BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) SAPI

Download Susu dihasilkan oleh kelenjar ambing. Ambing terdiri dari dua bagian terpisah kiri dan kanan yang dipisahkan oleh membran dan diperkuat ole...

0 downloads 405 Views 239KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sapi perah FH berasal dari Belanda dengan ciri-ciri khas yaitu warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih pada umumnya, namun juga ada yang berwarna coklat ataupun merah dengan bercak putih, bulu ujung ekor berwarna putih, bagian bawah dari kaki berwarna putih, dan tanduk pendek serta menjurus kedepan (Makin, 2011). Sementara menurut Sudono, dkk., (2003), Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya paling tinggi dengan kadar lemak susu yang rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya didaerah tropis maupun subtropis. Bobot badan ideal sapi FH betina dewasa adalah 682 kg dan jantan dewasa 1000 kg. Sapi FH dapat digunakan sebagai sapi pedaging karena pertumbuhan cepat, selain itu lemak daging anak sapi berwarna putih, sehingga baik untuk produksi daging anak sapi.

2.2. Produksi Susu Sapi Perah FH Susu didefinisikan sebagai suatu sekresi normal dari kelenjar susu hewan mamalia yang tidak ditambah atau dikurangi komponen-komponen lain. Sapi perah termasuk ruminan dengan memiliki empat perut berupa rumen, retikulum, omasum, dan abomasum dan fungsi utamanya adalah menghasilkan susu. Susu dihasilkan oleh kelenjar ambing. Ambing terdiri dari dua bagian terpisah kiri dan kanan yang dipisahkan oleh membran dan diperkuat oleh ligamen serta melekat memanjang pada tubuh sapi. Bagian kiri dan kanan dibagi oleh selaput membran menjadi kuartir depan dan belakang (De Laval, 2005). Kuartir belakang

11 menghasilkan susu sebanyak 60% dari total produksi susu sehari (Ensminger, 1991). Sudono dkk. (2003) menambahkan bahwa pada umumnya produktivitas sapi FH di Indonesia masih rendah, dimana produksi susu rata-rata 10 liter/ekor/hari atau kurang lebih 3.050 kg/laktasi. Produksi susu yang rendah ini disebabkan mutu ternak rendah ataupun makanan yang diberikan baik kualitas maupun kuantitasnya kurang baik. Kemampuan sapi perah menghasilkan susu merupakan sifat yang menurun dan berbeda pada setiap bangsa. Demikian juga antar bangsa dalam spesies yang sama mempunyai karakteristik masing-masing, baik dalam besar dan postur tubuhnya, warna bulunya, sifat produksi, reproduksi, dan ciri-ciri lainnya, sehingga nampak jelas perbedaannya. (Makin, 2011). Sapi Fries Hollands mampu menghasilkan lebih tinggi susu dibandingkan bangsa sapi perah lainya. Di Amerika dan Inggris sapi perah Fries Hollands menghasilkan susu sebanyak 8.000 kg setahun merupakan hal yang biasa. Karena, ada sapi perah Fries Hollands yang dapat menghasilkan susu antara 12.000-15.000 kg (DeLaval, 2005). Di negara asalnya produksi susu sapi Fries Hollands berkisar 6.000-7.000 l dalam satu masa laktasi (Blakely dan Bade, 1985). Sedangkan, di Indonesia sapi Fries Hollands menghasilkan susu sebanyak 2.500-5.000 l per laktasi (Siregar, 1992). Produksi susu sapi Fries Hollands di Jawa Barat, Indonesia mencapai 4.239,5; 4.665; 5.063,5; 5.581,5; dan 4.697 l per ekor untuk laktasi 1, 2, 3, 4, dan 5 (Proyek Pembibitan Ternak Sapi Perah, Sapi Potong, Domba, Unggas, dan Hewan Kesayangan di Masyarakat Jawa Barat, 2002).

12 2.3. Puncak Produksi Susu Puncak produksi adalah titik di mana sapi mencapai level produksi susu tertinggi pada masa laktasi yang sedang berjalan. Produksi susu sapi laktasi pertama adalah sebesar 70,75% dari sapi dewasa, dan sapi laktasi ke dua menghasilkan susu sebanyak 90% sapi dewasa. Waktu untuk mencapai puncak dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya bangsa, nutrisi, dan kemampuan. Hasil tinggi puncak umumnya berarti total hasil lebih tinggi (DeLaval, 2005). Menurut Tanuwiria (2008) menggambarkan bahwa produksi susu pada sapi perah awal laktasi umumnya meningkat secara dramatis, mencapai puncaknya pada minggu keempat sampai kedelapan setelah beranak, setelah itu menurun perlahan. Selama dua bulan pertama laktasi produksi susu mencapai 145 persen dari rataan produksi satu periode laktasi, pada bulan ketiga dan keempat turun menjadi 120 persen, dan pada bulan kelima dan keenam produksi susunya sama dengan rataan satu periode laktasi. Sedangkan pada bulan ketujuh dan kedelapan produksi susu menjadi 78 persennya, dan menjelang beranak menjadi kurang dari 70 persen dari rataan produksi susu. Tingginya produksi susu pada minggu keempat sampai kedelapan umumnya tidak diimbangi oleh tingginya konsumsi bahan kering ransum. Konsumsi bahan kering ransum pada tiga minggu awal laktasi lebih rendah 15 persen dari normal, kemudian meningkat dan mencapai puncaknya pada minggu ke 10 sampai 14 setelah beranak, yaitu 30-60 persen lebih tinggi dari sapi kering kandang. Induk menghasilkan susu setelah beranak. Minggu pertama setelah beranak, produksi susu meningkat secara bertahap, mencapai puncaknya pada 1-2 bulan setelah beranak. Setelah itu terjadi penurunan dan berlanjut sampai sapi perah dikeringkan atau berhenti berproduksi (Ball dan Peters, 2004). Produksi susu pada

13 satu masa laktasi dimulai dari satu titik dan meningkat untuk kira-kira selama 3-6 minggu ( Reaves dan Henderson, 1963; Damron, 2003). Selanjutnya pertambahan produksi susu sedikit menurun dan mencapai puncaknya pada 35-50 hari setelah beranak. Setelah puncak dilalui produksi susu menurun dan berhenti karena sapi perah dikeringkan (Siregar, 1990). Dari laktasi pertama produksi susu terus meningkat sampai sapi perah tersebut mencapai dewasa tubuh umur 6-8 tahun atau rata-rata 7 tahun. Kemudian, produksi susu menurun sampai sapi perah diapkir kira-kira pada umur 12 tahun. Puncak produksi susu untuk sapi dara 3,15-6,3 kg lebih tinggi dari rataan produksi susu harian. Pada laktasi kedua dan selanjutnya produksi susu dapat mencapai 6,75-13,5 lebih tinggi dari rataan produksi harian. Puncak produksi dapat dicapai antara 5-10 minggu setelah beranak, setelah puncak produksi tercapai umumnya terjadi penurunan rataan produksi susu dapat mencapai 1015%. Pada akhir laktasi penurunan dapat terjadi sekitar 12-20%. Laju penurunan dapat ditekan dengan cara memberikan pakan dan pengelolaan yang baik (Despal dkk., 2008).

2.4. Pemberian Pakan Sapi Perah Peningkatan

produksi

susu

dapat

dilakukan

melalui

peningkatan

kemampuan berproduksi susu dari sapi-sapi perah induk dengan cara perbaikan pakan dan tatalaksana. Kemampuan berproduksi susu sapi perah yang dipelihara para peternak masih memberi peluang untuk ditingkatkan terutama melalui perbaikan pakan. Penelitian yang telah dilakukan di daerah Pangalengan, Kertasari, dan Lembang menunjukkan bahwa suplementasi pakan konsentrat sebanyak 2 kg/ekor/hari berakibat terhadap peningkatan kemampuan berproduksi

14 susu rata-rata harian masing-masing adalah 1,7 liter/ekor/hari; 2,42 liter/ekor/hari, dan 2,31 liter/ekor/hari (Siregar, 2000). Tujuan utama pemberian pakan pada sapi perah adalah menyediakan ransum yang ekonomis, tetapi dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok, kebuntingan, dan produksi susu bagi induk, serta kebutuhan untuk pertumbuhan bagi ternak muda. Produksi optimal dapat tercapai dengan cara menyediakan cukup pakan, baik kualitas maupun kuantitasnya, serta terpenuhinya kecukupan gizi sesuai dengan kebutuhan ternak, tidak kekurangan maupun kelebihan (Santosa dkk., 2009). Kebutuhan nutrien sapi laktasi ditunjukkan pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2. Kebutuhan Bahan Kering pada Sapi Laktasi (%) Bobot hidup Produksi Susu*) (kg) 10 kg 15 kg 300 2,75 3,15 350 2,60 3,00 400 2,50 2,90 450 2,40 2,80 500 2,30 2,70

20 kg 3,60 3,40 3,30 3,20 3,10

*)

Produksi dinyatakan dalam kg air susu berkadar lemak 4%, Nilai kebutuhan dinyatakan sebagai % dari bobot badan Sumber : Tanuwiria (2008)

Tabel 3. Kebutuhan TDN untuk Sapi Laktasi

A.. Kebutuhan Hidup Pokok Bobot (kg) 300 Kebutuhan TDN (kg) 2,54

350 2,85

400 3,15

450 3,44

500 3,72

B. Kebutuhan Produksi Produksi (kg 4% FCM)*) Kebutuhan TDN (kg)

10 3,26

15 4,89

20 6,52

25 8,15

5 1,63

C. Kebutuhan Sapi Bunting pada dua bulan terakhir sebelum melahirkan Bobot Hidup (kg) 300 350 400 450 Kebutuhan TDN (kg) 3,30 3,70 4,10 4,47 *) susu yang dibakukan pada susu berkadar lemak 4% Sumber : Tanuwiria (2008)

500 4,84

15 Nutrien diperlukan untuk hidup pokok dan berbagai produksi. Faktor yang harus diperhatikan adalah jumlah pakan yang diberikan, semakin banyak jumlah pakan yang dikonsumsi setiap hari, akan memberikan kesempatan untuk menghasilkan produksi tinggi. Semakin tinggi bobot hidup sapi, maka kapasitas fisik lambung dan saluran pencernaan juga bertambah besar yang mengakibatkan konsumsi bahan kering juga semakin meningkat. Bobot hidup itu sendiri akan mempengaruhi kebutuhan nutrisi untuk hidup pokok, kebutuhan tersebut dipenuhi dari pemberian pakan (Parakkasi, 1995). Pemberian pakan pada sapi yang sedang berproduksi atau sedang laktasi harus memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi susu, jika jumlah dan mutu yang diberikan kurang, maka hasil produksi susu tidak akan maksimal. Pemberian konsentrat agar lebih praktis dianjurkan 50% dari produksi susu, sedangkan hijauan pemberiannya 10% dari bobot badan. Pemberian pakan hijauan yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan serat kasar sehingga pakan sulit dicerna, sebaliknya kurangnya pemberian konsentrat akan menyebabkan kekurangan konsumsi protein yang dapat menurunkan kinerja reproduksi sapi induk (Sudono dkk., 2003). 2.4.1. Hijauan Pada umumnya pakan hijauan atau pakan berserat yang diberikan pada sapi perah terdiri dari tiga kategori, yaitu : 1) rumput introduksi berkualitas menengah; 2) rumput lapangan berkualitas rendah sampai menengah, yang diambil dari pinggiran jalan dan lahan-lahan; dan 3) hasil ikutan pertanian yang berkualitas rendah (Santosa dkk., 2009). Hijauan merupakan pakan utama sapi perah (DeLaval, 2005). Hijauan biasanya mengandung serat kasar lebih dari 18% dan bersifat amba (Ensminger, 1992). Hijauan yang diberikan kepada sapi laktasi

16 minimum sejumlah 40% dari total kebutuhan bahan kering ransum atau kira-kira sebanyak 1,5% dari berat hidup sapi perah (Suryahadi, dkk., 1997). Lebih lanjut dikatakan oleh mereka bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi konsumsi hijauan. Pertama yaitu kandungan serat deterjen netral (neutral

detergent

fibre/NDF). Kedua ialah kandungan air. Ransum secara keseluruhan diharapkan mengandung air 25-50% agar dapat dikonsumsi. Hijauan terlalu banyak mengandung air dikonsumsi lebih sedikit oleh sapi perah. Dan ketiga ialah ukuran hijauan. Hijauan yang dicacah dengan ukuran 5-10 cm dimakan lebih banyak dari hijauan panjang. Hijauan terlalu pendek atau digiling halus dapat menurunkan kecernaannya dan kadar lemak susu. Bargo dkk. (2003) menambahkan bahwa hijauan kaya akan serat. Serat yang tinggi dalam pakan sapi akan meningkatkan persentase lemak lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian konsentrat. Semakin tinggi kandungan serat kasar didalam suatu bahan pakan atau ransum maka kecernaannya semakin menurun sehingga efisiensi penggunaan ransum akan ditentukan oleh kandungan zat makanan, terutama kandungan serat kasar yang terdapat didalamnya (Dhalika dkk.,2005). Kandungan nutrisi rumput alam lahan darat (campuran) ialah BK 24,4%; abu 14,5%; PK 8,2%; LK 1,4%; SK 31,7%; BETN 44,2%; TDN 56,2%; Ca 0,36%; dan P 0,23% (Sutardi,1981). 2.4.2. Konsentrat Konsentrat adalah pakan tambahan bagi sapi perah untuk memenuhi kekurangan nutrisi yang tidak dapat dipenuhi oleh hijauan. Konsentrat umumnya mengandung tinggi protein dan energi serta rendah serat kasar (Ensminger, 1992). Sedangkan menurut Hartadi, Reksohadiprodjo dan Tillman (1997), konsentrat merupakan bahan pakan yang digunakan bersama bahan pakan lainnya untuk

17 meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan pakan. Penambahan pemberian konsentrat akan diikuti oleh peningkatan produksi susu tetapi secara umum menunjukkan nilai pendapatan di atas biaya pakan yang rendah. Penyesuaian jumlah pakan konsentrat untuk produksi susu dan masa laktasi serta kombinasi dan kualitas hijauan meningkatkan produksi susu dan pendapatan di atas biaya pakan. Pada akhir masa laktasi produksi susu turun sedangkan perubahan ransum tidak banyak berpengaruh terhadap peningkatan produksi susu sehingga pendapatan di atas biaya pakan rendah (Adkinson, dkk., 1993). Pemberian konsentrat sebanyak 4 kg/ekor/hari dengan kandungan 60% dan 75% TDN menunjukkan bahwa sapi yang mengkonsumsi pakan berkualitas lebih baik akan menerima 2,7 kg TDN, dan yang mengkonsumsi bahan berkualitas rendah akan menerima 2,2 kg TDN. Perbedaan tersebut akan menghasilkan perbedaan dalam produksi susu sekitar satu liter (Santosa dkk., 2009). Perimbangan yang mengarah kepada persentase konsentrat yang lebih besar akan berakibat tercapainya produksi susu yang tinggi, namun kadar lemaknya akan menurun. Kandungan zat-zat makanan dalam konsentrat lebih tinggi dibandingkan hijauan, oleh karena itu pemberian konsentrat yang lebih tinggi pada pakan sapi perah laktasi akan menghasilkan kemampuan berproduksi susu yang lebih tinggi (Siregar, 2000).

2.5. Pencernaan Sapi Perah Pencernaan sapi perah menurut De Laval (2005) adalah proses pencernaan ternak ruminansia dimulai dari mulut secara mekanis dan enzimatis. Di dalam mulut ransum berbentuk kasar dipecah menjadi berukuran partikel kecil dengan cara pengunyahan. Pada saat ini juga dimulai pencernaan enzimatis dengan

18 dibasahinya pakan oleh saliva. Selanjutnya pakan masuk ke dalam rumen melalui esofagus. Di rumen terjadi pencernaan mikrobial. Sapi perah merupakan hewan ruminansia dengan organ pencernaan yang terdiri dari rumen, retikulu, omasum, dan abomasum Di dalam rumen terdapat sejumlah besar mikroba yang merupakan kumpulan dari bakteri, protozoa, fungi, dan virus. Mikroba ini berfungsi dalam pencernaan serat kasar yang berupa selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selulosa adalah kumpulan unit glukosa yang sukar larut di dalam saluran pencernaan tetapi masih dapat dipecah oleh mikroba karena menghasilkan enzim selulase. Selulosa dipecah oleh mikroba rumen untuk menghasilkan asam lemak terbang (volatile fatty acid/VFA). Asam lemak terbang terdiri dari asam asetat, butirat, dan propionat. Asam lemak terbang digunakan sebagai sumber energi dan kerangka karbon bagi pembentukan protein. Selain serat kasar mikroba rumen memecah protein pakan menjadi peptida, asam amino, dan gugus amin. Selanjutnya gugus amin diserap oleh mikroba dan dibentuk lagi menjadi asam amino dan peptida (Ensminger, 1992).

2.6. Tanaman Jagung Tanaman jagung atau Zea mays termasuk ke dalam famili graminiae atau rerumputan, kelas monokotiledon, genus Zea dan termasuk golongan spesies Zea mays. Tanaman ini adalah tanaman C4 yang lebih produktif dibandingkan dengan tanaman C3. Tanaman C4 dapat memanfaatkan energi matahari dengan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan C3 sehingga dapat mensintesis karbohidrat lebih baik. Tanaman jagung merupakan tumbuhan tropis namun dapat beradaptasi pada iklim tropis maupun subtropis. Fase pertumbuhan tanaman jagung dibagi menjadi

19 tahap yaitu fase vegetatif (V), reproduksi (R) dan matang fisiologis (Lee, 2012). Tanaman jagung akan optimal pertumbuhannya pada temperatur lingkungan berkisar antara 23-27 ˚C dengan besaran kelembaban rata-rata 80%. Curah hujan yang normal untuk menunjang pertumbuhan tanaman jagung adalah berkisar antara 80-200 mm. Pertumbuhan tanaman jagung dan perkembangan biji jagung juga dipengaruhi oleh kedapatan akan sinar matahari yang optimal (Departemen Pertanian, 2011). Hasil samping tanaman jagung yaitu daun, tongkol, batang dan klobot juga dapat dimanfaatkan untuk pengganti hijauan pakan ruminansia (Parakkasi, 1995; Umiyasih dan Wina, 2008). Daun jagung yang masih muda sudah banyak dimanfaatkan peternak sebagai hijauan pakan ternak dan berpotensi sebagai pengganti sumber serat hijauan khususnya pada saat ketersediaan rumput lapang berkurang (Putra, 2004). Klobot dan tongkol jagung adalah sumber serat yang lebih disukai ternak dibanding biji jagung (Parakkasi, 1995). Limbah jagung dengan proporsi terbesar adalah batang jagung (stover) dengan kecernaan bobot kering in vitro terendah. Kulit jagung merupakan limbah dengan proporsi terkecil tetapi mempunyai kecernaan lebih tinggi dibanding limbah lainnya. Data yang hampir sama dilaporkan oleh Anggraeny dkk. (2006), limbah jagung dari batang berkisar antara 55,4-62,3%, dari daun 22,6-27,4%, dan dari klobot antara 11,9-16,4%. Hasil samping tanaman jagung bukan merupakan pakan yang berkualitas tinggi dan tidak dapat mengoptimalkan pertumbuhan, produksi dan performa ternak terkecuali ditunjang dengan ketersediaan bahan pakan sumber nutrisi lainnya. Proporsi botani hasil samping tanaman jagung berdasarkan berat kering

20 terdiri dari 50% batang, 20% daun, 20% tongkol dan 10% klobot (McCutcheon dan Samples, 2002).

2.7. Silase Silase dapat dibuat dari seluruh bagian tanaman jagung, termasuk buah muda (90 hari), buah yang sudah matang (100 hari), atau kulit jagung manis (Pasaribu dkk,.1995). Bagian dari sisa panen jagung masih cukup tinggi kadar airnya. Untuk pembuatan silase, dibutuhkan bahan dengan kadar air sekitar 60%. Oleh sebab itu, sisa panen tanaman jagung biasanya dikeringkan selama 2-3 hari. Dalam pembuatan silase, tanaman jagung dipotong-potong sampai kecil (chop), lalu dimasukkan sambil dipadatkan ke dalam kantong-kantong plastik kedap udara. Bila kondisi kedap udara tidak 100% maka bagian permukaan silase akan ditumbuhi oleh bakteri seperti Clostridium tyrobutyricum yang mengubah asam laktat menjadi asam butirat (Driehuis dan Giffel, 2005). Menurut Nusio (2005), bila seluruh tanaman jagung termasuk buahnya dibuat menjadi silase, maka karbohidrat terlarut yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri sudah mencukupi. Bila yang dibuat silase hanya jerami atau kulit jagung, perlu ditambahkan molases sebagai sumber karbohidrat terlarut. Dalam pembuatan silase, juga dapat ditambahkan starter (bakteri atau campurannya)

untuk

mempercepat

proses

pematangan.

Mikroba

yang

ditambahkan biasanya adalah bakteri penghasil asam laktat seperti Lactobacillus plantarum, L. casei , L. lactis, L. bucheneri, Pediocococcus acidilactici, dan Enterococcus faecium yang berperan menurunkan pH silase. Silase adalah salah satu teknik pengawetan pakan atau hijauan pada kadar air tertentu melalui proses fermentasi mikrobial oleh bakteri asam laktat yang

21 disebut ensilasi dan berlangsung di dalam tempat yang disebut silo (McDonald dkk., 2002). Selanjutnya Parakkasi, (1995) menjelaskan bahwa Silase biasa digunakan untuk pakan sapi perah namun pemanfaatannya kini dapat diterapkan pada sapi penggemukan. Silase sudah diterapkan di banyak negara khususnya negara beriklim subtropis, di mana musim menjadi kendala utama ketersediaan hijauan dan penerapan pengawetan dengan metode pengeringan sulit dilakukan (Saun dan Heinrichs, 2008). Pemanfaatan silase sebagai pakan telah berkembang di negara-negara Eropa dan menyebar ke negara lain sejak 50-60 tahun yang lalu (Church, 1991). Berbagai tanaman atau hijauan yang berkadar air tinggi atau hasil samping tanaman sering dijadikan bahan utama pembuatan silase. Tujuan utama pembuatan silase adalah mengawetkan pakan dengan meminimalisir kehilangan nutrisi. Prinsip kerja atau proses ensilasi merupakan proses fermentasi yang berlangsung secara anaerob. Karbohidrat terlarut difermentasi oleh bakteri asam laktat untuk memproduksi asam dan menurunkan pH sehingga kondisi anaerob dapat cepat tercapai dan kehilangan komposisi kimia nutrisi dapat ditekan. Silase tidak bersifat statis namun dinamis. Perubahan dapat lebih buruk meskipun pada kondisi yang baik sekalipun (Saun dan Heinrichs, 2008). Silase pada prinsipnya tidak akan meningkatkan nilai nutrisi dari pakan karena akan banyak mengalami kehilangan selama ensilasi. Silase kurang ekonomis dan sulit untuk dibawa dengan jarak yang jauh, namun fermentasi yang dilakukan dapat menurunkan kadar antinutrisi, kandungan nitrat dan racun. Silase dapat dibuat pada berbagai bentuk silo yaitu bunker silo, drum silo ataupun plastik silo. Mekanisme pembuatan silase pada prinsipnya sama untuk ke semua jenis silo selama pengeluaran atau pembatasan suplai oksigen optimal. Tiga

22 hal yang berperan penting dalam proses ensilasi di dalam silo meliputi produk bakteri asam laktat dan produk fermentasinya, pencapaian kondisi anaerob yang maksimal dan penurunan pH yang cepat (Muck, 2011). Proses ensilasi secara garis besar terbagi atas 4 fase yaitu (1) fase aerob, (2) fase fermentasi, (3) fase stabil dan (4) fase pemberian pada ternak (Moran, 2005). Proses aerob terjadi pada saat pemasukan bahan ke dalam silo di mana bakteri dari permukaan hijauan akan mengkonsumsi oksigen sampai oksigen habis. Proses ini sangat diinginkan pada proses pembuatan silase, di mana dengan penghabisan oksigen secara optimal kondisi anaerob dapat segera tercapai. Saat waktu yang bersamaan pula bakteri-bakteri tersebut akan memanfaatkan karbohidrat terlarut yang seharusnya digunakan bakteri asam laktat (BAL) untuk membentuk asam laktat menjadi CO2, H2O dan panas. Proses ini menyebabkan kehilangan energi dan bahan kering (Muck, 2011). Saat fase aerob ini pula terjadi perubahan kimiawi yang meliputi perombakan protein menjadi ammonia. Lamanya fase aerob ini bergantung pada seberapa cepat silase mendapatkan suasana yang kedap udara secara optimal. Fase kedua merupakan fase di mana oksigen telah habis dan aktivitas bakteri asam asetat dan bakteri asam laktat meningkat, kemudian pH menurun hingga akhirnya aktivitas bakteri asam asetat terhenti. Berhentinya aktivitas bakteri asam asetat akan meningkatkan aktivitas bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat menyebabkan konsentrasi asam laktat meningkat dan pH semakin menurun. Besaran pH akan semakin menurun hingga akhirnya mencapai besaran optimal. Kondisi ini mengakibatkan aktivitas berbagai macam bakteri terhenti dan akhirnya bahan sudah mulai terawetkan dan tidak ada

23 lagi proses penguraian. Proses ini menandakan fase fermentasi telah berhenti dan memasuki fase stabil. Fase stabil akan berjalan optimal selama tidak adanya suplai oksigen. Fase terakhir adalah fase pembukaan silase atau disebut dengan fase aerob. Fase ini sangat rentan terhadap kontaminasi jamur yang nantinya akan mempengaruhi stabilitas aerob silase yang dapat menyebabkan kehilangan energi dan bahan kering (Nussio, 2005).

2.8. Fermentasi Fermentasi merupakan proses pemecahan karbohidrat dan asam amino secara anaerob, yaitu tanpa memerlukan oksigen. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi terutama karbohidrat, sedangkan asam amino hanya dapat dipecah oleh beberapa jenis bakteri tertentu (Fardiaz, 1992). Satiawihardja (1992) mendefinisikan fermentasi dengan suatu proses dimana komponen komponen kimiawi yang dihasilkan sebagai akibat dari proses pertumbuhan maupun metabolisme oleh mikroba. Fermentasi akan menyebabkan beberapa proses yang menguntungkan diantaranya: mengawetkan, merusak, menghilangkan bau yang tidak diinginkan, meningkatkan daya cerna, menambah flavour, menghasilkan warna yang diinginkan dan menghilangkan zat anti nutrisi dan racun yang biasa ada pada bahan mentah (Suliantri dan Rahayu, 1990). Efisiensi sistem pengawetan tidak hanya didasarkan atas nilai nutrisi bahan tetapi juga ditentukan oleh hilangnya nutrisi yang terjadi antara pemanenan sampai dengan pakan diberikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi diantaranya; 1) konsentrasi garam, hal ini berhubungan dengan pengaturan ketersediaan Aw (ketersediaan air

24 untuk kebutuhan mikroorganisme). 2) suhu, kondisi suhu akan sangat menetukan jenis bakteri yang akan tumbuh. Untuk bakteri penghasil asam laktat maka suhu yang optimal adalah sekitar 30°C. 3) oksigen, ketersediaan oksigen harus diatur sesuai dengan sifat dari mikroorganisme yang akan digunakan. Bakteri penghasil asam laktat tidak akan memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya sehingga ketersediaan oksigen harus benar-benar diperhatikan (Sumanti, 1996). Temperatur yang optimum pada fermentasi hijauan yakni antara 26,737,8°C. Apabila temperatur pada saat inkubasi lebih tinggi dan terjadi dalam waktu yang cukup lama, maka akan terjadi penurunan kecernaan protein, ketersediaan dari karbohidrat dan perubahan warna menjadi kecolatan (Anonimus, 2008). Sedangkan menurut Wallace dan Chesson (1995) produksi panas yang berlebihan pada saat fermentasi (diatas 42-44°C) dapat menyebabkan terjadinya proses maillard atau browning reaction, disamping itu juga dapat menurunkan kecernaan protein dan serat.

2.9. Lama Fermentasi Selama proses fermentasi akan terjadi perubahan kandungan nutrien dalam bahan, diantaranya adalah perubahan BK dan BO. Perubahan yang terjadi disebabkan karena adanya pemanfaatan glukosa yang merupakan fraksi dari bahan organik dan bahan kering oleh mikroorganisme menjadi asam laktat, etanol dan CO2. Kehilangan BK dan BO akan lebih besar terjadi apabila aktifitas fermentasi didominasi oleh bakteri heterofermentatif (Mc Donald, 1981). Kandungan protein kasar (PK) selama fermentasi akan mengalami penurunan. Penyebab terjadinya penurunan ini adalah karena adanya aktifitas mikroorganisme dan larut dalam air (Muijs, 1983). Mikroorganisme yang menyebabkan penurunan kandungan PK

25 adalah jenis bakteri proteolitik. Menurut Wallace dan Chesson (1995), clostridia proteolitik akan menfermentasi asam amino menjadi bermacam-macam produk termasuk amonia, amina dan asam organik yang mudah menguap. Sedangkan kandungan serat kasar (SK) akan mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena selama fermentasi mikroorganisme banyak mendegradasi karbohidrat dan protein sehingga pada akhir silase proporsi serat kasar akan menjadi lebih tinggi karena tidak mengalami degradasi. Fermentasi glukosa dan laktat oleh clostridia akan diubah menjadi asam butirat, air dan karbon dioksida. Sedangkan pada asam amino akan dirubah menjadi asam lemak, asam asetat, amonia dan carbon dioksida. Pada fermentasi asam amino dan amina ada tiga tipe fermentasi yang biasa terjadi yakni, deaminasi, dekarboksilasi dan oksidasi atau reduksi.