`BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pertumbuhan Janin Terhambat 1

oligohidramnion jika AFI kurang dari 5. Oligohidramnion adalah tanda akhir terjadinya malnutrisi janin.Pemeriksaan AFI dilakukan setiap minggu atau 2...

189 downloads 681 Views 656KB Size
6

`BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pertumbuhan Janin Terhambat 1. Definisi Pertumbuhan janin terhambat (PJT) adalah suatu keadaan yang dialami oleh janin yang mempunyai berat badan di bawah batasan tertentu dari umur kehamilannya. Secara definisi, PJT adalah janin yang berat badannya sama atau kurang dari 10 persentil yang tidak dapat mencapai pertumbuhan yang optimal karena terhambat oleh faktor maternal, fetal atau plasenta (Lausman et al., 2012). Ada klinisi yang menggunakan titik potong (cut-off point) 5 persentil, ataupun 2 Standar deviasi (SD) (kurang lebih 3 persentil). Selain melalui berat badan beberapa mendefinisikan dengan lingkar perut kurang atau sama dengan 5 persentil atau femur lenght (FL)/ abdominal circumference (AC) > 24 (Steinborn dan Varkonyi, 2007) Sulitnya mengetahui angka pasti insiden PJT karena pencatatan tentang usia gestasi yang sahih sering tidak tersedia di negara yang sedang berkembang

(Wirman

dan

Wiknjosastro,

2008).

Pada

penelitian

pendahuluan di 4 senter fetomaternal di Indonesia tahun 2004-2005 didapatkan 571 KMK dalam 14.702 persalinan atau rata-rata 4,40%. Paling sedikit di RS Dr. Soetomo Surabaya 2,08% dan paling banyak di RS Dr. Sardjito Yogyakarta 6,44% (Karkata dan Kristanto, 2012; Sumawan et al.,2013). Janin dengan PJT mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi, bahkan juga morbiditas jangka panjang. Kematian perinatal sering disebabkan oleh asfiksia saat lahir, aspirasi mekonium, perdarahan paru, 6

7

hipotermia dan hipoglikemia. Pada PJT terdapat peningkatan kematian janin empat sampai delapan kali dalam masa kehamilan dan lima kali dalam masa persalinan (Sari dan Wiknjosastro, 2008).

2. Klasifikasi Himpunan

Kedokteran

Fetomaternal

mengklasifikasikan

pertumbuhan janin terhambat menjadi (Karkata dan Kristanto, 2012): a. Pertumbuhan janin terhambat simetris: Jika ukuran badan janin secara proporsional kecil, gangguan pertumbuhan janin terjadi sebelum umur kehamilan 20 minggu, sering disebabkan oleh kelainan khromosom atau infeksi. b. Pertumbuhan janin terhambat asimetris: Jika ukuran badan janin tidak proporsional, gangguan pertumbuhan janin terjadi pada kehamilan trimester III. Keadaan ini sering disebabkan oleh isufisiensi plasenta Jika faktor yang menghambat pertumbuhan terjadi pada awal kehamilan, saat hiperplapsi (biasanya karena kelainan kromosom dan infeksi), akan menyebabkan PJT yang simetris. Jumlah sel berkurang dan secara permanen akan menghambat pertumbuhan janin dan prognosisnya jelek. Penampilan klinisnya proporsinya tampak normal karena berat dan panjangnya sama-sama terganggu, sehingga ponderal indeksnya normal. Jika faktor yang menghambat pertumbuhan terjadi pada saat kehamilan lanjut, saat hipertrofi (biasanya gangguan fungsi plasenta, misalnya preeklampsia), akan menyebabkan ukuran selnya berkurang,

8

menyebabkan PJT yang asimetris yang prognosisnya lebih baik. Lingkaran perutnya kecil, skeletal dan kepala normal, ponderal indeksnya abnormal.

3. Faktor Risiko dan Etiologi Untuk membedakan adanya PJT dengan berat bayi lahir rendah, diperlukan pengamatan yang seksama mengenai faktor risiko. Skrining terhadap PJT berdasarkan faktor risiko klinis telah secara rutin diterapkan oleh para ahli (Lausman et al., 2012). Faktor Risiko Pertumbuhan Janin Terhambat tersebut antara lain (Karkata dan Kristanto, 2012): a. Lingkungan sosio-ekonomi rendah b. Riwayat PJT dalam keluarga c. Riwayat obstetri yang buruk d. Berat badan sebelum hamil dan selama kehamilan yang rendah e. Komplikasi obstetri dalam kehamilan f. Komplikasi medik dalam kehamilan Meskipun sekitar 50% pertumbuhan janin terhambat belum diketahui penyebabnya, ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat. Etiologi PJT terdiri dari faktor maternal, fetal dan plasental: a. Faktor maternal 1) Riwayat berat badan lahir rendah atau PJT pada persalinana sebelumnya 2) Ibu yang kecil atau berat badan ibu yang rendah sebelum hamil 3) Gizi maternal buruk (< 1500 kalori / hari)

9

4) Status sosioekonomi jelek 5) Merokok, alkohol dan narkoba 6) Usia maternal ekstrim, < 16 tahun atau > 35 tahun 7) Menggunakan teknologi reproduksi 8) Partner yang berbeda 9) Teratogen: anti kejang, methotrexate, warfarin 10) Penyakit vaskuler 11) Hipoksia – hidup di ketinggian (>10.000 kaki) 12) Anemia termasuk hemoglobinopati b. Faktor fetus 1) Infeksi kongenital: CMV, sifilis, rubela, varisela, toksoplasma, tuberkulosis, HIV, malaria kongenitak 2) Aneuploidi: trisomi 13, 18, 21, triploidi 3) Microdeletions: 4p4) Sindrom genetik atau kelainan fetal 5) Diskordansi pada kehamilan ganda c. Faktor plasenta 1) Insufisiensi vaskuler plasenta 2) Separasi korionik (abrupsio, hematoma) 3) Infark villi 4) Regresi korion 5) Malformasi uterus mayor 6) Placental mosaicism (Lausman et al., 2012; Suhag dan Berghella, 2013).

10

4. Patofisiologi Pada sebagian besar kasus, PJT disebabkan oleh insufisensi plasenta, meskipun

beberapa

kondisi

seperti

kelainan

kongenital,

infeksi,

penyalahgunaan obat dan bahan kimiawi juga dapat menyebabkan kondisi tersebut (Figueras dan Gardosi, 2011). Insufisiensi plasenta sering dihubungkan dengan adanya suatu kondisi dimana terjadi gangguan toleransi sistem imun maternal pada materno-feto interface yang berakibat pada gangguan invasi tofoblas ke desidua pada saat proses plasentasi sehingga terjadi gangguan invasi plasenta yang akan menyebabkan perfusi uteroplasenta yang buruk. Invasi trofoblas yang tidak adekuat akan meyebabkan

terjadinya

komplikasi-komplikasi

kehamilan

seperti

preeklampsia, PJT, Abortus berulang, solutio plasenta sedangkan proses invasi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya plasenta akreta, perkreta,

inkreta,

penyakit

trofoblas

gestasional,

choriocarcinoma

(Eastabrook, 2008).

Gambar 1. Diagram Perubahan Aliran Arteri Spiralis Maternal pada Ruang Inter Villi pada Kehamilan Normal dan PJT (Kingdom et al., 2012)

11

Salah satu faktor penyebab terjadinya pertumbuhan janin terhambat adalah produksi berlebihan dari sitokin proinflamasi. Didapatkan bahwa ekspresi sitokin proinflamasi tumor necrosis factor α (TNF-α) dan interferon-γ (IFN-γ) meningkat secara signifikan pada wanita hamil dengan PJT dibandingkan dengan hamil normal. TNFα, salah satu sitokin proinflamasi tersebut, menghambat penyerapan asam amino oleh fetus sehingga menyebabkan terjadinya hipoksia intra uterin. Mekanisme TNFα dalam menghambat perkembangan janin adalah dengan cara apoptosis sel trofoblas dan mengakibatkan terjadinya disfungsi plasenta (Raghupathy, 2012). Salah satu yang berperan dalam proses toleransi imun maternal pada materno-feto interface adalah suatu antigen yang dikenal dengan HLA-E yang diduga memegang peranan penting pada proses implantasi dalam proses embryogenesis, diketahui mempunyai peranan dalam mengontrol invasi sel trofoblas dan mempertahankan kondisi imunotoleransi lokal (Eastabrook, 2008)

5. Penegakan Diagnosis Kecurigaan adanya suatu PJT jika didapatkan satu atau lebih dari beberapa tanda berikut, yaitu: Tinggi fundus uteri (TFU) lebih dari atau sama dengan 3 cm lebih dibawah normal, pertambahan berat badan kurang dari 5 kg pada usia kehamilan (UK) 24 minggu atau kurang dari 8 kg pada usia kehamilan 32 minggu (untuk ibu dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) < 30), estimasi berat badan < 10 persentil, dari pemeriksaan ultrasonografi

12

HC/AC > 1, AFI kurang dari atau sama dengan 5 cm, sebelum UK 34 minggu plasenta grade 3 dan ibu merasa gerakan janin berkurang (Figueras dan Gardosi, 2011). Diagnosis baru dapat ditegakkan bila usia kehamilan telah mencapai 28 minggu ke atas. Pertumbuhan janin dinyatakan terhambat bila secara klinis dan ultrasonografi (USG) didapatkan taksiran berat sama atau kurang dari 10 persentil (Ada yang menggunakan titik potong 5 persentil, ada pula yang menggunakan 2 SD /kira-kira 3 persentil ) dan lingkar perut (AC) yang sama atau kurang dari 5 persentil atau FL/AC > 24 atau biometri tidak berkembang setelah 2 minggu (Karkata dan Kristanto, 2012) Untuk menegakkan diagnosa diperlukan analisa yang matang dari anamnesis hingga pemeriksaan fisik dan penunjang yang matang. (Figueras dan Gardosi, 2011; Lausman et al., 2012 ) a. Riwayat medis dan obstetrik. Riwayat medis diperlukan untuk mengiindentifikasi faktor risiko PJT. Riwayat obstetrik penting karena bila kehamilan sebelumnya PJT, maka memiliki risiko lebih tinggi untuk terulang kembali pada kehamilan berikutnya. b. Berat badan. Penambahan berat badan ibu merupakan indeks yang tidak sensitif untuk membedakan PJT dengan bayi kecil tetapi sehat. c. Mengukur tinggi fundus uteri (TFU): terbatas akurasinya untuk mendeteksi janin Kecil Masa kehamilan (KMK), sensitivitas 56-86%, spesifitas 80-93%. Kekeliruan hasil pengukuran juga bisa terjadi pada kehamilan ganda, hidramnion, letak lintang, turunnya kepala dalam jalan

13

lahir, hamil dengan mioma uteri, obesitas, di samping kurang tepat meletakkan pita. d. Diameter Biparietal (BPD). Metode ini menunjukkan 2 pola yang nyata pada gangguan pertumbuhan janin. Slow growth profile dimana pertumbuhan BPD selalu di bawah 10 persentil dari usia kehamilan. Sedangkan late flattening profile yaitu pertumbuhan BPD yang normal selama dua trimester pertama diikuti berhentinya pertumbuhan selama trimester terakhir. Sensitifitas dan spesifisitas pengukuran BPD serial terlalu rendah sebagai metode primer untuk mengevaluasi janin kecil karena kepala adalah organ terakhir yang terpengaruh oleh malnutrisi janin. e. Estimasi berat janin ( Estimated Fetal Weight /EFW) dan Abdominal Circumference

(AC).

Tingkat

pertumbuhan

lingkar

perut

tidak

terpengaruh usia gestasi. Bila tingkat pertumbuhan < 1 cm dalam 2 minggu menunjukkan PJT. AC mempunyai nilai prediksi negatif 99%. Pada KRT AC<10 persentil untuk memprediksi luaran perinatal yang jelek f. Rasio lingkar kepala dan perut (H/A ratio). Membandingkan organ yang paling akhir dipengaruhi malnutrisi janin, yaitu otak, dengan yang paling mudah terpengaruh, yaitu hati, dan memiliki nilai yang signifikan dalam mengidentifikasi bayi PJT asimetris. AC diukur setinggi bifurkasio vena hepatika pada pusat hati janin. Lingkar kepala diukur setinggi thalamus. Keuntungan menggunakan lingkar kepala daripada BPD adalah efek molding diminimalkan.

14

g. Rasio Femur-abdomen (F/A ratio). Membandingkan panjang femur (FL) yang minimal dipengaruhi gangguan pertumbuhan janin, dengan lingkar perut (AC) yang sangat dipengaruhi oleh gangguan pertumbuhan janin. FL cukup mudah diukur dan tidak terpengaruh molding atau presentasi atau letak janin yang tidak normal. Rasio F/A tetap konstan setelah kehamilan 20 minggu. Nilai normalnya adalah 22 + 2. Bila kelainan rasio F/A cukup tinggi, harus dicurigai kuat adanya malnutrisi janin. Jika rasio F/A normal, janin mungkin kecil dan sehat atau menderita PJT simetri tetapi tidak mengalami malnutrisi berat. h. Indeks Timbangan bayi (Fetal Ponderal Index / PI). PI diukur dengan membagi perkiraan berat janin dengan 3 kali panjang femur. Nilai normalnya adalah 8.325 + 2.5 (2 SD). PI tidak terpengaruh usia gestasi dan memiliki nilai konstan pada pertengahan akhir kehamilan. i. Volume air ketuban (AFV) dengan menentukan indeks cairan amnion (Amniotic Fluid Index / AFI), yaitu dengan teknik 4 kuadran. Disebut oligohidramnion jika AFI kurang dari 5. Oligohidramnion adalah tanda akhir terjadinya malnutrisi janin.Pemeriksaan

AFI dilakukan setiap

minggu atau 2 kali seminggu tergantung berat ringannya PJT. j. Analisa Doppler (Doppler Velocimetry). Gelombang Doppler digunakan untuk melihat hambatan aliran darah ke janin yaitu kelainan vaskuler plasenta, yang dapat dinilai antara lain arteri serebri media (ASM/MCA), rasio serebroplasenta (RSP) / Cerebroplacental ratio (CPR), vena umbilikalis (VU), dan duktus venosus (DV) Arantii. (Figueras dan Gardosi, 2011; Lausman et al., 2012 )

15

6. Penatalaksanaan Bila janin sudah didiagnosis mengalami PJT, maka harus disiapkan pengawasan perinatal janin dan waktu terminasi yang optimal. Pengawasan ante partum yang diperlukan antara lain: (Karkata dan Kristanto, 2012) a. Non Stress Test (NST). Merupakan tes terpenting, karena menentukan apakah keadaan janin berbahaya atau tidak. Penurunan variabilitas denyut jantung janin, hilangnya reaktivitas, kurangnya akselerasi, dan timbulnya deselerasi variabel, merupakan tanda-tanda lemahnya pertahanan janin dan terminasi perlu segera dilakukan. NST dilakukan antara seminggu sekali sampai tiap hari tergantung keadaan klinisnya. Indikasi NST tiap hari adalah PJT berat dengan rasio S/D > 6. b. Contraction Stress Test (CST) dan Biophisic Score (BPS) / Biophysical profile (BPP), dapat digunakan pada NST abnormal. Bila hasilnya fetal compromise maka harus terminasi segera. Pada keadaan dimana tidak terdapat tes-tes pelengkap ini, maka NST

cukup untuk memutuskan

terminasi kehamilan segera. c. Volume cairan amnion, penting untuk mengetahui perkembangan janin PJT. Sebaiknya dilakukan tiap minggu dan frekuensi NST ditingkatkan bila terjadi penurunan jumlah cairan amnion. Kriteria USG terpenting yang menunjukkan fetal compromise adalah oligohidramnion. d. Amniosentesis, pada janin PJT sebaiknya dilakukan tiap minggu mulai usia kehamilan 36 minggu dan kehamilan segera diakhiri jika paru-paru telah matur.

16

e. Cordosentesis. Sampel darah korda umbilikalis jarang diindikasikan untuk PJT. Terutama adalah kecurigaan defek kromosom sehingga diperlukan penentuan kariotipe janin. Ada pula yang menyarankan pemeriksaan ini untuk mengetahui tingkat hipoksia dan asidosis janin. Nicolini dkk justru menemukan bahwa sampling korda umbilikalis berbahaya bagi janin PJT, karena sering mengalami bradikardi yang lama dan berat saat prosedur ini. Manajemen

persalinan

merupakan

bagian

penting

dalam

penatalaksanaan janin PJT. Hal ini disebabkan karena selain defek kongenital, asfiksia intra partum merupakan penyebab utama morbiditas perinatal janin PJT. Pada kasus PJT harus segera dilakukan terminasi kehamilan bila ditemukan ( Karkata dan Kristanto, 2012) : a. Rasio FL/AC biometri ≥ 26, janin termasuk PJT berat. b. Doppler velocimetri arteri atau vena umbilikalis (PI ≥ 1,8) yang disertai AEDF/REDF c. AFI ≤ 4 d. BPS memburuk e. KTG : deselerasi lambat f. Tambahan : Doppler a.uterina, MCA,DV Dilakukan terminasi mutlak bila : a,b, dan c terpenuhi. Menurut Karkata dan Kristanto, 2012, penatalaksanaan kasus PJT juga berdasarkan usia kehamilan, yaitu:

17

a. ≥ 37 minggu : terminasi kehamilan dengan seksio sesaria atau pervaginam bila Bishop score ≥ 5. b. 32-36 minggu : konservatif selama 10 hari dapat berlangsung lebih dari 50% kasus PJT terutama preeklampsia. c. < 32 minggu : perawatan konservatif tidak menjanjikan, sebagian besar kasus berakhir dengan terminasi. Bila pertumbuhan janin masih berlangsung, terminasi pada kehamilan 38 minggu. Namun, bila pertumbuhan janin tidak ada dan maturitas paru cukup (biasanya pada kehamilan 35 minggu) dilakukan terminasi dengan cara : a. Janin reaktif : Induksi persalinan didahului dengan pematangan serviks b. Janin non reaktif atau terdapat gejala gawat janin : seksio sesarea c. Jika terdapat oligohidramnion berat disarankan untuk perabdominan. Bila surveillance janin abnormal pada usia kehamilan kurang dari 38 minggu maka harus diperiksa rasio lecitin/spingomielin air ketuban. Bila paru janin telah matang (L/S ≥ 2) maka dilakukan terminasi kehamilan apabila : 1) uji beban kontraksi positif, 2) oligohidramnion, 3) BPD tidak bertambah lagi (risiko tinggi disfungsi otak janin).

B. Human Leukocyte Antigen (HLA) HLA tergolong dalam molekul yang berperanan dalam kompatibilitas organ dan disebut Major Histocompatibility Complex atau MHC. Dalam berbagai referensi, istilah HLA dan MHC digunakan secara interchangeably. Kompleks gen HLA terletak di kromosom 6 rantai pendek pada lokasi p21. Kompleks gen

18

HLA terbagi menjadi tiga kelas yaitu kelas I, kelas II, dan kelas III. Gen yang menyandi molekul HLA adalah gen HLA kelas I dan kelas II. Gen HLA kelas I terbagi dalam lokus –A, -B, -C, -E, -F, dan -G atau disebut gen HLA-A, HLA-B, HLA-C, HLA-E, HLA-F, dan HLA-G.

Gambar 2. Peta gen dari regio human leukocyte antigen (HLA) (Marsh et al., 2010)

Gen HLA-A, -B, -C disebut juga classical HLA class I genes, dan gen HLAE, -F, -G disebut juga nonclassical HLA class I genes. Gen HLA kelas II, ditunjukkan dengan pemakaian huruf D atau HLA-D. Gen HLA kelas II terbagi dalam lokus –P, -Q, -R, -M, dan O atau disebut gen HLA-DP, HLA-DQ, HLADR, HLA-DM, dan HLA-DO. Gen HLA-DP, -DQ, -DR disebut sebagai classical HLA class II genes, dan HLA-DM, HLA-DO disebut sebagai nonclassical HLA class II genes. Gen HLA kelas I menyandi molekul HLA kelas I. Molekul HLA kelas I tersusun atas 2 rantai yaitu rantai α dan rantai β. Gen HLA kelas I hanya menyandi rantai α, sedangkan rantai β disandi oleh gen β2-mikroglobulin (β2-microglobulin gene) yang terletak di kromosom 15. Molekul HLA kelas I terbagi menjadi lima domain yaitu peptide binding domains (α1 dan α2), immunoglobulin-like domain (α3), transmembrane region

19

dan cytoplasmic tail. Molekul HLA-A, -B, dan C disebut juga HLA class Ia molecules, dan molekul HLA-E, -F, dan –G disebut juga HLA class Ib molecules. Gen HLA kelas II menyandi molekul HLA kelas II. Berbeda dengan HLA kelas I, molekul HLA kelas II semuanya disandi oleh gen HLA kelas II. Molekul HLA kelas II terbagi menjadi empat domain yaitu: peptide-binding domain (α1 dan α2), immunoglobulin like domain (β1 dan β2), transmembrane region, dan cytoplasmic tail. Domain α1 dan α2 pada HLA kelas I dan domain α1dan β1 pada HLA kelas II membentuk peptide-binding region atau peptidebinding groove. Molekul HLA kelas I diekspresikan oleh hampir semua sel somatik, meskipun kadar ekspresinya tergantung pada fungsi jaringan. Molekul HLA kelas II diekspresikan oleh subgrup dari sel imun antara lain sel B, sel T yang teraktivasi, makrofag, sel dendritik, dan sel epitel kelenjar timus. Beberapa sel lain, dengan adanya interferon-γ, dapat mengekspresikan pula molekul HLA kelas II. Sel yang mengekspresikan molekul HLA kelas I dan II merupakan Antigen Presenting Cells (APC), karena fungsi molekul HLA adalah mempresentasikan antigen asing ke limfosit T melalui peptide binding groovenya. Dengan adanya presentasi ini timbul respon imun humoral atau respon imun selular selanjutnya (Shiina et al., 2009).

C. Human Leukocyte Antigen – E (HLA-E) Molekul HLA-E diproduksi oleh gen HLA-E di kompleks gen HLA kelas I. Molekul HLA-E diekspresikan oleh sitotrofoblas yang melakukan invasi ke sisi maternal (extravillous cytotrophoblast), cytokine activated monocytes, sel kelenjar thymus, dan beberapa seltumor. Molekul HLA-E didapatkan dalam

20

cairan amnion dan pada bagian supernatan media kultur embrio. Ekspresi HLAE pada extravillous trophoblast dan bukan pada villous trophoblast atau cytotrophoblast menimbulkan pemikiran bahwa HLA-E mempunyai peranan tertentu dalam kehamilan atau toleransi maternal selama kehamilan (Lin et al., 2007).

Gambar 3. Mekanisme Imunitas Kehamilan (Tripathi et al., 2007)

Peranan pasti dari HLA-E dalam suatu kehamilan belum diketahui sampai saat ini. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa HLA-E merupakan suatu inhibitor dari sel NK pada feto maternal interface, tempat terjadi kontak langsung dengan sistem imun maternal. Selain itu ko-ekspresi dari HLA-E diperlukan dalam melakukan inhibisi sel NK pada uterus. (Nieuwnhoven et al., 2003) Interaksi imunitas maternal dan fetal terjadi di dua tempat, yaitu respon imunitas sistemik antara sel imun maternal - syncytiotrophoblast dan respon

21

imunitas lokal antara sel imun desidual - sel trofoblas ekstravilus. Sel trofoblas ekstravilus akan memasuki desidua maternal dan arteri spiralis untuk kemudian memicu terjadinya remodelling sehingga aliran darah ke fetus meningkat bersamaan dengan bertambahnya usia kehamilan. HLA-E yang merupakan molekul HLA kelas Ib memberikan pertahanan terhadap sel trofoblas tersebut dari proses lisis oleh sel NK. Pada trimester pertama kehamilan, ekspresi HLAE meskipun masih lemah, dapat ditemukan pada trofoblas ekstravilus

dan

terkadang pada permukaan sel. Saat kehamilan memasuki trimester kedua dan seterusnya, ekspresi HLA-E tersebut akan meningkat secara bertahap dan mengalami translokasi di permukaan sel (Djurisic dan Hviid, 2014).

Gambar 4. Feto maternal interface (Djurisic dan Hviid, 2014). HLA-E membantu fetus untuk menghindari reaksi dari sistem imunitas maternal dengan cara melakukan interaksi dengan reseptor penghambat CD94/NKG2A sel NK. Dibandingkan dengan HLA-G, ekspresi HLA-E tidak

22

hanya terbatas pada permukaan fetal-maternal, namun juga mencapai jaringan yang luas termasuk sel T, sel B, limfosit T yang teraktivasi dan sel lainnya. Antigen HLA-E teridentifikasi sebagai ligan dari imunoglobulin sel reseptor sel NK, dan interaksinya dengan KIR pada sel NK dapat menghambat aktivitas sel NK. HLA-E bereaksi dengan CD94/NKG2A yang mengakibatkan terjadinya pengambilan phosphatase SHP-1 dari NKG2A sehingga terjadi penghambatan pada sel NK. Aktifitas immunomodulasi tersebut sangat berguna dalam proses kehamilan karena lebih dari 90% dari limfosit CD56+ pada desidua terdiri dari CD94/NKG2 + sel NK (Borrego et al., 2006; Mallia et al., 2012)

D. Sel Natural Killer (NK) Sel NK merupakan jenis limfosit yang berperan dalam sistem imunitas sebagai lini pertahanan pertama dan mempunyai fungsi yang sanagat penting dalam imunologi reproduksi. Sel NK merupakan limfosit granular besar (LGL) dan banyak ditemukan pada uterus wanita hamil. Pengetahuan mengenai fungsi sel NK pada uterus sampai saat ini masih terbatas. Jumlah sel NK yang sangat banyak pada saat awal kehamilan menunjukkan bahwa sel tersebut memiliki peranan yang penting dalam kehamilan seperti pertahanan terhadap infeksi dan juga dalam pengaturan sistem imunitas maternal yang dapat memperngaruhi implantasi dan plasentasi (Rodrigues et al., 2013).

23

Gambar 5. Sel NK dan Reseptornya (Moffett dan Colucci, 2014) Secara fenotip, terdapat ekspresi reseptor CD 56 dan CD 16 pada permukaannya. Berdasarkan konsentrasi antigen CD56, sel NK dibagi menjadi dua subpopulasi, yaitu CD56dim dan CD56bright. Sel NK yang memiliki tingkat ekspresi CD56 yang tinggi disebut dengan CD56bright, sedangkan jenis lain disebut dengan sel CD56dim, sel yang terakhir disebutkan menyusun sebagian besar sel NK pada darah perifer. Sel CD56dim berhubungan dengan aktivitas sitotoksitas yang tinggi sedangkan sel CD56bright mensekresikan sitokin pada tingkat yang lebih tinggi. Sel NK pada mukosa uterus berbeda dari sel yang ditemukan pada bagian tubuh lain karena pada uterus sel NK lebih banyak

24

mengandung sel CD56bright. Sel NK pada mukosa uterus memiliki tingkat sitotoksitas yang rendah, namun dapat mensekresikan sitokin yang berbeda, kemokin dan faktor pertumbuhan (Rodrigues et al dan Wallace et al., 2013). Sel NK memproduksi beberapa sitokin yang berperan dalam plasentasi, antara lain Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF), granulocytemacrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), macrophage colonystimulating factor (M-CSF) dan leukaemia inhibitory factor (LIF) yang membantu dalam stimulasi implantasi plasenta dan pertumbuhan trofoblas (Nieuwenhoven et al., 2003). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sel NK menghasilkan sitokin tipe I seperti (TNF-α) dan (IFN-γ) yang memberikan efek negatif pada implantasi dan invasi trofoblas. TNF-α

memberikan stimulasi apopotosis terhadap sel

trofoblas dan IFN-γ meningkatkan kemampuan sel sitokin tersebut. TNF-α dan IFN-γ juga dapat menghambat perkembangan fetus dengan cara mengaktivasi prorombinase sehingga dihasilkan trombin. Aktivasi trombin mengakibatkan terjadinya pembekuan darah dan pembentukan interleukin-8 yang akan menyebabkan sel endotelial untuk menghentikan aliran darah ke plasenta yang sedang berkembang (Nieuwenhoven et al., 2003; Raghupathy et al., 2012). Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa sel NK desidua memiliki fungsi yang khusus, sebagai contoh pola ekspresi gen yang cukup berbeda pada sel NK desidua dari sel NK perifer (Tabiasco et al., 2006).

Beberapa penelitian

mengenai sel NK desidua fokus pada interaksi dengan molekul HLA, karena sel NK desidua mengalami kontak dengan sel trofoblas ekstravili yang mengekspresikan HLA-C, HLA-G, HLA-E dan HLA-F (Djurisic dan Hviid.

25

2014). Pada umumnya ekspresi reseptor yang berbeda pada sel NK desidua bervariasi antar individu.

E. Human Leukocyte Antigen – E (HLA-E) pada Pertumbuhan Janin Terhambat Pada plasenta bayi PJT ditemukan patologi berupa perubahan struktural vaskular uteroplasenta meliputi penyempitan arteri spiralis akibat penebalan tunika intima, degenerasi fibrinoid dan lesi mikrovaskular plasenta (Wirman dan Wiknjosastro, 2008). HLA-E secara spesifik berinteraksi dengan CD94/NKG2A mengakibatkan

terjadinya

ikatan

antara

phosphatase

SHP-1

dengan

phosphorylated tyrosine pada NKG2A sehingga terjadi inhibisi terhadap sel NK. Proses imunoregulasi tersebut telah dikonfirmasi terjadi pada 721211 sel yang mengekspresikan HLA-E meskipun tidak memiliki HLA-A, -B, -C dan –G. Aktifitas imunomodulasi HLA-E tersebut sangat bermanfaat pada keberhasilan kehamilan karena lebih dari 90% limfosit CD 56+ pada desidua terkonstitusi oleh CD94/NKG2+ pada sel NK. Aktifitas regulasi tersebut menunjukkan peranan molekul HLA-E dalam melindungi janin dari sistem imun maternal pada kehamilan normal sekaligus mencegah terjadinya pertumbuhan janin terhambat (Tripathi et al., 2007).

26

F. Kerangka Konsep Maternal

Paternal

Konsepsi

Faktor risiko (+)

Faktor risiko (-)

HLA-E rendah

HLA-E normal CD94/NKG2A

Sel NK tinggi

Sel NK normal

TNF-α TGFβ IFN-γ

TNF-α normal TGFβ normal IFN-γ normal

Plasentasi terganggu

Plasentasi normal

Pertumbuhan janin terhambat

Kehamilan normal

= dilakukan penelitian

Selama kehamilan, sistem imun ibu selalu mengadakan kontak langsung dengan sel dan jaringan janin yang bersifat semi alogenik. Gen HLA-E merupakan

27

versi dari gen major histocompatibility complex (MHC) yang diekspresikan pada manusia, yang bertanggung jawab terhadap pengenalan limfosit, antigen dan pengaturan system imun. Kemampuan trofoblas untuk melakukan invasi ke uterus akan berkurang dan dihalangi untuk menginvasi uterus akan berkurang jika ekspresi HLA-E menurun karena dianggap sebagai non self. Pada saat yang sama sel NK maternal akan menghancurkan trofoblas yang kekurangan HLA-E ini. Tanpa invasi trofoblas yang tepat maka arteri maternal tidak akan dibentuk ulang sehingga aliran uteroplasenter menurun dan terjadi hipoksia/iskhemi plasenta yang menyebabkan pertumbuhan janin terhambat. Keadaan tersebut mendukung beberapa hipotesis bahwa pertumbuhan janin terhambat disebabkan oleh abnormalitas pengenalan imun lokal antara ibu dan janin pada uteroplasenta. Pada awal kehamilan terdapat peningkatan jumlah leukosit dalam sel desidua termasuk sel Natural Killer (NK) dan sitokin. Sel NK uterus yang diisolasi pada trimester pertama desidua mensekresikan sitokin yang bersifat embriotoksik antara lain TNF-α., TGFβ dan IFN-γ. Pada kehamilan normal, HLA-E berikatan dengan sel NK melalui reseptor CD94/NKG2A ikut serta mempengaruhi pembentukan trofoblas, implantasi plasenta, remodeling vaskuler, perkembangan janin dan mempertahankan kehamilan dengan cara mencegah terjadinya ekspresi yang berlebihan dari sitokin embriotoksik yang dihasilkan oleh sel NK. Ekspresi HLA-E yang rendah pada suatu kehamilan akan meningkatkan ekspresi sitokin tersebut sehingga mengakibatkan terhambatnya proses remodeling dan invasi tropoblas sehingga akan dihasilkan penyempitan dan invasi yang dangkal dan rapuh dari arteri spiralis hal ini merupakan salah satu teori imun yang dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat.

28

G. Hipotesis Penelitian 1. Ada perbedaan ekspresi HLA-E di trofoblas antara kehamilan normal dan pertumbuhan janin terhambat. Ekspresi HLA-E di trofoblas pertumbuhan janin terhambat lebih rendah dibandingkan dengan kehamilan normal. 2. Ada perbedaan ekspresi sel NK di trofoblas antara kehamilan normal dan pertumbuhan janin terhambat. Ekspresi sel NK di trofoblas pertumbuhan janin terhambat lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan normal.