BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KARAKTERISTIK SAPI BALI SAPI BALI

Download Adanya pencernaan fermentative terhadap pakan yang dikonsumsi ternak memberikan keuntungan- keuntungan yaitu dapat mencerna dinding sel t...

0 downloads 467 Views 194KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Karakteristik Sapi Bali Sapi Bali (Bos Sondaicus) merupakan plasma nutfah asli Indonesia yang

dinyatakan sebagai bibit Sapi terbaik di dunia untuk daerah lembab tropis (Dwiyanto, 2006). Sapi Bali merupakan sapi yang berdarah murni karena hasil domestikasi langsung dari banteng liar (Bibos banteng). Sapi Bali mempunyai ciri-ciri khusus warna kulit coklat muda keemasan dan warna bulu merah bata dan warna kulit akan berubah menjadi hitam pada sapi jantan dewasa, namun apabila sapi jantan dewasa dikebiri, warna hitam akan berubah kembali menjadi coklat muda keemasan (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004). Terdapat warna putih pada bagian pantat dan paha bagian dalam (white mirror), pinggiran bibir atas, dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku (white stocking), bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis belut (garis hitam) yang jelas pada bagian atas punggung, bentuk tanduk pada jantan silak congklok sedangkan pada betina manggul gangsa. Sapi Bali menjadi primadona sapi Indonesia karena memiliki banyak keunggulan antara lain: mempunyai penampilan produksi dan reproduksi tinggi dengan tingkat kesuburan sangat baik (conception rate+ 85,9% dan persentase beranak 70–81%) dan tetap mampu ditampilkan pada kondisi terbatas (Sardjana Putra, 2006), kualitas daging karkas yang dihasilkan tinggi (imbangan daging dengan tulang 5,0 dan kandungan lemak rendah) dengan persentase karkas sampai 57,5%, lebih tinggi daripada sapi onggole (51,9%) atau sapi Madura (52,5%) (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004). Sapi Bali mempunyai 4

kemampuan adaptasi pada lingkungan baru/kurang menguntungkan yang tinggi, mampu memanfaatkan berbagai jenis pakan berkualitas rendah serta memiliki respon positif terhadap perbaikan pakan dengan meningkatkan laju pertambahan bobot badan dan efisiensi pemanfaatan ransum. Hasil penelitian menunjukkan, sapi Bali yang hanya diberi pakan hijauan menghasilkan pertambahan bobot badan (PBB) rendah yaitu 200-250 g/ekor/hari (Sukanten et al.,1990), namun suplementasi 60% konsentrat (18-20% CP dan 72-77% TDN) sebanyak 4 kg/ekor/hari pada pakan basal hijauan meningkatkan PBB menjadi 760-850 g/ekor/hari (Mastika, 2008) bahkan mencapai 0,9 kg/ekor/hari dengan pemberian ransum berbentuk wafer berbasis jerami padi amoniasi urea dengan suplementasi mineral S dan Zn (Partama et al., 2003). Kemampuan sapi bali dalam memanfaatkan berbagai pakan berkualitas rendah dan tetap mempunyai respon positif terhadap perbaikan kualitas pakan disebabkan adanya aktivitas mikroba rumen sapi Bali yang cukup efektif dan efisien dalam merombak pakan berkualitas rendah menjadi nutrien bernilai nutrisi tinggi. Disamping itu perbaikan kualitas pakan akan meningkatkan bioproses dalam rumen termasuk peningkatan efektivitas mikroba rumen dalam mendegradasi pakan serta sintesis protein mikroba rumen. Kamra (2005) mengungkapkan mikroba rumen pada ruminansia di daerah tropik yang umumnya mengkonsumsi pakan kaya serat terdiri dari bakteri (1010–1011

5

sel/ml, tediri dari 50 jenis), protozoa bersilia (104–106/ml, terdiri dari 25 jenis), dan fungi anaerob (103-105 zoospore/ml, terdiri dari 5 jenis). Tingginya populasi mikroba rumen sangat baik dalam proses degradasi pakan berserat, mengingat 70-80% bahan kering pakan dicerna dalam rumen (Meran et al., 2005) sehingga ketersediaan nutrien bagi induk semang meningkat. Disamping itu populasi mikroba rumen yang tinggi akan meningkatkan produksi mikrobial protein yang merupakan sumber utama protein dan asam amino esensial bagi induk semang, yaitu 50–80% dari total protein yang diserap. 2.2

Sistem dan Proses Pencernaan Ruminansia Sistem pencernaan adalah sebuah sistem yang terdiri dari saluran pencernaan

yang di lengkapi dengan beberapa organ yang bertanggung jawab atas pengambilan, penerimaan dan pencernaan bahan makanan dalam perjalanannya melalui saluran pencernaan mulai dari rongga mulut sampai ke anus (Sutardi,1977). Disamping itu, sistem pencernaan bertanggung jawab pula pada proses pengeluaran (eksresi) bahan bahan makanan yang tidak terserap atau yang tidak dapat di serap kembali. Sedangkan proses pencernaan adalah proses perubahan fisik maupun kimia yang di alami bahan makanan menjadi partikel yang lebih kecil dan terjadi penguraian molekul kompleks menjadi molekul sederhana (Tillman et al.,1984). Proses pencernaan ternak ruminansia relatif lebih kompleks di bandingkan pada jenis ternak lainnya. Pada dasarnya pencernaan ruminansia di bedakan menjadi dua bagian, yaitu pencernaan di dalam rumen dan pasca rumen. Proses pencernaannya terjadi secara: mekanis (di dalam mulut); fermentative (oleh mikroba atau mikroorganisme); dan

6

hidrolitis (oleh enzim pencernaan hewan induk semang). Adanya pencernaan fermentative terhadap pakan yang dikonsumsi ternak memberikan keuntungankeuntungan yaitu dapat mencerna dinding sel tanaman yang pada akhirnya dapat di gunakan oleh ternak ruminansia sebagai sumber nutrisi (Parakkasi, 1999). Pada proses sistem pencernaan ternak ruminansia terdapat suatu proses yang di sebut memamahbiak (ruminansi), pakan berserat (hijauan) yang dimakan ditahan untuk sementara di dalam rumen. Pada saat hewan beristirahat, pakan yang berada di dalam rumen di kembalikan ke mulut (proses regurgitasi) untuk dikunyah kembali (remastikasi), kemudian pakan ditelan kembali (proses redeglutasi). Selanjutnya pakan tersebut dicerna lagi oleh enzim-enzim mikroba rumen. Kontraksi retikulorumen yang terkoordinasi dalam rangkaian proses tersebut bermanfaat pula untuk pengadukan digesta inokulasi dan penyerapan nutrien. Selain itu kontraksi retikulorumen juga bermanfaat untuk penggerakkan digesta meningggalkan retikolorumen melalui retikulo-omasal orifice (Tillman et al.,1984). Lambung ruminasia terdiri dari empat bagian yaitu: rumen, reticulum, omasum dan abomasum. Bagian-bagian ini berkembang dari lambung embrional dan relatif sangat kecil waktu hewan dilahirkan. Diantara empat lambung ruminansia tersebut, Rumen dan reticulum mempunyai fungsi istimewa yaitu tempat terjadinya proses degradasi secara fermentatif atau pencernaan microbial pada pakan yang sebagian besar terjadi di dalam rumen. Proses pencernaan di dalam rumen terjadi dalam suasana anaerob dan pH rumen relatif konstan yaitu berkisar antara 6,0 sampai 6,7. Hal ini disebabkan karena adanya saliva yang pada proses pengunyahan terus menerus diproduksi dan bersifat sebagai penyangga. Rumen merupakan media yang 7

sangat baik bagi pertumbuhan bakteri, protozoa maupun jamur anaerob, di samping ju sebagai tempat terjadi proses penyerapan asam lemak volatile/ asam lemak terbang/ VFA (Sutardi, 1977). 2.3

Fermentasi Rumen Sapi Bali Fermentasi pakan serat dalam rumen ternak ruminansia merupakan suatu

sistem komplek dan dipengaruhi oleh adanya interaksi dinamik antara faktor ternak, pakan dan populasi mikroba dalam rumen. Rumen adalah suatu ekosistem komplek yang dihuni oleh beraneka ragam mikroba anaerob yang keberadaannya sangat banyak tergantung pada pakan. Mikroba tersebut terdiri dari bakteri, protozoa, fungi dan virus yang memegang penting dalam pencernaan pakan (Preston dan Leng, 1987). Dalam rumen terjadi proses metabolisme (anabolisme dan katabolisme) zat-zat makanan yang dilakukan oleh mikroba rumen dengan menghasilkan

zat-zat

(metabolit rumen) yang siap untuk diasimilasikan. Untuk dapat tumbuh optimal dan menjalankan proses metabolisme, mikroba rumen memerlukan lingkungan yang optimum yakni pH berkisar 5,7-7,2 (Owens dan Goctsch, 1988) dan suhu 38-410C. Untuk

mencerna

serat,

ternak

ruminansia

sepenuhnya

tergantung

pada

mikroorganisme rumen. Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan pH, kelembaban, dan aroma serta perubahan komposisi zat makanan seperti protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, vitamin, dan mineral (Vallie et al., 1992). Fermentasi dalam rumen memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungan tersebut antara lain: (1) hasil fermentasi dalam lambung sebagian besar sudah dalam bentuk yang mudah diserap oleh usus (Sutardi et al., 1983); (2) dapat mengkonsumsi ransum dengan

8

cepat dan menampung dalam jumlah yang banyak; (3) dapat mencerna pakan serat (Preston dan Leng, 1987); (4) dapat mengubah Non Protein Nitrogen (NPN) menjadi bahan sumber protein (Owen dan Zinn, 1988). Menurut Preston dan Leng (1987) fermentasi mikroba rumen mempunyai kerugian yaitu : (1) banyak energi terbuang dalam bentuk metan (CH4) dan sebagai panas fermentatif (6-8% dan 4-6%); (2) protein bernilai hayati tinggi dapat mengalami degradasi menjadi NH3; (3) ternak mudah mengalami ketosis. Pakan ternak ruminansia sebanyak 60-75% terdiri dari karbohidrat yang berupa selulosa, hemiselulosa dan pati. Selulosa dan hemiselulosa tidak dicerna oleh enzim-enzim yang dihasilkan ternak ruminansia, melainkan dicerna oleh enzimenzim yang dihasilkan oleh mikroba (Tillman et al., 1991). Mikroba rumen akan menghidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida dan disakarida yang selanjutnya akan difermentasi menjadi VFA (Mc Donald et al., 1995). Volatile Fatty Acid /(VFA)/ asam lemak terbang merupakan sumber energi utama untuk ternak ruminansia. Sumbangan energi yang berasal dari asam lemak terbang tersebut dapat mencapai 60-80% dari kebutuhan ternak ruminansia (Ensminger et al., 1990). Enzimenzim yang bertanggung jawab pada degradasi karbohidrat adalah xylanase, cellulase, maltase, alfa amylase dan invertase (Sutardi, 1983). Menurut Owen dan Goestsch (1988) menyatakan bahwa produk utama pencernaan fermentatif karbohidrat adalah VFA yang meliputi: asetat (A), propionat (P), butirat (B) dan valerat (V). Selain itu juga ada n-butirat, n-valerat, isobutirat dan isovalerat dengan kadar yang sangat sedikit.VFA yang dihasilkan dari proses fermentasi diserap di rumen, retikulum dan omasum untuk dimanfaatkan oleh ternak sebagai sumber energi 9

dan hanya sedikit VFA yang sampai di abomasum. Sebagian VFA digunakan sebagai kerangka karbon untuk membentuk protein mikroba (Sutardi, 1980). Mc Donald et al.(1995) menyatakan bahwa produksi asam asetat dalam rumen secara umum adalah 65%, asam propionat 25% dan asam butirat 10%. Energi pakan dalam bentuk asam lemak terbang ini mencapai 75% sisanya sebagai produksi gas metan (CH4) sebesar 12,40%, panas fermentasi sebesar 6,40% dan sekitar 6,20% dipergunakan oleh mikroba rumen sebagai sumber energi dalam bentuk adenosine triphosfat (ATP). Konsentrasi VFA dapat berubah yang disebabkan perbedaan pemberian ransum. Bila pakan yang diberikan banyak mengandung hijauan menyebabkan konsentrasi asam asetat relatif tinggi. Sebaliknya konsentrasi asam propionat dalam cairan rumen naik apabila ransum yang diberikan adalah konsentrat (Putra dan Puger,1995). Fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan asam asetat, asam propionat, asam butirat, CO2, gas metan dan gas hidrogen (Blexter, 1969). Gas CO2, gas metan dan gas hidrogen merupakan bentuk energi yang tidak termanfaat bagi ternak yang akan dikeluarkan dari dalam rumen melalui proses eruksi. Produk metan ini dapat ditekan bila kadar asam propionat dalam rumennya tinggi. Protein adalah zat organik yang mengandung karbon, hydrogen, nitrogen, oksigen, sulfur dan fosfor (Anggorodi, 1994). Protein diperlukan ternak untuk mengganti jaringan tubuh yang rusak, membentuk jaringan baru dalam proses perkembangan dan pertumbuhan serta untuk produksi susu. Protein pakan akan didegradasi oleh enzim yang diproduksi oleh mikroba rumen dan sebagian lagi dibawa masuk ke abomasum. Di dalam rumen, protein difermentasi menjadi amonia (NH3) yang digunakan untuk membangun sel 10

mikroba, gas karbondioksida (CO2) dan metan (CH4). Perombakan protein dalam rumen bervariasi dari 0-100% sedangkan laju perombakan tergantung jenis pakan, tingkat kelarutan dan lama berada dalam rumen. Protein di dalam rumen akan dirombak oleh enzim protease yang dihasilkan oleh mikroba proteolitik menjadi oligopeptida. Oligopeptida yang terbentuk ini dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk pertumbuhannya, namun ada yang langsung masuk ke usus dan diserap. Sebagian dari oligopeptida yang terbentuk dihidrolisis menjadi asam amino selanjutnya diserap oleh dinding rumen. Sebagian asam amino yang dihasilkan masuk ke dalam usus dan diserap serta dimanfaatkan secara langsung oleh mikroba rumen dan ada asam amino yang mengalami deaminasi menjadi asam alfa keto dan menghasilkan amonia dan CO2 2.4

Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak Hasil sisa/sampingan dan limbah berbagai jenis tanaman pertanian (tanaman

pangan dan hortikultura) seperti jerami padi, jerami kedele, batang pisang atau dedak padi, dan limbah perkebunan seperti bagase, pod cacao, kulit kopi, coco feed, serbuk gergaji kayu, ataupun pelepah kelapa serta limbah usaha peternakan sendiri seperti manure, bulu ayam, isi rumen, cairan rumen, lemak tello atau limbah lainnya merupakan sumber bahan pakan alternatif yang sangat potensial. Umumnya rasio hasil samping dengan produk utama pada tanaman relative tinggi, sehingga menghasilkan biomassa yang sangat besar dengan keragaman jenis produk yang tinggi (Ginting, 2004). Syamsu et al. (2003) mengungkapkan berdasarkan produksi TDN limbah pertanian dapat menyediakan pakan untuk 14.750.777,1 ST (khusus ternak ruminansia), sehingga berdasarkan populasi ternak ruminansia tahun 2003, 11

yaitu 11.995.340 ST masih memungkinkan untuk penambahan populasi sebesar 2.755.437,1 ST atau 18,68%. Sianipar (2007) menyatakan limbah dan hasil ikutan perkebunan kelapa sawit mampu meningkatkan carrying capasity sebesar 33,1 kali lipat dari populasi yang ada (Tahun 2000, yaitu 13.065.700 ekor). Disamping itu berbagai limbah agroindustri, perikanan, kehutanan dan limbah lainnya sangat potensial dikembangkan dalam penyediaan pakan ternak yang berkesinambungan sepanjang tahun. Potensi limbah yang sangat beragam dengan jumlah produksi yang sangat besar merupakan suatu modal yang semestinya dapat dimanfaatkan oleh petanipeternak dalam mengembangkan usahanya. Pengembangan usaha peternakan melalui pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan merupakan salah satu strategi pengembangan usaha peternakan berkelanjutan (sustainable agriculture) dan merupakan salah satu konsep pembangunan pertanian dan peternakan masa depan serta sangat penting terutama dalam pengembangan peternakan pada lahan sempit seperti di Bali (Mastika, 1991; Imansyah, 2006). Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan akan dapat mengurangi biaya produksi khususnya biaya pakan yang selama ini menjadi biaya terbesar dalam usaha peternakan serta sekaligus mencegah/menanggulangi pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah itu sendiri. Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan potensi berbagai limbah cukup menjanjikan. Pemanfaatan pod cacao sebagai pakan ternak sapi telah dicobakan oleh Suharto tahun 1997 (dalam Suharto, 2006) maupun Mastika (2006) yang menunjukkan pemberian pod cacao terfermentasi mampu

12

meningkatkan penampilan ternak sapi. Penggunaannya sebagai pengganti sumber protein pakan konvensional (bungkil kedele) hingga taraf 40% dari total protein ransum memberi respon sebaik kontrol. Hasil yang hampir sama ditunjukkan hasil penelitian Puastuti et al. (2004) menunjukkan penggunaan tepung bulu ayam hidrolisat sebagai sumber protein by pass dapat meningkatkan konsumsi protein kasar dan ketersediaan N (P<0,05) serta meningkatkan pertambahan berat badan (P<0,01) ternak domba. Sedangkan penggunaan onggok dan isi rumen sapi sebanyak 30% pada pakan komplit merupakan level optimum dan efesien untuk menghasilkan penampilan terbaik kambing PE (Ali, 2006). Pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak kini mulai diarahkan pada produksi pakan komplit (ransum) dalam upaya memaksimalkan potensi serta memudahkan manajemen pemberiannya bagi petani peternak. Pemberian pakan komplit akan menyediakan berbagai nutrien sesuai kebutuhan ternak secara seimbang dan memudahkan manajemen pemberian pakan bagi ternak (Nahrowi, 2006). Disamping itu pemanfaatan ransum komplit akan memungkinkan penambahan produksi/jumlah ternak yang dipelihara tanpa harus dibatasi oleh luas lahan untuk penanaman hijauan makanan ternak. Wahyono dan Hardianto (2004) mengungkapkan pemanfaatan ransum komplit khususnya berbasis limbah pertanian dan agroindustri serta berbagai hasil sampingan lain dalam usaha peternakan akan mampu meningkatkan pertambahan bobot badan ternak yang cukup tinggi, memperpendek waktu penggemukan ternak, meningkatkan efisiensi tenaga kerja serta memperpanjang daya simpan bahan pakan.

13

Namun pemanfaatan sumber daya lokal asal limbah sebagai bahan penyusun pakan komplit disinyalir belum dapat memenuhi kebutuhan optimal bagi ternak, mengingat bahan pakan asal limbah umumnya mempunyai kualitas yang rendah, kandungan serat tinggi, adanya senyawa anti nutrisi (lignin, silika, kutin, theobromine, tannin, kafein, asam sianida, keratin,dll) serta kandungan mineral (terutama Ca, P, Mg, Cu, Zn, Co, Mn, Fe dan S) dan vitamin (Vitamin A dan E) rendah/defisien (Little, 1986 dan Subadiyasa, 1988 disitasi oleh Utama, 2005; Kaunang, 2004). Pemberian pakan tersebut (tanpa pengolahan) membawa konsekuensi rendahnya produktivitas ternak, akibat pakan sulit dimanfaatkan ternak (kecernaan rendah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan optimal bagi ternak. Aplikasi teknologi pakan seperti biofermentasi dan atau suplementasi penting untuk dilakukan guna menghasilkan pakan komplit atau ransum yang berkualitas. 2.5

Silase Ransum Silase pakan komplit/ransum merupakan campuran berbagai macam bahan

pakan yang difermentasi dan mengandung nilai gizi yang lengkap sehingga dapat memenuhi kebutuhan ternak (Nahrowi, 2006). Pembuatan silase ransum akan memudahkan manajemen pemberian pakan, karena ternak cukup diberi silase ransum tanpa harus memberi pakan lain seperti hijauan. Disamping itu pemberian silase ransum ini cocok diterapkan di daerah perkotaan dan atau oleh peternak yang mempunyai luas areal usaha yang sempit. Aplikasi teknologi fermentasi yang menjadi dasar produksi silase ransum, merupakan teknologi aplikatif yang baik guna meningkatkan kualitas ransum khususnya menekan kandungan senyawa anti nutrisi, kandungan serat dan kecernaan nutrien ransum. Teknologi fermentasi terbukti aman 14

dan tidak menimbulkan efek negatif baik bagi ternak, peternak/masyarakat maupun lingkungan (Tamada et al., 1999), serta mampu menghasilkan pakan yang lebih palatable/disukai bagi ternak dibandingkan dengan teknologi amoniasi urea (Partama et al., 2006). Fermentasi merupakan proses perubahan kimia pada substrat sebagai hasil kerja mikroorganisme dengan menghasilkan produk tertentu dimana selama proses fermentasi terjadi perubahan pH, kelembaban, aroma dan perubahan komposisi zat makanan seperti protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, vitamin dan mineral (Bidura, 2006). Efektivitas fermentasi tergantung pada jenis substrat, mikroba yang bekerja dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba yang bersangkutan. Kualitas silase tergantung status kematangan, kadar bahan kering dan nilai pakan terutama fraksi karbohidrat (Nitis, 2001), kadar protein (Total N dan N-NH3), pH, kadar asam laktat, kadar asam hasil fermentasi lain; asetat dan butirat (Kaiser, 1984). Silase yang baik akan dapat terbentuk, jika proses fermentasi berjalan sempurna, terutama akibat aktivitas bakteri asam laktat (Djide, 2005; Ishak, 2005). Bahkan Ross (1984) menyebutkan keberadaan bakteri asam laktat adalah essensial untuk menghasilkan silase berkualitas, namun keberadaan bakteri aerob tidak diharapkan karena menyebabkan proses pembusukan (Parakkasi, 1999) akibat kurang mampatnya pengisian silo. Pemanfaatan aditif berupa bakteri, enzim, asam, dan NPN dapat meningkatkan kualitas silase yang dihasilkan (Parakkasi, 1999; Susila, 1998)

15

16