BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PADA

Download Ketiganya mempunyai fokus tersendiri sehingga teorinya berbeda. F. Landasan Teori. 1. Teori Pilihan Rasional (Rational Choice). Prinsip das...

0 downloads 486 Views 545KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang memiliki naluri untuk hidup dengan orang lain. Naluri manusia ini disebut gregariousness sehinga manusia juga disebut social animal atau hewan sosial (Soerjono Soekanto 1982). Sebagai makhluk sosial, manusia akan mencari hakikat dirinya. Adanya tindakan-tindakan manusia merupakan wujud dari ide-ide dan pikiran-pikiran untuk memperoleh sesuatu sebagai kebutuhannya. Demikian juga dengan hubungan timbal balik antara sesamanya. Hubungan antar sesama pasti akan menimbulkan sebuah interaksi baik secara langsung ataupun tidak. Hubungan ini juga berpolakan pada keakraban. Dalam hal ini, penulis akan membahas mengenai hubungan yang diikat oleh sebuah tali pengikat untuk sebuah hubungan kekerabatan yaitu perkawinan. Perkawinan adalah sebuah istilah yang hampir tidak terlewatkan oleh setiap orang. Banyak terdengar dimana-mana dan juga dapat dibaca di banyak media. Akan tetapi istilah ini menimbulkan banyak pengertian dari berbagai kalangan. Jika ditanyakan apa maksud dari istilah ini, maka banyak hal yang harus diformulasikan dulu sebelum menjawabnya. Pernikahan (marriage) dapat dilihat sebagai suatu pengaturan berpasangan yang disetujui kelompok --biasanya ditandai oleh suatu ritual tertentu (upacara pernikahan) yang mengindikasikan status publik baru pasangan yang bersangkutan1. Perkawinan adalah hubungan yang permanen antara laki-laki dan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat berdasarkan atas peratuaran perkawinan yang berlaku. Perkawinan juga berarti upaya penyatuan dua keluarga besar, 1Henslin,

James M. 2007. Sosiologi dengan pendekatan membumi. Jakarta. Erlangga. Hal 116

1

terbentuknya pranata sosial yang mempertemukan beberapa individu dari dua keluarga yang berbeda dalam satu jalinan hubungan. Sebuah perkawinan atau pernikahan bertujuan membentuk sebuah rumah tangga atau keluarga. Tidak seorangpun yang berkeluarga menganggap keluarganya sebagai suatu kategori sosiologis yang abstrak dan berjarak. Keluarga begitu konkret dan sangat sehari-hari.Setiap kelompok manusia di dunia mengorganisasikan anggotanya ke dalam keluarga. Kebudayaankebudayaan di dunia menunjukkan keanekaragaman sedemikian hebatnya2. Keluarga biasanya tersusun dari orang-orang yang saling berhubungan darah dan/atau berkawin --- meskipun tidak selalu.Saling berbagi atap, meja makan, makanan, uang, bahkan emosi3. Pada umumnya, “sebuah rumah tangga” adalah sama dengan “sekelompok orang yang tinggal di dalam sebuah rumah”, walaupun sesungguhnya di satu rumah dapat ditinggali oleh dua atau lebih, atau satu rumah tangga4. Masyarakat dibayangkan sebagai struktur yang tersusun oleh unsur-unsur yang berupa keluarga-keluarga. Dengan kata lain, keluarga merupaka satuan (-satuan) sosial yang lebih kecil yang membangun dunia sosial5. Perkawinan tentunya membutuhkan persiapan. Mempersiapkan diri untuk menikah dan kawin merupakan tugas perkembangan masa remaja atau pada awal kedewasaan. Yang dinamakan remaja adalah peralihan dari bentuk anak-anak dengan segala macam perubahan, baik perubahan psikis maupun fisik6. Salah satu cirinya dapat ditandai dari umur, yaitu 18 sampai 22 tahun. Proses kematangan alat reproduksi terjadi pada umur ini. Proses ini biasanya ditandai dengan datangnya haid pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki. Pada banyak literatur, ibid hal 116 Irwan. 2006. Sangkan paran gender. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. hal 140 4 ibid. hal 142 5 ibid. hal 151 6Wahid, Abdurrahman. Dkk. 1996. Seksualitas, kesehatan reproduksi, dan ketimpangan gender. Jakarta. Pustaka sinar harapan. hal 300 2

3Abdullah,

2

umur ideal untuk melakukan perkawinan juga dilihat dari kedewasaan. Papalia dan Olds mengemukakan bahwa usia terbaik untuk menikah bagi perempuan adalah 19-25 tahun, sedangkan laki-laki pada usia 20-25 tahun. Rentang usia ini merupakan usia seseorang yang memasuki atau berada pada jenjang pendidikan yaitu di perguruan tinggi strata 1 (S1). Selain dari segi umur, sebuah perkawinan dipersiapkan dengan pertimbangan kesiapan pemikiran, kesiapan psikologis atau psikis, dan kesiapan ekonomi. Kesiapan pemikiran berarti harus matang dari segi visi, baik visi agama maupun visi kepribadian. Aspek lingkungan juga harus diperhatikan dalam pengambilan kesimpulan menikah dan kawin. Bagi mereka harus sudah memikirkan lingkungan tempat tinggal, tempat kerja dan atau belajar yang akan diambil setelah melakukan pernikahan dan perkawinan. Hal yang perlu menjadi catatan penting adalah bahwa dalam sebuah kelompok organisasi, setiap anggotanya memiliki peran-peran penting yang harus dijalankan untuk keberlangsungan organisasi tersebut. Begitu juga dengan keluarga. Keluarga yang pembentukannya dari sebuah pernikahan secara tidak langsung telah membagi peran bagi pelakunya. Peran ialah bagian yang kita mainkan pada setiap keadaan dan cara bertingkahlaku untuk menyelaraskan diri kita dengan keadaan7. Dalam hal ini, pernikahan telah membagi peran untuk laki-laki sebagai suami, dan untuk perempuan sebagai istri. Dalam perkawinan pun setiap individu harus melampaui proses belajar mengenal masingmasing pasangannya, mereka harus belajar untuk mengatasi masalah dua orang yang berbeda nilai dan orientasinya. Ketika individu dewasa mempunyai anak pun tetap mengalami proses belajar bagaimana peranan mereka menjadi orang tua dalam membesarkan dan merawat

7Wolfman,

Brunetta R. 1989. Peran kaum wanita. Yogyakarta. Kanisius. hal 9

3

anaknya8. Berfungsinya keluarga dengan baik merupakan prasyarat mutlak bagi kelangsungan suatu masyarakat, karena di dalam keluargalah suatu generasi yang baru memperoleh nilai-nilaidan norma-norma yang sesuai dengan harapan masyarakat. Dengan kata lain, keluarga merupakan mediator dari nilai-nilai sosial9. Ketika telah menikah, baik Perempuan ataupun laki-laki akan dihadapkan pada masalahmasalah baru dalam kehidupan berkeluarga. Bagi mahasiswi yang mengambil keputusan menikah saat masih kuliah juga akan mengalami hal tersebut, bahkan bisa lebih kompleks lagi. Keputusan untuk menikah yang nantinya akan memasuki kehidupan pernikahan membutuhkan pemahaman dan penyesuaian diri baik dengan kehadiran pasangan, keluarga baru, anak, beban atau tanggung jawab serta konflik, dan tentunya lingkungan yang baru. Untuk itu, sebuah pernikahan bukanlah hal yang mudah dan juga bukanlah hal yang sulit. Prosesnya baik sebelum maupun setelah menikah, banyak menuntut perhatian. Tugas-tugas kekeluargaan merupakan tanggungjawab langsung setiap individu dalam masyarakat. Sejak sebelum terbentuknya sebuah keluarga, setiap individu mempunyai kewajiban untuk mempersiapkannya mulai dari masyarakat mengenali siapa menikah dengan siapa, atau efektivitas pemeliharaan anak, dst. Pergeseran terjadi pada proses-proses sosial ini. Ketergantungan terhadap keyakinan dan atau kebudayaan menjadi erat pengaruhnya. Meningkatnya perhatian pada proses sosialisasi menuntut agar masyarakat lebih memperhatikan dan menguasai persoalan pemilihan jodoh, kelakuan keluarga pasangan itu, dikarenakan ini menjadi awal pembentukan suatu keluarga baru yang kemudian akan selaras dengan persoalanpersoalan yang akan muncul setelah pernikahan dilaksanakan.

8 9

Ihromi, T.O.2004.Bunga Rampai Sosiologi Keluarga.Jakarta.Yayasan Obor Indonesia. Hal 8 ibid hal 167

4

Pada semua masyarakat, peraturan yang kompleks mengatur proses pemilihan pasangan dan akhirnya juga pada pernikahan10 . Hubungan peran dalam keluarga akan terus berubah selama kehidupan keluarga itu. Sang anak akan memulai hidupnya dengan lingkungan baru dan penuh, tetapi setelah beberpa tahun ia harus menghadapi permintaan-permintaan yang tidak dapat ditawar baik dari drinya sendri, orang tua, saudara-saudara, dan juga teman-teman. Pengalihan perhatian dari setiap tahapan usia banyak mengalami perubahan. Misalnya saja pengalihan perhatian anak pada permainan dan bahkan pada lawan jenisnya. Pada fenomena pernikahan mahasiswa, konstruksi dan streotipe yang berkembang di masyarakat sering kali mengartikan bahwa pernikahan yang terjadi bermakna negatif baik karena kesalahan bergaul atau karena paksaan orang tua. Ketika ada anak yang sedang menjalankan studi, itu artinya dia harus menyelesaikannya terlebih dahulu dan bekerja lalu kemudian menikah. Siapa saja yang melakukan pernikahan di usia yang masih terbilang muda, akan dipandang sebelah mata oleh lingkungannya. Erat kaitannya dengan pekerjaan yang akan diemban setelah menikah, baik bagi laki-laki maupun perempuan tentunya juga akan menjadi pertimbangan penting ketika akan menikah di saat masih kuliah. Laki-laki dengan beban pemenuhan kebutuhan keluarga dan bagi perempuan dengan beban domestik. Bagi siapapun yang hendak ingin menikah tentunya mempunyai idealism dalam memilih pasangannya nanti. Belum lagi dengan pertimbangan masih berstatus mahasiswa, ada kendala-kendala lain yang ditemukan dalam pengambilan keputusan untuk menikah. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji mengenai fenomena pernikahan di kalangan mahasiswa aktif yang diambil sebagai contoh keluarga modern. Penulis akan mengkaji permasalahan pengambilan keputusan menikah bagi mahasiswa.

10

Goode, William J. 1983. Sosiologi Keluarga. Jakarta. PT.Bina aksara. Hal 64

5

B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, rumusan masalah penelitia ini yaitu; 1. Bagaimana proses pengambilan keputusan menikah bagi mahasiswa ?; 2. Mengapa Mahasiswa memutuskan menikah? .

C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini, yaitu; 1. Mengetahui proses pengambilan keputusan menikah bagi mahasiswa ,; 2. Mengetahui alasan atau faktor yang mendukung dalam pengambilan keputusan menikah bagi mahasiswa.

D. Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini, yaitu; 1. Dalam bidang akademis, penelitian ini diharapkan dapan dijadikan sebagai salah satu pijakan informasi, referensi dan kajian keilmuan bagi para akademisi serta pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk memperkaya khasanah dan wawasan yang terkait dengan fenomena pernikahan mahasiswa aktif kuliah terutama dalam hal proses pengambilan keputusan menikah bagi mahasiswa; 2. Secara praktis, dengan memahami fenomena pernikahan mahasiswa aktif kuliah maka hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam kehidupan sosial ekonomi mahasiswa dan juga dapat menjadi referensi bagi penelitian terkait selanjutnya.

6

E. Tinjauan Pustaka Banyak penelitian terdahulu yang mengangkat tema mengenai pernikahan pada mahasiswa. Salah satunya adalah penelitian wahyu kustiningsih yang berjudul perkawinan beda agama (studi mengenai persepsi dan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi tentang perkawinan beda agama di kalangan mahasiswa jurusan sosiologi FISIPOL UGM Yogyakarta). Wahyu memfokuskan pembahasannya pada perbedaan persepsi dan faktorfaktor yang mempengaruhi perkawinan beda agama di kalangan mahasiswa. Dalam penelitiannya menggunakan unit analisis individu yaitu mahasiswa yang masih aktif kulih atau yang sedang menjalani skripsi. Sampelnya dambil secara random. Penelitian ini berkesimpulan bahwa persepsi mahasiswa mengenai perkawinan beda agama termask dalam kategori rendah atau dengan kata lain tidaak setuju dengan adanya pernikahan beda agama di kalangan mahasiswa. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan beda agama di kalangan mahasiswa yaitu pola asuh keluarga, keyakinan agama, interaksi sosial, dan toleransi. Penelitian lain yang mirip yaitu penelitian mengenai pernikahan dini. Contoh penelitian pernikahan dini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Rusmayanti dengan judul pengalaman pernikahan dni pada anak perempuan di desa Karangtengan, kecamatan Wonosari, kabupaten Gunungkidul, Ypgyakarta. Subjekinforman dalam penelitian ini adalah anak perempuan, orang tua, tokoh masyarakat, dan petugas KUA. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pernikahan dini tidak terlepas dari adanya konstruksi yang dibentuk oleh masyarakat. Konstruksi yang ada dalam masyarakat lalu kemudian memelahirkan tradisi bagi masyarakatnya. 7

Meski dua penelitian tersebut sama-sama mengangkat tentang pernikahan muda, yang membedakan dengan penelitian ini adalah fokusnya. Pada penelitian yang pertama berfokus pada beda agama dan penelitian kedua berfokus pada pengalaman anak perempuan menikah dini. Sedangkan Penelitian ini mengambil fokus pada proses pengambilan keputusan menikah muda. Dari segi pendekatan penelitiannya, penelitian ini sama dengan pendekatan pada penelitian kedua yaitu menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan penelitian pertama, selain menggunakan pendekatan kualitatif juga menggunakan pendekatan kuantitatif dalam mengolah datanya. Penggunaan teori dari ketiga penelitian ini juga berbeda. Ketiganya mempunyai fokus tersendiri sehingga teorinya berbeda.

F. Landasan Teori 1. Teori Pilihan Rasional (Rational Choice) Prinsip dasar teori berasal dari ekonomi neoklasik. Aktor menjadi focus teori ini. Aktor dipandang sarat dengan tujuan, atau memiliki maksud. Jadi, aktor memiliki tujuan atau sasaran tindakan mereka. Aktor juga dipandang memiliki preferensi (atau nilai, kepuasan). Teori pilihan rasional tidak berurusan dengan preferensi-preferensi dan asal usul preferensi tersebut. Yang terpenting adalah fakta bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang konsisten dengan hierarki preferensi aktor11. Meskipun teori pilihan rasional berangkat dari tujuan atau maksud aktor, paling tidak harus diperhatikan dua hambatan utama tindakan. Yang pertama adalah kelangkaan sumber daya. Aktor memiliki sumber daya berbeda skaligus akses berbeda kepada

11

Ritzer, George dan Douglas J. 2010.teori Sosiologi. Bantul. Kreasi wacana. Hal 448

8

sumber daya lain. Yang terkait dengan kelangkaan sumber daya adalah gagasan tentang biaya kesempatan. Dalam mencapai suatu tujuan, aktor harus memerhatikan biaya yang harus dikeluarkan untuk tindakan terpenting selanjutnya. Aktor dapat memilih untuk tidak mengejar tujuan paling bernilai jika sumber daya yang dimilikinya tidak bisa untuk itu, yang membuat kesempatan untuk mencapai tujuan itu begitu tipis, dan justru membahayakan peluang untuk mencapai tujuan lain yang bernilai. Aktor dipandang selalu berusaha memaksimalkan keuntungan mereka, dan tujuan tersebut dapat berupa penjajakan hubungan antara kesempatan untuk mencapai tujuan utama dengan apa yang dilakukan oleh keberhasilan tersebut bagi peluang tercapainya tujuan kedua yang paling berharga. Sumber kendala kedua bagi tindakan individu adalah institusi sosial. Seperti dikemukakan Friedman dan Hechter, umumnya individu akan menganggap tindakantindakannya sejak lahir sampai mati dikendalikan oleh keluarga dan sekolah; hukum dan ordinasi; kebijakan perusahaan; gereja, sinagog dan masjid; dan rumah sakit serta ruang pemakaman. Dengan membatasi kelayakan tindakan yang dapat dilakukan individu, aturan-aturan permainan yang dapat diterapkan-termasuk norma, hokum, agenda, dan aturan memilih- secara sistematis memengaruhi produk sosial. Friedman dan Hechter memaparkan dua gagasan lain yang mereka pandang sebagai dasar bagi teori pilihan rasional. Yang pertama adalah mekanisme agregasi, atau proses ketika “tindakantindakan individu dikombinasikan untuk menghasilkan dampak sosial”. Yang kedua adalah arti penting informasi dalam menetapkan pilihan rasional.12

12

Ibid hal 449

9

Teori ini adalah salah satu kelas dari model-model purposive action (tindakan purposif) yang dapat ditemukan di semua ilmu sosial. Aktor sosial disebut purposif ketika dalam tindakan, mereka bermaksud untuk memproduksikan hasil-hasil tertentu. Argument dasar yang diajukan teori pilihan rasional, sebuah asumsi metateoretis daripada sebuah generalisasi empiris, adalah bahwa masyarakat bertindak secara rasional. Elemen rasional yang khas adalah gagasannya tentang optimisasi: dalam bertindak secara rasional, individu-individu melakukan optimisasi, dengan memaksimalkan keuntungan atau menentunkan pengeluaran, ketika mereka harus memilih serangkaian tindakan untuk dilakukan. Para aktor sosial akan memilih tindakan yang dapat memberikan hasil terbaik menurut pertimbangan mereka sendiri. Secara khusus, para actor sosial berusaha menguasai sumber-sumber yang didalamnya mereka memiliki kepentingan. Tujuan utama teori ini adalah menjelaskan perilaku sistem-sistem sosial, baik dalam lingkup kecil maupun besar, daripada perilaku individu13 . Pendekatan rational choice tidak memercayai bahwa system sosial dapat dimodelkan secara sederhana sebagai kumpulan dari aktor dan tindakan individu. Hal ini karena, pertama, ketika para aktor individu berkumpul, interaksi mereka sering kali memproduksi hasil sosial yang berbeda dengan tujuan yang dimiliki oleh individu purposif yang membentuk sistem sosial. Kedua, sistem sosial memiliki property yang membatasi individu dan juga memengaruhi kecenderungan mereka14. Rational choice adalah sebuah teori tentang cara orang dalam memutuskan pilihan, menurut kecenderungan pribadi mereka. Salah satu pendapat umum tentang kecenderungan pribadi ini merujuk pada egoism. Pandangan lain berpendapat bahwa 13 14

Abercrombie, Nicolas. 2010. Kamus Sosiologi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal 454 Ibid hal 455

10

kecanderungan pribadi juga mencerminkan nilai dan kepercayaan, yang tidak dapat direduksi kepada kepentingan pribadi yang egois dan tidak pula dapat dinilai dengan rationalchoice. Dalam pandangan ini, kecenderungan pribadi dibentuk oleh sosialisasi, sehingga pendekatan ini membutuhkan asumsi-asumsi yang mendukung tentang budaya dan struktur sosial15. 2. Teori Pertukaran Pendekatan ini berasumsi bahwa penghargaan hanya dapat ditemukan dalam interaksi sosial. Teoretisi pertukaran melihat kesamaan antara interaksi sosial dengan transaksi ekonomi atau transaksi pasar, yaitu harapan bahwa manfaat yang diberikan akan menghasilkan keuntungan. Paradigma dasarnya adalah model interaksi dua orang. Ada penekanan pada hubungan timbal balik meskipun dasar pertukaran tetaplah perhitungan dan melibatkan sedikit kepercayaan atau moralitas. Pendekatan ini termasuk yang mengawali teori pilihan rasional (Rational Choice Theory)16. Teori ini berkaitan dengan interaksi timbal balik yang melibatkan kelompok dan orang yang bertukar item nilai sosial dan simbolis yang menguntungkan mereka. Teori ini pada awalnya dikembangkan dari kajian sosiologi awal terhadapsumber solidaritas sosial; teori ini juga dielaborasi ilmu sosial Anglo-Amerika sebagai dasar untuk meneliti diferensiasi kekuasaan di dalam relasi sosial17 Satu sifat dari sistem teori yang dikemabngkan di sini adalah kehematan. Pelaku terhubungkan dengan sumber-sumber (dan terhubung secara tak langsung satu sama lain) hanya melalui dua hubungan: kuasa mereka atas sumber-sumber dan kepentingan mereka

Ibid hal 456 Ibid hal 196 17 Outhwaite, william. 2008. Kamus Lengkap pemikiran Sosial Modern. Jakarta. Prenada Media Group. Hal 777 15 16

11

terhadap sumber-sumber itu. Pelaku memiliki prinsip tunggal tindakan yaitu bertindak untuk memaksimalkan realisasi kepentingan mereka. Tindakan itu bisa berupa sekedar pemenuhan, untuk merealisasikan kepentingan si pelaku; jika bukan begitu, memaksimalkan prinsip itu seringkali mengarah pada satu jenis tindakan – pertukaran kuasa (atau hak untuk menguasai) atas sumber-sumber atau peristiwa-perisstiwa. Namun dalam beberapa situasi, ia bisa mengarah pada pemasrahan unilateral kuasa (atau hak untuk menguasai) kepada pelaku lain. Sistem tindakan paling sederhana tindakan yang menggunakan konsep-konsep yang dijelaskan itu adalah pertukaran berpasangan sumber-sumber yang memiliki semua sifat barang pribadi. Pertukaran semacam itu bisa terjadi dalam persaingan dengan pelaku lain, seperti yang terjadi dalam pasar barter, namun itu tidak mesti terjadi. Pertukaran sosial sudah melekat dalam seluruh kehidupan sosial. Bahkan, sebagian teoritisi sosial, misal Homans dan Blau, menyusun teori-teori sosial yang pada prinsipnya berpijak pada proses pertukaran semacam ini18. Homans membangun teori pertukarannya pada landasan konsep-konsep dan prisnsip-prinsip yang diambil dari psikologi perilaku (behavioral psychology) dan ekonomi dasar. Dari psikologi perilaku diambil suatu gambaran mengenai perilaku manusia yang dibentuk oleh hal-hal yang memperkuat atau yang memberikannya dukungan yang berbeda-beda. Dari ekonomi dasar, homans mengambil konsep-konsep seperti biaya (cost), imbalan (reward), dan keuntungan (profit). Gambaran dasarmengenai perilaku manusia yang diberikan oleh ilmu ekonomi adalah bahwa manusia terus-menerus terlibat dalam

18

Coleman, james S. 2008. Dasar-dasar teori sosial. Bandung. Nusa Media. Hal 43

12

memilih diantara perilaku-perilaku alternatif, dengan pilihan yang mencerminkan cost dan reward (atau profit) yang diharapkan yang berhubungan dengan garis-garis perilaku alternatif itu. Meskipun gambaran tentang perilaku manusia ini sudah dikembangkan dengan menjelaskan pertukaran ekonomi di pasar, tujuan Homans adalah untuk memperluasnya sehingga mencakup pertukaran sosial juga. Jadi, misalnya, dukungan sosial (social approval) seperti halnya uang, dapat dilihat sebagai suatu reward, dna berada dalam suatu posisi bawahan dalam suatu hubungan sosial dapat dilihat sebagai cost.19 Dalam model Blau, manusia tidak didorong hanya oleh kepentingandiri yang sempit. Seperti Homans, Blau menekankan pentingnya dukungan sosial sebagai suatu imbalan. Pun perilaku altruistik dapat didorong oleh keinginan untuk pujian sosial. Pastinya, keinginan ini mencerminkan kebutuhan egoistik untuk dipikirkan sebaikbaiknya oleh orang lain, tetapi untuk memperoleh tipe penghargaan ini, individu harus mengatasi dorongan egoistik yang sempit dan memperhitungkan kebutuhan dan keinginan orang lain. Blau juga menerapkan prinsip-prinsip teori pertukarannya ini dalam menganalisa hubungan sosial antara orang yang saling bercintaan dalam satu bab berjudul “Excursus on love”. Dalam hubungan seperti itu banyak pertukaran istimewa yang terjadi, dapat dilihat sebagai simbol daya tarik emosional terhadap satu sama lain, ikatan hubungan yang bersifat timbal balik, dan keinginan mereka untuk meningkatkan komitmen satu sama lain. Barang-barang materiil yang bisa dipertukarkan seperti hadiah,

19

Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid II. Jakarta. PT. Gramedia.hal 65

13

adalah sangat penting, tidak untuk kegunaan praktis atau bernilai secara ekonomis, melainkan sebagai ungkapan komitmen emosional yang kelihatan20. Selain teori perturan, ada juga yang disebut dengan teori pertukaran jaringan. Teori pertukaran jaringan mengombinasikan teori pertukaran sosial dengan analisis jaringan. Kombinasi ini dipandang dapat mempertahankan keunggulan kedua teori sambil memperbaiki kelemahan-kelemahannya. Di satu sisi, analisis jaringan memiliki keunggulan karena mampu membangun representasi kompleks interaksi sosial dari model relasi sosial yang sederhana dan dapat didiagramkan, namun Cook dan Whitmeyer (1992:123) berargumen nahwa teori ini mengandung kelemahan konsepsi terkait dengan hubungan sebenarnya. Di sisi lain, teori pertukaran sosial memiliki keunggulan sebagai model sederhana aktor yang menerapkan pilihan berdasarkan keuntungan yang mungkin dihasilkan, namun kelemahan ini karena ia melihat struktur sosial terutama sebagai akibat dari pilihan individu ketimbang sebagai penentu pilihan-pilihan tersebut. Lebih sederhananya, teori jaringan memiliki kekuatan dalam model struktur (jaringan hubungan), namun memiliki model kabur tentang apa saja yang membangun hubungan, sementara itu teori pertukaran memiliki kelemahan dalam model hubungan antara aktor (pertukaran), namun memiliki kelemahan dalam model struktur sosial tempat mereka bergerak. Model teori pertukaran sosial tentang aktor yang saling bertukar untuk meningkatkan manfaat memberikan sesuatu yang tidak dimiliki oleh analisis jaringan, dan analisis jaringan memberikan model struktur sosial sebagai variabel21.

20 21

Ibid hal 77 Ritzer, George dan Douglas J. 2010. Teori Sosiologi. Bantul. Kreasi wacana. Hal 473

14

Salah satu alasan dihubungkannya teori pertukan dengan analisis jaringan adalah agar mampu melampaui analisis kekuasaan di dalam hubungan dialik dan mampu mampu menganalisis distribusi kekuasaan dalam jaringan secara keseluruhan22. Gagasan mendasar di balik teori pertukaran jaringan adalah bahwa pertukaran sosial terjadi dalam konteks jaringan pertukaran sosial yang lebih besar. Yang dipertukarkan dalam pendekatan ini kurang penting bila dibandingkan dengan beragam ukuran, bentuk, dan kaitan jaringan tempat kejadian pertukaran ini. Seperti pertukaran sosial, teori pertukaran jaringan terutama memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan. Premis dasarnya adalam semakin besar kesempatan pertukaran seorang aktor, semakin besar kekuasaan aktor tersebut. Diasumsikan peluang bagi pertukaran ini secara langsung terkait dengan struktur jaringan. Akibat dari posisi mereka dalam jaringan, aktor memiliki beragam peluang untuk mempertukarkan keuntungan serta kemampuan mereka untuk mengendalikan atau mengakumulasi keuntungan. Yamagishi, Gillmore, dan Cook (1988) membahas lebih jauh dengan menghubungkan teori pertukaran dengan teori jaringan. Mereka berargumentasi bahwa kekuasaan menempati posisi sentral dalam teori pertukaran namun kekuasaan tersebut tidak dapat dipelajari sepenuhnya dalam hubungan dialik23. 3. Teori Pengambilan Keputusan Suatu keputusan dapat dikatakan sebagai keputusan yang baik apabila memenuhi empat persyaratan yaitu rasional, logis, realistis, dan pragmatis. Pengalaman dan penelitian menunjukkan bahwa efektivitas demikian hanya dicapai apabila seseorang pengambil keputusan mampu menggabungkan secara tepat tiga jenis pendekatan. 22 23

Ibid hal 474 Ibid hal 475

15

Pertama, pendekatan yang didasarkan pada teori dan asas-asas ilmiah yang telah dikembangkan oleh para teoritisi yang mendalami pengambilan keputusan. Kedua, pendekatan yang memanfaatkan kemampuan berpikir yang kreatif, inovatif, dan intiutif disertai oleh keterlibatan emodional. Ketiga, kemampuan belajar dari pengalaman mengambil keputusan di masa lalu, baik karena keberhasilan maupun karena kekeurangberhasilan atau bahkan mungkin kegagalan24 Tanpa penggabungan pendekatan ilmiah dengan pendekatan intuitif dan pengalaman, sukar diharapkan seorang pengambil keputusan mampu mengambil keputusan yang rasional, logis, realistis dan pragmatis. Ada tiga dimensi pengambilan keputusan yaitu masa lalu, masa kini, dan masa depan25. Pengambilan keputusan harus dilihat sebagai sesuatu yang kontekstual sifatnya, karena; 1. Pengambilan keputusan tidak berlangsung dalam ruang vakum 2. Pengambilan keputusan berlangsung dalam rangka kehidupan organisasi 3. Pengambilan keputusan berkaitan langsung dengan pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan 4. Pengambilan keputusan menyangkut berbagai model, teknik dan prosedur yang bersifat universal, akan tetapi diterapkan dengan memperhitungkan situasi, kondisi, waktu, dan tempat 5. Pengambilan keputusan pada analisa terakhir diukur dengan implementasi

24 25

Siagian, S.P. 1990. Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan. Jakarta, inti Dayu Press. Hal 1 Ibid hal 2

16

Teori dasar pengambilan keputusan berkisar pada pengambilan tujuh langkah pemecahan apabila seseorang menghadapi suatu problematika, yaitu26 1. Mengidentifikasikan masalah dan membuat definisinya 2. Mengumpulkan dan mengolah data sehingga tersedia informasi yang mutakhir, lengkap, dapt dipercaya, dan tersimpan dengan baik sehingga mudah untuk ditelusuri kembali apabila diperlukan 3. Mengidentifikasi berbagai alternatif yang mungkin ditempuh 4. Menganalisa dan mengkaji setiap alternatif yang telah diidentifikasi untuk mengetahui kelebihan dan kekurangannya 5. Menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif yang tampaknya terbaik dalam arti mendatangkan manfaat paling besar, sesuai dengan asas maksimasi, atau mengakibatkan kerugian yang paling kecil sesuai dengan asas minimasi 6. Melaksanakan keputusan yang diambil 7. Menilai apakah hasil yang diperoleh sesuai dengan harapan dan rencana atau tidak Dapat dikatakan, pendapat yang paling mendekati kebenaran ilmiah ialah, bahwa keputusan pada dasarnya adalah pilihan yang sadar dijatuhkan atas suatu altermatif dari berbagai alternatif. Satu hal yang penting mendapat perhatian dalam proses pengambilan keputusan ialah adanya keterkaitan langsung antara tindakan yang diambil dengan tujuan dan berbagai sasaran yang ingin dicapai. Para ahli teori pengambilan keputusan telah

26

Ibid hal 23

17

berusaha mengembangkan berbagai konsep ilmiah, yang diharapkan dapat membantu kemahiran dalam mengambil keputusan27. Dalam pengambilan keputusan, akan terdapat lima jenis tindakan yang perlu diperhitungkan28. Pertama, mengambil tindakan sementara yang memberi waktu untuk “bernapas” sambil menunggu perkembangan lebih lanjut.dalam mengambil tindakan demikian, sesungguhnya seseorang hanya ingin mempertahankan status quo

yang

ada.sikap demikian berarti bahwa situasi yang dihadapi tidak mengalami perubahan dan masalah yang dihadapi pun belum terpecahkan. Mrngambil sikap demikian hanya dapat dipertanggungjawabkan apabila akibat sikap itu tidak bersifat fatal bagi pihak yang dipengaruhi oleh tindakan tersebut. Kedua, sikap menerima kenyataan yang ada. Sikap demikian tidak identik dengan sikap pasrah atau fatalistik. Ketiga, mengambil keputusan yang sifatnya korektif. Mengambil tindakan korektif artinya mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memecahkan suatu masalah sesudah masalah itu timbul dan menentukan arah baruyang hendak ditempuh sehingga sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya tercapai. Keempat, mengambil tindakan prefentif. Apabila dirasakan bahwa dampak faktorfaktor penghalang akan semakin besar dan dengan demikian dapat berpengaruh terhadap pencapaian sasaran, tindakan yang paling tepat diambil adalah yang bersifat prefentif. Artinya tindakan yang mencegah jangan sampai faktor-faktor penghalang timbul atau sempat timbul memperkecil dampaknya sedemikian rupa sehingga pengaruhnya terhadap

27 28

Ibid hal 25 Ibid hal 36

18

usaha pencapaian sasaran berada pada tingkat toleransi yang masih dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan. Kelima, mengambil tindakan yang sifatnya antisipatif. Tindakan demikian merupakan langkah yang berusaha untuk memperkecil atau mencegah timbulnya situasi yang tidak diinginkan. Tindakan demikian diambil apabila usaha pencapaian tujuan dan sasaran dirasakan sangat penting.

G. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan serangkaian praktik yang disatupadukan dan disusun secara rapi sehingga menghasilkan solusi bagi persoalan dalam situasi nyata. Solusi yang merupakan haril dari kontruksi baru29. Kata kualitatif menyiratkan pada proses dan makna yang tidak dikaji secara ketat atau belum diukur (jika memang sudah diukur) dari sisi kuantitas, jumlah, intensitas, atau frekuensinya30. Pendekatan kualitatif akan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menyoroti cara munculnya pengalaman sosial sekaligus perolehan maknanya. Hal yang mendukung dari pendekatan kualitatif untuk penelitian ini terlihat dari hal-hal penting yang terkandung di dalamnya dan tidak ada dalam pendekatan lain. Ada tiga hal penting yang dapat membantu penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif akan mempertimbangkan sudut pandang individu; mempelajari tekanan hidup sehari-hari; dan mengupayakan deskripsi yang beragam. 29Denzin, 30

Norman K. 2009. Handbook of qualitative research. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. hal 3 ibid hal 3

19

Pendekatan kualitatif sekaligus kuantitatif memberikan perhatian pada sudut pandang individu. Namun, pendekatan kualitatif dapat mendekati sudut pandang pelaku melalui wawancara dan observasi terinci. Pendekatan kualitatif berusaha menemukan fakta ‘apa adanya’ di lapangan bukan ‘apa yang seharusnya’. Dari pendekatan kualitatif juga akan menghadirkan deskripsi yang kaya tentang dunia sosial dan fenomena yang akan diangkat31. Metode ini diupayakan agar dapat mengeksplorasi dan mengelaborasi secara konprehensif apa yang akan digali. Fokusnya adalah perubahan yang bisa melahirkan pola kedekatan hubungan antara peneliti dengan responden, sekaligus meminimalisasi perbedaan status dan membuang paradigma wawancara tradisional yang berbasis pada maskulinitas. Dengan begitu, peneliti dapat menunjukkan “sisi kemanusiaannya”, mengekspresikan perasaan dan bertanya sebagaimana individu yang yang memiliki derajad yang sama dengan responden. Secara metodologis, pendekatan ini menyediakan ruang respon yang lebih luas, sekaligus menyediakan sudut pandang yang lebih bijak tentang “partisipan”, untuk menghindari jebakan hierarkis. Dengan demikian, seorang informan akan lebih termotivasi untuk mengungkapkan secara detail sejarah dan kisah hidup pribadinya sekaligus terdorong untuk mengingat kembali semua anekdot dalam hidup mereka.32

2. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

31 32

ibid hal 7 ibid hal. 514

20

3. Sumber Data Dalam penelitian ini data yang digunakan sebagai bahan analisis diambil dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari informan yaitu mahasiswa dengan kriteria masih berstatus aktif sekaligus yang telah menikah. Data sekunder dapat diperoleh dari dokumen-dokumen terkait lainnya seperti hasil penelitian, data kampus, dll.

4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penielitian ini, penulis akan menggunakan teknik atau metode wawancara. Wawancara adalah bentuk perbincangan, seni bertanya dan mendengar. Wawancara merupakan

perangkat

understanding)

yang

untuk

memproduksi

bersumber

dari

pemahaman

episode-episode

situasional

(situated

interaksional

khusus33.

Wawancara adalah perbincangan yang menjadi sarana untuk mendapatkan informasi tentang orang lain, dengan tujuan penjelasan atau pemahaman tentang orang lain tersebut dalam hal tertentu34 Lincoln dan Guba mengemukakan bahwa tujuan wawancara antara lain mengontruksikan mengenai orang, kejadian, kegiatan, ornganisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain35. Dalam penelitian, menggunakan metode wawancara tidak terstruktur/tidak terpimpin. Yang dimaksud dengan ‘tidak terpimpin’ adalah tidak adanya kesengajaan pada pihak pewawancara untuk mengarahkan tanya jawab ke pokok-pokok persoalan yang menjadi titik fokus. Dalam wawancara tidak ibid hal 495 Rahayu, Iin Tri dan Triastiadi Ardi Ardani. 2004. Observasi dan Wawancara. Malang. Bayumedia Publishing. Hal 63 35 ibid hal 64 33 34

21

terpimpin, penyelidik memang mengajukan pertanyan. Akan tetapi pertanyaanpertanyaan ini sama sekali tidak menentu arahnya, kecuali “dipimpin” oleh garis pembicaraan yang telah diletakkan oleh pewawancara. Susunan pertanyaan didasarkan pada hubungan antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai dalam menggali informasi36. Wawancara yang dilakukan seperti percakapan sehari-hari dengan tujuan agar dapat lebih memahami bukan hanya menjelaskan sehingga hubungan antar manusia menjadi sangat penting. Selain wawancara, penelitian ini juga menggunakan teknik observasi. Istilah observasi berasal dari bahasa latin yang berarti “melihat” dan “memperhatikahn”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antaraspek dalam fenomena tersebut. Observasi yang berarti pengamatan bertujuan untuk mendapat data tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat rechecking atau pembuktisn terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya37. Pada dasarnya observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut38.

ibid hal 73 ibid hal 1 38 ibid hal 3 36 37

22

5. Analisis Data Analisis data (data analysis) terdiri atas tiga sub-proses yang saling terkait yaitu reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan/verifikasi. Reduksi data (data reduction) berarti bahwa kesemestaan potensi yang dimiliki oleh data disederhanakan dalam sebuah mekanisme antisipatoris. Hal ini dilakukan saat menentukan kerangka konseptual (conseptual framework), pertanyaan penelitian, kasus, dan instrumen penelitian yang digunakan. Penyajian data (data display) merupakan konstruk informasi padat terstruktur yang memungkinkan pengambilan kesimpulan dan penerapan aksi. Proses reduksi data dikaji sebagai dasar pemaknaan. Tahap pengambilan kesimpulan dan verifikasi akan melibatkan peneliti dalam proses interpretasi dimana ada penetapan makna dari data yang tersaji39. Sajian data dan kesimpulan tertulis saling memengaruhi satu sama lain. Penyajian data akan membantu dalam menentukan pola-pola; teks pertama yang merasionalisasi sajia data dan menuntut analisis baru berubah ke dalam bentuk data tersaji; revisi dan perluasan data tersaji menunjuk pada pola relasi dan penjelasan baru yang menjadikannyasemakin unik dalam satu kesatuan teks, dan seterusnya. Sajian-sajian data tersebut memperkuat analisis dan kemudian menyajikan sajian datanya lebih kuat dan jelas40. Data-data kualitatif terutama terdiri atas kalimat, maka analisis data harus dimulai sejak awal ketika memperoleh data di lapangan. Reduksi data primer yang diperoleh dari lapangan ditulis dalam bentuk laporan sementara, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.laporan lapangan 39 40

Denzin, Norman K. 2009. Handbook of qualitative research. Yogyakarta. Pustaka Pelajar hal. 592 ibid hal. 597

23

disingkat, diringkas, disusun lebih sistematis sehingga lebih mudah dikendalikan. Selanjutnya Mengambil kesimpulan dan verifikasi. Peneliti mulai mengambil keputusan sejak awal dan semakin diperkuat setelah mendapat banyak data dari lapangan.

6. Pemeriksaan Keabsahan Data Dalam penelitian kualitatif yang digunakan sebagai instrument penelitian adalah peneliti itu sendiri, mendefinisikan instrumen, merancang instrumen, mengumpulkan dan mengurangi informasi, menganalisanya, menafsirkan dan menuliskannya semuanya dilakukan peneliti sehingga menimbulkan keraguan terhadap keakuratan penelitian. Untuk itu digunakan teknik untuk pemeriksaan keabsahan data yang dimaksudkan agar data yang diperoleh di lapangan dapat dipertanggung jawabkan.Adapun teknik yang digunakan adalah metode triangulasi dan referensi yang cukup.Triangulasi adalah membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif41. Metode triangulasi dapat dilakukan melalui: pertama; Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, kedua; Membandingkan apa yang dikatakan di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. Ketiga; Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan responden sepanjang waktu. Keempat, Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain. Dan terakhir Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan. Sedangkan

41Moleong,

Lexy J. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. Hal 178

24

Referensi digunakan sebagai pembanding antara data dan realita di lapangan dengan teori-teori atau penelitian lain yang telah dilakukan sebelumnya. Referensi yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku, web, serta hasil penelitian yang berupa skripsi, surat kabar, jurnal dan lain-lain.

25