DAN KETIMPANGAN SOSIAL

Download Nelayan di Provinsi Jawa Timur dan Sumatera Utara. Makalah ini membahas tentang adanya ... Ikatan Sosiologi Indonesia, 24-26 Pebruari 1999,...

0 downloads 356 Views 174KB Size
Modernisasi, “Krisis Ekologi” dan Ketimpangan Sosial

97

98

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

BAB VII. MODERNISASI, “KRISIS EKOLOGI” DAN KETIMPANGAN SOSIAL*

Kajian dari Perspektif Pembangunan Berkelanjutan pada Desa-desa Nelayan di Provinsi Jawa Timur dan Sumatera Utara Makalah ini membahas tentang adanya gejala ketidakberlanjutan pembangunan masyarakat desa pantai, yang sebagian besar masyarakatnya mengandalkan kehidupan ekonomi dari kegiatan nelayan tangkap. Ketidakberlanjutan tadi berkaitan dengan indikasi munculnya "krisis ekologi" dan ketimpangan sosial yang terus meningkat, sejalan dengan diadopsinya konsep dan strategi modernisasi yang keliru. Kekeliruan ini diawali oleh adanya semacam dua anggapan yang salah, yaitu : pertama, sumberdaya alam atau ekosistem yang mendukung kehidupan perekonomian masyarakat nelayan di kawasan desa pantai dianggap tidak terbatas. Jika teknologi bisa ditingkatkan dan modal yang dikucur-kan bisa ditambah, produksi dan pertumbuhan ekonomi akan terus bisa dipacu. Anggapan ini dalam kenyataannya tidaklah tepat, bahkan yang terjadi adalah kebalikannya. Anggapan kedua, bahwa struktur sosial atau keorganisasian sosial setempat dinilai sebagai sesuatu yang telah permanen dan tidak perlu diubah. Tidak perlu diubah dalam arti bahwa struktur sosial yang ada dinilai tidak akan menghambat tujuan pencapaian kesejahteraan dan keadilan sosial. Anggapan ini dalam kenyataan tidaklah tepat. Gambaran yang mungkin terjadi bahwa struktur sosial yang saat ini terbentuk ikut menjadi penyebab terjadinya ketimpangan sosial yang cenderung semakin tajam. Keberhasilan modernisasi, dalam bentuk peningkatan nilai tambah ekonomi dalam jangka pendek, ternyata dibayang-bayangi oleh munculnya gejala ketimpangan sosial yang serius. Dalam jangka panjang, sekitar 2 dekade mendatang, keberlanjutan perkembangan per-ekonomian masyarakat desa pantai diperkirakan akan terganjal oleh ketimpangan sosial yang meluas di pedesaan. Pembangunan nasional, yang selama tiga dekade terakhir dapat diidentikkan dengan pemacuan pertumbuhan ekonomi, memberikan peluang besar bagi masuknya peradaban ekonomi pasar pada kehidupan masyarakat desa pantai. Masuknya peradaban ekonomi pasar ini diperkirakan akan semakin mempercepat modernisasi perekonomian setempat, yaitu suatu kegiatan perekonomian yang mungkin sekali sangat eksploitatif, baik terhadap sumberdaya alam ("ekosistem") maupun manusia di kawasan desa pantai. Dari gambaran ini dapat diajukan sebuah pertanyaan: "Apakah modernisasi perekonomian, melalui pemacuan *

Isi makalah pernah dipresentasikan pada KONGRES dan SEMINAR NASIONAL Ikatan Sosiologi Indonesia, 24-26 Pebruari 1999, Batu-Malang, Jawa Timur, dan dimuat dalam MIMBAR SOSEK: Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian, 11(2):41-51, Agustus 1998, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, IPB. Bogor.

Modernisasi, “Krisis Ekologi” dan Ketimpangan Sosial

99

modal dan teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas usaha budidaya dan penangkapan ikan, yang selama ini ditempuh akan bisa sejalan dengan tujuan pembangunan (nasional) secara berkelanjutan ?" Tujuan tulisan ini adalah untuk membahas suatu proposisi yang menyatakan bahwa : "Modernisasi (perekonomian) masyarakat desa pantai, melalui penetrasi ekonomi pasar yang kurang terkontrol, bukan saja akan berdampak buruk terhadap ekosistem desa pantai setempat, namun juga akan menyebabkan timbulnya ketimpangan pada sebagian besar masyarakatnya". Penganalisaan tulisan ini akan menggunakan perspektif pembangunan berkelanjutan, yang diarahkan pada kegiatan perekonomian budidaya pantai dan perikanan tangkap. Data kajian berupa hasil pengamatan empirik di lapangan. Kajian ini dilakukan dalam rangka membahas proposisi di atas. Data berupa hasil pengamatan (lapangan) dikumpulkan dari desa pantai di Provinsi Jawa Timur, yang mewakili daerah relatif maju ("modern"), dan Provinsi Sumatera Utara, yang mewakili daerah relatif kurang maju. Desadesa yang dipilih sebagai contoh kasus adalah yang kegiatan perekonomiannya masih didominasi kehidupan nelayan tradisional, sebagai penangkap ikan. Bahasan pertama adalah yang menyangkut merasuknya modernisasi dalam kehidupan masyarakat nelayan; bersamaan dengan merasuknya perekonomian pasar, penggunaan teknologi dan modal tinggi dalam kegiatan penangkapan. Kedua, dibahas gejala "krisis ekologi" dan kemerosotan perkembangan usaha ekonomi setempat. Ketiga, dibahas tentang gejala over eksploitasi terhadap sumberdaya dan ekosistem setempat dalam kaitannya dengan munculnya ketimpangan sosial yang semakin serius. Dari ketiga topik bahasan tadi akan diajukan saran tentang perlunya perbaikan konsep penyelenggaraan pembangunan yang memberikan penilaian lebih wajar terhadap faktor ekosistem dan tatanan sosial yang tidak timpang. METODOLOGI Kerangka Pemikiran Hingga kini masyarakat tradisional yang tinggal di kawasan (desa) pantai secara ekonomi relatif tertinggal dibanding yang tinggal di kawasan non-pantai. Kehidupan masyarakat tradisi di kawasan desa pantai umumnya didukung oleh ekosistem estuaria dan perairan laut. Kawasan desa pantai dan perairan laut, yang mencakup ekosistem estuaria dan perairan laut, secara ekologis mempunyai potensi sumberdaya yang relatif kaya (Odum, 1957; Kennish, 1986; dan Chiras, 1985). Jika pengelolaan sumberdaya pantai dan perairan ini dikelola dengan memperhatikan aspek ekologinya, misalnya dengan tidak menghabisi hutan mangrove (Dahuri, dkk., 1995; Sumardja, 1998; Nybakken, 1988; dan Choudhury, 1997), kemungkinan besar masyarakat desa pantai bisa memperoleh kenyamanan kehidupan ekonomi yang lebih tinggi, dan kenyamanan tadi dapat terus ditingkatkan.

100

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Gejala umum yang terungkap bahwa perkembangan masyarakat desa pantai saat ini menghadapi ancaman serius, terutama dalam bentuk "krisis ekologi" dan ketimpangan sosial yang meluas. Hal ini merupakan suatu gambaran yang sangat kontradiktif dengan potensi ekosistem yang mendukungnya. Suatu hal yang hampir dapat dipastikan, bahwa munculnya "krisis ekologi" yang dibarengi (atau berakibat) ketimpangan sosial yang meluas tidak lain adalah adanya kesalahan dalam penggunaan konsep pembangunan (Bookchin, 1982). Menurut Chiras (1985), Panayotou (1994), Munasinghe (1993), dan Van Dieter (1995), konsep pembangunan yang diterapkan sebelum ini lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ("growth maniac") dan sangat kurang mempertimbangkan aspek keterbatasan (daya dukung) ekologis setempat. Keterbukaan dan penetrasi ekonomi pasar (Polanyi, 1957) membuka kemungkinan pemacuan pertumbuhan ekonomi dalam pengembangan kawasan desa pantai. Hanya saja, pemacuan pertumbuhan ekonomi tadi berjalan satu garis lurus dengan pengurasan ekosistem estuaria dan perairan laut. Tanpa adanya upaya secara sadar untuk memahami perilaku dan keterbatasan ekosistem tadi, pemacuan pertumbuhan ekonomi tadi menggiring masyarakat desa pantai untuk kerhadapan dengan "krisis ekologi". Pada gilirannya, dengan ancaman "krisis ekologi" tadi pemacuan pertumbuhan ekonomi tadi juga akan menghadapi ancaman kemacetan. Dalam kondisi demikian "satu pilar utama" pembangunan berkelanjutan telah patah, dan masyarakat desa pantai akan menghadapi ancaman malapetaka kehidupan ekonomi. Ditinjau dari konsep pembangunan yang berorientasi pada perubahan struktur sosial, pengembangan masyarakat desa pantai yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, ternyata berdampak buruk bagi pola-pola hubungan masyarakat. Dalam tulisannya berjudul "Modernization Without Development", Sajogyo (1974) mengemukakan bahwa “berkah” modernisasi (“intensifikasi”) pada masyarakat padi sawah di Jawa ternyata lebih banyak dinikmati oleh petani lapisan atas. Selain itu sistem politik desa menjadi sangat monolitik, sehingga hasil pembangunan kurang mencerminkan sebagai hasil dari peningkatan partistipasi masyarakat lapisan bawah. Dari segi pemacuan produksi dan peningkatan pendapatan (ekonomi) secara agregat, modernisasi yang digerakkan oleh penerapan teknologi mutakhir dan ekonomi pasar untuk sementara waktu dinilai berhasil. Namun ditinjau dari segi pencapaian jaminan (keadilan dan) kepastian hidup dan pemerataan ekonomi, modernisasi tadi dinilai banyak mengalami kegagalan (Tjondronegoro, 1977; Penny, 1990, dan Sajogyo, 1974). Bahkan sistem ekonomi pasar yang dijadikan penggerak modernisasi tadi telah banyak terbukti ikut menjadi andil munculnya gejala kemiskinan massal. Perspektif untuk mengkaji perkembangan masyarakat desa pantai ini adalah dengan menggunakan kerangka pembangunan berkelanjutan. Gambar 10 memperlihatkan perspektif yang menunjukkan adanya keterkaitan dan sekaligus perbedaan antara modernisasi dan pembangunan

Modernisasi, “Krisis Ekologi” dan Ketimpangan Sosial

101

102

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

berkelanjutan. Perbedaan yang menyolok antara modernisasi dan pembangunan berkelanjutan adalah bahwa pada modernisasi tidak mementingkan adanya tanggung jawab terhadap pencapaian kesejahteraan (dan keadilan) sosial dan peningkatan keandalan ekosistem dalam menopang kehidupan masyarkat desa pantai (atau nelayan). Tampak dari Gambar 10 bahwa dalam perspektif pembangunan berkelanjutan, perubahan sosial (Poensioen, 1969 dan McIver and Page, 1962) juga diarahkan pada terbentuknya struktur dan budaya masyarakat yang lebih harmonis. Struktur atau keorganisasian sosial yang harmonis merupakan tatanan sosial yang tidak timpang, dan yang secara sistematik bisa menjamin terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial, (mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, peluang melakukan mobilitas sosial vertikal, pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja, dan adanya kebebasan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan). Budaya masyarakat yang harmonis berkaitan dengan penegakkan sistem nilai yang menghargai hak asasi orang lain atau golongan masyarakat lain, dan menghargai ekosistem sebagai sumberdaya kehidupan bersama. Konsep modernisasi dalam pengelolaan sumberdaya pantai dan perairan laut tetap dapat digunakan. Hanya saja, perhatian yang terlalu besar terhadap pencapaian tujuan pertumbuhan ekonomi melalui ekspansi modal dan teknologi dalam peningkatan produktivitas dan nilai tambah ekonomi perlu dibingkai dan diintegrasikan dengan tujuan peningkatan kesejahteraan sosial (Harrison, 1988), dan peningkatan mutu dan daya dukung ekosistem setempat. Modernisasi pada masyarakat desa pantai akan menjadi (pembangunan) berkelanjutan jika dan hanya jika memperoleh dukungan yang memadai dari sumberdaya ekosistem setempat dan sistem sosial yang sehat (tidak timpang). Data dan Analisa Data dikumpulkan melalui pengamatan dan wawancara langsung di lapangan. Lokasi desa pantai yang dipilih adalah yang mewakili wilayah yang karakteristik berbeda, namun tetap menggambarkan peradaban ekonomi masyarakat nelayan tradisional. Perbedaan karakteristik desa tadi dilihat dari kriteria lingkungan peradaban ekonomi, wilayah desa, prasarana ekonomi, keberadaan hutan mangrove, kepadatan penduduk, teknologi penangkapan, dan ketersediaan sumberdaya non-penangkapan (Tabel 13). Desa Kandang Semangkon dan Labuhan masuk wilayah Kabupaten Lamongan (Jawa Timur), sedangkan Desa Pulau Sembilan dan Perlis masuk wilayah Kabupaten Langkat (Sumatera Utara). Aspek budaya dari kedua provinsi berbeda, namun budaya antar desa dalam satu kabupaten relatif tidak berbeda. Aspek teknologi diperkirakan bisa menjelaskan perbedaan keragaan kemajuan ekonomi dan ketimpangan sosialnya, dimana desa-desa di Provinsi jawa Timur mewakili wilayah nelayan yang teknologi penangkapannya relatif tinggi. Penggunaan peralatan tangkap

103

Modernisasi, “Krisis Ekologi” dan Ketimpangan Sosial

jenis mini-purseseine telah banyak ditemui pada nelayan tradisional di Jawa Timur. Sedangkan nelayan tradisional di Sumatera Utara sebagian besar masih menggunakan gill-net dengan ukuran perahu motor relatif kecil (< 10 GT). Tabel 13.

Pemilihan Desa-desa Nelayan Contoh Berdasar Lokasi Provinsi dan Kriteria yang Digunakan Kriteria

Jawa Timur Ds I Ds II

Sumatera Utara Ds III Ds IV

Ling.peradaban1) ekonomi

Sedang maju

Maju

Sedang kurang maju

Maju

Wilayah desa

Daratan

Daratan

Kepulauan

Daratan

Prasarana ekonomi

Sedang

Baik

Sedang

Baik

Hutan mangrove

Sedikit

Habis

Banyak

Sedang

Kepadatan penduduk

Sedang

Tinggi

Rendah

Tinggi

Sedang/ Tinggi

Sedang/ Tinggi

Sedang

Sedang

Teknologi penangkapan2)

Sumberdaya nonCukup Kurang Cukup Kurang Penangkapan Keterangan : Ds I = Desa Kandang Semangkon; Ds II = Desa Labuhan; DS III = Desa Pulau Sembilan; dan Ds IV = Desa Perlis 1) Jawa Timur mewakili lingkungan peradaban ekonomi maju; dan Sumtara Utara kurang maju 2) Tinggi, jika dijumpai peralatan tangkap mini-purseseine.

Kajian ini menggunakan metode penelitian sosial, sebagaimana dijelaskan oleh Poplin (1957) dan Von Wright (1979). Wawancara dengan responden dilakukan secara semi-terstruktur, dan informasi dikumpulkan dalam bentuk catatan harian. Informasi kualitatif dinilai mempunyai bobot yang tidak berbeda dengan informasi kuantitatif. Para responden yang diwawancarai antara lain mencakup: nelayan pemilik (besar/kecil), nelayan buruh (berkeahlian/tidak berkeahlian khusus), nelayan jala apung, petambak, pemuka masyarakat, operator lembaga perekonomian setempat (misalnya: pedagang ikan, pedagang perbekalan, toko dan bengkel perbaikan peralatan tangkap). Analisis data dilakukan secara deskriptif dan ideografis (Von Wright, 1979), dengan dibantu tabulasi silang dua arah. Penganalisaan dilakukan dengan membandingkan kejadian antar lokasi dan desa, yang bersifat dinamik (tidak searah). Dari penganalisaan yang umumnya bersifat kualitatif, karena pengamatan bersifat langsung, dinilai dapat diandalkan

104

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

untuk penarikan kesimpulan dan perumusan implikasi kebijakan. Analisis diarahkan untuk menjelaskan hubungan khas antara gejala modernisasi, "krisis ekologi", dan ketimpangan masyarakat desa pantai. Dalam menjelaskan hubungan khas tadi perlu dilakukan penelusuran dalam "sistem makna" (Lauer, 1982), yang mendasari dinamika masyarakat setempat dalam beradaptasi terhadap lingkungannya. MODERNISASI DAN EKONOMI PASAR Dari pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kegitan pengelolaan ekosistem desa pantai atau perairan setempat adalah berupa usaha penangkapan ikan di laut dan budidaya pantai. Dari hasil penangkapan dan budidaya ini umunya tidak dikonsumsi sendiri oleh masyarakat desa pantai setempat; melainkan hampir semuanya dijual ke pasar. Mengingat terbuknya jaringan transportasi dan aktifnya para pedagang, jarang sekali ditemui hasil tangkapan dan budidaya tadi tidak terjual ke pasar. Tabel 14 menggambarkan tentang orientasi pasar tujuan dari kegiatan penangkapan ikan dan budidaya pantai pada masing-masing desa nelayan. Tampak bahwa kegitan budidaya pantai lebih berorientasi ke pasar ekspor dibanding dengan kegiatan penangkapan. Kegiatan budidaya pantai di Provinsi Sumatera Utara dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat desa pantai; namun tidak pada masyarakat desa pantai di Jawa Timur. Relatif besarnya kerusakan (ekosistem) hutan mangrove di Jawa Timur, menyulitkan dikembangkannya budidaya pantai yang hemat modal. Akibatnya, budidaya pantai seperti tambak udang hanya bisa dikembangkan oleh orang luar desa setempat. Akhir-akhir ini, budidaya tambak udang secara intensif telah mengalami banyak kegagalan. Penggunaan bahan kimia yang relatif besar pada budidaya tambak udang intensif telah menyebabkan kerusakan dan pencemaran pada ekosistem (pertambakan) setempat. Tujuan pasar domestik umumnya adalah untuk memenuhi permintaan pasar di Pulau Jawa. Ini bisa dimengerti mengingat besarnya jumlah penduduk yang terkonsentrasi di Jawa, sekitar 60 persen (> 120 juta jiwa) dari keseluruhan penduduk Indonesia. Bisa dimengerti pula mengapa sebagian besar hasil tangkapan dari nelayan Jawa Timur dipasarkan di lingkungan pasar domestik. Faktor lain yang patut diperhitungkan, mengapa pasar domestik (Jawa) relatif dominan, bahwa di Jawa telah berkembang industri-industri pengolah ikan yang relatif maju. Pabrik krupuk, terasi, petis, minyak ikan, dan pengalengan ikan yang berukuran besar dan modern) sebagian besar terdapat di Jawa. Dipandang dari sudut ini modernisai usaha perikanan telah berkembang pesat di Jawa, dan relatif sangat maju dibandingkan

105

Modernisasi, “Krisis Ekologi” dan Ketimpangan Sosial

dengan di Sumatera. Disamping menyerap produk perikanan laut dalam bentuk segar, Jawa juga menjadi pusat konsumen produk ikan olahan. Jawa seakan-akan menjadi pasar produk perikanan laut yang tidak pernah jenuh. Tabel 14.

Orientasi Pasar Tujuan Menurut Persentase Volume Hasil Budidaya dan Penangkapan pada Masing-masing Desa Pantai

Lokal

Orientasi pasar tujuan Domestik (dalam negeri)

Ekspor

<5 5-7

10 - 15 50 - 60

> 70 > 20

td 5 - 10

td 50 - 55

td . 25

td 15 - 20

td 60 - 70

td < 10

5-7 15 - 20

20 - 30 60 - 70

> 50 < 10

Desa pantai

1. 2.

1. 2.

Sumatera Utara Pulau Sembilan - Budidaya - Penangkapan Perlis - Budidaya - Penangkapan Jawa Timur Kd.Semangkon - Budidaya - Penangkapan Labuhan - Budidaya*) - Penangkapan

Keterangan : td = tidak ada data atau data sangat kecil *) = dilakukan oleh orang luar desa, biasanya oleh orang bermodal besar dari kota

Teknologi penangkapan ikan di desa-desa pantai di Jawa relatif lebih maju. Bersamaan dengan tekanan ekologis, kekuatan pasar ikan di Jawa menyebabkan para nelayan di Jawa terus memodernisir peralatan tangkapnya. Dilihat dari ukuran jaring, dibanding 10 tahun lalu, meningkat lebih dari 80 persen. Sebagai gambaran; penggunaan jaring jenis purseseine yang dahulu hanya berukuran sekitar 60 pis, sekarang sudah mencapai 100 - 120 pis. Penggunaan mesin penggeraknyapun menunjukkan peningkatan, baik dalam ukuran maupun jenisnya. Mesin pendorong meningkat dari sekitar 20 PK menjadi lebih dari 40 PK. Dulu tidak dikenal mesin penggerak untuk penarik jaring ("gardan"); sekarang semua jenis perahu bermesin di atas 20 PK menggunakan "gardan". Selain itu juga digunakan mesin khusus untuk penerangan listrik. Lebih-lebih, setelah 1995, masyarakat nelayan di Jawa Timur banyak yang mengganti armada penangkapan lamanya (non-purseseine) dengan armada jenis mini purseseine.

106

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Perkembangan ke arah pemakaian jenis alat tangkap yang lebih besar, berteknologi lebih tinggi, dan investasi lebih besar mengindikasikan kegiatan nelayan tangkap rakyat berproses menuju modernisasi tanpa henti. Nelayan (tradisional) juga dituntut harus lebih rasional dalam mengelola kegiatan penangkapan. Berkaitan dengan itu, penggunaan tenaga kerja lebih ahli (skilled labor), modal lebih besar, organisasi lebih kompleks, dan orientasi usaha penangkapan lebih ke arah pencarian keuntungan ("komersial") menjadi semacam keharusan. Keadaan ini memperkuat pendapat bahwa tarikan pasar lebih mendorong timbulnya modernisasi daripada induced factor pada masyarakat desa pantai itu sendiri. Suatu gambaran yang buram, bahwa agaknya gejala yang ditunjukkan oleh hasil modernisasi tadi kurang memperhatikan aspek ekologi perairan. Modernisasi yang terjadi pada masyarakat desa pantai lebih mengarah pada peningkatan eksploitasi yang kurang terkontrol terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Terdapat kecenderungan modernisasi yang digerakkan oleh ekonomi pasar dan kapital tinggi, jika tidak dikendalikan, akan mengarah pada terjadinya bencana ekosistem perairan laut. Jika bencana itu benar-benar terjadi, kemungkinan besar hal itu akan mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas kehidupan masyarakat desa pantai secara drastis. GEJALA "KRISIS EKOLOGI" DAN USAHA EKONOMI Walaupun kegiatan penangkapan ikan merupakan usaha ekonomi yang relatif dominan, kegiatan ekonomi di masing-masing desa pantai relatif bervariasi. Faktor sumberdaya alam atau aspek ekologis sangat menentukan kekhasan jenis kegiatan ekonomi yang ada di suatu desa pantai. Tabel 15 menunjukkan sumberdaya desa pantai yang saat ini dijadikan basis kegiatan budidaya. Terlihat bahwa secara ekologis Desa Pulau Sembilan mempunyai peluang relatif paling besar mengembangkan kegiatan ekonominya melalui usaha budidaya. Pada desa pantai lain, seperti Desa Kandang Semangkon, peluang pengembangan kegiatan budidaya pantai untuk pengembangan kegiatan ekonominya relatif terbatas. Usaha budidaya yang dijumpai di Desa Pulau Sembilan relatif beragam. Penggunaan jaring apung atau keramba untuk pembesaran ikan kerapu dalam tiga tahun terakhir berkembang sangat pesat. Bibit ikan kerapu diperoleh dari nelayan kecil setempat. Para nelayan kecil menangkap bibit ikan krapu di alam, yaitu di sela-sela hutan mangrove. Usaha ini sangat menguntung-kan dan bisa mendatangkan pendapatan bersih sekitar Rp 1 juta per bulan, dengan ukuran luas jaring sekitar 25 m2. Permintaan pasar ekspor sangat terbuka untuk ikan kerapu berukuran 0,4 - 0,8 kg per ekor. Usaha jaring apung ini tampaknya masih sulit berkembang di Desa Perlis.

107

Modernisasi, “Krisis Ekologi” dan Ketimpangan Sosial

Tabel 15. Ketersediaan Sumberdaya Hutan Mangrove, Lahan Payau dan Daratan untuk Kegiatan Budidaya pada Masing-masing Desa Pantai Desa pantai Sumatera Utara 1. Pulau Sembilan 2. Perlis

Mangrove

Sumberdaya Lahan payau

Daratan

XXX XX

XX X

XXX X

Jawa Timur 1. Kd.Semangkon td X 2. Labuhan X XX Keterangan : XXX = besar; XX = sedang; X = kecil td = data sangat kecil atau tidak ada.

X XX

Usaha budidaya lain yang dijumpai di Pulau Sembilan adalah pertambakan udang semi intensif, kepiting, dan kerapu. (Karena terbatasnya sumberdaya lahan payau, usaha budidaya ini sedikit sekali ditemui di Desa Perlis). Pertanian lahan darat, seperti penanaman padi dan palawija, kebun kelapa, pisang, dan buah-buahan berkembang cukup baik di Pulau Sembilan; namun tidak dijumpai di Desa Perlis. Di Provinsi Jawa Timur, budidaya lahan payau dan darat hanya berkembang di Desa Kandang Semangkon. Budidaya lahan payau didominasi oleh tambak udang, sebagian besar biaya tambak intensif dan sebagian kecil tidak intensif. Budidaya tambak intensif dilakukan oleh penduduk luar desa pantai yang bermodal besar; sedangkan tambak tidak intensif oleh penduduk desa setempat. Kegiatan ekonomi dengan teknologi dan modal tinggi tidak menjadi bagian kegiatan perekonomian desa pantai setempat. Masyarakat desa setempat terlihat ter-"alineasi" dengan kegiatan ekonomi modern, seperti tambak udang intensif (oleh orang kota) yang berorientasi untuk pasaran ekspor. (Kondisi sumberdaya alam di Desa Labuhan tidak memungkinkan dikembangkan budidaya tambak atau pertanian darat). Dari Tabel 14 tampak bahwa, baik di Sumatera maupun Jawa Timur, dijumpai desa pantai yang mengalami "krisis ekologi" untuk menopang keberlanjutan ekonomi masyarakatnya. Desa Perlis (Sumatera Utara) dan Desa Kandang Semangkon (Jawa Timur) menunjukkan tipe desa yang mengalami "krisis ekologi" untuk menopang kegiatan ekonomi masyarakatnya. Kedua desa ini dekat dengan pusat kegiatan ekonomi, dan jumlah penduduknya relatif sangat padat (> 400 jiwa per km2). Secara umum dapat dikatakan bahwa kepadatan penduduk di Jawa Timur relatif tinggi, dan tekanan penduduk terhadap sumberdaya pantai juga relatif tinggi. Terdapat hubungan yang jelas antara besarnya tekanan penduduk dan kerusakan atau habisnya hutan mangrove. Menurut pengakuan penduduk setempat, sekitar 20 tahun lalu hutan mangrove di Desa Kandang Semangkon dan Labuhan relatif besar. Karena desakan

108

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

(misalnya) untuk pemukiman, pemenuhan kayu bakar dan tambak udang, secara berangsur-angsur luas hutan mangrove berkurang drastis. Habisnya hutan mangrove ternyata berdampak buruk terhadap kegiatan penangkapan ikan. Tabel 16 menunjukkan rata-rata jarak penangkapan ikan dari pantai di masing-masing desa pantai. Terlihat ada hubungan erat antara besarnya hutan mangrove dan jauhnya daerah penangkapan ikan. Pada desa pantai yang masih mempunyai hutan mangrove, seperti di Desa Pulau Sembilan dan Perlis (Sumatara Utara), daerah penangkapan ikan dari pantai relatif dekat. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan desa pantai yang sedikit sekali atau tidak ada lagi hutan mangrovenya, seperti di Desa Kandang Semangkon dan Labuhan (Jawa Timur). Desa-desa pantai di Jawa Timur jarang dijumpai lagi kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan perahu atau kapal berukuran < 5 GT (Gross Ton); kecuali perahu yang menangkap udang dengan jaring insang (gillnet). Dengan menggunakan perahu kecil (< 5 GT) dan bertenaga motor kecil (< 10 PK) akan sulit bisa memperoleh hasil tangkapan yang bisa mencukupi kebutuhan nelayan, karena daya jelajahnya relatif pendek. Namun untuk desa-desa pantai di Sumatera Utara, walaupun hal ini telah mulai dirasakan semakin berat, masih banyak dijumpai nelayan setempat yang menggunakan perahu bermotor berukuran < 5 GT. Tabel 16. Rata-rata Jarak Daerah Penangkapan Ikan dari Pantai di Masing-masing Desa Pantai Menurut Ukuran Kapal Desa pantai Sumatera Utara 1. Pulau Sembilan 2. Perlis Jawa Timur 1. Kd. Semangkon 2. Labuhan Keterangan : td = tidak ada data.

Rata-rata jarak daerah penangkapan < 20 GT > 20 GT 5 - 20 10 - 30

td td

20 - 30 20 - 30

> 50 > 50

Terdapat kecenderungan bahwa untuk mempertahankan jumlah tangkapan yang relatif tetap, dari tahun ke tahun (dalam 10 tahun terakhir), diperlukan ukuran perahu dan mesin penggerak yang lebih besar. Ini menunjukkan bahwa sumberdaya perairan mengalami degradasi atau mengarah pada gejala "krisis ekologi" perairan. Bagi masyarakat desa pantai, yang mengandalkan mata pencahariannya dari kegaitan penangkapan, gejala ini memerlukan perhatian serius. Menurut pengakuan sebagian besar penduduk desa pantai setempat, usaha penangkapan dengan menggunakan perahu bermotor ukuran kecil semakin sulit dipertahankan. Produktivitas perairan laut telah banyak mengalami penurunan (lebih dari 30 persen), terutama

Modernisasi, “Krisis Ekologi” dan Ketimpangan Sosial

109

dalam 10 tahun terakhir. Sementara itu, kegiatan budidaya pantai tidak sepenuhnya bisa dijalankan dengan biaya relatif murah. Masalah kerusakan ekologi perairan, terutama akibat eksploitasi yang berlebihan dan penebangan hutan mangrove, telah menggiring sebagian besar penduduk desa pantai setempat ke jurang kemerosotan taraf kehidupan (menjadi) di bawah normal. EKSPLOITASI DAN GEJALA KETIMPANGAN Pemanfaatan teknologi penangkapan yang lebih mutakhir sudah barang tentu terkait erat dengan upaya memperoleh hasil tangkapan yang lebih besar. Persoalan yang timbul kemudian, antara lain adalah para nelayan tangkap umumnya bersikap bahwa sumber daya laut adalah milik bersama. Sementara itu, secara teoritis maupun empriis sumber daya laut sifatnya adalah terbatas. Gordon (1986) memperingatkan bahwa usaha penangkapan komersial di laut akan mempengaruhi stok ikan di laut. Sebagai konsekuensinya adalah semakin besar usaha penangkapan komer-sial, terutama yang menggunakan teknologi tinggi, akan semakin menguras stok ikan di laut. Gejala over eksploitasi atau pengurasan stok ikan di laut telah mulai dirasakan nelayan tangkap, terutama di Jawa Timur dan Sumatera Utara. Sebagai gambaran, ternyata ruang gerak yang dirasakan nelayan kecil pengguna alat tangkap gillnet semakin terbatas. Menurut para nelayan di kecamatan Pangkalan Brandan, dalam sepuluh tahun terakhir daerah penangkapannya (fishing ground) terasa sekali semakin menyempit, dan hasil tangkapan sehari-harinya pun menunjukkan penurunan yang sangat terasa. Eksploitasi penangkapan dengan jaring fishnet, oleh pemilik kapal motor besar dari Medan, menguras perairan dangkal tempat beroperasinya nelayan tangkap kecil. Faktor lemahnya pengawasan laut ikut menyebabkan timbulnya eksploitasi yang berlebihan ini. Pendapatan nelayan kecil semakin hari semakin menurun. Gejala ini terjadi baik di Sumatera Utara maupun Jawa Timur. Telah banyak ditemui nelayan kecil terpaksa menjual peralatan tangkapnya kepada nelayan besar karena terbelit hutang. Biasanya nelayan kecil mempunyai hutang (untuk membayar bahan bakar, ongkos melaut, dan memperbaiki kerusakan pada peralatan tangkapnya) pada pemilik modal atau nelayan besar atau tauke. Dengan hasil tangkapan yang terus merosot, karena "krisis ekologi", maka hutang terus menumpuk. Pada gilirannya, peralatan tangkapnya, sebagai satu-satunya "barang berharga" yang dimiliki, harus direlakan dijual untuk membayar hutang tadi. Banyak ditemui di Desa Perlis, dalam waktu kurang dari 5 tahun, nelayan kecil atau pemilik peralatan tangkap atau juragan berubah menjadi ABK atau nelayan buruh. Di Desa Kandang Semangkon dan Labuhan gejala demikian juga banyak ditemui, terutama pada nelayan kecil atau nelayan non-purseseine. Sebabnya adalah sama, bahwa hasil

110

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

penangkapan dari waktu ke waktu semakin merosot, dan hutang nelayan terus menumpuk. Dewasa ini dijumpai adanya golongan nelayan pengusaha peralatan tangkap (yang berjumlah sedikit) di satu sisi, dan golongan nelayan buruh yang berjumlah (semakin) banyak di sisi lain. Keadaan ini sekaligus menggambarkan bahwa perkembangan ketimpangan sosial yang dari waktu ke waktu menunjukkan gejala semakin meningkat. Sistem bagi hasil yang diterapkan, antara pemilik peralatan tangkap dan nelayan buruh, menyulitkan nelayan buruh bisa meningkatkan statusnya menjadi pemilik. Penelitian Pranadji (1995) dan Taryoto dkk. (1993) di Jawa Timur menunjukkan, bahwa sistem bagi hasil pada kegiatan nelayan tangkap telah menyebabkan semakin besarnya ketimpangan sosial. Ketimpangan sosial yang terjadi bukan saja pada hubungan antara (nelayan) pemilik peralatan tangkap dan nelayan buruh; namun juga antara nelayan buruh yang berkeahlian khusus dengan nelayan buruh yang tidak berkeahlian khusus. Akibatnya, nasib nelayan buruh yang tidak berkeahlian khusus semakin hari semakin sulit untuk berkembang. Sistem bagi hasil dapat dikatakan sebagai "biang keladi" adanya gejala eksploitasi antar golongan nelayan, dan menjadi penyebab terjadinya ketimpangan sosial yang semakin tajam antar golongan nelayan. Menurut Scott (1983), ketimpangan sosial tadi dapat diatasi jika hasil perolehan dari kegiatan penangkapan dapat memenuhi kebutuhan hidup atau subsistensi mereka. Hanya saja pendapat Scott ini sulit terwujud, karena "krisis ekologi" menyebabkan hasil perolehan dari kegiatan nelayan sulit ditingkatkan. Jadi, gejala ketimpangan tadi tampaknya tidak dapat dipisahkan dari gejala over eksploitasi pada daerah tangkapan, dan sistem patron-client setempat (Ahimsa Putera, 1988). Gejala ketimpangan dan keterbelakangan pada masyarakat desa pantai ini sebelumnya telah dibahas oleh Pranadji (1991) dan Mubyarto dkk. (1984). Hanya saja, dalam bahasan kedua pakar tadi belum ada pengaitan langsung antara gejala "krisis ekologi" perairan laut dengan ketimpangan dan keterbelakangan pada masyarakat desa pantai. Selama perairan laut masih merupakan sumberdaya terbuka atau open access (Gordon, 1986; Smith dan Marahuddin, 1986; Smith, 1979), proses persaingan yang tidak sehat dalam pemanfaatan sumberdaya perairan tidak bisa dihindarkan. Golongan nelayan besar, yang mempunyai modal besar dan bisa mengakses perkembangan teknologi mutakhir, akan lebih berpeluang dalam meningkatkan daya eksploitasinya terhadap sumberdaya perairan. Golongan nelayan kecil, karena keterbatasan dalam permodalan dan kurang dapat mengikuti perkembangan teknologi, semakin sulit beradaptasi terhadap penurunan produktivitas ekosistem laut untuk kegiatan penangkapan ikan. Gambaran yang menarik, yang mencerminkan belum adanya "krisis ekologi", ditemui di Pulau Sembilan. Teknologi penangkapan ikan di Pulau Sembilan selama 10 tahun relatif tidak mengalami perubahan yang

Modernisasi, “Krisis Ekologi” dan Ketimpangan Sosial

111

berarti, namun demikian tidak dijumpai tanda-tanda adanya peningkatan ketimpangan sosial yang jelas. Gejala yang terjadi di Pulau Sembilan berbeda kontras dengan yang terjadi di Desa Perlis (Sumatera Utara), Kandang Semangkon dan Labuhan (Jawa Timur). Sebagian besar nelayan di Pulau Sembilan adalah pemilik peralatan tangkap; hanya sebagian kecil yang benar-benar sebagai nelayan buruh. Para nelayan pemilik peralatan tangkap di Pulau Sembilan justru sering kesulitan dalam memperoleh nelayan buruh, terutama saat akan melakukan operasi penangkapan. Gambaran ini menunjukkan bahwa pemacuan teknologi bukan satusatunya jalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan secara berkelanjutan. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN (1) Perkembangan modernisasi di kawasan desa pantai yang digerakkan oleh penetrasi ekonomi pasar, modal dan teknologi mutakhir ternyata membawa akibat yang tidak bersahabat terhadap sumberdaya alam dan ekosistem estuaria serta perairan laut. Modernisasi yang menekankan pemacuan pertumbuhan ekonomi berimplikasi buruk terhadap penguasaan sumberdaya alam dan biologis setempat. Selain itu, modernisasi juga punya andil relatif besar terhadap munculnya gejala ketimpangan (dan kemiskinan) sosial yang meluas di pedesa-an kawasan pantai. (2) Pembangunan kawasan dan masyarakat desa pantai yang dewasa ini dijalankan lebih terfokus untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, dan kurang sekali memperhitungkan keterbatasan daya dukung sumberdaya ekosistem setempat. Akibat dari penggunaan teknologi dan modal tinggi dalam mengeksploitasi ekosistem estuaria dan perairan laut setempat, perkembangan perekonomian masyarakat desa pantai dari waktu semakin dekat dengan ancaman "krisis ekologi". Tanpa adanya penyempurnaan konsep atau perspektif pembangunan atau modernisasi, peningkatan perekonomian masyarakat desa pantai dalam satu-dua dekade mendatang diperkirakan akan mengalami kemacetan. (3) Pengembangan perekonomian desa pantai, terutama melalui modernisasi kegiatan penangkapan, kurang memberi kesempatan bagi golongan masyarakat nelayan kecil untuk meningkatkan produktivitas kerjanya. Mengingat sumberdaya perairan laut bersifat terbuka, dan kurang didukung oleh struktur dan keorganisasian yang sehat, yang lebih diuntungkan dalam pemanfaatan sumberdaya tadi adalah golongan nelayan besar atau nelayan yang berkeahlian khusus. Dengan demikian, ketimpangan sosial berkembang lebih tajam sejalan dengan semakin majunya modernisasi. (4) Kehancuran hutan mangrove akibat "ulah manusia" dapat dijadikan indikator kemungkinan terjadinya "krisis ekologi" yang akan dihadapi

112

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

masyarakat desa pantai setempat. Ketidak-mampuan golongan nelayan berperalatan tangkap ukuran kecil dalam mempertahankan peralatannya, akibat terbelit hutang, dapat dijadikan indikator terjadinya ketimpangan sosial yang semakin tajam. (Sistem kelembagaan bagi hasil dan patron client setempat tidak lagi mampu mengerem peningkatan ketimpangan sosial yang terjadi). Gejala "krisis ekologi" yang tampak saat ini merupakan tanda awal akan terjadinya ketimpangan sosial. Pada gilirannya "krisis ekologi" ini akan menjadi penyebab terjadinya kemacetan perkembangan kehidupan ekonomi masyarakat desa pantai. (5) Penyelenggaraan pembangunan nasional, belajar dari kasus pengembangan desa pantai, perlu dilakukan koreksi ke arah penerapan konsep pembangunan berkelanjutan. Anggapan bahwa aspek ekologi tidak menjadi penghalang serius bagi pemacuan pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutannya menjadi sangat tidak relevan lagi. Penggunaan kerangka penilaian ekonomi terhadap sumberdaya ekosistem harus dikaitkan dengan nilai manfaatnya secara lebih luas dan berjangka (lebih) panjang; lintas generasi. Nilai manfaat tidak langsung dan nilai pilihan perlu lebih dikedepankan dalam memberikan penilaian ekonomi terhadap ekosistem estuaria dan perairan laut. (6) Kebijaksanaan pemerintah tentang investasi, yang selama ini terlalu mengutamakan instrumen fiskal dan respon pasar dalam jangka pendek, perlu diimbangi dengan upaya pemeliharaan dan perbaikan (daya dukung dan) mutu ekosistem setempat, serta pengembangan ke arah terbentuknya struktur sosial yang lebih sehat (tidak timpang). Untuk pengembangan aspek ekologi dan struktur sosial hendaknya didasarkan pada penegakkan "moral politik" yang lebih mengarah pada penyelenggaraan pemerintah yang bersih (clean government) dan lebih terbuka (transparant).

Modernisasi

Ekonomi pasar (“uang”), adopsi teknologi mutakhir, dan kapital tinggi

-

Pembangunan /perubahan sosial berkelanjutan

Komponen pertumbuhan/ Efisiensi ekonomi -

Kenaikan produktivitas Kenaikan pendapatan atas faktor produksi (modal) dan teknologi

-

Basic need dan kesejahteraan Mobilitas kelas Pemerataan (pendapatan dan kesempatan kerja) Partisipasi dalam pengambilan keputusan

Rasionalitas Motivasi berprestasi Lembaga dan organisasi kompleks Diferensiasi sosial

Perubahan struktur/pelapisan dan budaya masyarakat, dan sustainabilitas sumberdaya (alam dan masyarakat)

-

Komponen ekologis Pemeliharaan dan peningkatan mutu dan daya dukung ekosistem

Gambar 10.

Perspektif yang Menunjukkan Adanya Perbedaan dan Keterkaitan antara Modernisasi dan Pembangunan Berkelanjutan (Diadaptasi dari Inayatullah, 1979; Munasinghe, 1983; Van Dieren, 1995; Pranadji, 1993; Dube, 1988; dan Tjondronegoro, 1978 dan 199)

Keterangan :

- kotak paling besar yang dibentuk oleh garis tidak terputus adalah daerah pembangunan berkelanjutan - kotak yang dibentuk oleh garis terputus adalah daerah modernisasi.