasi, identifikasi, dan diferensiasi, media juga digunakan untuk membawa material dari tempat lain ke laboratorium agar kuan dalam material tersebut hidup sesampainya di laboratorium (Anonim, 1993). Setiap mikroba mempunyai sifat fisiologi tertentu sehingga memerlukan nutrisi tertentu pula (Sumarsih, 2003). Berdasarkan bentuknya, ada dua macam media yaitu media cair (liquid media) dan media padat (solid media). Pada media padat ditambahkan bahan pembeku (solidifying agent), contohnya adalah agar.

20

Menurut konsistensinya dikenal adanya: 1) Media padat (solid), adanya penambahan agar, gelatin yang ditempatkan pada plate atau tabung. Bahan utama agar adalah galaktan dari kompleks Alga genus Gelidium. Agar akan cair pada suhu 100o C dan akan memadat pada suhu kurang dari 43oC. Sebagai contoh TSA (Trypton Soya Agar) 2) Media setengah padat (semisolid), penambahan jumlah agar setengah dari komposisi media padat. Diletakkan pada tabung tegak, biasanya digunakan untuk melihat motilitas mikroba, sebagai contoh Semi Solid Sucrose Media. 3) Media cair (broth), tanpa adanya pemadat seperti agar. Media cair misalnya media kaldu, media gula, TSB (Trypton Soya Broth) (Hugo dan Russell’s, 2004). a.

Menurut isi dari media dikenal: 1) Media basal, digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat media lain yang lebih kompleks; 2) Media campuran, adalah media selain media basal, juga ditambahkan berbagai macam zat, baik organik maupunanorganik (Pratiwi, 2008).

Beberapa media dalam penggunaannya ditambahkan substansi tertentu menurut tujuan penggunaannya , misalnya media yang ditambahkan suatu jenis antibiotik tertentu untuk menghambat pertumbuhan bakteri tertent, sehingga hanya bakteri jenis tetentu saja yang dapat tumbuh. Media untuk pertumbuhan

21

kapang dan khamir memiliki pH yang lebih rendah (5,5-6,0) dibanding media untuk pertumbuhan bakteri (pH 7,0-7,4). Asam laktat dapat digunakan untuk memberikan pH yang rendah karena tidak menghambat pertumbuhan fungi. Media untuk pertumbuhan fungi juga dapat ditambahkan antibiotik seperti kloramfenikol atau tetrasiklin untuk mencegah pertumbuhan dari bakteri (Hugo dan Russell’s, 2004). 5.

Sterilisasi Sterilisasi disebut juga proses untuk membebaskan suatu benda dari semua

mikroorganisme, baik bentuk vegetatif maupun spora (Gupte, 1990). Sterilisasi merupakan suatu proses penghilangan semua jenis organisme hidup, dalam hal ini adalah mikroorganisme (protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, virus) yang terdapat pada suatu benda. Proses ini melibatkan aplikasi biosidal agent atau proses

fisik

dengan

tujuan

untuk

membunuh

atau

menghilangkan

mikroorganisme. Sterilisasi didesain untuk membunuh atau menghilangkan mikroorganisme. Target suatu metode inaktivasi tergantung dari metode dan tipe mikroorganismenya, yaitu tergantung dari asam nukleat, protein, atau membran mikroorgaisme tersebut (Pratiwi, 2008). Proses sterilisasi digunakan dalam bidang mikrobiologi untuk mencegah pencemaran organisme luar, pada bidang bedah untuk mempertahankan keadaan aseptis, pada pembuatan makanan dan obat-obatan untuk menjamin keamanan terhadap pencemaran oleh mikroorganisme dan di dalam bidang- bidang lain pun sterilisasi sangat penting (Gupte, 1990).

22

Secara umum ada dua jenis sterilisasi, yaitu secara fisik dan secara kimia. Sterilisasi secara fisik meliputi panas kering, panas basah, radiasi dan filtrasi. Sterilisasi secara kimia menggunakan bahan-bahan kimia dalam rosesnya (Gupte, 1990).

6.

Antibiotik Antibiotik adalah senyawa kimia yang dapat menghambat atau membunuh

mikroba, terutama yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Definisi ini kemudian berkembang menjadi senyawa yang dalam konsentrasi kecil mampu menghambat bahkan membunuh proses kehidupan suatu mikroorganisme (Jawetz dkk., 2001). Mekanisme kerja antimikroba adalah dengan cara mengganggu bagian-bagian yang penting dalam sel yaitu sintesis dinding sel, fungsi membran sel, sintesis protein, metabolisme asam nukleat, dan metabolit esensial (Anonim, 1993). Berdasarkan sifatnya (daya hancurnya) antibiotik dapat dibagai menjadi beberapa tipe, yaitu : a. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dinding sel yang terganggu

akan

menyebabkan

dinding

sel

menjadi

rapuh

dan

mengakibatkan pecah. Termasuk ke dalam golongan ini adalah Betalaktam, Penicillin, Polypeptida, Cephalosporin, Ampicillin, Oxasilin (Jawetz dkk., 2001). b. Antibiotik yang menghambat sintesis RNA dan DNA. Sintesis RNA dan DNA dihambat oleh gangguan terhadap enzim akibatnya protein yang

23

penting bagi mikroba tidak terbentuk sempurna. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Quinolone (DNA), Rifampicin (RNA), Actinomycin D, Lincosamides, Metronidazole (Ganiswara dkk., 1995). c. Antibiotik yang menghambat sintesis protein. Sintesis protein yang penting untuk mikroba akan dihambat, sehingga pertumbuhan mikroba terhambat. Antibiotik dengan mekanime ini adalah golongan macrolide, aminoglycoside, tetracycline, kloramfenikol, kanamycin, streptomisin (Sujudi, 1993). d. Antibiotik yang menghambat fungsi membran sel. Membran plasma bersifat semipermeabel dan berperan sebagai barrier selektif. Adanya gangguan pada membran plasma tentu saja akan mengganggu fungsinya sebagai barrier, sehingga zat-zat penting dari isi sel dapat keluar dan mengakibatkan kematian mikroorganisme tersebut. Contohnya antara lain imidazol, Ionimycin (Pratiwi, 2008) dan Valinomycin. Ionomycin bekerja dengan meningkatkan kadar kalsium intrasel sehingga mengganggu kesetimbangan osmosis dan menyebabkan kebocoran sel. e. Antibiotik yang menghambat sintesis metabolit esensial. Antibiotik secara kompetitif menghambat metabolit mikroorganisme karena memiliki kemiripan struktur dengan substrat normal bagi enzim metabolisme, sehingga metabolisme terhenti. Antibiotik dengan mekanisme ini adalah sulfonamida dan para amino bezoid acid (Pratiwi, 2008). Perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik adalah dosis serta jenis antibiotik yang diberikan haruslah tepat. Jika antibiotik diberikan dalam jenis

24

yang kurang efektif atau dosis yang tanggung maka yang terjadi adalah bakteri tidak akan mati melainkan mengalami mutasi atau membentuk kekebalan yang lebih tinggi.

7.

Antifungi Antifungi adalah suatu senyawa yang dapat digunakan untuk mengobati

penyakit yang disebabkan oleh jamur atau fungi seperti sariawan, panu, kadas, kurap, kutu air dan lain sebagainya. Biasanya obat jamur diberikan secara topikal meskipun ada kalanya diberikan secara oral ataupun infus. Uji aktivitas antifungi sama seperti uji antimikroba lainnya, dapat dilakukan dengan difusi agar ataupun dilusi cair. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, misalnya media yang digunakan dan saat pengamatan setelah proses inkubasi, karena jamur cenderung membentuk koloni sehingga berbeda dengan pengamatan pertumbuhan bakteri. Menurut mekanisme kerjanya antifungi dapat dibedakan menjadi beberapa golongan, yaitu a. Golongan polyene Merupakan antibiotik yang secara selektif menghambat organisme yang membran selnya mengandung sterol, tetapi tidak berpegaruh terhadap kumankuman prokariotik. Antibiotik ini bekerja dengan mengikat sterol pada membran plasma fungi sehingga membran plasma sel menjadi sangat permeabel dan sel menjadi mati. Contoh antifungi golongan ini adalah amfoterisin B, nistatin, candicin dan rimocidin (Sujudi, 1993).

25

b. Golongan azol Antifungi kelompok azol merupakan obat jamur yang paling banyak digunakan di Indonesia, golongan azol berhubungan dengan sintesis sterol, bekerja dengan cara menghambat α-lanosterol 14 demethylase. Contoh obat jamur golongan azol adalah imidazol dan triazol. Contoh imidazol adalah klotrimazol, mikonazol dan ketokonazol sementara contoh triazol adalah itrakonazol dan flukonazol (Pratiwi, 2008). c. Golongan Echinocandins Bekerja dengan menghambat sistesa glukan dalam dinding sel. Contoh obat jamur golongan echinocandins adalah caspofugin. d. Griseofulvin Merupakan antifungi yang diproduksi oleh Penicillium. Griseofulvin mengikat keratin pada kulit, folikel rambut, dan kuku dengan cara mengeblok penggabungan mikrotubul pada mitosis sehingga menghambat reproduksi fungi (Pratiwi, 2008). Griseofulvin in vitro efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit seperti Trichophyton, Epidermophyton dan Microsporum. Terhadap sel muda yang sedang berkembang griseofulvin bersifat fungisidal. Obat ini tidak efektif terhadap bakteri, jamur lain dan ragi, Actinomyces dan Nocardia (Humang, 2012). Masih ada beberapa golongan kecil antifungi lainnya seperti golongan Allylamines, kemudian asam benzoat, tolnaftat yang merupakan alternatif mikonnazol, asam undesilenat dan flucytocine yang merupakan antimetabolit basa sitosin pada sintesis DNA dan RNA.

26

8.

Metode Uji Aktivitas Antimikroba a. Metode Difusi 1) Metode disc diffusion (Kirby & Bauer) Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang

telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media Agar (Pratiwi, 2008). Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor obat dan mikroorganisme (misal: sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran partikel molekul, dan stabilitas obat). Meskipun demikian, standarisasi faktorfaktor tersebut memungkinkan melakukan uji dengan kepekaan yang baik (Jawetz dkk., 2001). Zona hambatan berhubungan dengan KHM dan hubungan ini telah digunakan untuk determinasi nilai yang menyatakan apakah mikroba tersebut peka , intermediet, atau resisten (Mahon dan Manuselis, 1995). 2) E-test Metode ini digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum Inbitory Concentration) atau KHM, yaitu konsentarasi minimal suatu agen antimikroba untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan media Agar yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media Agar.

27

3) Ditch-plat technique Sampel uji berupa agen antimikroba yang diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara memotong media Agar dalam cawan Petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam) digoreskan ke arah parit yang berisi agen antimikroba (Pratiwi, 2008) 4) Cara sumuran Metode ini serupa dengan metode Kirby-Bauer, setelah bakteri dioleskan pada permukaan media agar hingga merata, dibuat sumuran dengan garis tengah tertentu, ke dalam diteteskan larutan uji, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Hasil dibaca seperti Kirby-Bauer. 5) Pour Plate Suspensi bakteri sebanyak satu ose dimasukkan ke dalam 4 mL agar base 1,5 % pada 50oC. Setelah suspensi kuman homogen, dituang pada media agar dan ditunggu sebentar agar membeku, diletakkan disk di atas media, dieramkan 15-20 menit dengan temperatur 37oC, hasil dibaca sesuai standar masing-masing (Sujudi, 1993). b. Metode dilusi 1) Metode dilusi cair (broth dilution test) Metode dilusi cair menggunakan antimikroba dengan kadar menurun secara bertahap pada media cair. Media kemudian diinokulasi mikroba uji dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam (Jawetz dkk., 2001). Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) dan MBC (Minimum Bactericidal

28

Concentration) atau KBM (Kadar Bunuh Minimum). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengeceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008). Metode dilusi cair dapat dilakukan dengan menggunakanan volume yang berukuran mikro disebut juga metode mikrodilusi. Metode ini menggunakan microplate. Metode ini sangat menguntungkan apabila kita memiliki sampel yang jumlahnya sedikit, sehingga tidak dapat diuji dengan menggunakan metode dilusi cair atau difusi agar. Selain itu juga tidak membutuhkan banyak tempat dalam pengerjaannya. Namun, dalam melakukan metode ini dibutuhkan ketelitian dan kecermatan yang lebih, karena kesalahan dalam menuang sampel atau suspensi mikroba akan menyebabkan hasil yang kacau. Dalam metode ini mula-mula disiapkan seri konsentrasi antibiotik dari yang terendah sampai tertinggi. Ke dalam microplate masing-masing seri konsentrasi dimasukkan ke dalam sumuran, diurutkan dari konsentrasi yang rendah ke konsentrasi yang tinggi, kemudian ditambah media yang telah diinokulasi mikroba uji ke dalam masing-masing sumuran. Setelah diinkubasi 24 jam, larutan uji agen antimikroa atau antibiotik pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji ditetapkan sebagai KHM

29

(konsentrasi hambat minimum). Biasanya kemudian ditambahkan pereaksi MTT (3-(4,5-dimetylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium Bromide) agar memperjelas pengamatan. Pereaksi ini akan direduksi menjadi formazan berwarna ungu di dalam mitokondria sel yang hidup. Sumuran yang tidak berubah warna menjadi ungu menunjukkan KHM. Identifikasi KHM juga dapat diautomatisasi melalui penghamburan cahaya maupun perubahan

warna, setelah dilakukan inkubasi

dalam waktu yang sesuai (Hugo dan Russel’s, 2004). Dilakukan juga kontrol media yang tidak diberi antimikroba dan tidak diberi mikroba uji, serta kontrol media yang hanya diberi mikroba uji. Pada mikrodilusi konsentrasi akhir mikroba dalam tiap sumuran adalah 105 CFU/mL untuk bakteri dan 5x102-2,5x103 CFU/mL untuk fungi (Schwalbe, dkk., 2007). 2) Metode dilusi padat (solid dilution test) Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008).

9.

Bioautografi Bioautografi merupakan metode spesifik untuk mendeteksi bercak pada

kromatogram hasil KLT yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri, antifungi, antibiotik, dan antiviral (Stahl, 1973). Keuntungan metode ini yaitu efisien untuk mengetahui adanya senyawa antimikroba karena letak bercak dapat ditentukan walaupun berada dalam campuran yang kompleks, sehingga dapat digunakan untuk petunjuk dalam mengisolasi senyawa aktif tersebut. Kerugiannya adalah

30

tidak dapat menentukan KHM dan KBM (Pratiwi, 2008). Ada tiga macam bioautografi, yaitu: a.

Bioautografi overlay Lempeng kromatogram diletakkan dalam cawan petri lalu dituangi medium yang telah disuspensikan dengan mikroba uji, kemudian diinkubasi pada suhu dan waktu tertentu (Djide dkk, 2005). Letak zat aktif ditandai dengan zona jernih pada media mikroba yang diuji.

b.

Bioautografi kontak Metode in dilakukan dengan cara senyawa antimikroba dipindahkan dari plat KLT ke media agar yang telah diinokulasi mikroba uji secara merata. Lempeng kromatogram tersebut ditempatkan di atas media agar selama 15-30 menit kemudian diangkat dari media agar dan diinkubasi pada suhu dan waktu tertentu. Senyawa akan berdifusi dari plat KLT menuju agar karena adanya perbedaan konsentrasi, semakin tinggi kadar senyawa antimikroba semakin banyak yang berdifusi ke dalam media agar. Penghambatan pertumbuhan bakteri akan nampak sebagai zona jernih (Djide dkk., 2005).

c.

Bioautografi langsung Metode ini dilakukan dengan menyemprot plat KLT dengan suspensi mikroba uji. Setelah diinkubasi dalam waktu tertentu, letak zat aktif antimikroba dapat diketahui dengan adanya zona jernih (Djide dkk., 2005).

31

F. Landasan Teori Tumbuhan suku Menispermaceae atau anak suku Arcangelisia, pada umumnya mengandung alkaloid golongan isokinolin, yaitu suatu alkaloid kuarterner yang berbentuk garam. Alkaloid dalam bentuk garam akan sangat mudah larut dalam air. Ekstrak larut air hasil refluks batang kayu kuning (A. flava) diprediksi mengandung alkaloid berberin. Berberin merupakan alkaloid isokinolin yang dapat berefek sebagai antimikroba (Scazzocchio dkk, 2001). Seperti di masyarakat, dimana air rebusan batang kayu kuning digunakan untuk obat diare berdarah (Larisu, 2011), sariawan dan obat luka infeksi, maka ekstrak larut air tersebut dapat diuji khasiatnya sebagai antifungi, sehingga dapat diketahui aktivitas dan potensinya. Sementara untuk menentukan profil metabolit apa saja yang terkandung dalam ekstrak tersebut, maka dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dan TLC Scanner. Keberadaan berberin HCl ditegaskan dengan cara membandingkan pola spektrum sampel dan standar, kemudian kadar alkaloid yang terkandung dalam ekstrak tersebut dapat dihitung sebagai berberin HCl.

G. Hipotesis Ekstrak larut air batang kayu kuning (Arcangelisia flava L.Merr) yang mengandung senyawa alkaloid berberin HCl dengan kadar relatif tertentu, berpotensi sebagai antifungi terhadap koloni Candida albicans ATCC 10231 dan Trichophyton mentagrophytes.