BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 STABILITAS PRODUK FARMASI STABILITAS

Download Stabilitas produk obat dibagi menjadi stabilitas secara kimia dan stabilitas secara fisika. ... Evaluasi dari uji stabilitas fisika meliput...

0 downloads 547 Views 674KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Stabilitas Produk Farmasi Stabilitas produk farmasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk untuk

bertahan dalam batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan, sifat dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat (Vadas, 2000). Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas produk farmasi, seperti stabilitas dari bahan aktif, interaksi antara bahan aktif dan bahan tambahan, proses pembuatan, proses pengemasan, dan kondisi lingkungan selama pengangkutan, penyimpanan, dan penanganan, dan jangka waktu produk antara pembuatan hingga pemakaian (Vadas, 2000). Stabilitas produk obat dibagi menjadi stabilitas secara kimia dan stabilitas secara fisika. Faktor-faktor fisika seperti panas, cahaya, dan kelembapan, mungkin akan menyebabkan atau mempercepat reaksi kimia, maka setiap menentukan stabilitas kimia, stabilitas fisika juga harus ditentukan (Vadas, 2000). Stabilitas fisika adalah mengevaluasi perubahan sifat fisika dari suatu produk yang tergantung waktu (periode penyimpanan). Contoh dari perubahan fisika antara lain migrasi (perubahan) warna, perubahan rasa, perubahan bau, perubahan tekstur atau penampilan. Evaluasi dari uji stabilitas fisika meliputi: pemeriksaan organoleptis, homogenitas, pH, bobot jenis (Vadas, 2000). Stabilitas kimia suatu obat adalah lamanya waktu suatu obat untuk mempertahanakan integritas kimia dan potensinya seperti yang tercantum pada etiket dalam batas waktu yang ditentukan. Pengumpulan dan pengolahan data merupakan langkah menentukan baik buruknya sediaan yang dihasilkan, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya parameter lain yang harus diperhatikan. Data yang harus dikumpulkan untuk jenis sediaan yang berbeda

Universitas Sumatera Utara

tidak sama, begitu juga untuk jenis sediaan sama tetapi cara pemberiannya lain. Jadi sangat bervariasi tergantung pada jenis sediaan, cara pemberian, stabilitas zat aktif dan lain-lain (Attwood dan Florence, 1988). Data yang paling dibutuhkan adalah data sifat, kimia, kimia fisik, dan kerja farmakologi zat aktif (data primer), didukung sifat zat pembantu (data sekunder). Secara reaksi kimia zat aktif dapat terurai karena beberapa faktor diantaranya ialah oksigen (oksidasi), air (hidrolisa), suhu (oksidasi), cahaya (fotolisis), karbondioksida (turunnya pH larutan), sesepora ion logam sebagai katalisator reaksi oksidasi. Jadi jelasnya faktor luar juga mempengaruhi ketidakstabilan kimia seperti, suhu, kelembaban udara dan cahaya (Attwood dan Florence, 1988). Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan adalah keadaan tetap di mana sediaan bebas dari mikroorganisme atau memenuhi syarat batas miroorganisme hingga batas waktu tertentu. Terdapat berbagai macam zat aktif obat, zat tambahan serta berbagai bentuk sediaan dan cara pemberian obat. Tiap zat, cara pemberian dan bentuk sediaan memiliki karakteristik fisikakimia tersendiri dan umumnya rentan terhadap kontaminasi mikroorganisme dan/atau memang sudah mengandung mikroorganisme yang dapat mempengaruhi mutu sediaan karena berpotensi menyebabkan penyakit, efek yang tidak diharapkan pada terapi atau penggunaan obat dan kosmetik. Stabilitas mikrobiologi diperlukan oleh suatu sediaan farmasi untuk menjaga atau mempertahankan jumlah dan menekan pertumbuhan mikroorgansme yang terdapat dalam sediaan tersebut hingga jangka waktu tertentu yang diinginkan (WHO, 1977). 2.2 Sirup Sirup adalah sediaan pekat dalam air dari gula atau pengganti gula dengan atau tanpa bahan penambahan bahan pewangi, dan zat obat. Sirup merupakan sediaan yang menyenangkan untuk pemberian suatu bentuk cairan dari suatu obat yang rasanya tidak enak, sirup efektif dalam pemberian obat untuk anak-anak, karena rasanya yang enak biasanya menghilangkan keengganan pada anak-anak untuk meminum obat (Ansel, 1989).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Nairn, J.G. (2000), sirup merupakan larutan pekat dari gula seperti larupan sukrosa dalam air ataupun dalam larutan pembawa lainnya. Ketika pembuatatan sirup hanya menggunakan air maka dinamakan sirup sederharna. Selain penggunaan sukrosa sukrosa, dapat ditambahkan poliol yang lainnya seperti: gliserin atau sorbitol yang dapat meningkatkan stabilitas sirup. Sirup yang mengandung obat disebut juga dengan sirup obat. Pembuatan sirup dapat menggunakan gliserin, metil paraben, asam benzoat, dan sodium benzoat untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur (Nairn, J.G., 2000). 2.3

Alginat Asam alginat diekstraksi dari ganggang coklat dan dinetralisasikan dengan natrium

bikarbonat untuk membentuk natrium alginat. Karakteristik natrium alginat adalah sebagai berikut : Pemerian

: Serbuk tidak berbau dan berasa, putih sampai coklat kekuningan pucat.

Kelarutan

: Larut dalam air, praktis tidak larut dalam etanol, eter, pelarut organik dan asam.

Tak tercampurkan : Dengan turunan acridine, kristal violet, fenilmerkuri asetat dan nitrat, garam kalsium, logam berat (Rowe, dkk., 2003) Natrium alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu β-D-mannuronat (M) dan α-L-guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang membentuk rantai linier.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Rumus bangun β-D-mannuronat dan α-L-guluronat (Rees dan Welsh,1977) Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan atom C2 dengan susunan homopolimer dari masing – masing residu (MM dan GG) ataupun dalam blok – blok heteropolimer (MG) (Rees dan Welsh,1977). Natrium alginat telah digunakan secara luas dalam formulasi obat oral dan topikal yaitu sebagai pengikat dan penghancur dalam formulasi tablet, sebagai pelincir dalam formulasi kapsul, sebagai zat pensuspensi dalam formulasi krim, dan sebagai zat penstabil dalam formulasi emulsi minyak dalam air (Rowe, et al., 2003). 2.4

Lambung Menurut Bringman et al. (1995); Gartner dan Hiatt (2001), lambung adalah bagian

dari saluran yang dapat berdilatasi, berstruktur seperti kantung yang berfungsi mencairkan makanan dilanjutkan dengan proses pencernaan yang dibantu oleh asam hidroklorida (HCl)

Universitas Sumatera Utara

dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, lipase dan hormon parakrin. Bolus makanan melewati saluran gastro-eksofagus menuju lambung kemudian dicampur dengan cairan lambung yang terdiri atas mukus, air, HCl dan enzim-enzim pencernaan. 2.4.1 Anatomi Lambung Morfologi organ tubuh tikus analog dengan morfologi organ manusia. Oleh karena itu, sering digunakan sebagai hewan pengujian obat sebelum diberikan pada manusia. Salah satu organ tikus yang analogis dengan organ manusia adalah lambung (Malole, et al., 1989). Lambung tikus terletak di sebelah kiri ruang abdomen yang berkontak langsung dengan hati. Menurut Miller (1996), tepi bagian tengah yang berbentuk cekung dari lambung disebut kurvatora minor atau lekukan kecil. Tepi bagian lateral yang berbentuk cembung disebut kurvatora mayor atau lekukan besar. Menurut Brown dan Hardisty (1990) serta Frappier (1998), lambung tikus dibedakan menjadi dua bagian yaitu lambung depan (bagian tipis di sebelah kiri) dan lambung kelenjar. Lambung depan umumnya dikenal dengan lambung nonkelenjar. Bringman et al. (1995); Miller (1996) menyatakan bahwa secara anatomis lambung mamalia dibagi atas 4 regio, yaitu cardia, fundus, badan atau corpus dan pilorus. Cardia, merupakan bagian dengan luas kecil dan zona pembatas dekat saluran gastro-eksofagus. Fundus, pada mamalia merupakan regio yang berbentuk kubah terletak sebelah kiri dari esofagus dan banyak terdapat sel kelenjar. Badan atau corpus, merupakan bagian terluas dari lambung (kurang lebih 2/3 bagian lambung) yang membentang dari fundus inferior sampai ke pilorus. Pilorus merupakan bagian yang paling akhir. Pilorus berbentuk corong dengan perluasan kerucut, pada sambungan dengan badan disebut pyloric antrum dan batang corongnya disebut pyloric canal. Bagian akhir pylorus terdapat sphinter yang berfungsi mengatur pelepasan kimus ke dalam duodenum. Berikut merupakan gambaran bentuk anatomis dari lambung dengan regio-regionya:

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Anatomi Eksternal dan Internal Lambung Mamalia. (Tortora dan Grabowski, 1996) 2.4.2 Histologi Lambung Lambung merupakan organ yang mencerna makanan dan mensekresikan hormon. Pemeriksaan secara kasar menunjukkan bahwa lambung tersusun atas empat lapisan, yaitu kardia, fundus, badan, dan pilorus (Junqueira, et al. 1995). Berdasarkan histologi, dinding saluran pencernaan terdiri dari empat lapisan yaitu sebelah dalam sekali lapisan mukosa, lalu berturut-turut ke arah luar lapisan submukosa, lapisan muskularis (otot) dan lapisan yang paling luar sekali adalah lapisan serosa atau adventisia. Setiap lapisan terdiri atas beberapa komponen yang mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda-beda. (Beveleander, et al., 1988). 2.4.2.1 Mukosa Membran mukosa lambung berbentuk irreguler seperti tiang, membentuk lipatan longitudinal yang disebut rugae dan jumlahnya tergantung pada tinggi rendahnya rentangan organnya. Membran mukosa terdiri dari tiga komponen yaitu epitelium, lamina propia dan muskularis mukosa. Epitel permukaan mukosa ditandai oleh adanya lubang sumuran yang

Universitas Sumatera Utara

terletak rapat satu dengan yang lain dan dilapisi epitel sejenis. Bentuk dan kedalaman dari sumuran ini serta sifat kelenjarnya berbeda pada tiap bagian lambung. Kelenjar lambung berbentuk simpel dan tipe tubular yang meluas hingga basal lubang sumuran. Kelenjar lambung dibagi menjadi tiga daerah yaitu isthmus, leher dan basal. Pada masing-masing daerah mengandung beberapa jenis sel yang berbeda. Tiap kelenjar lambung terbentuk dari empat jenis sel yaitu: sel-sel lendir leher, sel-sel utama (Chief cell/peptic cells), sel-sel parietal (sel oksintik) dan sel-sel enteroendokrin. Sel-sel lendir leher berukuran lebih kecil dari sel permukaan, bersifat basofil, jumlahnya relatif sedikit, mempunyai dasar yang lebar dan menyempit di bagian daerah puncaknya. Sel lendir leher berfungsi mensekresikan mukus. Sel-sel utama (Chief cell/peptic cells) melapisi bagian bawah kelenjar lambung dan mempunyai bentuk sel serosa yang khas. Sel ini mengandung bahan basofil, sebagian besar mitokondria dan granula sekresi yang mengandung pepsinogen, zat pemula pepsin. Eksositosi pepsinogen dipengaruhi rangsangan saraf dan hormon. Sel-sel parietal memproduksi pendahulu dari asam hidroklorat (HCl) dan faktor intrinsik lambung. Letaknya tersebar pada lumen dipisahkan oleh sel-sel utama (Chief cell). Sel-sel enteroendokrin berjumlah lebih sedikit dan letaknya tersebar di antara membran dasar dan sel-sel utama (Chief cell). Sel-sel ini berfungsi mengatur komposisi sekresi lambung (air, enzim dan kadar elektrolit), motilitas dinding usus, proses penyerapan dan penggunaan makanan (Beveleander, et al. 1988; Bringman, et al. 1995; Gartner dan Hiatt, 2001). 2.4.2.2 Submukosa Di bawah lapisan mukosa terdapat lapisan submukosa. Lapisan submukosa umumnya lebih luas, bersifat fibroelastis dan terdiri dari kelenjar, pembuluh darah, pembuluh limfatika dan saraf (Bringman, 1995). Pada lapisan ini terdapat kumpulan pembuluh darah kecil yang

Universitas Sumatera Utara

dikenal dengan pleksus Heller dan juga meliputi sebagian besar pembuluh limfatika dan pleksus saraf (pleksus Meissner) (Beveleander, et al., 1988). 2.4.2.3 Tunika muskularis Tunika muskularis terdiri dari tiga lapis otot. Lapisan dalam berupa lapisan oblique, lapisan tengah berupa lapisan otot sirkuler dan lapisan luar berupa lapis otot longitudinal. Antara lapis sirkuler dan lapisan longitudinal dipisahkan oleh pleksus saraf mesenterium dan sel ganglion parasimpatis (pleksus Auerbach’s) yang menginervasi kedua lapis otot (Gartner dan Hiatt, 2001). 2.4.2.4 Serosa Lapisan paling luar yang melapisi saluran pencernaan adalah adventisia atau serosa. Adventisia atau serosa tersusun dari jaringan longgar yang sering mengandung lemak, pembuluh darah dan saraf (Beveleander, 1988). 2.4.3 Fisiologi Lambung Lambung memiliki dua fungsi utama yaitu, fungsi pencernaan dan fungsi motorik. Fungsi pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan pencernaan protein, sintesis dan sekresi enzim-enzim pencernaan. Selain mengandung sel-sel yang mensekresi mukus, mukosa lambung juga mengandung dua tipe kelenjar tubular yang penting yaitu kelenjar oksintik (gastrik) dan kelenjar pilorik. Kelenjar oksintik terletak pada bagian corpus dan fundus lambung, meliputi 80% bagian proksimal lambung. Kelenjar pilorik terletak pada bagian antral lambung. Kelenjar oksintik bertanggung jawab membentuk asam dengan mensekresikan mukus, asam hidroklorida (HCl), faktor intrinsik dan pepsinogen. Kelenjar pilorik berfungsi mensekresikan mukus untuk melindungi mukosa pilorus, juga beberapa pepsinogen, renin, lipase lambung dan hormon gastrin (Guyton dan Hall, 1997). Fungsi motorik lambung terdiri atas (1) penyimpanan sejumlah besar makanan sampai makanan dapat diproses dalam duodenum, (2) pencampuran makanan dengan sekresi

Universitas Sumatera Utara

lambung hingga membentuk suatu campuran setengah cair yang disebut kimus (chyme) dan (3) pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus dengan lambat pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam usus halus (Wilson dan Lester, 1994; Guyton dan Hall, 1997). 2.4.4 Pertahanan Mukosa Lambung Menurut Malik (1992), mukosa lambung merupakan sawar antara tubuh dengan berbagai bahan, termasuk makanan, produk-produk pencernaan, toksin, obat-obatan dan mikroorganisme yang masuk lewat saluran pencernaan. Bahan-bahan yang berasal dari luar tubuh maupun produk-produk pencernaan berupa asam dan enzim proteolitik yang dapat merusak jaringan mukosa lambung. Oleh karena itu, lambung memiliki sistem protektif yang berlapis-lapis dan sangat efektif untuk mempertahankan keutuhan mukosa lambung. Proteksi (faktor pertahanan) tersebut dilakukan oleh adanya beberapa faktor: 1. Faktor pre-epitelial Faktor pre-epitel merupakan faktor proteksi paling depan saluran pencernaan yang letaknya meliputi secara merata lapisan permukaan sel epitel mukosa saluran pencernaan. Cairan mukus dan bikarbonat yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar dalam mukosa lambung berfungsi sebagai faktor preepitelial untuk proteksi lapisan epitel terhadap enzim-enzim proteolitik dan asam lambung. Bikarbonat berfungsi menetralisir keasaman di sekitar lapisan sel epitel. Suasana netral dibutuhkan agar enzim-enzim dan transpor aktif di sekeliling dan dalam lapisan sel epitel mukosa dapat bekerja dengan baik (Guyton dan Hall, 1997). Menurut Guyton dan Hall (1997), mukus adalah sekresi kental yang terutama terdiri dari air, elektrolit dan campuran beberapa glikoprotein, yang terdiri dari sejumlah besar polisakarida yang berikatan dengan protein dalam jumlah yang lebih sedikit. Menurut teori dua komponen sawar mukus dari Hollander, lapisan mukus lambung yang tebal dan liat

Universitas Sumatera Utara

merupakan garis depan pertahanan terhadap autodigesti. Lapisan ini memberikan perlindungan terhadap trauma mekanis dan kimia (Wilson dan Lester 1994). Mukus menutupi lumen saluran pencernaan yang berfungsi sebagai proteksi mukosa. Fungsi mukus sebagai proteksi mukosa: (a) pelicin yang menghambat kerusakan mekanis (cairan dan benda keras), (b) sawar terhadap asam, (c) sawar terhadap enzim proteolitik (pepsin) dan (d) pertahanan terhadap organisme patogen (Julius 1992). 2. Faktor epitelial Integritas dan regenerasi lapisan sel epitel berperan penting dalam fungsi sekresi dan absorbsi dalam saluran pencernaan. Kerusakan sedikit pada mukosa (gastritis/duodenitis) dapat diperbaiki dengan mempercepat penggantian sel-sel yang rusak. Sel-sel epitel saluran pencernaan terus menerus mengalami pergantian dan regenerasi setiap 1-3 hari dipengaruhi oleh banyak faktor (Malik, 1992). 3. Faktor sub-epitelial Integritas mukosa lambung terjadi akibat penyediaan glukosa dan oksigen secara terus menerus. Aliran darah mukosa mempertahankan mukosa lambung melalui oksigenasi jaringan yang memadai dan sebagai sumber energi. Selain itu, fungsi aliran darah mukosa adalah untuk membuang atau sebagai buffer difusi balik ion H+. Sistem pencernaan juga diproteksi oleh sistem imun baik lokal maupun sistemik serta sistem limfe terhadap berbagai toksin, obat dan bahan lainnya. Sistem imun lokal terdapat dalam saluran pencernaan, sedangkan sistem imun sistemik terdapat dalam sistem peredaran darah. Komponen dari sistem imun dalam saluran cerna adalah sel-sel radang lokal saluran cerna (sel plasma, limfosit, monosit) dan jaringan limpoid yang bersifat sistemik (Malik, 1992). Selain beberapa faktor pertahanan di atas, pada selaput lendir saluran pencernaan juga terdapat komponen protektif mukosa yaitu prostaglandin (PG) (Julius 1992). Prostaglandin

Universitas Sumatera Utara

merupakan kelompok senyawa turunan asam lemak arakhidonat yang dihasilkan melaui jalur siklooksigenase (COX). Prostaglandin meningkatkan resistensi selaput lendir terhadap iritasi mekanis, osmotik, termis atau kimiawi dengan cara regulasi sekresi asam lambung, sekresi mukus, bikarbonat dan aliran darah mukosa. Dalam suatu telah telah ditunjukkan, bahwa pengurangan prostaglandin pada selaput lendir lambung memicu terjadinya ulkus. Hal ini membuktikan salah satu peranan penting prostaglandin untuk memelihara fungsi sawar selaput lendir (Kartasasmita, 2002). 2.4.5 Patologi Lambung Menurut Guyton dan Hall (1997), beberapa gangguan lambung yang sering terjadi antara lain ulkus lambung dan gastritis. Menurut Julius (1992), adanya gangguan-gangguan pada lambung seperti gastritis, erosi dan ulkus turut dipengaruhi oleh faktor perimbangan antara faktor agresif (asam dan pepsin) dan faktor pertahanan (defensif) dari mukosa. Faktor pertahanan ini antara lain adalah pembentukan dan sekresi mukus, sekresi bikarbonat, aliran darah mukosa dan regenerasi epitel. Kejadian ulkus lambung lebih dipengaruhi oleh gangguan faktor pertahanan mukosa (defensif) saluran cerna dibandingkan faktor agresif (asam dan pepsin). Apabila pertahanan mukosa terganggu maka baru timbul ulkus peptik. Di samping faktor agresif dan faktor pertahanan, ada faktor lain yang termasuk faktor predisposisi (kontribusi) untuk terjadinya ulkus peptik antara lain daerah geografis, jenis kelamin, faktor stress, herediter, merokok, obat-obatan dan infeksi bakteria (Julius, 1992). Gangguan lambung yang juga sering terjadi adalah gastritis. Gastritis adalah inflammasi (peradangan) dari mukosa lambung termasuk gastritis erosif yang disebabkan oleh iritasi, refluks cairan kandung empedu dan pankreas, hemorrhagic gastritis, infectious gastritis dan atrofi mukosa lambung (Guyton dan Hall 1997). Mekanisme kerusakan mukosa pada gastritis diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara faktor-faktor pencernaan, seperti

Universitas Sumatera Utara

asam lambung dan pepsin dengan produksi mukus, bikarbonat dan aliran darah (Julius, 1992). Gastritis dapat hanya superfisial atau dapat menembus lebih dalam ke mukosa lambung. Beberapa bahan yang dimakan seperti alkohol dan aspirin dapat sangat merusak sawar pertahanan lambung. Bahan-bahan tersebut dapat merusak mukosa kelenjar dan sambungan epitel yang rapat (tight epithelial junctions) di antara sel pelapis lambung hingga sering menyebabkan gastritis akut atau kronis berat (Guyton dan Hall, 1997). 2.5

Efek Samping HCl pada Lambung Meningkatnya asam lambung akan mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi

pepsin yang akan menurunkan fungsi sawar lambung. Sawar lambung yang kehilangan fungsinya tersebut akan mengakibatkan penghancuran kapiler dan vena darah sehingga akan terjadi pendarahan. Asam yang tinggi tersebut juga mencetuskan terlepasnya histamin sehingga terjadi vasodilatasi yang meningkatkan pendarahan (Price and Wilson, 1995).

Universitas Sumatera Utara