BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Negara Hukum 1.
Pengertian Negara Hukum Perspektif historis, embrio tentang gagasan negara hukum telah
dikemukakan oleh Plato, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang di buat di usia tuanya. Sementara itu, dalam dua tulisan pertama, politeia dan politicos, belum muncul istilah negara hukum. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik.14 Pemikiran Plato tentang Negara Hukum tersebut adalah untuk mencegah kekuasaan sewenang-wenang oleh penguasa negara dan untuk melindungi hakhak rakyat dari tindakan pemerintahan yang tidak adil dan kesewenangwenangan yang membuat penderitaan bagi rakyat. Gagasaan Plato tentang negara hukum semakin tegas ketika di dukung oleh Aristoteles (murid Plato), yang menuliskannya dalam buku Politica. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik adalah negara yang di perintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013, Hal. 24 14
19
20
Ada tiga unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu sebagai berikut: a. Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; b. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan padda ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenangwenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; c. Pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-paksaan, tekanan yang dilaksanakan pemerintah despotik (satu penguasa); Konsep Rechtsstaat di Jerman dari Freidrich Julius Stahl, yang diilhami oleh Immanuel Kant berkembang di negara-negara civil law system dan dari Albert Venn Dicey dengan konsep rule of law yang berkembang di negaranegara penganut common law/anglo saxon. Menurut Philipus M. Hadjon,15 bahwa kemunculan negara dalam konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “Modern Roman Law”, sedangkan konsep rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut “common law”. Negara hukum dalam perkembangannya senantiasa dipautkan dengan konstitusi negara, terutama dalam hal pengaturan dan penegasan tentang pembatasan kekuasaan negara untuk menjamin kemerdekaan dan hak-hak dasar warga negara dan perlindungannya. Esensi dari negara berkonstitusi adalah
Philipus M. Hadjo, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya 1987, Hal. 76-82. 15
21
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Atas dasar itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara merupakan (kemutlakan) conditio sine quanon. Menurut Sri Soemantri,
16
tidak ada satu negarapun di dunia ini yang tidak
mempunyai Konstitusi atau undang-undang dasar, Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan demikian dalam batas-batas minimal, negara hukum identik dengan negara yang berkonstitusional atau negara yang menjadikan konstitusi sebagai aturan main kehidupan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan. Budiono Kusumohamidjojo,
17
berpendapat lalu mengemukakan bahwa
pada babak sejarah sekarang, sukar untuk membayangkan negara tidak sebagai negara hukum. Setiap negara yang tidak mau dkucilkan dari pergaulan masyarakat internasional menjelang abad XXI paling sedikit secara formal akan memaklumkan dirinya sebagai negara hukum. Hukum juga menjadi aturan permainan untuk menyelesaikan segala macam perselisihan, termasuk juga perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik. Dengan demikian, hukum tidak mengabdi kepada kepentingan politik sektarian dan primordial, melainkan kepada cita-cita dalam kerangka kenegaraan. Menurut Bothling, negara hukum adalah
18
“de staat, waarin de
wilsvriheid van gezagdragers is beperket door grnezen van recht” (negara, dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan dibatasi oleh ketentuan
16 Soemantri Sri. M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bulan Bintang, Bandung, 1992, Hal. 3. 17 Kusumohamidjojo Budiono, Filsafat Hukum: Problemtika Ketertiban yang Adil, Grasindo Jakarta, 2004, Hal. 147. 18 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, Hal.18
22
hukum). Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam rangka merealisasi pembatasan pemegang kekuasaan tersebut, maka diwujudakan dengan cara, “Enerzids in een binding van rechter en administratie aan de wet, anderjizds in een begrenzing van de bevoegdheden van wetgever”, (disatu sisi keterikatan hakim dan pemerintah terhadap undang-undang, dan di sisi lain pembatasan kewenangan oleh pembuat undang-undang). 2.
Prinsip-Prinsip Negara Hukum 19
Prof. Bagir Manan, mengatakan bahwa konsep negara hukum sangat
terkait dengan sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Dalam literatur lama pada dasarnya sistem hukum di dunia ini dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu sistem hukum Eropa Kontinental dan sistem hukum Anglo-Saxon. Menurut Thahir Azhary,
20
dalam kepustakaan ditemukan lima
macam konsep negara hukum yaitu: i.
Nomokrasi Islam adalah konsep negara hukum yang pada umumnya diterapkan di negara-negara Islam.
ii.
Rechtsstaat, adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara Eropa Kontinental, antara lain misalnya: Belanda, Jerman, Prancis.
iii.
Rule of Law, adalah knsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara Anglo-Saxon, seperti: Inggris, USA.
iv.
Sosialist Legality adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negaranegara komunis.
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013, Hal. 32 20 Azhary, M. Tahir, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, Hal. 63. 19
23
v.
Konsep Negara Hukum Pancasila adalah konsep negara hukum yang diterapkan di Indonesia.
3.
Unsur-Unsur Negara Hukum Menurut
Ridwan.
HR,
Konsepsi
Negara
Hukum
dalam
pengembangannya telah mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat diantaranya: i.
Sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
ii.
Bahwa pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
iii.
Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
iv.
Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
v.
Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif;
vi.
Adanya peran nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;
vii.
Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara. a. Supremasi Hukum Adanya pengakuan normatif dan empiris akan prinsip supremasi hukum,
yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman teertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada
24
hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. b. Persamaan dalam Hukum Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empiris. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan deskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang di namakan affirmative actions guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. c. Asas Legalitas Dalam setiap negara hukum dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus di dasarkan atas peraturan perundang-undanganyang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis. Peraturan perundangundangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebihh dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian setiap perbuatan administrasi harus didasarkan atas aturan atau rules and procedures (regels)
.
25
d. Pembatasan Kekuasaan Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecendrungan untuk berkembang menjadi sewenangwenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu kekuasaan harus selalu dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. e. Organ-organ Eksekutif yang Independen Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di era sekarang berkembang pula tentang pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat independent, seperti bank sentral, organisasi tentara, kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum, Lembaga Ombudsman, Komisi Penyiaran, dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi tersebut, sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen, sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seseorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya.
26
f. Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak Adanya Peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Ini mutlak harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam menjalankan fungsi yudisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Hakim tidak hanya bertindak sebagai corong undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga mulut keadilan yang mensuarakan perasaan hukum dan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. g. Peradilan Tata Usaha Negara Meskipun Peradilan Tata Usaha Negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. h. Peradilan Tata Negara Disamping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, negara
27
hukum modern lazim juga mengadopsikan gagasan pembentukan mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Pentingnya mahkamah konstitusi (constitutional courts), adalah dalam upaya untuk memperkuat system checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja di pisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Misalnya Mahkamah ini di beri fungsi untuk melakukan pengujian atas konstitusionalitas undang-undang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antarlembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan. i. Perlindungan Hak Asasi Manusia Adanya perlindungan konstitusional terahadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya telah menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karenanya, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara yang disebut sebagai negara hukum. Jika dalam suatu negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara
28
adil, maka negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya. j. Bersifat Demokratis Dianut dan dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip demokrasi. Oleh karena hukum memang bukan hanya dimaksudkan untuk menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa terkecuali. k. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum (nomocracy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. l. Transparansi dan Kontrol Sosial Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara
29
komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. 4.
Konsep Negara Hukum Indonesia Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 disebutkan bahwa :
“Negara Indonesia adalah negara hukum.” Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai satu-satunya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (supremacy of law). Sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum, tercantum dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 sebelum perubahan. Selain itu pernyataan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum juga dapat dilihat dalam penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan21. Dalam penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan dinyatakan ada tujuh kunci pokok sistem pemerintahan Negara Indonesia. Jelas bahwa cita-cita Negara hukum (rule of law) yang tekandung dalam UUD 1945 bukanlah sekedar Negara yang berlandaskan sembarang hukum. Hukum yang didambakan bukalah hukum yang ditetapkan semata-mata atas dasar kekeuasaan, yang dapat menuju atau mencerminkan kekuasaan mutlak atau otoriter. Hukum yang demikian bukanlah hukum yang adil (just law), yang didasarkan pada keadilan
Marjanne Termorshuizen, The Consept Rule of Law, dalam “JENTERA Jurnal Hukum”, Edisi 3 tahun II, Jakarta, 2004, Hal. 78 21
30
bagi rakyat. Konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi rechtmatigheid22. Dengan demikian
rechtsstaat
memiliki inti upaya memberikan
perlindungan pada hak-hak kebebasan sipil dari warga negara, berkenaan dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar yang sekarang lebih populer dengan HAM, yang konsekuensi logisnya harus diadakan pemisahan atau pembagian kekuasaan di dalam negara. Sebab dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan di dalam negara, pelanggaran dapat dicegah atau paling tidak dapat diminimalkan. Di samping itu, konsep rechtsstaat menginginkan adanya perlindungan bagi hak asasi manusia melalui pelembagaan peradilan yang independen. Pada konsep rechtsstaat terdapat lembaga peradilan administrasi yang merupakan lingkungan peradilan yang berdiri sendiri.
B. Tinjauan Kebebasan Beragama dalam UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Indonesia sebagai negara yang mengakui dan sedang terus berusaha menghormati dan melindungi hak asasi warga negaranya terus melakukan diseminasi23 dan meng-HAM-kan setiap sektor kehidupan bermasyarakat. Melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
22 Soedjati Djiwantono, Setengah Abad Negara Pancasila, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, 1955, Hal. 11 23 Diseminasi adalah suatu kegiatan yang ditujukan kepada kelompok target atau individu agar mereka memperoleh informasi, timbul kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan informasi tersebut.
31
Kependudukan, kelompok minoritas di atas dapat tetap dilayani dan dicatat dalam database administrasi kependudukan. Berdasarkan Pasal 64 ayat (5), terhadap penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan, elemen data penduduk tentang agama dapat tidak diisi pada dokumen kependudukan khususnya KTP elektronik. Sehingga, tiada hambatan bagi setiap penduduk untuk melengkapi dokumen kependudukannya. Hal
tersebut
merupakan
langkah
progresif
Pemerintah
dalam
menyelenggarakan perlindungan dan penghormatan HAM warga negaranya. Walaupun, jika dikaji lebih mendalam tidak diiisinya kolom agama pada kartu tanda penduduk bagi penduduk yang agama atau kepercayaannya yang belum diakui oleh negara adalah bentuk nyata diskriminasi administrasi kependudukan. Karena negara kita adalah negara eufimis24, mungkin sebaiknya “diskriminasi” tersebut harus kita maknai sebagai bentuk kebijaksanaan Pemerintah terhadap kelompok minoritas agar tidak mengalami kesulitan dalam melengkapi dokumen kependudukan atau tidak memaksa mereka untuk berbohong perihal agamanya yang dipeluknya di hadapan negara. Ketiadaan Peraturan Pelaksanaan dan Berpotensi Menyuburkan Atheisme secara Legal Diperkenankannya oleh negara untuk mengosongkan kolom agama pada KTP bagi penduduk yang agama dan kepercayaannya yang belum diakui oleh negara ternyata masih terdapat hambatan. Hambatan tersebut berupa
Eufimis adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan
24
kasar.
32
ketiadaan peraturan pelaksanaan yang mengatur kriterium agama dan kepercayaan apa saja yang diakui untuk belum diakui di Indonesia. Ketidakjelasan regulasi karena ketiadaan peraturan pelaksanaan yang mengatur dan menjabarkan substansi dari materi UU Administrasi Kependudukan yang sangat umum dapat menimbulkan kerawanan dalam penerapannya. Bahkan terdapat potensi penyuburan faham atheis dengan menggunakan instrumen yang legal. Mengingat negara ini dibentuk berdasarkan by law dan by constitution maka hendaknya Pemerintah membentuk peraturan pelaksanaan. Sehingga dalam aspek substansi hukum (legal substance) tidak terdapat celah yang digunakan sebagai sarana yang legal untuk menyuburkan atheisme. Apalagi mengingat Indonesia adalah negara yang berkeTuhanan. Konsep keseimbangan dalam ber-HAM di Indonesia telah diatur secara jelas pada Konstitusi, negara wajib menghormati dan melindungi hak asasi warga negaranya. Di sisi lain warga negara harus menundukkan diri pada pembatasan oleh Undang-undang. Dengan demikian, dapatlah dimaknai prinsip penghormatan hak asasi dan kesetaraan di depan hukum (equality before the law) bukan hanya redaksi pemanis dalam konstitusi dan bukan pula alibi untuk latah dan bebas berekspresi dengan kata “asasi”. Selanjutnya Pasal 34 ayat (4) menyatakan bahwa pelaporan pernikahan bagi penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUA Kecamatan. Adanya aturan yang tegas terhadap umat Islam ini memang sesuai dengan kondisi yuridis faktual bahwa KUA adalah lembaga yang berwenang mengeluarkan kutipan
33
Akta Perkawinan. Akan halnya penduduk di luar Islam justru terkesan tidak diatur dengan jelas. Bagaimana sesungguhnya perkawinan yang dilakukan oleh pemeluk aliran Kepercayaan atau masyarakat adat yang belum mempunyai agama. Apakah mereka dapat dengan mudah memperoleh kutipan akta perkawinan tersebut dari kantor catatan sipil. Selama aturan tersebut tidak tegas dan jelas mengatur tentang hak-hak yang seharusnya diterima oleh seluruh warga negara maka Undang-Undang Administrasi Kependudukan dapat dikatakan tidak memberikan kepastian hukum bagi seluruh warga. Sampai sejauh ini pemerintah baru mengakui keberadaan Khonghucu sebagai agama dengan menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negri No 470/336/SJ pada tanggal 24 Februari 2006 tentang pelayanan administrasi kependudukan kepada penganut Khonghucu. Dengan adanya Surat Edaran tersebut maka Pemerintah Daerah wajib melayani administrasi kependudukan kepada penganut Khonghucu. Selain itu mengingat komposisi penduduk di Indonesia yang terdiri dari macam suku dan mempunyai agama yang berbeda pula, seharusnya menjadi perhatian yang serius bagi negara di dalam mengatasi hal ini. Pengaturan tentang perkawinan campuran / perkawinan antar agama melalui prosedur pengadilan tentu mengakibatkan kesulitan sejumlah warga. Pengaturan tentang perkawinan campuran / perkawinan antar agama seperti yang terdapat pada pasal 35 melalui penetapan pengadilan tentu mengakibatkan kesulitan sejumlah warga. Dengan menggunakan prosedur pengadilan tentu masalah biaya dan waktu menjadi pertimbangan sendiri bagi warga. Perkawinan sebagai hak bagi warganegara
34
yang akan melaksanakannya dalam hal ini perkawinan antar agama telah direduksi sedemikian rupa sehingga bagi pemerintah seolah-olah menjadi persoalan hukum. Bagi pemerintah, segala tindakan hukum yang diambil baik dalam melakukan tindakan hukum berupa pembuatan peraturan perundang-undangan (regeling) maupun penerbitan ketetapan atau keputusan (beschiking), harus menjamin sesorang bebas menentukan pilihannya terhadap agama yang di yakininya serta memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksanan hak beragama itu, bukan menimbulkan pelanggaran terhadap pelaksanaan hak dimaksud. Namun banyak tindakan pemerintah yang dinilai membatasi seseorang untuk melaksanakan hak beragamanya. Dari isi pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945 dijelaskan ideologi negara Indonesia dalah Ketuhanan yang Maha Esa, oleh karena segala kegiatan di negara Indonesia harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan itu besifat mutlak. Prinsip Ketuhanan yang ditanamkan dalam UUD 1945 merupakan perwujudan dari pengakuan keagamaan. Oleh karena itu, setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya yang warganya anggap benar dan berhak mendapatkan pendidikan yang layak, serta hak setiap warga negara untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan nyaman untuk tinggal dan berhak menentukan kewarganegaraan sendiri. Berikutnya, dari isi pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 dijelaskan bahwa setiap warga negara memiliki agama dan kepercayaanya sendiri tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun. Dan tidak ada yang bisa melarang orang untuk
35
memilih agama yang diyakininya. Setiap agama memiliki cara dan proses ibadah yang bermacam-macam, oleh karena itu setiap warga negara dan pemerintah tidak boleh untuk melarang orang beribadah yakni sesuai dengan isi pasal 22 Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Kebebasan Beragama. Pemahaman mengenai freedom of religion, baik dalam arti positif maupun negatif seperti diungkapkan Sir Alfred Denning bahwa kebebasan beragama berarti bebas untuk beribadah atau tidak beribadah, meyakini adanya Tuhan atau mengabaikannya, beragama Kristen atau agama lain atau bahkan tidak beragama. Pengertian kebebasan beragama seperti yang ada dalam deklarasi umum PBB tentu saja bersifat sangat liberal, dan nampak didominasi budaya Barat. Ini berbeda dengan konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia mengandung konotasi positif.
C. Tinjauan Umum Tentang Teori Efektivitas Penelitian kepustakaan yang ada mengenai teori efektivitas memperlihatkan keanekaragaman dalam hal indikator penilaian tingkat efektivitas suatu hal. Hal ini terkadang mempersulit penelaahan terhadap suatu penelitian yang melibatkan teori efektivitas, namun secara umum, efektivitas suatu hal diartikan sebagai keberhasilan dalam pencapaian target atau tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas memiliki beragam jenis, salah satunya adalah efektivitas organisasi. Sama halnya dengan teori efektivitas secara umum, para ahli pun memiliki beragam pandangan terkait dengan konsep efektivitas organisasi. Mengutip
36
Ensiklopedia administrasi25, menyampaikan pemahaman tentang efektivitas sebagai berikut: “Efektivitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki” Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan dengan yang dikehendaki. Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan dilakukannya tindakan-tindakan untuk mencapai hal tersebut. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya. Apabila tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi maka proses pencapaian tujuan tersebut merupakan keberhasilan dalam melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi tersebut. Menurut Lawrence M. Friedman dalam bukunya yang berjudul “Law and Society”, yang dikutip oleh Soerjono (Soerjono Soekanto dan Abdullah Mustafa), efektif atau tidaknya suatu perundang-undangan sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yang kita kenal sebagai efektivitas hukum, dimana ketiga faktor
Di akses di https://www.academia.edu/9568999/Teori_Efektifitas_Hukum Pada Tanggal 15 Desember 2016 25
37
tersebut adalah: 1. Substansi Hukum Substansi hukum adalah inti dari peraturan perundang-undang itu sendiri. 2. Struktur Hukum Struktur hukum adalah para penegak hukum. Penegak hukum adalah kalangan penegak hukum yang langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum tersebut. 3. Budaya Hukum Budaya hukum adalah bagaimana sikap masyarakat hukum di tempat hukum itu dijalankan. Apabila kesadaran masyarakat untuk mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dapat diterapkan maka masyarakat akan menjadi faktor pendukung. Namun, bila masyarakat tidak mau mematuhi peraturan yang ada maka masyarakat akan menjadi faktor penghambat utama dalam penegakan peraturan yang dimaksud. Adapun apabila kita melihat efektivitas dalam bidang hukum, Achmad Ali26 berpendapat bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur “sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati”. Lebih lanjut Achmad Ali pun mengemukakan bahwa pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1, Kencana, Jakarta, 2010, Hal. 375. 26
38
pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut. Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto27 adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu: 1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang). 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung dari aturan hukum itu sendiri. Menurut Soerjono Soekanto28 ukuran efektivitas pada elemen pertama adalah: 1. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sistematis.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, Hal. 8. 28 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung 1983, Hal. 8. 27
39
2. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan. 3. Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi. 4. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan yuridis yang ada. Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja hukum tertulis adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini dikehendaki adanya aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik. Kehandalan dalam kaitannya disini adalah meliputi keterampilan profesional dan mempunyai mental yang baik. Menurut Soerjono Soekanto29 bahwa masalah yang berpengaruh terhadap efektivitas hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan tergantung pada hal berikut: 1. Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada. 2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan. 3. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat. 4. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya. Pada elemen ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan
29
Ibid, Hal. 82
40
prasarana yang dimaksud adalah prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai alat untuk mencapai efektivitas hukum. Sehubungan dengan sarana dan prasarana yang dikatakan dengan istilah fasilitas ini, Soerjono Soekanto30 memprediksi patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari prasarana, dimana prasarana tersebut harus secara jelas memang menjadi bagian yang memberikan kontribusi untuk kelancaran tugas-tugas aparat di tempat atau lokasi kerjanya. Adapun elemen-elemen tersebut adalah: 1. Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik. 2. Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan angka waktu pengadaannya. 3. Prasarana yang kurang perlu segera dilengkapi. 4. Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki. 5. Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan fungsinya. 6. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan lagi fungsinya. Kemudian ada beberapa elemen pengukur efektivitas yang tergantung dari kondisi masyarakat, yaitu: 1. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun peraturan yang baik. 2. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun peraturan sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa.
30
Ibid, Hal. 82
41
3. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan baik, petugas atau aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi. Elemen tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa disiplin dan kepatuhan masyarakat tergantung dari motivasi yang secara internal muncul. Internalisasi faktor ini ada pada tiap individu yang menjadi elemen terkecil dari komunitas sosial. Oleh karena itu pendekatan paling tepat dalam hubungan disiplin ini adalah melalui motivasi yang ditanamkan secara individual. Dalam hal ini, derajat kepatuhan hukum masyarakat menjadi salah satu parameter tentang efektif atau tidaknya hukum itu diberlakukan sedangkan kepatuhan masyarakat tersebut dapat dimotivasi oleh berbagai penyebab, baik yang ditimbulkan oleh kondisi internal maupun eksternal. Kondisi internal muncul karena ada dorongan tertentu baik yang bersifat positif maupun negatif. Dorongan positif dapat muncul karena adanya rangsangan yang positif yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu yang bersifat positif. Sedangkan yang bersifat negatif dapat muncul karena adanya rangsangan yang sifatnya negatif seperti perlakuan tidak adil dan sebagainya. Sedangkan dorongan yang sifatnya eksternal karena adanya semacam tekanan dari luar yang mengharuskan atau bersifat memaksa agar warga masyarakat tunduk kepada hukum. Pada takaran umum, keharusan warga masyarakat untuk tunduk dan menaati hukum disebabkan karena adanya sanksi atau punishment yang menimbulkan rasa takut atau tidak nyaman sehingga lebih memilih taat hukum daripada melakukan pelanggaran yang pada gilirannya
42
dapat menyusahkan mereka. Motivasi ini biasanya bersifat sementara atau hanya temporer. Teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita31 yaitu bahwa faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan. Menurut Soerjono Soekanto32 efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum. Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun erat kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Jika suatu aturan hukum tidak efektif, salah satu pertanyaan yang dapat muncul adalah apa yang terjadi dengan ancaman paksaannya? Mungkin tidak efektifnya hukum karena ancaman paksaannya kurang berat; mungkin juga Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2001, Hal. 55. 32 Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, Bandung: CV. Ramadja Karya, Bandung, 1988, Hal. 80. 31
43
karena ancaman paksaan itu tidak terkomunikasi secara memadai pada warga masyarakat33.
D. Tinjauan Umum Tentang Pelayanan Publik Pengertian pelayanan umum atau pelayanan publik tidak terlepas dari masalah kepentingan umum. Kepentingan umum dengan pelayanan umum saling berkaitan. Pelayanan publik dalam perkembangan lebih lanjut dapat juga timbul karena adanya kewajiban sebagai suatu proses penyelenggaraan kegiatan organisasi. Melengkapi 10 uraian tersebut, ada beberapa pengertian pelayanan publik. Menurut Dwiyanto bahwa pelayanan publik adalah: “Serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga pengguna. Pengguna atau pelanggan yang dimaksud menurutnya di sini adalah warga negara yang membutuhkan pelayanan publik, seperti dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan sebagainya”. Pelayanan publik merupakan serangkaian aktifitas yang diberikan oleh suatu organisasi atau birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat. Pelayanan publik dimaknai sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan merupakan kewajiban pemerintah untuk melakukan pemenuhan hak-hak dasar tersebut. Pelayanan publik sebagai segala bentuk kegiatan
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum Yarsif Watampone, Jakarta, 1998, Hal. 186. 33
44
pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dalam bentuk barang dan jasa baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan perundang-undangan. Pelayanan umum merupakan kegiatan yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok dengan landasan melalui sistem atau prosedur yang telah ditentukan untuk usaha memenuhi kepentingan masyarkat. Pelayanan umum harus mendahulukan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat, karena pelayanan umum berfungsi memenuhi kepentingan masyarakat umum yang membutuhkan pelayanan. Hanif Nurcholis dalam bukunya Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah mengemukakan pelayanan publik sebagai: “Pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh negara dan perusahaan milik negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat”34. Pelayanan publik merupakan pelayanan yang diberikan untuk masyarakat banyak. Pelayanan publik diberikan oleh negara melalui organisasi atau perusahaan maupun instansi pemerintah demi menciptakan kesejahteraan masyarakat. Menurut John Wilson yang dikutip oleh Hanif Nurcholis mengemukakan bahwa:
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta, 2005. Hal. 175. 34
45
“Pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori sektor publik, bukan sektor privat. Pelayanan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan BUMN atau BUMD. Ketiga komponen yang menangai sektor publik tersebut menyediakan layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan dan ketertiban, bantuan sosial dan penyiaran”. Pelaksanaan pelayanan oleh pemerintah kepada masyarakat melibatkan kedua belah pihak untuk saling bekerjasama. Masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan, yakni dengan memenuhi aturan dengan kesadaran dan menghargai administrator publik yang memberikan pelayanan. Suatu instansi pemerintah merasa dihargai dan akan bekerja dengan penuh tanggungjawab dalam memberikan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumberdaya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik. Sinambela di dalam bukunya bahwa pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai berikut: “Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara pemerintah serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, Negara
46
didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat”35. Pelayanan publik dapat dikatakan sebagai pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara pemerintah. Pelayanan publik juga merupakan serangkaian atau sejumlah aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah atau birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat, karena pemerintah dan negara didirikan oleh masyarakat dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan publik memiliki lima karakteristik yaitu: 1. Adaptabilitas layanan. Ini berarti derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna. 2. Posisi tawar pengguna. Semakin tinggi posisi tawar pengguna atau klien, maka akan semakin tinggi pula peluang untuk meminta pelayanan yang lebih baik. 3. Type pasar. Karakteristik ini menggambarkan jumlah penyelenggara pelayanan yang ada, dan hubungannya dengan pengguna. 4. Locus kontrol. Karakteristik ini menjelaskan siapa yang memegang kontrol atas transaksi, apakah pengguna ataukah penyelenggara pelayanan. 5. Sifat pelayanan. Hal ini menunjukkan kepentingan pengguna atau penyelenggara pelayanan yang lebih dominan. Masyarakat akan merasa puas apabila pelayanan yang diberikan sangat baik. Adaptasi layanan sudah sesuai dengan permintaan masyarakat sebagai
35
Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, 2006. Hal. 5.
47
penerima pelayanan. Posisi tawar pengguna, tipe pasar, lokus control dan sifat pelayanan sebagai karakteristik dalam meningkatkan pelayanan publik yang berkualitas. 1.
Asas-Asas Pelayanan Publik Pada dasarnya pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar, dan terjangkau. Oleh sebab itu setidaknya mengandung asas-asas antara lain: 1.
Hak dan kewajiban, baik bagi pemberi dan penerima pelayanan publik tersebut, harus jelas dan diketahui dengan baik oleh masing-masing pihak, sehingga tidak ada keragu-raguan dalam pelaksanaannya.
2.
Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar, berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap berpegang pada efisiensi dan efektifitasnya.
3.
Mutu proses keluaran dan hasil pelayanan publik tersebut harus diupayakan
agar
dapat
memberikan
keamanan,
kenyamanan,
kelancaran dan kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. 4.
Apabila pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan “terpaksa harus mahal”, maka Instansi
atau
Lembaga
Pemerintah
atau
Pemerintahan
yang
bersangkutan berkewajiban “memberi peluang” kepada masyarakat
48
untuk ikut menyelenggarakannya, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Adapun Asas Pelayanan publik meliputi: a. Transparansi Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. b. Akuntabilitas Dapat
dipertanggung
jawabkan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturanperundang-perundangan. c. Kondisional Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efesiensi dan efektivitas. d. Partisipatif Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat. e. Kesamnaan Hak Tidak diskriminatif, tidak membedakan suku, ras, agama, golongan , gender, dan status ekonomi. f. Keseimbangan hak dan kewajiban Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak
49
Pelayanan publik akan berkualitas apabila memenuhi asas-asas diantaranya hak dan kewajiban; pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar, berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; mutu proses keluaran dan hasil pelayanan publik tersebut harus dapat memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum; dan apabila pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan “terpaksa harus mahal”, maka Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan yang bersangkutan berkewajiban “memberikan peluang” kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
E. Tinjauan Umum Tentang Agama Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah “religi” yang berasal dari bahasa Latin “religio” dan berakar pada kata kerja “religare” yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan36.
36
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Agama, Diakses 15 Juni 2016
50
Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur manusia. Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama. Agama ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai Tuhan dengan segala konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaranajarannya teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha untuk melembagakan sistem kepercayaan, membangun sistem nilai kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman dan tentram37. Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu: “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau, jadi berarti tidak kacau38. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama berarti ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya39. Kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan “diin” (dari bahasa Arab) dalam bahasa Eropa disebut “religi”, religion (bahasa Inggris), la religion (bahasa Perancis), the religie (bahasa Belanda), die religion, (bahasa Jerman).
Abdul Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universistas Muhammadiyah, 1989, Hal. 26 38 Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Jakarta: Wijaya, 1992, hlm. 112. buku lain yang membicarakan asal kata agama dapat dilihat dalam Nasrudin Razak, Dienul Islam, Bandung: PT alMa’arif, 1973, hlm. 76. Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, jilid 1, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1984, Hal. 39 39 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; edisi III, Cet 2, Balai Pustaka, 2002, Hal. 12 37
51
Kata “diin” dalam bahasa Semit berarti undang-undang (hukum), sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti menguasi, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Meskipun terdapat perbedaan makna secara etimologi antara diin dan agama, namun umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam pengertian yang sama dengan “agama”40. Kata agama selain disebut dengan kata diin dapat juga disebut syara, syari’at/millah. Terkadang syara itu dinamakan juga addiin/millah. Karena hukum itu wajib dipatuhi, maka disebut addin dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan, dinamakan millah. Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan, maka dinamakan syara41. Sumber terjadinya agama terdapat dua katagori, pada umumnya agama Samawi dari langit, agama yang diperoleh melalui Wahyu Illahi antara lain Islam, Kristen dan Yahudi. Selain itu agama Wad’i atau agama bumi yang juga sering disebut sebagai agama budaya yang diperoleh berdasarkan kekuatan pikiran atau akal budi manusia antara lain Hindu, Buddha, Tao, Khonghu Cu dan berbagai aliran keagamaan lain atau kepercayaan42. Agama Asli adalah bentukbentuk atau cara-cara penyembahan yang ada pada suatu suku dan sub-suku; kerohanian khas pada suatu bangsa, suku, dan sub-suku; berasal dari antara mereka sendiri, serta tidak dipengaruhi atau meniru dari komunitas ataupun orang lain43. Secara umum pengertian agama adalah suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan
Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, Hal. 63 41 Taib Thahir Abdul Mu’in, op.cit, Hal. 121 40
42 43
Pengertian-agama-secara-umum, /http://umum.kompasiana.com/ Diakses 15 Juni 2016 Agama asli, http://www.jappy.8m.net/blank_11.html, Diakses 15 Juni 2016
52
interaksi dengan-Nya. Pokok yang ada dalamnya adalah eksistensi Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan sesama44.
F. Tinjauan tentang Penganut/Penghayat Aliran Kepercayaan Ditinjau secara sosiologis, dalam hidupnya baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat lepas dari unsur religi, apapun religi yang dianutnya. Sebagai hasil perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia menganut berbagai agama dan kepercayaan. Religi yang dekemukakan oleh Durkheim dengan toteminismenya, berbeda dengan mentalitas primitif yang dikemukakan oleh Levi Bruhl. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Levi Bruhl bahwa: “….karena struktur masyarakat beraneka ragam, maka demikian juga gambaran-gambarannya, dan begitu pula pemikiran individunya. Setiap corak masyarakat karenanya punya mentalitas yang khas, karena masing-masing punya kebiasaan dan lembaga-lembaga yang khas pula, pada dasarnya hanyalah merupakan suatu aspek tertentu bagi gambaran-gambaran kolektif; semua itu adalah gambaran-gambaran yang dipikirkan secara obyektif.” Dalamkehidupan masyarakat primitif, menegaskan bahwa keberadaan individu dan pemikirannya terhadap suatu hal tergantuk pada masyarakatnya, karena masyarakatlah yang memberikan pengetahuan dan konsep-konsep kehidupan sebagai suatu fenomena sosial maupun fenomenal alam pada individu. Kemunculan religi yang hidup dalam masyarakat sederhana tidak lain karena adanya fenomena alam, diluar jangkauan dan keterbatasan pemikiran manusia dalam menjawab fenomena tersebut, sehingga mereka menganggap
44
Lasiyo dan Yuwono, Pengantar Ilmu Filsafat, Yogyakarta: Liberty, 1985, Hal. 6
53
adanya kekuatan supra-natural, sehingga harus dihormati dan dipuja agar memberikan perlindungan dan berkah bagi masyarakat, sehingga Firth mengemukakan sebagai berikut: “Jika kita namakan hal ini suatu kepercayaan (religi) gaib, maka kita sekali-kali tidak bermaksud mengatakan bahwa hal-hal yang dipercaya rakyat tadi oleh mereka harus dianggap sebagai suatu diluar kekuasaan alam, akan tetapi oleh karena hal-hal itu tidak merupakan sebagian dari apa yang menurut pengalaman kita harus digolongkan ke dalam kekuatan alam. Pada hakekatnya tindakan hal-hal gaib tadi merupakan penyempurnaan bagi usaha-usaha biasa dari manusia…” Pendapat tersebut menegaskan bahwa kepercayaan terhadap hal-hal gaib di luar jangkauan manusia merupakan kekuatan sebagai penyelaras hubungan manusia dengan alam dan sebagai pengawasan terhadap tingkah laku dengan sesamanya maupun dengan alam melalui norma-norma yang dihasilkannya, baik dalam bentuk anjuran, keharusan, maupun larangan. Manusia memiliki rasa takut apabila melanggar norma yang telah ditetapkan, dan setiap pelanggaran yang dilakukan dapat mendatangkan bencana tidak saja kepada si pelanggar, tetapi juga kepada orang lain dalam kelompoknya bahkan bagi seluruh masyarakat, sehingga manusia senantiasa mentaati norma yang ada dan menjaga keselarasan hidup dengan alam. Dalam berhubungan dengan sang pencipta, nenek moyang kita sudah berusaha mengenalnya. Dengan demikian, lahirlah kepercayaan yang dikenal dengan animisme (peercaya bahwa benda mempunyai kekuatan gaib) dan dinamisme (setiap benda mempunyai jiwa). Dalam perkembangannya selanjutnya, mereka merasa berhutang budi kepada nenek moyangnya maka
54
lahirlah suatu kepercayaan memuja roh nenek moyang. Jadi Kepercayaan itu adalah anggapan atau sikap mental bahwa sesuatu itu benar. Arti lainnya dari kepercayaan adalah suatu yang diakui sebagai benar. Kita tidak dapat membayangkan manusia dapat hidup tanpa kepercayaan apapun, karena kepercayaan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia. Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataannya kita temui bentuk-bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lainnya, maka sudah tentu ada dua kemungkinan, semuanya itu salah atau salah satu diantaranya benar. Di Samping itu, masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur kebenaran dan kepalsuan yang bercampur baur. Maka satusatunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Maksudnya kebenaran disini merupakan asal dan tujuan segala kenyataan.
G. Tinjauan Umum tentang Administrasi Kependudukan 1. Pengertian Administrasi Administrasi adalah kegiatan penyusunan dan pencatatan data serta informasi (drafting and recording data + information) secara sistematis dengan tujuan untuk menyediakan keterangan serta memudahkan memperolehnya kembali secara keseluruhan dan dalam satu hubungan satu sama lain. Secara etimologi, administrasi berasal dari bahasa Yunani “Administrare” atau administer yang berarti mengendalikan, mengelola atau menangani urusan urusan seperti negara, pemerintahan, rumah tangga ataupun pengelolaan suatu bisnis/usaha.
55
Banyak pengertian administrasi yang dikemukakan oleh para ahli administrasi, ada pengertian adminitrasi secara luas dan ada pengertian administrasi secara sempit, dan bahkan ada yang mengartikan sebagai proses sosial. Dalam pengertian yang luas adalah
45
merupakan suatu fungsi yang
memegang peranan yang sangat penting terhadap tercapainya kelancaran usaha kegiatan, maupun aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan/organisasi. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan administrasi juga merupakan urat nadi perusahaan dan administrasi juga dapat memperlihatkan fakta dan keterangan yang diperlukan untuk perencanaan secara rinci dan keterangan/data yang meliputi catatan yang akurat, formulir serta laporan yang meliputi tugas administrasi. Pemahaman yang tepat tentang peranan administrasi dalam kehidupan modern sangat tergantung pada definisi yang digunakan sebagai titik tolak berpikir. Administrasi didefinisikan sebagai “keseluruhan proses kerja sama” antara dua orang atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dengan memanfaatkan sarana dan prasarana tertentu secara berdaya guna dan berhasil guna. Apabila definisi diatas disimak, akan terlihat paling sedikit 3 hal yaitu: Administrasi merupakan suatu seni sekaligus sebagai proses. Sebagai seni, penarapan administrasi memerlukan kiat tertentu yang sifatnya sangat
Sondang, P. Siagian, Kerangka Dasar Ilmu Administrasi, Rineka Cipta, Cetakan 2, Jakarta, 2001. Hal. 12 45
56
situasional dan kondisional. Administrasi selulu terikat pada kondisi, situasi, waktu dan tempat. Administrasi memiliki unsur-unsur tertentu, yaitu adanya dua oarang atau lebih, orang-orang tersebut bekerja sama dalam hubungan yang sifatnya formal dan hirarkis, adanya tujuan yang ingin dicapai. Adanya tugas-tugas yang harus dilaksanakan dan tersedianya sarana dan prasarana tertentu. Administrasi sebagai proses kerja sama bukanlah merupkan hal baru karena administrasi sesungguhnya timbul bersamaan dengan timbulnya peradaban manusia. Istilah administrasi berasal dari bahasa latin yaitu ad+ministrare yang berarti melayani, membantu, menunjang dan memenuhi. Istilah administrsi sama dengan tata usaha, artinya setiap kegiatan yang mengadakan
pencatatan
berbagai
keterangan
yang
penting
didalam
usaha/organisasi yang bersangkutan. Mengenai administrasi dapat dijelaskan bahwa administrasi merupakan sub sistem dari sistem administrasi organisasi yang bekerja sama dengan sub sistem lain membentuk suatu tujuan. Didalam ini bahwa administrasi dapat di artikan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Sedangkan dalam pengertian sempit, Menurut
46
Prajudi Atmosudirjo.
Administrasi dibedakan menjadi dua pengertian yakni Administrasi dalam pengertian sempit, berarti tata usaha (administratie) atau Office work. Administrasi dalam pengertian luas dapat ditinjau dari sudut yaitu dari sudut proses, dari sudut fungsi atau tugas dan dari sudut kepranataan ialah Sebagai
46
Syam Agus, pengantar administrasi niaga. UNM, Makassar, 2011, Hal. 42.
57
proses yang dimulai dari proses pemikiran, perencanaan, pengaturan, penggerakan, pengawasan atau pengendalian sampai dengan proses pencapaian tujuan. Dari sudut fungsi administrasi berarti keseluruhan aktivitas yang mau tidak mau harus dilaksanakan secara sadar oleh pihak yang berkedudukan sebagai administrator. Dan dari sudut kepranataan aktivitas yang dilaksanakan didalam suatu lembaga. Sejalan dengan perkembangan zaman administrasi berkembang sebagai disiplin ilmu yang berusaha mengembangkan dan mengungkapkan materinya secara berkualitas, agar berdaya dan berhasil guna dalam memberikan tuntutan praktis, bage pengendalian kerja sama sejumlah manusia didalam suatu organisasi. Dalam kenyataannya bahwa ilmu administrasi merupakan deskripsi data pengalaman manusia dalam mengendalikan kerja sama yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya sebagai obyektivitas, karena telah teruji keberhasilan penggunaannya di dalam praktik. Sutrisno Hadi di dalam bukunya “Metodologi Research jilid 1” mengatakan bahwa “ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lain adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang yang dipadukan secara harmonis dalam suatu bangunan yang teratur”. 2. Tinjauan Administrasi Kependudukan 47
Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi
47
Lihat Dirjen Administrasi Kependudukan DEPDAGRI, 2008, Hal. 3.
58
Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain. Pengertian tersebut di atas berarti bahwa setiap penduduk harus di data dan ditata melalui penertiban dokumen yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil setempat agar pemerintah dapat dengan mudah memenuhi segala urusan kependudukan bila dokumen setiap penduduk dapat dikelola dengan baik dan tertib. Sebab, setiap kejadian/peristiwa penting yang dialami (seperti kelahiran, kematian, dan perkawinan) akan membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan atau surat keterangan kependudukan lain yang meliputi pindah datang, perubahan alamat, atau status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap. Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Penataan administrasi direkomendasikan untuk penyelenggaraan registrasi penduduk termasuk pemberian Nomor Induk Kependudukan (NIK). Dalam pelaksanaan sistem ini, semua penduduk baik Warga Negara Indonesia (WNI) maupun warga Negara Asing (WNA) yang mengalami kejadian vital atau perubahan status kependudukannya harus mendaftarkan diri atau mencatatkan perubahan status tersebut kepada para petugas yang ditunjuk oleh negara. Dengan adanya sistem ini, pemerintah akan memperoleh kemudahan dalam mengatur bentuk-bentuk pelayanan publik lainnya misalnya dibidang pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
59
Dokumen Kependudukan pada dasarnya meliputi: 1. Biodata Pendudukan; 2. Kartu Keluarga (KK); 3. Kartu Tanda Penduduk (KTP); 4. Surat keterangan kependudukan; 5. Akta Pencatatan Sipil. Surat keterangan kependudukan meliputi surat-surat sebagai berikut: a. Surat Keterangan Pindah; b. Surat Keterangan Pindah Datang; c. Surat Keterangan Pindah ke Luar Negeri; d. Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri; e. Surat Keterangan Tempat Tinggal; f. Surat Keterangan Kelahiran; g. Surat Keterangan Lahir Mati; h. Surat Keterangan Pembatalan Perkawinan; i. Surat Keterangan Pembatalan Perceraian; j. Surat Keterangan Kematian; k. Surat Keterangan Pengangkatan Anak; l. Surat Keterangan Pelepasan Kewarganegaraan Indonesia; m. Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas; dan n. Surat Keterangan Pencatatan Sipil. Pelayanan pencatatan sipil meliputi pencatatan peristiwa penting, yaitu: 1. Kelahiran;
60
2. Kematian; 3. Lahir mati; 4. Perkawinan; 5. perceraian; 6 6. Pengakuan anak; 7. Pengesahan anak; 8 8. Pengangkatan anak; 9. Perubahan nama; 10. Perubahan status kewarganegaraan; 11. Pembatalan perkawinan; 12. Pembatalan perceraian; dan Peristiwa penting lainnya.