CRITICAL ETHNOGRAPHY - CENTRO MULTI AKUNTANSI

Download Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,. Pp 91 - 109. Universitas Udayana. R...

0 downloads 464 Views 599KB Size
File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 1

Refleksi Ethnografi Kritis: Pilihan Lain Teknik Riset Akuntansi Eko Ganis Sukoharsono Program Internasional Akuntansi Jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya Abstraksi Artikel ini bertujuan menawarkan metode Ethnografi Kritis (EK) untuk mengeksplorasi penomena akuntansi dalam organisasi. EK merupakan alternatif untuk menemukan ’kebenaran’ peran akuntansi dalam organisasi. Akuntansi telah dipahami sebagai bentuk lain dari sosial kemasyarakatan yang syarat nilai-nilai sosial, politik dan budaya. EK mempunyai cara tersendiri dalam mengungkapkan telaah ini. Artikel ini menyajikan pola mudah dalam mengagendakan riset dengan EK. Latar belakang secara ontologi dan epistemologi juga dibahas dalam laporan ini. Tiga contoh pembentukan laporan dengan EK disajikan untuk memberikan gambaran bagaimana proses dan laporan riset dapat diselesaikan.

Pendahuluan Ethnografi Kritis (Critical Ethnography) tidaklah baru untuk mengkaji ilmu akuntansi. Ethnografi Kritis (EK) digunakan ilmu akuntansi untuk menjelaskan penomena sosial dan kultur yang ‘hidup’ ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Sukoharsono (2004) adalah salah satu contohnya. Melalui pendanaan dari Technical and Professional Skills Development Sector Project (ADB Loan No. 1792-INO) Universitas Jember, Sukoharsono (2004) mengeksplorasi manajemen internal dilingkungan UPT PSPB dengan memanfaatkan Ethnografi Kritis (EK).

Menurut Spradley (1997:3), EK adalah pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan dimana tujuan utamanya adalah memahami suatu pandangan hidup (baca, berorganisasi atau berprofesi) dari sudut pandang penduduk asli (baca, orang-orang atau karyawan dengan pengabdian lama dalam organisasi yang bersangkutan). Menurut Wolcott (1984 [1973], 1999) seperti yang ditulis dalam Berg (2004), EK adalah proses awal yang mencoba untuk mendeskripsikan secara kritis dan meginterpretasikan ekspresi-ekspresi sosial antar manusia dan kelompok-kelompok. EK merupakan suatu studi tentang kebudayaan/fenomena sosial dalam ilmu akuntansi yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan budaya/fenomena tersebut dari sudut pandang pelaku aslinya. Setting dari riset EK sendiri sifatnya natural/ alami. Sukoharsono (2006) secara jelas memberikan ruang yang luas dalam memanfaatkan teknik EK dalam mengeksplorasi kehidupan akuntansi ditengah-tengah interaksi sosial kemasyarakatan. Riset EK bukan sekedar pengamatan atas tingkah laku manusia tetapi juga memaknai tingkah laku tersebut yang dapat dibingkai dalam kehidupan keilmuan akuntansi. Menurut Geertz (1973) dalam Berg (2004), EK merupakan sebuah pencarian makna melalui interpretasi informan. Dalam konteks riset akuntansi, metode EK merupakan studi lapangan yang ditujukan untuk menggali meaning yang muncul dari interaksi sosial di antara orangorang di tengah masyarakat yang mempraktekkan akuntansi.

Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana.

Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014

File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 2

Perkembangan berikutnya dari etnografi yaitu muncul sebagai studi yang tidak hanya berfokus pada persepsi partisipan, namun lebih dari itu, yaitu bagaimana merepresentasikan penanaman deskripsi budaya lokal yang cukup kaya di dalam sistem politik ekonomi impersonal yang cukup luas. Untuk itu, diperlukan pendekatan diluar deskripsi etnografi dominan, dan dibutuhkan sebuah alat riset yang dapat melakukan penetrasi kedalam makna yang tersembunyi dan yang mendasari hubungan dan interaksi sosial. EK, sebagai sebuah studi budaya yang memiliki orientasi ideologi yang sensitif, dipilih sebagai riset teknik yang memberikan perhatian pada banyak perspektif, ketidaksetaraan budaya dan sosial serta diarahkan pada perubahan social dapat memberikan makna yang berbeda.

Agenda Riset Ethnografi Kritis Marcus and Fischer (1986) dalam Harran (2006:126) mendefinisikan EK sebagai berikut: “… an ideologically sensitive orientation to the study of culture that can penetrate the noncommittal objectivity and scientism encouraged by the positivistic empirical attitude behind descriptive ethnography and can demystify the interests served by particular cultures to unravel their relation to issues of power.” EK berkembang karena ketidakpuasan atas struktur seperti kelas sosial, patrialisme dan rasisme (Anderson, 1989 dalam Pasco, 2000). EK membolehkan peneliti untuk menempatkan dirinya sendiri, untuk melihat dan mendengar tentang struktur sosial dan prakteknya dari perspektif mereka yang mendesain kejadian tersebut daripada mereka yang berada dalam kendali kejadian tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Thomas (1993) dalam Hair (2003) bahwa konvensional etnografi ".....study culture for the purpose of describing it, critical ethnographers do so to change it". EK tidak hanya mendeskripsi sebuah praktek akuntansi di lingkungan organisasi yang ditemukan. EK membangun prinsip perubahan yang dinamis dilingkungan sosial terhadap praktek-praktek akuntansi di organisasi yang sedang diteliti. EK berfokus pada ketidaksetaraan budaya dan sosial dan mengarahkan studi ini pada perubahan sosial yang bersifat positif. EK juga menekankan pada sifat struktur sosial, kekuatan, budaya dan human agency dan menggunakan riset untuk menegaskan dan merubah daripada hanya mendeskripsikan kehidupan sosial (Carspecken, 1996:3 dalam Harran 2006:126). EK melihat riset etnografi sebagai kemunculan proses, melibatkan dialog antara etnografer (peneliti) dan orang-orang yang ada dalam setting riset tersebut (Myers, 1999). EK juga cenderung untuk meneliti dengan seksama baik itu hidden agendas, pusat kekuasaan dan asumsi yang menghalanginya, penindasan, serta pembatasan. Studi kritis mempertanyakan asumsi-asumsi yang biasanya dianggap wajar (Thomas [1993] dalam Neil [2003]). Thomas (2003) menyatakan bahwa EK bukanlah sebuah teori. EK lebih merupakan sebuah perspektif dimana seorang peneliti kualitatif dapat membingkai pertanyaanpertanyaan dan mengembangkan tindakan, yang tujuannya adalah pembebasan anggota kebudayaan dari ideologi yang tidak memberikan manfaat bagi mereka dan juga sebenarnya bukan merupakan kreasi mereka. Pendekatan EK merupakan bentuk pendekatan riset dengan peran ganda. Model pendekatan riset ini digunakan sebagai pendekatan pengumpulan data, juga untuk pelaporan hasil riset dalam bentuk analisa kritis terhadap penomena social yang lebih menyeluruh (Dey, 2002). Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014

File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 3

Alvesson dan Deetz (2000:199) berargumentasi bahwa EK memerlukan sebuah sudut pandang atas fenomena budaya secara lebih kritis, yaitu "aksentuasi aspek penindasan dan pembatasan dari budaya". Lebih lanjut, terdapat perbedaan secara ontologikal dan epistemologikal antara etnografi konvensional dan EK. Kincheloe dan McLaren (2000) dalam Cheng (2006) menjelaskan bahwa kritikal etnografi mendorong aktivitas emansipatori yang membawa kritik dalam historisisasi dan sosialisasi dari kehidupan sehari-hari. Sebuah EK tidak hanya mencapai tujuan untuk mendeskripsikan makna budaya secara pajang lebar (thick description) namun juga memperbolehkan adanya interpretasi dari hubungan antara komunikasi individual dengan struktur yang lebih luas dan implikasinya (Geertz; Moon [2001] dalam Cheng [2006]). EK dapat digunakan telaah sebuah penyelidikan yang konstan, kewaspadaan yang tajam dari praktek komunikasi peneliti dan dampaknya terhadap komunitas dan hasil riset. Kebutuhan semacam itu dapat membantu peneliti untuk lebih refleksif dan kritis terhadap dirinya sendiri seperti yang lainnya dalam interaksi sehari-hari dalam komunitasnya. EK dimulai dengan sebuah tanggung jawab etis untuk memusatkan perhatian pada ketidakadilan dan kecurangan dalam sebuah domain kehidupan tertentu. Tanggung jawab etis yang dimaksudkan disini adalah sebuah pengertian akan tugas dan komitmen berdasarkan prinsipprinsip moral kebebasan manusia dan kehidupan yang layak, serta perasaan iba atas penderitaan makhluk hidup (Madison, 2005). Riset EK menyentuh jauh dibawah permukaan yang nampak, mengacaukan status quo, dan menggangu baik itu asumsi netralitas maupun taken-for-granted. Riset EK bergerak dari "apa yang terjadi" menjadi "apa yang seharusnya (dapat) terjadi" (Carspecken, 1996; Thomas, 1993 dalam Madison, 2005). EK harusnya tidak hanya mengkritik gagasan/ide obyektivitas, namun juga harus mengkritik ide tentang subyektivitas.

Ontologi dan Ethnolografi Kritis Etnografi konvensional mengadopsi perspektif interpretif dalam melihat komunitas sebagai tempat sosial. partisipan dilihat sebagai sense makers yang aktif bersama dengan peneliti yang bertujuan untuk menangkap dan menampilkan sebuah penggabungan pandangan atas budaya dalam cara dimana budaya itu ada (Alvesson dan Deetz, [2000] dalam Hair, [2003]). Tujuan dalam studi tersebut adalah untuk menunjukkan bagaimana realitas tertentu terjadi dan dikelola melalui norma-norma, ritual, tata cara, dan aktivitas sehari-hari (Alvesson dan Deetz, [2000] dalam Hair [2003]). Satu dari kritik utama etnografi adalah bahwa metode ini terlihat kurang memiliki kegunaan, khususnya dalam konteks riset akuntansi. Seperti yang disarankan Sukoharsono (2006) bahwa EK muncul untuk menjawab pertanyaan "so what" dari audiencenya dengan menambahkan tujuan politik bagaimana akuntansi berpersan dalam membangun social dan budaya di sebuah lingkungan organisasi. EK mengadopsi sebuah ontologi yang didasarkan pada pemahaman bahwa organisasi secara historis lahir dalam kondisi penuh perjuangan dan dominasi. Menurut Thomas (1993) EK dimulai dari premis bahwa struktur dan substansi budaya membuat hidup tidak menyenangkan karena lebih buruk dan kasar bagi sebagian orang. Etnografi konvensional memberikan sebuah deskripsi yang cukup tebal untuk budaya, sedangkan kritikal etnografi mengadopsi sebuah tujuan politik untuk perubahan. Mengingat, etnografi konvensional mendeskripsikan "what is" sedangkan kritikal etnografi menanyakan "what could be" Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014

File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 4

(Thomas, [1993] dan Sukoharsono [2006]). Disini tujuan pengetahuan tidak hanya mengeksplorasi tujuan tetapi lebih untuk melakukan perubahan sosial - sebuah panggilan untuk melakukan tindakan di luar "what is", yaitu memberikan pertanyaan pada partisipan "what could be". Thomas mengidentifikasi kelemahan utama dalam etnografi konvensional dengan memberikan alternatif pemikiran kritis yang mencakup sebuah konsepsi, walaupun samarsamar, bahwa ada sesuatu yang lebih baik, dan bahwa tujuan dari pengetahuan seharusnya mencakup hal tersebut ([1993] dalam Hair [2003]). Salah satu pengaruh dari posisi ontologi ini adalah sebuah posisi secara eksplisit dari permulaan, bahwa isu etis secara khusus diperhatikan sebagaimana mereka berkaitan dengan tindakan yang bertujuan menghasilkan sesuatu dari riset, dan penerimaan partisipan yang dilibatkan dalam riset (Hair, 2003).

Epistemologi dari Ethnografi Kritis Etnografi konvensional sering menggunakan pendekatan riset yang "tidak menyenangkan" (Smith, 1993), yaitu mengadopsi observasi tanpa partisipasi yang berhubungan dengan dilema etis yang berakibat pada kemungkinan terjadinya representasi yang salah. Pendekatan EK memiliki sebuah kepentingan fundamental dalam pembebasan dan penguasaan untuk mengajak (partisipan) dalam tindakan yang muncul diluar yang otentik, yaitu pengetahuan kritikal (difasilitasi oleh peneliti) dalam konstruksi sosial komunitas manusia (Grundy, 1987. Seperti apa yang dilakukan oleh Sukoharsono (2004) melakukan eksplorasi pemahaman manajemen internal UPT PSPB Universitas Jember dengan berpartisipasi dalam seting organisasi dan mengikuti dinamika aktivitas organisasi dalam kurun waktu simultan periodik tiga bulan. Lee and Myers (2004) melakukan sama apa yang dilakukan Sukoharsono (2004). Lee and Myers (2004) mengeksplorasi pemahaman implementasi sistem informasi menggunakan ERP (Enterprise Resource Planning) di perusahaan Stark. Mereka melakukan riset selama 1 tahun dari tahun Agustus 1999 sampai dengan Agustus 2000.

Ethnografi Kritis Mendulang Fenomena Sosial Salah satu aspek berharga dari kritikal etnografi yaitu ‘indepth’ analisis yang dilakukan dalam mengungkapkan fenomena aktivitas akuntansi di kehidupan sosial. Hal ini dikarenakan keterlibatan peneliti dalam observasi berpartisipasi untuk periode waktu yang relatif lama dan mendalam. Kondisi ini membuat peneliti dapat melihat dan mengamati apa yang dilakukan dan dikatakan oleh komunitas atau individu social tertentu. Setiap saat peneliti dapat memperoleh pemahaman yang mendalam terhadap orang-orang, organisasi dan konteks lain yang lebih luas. Peneliti dapat membangun hubungan yang lebih dekat dengan mereka yang diobservasi. Ini sebagai konsekuensi secara fisik peneliti berada dilapangan, ditempat orang-orang tersebut tinggal dan beraktivitas. Seperti yang dinyatakan oleh Grills (1998) dalam Myers (1999) : ...by going to "where the action is", the field researcher develops an intimate familiarity with the dilemmas, frustrations, routines, relationships, and risks that are part of everyday life.

Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014

File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 5

Lebih lanjut, pengetahuan yang diperoleh dari apa yang terjadi di lapangan dapat memberikan informasi yang berharga untuk menantang asumsi kita. Studi kritis sering membuat peneliti mempertanyakan mengenai sesuatu yang biasanya hanya diterima begitu saja (taken for granted). Salah satu keterbatasan riset kritikal etnografi adalah masalah waktu riset yang relatif lebih lama dibandingkan riset yang lain. Riset kritikal etnografi tidak hanya memakan waktu lama di lapangan, tapi juga membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menganalisis data dan menuliskannya. Keterbatasan lainnya yaitu cakupan riset ini tidak terlalu luas. Tidak seperti sebuah survey, peneliti etnografi biasanya melakukan studi hanya dalam satu organisasi atau satu budaya saja. Kritik lebih jauh lagi menyatakan bahwa tidak mungkin untuk mengembangkan model yang lebih general hanya dari sebuah studi etnografi.

Metodologi Kritis Pengungkapan pemahaman terhadap teknik riset EK dapat didekati dengan tahapantahapan berikut ini: 1. Ontologi Sebuah ontologi memberikan pertanyaan "apa yang nyata?". Peneliti dapat menggunakan pendekatan perspektif kritikal dimana ia mengakui apa yang dirasa "diketahui" atau "nyata" adalah sebuah konstruksi sosial yang memiliki hak-hak istimewa atas kelompok lainnya. Fenomena akuntansi dalam kehidupan sosial perlu dipahami dalam tahap ini bagaimana sifat realitas nya? Bagaimana akuntansi dibentuk? 2. Pemilihan topik Carspecken (1996) dalam Pasco (2000) menyarankan bahwa peneliti kritikal dapat meneliti fenomena yang sangat bervariasi, namun Thomas (1993) dalam Hair (2003) membedakan pemilihan topik dalam kritikal etnografi dan etnografi konvensional sebagai berikut: The difference between critical and conventional ethnographic topic choice begins with a passion to investigate an injustice (e.g.,racism); social control (language, norms, or cultural rules); power; stratification; or allocation of cultural rewards and resources to illustrate how cultural meanings constrain existence. 3. Sumber data Keputusan tentang siapa dan sumber data apa yang akan dipakai dalam riset kritikal etnografi bukanlah sebuah usaha yang netral, seperti yang telah diperingatkan oleh Thomas (1993) dalam Hair (2003).Karena, dalam riset kualitatif, peneliti adalah instrumen utama dalam pengumpulan data, sekaligus sebagai partisipan (dalam hal ini sebagai sumber data). Sukoharsono (2004) telah memberikan contoh untuk pola riset ini. Pemilihan partisipan merepresentasikan sebuah kunci keputusan dalam riset kualitatif. Pemilihan partisipan dilakukan dengan mengidentifikasi sumber data terbaik yang dapat memberikan kontribusi atas data yang paling berhubungan secara langsung dengan pertanyaan riset. 4. Pengumpulan data

Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014

File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 6

Pengumpulan data bisa dilakukan dengan cara observasi berpartisipasi, membuat rekaman audio-visual, membuat catatan; maupun dengan melakukan dialog kritis melalui interview. Interview di sini lebih bersifat kritis dan bersifat dialog. Interview kritis dilakukan karena interview konvensional menghasilkan tipe data yang sifatnya tidak natural. Madison (2005) menyatakan tujuan dari dilakukannya dialog adalah membawa peneliti dan partisipan secara bersama untuk berdiskusi, sehingga mereka dapat bertanya, berdebat, dan menantang satu sama lain. Conquergood (2000) dalam Madison juga menyatakan hal yang sama sebagai berikut: ….. the aim of “dialogical performance” is to bring self and Other together so they may question, debate, and challenge one another. Dialogue is framed as performance to emphasize the living communion of a felt-sensing, embodied interplay and engagement between human beings. For Conquergood, dialogue resists conclusions. It is intensely committed to keeping the meanings between and the conversations with the researcher and the Other open and ongoing. Dialog kritis merupakan diskusi yang terstruktur yang melibatkan partisipan dengan membahas topik yang berkaitan dengan pengalaman mereka sendiri. Dialog kritis didefinisikan sebagai sebuah pendekatan instruksional berdasarkan latar belakang pengetahuan dan pengalaman partisipan (Pasco, 2000). Dialog kritis hadir untuk mengurangi kehadiran peneliti dalam diskusi dengan menekankan pada perhatian partisipan dalam media yang relevan dan bermakna bagi partisipan. Sebelum melibatkan partisipan dalam dialog kritis, partisipan dan peneliti mendiskusikan aturan dasar tentang batasan isi, isu-isu privasi dan bagaimana mereka akan menangani ketidaksetujuan dengan diri mereka sendiri dan peneliti atau antara satu dengan yang lainnya. Aturan umum yang disepakati meliputi: (a) setiap partisipan memiliki hak untuk tidak menjawab pertanyaan peneliti atau pertanyaan dari partisipan lainnya, kesepakatan tentang pertanyaan yang diberikan, (c) jika peneliti maupun partisipan tidak memahami sebuah jawaban atau komentar, keduanya dapat meminta klarifikasi, dan (d) jika peneliti dan partisipan merasa marah atau tidak nyaman, mereka dapat mengatakannya dan dapat memutuskan untuk tetap tinggal atau pergi meninggalkan diskusi. Teknik riset EK menganjurkan partisipasi peneliti dan perspektif peneliti dalam semua tahapan proses riset. Untuk memfasilitasi hubungan antara partisipan dan peneliti, dalam setiap pertemuan peneliti berusaha untuk menanyakan apakah yang telah peneliti tanyakan selama diskusi atau aktivitas lainnya memberikan makna yang berarti bagi partisipan dalam beberapa hal tertentu. 5. Analisis data Dalam riset kualitatif, interpretasi data dilakukan secara simultan bersama pengumpulan data, interpretasi data dan penulisan laporan naratif (Creswell, 1994). Peneliti kualitatif secara bersamaan biasanya terlibat dalam pengumpulan data lapangan, koding dan pemilahan data, serta proses transformasi data menjadi sebuah gambar atau cerita. Proses ini melibatkan sebuah analisis data kritikal yaitu (a) pemilahan dan koding data berdasarkan sebuah skema identifikasi, (b) mengembangkan data menjadi sebuah gambar atau cerita, dan (c) menyajikan data dalam bentuk tulisan naratif atau laporan.

Model Desain Riset Ethnografi Kritis Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014

File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 7

Desain riset sering ditentukan lebih dahulu untuk memberikan kemudahan peneliti melakukan penahapan apa yang harus dilakukan, sekalipun hal ini tidak selalu harus ada. Untuk memberikan kemudahan proses riset berikut ini diberikan tahapan-tahapan ringkas sebegai berikut:

Menentukan masalah dan tujuan

Menentukan sumber dan jenis data

Menentukan teknik pengumpulan data

Analisis dan penafsiran data

Penulisan hasil riset

Gambar 1. Model Desain Riset Critical Ethnography  Perumusan Masalah dan Tujuan Seperti dalam riset kualitatif lainnya, masalah dalam riset EK bertumpu pada suatu fokus. Masalah adalah suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih yang menghasilkan situasi yang menimbulkan tanda tanya dan memerlukan upaya untuk mencari jawabannya. Tujuan riset sendiri terkait dengan rumusan masalah yang telah dibuat. Tujuan merupakan upaya untuk memecahkan masalah. Penetapan fokus atau masalah dalam riset kualitatif akan dipastikan sewaktu peneliti berada fenomena akuntansi yang diriset. Dengan kata lain, situasi dilapangan akan ikut menentukan fokus permasalahan. Rumusan masalah yang bertumpu pada fokus dapat berubah dan disempurnakan.  Sumber dan Jenis data Sumber data utama dalam riset EK adalah ungkapan, kalimat dan kata-kata serta tindakan. Sumber data didapat dari catatan dan rekaman hasil observasi dan wawancara dengan informan, catatan hasil pengamatan serta dokumen yang terkait dengan riset. Pada teknik EK, posisi informan sangat penting, sebagai individu yang memiliki informasi, Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014

File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 8

karena informan bukan sekedar memberi tanggapan pada apa yang diminta peneliti, tetapi ia bisa memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia miliki. Informan adalah orang yang bersedia memberikan informasi yang diperlukan dalam riset baik tentang situasi dan kondisi fenomena sosial maupun tentang informasi lain yang terkait dengan riset dalam konteks akuntansi.  Teknik Pengumpulan Data Manusia memegang peranan penting sebagai instrumen riset. Dalam pengambilan data, peneliti berperanan dalam melakukan pengamatan. Riset ini umumnya dilakukan dengan cara observasi berpartisipasi, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Terkait dengan participant observation, permasalahan awal yang dihadapi adalah bagaimana cara untuk memasuki komunitas yang akan diteliti. Ini harus sudah direncanakan sejak awal riset, karena akan mempengaruhi proses dan teknik riset selanjutnya. Robert Burgess (1991b, p.43) dalam Berg (2004) menyarankan agar akses dinegosiasikan dan dinegosiasi ulang selama proses riset. Berg (2004) menyarankan untuk memakai strategi outsider, dimana peneliti tidak sepenuhnya berpartisipasi, tetapi memungkinkan peneliti untuk muncul sebagai partisipan. Berikut adalah gambaran tentang peranan peneliti sebagai pengamat : 1. Berperan serta secara lengkap, pengamat menjadi anggota penuh dari kelompok yang diamatinya. Informasi yang diperoleh mencakup semua informasi yang dibutuhkannya, termasuk yang dirahasiakan. 2. Pemeran serta sebagai pengamat, membatasi para subyek memberikan informasi yang bersifat rahasia, karena peneliti tidak sepenuhnya menjadi pemeranserta. 3. Pengamat sebagai pemeran serta, peranan peneliti diketahui umum atau mereka disponsori oleh subyek. 4. Pengamat penuh, biasanya terjadi pada pengamatan suatu eksperimen di laboratorium yang menggunakan kaca sepihak, sehingga subyek tidak mengetahui kalau sedang diamati. Dalam kritikal etnografi diperlukan adanya dialog kritis, yang merupakan diskusi terstruktur yang melibatkan partisipan dengan membahas topik yang berkaitan dengan pengalaman mereka sendiri. Dialog kritis didefinisikan sebagai sebuah pendekatan instruksional berdasarkan latar belakang pengetahuan dan pengalaman partisipan (Pasco, 2000). Dialog kritis hadir untuk mengurangi kehadiran peneliti dalam diskusi dengan menekankan pada perhatian partisipan dalam media yang relevan dan bermakna bagi partisipan. Sebelum melibatkan partisipan dalam dialog kritis, partisipan dan peneliti mendiskusikan aturan dasar tentang batasan isi, isu-isu privasi dan bagaimana mereka akan menangani ketidaksetujuan dengan diri mereka sendiri dan peneliti atau antara satu dengan yang lainnya. Aturan umum yang disepakati meliputi: (a) setiap partisipan memiliki hak untuk tidak menjawab pertanyaan peneliti atau pertanyaan dari partisipan lainnya, kesepakatan tentang pertanyaan yang diberikan, (c) jika peneliti maupun partisipan tidak memahami sebuah jawaban atau komentar, keduanya dapat meminta klarifikasi, dan (d) jika peneliti dan partisipan merasa marah atau tidak nyaman, mereka dapat mengatakannya dan dapat memutuskan untuk tetap tinggal atau pergi meninggalkan diskusi. Dalam riset etnografi konvensional dikenal tahap riset yang bersifat siklikal (Spradley, 1997). Konsep ini, disebut alur riset maju bertahap, juga dapat dilakukan untuk

Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014

File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 9

riset critical ethnography. Perbedaannya, dalam critical ethnography terdapat tahap penjelasan dari pemahaman hasil interpretasi dengan dasar teori kritis. Riset yang menggunakan langkah-langkah riset naturalistik dalam melakukan analisis data dilakukan langsung dilapangan bersama-sama dengan pengumpulan data (Spradley, 1997). Ada empat tahap analisis data yang diselingi dengan pengumpulan data yaitu: (a) analisis domain, (b) analisis taksonomi, (c) analisis komponen, dan (d) analisis tema. Pengamatan deskriptif berarti mengadakan pengamatan secara menyeluruh terhadap sesuatu yang ada dalam latar riset. Analisis domain dilakukan terhadap data yang diperoleh dari pengamatan yang berperanserta/wawancara atau pengamatan deskriptif yang terdapat dalam catatan lapangan. Setelah selesai melakukan analisis domain, dilakukan pengamatan dan wawancara terfokus yang sebelumnya telah dipilih oleh peneliti. Hasil pengamatan terfokus dimanfaatkan untuk memperdalam data yang telah ditemukan melalui pengajuan sejumlah pertanyaan kontras. Setelah analisis taksonomi, dilakukan wawancara atau pengamatan terpilih untuk memperdalam data yang telah ditemukan melalui pengajuan sejumlah pertanyaan kontras. Selanjutnya dilakukan analisis tema, yang merupakan seperangkat prosedur untuk memahami secara holistik pemandangan yang sedang diteliti. Tahap berikutnya setelah analisis data adalah interpretasi data. Interpretasi data merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil riset yang sedang dilakukan. Pembahasan hasil riset dilakukan dengan cara meninjau hasil riset secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi akurat yang diperoleh dari lapangan.  Analisis dan Penafsiran Data Analisis data kualitatif (Bogdan & Biklen, 1982 dalam Moleong, 2005) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan pada orang lain. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber kemudian dilanjutkan dengan reduksi data dengan jalan membuat abstraksi, menyusunnya ke dalam satuan-satuan, mengkategorisasikan dengan membuat koding, dan akhirnya mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Proses analisis data melibatkan sebuah analisis data kritikal yaitu (a) pemilahan dan koding data berdasarkan sebuah skema identifikasi, (b) mengembangkan data menjadi sebuah gambar atau cerita, dan (c) menyajikan data dalam bentuk tulisan naratif atau laporan.  Penulisan hasil riset Riset kualitatif tidak memiliki suatu bentuk yang baku dalam menulis laporan hasil Riset. Kerangka penulisan laporan ini merupakan kerangka penulisan yang umum untuk Riset kualitatif, dan bukanlah suatu bentuk baku, karena Riset kualitatif cenderung tidak terstruktur. Kerangka penulisan laporan hasil Riset untuk Riset EK dapat dicontohkan sebagai berikut:

Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014

File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 10

I.

Tujuan Riset A. Konteks Riset 1. Bagaimana asal mula Riset dilakukan? 2. Untuk apa Riset ini? 3. Bagaimana Riset ini dibayai? 4. Bagaimana penentuan peneliti? B. Fokus Riset 1. Pertanyaan apakah yang dijawab dalam Riset ini? 2. Mengapa muncul pertanyaan-pertanyaan ini? 3. Tindakan-tindakan apakah yang diperkirakan atau keputusan-keputusan apakah yang akan diambil sebagai hasil dari Riset ini?

II.

Keputusan-keputusan tentang metode A. Ketetapan metode 1. Bagaimana caranya sehingga metode yang digunakan mengikuti pertanyaan-pertanyaan yang diajukan? 2. Kelebihan dan kekurangan apakah yang ada pada metode yang digunakan sehubungan dengan tujuan Riset? B. Keputusan-keputusan desain dan sampling apakah yang telah dibuat, apa alasanya, dan apa konsekuensinya? 1. Situasi yang disampel 2. Periode waktu yang disampel 3. Orang-orang yang disampel

III. Presentasi data A. Deskripsi informasi tentang program 1. Riwayat dan asal-usul program Riset 2. Kegiatan program, proses, dan tujuan 3. Ciri-ciri subjek. B. Deskripsi penemuan yang diorganisasi di sekitar pertanyaan-pertanyaan Riset dan pemakai informasi 1. Informasi deskriptif atas dasar pengamatan dan atau wawancara. Apa yang terjadi? Apa yang dikatakan? 2. Sediakan informasi apa saja yang diperlukan pembaca ke dalam situasi yang diuraikan dan diteliti. C. Analisis data 1. Penyajian pola, tema, kecenderungan, dan motivasi yang muncul dari data 2. Penyajian kategori, sistem klasifikasi, dan tipologi a. tipologi yang disusun oleh subjek untuk menjelaskan dunianya b. tipologi yang disusun oleh peneliti. D. Penafsiran dan penjelasan 1. Kaitan-kaitan antara kategori dan dimensi 2. Hubungan-hubungan antara hal-hal yang berkaitan dan bagian-bagian yang bebas 3. Persoalan yang berkaitan dengan sebab dan konsekuensinya, termasuk hipotesis tentang hubungan antara proses dan hasil. IV. Validasi dan verifikasi penemuan A. Rincian tentang pelaksanaan metode dan pelaporan pada setiap tingkatan awal dari prosedur yang diharapkan 1. Bagaimana studi itu dilakukan 2. Bagaimana pengumpulan data sebenarnya. B. Derajat kepercayaan penemuan 1. Pembahasan tentang hipotesis alternatif dan alternatif pembahasan 2. Analisis kasus-kasus negatif yang menunggu 3. Triangulasi: a. metode, b. sumber, c. peneliti

Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014

File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

4. 5. V.

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 11

Pengaruh peneliti-peranan pribadi dan perspektif peneliti Salinan setiap reaksi subjek atau lainnya yang telah menelaah jalannya studi.

Kesimpulan dan rekomendasi (atas permintaan tertentu, bagian ini kadang-kadang ditempatkan pada bagian pertama laporan agar pengambil keputusan langsung memperhatikannya) A. Apa sajakah penemuan-penemuan penting? B. Apa saja implikasi dari penemuan-penemuan tersebut? C. Apa sajakah rekomendasi-rekomendasi yang diajukan 1. Rekomendasi dari pihak subjek 2. Rekomendasi dari pihak peneliti.

Bentuk lain dapat disajikan sebagaiberikut: THE INTERNAL MANAGEMENT OF THE UPT BSPB THE UNIVERSITY OF JEMBER (Eko Ganis Sukoharsono) Chapter I

:

Introduction: The Management Vision and Mission of The UPT BSPB Background The Vision The Mission Objectives A Critical Ethnography Method

Chapter II :

The UPT BSPB’s Internal Management Planning Organising Leading Controlling

Chapter III :

The Strategic Planning of the UPT BSPB’s Internal Management: A Crucial Aspect to be Done What is Strategic Planning? Strategic Planning Versus tactical Planning Steps in the Strategic Planning Process of the UPT BSPB Forecasting: Critical Planning Ingredient of the UPT BSPB Forecasting Methods

Chapter IV :

The UPT BSPB Human Resource Management Analysis The Importance of Human Resource Management What is Human Resource Management?

Chapter V :

The UPT BSPB Human Resource Framework Need for a Framework The Level of Management at the UPT BSPB Process of Decision Making

Chapter VI :

Performance Appraisal of the Managerial UPT BSPB The Importance of Performance Appraisal Who Should Do the Appraising?

Chapter VII :

Financial Accounting and Its Performance of the UPT BSPB Accounting – The Language of Business Characteristics of Accounting Information and the UPT BSPB Accounting Cycle Model Financial Statements Financial Planning and Control with Budget

Chapter VIII:Conclusions Self Awareness

Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014

File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 12

Non-Accounting Data Accounting Data References

Contoh Artikel dengan menggunakan Metode EK THE SIGNIFICANCE OF AMBIGUITY IN ACCOUNTING AND EVERYDAY LIFE: THE SELF-PERPETUATION OF ACCOUNTING (Shanta S. K. Davie) Research background Studi kontekstual akuntansi banyak mengungkapkan hubungan timbal balik antara akuntansi dengan banyak aspek dalam kehidupan manusia. Konsekuensinya, banyak istilah-istilah dan praktek akuntansi seperti cost, aset, kewajiban, profit, neraca, laba-rugi, tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, namun juga mempunyai dampak yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi secara bersamaan, akuntansi dikatakan telah terpenjarakan baik oleh ambiguitas dan ketidakcukupan teknis maupun konseptual. Bukan hanya ambiguitas disekitar istilah "nilai", namun juga ada ketidakcukupan definisi teknis yang terkait dan tahan lama untuk istilah-istilah akuntansi seperti assets, liabilities, profit, loss, revenue, neraca, audit, auditor independen, dan konsep dasar lainnya. Lebih lanjut, praktek teknis akuntansi tidak dapat mengakomodasi level konseptualnya. Meskipun aspek ambiguitas tersebut muncul, akuntansi tetap memiliki posisi yang penting dalam masyarakat dengan pengaruh dari faktor ekonomi, struktur sosial dan politik serta praktek hubungan masyarakat. Research questions/statements Riset ini berusaha untuk menunjukkan bahwa ambiguitas dalam akuntansi merupakan sebuah bagian integral yang melekat dalam ambiguitas secara politik, dalam sebuah perubahan sosial. Paper ini menilai pengembangan diri akuntansi dengan berfokus pada cara dimana akuntansi dan ambiguitas akuntansi saling bertimbal-balik dan berperan dalam paradoks kebijakan politik-ekonomi nasional di Fiji. Tujuan utama disini adalah menilai kekuatan dan proses yang memungkinkan sebuah penerimaan ambiguitas (yang kelihatannya menunjukkan ketenangan) oleh masyarakat Fiji di tahun 1990an. Selain itu juga untuk menyelidiki bagaimana penerimaan tersebut, dalam cara yang berbeda, dalam memenuhi kebutuhan untuk perhitungan stratejik dan spesifik yang penting bagi sebuah restrukturisasi keuangan yang bersifat hirarkis, istimewa, yang Chiefly-based, dalam industri kayu pinus di Fiji. Studi ini juga memprakarsai perhatian terhadap proses ketidakajegkan, ketidakpahaman, dan keragaman interpretasi dalam praktek akuntansi. Research methodology Metodologi dalam riset ini adalah EK. Peneliti berusaha mencari penjelasan alternatif untuk bisa memahami lebih baik proses rekonstruksi akuntansi. Research techniques Data diperoleh dengan cara observasi berpartisipasi dan interview. Peneliti tinggal di pedesaan dimana terdapat hutan pinus, melakukan diskusi dan observasi dengan mereka yang memiliki wewenang membuat angka-angka akuntansi (laporan), dan orang-orang yang dibebani dengan rasionalitas akuntansi, serta melakukan analisis data baik yang bersifat internal maupun eksternal dari organisasi yang diteliti. Research contributions

Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014

File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 13

Memberikan pemahaman bagaimana pengembangan kapasitas akuntansi dan keberadaannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, serta cara intrinsik akuntansi dalam mengorganisasi masyarakat. Research findings Hasil analisis menunjukkan kebutuhan/permintaan Negara akan rekonstruksi keuangan industri melalui corporatization bukan hanya merupakan efek sesaat dari sebuah tren global. Namun lebih dari itu, rekonstruksi tersebut sebagai bagian dari sebuah strategi kapitalis dan kesukuan untuk pengembangan yang memperkuat sebuah struktur sosial yang berstrata rasialis. Restrukturisasi keuangan yang bersifat hirarkis kesukuan dan Chiefly-based merupakan sebuah outcome dari sebuah bentuk perjuangan yang lebih politis dan membentuk dasar dari sebuah kekuatan baru. Dengan dilandasi dua nilai yang bertentangan, keyakinan dan ekspektasi, proses restrukturisasi telah menciptakan banyak kebingungan tentang gaya corporatisation yang diadopsi. Paper ini menggarisbawahi argumen bahwa ada sebuah ketergantungan yang kompleks antara (a) kontradiksi bawaan dalam gaya corporatisation yang diadopsi, (b) kemampuan akuntansi untuk mencitakan ambiguitas, dan (c) asumsi terkait kemampuan tersebut untuk mengurangi ambiguitas. Lebih lanjut, dengan memanfaatkan akuntansi dalam industry kayu pinus, maka akuntansi ikut berperan dalam konstruksi dan penguatan sebuah sistem kepemilikan dan organisasi berdasarkan kesukuan yang mendalam. Dengan menjadi bagian dari sebuah konsep bahasa yang tidak tepat dan tidak meyakinkan yang menemukan pensejajaran bertentangan secara signifikan, akuntansi menciptakan masalahnya sendiri terkait dengan spesifikasi, ketepatan, dan pernyataan. Dalam hal ini akuntansi memungkinkan sebuah bentuk subversi yang menemukan signifikansi baik dalam wacana wewenang maupun kekutan yang bertentangan dan proses dengan mana halhal tersebut berinteraksi. Terdapat sebuah dinamisasi dalam ketergantungan antara akuntansi, saran untuk perbaikan dan peningkatannya, dan konteks sosio-politik dimana akuntansi berada. Asumsi atas kemampuan akuntansi untuk mengurangi ambiguitas, sekaligus juga kemampuannya untuk menciptakan ambiguitas menyediakan dasar yang lebih bagi pengembangan akuntansi. Pengembangan akuntansi adalah sebagai bagian dari sebuah proses dialektika yang dinamis. Salah satu tujuan utama dari riset ini adalah untuk menilai kondisi sosiopolitik yang menciptakan kontradiksi dan memungkinkan terbentuknya sebuah pengaruh untuk akuntansi dan ambiguitasnya secara teknis maupun konseptual. Kekuatan ekonomi-politik di Fiji dikuasai oleh dua kelompok ras. Struktur masyarakat Fiji secara nasional masih dikategorikan secara rasial berdasarkan kolonialisasi Inggris. Penduduk pribumi memiliki kekuatan politik, dan kelompok Indo-Fiji menguasai sektor ekonomi. Negara juga menyetujui tindakan yang kontroversial untuk penduduk pribumi. Kelas sosial pribumi membatasi hegemoni intra-rasial dan perbedaan hak dalam distribusi kesejahteraan. Restrukturisasi keuangan dalam industri kayu pinus di Fiji berdasarkan pada sistem elit dari pengorganisasian sosial dan hubungan kepemilikan. Karena itu aturan untuk partisipasi dan kepemilikan saham didasarkan pada system hirarkis Chiefly-based, yang merupakan bentuk organisasi sosial asli di Fiji. Corporatisation pada industri kayu di Fiji adalah sebuah tindakan powerladen, dimana praktek tertentu didorong/diperbolehkan dan tindakan lainnya dibatasi. Bentuk baru dari kekuatan juga mendorong terciptanya sistem pengendalian yang bagus seperti misalnya akuntansi. Untuk bahasa akuntansi dan ambiguitas yang terjadi tidak berhubungan dengan dan merefleksikan ambiguitas dan kontradiksi dari corporatisation. Akuntansi merupakan aktivitas yang dapat mengurangi ambiguitas. Tujuan dari penilaian akuntansi adalah untuk menyediakan nilai pasar yang wajar sehingga memungkinkan transfer pinjaman ke ekuitas. Asumsinya adalah akuntansi dapat merepresentasikan transformasi ini secara wajar dan tidak ambigu. Pembebanan biaya yang tepat dan klasifikasi spesifik dapat mengurangi ambiguitas. Akuntansi

Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014

File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 14

membantu menciptakan kewajaran dan kejelasan yang memungkinkan pembentukan kekuatan dari tempat yang baru secara keseluruhan. Selain dapat mengurangi ambiguitas, akuntansi juga dapat menciptakan ambiguitas. Perhitungan spesifik akuntansi dapat memunculkan interpretasi yang beragam. Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan akses atas aturan akuntansi dan penjelasannya terkait dengan restrukturisasi keuangan. Selain itu muncul juga pertanyaan terhadap reliabilitas kebijakan akuntansi dan apa yang tersembunyi didalamnya. Sebagai tambahan, akuntansi sebagai sebuah praktek juga mempertentangkan konsepsi manajemen atas praktek standard setting. Setiap individu di dalam industri memiliki emosi, dan mengalami banyak dilema keuanganmoral dimana bahasa akuntansi tidak dapat mengakomodasi. Akuntansi menjadi sebuah “jalan pelarian” untuk dilema moral yang tidak dapat direkonsiliasi. Akuntansi bersifat persuasif dan mampu menciptakan sebuah kepercayaan sehingga menjadikannya sebagai sebuah alat pengambilan keputusan manajemen yang efektif dalam program-program manajemen yang kontroversial. Akuntansi menjadi menarik karena mengagungkan ambiguitas. Riset ini memberikan sebuah saran bahwa di dalam sebuah masyarakat kapitalis yang berdasarkan kelas sosial, kita tidak dapat memahami dimensi penting dari akuntansi dalam sebuah keyakikan bahwa ketidakambiguan akuntansi merepresentasikan aktivitas organisasional dan institusional. Ada tiga hal yang dapat disimpulkan terkait dengan hubungan signifikan ambiguitas di bidang akuntansi dengan kehidupan sehari-hari: pertama, ambiguitas adalah aspek normal dalam praktek akuntansi karena hal itu membantu membentuk basis untuk persistensi akuntansi dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, aspek politik yang mempengaruhi ambiguitas membantu menciptakan sebuah basis kekuatan kapitalis yang baru dan perbedaan peraturan distribusi kesejahteraan. Ketiga, ambiguitas perundangundangan untuk pengendalian sosial membantu mendorong keberadaan sistem dominasi.

Ketiga contoh bentuk laporan riset menggambarkan aksi EK dalam mengungkap berbagai penomena akuntansi dalam struktur organisasi yang berbeda. Bentuk pertama memberikan kisi-kisi umum dalam membangun riset akuntansi. Setiap bab dalam bentuk ini memberikan fokus bahasan yang berbeda dan mengalir sesuai dengan pemahaman peneliti di lapangan. Bentuk Kedua seperti apa yang diopinikan oleh Sukoharsono (2004) dapat mengungkapkan bagaimana politisasi dalam pembentukan struktur organisasi. Tiap-tiap bab oleh Sukoharsono (2004) menyajikan pengungkapan sebagai observer dalam UPT PSPB Universitas Jember. Bentuk terakhir (Davie, 2004) memberikan telaah secara mendalam bagaimana Davie selama satu tahun bersosialisasi dilingkungan objek yang diteliti dengan menganalisa politisasi dalam organisasii tersebut. KESIMPULAN

EK berkembang karena ketidakpuasan atas penomena sosial atas struktur seperti kelas sosial, patrialisme dan rasisme. Untuk disiplin ilmu akuntansi, EK dapat dimungkinkan mengungkapkan secara mendalam aspek sosial yang berkembang dalam membentuk kesatuan organisasi dalam proses pengembilan keputusan. EK melihat riset etnografi sebagai kemunculan proses, melibatkan dialog antara etnografer (peneliti) dan orang-orang yang ada dalam setting riset tersebut (Myers, 1999). Pendekatan EK merupakan bentuk pendekatan Riset dengan peran ganda. Model pendekatan Riset ini digunakan sebagai pendekatan pengumpulan data, juga untuk pelaporan hasil Riset dalam bentuk lebih mendekatkan pada objek yang diteliti (Dey, 2002). Secara garis besar EK (1) menekankan pada ketidaksetaraan dan mengarahkan studi melalui perubahan sosial secara positif, (2) pengakuan bahwa pemikiran dan praktek dimediasi oleh hubungan kekuatan, dimana secara sosial dan historis berkuasa, dan (3) fakta Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014

File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 15

dan temuan tidak dapat dipisahkan dari nilai, jadi konteks lokal harus dideskripsikan dan dipertimbangkan. (Pasco, 2000). Sukoharsono (2004) mengungkapkan bahwa praktek akuntansi hadir dalam organisasi sebagai akibat kekuatan politik dalam membangun image struktur organisasi yang akuntanbel. Lebih lanjut, terdapat perbedaan secara ontologikal dan epistemologikal antara etnografi konvensional dan EK. Etnografi konvensional mengadopsi perspektif interpretif dalam melihat komunitas sebagai tempat sosial. partisipan dilihat sebagai sense makers yang aktif bersama dengan peneliti yang bertujuan untuk menangkap dan menampilkan sebuah penggabungan pandangan atas budaya dalam cara dimana budaya itu ada. EK mengadopsi sebuah ontologi yang didasarkan pada pemahaman bahwa organisasi secara historis lahir dalam kondisi penuh perjuangan dan dominasi. Etnografi konvensional memberikan sebuah deskripsi yang cukup tebal untuk budaya, sedangkan EKmengadopsi sebuah tujuan politik untuk perubahan. Etnografi konvensional mendeskripsikan "what is" sedangkan kritikal etnografi menanyakan "what could be". Etnografi konvensional menggunakan pendekatan Riset dengan mengadopsi observasi tanpa partisipasi yang berhubungan dengan dilema etis yaitu kemungkinan terjadinya representasi yang salah. Pendekatan kritikal memiliki sebuah kepentingan fundamental dalam pembebasan dan penguasaan untuk mengajak (partisipan) dalam tindakan yang muncul diluar yang otentik, yaitu pengetahuan kritikal (difasilitasi oleh peneliti) dalam konstruksi sosial komunitas manusia. Salah satu aspek berharga dari EK yaitu kedalaman analisis yang dilakukan. Lebih lanjut, pengetahuan yang diperoleh dari apa yang terjadi di lapangan dapat memberikan informasi yang berharga untuk menantang asumsi kita. Salah satu keterbatasan riset EK adalah masalah waktu riset yang relatif lebih lama dibandingkan riset yang lain. Keterbatasan lainnya yaitu cakupan riset ini tidak terlalu luas karena biasanya studi hanya dilakukan dalam satu organisasi atau satu budaya saja. Hal penting dalam riset EK adalah dialog kritis pada tahap pengumpulan data. Tujuan dari dilakukannya dialog adalah membawa peneliti dan partisipan secara bersama untuk berdiskusi, sehingga mereka dapat bertanya, berdebat, dan menantang satu sama lain. Dialog kritis merupakan diskusi yang terstruktur yang melibatkan partisipan dengan membahas topik yang berkaitan dengan pengalaman mereka sendiri. Dialog kritis didefinisikan sebagai sebuah pendekatan instruksional berdasarkan latar belakang pengetahuan dan pengalaman partisipan (Pasco, 2000 dan Sukoharsono, 2004). Dialog kritis hadir untuk mengurangi kehadiran peneliti dalam diskusi dengan menekankan pada perhatian partisipan dalam media yang relevan dan bermakna bagi partisipan.

Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014

File ini diunduh dari: www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 16

REFERENSI Berg, Bruce L. 2004. Qualitative Research Methods for Social Science. Boston:Pearson. Cheng, Hsin-I. 2006. Culturing on the Borderlands – A Critical Ethnography on Taiwanese and Chinese Transnational Practices. Disertasi. College of Bowling Green. Dey, Colin. 2002. Methodological Issues The Use of Critical Ethnography as an Active Research Methodology. Accounting, Auditing, and Accountability Journal. Vol. 15. No.1. pp. 106-121. Hair, Neil. 2003. An Enhanced Virtual Ethnography: The Role of Critical Theory. Proceeding. 3rd International Critical Management Studies Conference. Lancaster, UK. (www.mgt.waikato.ac.nz/ejrot/cmsconference/2003/proceedings/exploringthemeaning/Hair. pdf) Harran, Marcelle. 2006. A Critical Ethnographic Study of Report Writing As A Literacy Practice by Automotive Engineers. Disertasi. Rhodes University. Madison, D.S. 2005. Critical Ethnography. Thousand Oaks. CA. Sage Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Myers, Michael D. 1999. Investigating Information Systems with Ethnographic Research. Communications of the Assosiation for Information Systems. Desember.Volume 2. Pasco, Rebecca. 2000. Capital and Opportunity. Disertasi. (http.slim.emporia.edu/programs/phd/dissertations/pasco2.pdf) Spradley, James F. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Sukoharsono, Eko Ganis. 2004. The Internal Management of The UPT BSPB University of Jember. Unpublished Research Result. Sponsored by TPSDP (ADB Loan No. 1792-INO). Sukoharsono, Eko Ganis. 2006. Alternatif Riset Kualitatif Sains Akuntansi: Biografi, Phenomenologi, Grounded Theory, Critical Ethnografi dan Case Study. Analisis Makro dan Mikro: Jembatan Kebijakan Ekonomi Indonesia. BPFE Unibraw Malang. Thomas, J. 2003. Musings on critical ethnography, meanings, and symbolic violence. In R.P. Clair (Ed.), Expressions of Ethnography. Albany, NY: SUNY Press, pp. 45-54.

Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009, Pp 91 - 109. Universitas Udayana. Accounting Research Training Series 5 - Kritis PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya 22-23 Januari 2014