PENDAHULUAN STABILITAS SUATU SEDIAAN FARMASI ADALAH KAPASITAS

Download Stabilitas suatu sediaan farmasi adalah kapasitas sediaan tersebut untuk mempertahankan spesifikasi yang telah ditentukan untuk menjamin id...

0 downloads 484 Views 423KB Size
PENDAHULUAN Stabilitas suatu sediaan farmasi adalah kapasitas sediaan tersebut untuk mempertahankan spesifikasi yang telah ditentukan untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurniannya (Carstensen, 1990). Data stabilitas suatu obat merupakan hal penting dalam pembuatan sediaan farmasi. Jika obat tidak stabil maka potensinya akan menurun. Asam askorbat stabil dalam keadaan kering tetapi mudah teroksidasi dalam larutan membentuk asam dehidroaskorbat. Laju penguraian sianokobalamin dalam larutan meningkat dengan penambahan gom arab, aldehid, asam askorbat, tembaga, ferro glukonat, nikotinamida, tiamin, dan bahan pereduksi (Remington, 2005; Connors dkk., 1992). Dewasa ini, kombinasi asam askorbat dan sianokobalamin banyak digunakan dalam sediaan multivitamin. Padahal beberapa penelitian telah melaporkan mengenai inkompatibilitas asam askorbat dan sianokobalamin di dalam larutan. Selain itu, sejumlah besar sianokobalamin dihilangkan oleh asam askorbat ketika dosis besar asam askorbat dikonsumsi kurang dari satu jam setelah pemberian oral sianokobalamin (AHFS, 2005; Ichikawa, 2005; Herbert&Jacob, 1974). Dalam penelitian Ichikawa (2005) dinyatakan bahwa NaCl dan garam-garam halida seperti kalium, magnesium, dan kalsium halida dapat meningkatkan stabilitas asam askorbat dan sianokobalamin sehingga interaksi asam askorbat dan sianokobalamin dapat dicegah. Zat lain yang juga dapat meningkatkan stabilitas asam askorbat dan sianokobalamin adalah ammonium sulfat, kalsium sulfat, KCN, dan MgCl (Hashmi, 1972; Marcus, 1980). Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penambahan natrium sulfat terhadap interaksi dan stabilitas asam askorbat dan sianokobalamin.

1

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Vitamin dan Sediaan Multivitamin Vitamin adalah zat gizi yang diperlukan dalam jumlah kecil untuk proses metabolisme di dalam tubuh. Vitamin berfungsi sebagai katalis dan substrat dalam reaksi kimia. Saat bertindak sebagai katalis, vitamin berikatan dengan enzim dan disebut sebagai kofaktor. Vitamin juga bertindak sebagai koenzim untuk membawa gugus fungsi di antara enzimenzim. Hingga tahun 1900-an, vitamin diperoleh dari makanan. Banyak sumber makanan yang mengandung berbagai macam vitamin. Namun, jika vitamin hanya diperoleh dari makanan maka perubahan pola makan akan mengakibatkan perubahan pula pada asupan vitamin 1 . Seiring dengan kemajuan teknologi, telah banyak vitamin yang dapat disintesis atau diisolasi. Maka dibuatlah sediaan multivitamin yang praktis untuk mengatasi kekurangan asupan vitamin oleh tubuh. 1.2 Sianokobalamin 1.2.1 Aspek Fisika dan Kimia Sianokobalamin merupakan serbuk hablur atau amorf berwarna merah sampai merah tua. Bentuk anhidratnya mempunyai sifat yang sangat higroskopis. Jika terpapar pada udara dapat menyerap air lebih kurang 12%. Sianokobalamin harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya. Sianokobalamin mempunyai rumus molekul C63H88CoN14O14P dengan struktur seperti terlihat pada Gambar 1.1. Sianokobalamin

adalah

suatu

senyawa

koordinasi

yang

mengandung

kobalt.

Sianokobalamin terdiri dari cincin korin yang mengandung kobalt, gula D-ribofuranosa dan nukleotida 5,6-dimetil-benzi-midazole. Huruf-huruf ”a” sampai ”g” yang dilingkari pada gambar 1.1. menunjukkan tujuh substituen amida pada cincin korin (Connors dkk., 1992). 1

http://en.wikipedia.org/wiki/Vitamin diakses tanggal 9 Januari 2007

2

3

Gambar 1.1 Struktur molekul sianokobalamin (Connors dkk., 1992). Pada suhu kamar, sianokobalamin paling stabil pada pH 4,5–5,0 (Connors dkk., 1992). Sianokobalamin larut dalam air (1:80) dan alkohol; tidak larut dalam aseton, kloroform, dan eter. Zat ini menjadi gelap pada suhu 210–220 0C; menjadi hitam tanpa melebur pada suhu 300 0C (Merck Index, 13th; Remington, 2005 ). 1.2.2

Aspek Farmakologi

Pada manusia, sumber eksogen sianokobalamin diperlukan untuk berbagai fungsi fisiologis tubuh. Sianokobalamin dapat diubah menjadi koenzim sianokobalamin dalam jaringan. Koenzim sianokobalamin yang terbentuk ini berperan pada biosintesis basa purin dan pirimidin;

reduksi

ribonukleotidatrifosfat

menjadi

2-desoksiribonukleotidatrifosfat;

perubahan metilmalonil-koenzim A menjadi suksinil-koenzim A; sintesis metionin dari homosistein; dan pembentukan sistem mielin dalam sistem saraf. Tanpa koenzim sianokobalamin, tetrahidrofolat tidak bisa diubah dari 5-metiltetrahidrofolat menjadi bentuk aktifnya sehingga akan terjadi kekurangan folat dalam tubuh. Berdasarkan fungsi tersebut di atas jelaslah bahwa pada defisiensi sianokobalamin pembentukan eritrosit terganggu dan hanya sedikit mielin yang terbentuk, sehingga di

4 samping anemia megaloblastik dapat juga terjadi gejala neurologik yang berat atau pun atropi mukosa saluran cerna. Terapi kausal gangguan ini dilakukan dengan pemberian secara parenteral sediaan sianokobalamin. Pemberian secara oral, walaupun ditambahkan faktor intrisik akan segera kehilangan khasiatnya setelah beberapa saat (AHFS, 2005; Mutschler, 1986). 1.2.3

Aspek Farmakokinetika

Sianokobalamin berikatan dengan faktor intrinsik, glikoprotein, yang dikeluarkan oleh mukosa lambung, kemudian secara aktif diserap oleh saluran pencernaan. Absorpsi terganggu pada pasien yang tidak memiliki faktor intrinsik. Absorpsi dari saluran pencernaan juga dapat terjadi melalui difusi pasif. Setelah pemberian intranasal, konsentrasi puncak plasma sianokobalamin dicapai dalam waktu 1 hingga 2 jam. Ketersediaan hayati dari sediaan intranasal sekitar 7–11 % dibandingkan sediaan injeksi intramuskular. Sianokobalamin berikatan dengan protein plasma spesifik yaitu transkobalamin. Transkobalamin II ikut terlibat dalam transport kobalamin ke jaringan. Sianokobalamin disimpan dalam hati, diekskresikan dalam empedu, dan masuk ke dalam siklus enterohepatik. Sebagian dosis diekskresikan melalui urin pada 8 jam pertama. Ekskresi urinari hanya mengeluarkan sejumlah kecil sianokobalamin dari jumlah total dalam tubuh yang diperoleh dari makanan. Sianokobalamin dapat menembus plasenta dan muncul di air susu ibu (ASI) (Martindale, 2005). 1.2.4

Stabilitas Sianokobalamin

Efek pH dan cahaya terhadap penguraian sianokobalamin dijelaskan sebagai berikut: dalam larutan asam, akan terjadi siklisasi amida menghasilkan γ-lakton pada cincin B.

Gambar 1.2 Siklisasi amida menghasilkan γ-lakton.

5 Hidrolisis gugus amida juga terjadi namun beberapa amida tidak terhidrolisis pada laju yang sama. Bila dilihat dari struktur siakobalamin pada gambar 1.1. gugus fungsional yang paling mudah terhidrolisis adalah propionamida b dan e. Propionamida f dan asetamida g akan terhidrolisis dengan laju yang moderat. Asetamida a dan c paling sukar terhidrolisis. Dengan demikian, dalam larutan asam akan terbentuk campuran senyawa yang terdiri dari 1 sampai 7 asam karbosilat. Disosiasi nukletioda dari atom kobalt juga terjadi pada kondisi asam. Apabila hal ini terjadi bersama dengan hidrolisis propionamida f maka terbentuk senyawa yang tidak mengandung nukletioda. Pada kondisi asam kuat, akan terbentuk asam polikarboksilat yang mengandung nukleotida mau pun yang tidak mengandung nukleotida. Reaksi deaktivasi sianokobalamin dalam larutan asam dapat dirangkum dalam persamaan laju untuk berbagai gugus fungsional amida. Untuk dua gugus asetamida c, dua reaksi yang saling bersaing adalah: asam karboksilat c k1 Sianokobalamin

(1) k2

γ-lakton

Untuk hidrolisis gugus amida a, b, d, e, dan g menjadi asam karboksilat, reaksinya adalah sebagai berikut: Sianokobalamin

k3, k4, k5, k6, k7

asam-asam karboksilat

(2)

Reaksi tersebut terjadi secara paralel dengan reaksi (1). Tipe yang ketiga dari reaksi paralel ini melibatkan hidrolisis propionamida f, dengan kemungkinan terjadi disosiasi nukleotida lebih lanjut: k8 k9 Sianokobalamin ⎯⎯ ⎯ → sianokobalamin bebas-nukleotida → asam karboksilat f ⎯

(3)

Dalam larutan asam, seluruh reaksi tersebut mengakibatkan terjadinya deaktivasi sianokobalamin. Dalam kondisi basa, terjadi kristalisasi gugus fungsional asetamida menghasilkan fusi laktam pada cincin B dapat dilihat pada Ganbar 1.3. Seperti halnya hidrolisis asam, pada kondisi basa akan terbentuk campuran asam karboksilat. Akan tetapi, karena pembentukan cincin laktam terjadi terlalu cepat, maka seluruh produk asam karboksilat diyakini mengandung laktam. Dengan demikian,

6 campuran dari senyawa yang mengandung satu sampai enam asam karboksilat akan diperoleh pada kondisi basa.

Gambar 1.3 Kristalisasi gugus fungsional asetamida. Reaksi deaktivasi yang utama di bawah kondisi basa adalah: Sianokobalamin

k10 ⎯⎯→

laktam terfusi

Sianokobalamin bersifat fotosensitif. Dengan adanya cahaya, ikatan organometalik akan pecah memberikan radikal 5’-deoksi-adenosil dan kob(II)alamin. Kob(II)alamin stabil dalam suasana asam tanpa oksigen. Adanya oksigen, menyebabkan terbentuknya hidroksikobalamin yaitu sianokobalamin dengan gugus hidroksil yang menggantikan ligan siano. Hidroksikobalamin aktif secara farmakologi namun kurang stabil, khususnya dalam larutan basa. Paparan cahaya matahari yang terlalu lama menyebabkan kerusakan permanen. Reaksi sianokobalamin terinduksi cahaya dapat dirangkum pada skema laju: k11

k13 sianokobalamin ←⎯→ akuokobalamin ⎯⎯→ produk degradasi lanjutan k12

Laju penguraian dalam larutan akan meningkat dengan penambahan gom arab, aldehid, asam askorbat, tembaga, ferro glukonat, nikotinamida, niasinamida, tiamin, dan bahan pereduksi. Hasil urai asam askorbat, termasuk asam dehidroaskorbat, lebih berperan atas hilangnya sianokobalamin dibanding asam askorbat itu sendiri (Connors dkk., 1992). 1.2.5 Usaha Stabilisasi Sianokobalamin Sianokobalamin dalam larutan distabilkan dengan antioksidan bahan pengkhelat, asam sitrat, sistein, diiso-propil-amonium dikloro-asetat, garam logam, glukonat, laktat, dapar fosfat, senyawa polihidroksi, garam kalium, dan garam natrium. Dapar fosfat pada pH 4,6 yang mengandung 0,8% natrium klorida juga dapat menstabilkan sianokobalamin (Connors dkk., 1992).

7 1.3 Asam Askorbat 1.3.1 Aspek Fisika dan Kimia Asam askorbat merupakan hablur atau serbuk yang berwarna putih atau agak kuning, tidak berbau, dan berasa asam. Asam askorbat mempunyai rumus molekul C6H8O6 dengan struktur sebagai berikut:

Gambar 1.4 Struktur molekul asam askorbat (Connors dkk., 1992). Asam askorbat stabil dalam keadaan kering tetapi mudah teroksidasi dalam larutan. Zat ini lambat laun akan berubah warna menjadi gelap karena pengaruh cahaya. Reaksi oksidasi asam askorbat dipercepat oleh pemanasan, cahaya, basa, enzim oksidatif, logam-logam tertentu khususnya tembaga (Remington, 2005). Pada suhu 20 0C sebanyak 1 (satu) bagian asam askorbat larut dalam 3,5 bagian air, 100 bagian gliserol, 20 bagian propilen glikol, 50 bagian etanol, dan 25 bagian etanol 95%. Asam askorbat tidak larut dalam eter, kloroform, dan benzen. Jarak lebur antara 190–192 0

C dengan penguraian. Rotasi jenis larutan 10% b/v antara +20,50 hingga +21,50. Larutan

asam askorbat memiliki pH stabilitas optimum pada pH 5,4. Larutan 5% b/v dalam pelarut air memiliki rentang pH 2,1–2,6. Asam askorbat memiliki 2 konstanta disosiasi yaitu pK1 = 4,17 dan pK2 = 11,57 (Wade, 1994; Merck Index, 13th). Asam askorbat memiliki sebuah karbon kiral sehingga dapat membentuk 2 (dua) enantiomer sebagai berikut: asam L-askorbat dan asam D-askorbat. Asam L-askorbat yang terbentuk secara alami memiliki aktivitas biologi sedangkan asam D-askorbat memiliki sifat antioksidan (AHFS, 2005). 1.3.2 Aspek Farmakologi Asam askorbat berfungsi sebagai kofaktor dalam sejumlah reaksi amidasi dan hidroksilasi dengan mentransfer elektron kepada enzim yang mempunyai ekivalen-ekivalen pereduksi. Fungsi fisiologis dari asam askorbat didasarkan pada kemampuannya tersebut untuk

8 berbagai reaksi oksidasi-reduksi biokimia. Asam askorbat juga merupakan antioksidan sekunder efektif dengan menangkap oksigen dan nitrogen reaktif seperti; hidroksil, peroksil, superoksid, peroksinitrit, dan nitroksida. Selain itu, asam askorbat juga berperan dalam pengaturan sintesis prostaglandin, bronkodilator dan vasodilator, perubahan asam folat menjadi asam folinat, hidroksilasi prolin menjadi hidroksiprolin yang diperlukan untuk pembentukan kolagen, metabolisme karbohidrat, sintesis lipid dan protein, respirasi selular, dan pengaktivan trombin. Di samping itu juga meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan absorpsi besi (AHFS ,2005; Mutschler, 1986). 1.3.3 Aspek Farmakokinetika Asam askorbat diserap langsung dari saluran pencernaan dan didistribusikan di dalam jaringan tubuh. Konsentrasi plasma dari asam askorbat muncul jika dosis ditingkatkan hingga mencapai keadaan tunak dengan dosis harian sekitar 90–150 mg. Tubuh menyimpan asam askorbat sekitar 1,5 gram walaupun jumlah yang lebih besar dapat disimpan jika asam askorbat dikonsumsi lebih dari 200 mg per hari. Konsentrasi lebih tinggi terdapat dalam leukosit dan platelet daripada di dalam eritrosit dan plasma. Pada defisiensi asam askorbat, konsentrasi dalam leukosit menurun sehingga hal ini dapat dijadikan tolak ukur yang baik untuk evaluasi defisiensi asam askorbat dibandingkan dengan mengukur konsentrasi di dalam plasma. Asam askorbat dioksidasi dalam reaksi kesetimbangan yang bolak-balik menjadi asam dehidroaskorbat. Dalam tubuh zat ini dimetabolisme menjadi askorbat-2-sulfat yang tidak aktif dan asam oksalat yang diekskresikan melalui urin. Kelebihan asam askorbat dalam tubuh dieliminasi secara cepat dalam urin dalam bentuk fraksi tak berubah. Hal ini umum terjadi apabila asupan harian melebihi 200 mg. Asam askorbat dapat menembus plasenta dan didistribusikan ke dalam ASI (Martindale, 2005). 1.3.4

Stabilitas Asam Askorbat

Asam askorbat merupakan lakton tak jenuh (ester siklik). Zat ini dalam larutan air mudah teroksidasi (reaksinya bolak-balik) membentuk asam dehidroaskorbat. Laju oksidasinya tergantung pada pH dan konsentrasi oksigen serta dikatalisis oleh ion logam. Asam dehidroaskorbat dapat mengalami hidrolisis lebih lanjut membentuk hasil urai yang tidak bolak-balik yaitu asam diketoglukonat dan asam oksalat. Asam askorbat juga mudah

9 terurai di bawah kondisi anaerob mengalami dehidrasi dan hidrolisis membentuk furfural dan karbondioksida. Reaksi dehidrasi lebih cepat dalam suasana asam dibandingkan suasana basa selaras dengan katalisis ion hidrogen. Profil laju pH bagi keduanya baik penguraian aerob maupun anaerob akan mencapai maksimal pada sekitar pH 4 (mendekati pK1). Skema kinetika dan persamaan laju untuk kedua proses tersebut adalah sebagai berikut: Kondisi aerob

Gambar 1.5 Mekanisme penguraian asam askorbat dalam kondisi aerob. Asam diketoglukonat yang terbentuk seterusnya mengalami serangkaian proses oksidasi membentuk tiga molekul asam oksalat. Skema kinetika yang terjadi diduga adalah sebagai berikut: k1 HA −1 ⎯⎯→ produk k2 H 2 A ⋅ HA − ⎯⎯→ produk k3 H 2 A ⎯⎯→ produk

H2A dan HA- merupakan asam askorbat tidak terdisosiasi dan monodisosiasi, dan (H2A. HA-) merupakan kompleks dari asam askorbat tidak terdisosiasi bersama monohidrogen askorbat. Persamaan lajunya adalah:

[

]

[

]

laju = k1 HA − + k 2 H 2 A ⋅ HA − + k 3 [H 2 A]

Kondisi anaerob Skema kinetika yang terjadi diduga adalah sebagai berikut: k1 H 2 A + H + ⎯⎯→ produk k2 H 2 A ⎯⎯→ produk k3 H 2 A ⋅ HA − ⎯⎯→ produk k4 HA − + H 2 A ⎯⎯→ produk k5 HA − ⎯⎯→ produk k6 A − ⎯⎯→ produk

10

Gambar 1.6 Mekanisme penguraian asam askorbat dalam kondisi anaerob. Persamaan lajunya adalah:

[ ]

[

]

[

]

[

]

[ ]

laju = k1 [H 2 A] H + + k 2 [H 2 A] + k 3 H 2 A ⋅ HA − + k 4 HA − [H 2 A] + k 5 HA − + k 6 A 2−

Persamaan laju orde-pertama semu untuk kedua skema di atas adalah laju = k[AT], di mana [AT] adalah konsentrasi asam askorbat total. Energi aktivasi untuk dekomposisi aerob dan anaerob pada harga pH berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.1. Asam askorbat dapat distabilkan dengan bahan-bahan penolong, di samping pengendalian variabel pH, suhu, cahaya, dan oksigen. Natrium bisulfit ditambahkan sebagai antioksidan dimaksudkan untuk bereaksi dengan asam askorbat di bawah kondisi anaerob pada reaksi orde-pertama-semu Konsentrasi awal asam askorbat dalam larutan juga menentukan laju penguraian (Connors dkk., 1992). Tabel 1.1 Energi Aktivasi untuk Dekomposisi Aerob dan Anaerob pada Harga pH Berbeda (Connors dkk., 1992) Aeroba pH 3,52 4,55 5,45 6,60 a ) Jarak suhu 60-85 0C b

) Jarak suhu 80-100 0C

Anaerobb Ea (kkal/mol) 12,2 10,9 10,1 7,8

pH 0,38 4,00 7,50 11,38

Ea (kkal/mol) 19 25 24 23

11 1.4 Kebutuhan Harian Sianokobalamin dan Asam Askorbat Manusia tidak dapat mensintesis sendiri sianokobalamin dan asam askorbat. Kedua vitamin ini dapat diperoleh dari asupan makanan. Dalam kondisi pola makan normal, jumlah sianokobalamin yang diperlukan oleh tubuh sudah terpenuhi. Sianokobalamin hanya dapat diperoleh dari produk-produk hewan seperti: daging, susu, telur, dan ikan. Sedangkan asam askorbat lebih banyak terdapat dalam buah dan sayuran (Martindale, 2005). Setiap hari manusia memerlukan asam askorbat dalam jumlah tertentu tergantung umur, jenis kelamin, dan kondisi spesifik lainnya. Konsumsi harian asam askorbat harus seimbang dengan jumlah yang diekskresikan atau dimusnahkan oleh oksidasi. Pada kondisi tertentu, dosis berlebih dari asam askorbat diperlukan untuk mencapai konsentrasi normal dalam plasma (Goodman&Gilman’s, 1748). 1.5 Kinetika Kimia Prinsip-prinsip kinetika merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan stabilitas kimia suatu obat (Carstensen, 1990). Dengan mempelajari kinetika kimia maka dapat ditentukan kecepatan reaksi penguraian obat sehingga waktu kadaluwarsa obat tersebut dapat diperkirakan (Connors, dkk, 1992). 1.5.1 Kecepatan Reaksi Kecepatan reaksi adalah besarnya perubahan konsentrasi zat pereaksi dan hasil reaksi per satuan waktu. Menurut Hukum Aksi Massa, kecepatan reaksi sebanding dengan hasil kali konsentrasi molar reaktan yang masing-masingnya dipangkatkan dengan jumlah molekul senyawa yang terlibat di dalam reaksi. Misalnya dalam reaksi berikut: aA + bB → cC + dD kecepatan reaksinya adalah dC 1 d [ A] 1 d [B ] 1 d [C ] 1 d [D ] =− =− =+ =+ dt a dt b dt c dt d dt

disebabkan metabolit obat atau hasil urai obat tidak dapat atau sangat sukar ditentukan secara kuantitatif (Shargel, 1985) maka kecepatan reaksi ditentukan sebagai berikut: dC a b = k [A] [B ] dt dC = kecepatan reaksi, k = konstanta kecepatan reaksi, dan a, b = orde reaksi dt

12 Tabel 1.2 Kebutuhan Harian Sianokobalamin dan Asam Askorbat (Goodman&Gilman’s) Usia (tahun) 0,0–0,5 0,5-1 1-3 4-6 7-10 11-14 15-18 19-24 25-50 51+ 11-14 15-18 19-24 25-50 51+

Kategori Bayi

Pria

Wanita

Hamil Menyusui

Berat (kg) 6 9 13 20 28 45 66 72 79 77 46 55 58 63 65

Tinggi (cm) 60 71 90 112 132 157 176 177 176 173 157 163 164 163 160

Sianokobalamin (μg) 0,3 0,5 0,7 1,0 1,4 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,2 2,6 2,6

6 bulan I 6 bulan II

Asam Askorbat (mg) 30 35 40 45 45 50 60 60 60 60 50 60 60 60 60 70 90 95

1.5.2 Mekanisme Reaksi a. Reaksi Sederhana Setiap reaksi elementer bereaksi secara stokhiometri memberikan jumlah molekul yang akan bereaksi pada tahap tersebut untuk membentuk suatu produk. Dalam hal ini molekularitas akan berhubungan dengan orde reaksi. b. Reaksi Kompleks Banyak reaksi tidak dapat dinyatakan secara sederhana dengan persamaan orde nol, satu, dan dua. Reaksi tersebut melibatkan lebih dari satu reaksi elementer/reaksi sederhana. Proses ini meliputi reaksi reversibel, paralel, dan berseri/berurutan (Martin dkk., 1993). ♦ reaksi reversibel A+ B

k1

↔C+D k2

♦ reaksi paralel k1

B

A C ♦ reaksi berseri/berurutan

k2 k1 k2 A ⎯⎯→ B ⎯⎯→ C

13 1.5.3 Orde Reaksi-reaksi Kimia Orde reaksi adalah jumlah atom atau molekul yang konsentrasinya menentukan kecepatan reaksi. Misalnya untuk reaksi: aA + bB → produk maka orde reaksi untuk A adalah a, untuk B adalah b, dan orde reaksi keseluruhan adalah (a + b) (Martin dkk., 1993). a. Reaksi orde nol Reaksi orde nol terjadi jika kecepatan reaksi tidak tergantung pada konsentrasi pereaksi sehingga perubahan konsentrasi konstan setiap waktu. Karena C0 = 1 dan C adalah konsentrasi, maka persamaan kecepatan reaksi untuk reaksi orde nol adalah: −

d [C ] = k0 ⋅ C 0 dt

− dC = k o ⋅ dt Jika persamaan di atas diintegrasikan, maka diperoleh persamaan: C = Co − k o t Jika data perubahan konsentrasi dari reaksi orde nol diplot terhadap waktu maka akan diperoleh garis lurus dengan kemiringan − k o . Satuan untuk konstanta kecepatan reaksi orde nol, k o , adalah konsentrasi per satuan waktu, contoh: mol liter-1 detik-1, dimana waktu (detik) dan konsentrasi (mol liter-1). Dari persamaan di atas dapat dihitung waktu paruh (t1 2 ) suatu obat yaitu waktu yang dibutuhkan suatu zat untuk terurai menjadi

setengah konsentrasi semula. 1 C o = C o − k o t1 2 1 [C ]0 2 t1 2 = ko

2

b. Reaksi Orde Satu Reaksi orde satu terjadi jika kecepatan reaksi tergantung pada konsentrasi salah satu pereaksi. Persamaan kecepatan reaksi untuk reaksi orde satu adalah: d [C ] = k1 ⋅ C dt Jika persamaan di atas diintegrasikan, maka diperoleh persamaan: −

ln C = ln C o − k1 t

14 Persamaan di atas menunjukkan bahwa dalam reaksi orde satu konsentrasi akan turun secara eksponensial. Jika logaritma konsentrasi dari reaksi orde satu diplot terhadap waktu maka akan diperoleh garis lurus dengan kemiringan garis yang setara dengan − k1 2,303 . Satuan untuk konstanta kecepatan reaksi orde satu, k1 , adalah 1/satuan waktu. Persamaan waktu paruhnya adalah: 1 ln C = ln C o − k1 t 2 2 0,693 t1 2 = ln = ko k1

c. Reaksi Orde Dua Reaksi orde dua terjadi apabila dua molekul bereaksi sehingga kecepatan reaksi bergantung pada dua konsentrasi pereaksi tersebut. A + B → produk Kecepatan penguraian A sebanding dengan kecepatan penguraian B. Persamaan kecepatan reaksinya adalah: −

d [A] d [B ] =− = k 2 [A] [B ] dt dt

Jika a dan b adalah konsentrasi awal A dan B, dan x adalah konsentrasi produk yang dihasilkan pada waktu t, persamaan kecepatan reaksinya menjadi: dx = k 2 (a − x )(b − x ) dt dx = kecepatan reaksi, sedangkan dt

(a − x ) dan (b − x ) adalah konsentrasi sisa A dan B pada

saat t. Integrasi persamaan di atas memberikan persamaan berikut: 2,303 b(a − x ) log t (a − b ) a(b − x ) Jika konsentrasi A dan B sama,sehingga a = b maka persamaan yang berlaku adalah: dx 2 = k 2 (a − x ) dt Jika diintegrasikan, maka diperoleh persamaan berikut: k2 =

k2 =

1 ⎛ x ⎞ ⎜ ⎟ at ⎝ a − x ⎠

15 x diplot terhadap waktu maka akan diperoleh garis lurus dengan kemiringan a(a − x ) b(a − x ) k2. Jika konsentrasi awal, a dan b tidak sama, plot log terhadap waktu harus a (b − x ) (a − b )k 2 . Satuan untuk konstanta kecepatan menghasilkan garis lurus dengan kemiringan 2,303 reaksi orde dua, k2, adalah L/mol/detik (Martin dkk., 1993).

Jika

1.5.4 Metode Penentuan Orde Reaksi Orde reaksi dapat ditentukan dengan beberapa metode: a. Metode substitusi Dengan metode substitusi data yang diperoleh dari studi kinetika disubstitusikan ke dalam berbagai persamaan orde reaksi. Persamaan yang memberikan nilai k konstan dalam batasan-batasan variasi percobaan menunjukkan bahwa reaksi yang terjadi mengikuti orde reaksi tersebut. b. Metode grafik Dengan metode grafik data yang diperoleh dari sudi kinetika diplot dalam bentuk grafik. Jika garis lurus diperoleh dari grafik hubungan konsentrasi terhadap waktu maka reaksi yang terjadi mengikuti orde nol. Jika garis lurus diperoleh dari grafik hubungan logaritmik konsentrasi terhadap waktu maka reaksi yang terjadi mengikuti orde satu. Jika garis lurus diperoleh dari grafik hubungan 1/konsentrasi terhadap waktu maka reaksi yang terjadi mengikuti orde dua. Ct

1/Ct

log Ct

t orde nol

t orde satu

t orde dua

Gambar 1.7 Grafik orde reaksi. c. Metode waktu paruh Pada reaksi orde nol, waktu paruh sebanding dengan konsentrasi awal, ( a ). Pada reaksi orde satu, waktu paruh tidak bergantung pada konsentrasi. Pada reaksi orde dua, di mana a = b, waktu paruh sebanding dengan 1 a . Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan

16 bahwa secara umum, dengan metode waktu paruh penentuan orde reaksi didasarkan pada hubungan berikut: t1 / 2 ∞

1 a n −1

Keterangan: n adalah orde reaksi. Jika dua reaksi dilakukan pada dua konsentrasi yang berbeda, a1 dan a2, waktu paruh t1/2 (1) dan t1/2 (2) dibandingkan sebagai berikut: (a 2 ) n −1 ⎛ a 2 ⎞ = =⎜ ⎟ (a1 ) n −1 ⎜⎝ a1 ⎟⎠

t1 / 2 (1) t1 / 2 ( 2 )

n −1

atau dalam bentuk logaritmik: log

t1 / 2 (1) t1 / 2 ( 2 )

dan orde reaksi: n=

= (n − 1) log

a2 a1

log(t1 / 2 (1) t1 / 2( 2) )

+1 log(a 2 a1 ) Dengan mensubtitusikan nilai waktu paruh dan konsentrasi awal maka orde reaksi dapat ditentukan (Martin dkk., 1993).

1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Reaksi Selain konsentrasi banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi. Di antaranya yaitu: suhu, pelarut, kekuatan ion, konstanta dielektrik, pH, dan cahaya. a. Suhu Kecepatan dari banyak reaksi akan naik sekitar dua sampai tiga kali lipat pada setiap kenaikan suhu sebesar 10 0C (Martin dkk., 1993). Pengaruh suhu pada kecepatan reaksi penguraian ditunjukkan oleh Persamaan Arrhenius: k = Ae − Ea / RT

atau Ea 1 2,303 RT k = konstanta kecepatan reaksi, A = faktor frekuensi atau faktor Arrhenius, Ea = energi log k = log A −

aktivasi, R = konstanta gas, T = suhu absolut. b. Pelarut Untuk reaksi bimolekular, pengaruh pelarut terhadap kecepatan reaksi penguraian suatu obat diberikan oleh persamaan berikut: A + B ↔ (AB)* → produk

17 V (Δδ A + Δδ B − Δδ ∗) 2,303RT ko = konstanta kecepatan reaksi dalam suatu larutan sangat encer, k = konstanta kecepatan log k = log k o +

reaksi, V = volume molar, R = konstanta gas, T = suhu absolut, ∆δA, ∆δB, ∆δ* = selisih perbedaan parameter kelarutan atau tekanan dalam dari pelarut dan pereaksi A, B, dan kompleks teraktivasi (AB)* (Martin dkk., 1993). Persamaan ini menandakan bahwa jika tekanan dalam atau polaritas produk sama dengan pelarut, maka Δδ ∗ ≅ 0 dan jika tekanan dalam pereaksi tidak sama dengan pelarut, maka ∆δA dan ∆δB > 0, kecepatan reaksi akan menjadi besar dalam pelarut tersebut dibandingkan dalam larutan ideal. Sebaliknya, jika polaritas pereaksi sama dengan pelarut maka

Δδ A dan Δδ B ≅ 0 dan jika tidak sama maka ∆δ* > 0, maka (∆δA + ∆δB) - ∆δ* akan memiliki harga negatif yang besar sehingga kecepatan reaksi akan menjadi kecil di dalam pelarut tersebut (Martin dkk., 1993). c. Kekuatan Ion Pengaruh kekuatan ion terhadap kecepatan reaksi ditunjukkan oleh persamaan berikut:

log k = log k o + 1,02 z A z B

μ

ko = konstanta kecepatan reaksi pada kekuatan ion = 0. Jika log k diplot terhadap

μ

maka akan diperoleh garis lurus dengan kemiringan 1,02 ZAZB. Jika salah satu pereaksi merupakan molekul netral, zAzB = 0 maka konstanta kecepatan reaksi tidak tergantung pada kekuatan ion dalam larutan (Martin dkk., 1993). Berbagai konsentrasi garam yang digunakan dalam sediaan larutan dapat meningkatkan, menurunkan, atau tidak memperngaruhi kecepatan reaksi obat dalam larutan. Jika obat bermuatan positif dan dikatalisis oleh ion hidrogen, maka peningkatan kekuatan ion oleh penambahan garam dapat menyebabkan peningkatan kecepatan reaksi penguraian. Jika obat bermuatan netral, maka perubahan kekuatan ion oleh penambahan garam tidak mempengaruhi kecepatan penguraian (Lachman dkk., 1986). d. Konstanta Dielektrik Pengaruh konstanta dielektrik terhadap konstanta kecepatan reaksi ion ditentukan oleh persamaan berikut: ln k = ln k ε =∞ −

Nz A z B e 2 1 RTr ∗ ε

18 k ε =∞ = konstanta kecepatan reaksi dalam medium dengan konstanta dielektrik tak terhingga, N = bilangan avogadro, zA dan zB = muatan dari kedua ion, e = satuan muatan listrik, r* = jarak antar ion dari kompleks teraktivasi, dan ε = konstanta dielektrik dari larutan. Jika diplot pada grafik, menurut persamaan, molekul-molekul ion dengan muatan yang berlawanan akan menghasilkan garis lurus dengan kemiringan positif dan molekul-molekul ion dengan muatan sama akan menghasilkan garis lurus dengan kemiringan negatif. Reaksi antar ion dengan muatan berlawanan, peningkatan konstanta dielektrik pelarut akan menurunkan konstanta kecepatan reaksi. Sebaliknya, reaksi antar ion dengan muatan yang sama, peningkatan konstanta dielektrik pelarut akan menaikkan konstanta kecepatan reaksi (Martin dkk., 1993). e. pH Besarnya kecepatan reaksi hidrolitik yang dikatalisis oleh ion hidrogen dan hidroksil dapat bervariasi oleh pengaruh pH. Katalisis ion hidrogen, H+, menonjol pada kisaran pH rendah, sedangkan katalisis ion hidroksil, OH-, berlangsung pada kisaran pH tinggi (Lachman dkk, 1986). Dalam larutan asam, berlaku hubungan:

[ ]

k obs = k o + k H + H + Dalam larutan basa, berlaku hubungan:

[

]

k obs = k o + k OH − OH − Untuk obat yang reaksi penguraiannya dikatalisis oleh ion [H]+ dan ion [OH]-, berlaku hubungan:

[ ]

[

]

k obs = k o + k H + H + + k OH _ OH − kobs = konstanta kecepatan reaksi yang diperoleh dari percobaan, ko = konstanta kecepatan reaksi tanpa katalisator, k H + = koefesien katalitik H+, k OH _ = koefisien katalitik OH-, [H+] = konsentrasi H+, [OH-] = konsentrasi OH- (Martin dkk., 1993). Grafik logaritma kobs terhadap pH dapat menentukan pH stabilitas optimum. Titik belok dari grafik menunjukkan pH stabilitas optimum, ditunjukkan oleh Gambar 1.8. f. Cahaya Energi cahaya, seperti panas, dapat mengaktifkan reaksi. Radiasi dengan energi yang sesuai

19 dan energi yang cukup akan diadsorpsi untuk mengaktifkan molekul-molekul. Satuan energi radiasi dikenal sebagai foton dan ekuivalen dengan 1 kuantum energi. Setelah sebuah molekul menyerap 1 kuantum energi radiasi, maka tumbukan antar molekul terjadi menyebabkan energi kinetik naik dan suhu sistem pun naik. Reaksi fotokimia awal sering diikuti reaksi panas (Martin dkk., 1990). log kobs

pH stabilitas maksimum

pH Gambar 1.8 Grafik hubungan antara logaritma kobs terhadap pH. 1.7 Stabilitas Data stabilitas suatu obat merupakan hal penting dalam pembuatan sediaan farmasi. Sediaan farmasi umumnya diproduksi dalam jumlah besar dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai ke tangan konsumen. Jika obat tidak stabil maka potensinya akan menurun atau bahkan dapat membentuk hasil urai yang toksik dan membahayakan jiwa konsumen. Stabilitas adalah kapasitas suatu sediaan farmasi untuk mempertahankan spesifikasi yang telah ditentukan untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurniannya (Carstensen, 1990). Tujuan uji stabilitas adalah meneliti karakteristik tentang bagaimana mutu bahan atau produk berubah dengan berjalannya waktu di bawah pengaruh lingkungan seperti suhu, kelembaban, cahaya, dan oksigen; memberikan informasi mengenai kondisi pemrosesan, pengangkutan, dan penyimpanan yang harus dilakukan untuk bahan atau sediaan tersebut; dan menentukan masa uji ulang bahan obat atau produk obat. Data stabilitas bahan baku memberikan informasi tentang bentuk sediaan yang dapat dibuat, formula sediaan yang dibuat, cara/proses produksi yang harus dilakukan, cara penyimpanan bahan, bahan kemasan yang harus digunakan untuk produk jadi, dan waktu kadaluwarsa bahan baku itu sendiri. Sedangkan data stabilitas sediaan jadi memberikan

20 informasi tentang kondisi penyimpanan sediaan jadi, interval test kadar zat aktif dalam sediaan tersebut, dan waktu kadaluwarsa sediaan tersebut. 1.7.1 Uji Stabilitas Dipercepat Uji stabilitas dipercepat merupakan uji yang menggunakan kondisi penyimpanan ekstrim utnuk meningkatkan kecepatan penguraian suatu obat. Tujuan uji stabilitas adalah untuk menentukan parameter kinetik sehingga waktu kadaluwarsa dapat diprediksi (Carstensen, 1990). Kondisi ekstrim yang dapat mempercepat penguraian antara lain adalah: suhu, kelembaban, cahaya, pengocokan, gravitasi, dan pH. Kondisi ekstrim yang umum digunakan adalah suhu. Suhu yang tinggi akan mempercepat penguraian zat aktif. Kecepatan penguraian dan suhu dihubungkan oleh persamaan Arrhenius. Ea 2,303RT Jika harga k pada berbagai temperatur ditentukan kemudian log k diplot terhadap 1/T log k = log A −

maka akan diperoleh garis lurus dengan kemiringan –Ea/2,303R dan perpotongan pada ordinat merupakan log A sehingga harga Ea dan A dapat ditentukan. Oleh karena itu, jika konstansta kecepatan penguraian pada suhu tinggi diperoleh maka konstanta kecepatan penguraian pada suhu penyimpanan yang sebenarnya dapat ditentukan (Connors dkk., 1992; Martin dkk., 1993).

1.7.2

Uji Stabilitas Menurut Asean 2

Menurut ASEAN Guideline on Stability of Drug Product, kondisi penyimpanan uji secara umum dibagi menjadi 3 yaitu; kondisi penyimpanan ’real time’ (suhu kamar), kondisi penyimpanan dipercepat, kondisi penyimpanan ’alternatif to accelerate study’. Pada kondisi real time, produk uji disimpan pada suhu 30±20C/RH 75±5% dan frekuensi uji dilakukan setiap 0, 3, 6, 12, 18, sampai 24 bulan; pada kondisi penyimpanan dipercepat, produk uji disimpan pada suhu 40±20C/RH 75±5% dan frekuensi uji dilakukan setiap 0, 3, sampai 6 bulan; pada kondisi penyimpanan ’alternatif to accelerate study’, produk uji disimpan pada suhu sama seperti uji dipercepat, hanya frekuensi uji dilakukan setiap 0, 1, sampai 3 bulan. Pengujian stabilitas harus dilakukan dengan jumlah sampel uji minimal 3 (tiga) bets.

2

http://www.bpfk.gov.my-pdfworddownload-drug-stability-pdf diakses tanggal 8 Januari 2007

21 1.7.3 Stabilitas Campuran Asam Askorbat dan Sianokobalamin Sejumlah besar sianokobalamin dihilangkan oleh asam askorbat ketika dosis besar asam askorbat dikonsumsi kurang dari satu jam setelah pemberian oral sianokobalamin. Asam askorbat dapat menghilangkan sianokobalamin dalam siklus enterohepatik, di dalam serum, dan sianokobalamin cadangan dalam tubuh. Hal ini dapat memicu defisiensi sianokobalamin. Jika hal ini benar, maka konsumsi asam askorbat harus disesuaikan dengan paparan minimumnya terhadap sianokobalamin dalam saluran pencernaan (AHFS, 2005; Newmark, et al., 1976; Marcus, et al., 1980). Dalam penelitian Ichikawa (2005) dinyatakan bahwa terdapat korelasi antara penguraian asam askorbat dan sianokobalamin. Konsentrasi sianokobalamin menurun dengan adanya asam askorbat, begitu pula sebaliknya. Ichikawa menyimpulkan bahwa di dalam campurannya, oksidasi asam askorbat berinteraksi dengan penguraian sianokobalamin. Tahap pertama yang memicu kerusakan cincin korin sianokobalamin oleh asam askorbat diduga adalah reduksi atom kobalt menjadi kob(II)alamin. Kob(II)alamin yang terbentuk ditandai dengan terjadinya perubahan warna larutan dari merah menjadi coklat. Reaksi ini melibatkan hidroksilasi dan oksidasi cincin korin dan substituennya. Kombinasi sianokobalamin dalam larutan dengan L-asam askorbat menyebabkan hidroksilasi pada atom C5 dan pembentukan lakton pada C6 dan C7 pada kondisi aerob (Hogenkamp, 1980).