BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi Bali Sapi bali (Bibos Sondaicus) merupakan hasil domestikasi banteng liar (Bibos Banteng) yang mempunyai kekhasan tertentu bila dibandingkan dengan sapi-sapi lainnya. Menurut Alton, 1823 (dalam Yupardhi, 2009), taksonomi sapi bali adalah sebagai berikut : Ordo
: Artiodactyla
Kelas
: Ruminansia
Famili
: Bovidae
Genus
: Bos
Spesies
: Bos Javanicus
Sapi bali memiliki daya adaptasi tinggi pada daerah dataran tinggi, berbukit dan dataran rendah (Kadarsih, 2004). Sapi bali merupakan salah satu ternak yang banyak dimanfaatkan tenaga pekerja pertanian oleh petani. Di daerah perkebunan kelapa sawit, sapi bali dimanfaatkan untuk mengangkut alat dan hasil kebun kelapa sawit (Dwatmadji et al. 2004). Selain berfungsi sebagai tenaga kerja pertanian, sapi bali juga mempunyai fungsi sebagai fungsi finansial, sebagai sarana keagamaan dan sebagai sarana hiburan (makepung).
5
6
Bali merupakan daerah penyebaran utama sapi bali, sedangkan daerah penyebaran lainnya di Indonesia adalah Sulawesi, Kalimantan, Lampung, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Selain di Indonesia sapi bali juga dapat ditemukan di beberapa negara seperti di Timor Leste, Malaysia dan Australia (Batan, 2006). Sapi bali mempunyai ciri khas tertentu yang berbeda dengan sapi-sapi lainnya. Pada usia pedet, sapi bali mempunyai warna merah bata baik pedet jantan maupun pedet betina, sedangkan setelah dewasa sapi jantan berubah warna menjadi hitam. Warna rambut pada bagian belakang kedua pahanya berwarna putih yang dikenal dengan white mirror, sedangkan warna rambut dibawah persendian loncat keempat kakinya berwarna putih yang dikenal dengan white stocking. Pada bagian punggung terdapat garis berwarna hitam (alae stipe), serta ujung ekor berwarna hitam (Darmadja, 1980). Penelitian tentang status praesen sapi bali pada masa reproduksi belum ada yang melaporkan. Beberapa peneliti hanya melakukan penelitian profil klinis tentang gambaran darah. Hartaningsih et al. (1983) yang telah meneliti gambaran darah secara umum seperti jumlah sel darah, hematokrit dan hitung jenis lekosit. Utama dan Wirat (1995) pernah meneliti gambaran darah sapi bali jantan hanya di Nusa Penida. Sedangkan peneliti lain, melakukan penelitian yang lebih lengkap tentang gambaran klinis darah sapi bali di seluruh daerah Bali.
7
2.2
Sentra Pembibitan Sapi Bali Sobangan Sentra pembibitan sapi bali di desa Sobangan kecamatan Mengwi kabupaten
Badung merupakan sentra pelestarian plasma nutfah sapi bali. Sentra ternak yang dirintis pada tahun 2008 ini memiliki luas lokasi 10 hektar dengan 2 hektar bangunan dan 8 hektar hijauan. Jumlah populasi dari induk sebanyak 288 ekor, pedet 37 ekor, dan jantan sebanyak 21 ekor. Banyaknya kandang di sentra pembibitan sebanyak 8 blok dan masing-masing blok di dalamnya tidak menentu jumlah sapinya, karena selalu dilakukan perombakan bibit. Kecamatan Mengwi memiliki luas wilayah sekitar 82 km2, dengan ketinggian mencapai 350 meter di atas permukaan laut. Rata-rata curah hujan di Kecamatan Mengwi sekitar 2.029,0 mm hingga akhir tahun 2013 dan suhu rata-rata relatif tinggi yaitu diantara 26° C dan 37° C (Badan Pusat Statistik Badung).
1.3
Status Praesen Sapi Status praesen adalah kondisi fisiologis hewan saat ini, atau keadaan umum
normal dari hewan. Hal yang termasuk status praesen adalah suhu tubuh, frekuensi respirasi, frekuensi pulsus, dan frekuensi detak jantung sapi bali betina pada kebuntingan trimester ke dua.
1.3.1
Suhu Tubuh Suhu didefinisikan sebagai derajat panas tubuh. Suhu tubuh hewan dihasilkan
dari keseimbangan antara produksi panas tubuh yang dihasilkan oleh metabolisme basal dan aktivitas otot tubuh dengan panas yang dikeluarkan oleh tubuh. Panas tubuh
8
yang hilang lewat kulit kira-kira sejumlah 85%, sisanya dikeluarkan melalui respirasi dan urinasi. Regulasi dari panas tubuh terletak pada pusat termoregulator yang terletak di otak. Abnormal dari suhu ini digunakan oleh dokter hewan untuk mendiagnosis penyakit dan merupakan simtem visual yang pertama dan mudah digunakan oleh pemilik hewan untuk mengetahui hewannya sakit. Suhu tubuh yang meningkat dari normal (1°C diatas normal) disebut dengan demam sedangkan suhu dibawah normal disebut dengan hipotermia. Suhu tubuh pada hewan domestikasi selalu bervariasi tergantung atas aktivitas fisik (Dwatmadji et al. 2004), status kebuntingan, waktu saat pengukuran, kondisi tertidur (Beatty et al. 2006) dan kondisi lingkungan. Suhu tubuh dinyatakan dalam derajat celcius, tetapi di beberapa negara digunakan skala pengukuran Fahenheit. Jika suhu lingkungan naik maka tubuh akan beradaptasi dengan meningkatkan frekuensi denyut nadi dan frekuensi respirasi sehingga panas tubuh akan dialirkan oleh darah lebih cepat dan dikeluarkan dari tubuh melalui konduksi, konveksi, evaporasi dan radiasi. Apabila pelepasan panas tubuh tidak sebanding dengan produksi panas tubuh, maka akan terjadi kenaikan suhu tubuh di atas normal dan sapi akan mengurangi konsumsi pakannya dan produktivitas akan menurun (Mcdowell, 1972; Mariyono dan Dikman, 2007). Pada temperatur tinggi, terjadi mekanisme pelepasan panas tubuh sapi. Hal ini dipengaruhi oleh kelembapan, faktor fisiologis seperti respirasi meningkat, kepadatan dan aktifitas kelenjar keringat (Blackshaw and Blackshaw, 1994).
9
Pada fisiologis sapi bali, sapi bali memiliki suhu tubuh yaitu 38,3 ± 0,5 ºC (Batan, 2006). Menurut Rosenberger (1979) dalam Mauladi (2009) suhu tubuh sapi sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu (Tabel 1.) Tabel 1. Beberapa faktor yang mempengaruhi suhu tubuh normal pada sapi. Parameter Pengaruh Terhadap Suhu Tubuh Umur Suhu Tubuh sapi pada pedet adalah 38,5-39,5 ºC, pada sapi muda 38,0-39,5 ºC dan pada sapi dewasa 38,0-39,0 ºC. Waktu Pengukuran Suhu tubuh pada umumnya lebih tinggi 0,5-1,0 ºC pada sore hari dibandingkan pagi hari. KondisiLingkungan Suhu dan kelembaban lingkungan memberikan pengaruh pada suhu tubuh. Aktifitas Fisik Bergerak dan makan akan meningkatkan suhu tubuh akibat peningkatan metabolisme. Fungsi reproduksi Peningkatan suhu tubuh (0,5-1,0 ºC) terjadi pada 24 jam pada sapi betina sebelum estrus dan partus. (Sumber: Rosenberger, 1979; Mauladi, 2009).
1.3.2
Frekuensi Respirasi Respirasi adalah aktivitas bernafas atau yang lebih spesifik adalah proses
pengambilan oksigen untuk digunakan oleh jaringan dan melepaskan karbondioksida. Proses respirasi terdiri atas inspirasi dan ekspirasi. Pengukuran respirasi dapat dilakukan dengan melihat gerakan
otot abdomen dan tukang iga, merasakan
hembusan nafas dengan cara meletakan punggung tangan di depan lubang hidung atau dengan mendengarkan suara nafas menggunakan stetoskop di daerah dada. Peningkatan respirasi dapat disebabkan oleh peningkatan aktivitas hewan (Dwatmadji et al. 2004).
10
Frekuensi respirasi memberikan kemudahan untuk mengamati panas tubuh hewan dan menjadi parameter fisiologis seperti pengaruh temperatur lingkungan, kelembaban, dan radiasi panas (Eigenberg et al. 2000). Meningkatnya frekuensi respirasi pada ternak juga disebabkan perubahan kondisi suhu dan kelembaban, sehingga menyebabkan stres. Hal ini didukung pendapat Rumetor (2003), menjelaskan bahwa naiknya frekuensi respirasi merupakan salah satu tanda sapi perah mengalami stres panas. Ditambahkan Guyton (1990), menyatakan bahwa perubahan frekuensi respirasi sejalan dengan peningkatan suhu udara, hal tersebut menyebabkan ternak meningkatkan frekuensi respirasi untuk melepaskan panas. Respirasi normal pada sapi dewasa adalah 15-35 kali permenit dan 20-40 kali pada pedet (Jackson dan Cockroft, 2002). Pada fisiologis sapi bali, sapi bali memiliki respirasi 26-50 kali permenit (Batan, 2006). Frekuensi respirasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ukuran tubuh, umur, aktifitas fisik, kegelisahan, suhu lingkungan, kebuntingan, adanya gangguan pada saluran pencernaan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi hewan (Kelly, 1984). Rata-rata respirasi adalah jumlah inspirasi dan ekspirasi yang dilakukan dalam setiap menitnya.
1.3.3
Frekuensi Pulsus (Denyut Nadi) Pulsus didefinisikan sebagai denyut ritmis, periodik yang terasa di arteri
bersamaan dengan detak jantung. Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan pulsus adalah frekuensi, ritme, dan kualitas. Frekuensi pulsus ditentukan dengan menghitung detak jantung selama satu menit. Ritme dari pulsus yang normal
11
dapat dilihat dari urutan ritme setiap denyut secara teratur dalam interval tertentu. Kualitas yang baik dideskripsikan dari tekanan dinding arteri, hal ini sebagai indikasi aliran darah pada pembuluh darah. Pulsus dapat dipalpasi (dengan jari) pada arteri superficial yang terletak pada jaringan lunak dan dapat ditekan sampai ke tulang. Jika telah ditemukan arteri tersebut, arteri tetap difiksir dengan jari dan tekanan dikendorkan secara perlahan-lahan, sampai dirasakan ada denyutan, dan frekuensi pulsus dihitung selama satu menit. Pengukuran pulsus pada sapi dilakukan pada arteri maxillaries eksternal. Posisi dari arteri maxillaries eksternal melintang menuju ramus mandibularis bawah didepan otot maseter atau didaerah insisura fassorum (dibawah mandibula). Pulsus hewan dapat dirasakan dengan menempelkan tangan pada pembuluh darah arteri coccygeal di bawah ekor bagian tengah sekitar 10 cm dari anus (Kelly, 1984; Mauladi, 2009). Frekuensi normal dari pulsus bervariasi dari masingmasing spesies dan individu. Variasi dari pulsus dipengaruhi oleh faktor umur, ukuran tubuh, jenis kelamin, bangsa sapi, kondisi atmosfer, waktu pengukuran, latihan/beban kerja sapi (Dwatmadji et al. 2004), makan, dan terkejut. Rata-rata frekuensi atau denyut nadi normal bagi hewan domestik yang besar, yaitu sapi adalah 40-70 kali/menit. Denyut nadi dan detak jantung pada hewan sehat akan selalu sinkron. Jantung berfungsi sebagai pompa yang akan memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh dengan tekanan tertentu. Sedangkan pembuluh darah merupakan saluran yang mendistribusikan dan mengarahkan darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan mengembalikannya ke jantung. Hewan betina memiliki pulsus yang lebih frekuen
dibandingkan dengan hewan jantan. Hewan yang sedang bunting tua akan memiliki pulsus yang frekuen, dan akan semakin meningkat pada saat partus. Frekuensi detak jantung sapi betina yang sedang bunting dapat meningkat hingga 15-40% (Kelly, 1984; Mauladi, 2009) maka secara langsung frekuensi pulsus juga akan meningkat karena keduanya selalu sinkron.
1.3.4
Frekuensi Detak Jantung Frekuensi jantung adalah banyaknya detak jantung dalam satu menit.
Pengamatan terhadap frekuensi detak jantung pada ruminansia besar (seperti sapi) dihitung secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung pada dinding dada sebelah kiri (Kelly, 1984; Mauladi, 2009). Estimasi pengeluaran energi dari energi bebas pada hewan besar berdasarkan pada detak jantung. Frekuensi detak jantung relatif mudah untuk diukur dan pengukurannya dapat menunjukkan nilai yang akurat pada variasi jangka pendek dan jangka panjang dari pengeluaran energi sapi (Brosh et al. 1998). Menurut Rosenberger (1979), Frekuensi detak jantung dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan berat badan. Pada sapi, frekuensi detak jantung tergantung dari status psikofisiologi dan aktifitas fisik. Restrain fisik dapat menyebabkan stress pada hewan yang berada di kandang, ini merupakan hipotesis tingkat stress mengapa frekuensi detak jantung meningkat (Boissy and Neindre, 1997).
13
Tabel 2. Frekuensi detak jantung normal sapi di daerah dataran rendah. Jenis sapi Frekuensi jantung Pedet 90-110/menit Pedet lepas sapih 70-90/menit Sapi bunting 70-90/menit Pejantan dewasa 60-70/menit (Sumber: Rosenberger, 1979; Mauladi, 2009).
Pada fisiologis sapi bali, sapi bali memiliki frekuensi detak jantung 36-60 kali permenit (Batan, 2006). Menurut Kelly (1984) frekuensi detak jantung normal pada sapi dewasa adalah 55-80 kali per menit, sedangkan frekuensi detak jantung anak sapi dapat mencapai 100-120 kali per menit. Frekuensi detak jantung sapi betina yang sedang bunting dapat meningkat hingga 15-40%, dan untuk sapi laktasi akan meningkat hingga 10%. Frekuensi detak jantung juga dipengaruhi oleh aktifitas fisik tubuh, latihan dan kondisi lingkungan seperti suhu lingkungan dan kelembaban udara. Peningkatan frekuensi detak jantung disebut tachycardia sedangkan penurunan frekuensi detak jantung disebut bradycardia (Mauladi, 2009).
1.4
Kebuntingan Lama kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya fertilisasi sampai
terjadinya kelahiran normal (Prasojo et al. 2010; Ismudiono et al. 2010). Lama kebuntingan ini berbeda dari satu bangsa ternak ke bangsa ternak lainnya. Lama kebuntingan pada sapi bali sekitar 280-294 hari (Prasojo et al., 2010). Lama kebuntingan tersebut dipengaruhi oleh jenis kelamin anak, iklim, genetik, kondisi
14
makanan dan umur induk (Prasojo et al. 2010; Ismudiono et al. 2010). Hal ini juga kemungkinan dapat berpengaruh terhadap kenaikan frekuensi pulsus. Menurut Batan (2006), lama kebuntingan pada sapi bali adalah sekitar 286 hari (274-292 hari) dan pada sapi bali yang dipekerjakan untuk mengelolah tanah berakibat kurang menguntungkan bagi kemampuan reproduksinya yaitu akan berakibat pada masa kebuntingan akan lebih pendek sekitar 276 hari dibandingkan dengan sapi bunting yang tidak dipekerjakan (289 hari). Menurut Toelihere (2010), diagnosa kebuntingan dengan cara palpasi rektal merupakan cara yang paling praktis dan akurat. Diagnosa kebuntingan melalui palpasi rektal dapat dilakukan secara tepat pada hari ke 35 sesudah kontrasepsi. Sesudah hari ke 45 sampai ke 55, diagnosa kebuntingan umumnya mudah dilakukan. Namun paling aman apabila pemeriksaan kebuntingan hanya dilakukan mulai 60 hari sesudah kontrasepsi. Indikasi adanya kebuntingan pada ternak sapi dan kerbau yang ditentukan melalui pemeriksaan rektal, sebagai berikut : a. Palpasi cornua uteri yang membesar berisi cairan placenta dari hari ke 30 sampai ke 90 periode kebuntingan. b. Palpasi secara halus dan sangat hati-hati terhadap kantung amnion pada kebuntingan muda 35 sampai 50 hari. c. Selip selaput foetal, allantochorion, pada penjepitan secara luwes terhadap uterus di antara ibu jari dan jari telunjuk pada kebuntingan muda, 40 sampai 90 hari. d. Perabaan pemantulan kembali fetus di dalam uterus yang membesar berisi selaput fetus dan cairan placenta.
15
e. Perabaan placentoma. f. Palpasi arteri uterina mediana yang membesar, berdinding tipis dan berdesir (fremitus). Menurut Toelihere (1977), tanda-tanda utama pada diagnosa kebuntingan pada umur kebuntingan trimester ke dua yaitu umur 4 bulan adanya fremitus pada arteri uterine media dan teraba fetus dan karunkel, umur 5 bulan os cervicalis externa terletak pada tepian pelvis; kaki-kaki fetus dapat teraba di depan dan di bawah tepian pelvis, dan umur kebuntingan 6 bulan fetus terletak di luar jangkauan tangan; fetus terletak di flank kanan; placentom dan kaki-kaki fetus dapat teraba apabila terjangkau. Dilihat dari indikasi luar, berhentinya gejala-gejala birahi sesudah IB atau perkawinan alam sudah hampir pasti menandakan adanya kebuntingan. Pada kebuntingan tua, abdomen cenderung untuk membesar tetapi tanda ini tidak merupakan indikasi yang dapat dipercaya tentang kebuntingan. Kelenjar susu pada sapi dara berkembang dan membesar pada kebuntingan 4 sampai 5 bulan. Hewan betina bertambah tenang, lamban dan hati-hati dalam pergerakannya sesuai dengan pertambahan umur kebuntingan, kecenderungan bertambahnya berat badan, ligament pelvis mulai mengendur. Pada umunya gerakan fetus dapat diobservasi dari luar pada dinding perut sesudah kebuntingan berumur 6 bulan. Kadang-kadang pada hewan yang kurus dapat diamati pada kebuntingan 5 bulan. Tergantung pada ukuran fetus, kondisi induk dan ukuran serta isi abdomen, fetus dapat diraba 95 persen pada kebuntingan 3 sampai 4 bulan dan 40 sampai 70 persen pada 5 sampai 6 bulan
16
(Roberts, 1971; Toelihere, 2010). Tinju didorongkan secara berulang pada arah dorsomedial pada bagian bawah perut sebelah kanan. Lebih tua umur kebuntingan atau lebih besar fetus, maka fetus terasa lebih ke dorsal dari daerah legok lapar (flank). Pada saat kebuntingan 6 sampai 7 bulan terlihat edema vulva terutama pada sapi dara. Perubahan serviks terjadi setelah fertilisasi yaitu kripta-kripta servik menghasilkanlendir kental, semakin tua umur kebuntingan semakin kental lender yang dihasilkan. Pada sapi kebuntingan 4 bulan apeks koruna yang mengandung fetus telah sampai ke dasar rongga abdomen. Kebuntingan 5 bulan, dasar rongga abdomen seluruhnya dipenuhi uterus yang bunting (Ismudiono et al. 2010). Klasifikasi hormon berdasarkan cara kerja terdiri atas dua kelompok yaitu hormon-hormon reproduksi primer dan hormon-hormon reproduksi sekunder. Hormon kebuntingan termasuk dalam hormon-hormon reproduksi primer yaitu hormon progesteron dan estrogen ovarial; dan gonadotropin dan prolaktin yang disekresikan oleh adenohipofisa (Toelihere, 1977).