BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MENJADI SUATU

Download Mechanisms in the Constitution-Making Process, dalam Zainal A. Mochtar, 2016, Lembaga. Negara Independen; Dinamika Perkembangan dan Urgensi...

0 downloads 426 Views 285KB Size
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menjadi suatu keniscayaan, bahwa ide tentang demokratisasi yang meluas ke seluruh belahan dunia telah membawa perubahan besar dalam kehidupan baik dalam sektor ekonomi, politik dan sosial. Hal ini pada akhirnya memaksa setiap negara untuk dapat beradaptasi dan merespon perubahan tersebut. Dalam proses adaptif negara-negara di dunia, telah lahir berbagai perkembangan dalam sistem pemerintahan dan institusinya. Sejak era 1980-an, penataan dan fungsi Organisasi dalam bidang Kerjasama Ekonomi dan sektor publik Pembangunan (OECD) telah mengalami pergeseran yang besar. Salah satu tren yang paling dominan dalam organisasi publik di negara-negara OECD adalah pergeseran dari urusan publik yang terpusat dan terkonsolidasi, menuju ke urusan publik yang terdesentralisasi dan bersifat otonom. Sistem administrasi publik kemudian dipisah dan dipencarkan menjadi berbagai jenis organisasi otonom, atau institusi yang independen, yang biasa diistilahkan sebagai 'Independent regulatory agencies/ bodies' atau Lembaga negara Independen (LNI). 5 lembaga sejenis ini antara lain seperti Federal Trade Commision di Amerika Serikat, Commission des Operations de Bourse di Italia, atau The Commissions for Racial Equality di Inggris.6

5

Koen Verhoest, et. all, 2010, Autonomy and Control of State Agencies, Comparing State Agencies, United Kingdom, Palgrave Macmillan, hlm. 3. 6 Lihat Jimly Asshiddiqie, 2013, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Rajawali Press, hlm. 339-340.

1

Perkembangan model kelembagaan negara tersebut juga terjadi di Indonesia. Euphoria reformasi yang menandai transisi demokrasi telah mendesak dan sekaligus menjadi tonggak awal dilakukannya perombakan dalam sistem ketatanegaraan, yang utamanya dilakukan melalui amandemen konstitusi.7 Salah satu yang terkena imbasnya adalah model kelembagaan negara. Undang-Undang Dasar 1945 pra amandemen yang menggunakan pendekatan hierarkhis-struktural dalam penyusunan kelembagaan negara, terbukti tidak menghasilkan sistem pemerintahan yang sesuai dengan ekspektasi.8 Melalui amandemen konstitusi, format penyusunan lembaga negara kemudian lebih diarahkan untuk menyesuaikan dengan aspirasi rakyat dan kebutuhan perkembangan zaman. Trauma panjang akan otoritarianisme dan 7

Elster Jon mengemukakan bahwa masa transisi adalah dorongan untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi. Ia menyatakan setidaknya ada delapan kondisi yang mendorong mudahnya terjadi perubahan konstitusi yakini; (1) economy and social crisis; (2) revolution, (3) the fall of regime; (4) fear of the fall of regimes; (5) defeated on war, (6) reconstruction after war; (7) establishment of new state; and (8) independence from colonialization. Elster Jon, Forces and Mechanisms in the Constitution-Making Process, dalam Zainal A. Mochtar, 2016, Lembaga Negara Independen; Dinamika Perkembangan dan Urgensi Penataannya Kembali PascaAmandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Yogyakarta, hlm. 81. 8 Hal ini dikarenakan model penyusunan kelembagaan negara yang bersifat hierarkhis dengan menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi di atas lembaga eksekutif dan yudikatif, pada praktiknya ternyata mentah, sebab penyelenggara negara eksekutif cenderung lebih dominan memainkan peranannya dalam mendominasi jalannya pemerintahan. Bahkan mampu menguasai dan mendikte MPR bersama dengan organ-organ negara lainnya. Sebagai contoh, di era demokrasi terpimpin Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 juli 1959 untuk membubarkan konstituante dan menetapkan perubahan konstitusi, menerbitkan Penpres No. 3 Tahun 1960 untuk membubarkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu 1955 yang tidak sepakat dengan RAPBN pemerintah, dan Penpres No. 4 tahun 1960 untuk menyusun DPR gotong Royong (DPR GR) untuk menjalankan kebijakan pemerintah. Presiden juga Menerapkan sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk memegang kendali penuh atas militer, dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Sedangkan di masa orde baru, Soeharto mampu berkuasa dalam kurun waktu 32 tahun dan berhasil membuat dirinya dikenal sebagai “pemerintah bertangan besi” yang oleh Dwilight King disebut dengan Bureaucratic Authoritarian regime. Presiden dan Lembaga kepresidenan merupakan pusat kekuasaan Negara yang dioperasikan oleh birokrasi sipil dan militer, sembari mengkooptasi kekuatan masyarakat sehingga ormas dan orpol tidak mandiri dan tidak berfungsi. Lihat Arbi Sanit, Reformasi Politik Indonesia, 1998, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

2

absolutisme menyebabkan model kelembagaan negara disusun sedemikian rupa secara terpisah dan setara sehingga dapat saling mengimbangi dan mengawasi. Seiring waktu, tuntutan akan perbaikan pelayanan, transparansi, dan akuntabilitas pihak penyelenggara negara juga terus menguat sehingga mendorong adanya reformasi institusi negara.9 Desakan untuk mereformasi institusi negara juga datang dari pihak internasional seperti doktrin The New Public Management (NPM) yang disebarkan oleh beberapa badan internasional (seperti OECD, IMF, Bank Dunia dan Uni Eropa). NPM mepropagandakan sebuah model lembaga yang ideal dengan beberapa aspek kunci seperti structural dissagregation, managerial autonomy, result control dan 'policy-operations' split. Menurut para pendukungnya, lembaga ideal semacam ini merupakan cara terbaik untuk memberikan pelayanan publik dengan cara yang transparan, berorientasi pada kepentingan konsumen, efektif dan efisien.10 Alhasil, tren kelembagaan negara pasca amandemen kemudian mengarah pada terbentuknya lembaga-lembaga negara baru yang diidealkan memiliki otonomi dan karakteristik yang independen11, sehingga muncullah

9

Menurut Didik Supriyanto, reformasi institusi ini dilakukan dengan tujuan: pertama, memperkuat kedudukan dan fungsi lembaga legislatif dan yudikatif; kedua, membatasi dan mengurangi kekuasaan eksekutif. Selengkapnya Lihat Didik Supriyanto, “Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu”, Hasil Penelitian Kerjasama USAID, drsp dan Perludem, hlm. 16. Tuntutan akan perbaikan pelayanan dan transparansi pemerintah misalnya, telah melahirkan lembaga seperti Komisi Ombudsman dan Komisi Informasi, sedangkan LNI dibidang judicial oversight seperti Komisi Yudisial dibentuk untuk merespon tuntutan akan akuntabilitas dan reformasi di tubuh kekuasaan kehakiman. 10 Koen Verhoest, Op.cit., hlm. 5-6. 11 Lembaga dengan karakteristik independen atau lembaga Negara independen sering dimaknai sebagai lembaga Negara tersendiri yang terpisah dari cabang kekuasaan yang lain. Lembaga ini menjalankan fungsi-fungsi tertentu secara permanen (state independent agencies), sehingga padanya disematkan kewenangan untuk membentuk aturan sendiri (self regulatory agencies),

3

berbagai lembaga negara independen (LNI) seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lain sebagainya. Secara umum dapat dikatakan bahwa pembentukan lembaga-lembaga independen ini cenderung hanya bersifat reaksioner dan insidentil tanpa landasan konseptual yang matang, sehingga menjadi tidak jelas suasana kebatinannya.12 Bahkan tidak dipungkiri bahwa LNI di Indonesia terkadang dibentuk untuk alasan pencitraan rezim saja, dan dalam proses yang terburuburu.13 Peristilahan “lembaga negara independen” misalnya, sampai hari ini belum memiliki tafsiran yang otentik secara normatif yuridis dalam peraturan perundang-undangan, melainkan hanya sebagai justifikasi konseptual dengan memperhatikan karakteristik lembaga-lembaga yang ada. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya, dalam Pasal 3 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan Komisi pemberantasan Korupsi adalah

melakukan pengawasan tertentu (independent supervisory agencies) maupun lembaga yang menjalankan fungsi campuran antara regulative, administrative, pengawasan, dan fungsi penegakan hukumnya. Lihat Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 338-339. Tren pembentukan lembaga independen ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi berskala global. di Amerika Serikat, tercatat tidak kurang dari 30 badan khusus yang relatif independen untuk menjalankan fungsi yang bersifat semi yudisial dan semi legislatif. Di sejumlah Negara di Asia dan Afrika, pembentukan komisi-komisi independen terjadi seiring dengan perkembangan demokrasi dan perubahan konstitusi di masing-masing Negara. Lihat Firmansyah Arifin, dkk, lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, diterbitkan oleh KHRN bekerjasama dengan MKRI, Jakarta, 2005, hlm. 4. Mengenai karakteristik independen suatu lembaga Negara akan dibahas lebih lanjut dalam bab lain penelitian ini. 12 Lihat Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen, Eksistensi Independent Agencies sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan, Genta Press, Yogyakarta, 2012, hlm. 6. 13 Lebih lanjut lihat Zainal A. Mochtar, Penataan Lemabaga Negara Independen Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945”, disertasi pada Sekolah Pascasarjana Univeristas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm. 214-230.

4

lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tidak ada rumusan atau penjelasan lebih lanjut mengenai independensi yang dimaksud. Faktanya, ketika KPK menerjemahkan kata „independen‟ dalam wujud tindakan nyata pengusutan beragam kasus korupsi, masih timbul kontroversi di berbagai kalangan. Bahkan oleh beberapa pihak seringkali dianggap sebagai sebuah bentuk arogansi dari lembaga superbody. Sejak berdirinya KPK di tahun 2002 terhitung beberapa kali „upaya pelemahan‟ yang coba dilakukan terhadap KPK14. Termasuk dalam hal tersebut adalah kasus pidana yang akhirnya berhasil memenjarakan Antasari Azhar selaku ketua KPK periode kedua, yang pada saat itu menuai prestasi besar karena berhasil mengusut kasus korupsi Aulia Pohan. Konflik antara KPK dan POLRI yang kemudian popular dengan cicak vs buaya juga menguras habis tenaga KPK akibat upayanya untuk menyidik kasus Susno Duaji yang merupakan petinggi POLRI. Hubungan KPK-POLRI kembali memanas di tahun 2014 akibat penetapan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka yang berimplikasi pada batalnya pengangkatan BG sebagai Kapolri.

Beberapa

saat

setelahnya,

dua

komisioner

KPK

terpaksa

mengundurkan diri karena menyandang status tersangka dalam kasus yang ditangani oleh Bareskrim POLRI.

14

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan sedikitnya ada 11 upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak berdirinya pada tahun 2003. Upaya pelemahan KPK ini muncul, karena banyak pihak yang dirugikan dan tidak suka dengan keberadaan KPK. Selengkapnya lihat http://news.metrotvnews.com/read/2014/12/29/338097/ini-11-upayapelemahan-kpk-versi-icw

5

Di tengah aksi penolakan publik terhadap kriminalisasi KPK oleh POLRI dan dukungan terhadap independensi KPK, secara dramatis Romli Atmasasmita

selaku

perancang UU

Tindak

Pidana

Korupsi

justru

mengeluarkan statement yang bernada miring tentang KPK dan cenderung memberikan warning kepada KPK agar tidak arogan dan mau bekerjasama dengan POLRI.15 Hal ini menunjukkan masih adanya disparitas persepsi bahkan oleh perumus undang-undang sendiri tentang makna independensi suatu lembaga negara independen. Hal yang kurang lebih sama juga dihadapi oleh lembaga-lembaga independen lainnya seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Berdasarkan analisis Gunawan Tauda, independensi Komnas HAM telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1 angka 7 yang menyatakan; “Komisi Nasional Hak asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga Negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi hak asasi manusia.”16 Namun hal tersebut sampai hari ini belum mampu menggeser persepsi Komnas HAM sebagai „macan ompong‟, akibat masih banyaknya kekurangan dalam regulasi yang menjadi dasar pembentukannya dan minimnya kewenangan sebagai

15

http://news.liputan6.com/read/2160294/kritik-kpk-pakar-hukum-dukung-calon-kapolri-pilihan jokowi lihat juga http://www.merdeka.com/peristiwa/prof-romli-kpk-vs-polri-terjadi-karenaalasan-pribadi-komjen-budi.html 16 Gunawan A. Tauda, Op.cit., hlm. 104.

6

lembaga negara yang berciri independen.17 Ketidakjelasan independensi juga masih menjadi pertanyaan sentral yang menimpa LNI seperti, Komisi Yudisal (KY), Komisi Polisi Nasional dan lain sebagainya. Lembaga lain seperti Bank Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Kejaksaan juga dirasa perlu untuk diperjelas status independensi kelembagaannya. Untuk dapat mengetahui seperti apa dan sejauhmana independensi yang dimiliki oleh LNI dalam konteks Indonesia, maka dapat merujuk pada konsep yang saat ini umum digunakan, yakni konsep Independent Regulatory Agencies (IRAs) atau konsep kelembagaan LNI dalam kepustakaan barat. Selain disebut dengan Independent regulatory agencies,18 juga terdapat peristilahan lain seperti Commissions,19 self regulatory bodies, Independent Agencies20, “semi-autonomous agencies”21 dan sebagainya. Hal ini utamanya disebabkan oleh pesatnya kajian dan penelitian tentang LNI yang menarik minat banyak kalangan sarjana barat. William F. Funk dan Robert H. Seamon misalnya menjelaskan bahwa ada satu kategori lembaga yang sering dianggap berada di luar cabang kekuasaan eksekutif yang disebut “Independent regulatory agencies”. Dikatakan independen karena lembaga ini memiliki karakteristik yang

17

Hal ini diakui sendiri oleh komisioner Komnas HAM sebagaimana pernyataannya yang dikutip http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f7d11402f7ae/komnas-ham-butuhpenguatankewenangan 18 Lihat Fabrizio Gillardi, 2008, Delegation In The Regulatory State, Independent Regulatory Agencies In Western Europe, Edward Elgar Publishing Limited, United Kingdom, hlm. 13. 19 Lihat Yves Meny dan Andrew Knapp, 1998, Government and Politic in Western Eruope: Britain, France, Italy, Germany, 3rd Edition, Oxford University Press, Oxford, Hlm. 281 20 Lihat Neal Devins dan David E. Lewis, “Not-So Independent Agencies: Party Polarization and The Limits Of Institutional Design”, Boston University Law Review, Vol. 88, hlm. 460. 21 Lihat Niegel Bowles, 1998, Government and politics of The United States, Macmillan Press, England, hlm. 250.

7

membuatnya terisolasi dari kontrol presiden sehingga berbeda dengan lembaga negara pada umumnya.22 Andrew Knapp dan Yves Meny mengkategorikan LNI sebagai badan yang memiliki fungsi regulasi dan pengawasan (regulatory and monitoring bodies), kemudian menamakannya sebagai “Independent regulatory Commissions. Menyadari pentingnya fungsi LNI tersebut dan melihat perkembangannya yang sangat pesat di Amerika Serikat, Ia kemudian menamainya sebagai “the headless fourth branch of government” atau cabang kekuasaaan keempat.23 Beberapa pakar lain seperti Curtis W. Copeland, Michael E. Milakovich, Magetti dan Gillardi juga telah merumuskan beberapa aspek penting mengenai kriteria kelembagaan dan independensi IRAs di negaranegara maju. Di Amerika Serikat sendiri dan beberapa negara lain di Eropa, beberapa pandangan dan konsep tersebut menjadi dasar yang akan sangat menentukan seperti apa LNI yang akan dibangun, seberapa besar independensinya, dan bagaimana prospeknya ke depan. 24 Beberapa pemikiran dan hasil penelitian tersebut dapat diintegrasikan dan digunakan sebagai sebagai tolak ukur, guna melihat sejauh mana independensi LNI dalam konteks Indonesia. Di Amerika misalnya, mulai dikenal adanya dua jenis lembaga independen yaitu

Independent

agencies

22

dan independent regulatory

William F. Funk, dan Richard H. Seamon, 2001, Admisnistrative Law: Examples and Explanations, Apen Law & Bussiness, Printed in the united states of America, New York, hlm. 7. 23 Yves Meny dan Andrew Knapp, 1998, Government and Politic in Western Eruope: Britain, France, Italy, Germany, 3rd Edition, Oxford University Press, Oxford, Hlm. 281 24 Lihat Fabrizio Gillardi, 2008, Delegation In The Regulatory State, Independent Regulatory Agencies In Western Europe, Edward Elgar Publishing Limited, United Kingdom, hlm. 13.

8

agencies.25 Pembagian ini belum begitu dikenal di Indonesia dan masih diartikan secara general atau dipersamakan sebagai „lembaga negara independen‟. Padahal, penting untuk diketahui bahwa kedua konsep lembaga tersebut dibedakan karena adanya ketidaksamaan derajat independensi dan karakteristik khusus, dimana LNI dalam pengertian IRAs memiliki aspek independensi yang lebih sempurna daripada LNI dalam pengertian independent agencies saja.26 Pengklasifikasian LNI berdasarkan konsep tersebut juga perlu dilakukan, sebab kenyataannya mesti diakui bahwa ada perbedaan derajat independensi pula dalam penyusunan LNI kita yang memang belum terkonsolidasi dengan baik. Pembentukan LNI yang tanpa menggunakan dasar pemikiran yang jelas akan berakibat pada rancunya pengaturan independensi kelembagaannya. Boleh jadi suatu lembaga dibentuk dengan tujuan penting yang membutuhkan independensi yang besar, namun karena pengaturan yang tidak lengkap menyebabkan lembaga ini banyak diintervensi dan dikontrol oleh lembaga lain sehingga menyulitkan kinerja lembaga yang bersangkutan. Dalam konsep IRAs, beberapa pakar pun mulai mengakui eksistensi LNI sebagai poros kekuasaan yang benar-benar independen dalam pemerintahan modern. Klaim ini dapat dipahami jika melihat fakta bahwa

25

Lihat Curtis W. Copeland, “Economic Analysis and Independent Regulatory Agencies”, draft Report for the consideration of the administrative conference of United States, USA, 2013, hlm. 6. 26 Independensi politik yang dimaksudkan di sini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh copeland sebagai “independence from presidential direction and control”, yang dapat terwujud dari mekanisme pemberhentian anggota oleh sebab tertentu yang ditetapkan di dalam undangundang, tidak berdasarkan keinginan presien semata. Lihat lebih lanjut dalam Ibid., lihat juga William F. Funk, dan Richard H. Seamon, 2001, Admisnistrative Law: Examples and Explanations, Apen Law & Bussiness, Printed in the united states of America, New York, hlm. 7.

9

lembaga-lembaga negara independen yang ada semakin besar jumlah dan peranannya. Lawrence J. Fedewa dalam sebuah artikel di The Washington Times, yang berjudul Bureucracy : The Fourth Branch of Government, menulis bahwa di Amerika Serikat, lembaga-lembaga negara di luar Presiden dan Congress seperti LNI secara signifikan telah mendominasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Sejak 2001, terdapat ribuan perubahan regulasi yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga ini, yang berimplikasi pada eskalasi jumlah peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat.27 Hal tersebut juga menjadi perhatian sarjana hukum dari Amerika, Bruce Ackerman. Ia kemudian menulis sebuah konsep pemisahan kekusaan baru (The new separation of power) untuk mengakomodir hadirnya lembaga Negara independen sebagai cabang kekuasaan yang baru dan mandiri, di samping cabang kekuasaan lainnya dalam sistem pemerintahan modern. Mengacu pada perkembangan kelembagaan negara Amerika yang tidak lagi berlandaskan pada konsep trias politica, ia kemudian menulis; “…The American system contains (at least) five branches; House, Senate, President, Court, and independent agencies such as federal reserve board. Complexity is compounded by the widering institutional dynamics of the American federal system. The crucial question is not complexity, but wether we Americans are separating power for the right reason.”28 Demikianlah beberapa pandangan di atas terus berkembang secara dinamis seiring dengan pesatnya perkembangan LNI di banyak negara.

27

http://www.washingtontimes.com/news/2014/jul/3/fedewa-bureaucracy-fourth-branchgovernment/, diakses pada 2 Oktober 2014 28 Bruce Ackerman, “The New Separation of Powers”, The Harvard Law Review, Vol.113, HVLR 633, Januari 2000, hlm. 728.

10

Berdasarkan hal tersebut, maka menarik untuk mengkaji independensi LNI dalam konteks Indonesia. Sebagaimana beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Koen Verhoest, dkk; “What are „agencies‟, what are their features and how can we map them? How can we measure their autonomy and control?”29 maka penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan mengenai apa itu lembaga negara independen, bagaimana aspek independensi yang menjadi karakteristik utamanya, dan sejauh mana independensi tersebut, dengan mendasarkan pada konsep IRAs. Dengan mengetahui bagaimana dan seberapa besar independensi LNI yang tercermin dalam pengaturan dan realitasnya, maka dapat diketahui bagaimana jenis dan kedudukan lembaga-lembaga tersebut dalam sistem kelembagaan negara. Untuk kemudian menjadi dasar dalam merumuskan format independensi yang tepat bagi LNI di Indonesia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka disusunlah rumusan masalah sebagai berikut; 1. Sejauh manakah independensi lembaga-lembaga negara independen yang ada di Indonesia menurut indikator IRAs ? 2. Bagaimanakah format independensi yang ideal bagi lembaga negara independen di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan subyektif dan obyektif sebagai berikut; 1. Tujuan Obyektif

29

Koen Verhoest, Op.cit., hlm. 4.

11

1) Untuk mengetahui, menganalisis, dan memahami secara umum sejauh mana independensi LNI di Indonesia yang tercermin dalam regulasinya 2) Untuk mengetahui, mengkaji, dan memahami format independensi yang ideal bagi lembaga Negara independen di Indonesia 2. Tujuan Subyektif Penelitian ini secara subyektif dilaksanakan dalam rangka penyusunan thesis sebagai syarat akademis untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.) pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Gajdah Mada. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Setiap telaah konseptual dan analisis teori yang tersaji dalam penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi pada pengembangan dan perluasan kajian ilmu hukum khususnya di bidang hukum ketatanegaraan, terutama yang berkaitan dengan isu-isu kelembagaan Negara kontemporer. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini pada akhirnya diharapkan dapat menjadi acuan dan pertimbangan bagi pihak regulator dan pembuat kebijakan, dalam rangka menata dan menyempurnakan lembaga Negara independen yang telah ada, maupun dalam membentuk lembaga-lembaga independen baru di masa yang akan datang.

12

E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran, pencarian, dan pengamatan yang dilakukan oleh penulis, tidak ada penelitian, skripsi, tesis ataupun disertasi yang sama dengan penelitian ini, namun ditemukan beberapa karya tulis baik yang berupa disertasi, maupun thesis yang membahas tema seputar lembaga negara independen. Karya tulis yang dimaksud antara lain; Pertama, karya tulis ilmiah berupa penulisan disertasi yang berjudul “Penataan lembaga Negara Independen Setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945”30 yang ditulis pada tahun 2012 oleh Zainal Arifin Mochtar pada program doktor Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Adapun rumusan masalah yang diangkat adalah; (1) Faktor apa yang mendorong lahirnya lembaga-lembaga negara independen baru di Indonesia setelah reformasi? (2) Bagaimanakah implikasi kehadiran lembaga-lembaga tersebut dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan? dan (3) bagaimanakah seharusnya format ideal penataan lembaga Negara independen di Indonesia? Berdasarkan hasil penelitian terhadap permasalahan tersebut, didapatkan beberapa kesimpulan yakni; pertama, adanya faktor-faktor yang turut mendorong kelahiran lembaga-lembaga Negara independen ini diantaranya; adanya proses reformasi yang berbau liberal, pencitraan rezim, kebutuhan tertentu, dan ketergesaan legislasi. Kedua, adanya implikasi LNI baik secara yuridis, administratif maupun politik. Ketiga, penataan LNI melalui moratorium

30

Zainal Arifin Mochtar, 2012, Penataan Lembaga Negara Independen Setelah perubahan Undang-Undang dasar 1945, Disertasi pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

13

pembentukan,penyusunan cetak biru, dasar hukum kelembagaan dan pelaksanaannya. Kedua, karya tulis ilmiah berupa penulisan tesis yang berjudul “Kedudukan Komisi Negara Independen dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia”31 yang ditulis pada tahun 2011 oleh Gunawan Abdullah Tauda, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Adapun rumusan masalah yang dikaji oleh penulis adalah; (1) Apa sajakah karakteristik yang menjadi tolak ukur bagi keberadaan komisi negara independen? (2) Bagaimanakah konstruksi teoritis keberadaan komisi negara independen pada struktur ketatanegaraan Republik Indonesia? dan (3) Apa sajakah bentuk check and balances komisi negara independen terhadap cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam konteks ketatanegaraan Republik Indonesia. kesimpulan yang terdapat dalam penelitian tersebut adalah; pertama, komisi negara independen adalah lembaga yang secara tegas kemandirian atau independensi lembaga tersebut, bebas dari pengaruh dan kontrol dari cabang kekuasaan eksekutif, mekanisme pemberhentian dan pengangkatan yang diatur khusus, kepemimpinan yang bersifat kolektif kolegial, kepemimpinan tidak berasal dari partai politik tertentu, dan keanggotannya ditujukan untuk menjaga keseimbangan perwakilan yang nonpartisan. Kedua, konstruksi teoritis komisi Negara independen sebagai cabang kekuasaan tersendiri dimaknai sebagai bagian dari The New Separtion of Power atau pemisahan kekuasaan baru. 31

Ketiga, Checks and balances

Gunawan Abdullah Tauda, 2011, Kedudukan Komisi Negara Independen Dalam Struktur ketatanegaraan Republik Indoensia, Thesis pada Program Pasca Sarjana fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

14

antara komisi Negara independen dan tiga poros kekuasaan asli menunjukkan komisi

Negara

independen

juga

berperan

dalam

pembatasan

dan

penyeimbangan meskipun terbatas. Pada Tahun 2012 Tesis ini telah diterbitkan menjadi buku yang berjudul Komisi Negara Independen : Eksistensi Independent Agencies sebagai Cabang kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan. Ketiga, karya tulis ilmiah berupa penulisan tesis yang berjudul “Desentralisasi lembaga Negara Independen Dalam Negara Kesatuan” 32 oleh Wulandari, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Adapun rumusan masalah yang dikaji oleh penulis adalah; (1) Bagaimanakah konsep lembaga Negara independen di daerah?

dan (2)

Bagaimana konsep desentralisasi lembaga Negara independen yang paling tepat dalam Negara Kesatuan? Adapun kesimpulan dari penelitian tersebut adalah;

pertama, lahirnya

lembaga

Negara

independen memberikan

kesempatan adanya pendesentralisasian lembaga Negara independen di daerah dalam bentuk kantor perwakilan, komisi, maupun perwakilan. Kedua, konsep yang paling tepat dalam desentralisasi lembaga Negara independen dalam Negara kesatauan yakni dasar hukum pembentukannya yang menegaskan secara rinci independensinya, bebas dari pengaruh tiga cabang kekuasaan lain, proses pemilihan anggota ditentukan oleh undang-undang, penyeleksian anggota tidak berdasarkan political appointee, tidak boleh terjadi tumpah tindih kekuasaan, kepemimpinan yang bersifat kolektif kolegial, periode 32

Wulandari, 2014, Desentralisasi Lembaga Negara Independen dalam Negara Kesatuan, Tesis pada Program Pasca Sarjana fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

15

jabatan yang bersifat staggered, dan keharusan bagi peraturan perundangundangan menentukan secara rinci pembagian kewenangan antara lembaga Negara independen yang ada di pusat dan di daerah. Keempat, karya tulis ilmiah berupa penulisan tesis berjudul “Konfigurasi State Auxiliary Bodies dalam Sistem Pemerintahan Indonesia” oleh Evy Trisusilo. Program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta. Adapun rumusan masalah yang dikaji oleh penulis adalah; (1) bagaimanakah status dan kedudukan

lembaga State Auxilary Bodies

(SAB) (2) bagaimana korelasi dan tanggung atas lembaga SAB. Karya tulis ini menghasilkan kesimpulan bahwa SAB secara garis besar dapat dikategorikan menjadi tiga jenis yakni legislative-primary yaitu SAB yang masuk dalam ranah legislatif dalam level primary, Executive-primary atau SAB yang masuk dalam ranah eksekutif dalam level primary, dan Executive-auxiliary yang masuk dalam ranah ekskutif tetapi dalam level auxiliary. Tabel 1 Daftar Pembeda Dengan Penelitian Terdahulu Bentuk Dan Tahun “Penataan Lembaga Disertasi, Negara Independen 2012 Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945”, yang ditulis oleh Zainal Arifin Mochtar Judul dan Penulis

Unsur Pembeda

Membahas megenai faktor pendorong lahirnya lembaga-lembaga negara independen di Indonesia setelah reformasi, menganalisis implikasi kehadiran lembaga-lembaga tersebut dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, dan menggagas format ideal penataan lembaga Negara independen di Indonesia “Kedudukan Komisi Tesis, Membahas tentang karakteristik yang Negara Independen 2011 yang menjadi tolak ukur bagi keberadaan Dalam Struktur kemudian komisi negara independen, dan

16

Ketatanegaraan Republik Indonesia”, ditulis oleh Gunawan Abdullah Tauda. Telah diterbitkan menjadi buku yang berjudul “Komisi Negara Independen : Eksistensi Independent Agencies sebagai Cabang kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan” “Desentralisasi lembaga Negara Independen Dalam Negara Kesatuan”, ditulis oleh saudari Wulandari “Konfigurasi State Auxiliary Bodies Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia”, ditulis oleh Evy Trisusilo.

diterbitkan menjadi buku pada tahun 2012

Tesis, 2011

merumuskan konstruksi teoritis keberadaan komisi negara independen pada struktur ketatanegaraan Republik Indonesia, serta mekanisme check and balancenya dengan lembaga konvensional. Namun tidak terdapat pembahsan tentang sengketa kewenangan lembaga negara independen.

Membahas tentang konsep lembaga Negara independen di daerah dan konsep desentralisasi lembaga Negara independen yang paling tepat dalam Negara Kesatuan Tesis, Membahas secara umum tentang 2012 status dan kedudukan lembagalembaga negara penunjang (state auxiliary bodies), baik yang bersifat independen maupun administratif, meliputi dasar hukum, nomenklatur dan relasinya satu sama lain. Tidak terdapat pembahasan spesifik tentang lembaga negara independen dan mekanisme sengketanya. “Perkembangan dan Buku, Membahas secara umum Konsolidasi Lembaga 2006 perkembangan kelembagaan Negara Negara Pasca di Indonesia pasca reformasi, Reformasi”, ditulis oleh termasuk munculnya lembaga negara Jimly Asshiddiqie independen, namun tidak terdapat pembahasan yang lebih detail dan spesifik tentang lembaga independen dan sengketa kewenangannya “Kedudukan Hukum Buku dari Membahas dasar teoritis dan filosofis Komisi Negara di hasil bagi keberadaan Komisi Negara Indonesia (Eksistensi disertasi, sebagai lembaga negara yang diakui Komisi-Komisi Negara 2010 dalam sistem ketatanegaraan Sebagai Organ yang indoensia. Tidak terdapat Mandiri dalam Sistem pembahasan tentang sengketa Ketatanegaraan)”, kewenangan lembaga negara atau ditulis oleh Lukman lembaga negara independen. Hakim. “Lembaga Negara Buku, Membahas megenai faktor pendorong Independen (Dinamika 2016 lahirnya lembaga-lembaga negara

17

Perkembangan dan Urgensi Penataannya kembali PascaAmandemen Konstitusi), ditulis oleh Zainal Arifin Mochtar.

independen di Indonesia setelah reformasi, menganalisis implikasi kehadiran lembaga-lembaga tersebut dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, dan menggagas format ideal penataan lembaga Negara independen di Indonesia

Meskipun membahas tema yang sama, belum ada karya tulis, terutama yang berbentuk tesis yang secara khusus membahas, mengkaji, dan mendalami permasalahan mengenai independensi lembaga negara independen di Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penulisan karya tulis yang berupa thesis ini adalah penelitian baru dan asli, sehingga hasilnya diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian terdahulu.

18