DIMENSI POLITIK STRATEGI PEMBANGUNAN EKONOMI

Download Edy Siswoyo, Dimensi Politik. INSANI ... pembangunan perekonomian pada masa lalu ... Refleksi Politik Ekonomi, disajikan bagi peserta Kulia...

0 downloads 468 Views 287KB Size
Edy Siswoyo, Dimensi Politik

DIMENSI POLITIK STRATEGI PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA*) Edy Siswoyo Abstrak Seperti pada saat Pemerintahan Baru Indonesia menggantikan Pemerintahan Kolonial, dan seperti Pemerintahan Orde Baru menggantikan Pemerintahan Orde Lama, maka cara penggantian pemerintahan selalu diikuti dengan penilaian terhadap kinerja pemerintahan sebelumnya yang tidak mampu mengatasi krisis. Tidak kurang pula banyaknya wanti-wanti yang memperingatkan jangan sampai gaya dan cara yang telah ditempuh oleh Pemerintah Orde Baru tersebut mewarnai pemerintahan yang sekarang ini. Reformasi harus total! Begitulah kira-kira suara-suara yang paling sering terdengar. Kenyataan sejarah menunjukkan lain. Tidak semua unsur krisis adalah hasil dari kesalahan rezim yang lalu. Rezim yang lalu tentu tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan. Sebaliknya, hasil-hasil positif pada masa lalu tidak dapat diabaikan begitu saja, bahkan perlu untuk dilanjutkan oleh rezim yang baru dan yang akan datang.

Pengantar Sebagai bagian dari reformasi, muncul kembali gagasan mengenai Ekonomi Kerakyatan atau Ekonomi Pancasila atau Nasionalisme Ekonomi, di mana kalangan akademisi memperbincangkannya seolah sebagai barang baru. Tetapi apa yang disebut dengan reformasi yang terjadi sejak tahun 1998, sampai saat ini belum juga mampu mengentaskan Indonesia dari krisis. Lalu orang tidak percaya lagi pada reformasi, sementara orde yang lebih baru lagi belum ada. Jadi, akan kemanakah perekonomian kita? Kembali ke ekonomi Kolonial? Kembali ke ekonomi Orde Lama? Kembali ke ekonomi Orde Baru? Sistem ekonomi apakah yang cocok untuk kita pakai ke depan ini? Ekonomi kerakyatan dan nasionalisme ekonomi atau kapitalisme dan globalisasi? Semua teori itu pernah dicoba di Indonesia. Tetapi kenyataannya, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Jika dicari di mana letak kesalahan dan kekurangannya, tentu banyak orang yang merasa mudah untuk menunjukkannya. Namun tulisan ini tidak berpretensi mencari kesalahan suatu teori, sebab tidak ada teori yang salah. Secara metodologis, setiap teori tentu sudah diverifikasi. Tulisan inipun berangkat dari asumsi bahwa segagal-gagalnya pemerintah dalam usaha pembangunan, tidak ada satupun yang bermaksud tidak baik terhadap rakyatnya; segagal-gagalnya usaha pembangunan, tentulah ada hasil positif yang

1

2

dapat dinikmati. Hal ini berlaku baik untuk masa Kolonial, Orde Lama, Orde Baru maupun masa Reformasi ini. Oleh karena itu dalam tulisan ini, di samping ingin menguraikan adanya beberapa kritik tajam yang cenderung menyorot kegagalan pembangunan perkonomian, juga perlu memaparkan secara obyektif usaha-usaha keras yang telah dilakukan oleh pemerintah serta alas an-alasan yang melatarbelakangi usaha-usaha itu. Adapun susunan pembahasan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut. Bagian pertama tulisan ini mendiskripsikan adanya kritik-kritik terhadap pembangunan perekonomian yang telah terjadi di Indonesia. Penempatan kritikkritik tersebut pada bagian pertama tulisan ini adalah dimaksudkan untuk memberikan penghargaan kepada kritik-kritik tersebut, lepas dari persoalan obyektif atau tidak obyektif. Kemudian pada bagian ke dua adalah mengenai dinamika sistem perekonomian yang telah dipraktekkan di Indonesia. Pemaparan pada bagian ke dua ini diusahakan secara kronologis sesuai dengan periodisasi yang lazim dalam sejarah perekonomian di Indonesia. Lalu bagian ke tiga tulisan ini dimaksudkan sebagai suatu refleksi, yaitu pembelajaran mengenai hal-hal yang baik maupun yang buruk yang telah dihasilkan oleh pembangunan perekonomian pada masa lalu sehingga dapat dicari jalan yang lebih baik menuju masa depan.

Refleksi Politik Ekonomi, disajikan bagi peserta Kuliah Sistem Politik Indonesia STISIP Widuri Semester Genap 2004/2005.

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

Sistem Ekonomi masa lalu, semua gagal? Melalui serangkaian seminar mengenai Pendalaman Ekonomi Rakyat yang diselenggarakan di Jakarta selama 6 bulan sejak 22 Januari hingga 2 Juli 2002, sejumlah LSM menyampaikan apa yang disebut dengan Manifesto Politik Ekonomi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Mereka adalah Pusat P3RYAE (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Perekonomian Rakyat – Yayasan Agro Ekonomika), Komisi Ilmu-ilmu Sosial – AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), Bina Swadaya, Perhepi (Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia), ISI (Ikatan Sosiologi Indonesia), dan Gema PKM (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia). Kelompok-kelompok ini lebih ekstrim; artinya bukan hanya sistem ekonomi Orde Baru saja yang gagal, tetapi Orde Reformasi sekarang ini salah arah, Orde Lama tidak jelas, Orde Kolonial memiskinkan rakyat. Berikut ini adalah kritik dan analisa yang mereka sampaikan dalam seminar tersebut di atas: Pertama. Sejarah ekonomi bangsa selama masa penjajahan 3,5 abad menggambarkan eksploitasi sistem kapitalisme liberal atas ekonomi rakyat yang berakibat pada pemiskinan dan distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat yang sangat pincang. Struktur sosial ekonomi yang tak berkeadilan sosial ini, melalui tekad luhur proklamasi kemerdekaan, hendak diubah menjadi masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kedua. Dengan warisan sistem ekonomi dualistik dan sistem sosial-budaya pluralistik, bangsa Indonesia membangun melalui “eksperimen” sistem sosialis dan sistem kapitalis dalam suasana sistem ekonomi global yang bernaluri pemangsa (predator). Eksperimen pertama berupa sistem ekonomi "sosialis" (1959-66) gagal karena tidak sesuai dengan moral Pancasila dan pluralisme bangsa, sedangkan eksperimen kedua yang “demokratis” berdasar sistem kapitalisme pasar bebas (1966 – 1998) kebablasan karena paham internasional liberalisme cum neoliberalisme makin agresif menguasai ekonomi Indonesia dalam semangat

globalisasi yang garang. Krisis moneter yang menyerang ekonomi Indonesia tahun 1997 merontokkan sektor perbankan-modern yang keropos karena sektor yang kapitalistik ini terlalu mengandalkan pada modal asing. Utang-utang luar negeri yang makin besar, baik utang pemerintah maupun swasta, makin menyulitkan ekonomi Indonesia karena resepresep penyehatan ekonomi dari ajaran ekonomi Neoklasik seperti Dana Moneter Internasional (IMF) yang justru melemahkan daya tahan ekonomi rakyat. Sektor ekonomi rakyat sendiri khususnya di luar Jawa menunjukkan daya tahan sangat tinggi menghadapi krisis moneter yang berkepanjangan. Oleh karena itu menurut kelompok ini, Ekonomi Rakyat yang tahan banting itulah yang seharusnya akan menyelamatkan ekonomi nasional dari ancaman kebangkrutan. Ketiga. Krisis sosial dan krisis politik yang mengancam keutuhan bangsa karena meledak bersamaan dengan krisis moneter 1997 bertambah parah karena selama lebih dari 3 dekade sistem pemerintahan yang sentralistik telah mematikan daya kreasi daerah dan masyarakat di daerah-daerah. Desentralisasi dan Otonomi Daerah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat daerah dalam pembangunan ekonomi, sosial-budaya, dan politik daerah, menghadapi hambatan dari kepentingan-kepentingan ekonomi angkuh dan mapan baik di pusat maupun di daerah. Ekonomi Rakyat di daerah-daerah dalam pengembangannya memerlukan dukungan modal, yang selama bertahun-tahun mengarus ke pusat karena sistem perbankan sentralistik. Modal dari daerah makin deras mengalir ke pusat selama krisis moneter. Undang-undang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dikembangkan melalui kelembagaan ekonomi dan keuangan mikro, dan peningkatan kepastian usaha di daerahdaerah. Keempat. Krisis Moneter juga menciptakan suasana ketergantungan ekonomi Indonesia pada kekuatan kapitalis luar negeri, lebih-lebih melalui cara-cara pengobatan Dana Moneter Internasional (IMF) yang tidak mempercayai serta mempertimbangkan kekuatan ekonomi rakyat dalam negeri khususnya di daerah-daerah. Kebijakan, program, dan teori-teori ekonomi yang menjadi dasar penyusunannya didasarkan pada model-model pembangunan Neoklasik Amerika yang agresif tanpa

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

3

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

mempertimbangkan kondisi nyata masyarakat plural di Indonesia. Pakar-pakar ekonomi, yang terlalu percaya pada model-model teoritik-abstrak, berpikir dan bekerja secara eksklusif, tanpa melibatkan peranserta pakarpakar non-ekonomi seperti sosiologi, ilmuilmu budaya, dan etika. Strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan makro dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan telah secara rata-rata menaikkan peringkat ekonomi Indonesia dari negara miskin ke peringkat negara berpendapatan menengah, namun disertai distribusi pendapatan dan kekayaan yang timpang, dan kemiskinan yang luas. Seharusnyalah reformasi ekonomi, politik, sosial-budaya, dan moral, membuka jalan pada reformasi total untuk mengatasi berbagai kesenjangan sosialekonomi yang makin merisaukan antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin, antara daerah-daerah yang maju seperti Jawa dan daerah-daerah luar Jawa yang tertinggal. Kelima. Kemerosotan Etika Pembangunan khususnya di bidang hukum dan bisnis modern berkaitan erat dengan pemaksaan dipatuhinya aturan main global yang masih asing dan sulit dipenuhi perusahaan-perusahaan nasional. Aturan main globalisasi dengan paham Neoliberal terutama berasal dari ajaran “Konsensus Washington” (1989) telah menyudutkan peranan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) merupakan jalan pintas para pelaku bisnis untuk memenangkan persaingan secara tidak bermoral yang merasuk pada birokrasi yang berciri semi-feodal. Etika Ekonomi Rakyat yang jujur, demokratis, dan terbuka, yang menekankan pada tindakan bersama (collective action) dan kerjasama (cooperation), merupakan kunci penyehatan dan pemulihan ekonomi nasional dari kondisi krisis yang berkepanjangan. Inilah moral pembangunan nasional yang percaya pada kekuatan dan ketahanan ekonomi bangsa sendiri. Globalisasi juga gagal ? Dalam 13 tahun terakhir sejak “Washington Concensus" 1989 dituduh mengkoyak-koyak perekonomian negaranegara berkembang dari mulai Amerika Latin, bekas Uni Soviet, dan negara-negara Asia Timur, di mana-mana muncul gerakan untuk melawannya, yaitu yang disebut gerakan anti4

globalisasi. Gerakan ini mengadakan unjuk rasa (demonstrasi) menentang pertemuanpertemuan WTO, IMF, dan Bank Dunia, mulai dari Seattle (1999), Praha (2000), sampai di Genoa Italia (2001). Berbagai LSM tingkat dunia (NGO) menerbitkan buku-buku yang menganalisis secara ilmiah dampak buruk globalisasi. Terakhir terbit buku Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents (Norton, 2002) yang diresensi di banyak terbitan karena Stiglitz kebetulan adalah penerima hadiah Nobel Ilmu Ekonomi 2001 dan justru pernah menjadi Wakil Presiden Senior Bank Dunia (1997-2000). Stiglitz menyerang habis-habisan landasan pikir kebijakan-kebijakan pemerintah Amerika Serikat, Bank Dunia, dan terutama IMF, yang menurutnya keputusan-keputusannya sering didasarkan pada ideologi dan politik, bukan pada fakta-fakta dan bukti-bukti ilmiah: ...., when academics involved in making policy recommendations (they) become politized an start to bend the evidence to fit the ideas of those in charge (hal. x). Menurut Stiglitz sebenarnya globalisasi dapat, atau berpotensi, memperkaya setiap orang di dunia khususnya penduduk miskin. Tetapi untuk mencapai tujuan itu caranya harus diubah secara radikal. Jika tidak diubah secara sungguh-sungguh radikal maka dampak negatifnya sangat mengerikan terutama bagi kaum miskin. Washington Consensus adalah nama kesepakatan antara IMF, World Bank dan Departemen Keuangan Amerika Serikat yang tercapai di Washington DC, berupa resep untuk mengatasi masalah ekonomi Negaranegara Amerika Latin yang dirumuskan oleh John Williamson sekitar tahun 1989. Isinya meliputi 10 strategi: 1) fiscal discipline, 2) a redirection of public expenditure priorities towards fields wirth high economic return and the potential to improve income distribution, such as primary health care, primary education, and infrastructure, 3) tax reform to lower marginal tax and broaden the tax base, 4) interest rates liberalization, 5) a competitive exchange rate, 6) trade liberalization, 7) liberalization of FDI inflows, 8) privatization, 9) dergulation in the sense of abolishing barriers to entry and exits, 10) secure property right. Tentang ilmu ekonomi dan manfaat atau sumbangannya bagi pembangunan negaranegara berkembang Stiglitz juga mempunyai kritik keras: Economics may seem like a dry, esoteric subject but, in fact, good economic

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

policies have the power to change the lives of these poor people. I believe governments need to-and can adopt policies that help countries grow but that also ensure that growth is shared more equitably (hal. xi). Kritik-kritiknya terhadap IMF memang sangat telak dan pemerintah Amerika Serikat, khususnya Departemen Keuangannya, dianggap tidak konsekuen karena bersifat tertutup (tidak transparan) padahal menggembar-gemborkan perlunya transparansi. Banyak putusan-putusan IMF yang dianggapnya tidak transparan: Decision were made on the basis of what seemed a curious blend of ideology and bad economics, dogma that sometimes seemed to be thinly veiling special interest... ideology guided policy prescription and countries were expected to follows the IMF guidelines without debate. What astounded me, however, was that those policies weren't questioned by many of the people in power in the IMF, by those who were making the critical decisions. They were questioned by people in the developing countries, but many were so afraid they might lose IMF funding. Demikian jika di Indonesia ada banyak suara-suara kritis terhadap bantuan IMF, sebenarnya pemerintah harus mendengarnya, karena kritik-kritik yang mengkhawatirkan bahaya dari bantuan-bantuan ini boleh jadi benar, walaupun sumber bahaya tersebut kemungkinan besar terjadi bukan karena IMF melainkan karena kondisi tanah air yang belum siap. Baru-baru ini di Yogyakarta diadakan Konperensi INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) ke13 tgl. 28 September - 2 Oktober 2002, dihadiri 210 peserta, seperempatnya peserta dari luar negeri. Tema konperensi adalah Inequality, Poverty & Impunity: The Challenges of Indonesia in the Era of Democratization & Globalization. Makalahmakalah yang dipresentasikan, seperti konperensi-konperensi sebelumnya, memprotes cara-cara pemerintah Indonesia menyelesaikan krisis moneter 1997 yang telah berubah menjadi krisis multidimensi. Pembicara pertama Dr. Satish Misra dari UNSFIR (United Nations Support Facility for Indonesian Recovery) memberi tajuk pada makalahnya "Sistemic Transition in Indonesia: The Crucial Next Steps". Artinya, Indonesia memang tidak sedang mengalami proses pemulihan (recovery) pada kondisi sebelum krisis moneter, tetapi lebih luas dan

fundamental, yaitu sedang dalam proses peralihan dari sistem lama ke sistem baru, dan sistem ini tidak saja dalam sistem ekonomi tetapi juga peralihan dalam sistem sosial, budaya, hukum, politik, dan moral. Namun kapan proses peralihan ini akan rampung, tidak jelas; satu dan lain hal erat hubungannya dengan stabilisasi politik dan keamanan. Khusus dalam kaitan penyelesaian utangutang (luar negeri), Prof. Mohan Rao dari Department of Economics, University of Massachusetts, menyindir cara-cara ortodoks yang nampak kehabisan akal dengan singkatan TINA (There Is No Alternative), padahal kalau mau sebetulnya alternatif kebijakan itu tetap ada (TIA). Hal ini juga merupakan tajuk buku Prof. Mubyarto dan Prof. Daniel W. Bromley, "A Development Alternative for Indonesia" (Gajah Mada University Press, 2002). Salah satu alasan ungkapan TINA yang dirasakan para peserta adalah karena pemerintah Indonesia rupanya masih perlu diyakinkan bahwa ekonomi rakyat (people's economy) sebenarnya sudah menunjukkan daya tahan (resilience) sangat kuat dan seharusnya dapat dijadikan modal untuk tidak menggantungkan diri pada utang-utang baru dari IMF dan anggota-anggota CGI. Dinamika Sejarah Ekonomi Indonesia: Masa Pemerintahan Kolonial Sejarah memang telah menunjukkan bahwa akar perekonomian Indonesia adalah perekonomian raja-raja, perekonomian bangsawan, atau perekonomian politik. Melalui konsep kapitalisme politik atau kapitalisme feodal, Prof. DH. Burger dan Prof. Prajudi dalam bukunya mengenai Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia (Pradnya Paramita, 1957) menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi dan perdagangan dalam sejarah Indonesia adalah bernuansa politik feodal; kegiatan ekonomi rakyat tunduk pada otoritas istana. Usaha-usaha liberalisasi oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa Gubernur Jendral van der Capellen gagal antara lain dengan adanya perlawanan dari Pangeran Diponegoro (1825-1830) dan para bangsawan dan rakyat yang berusaha mempertahankan sistem ekonomi yang sudah ada, yaitu sistem ekonomi prakapitalis dalam tatanan masyarakat feodal. Dari segi sistem sosial budaya, pemerintah jajahan (Belanda) pada dasarnya tidak banyak mengalami benturan dan justru lebih banyak diuntungkan oleh adanya tatanan masyarakat feodal.

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

5

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

Perbenturan pada dasarnya juga tidak perlu terjadi ketika liberalisasi harus berhadapan dengan sistem ekonomi prakapitalis pedesaan. Namun ketika kemiskinan yang melanda mulai dirasakan dan disadari, maka mulailah benturan demi benturan terjadi dan bahkan termanifestasi dalam pemberontakanpemberontakan melawan kolonialisme yang diidentikkan dengan eksploitasi ekonomi. Kolonialisme Belanda di Indonesia memang paling sering diidentikkan dengan eksploitasi ekonomi. Dalam perspektif ini, Indonesia hanya dijadikan sapi perah, sumber daya ekonomi Indonesia dikuras habis demi keuntungan Negeri Belanda. Akibatnya, kehidupan ekonomi pribumi memburuk dan tidak pernah berkembang. Muncul kesan kuat bahwa gambaran semacam ini bersifat seragam di seluruh wilayah Indonesia kolonial. Jeroen Touwen dalam bukunya Extremes in the Archipelago; Trade and Economic Development in the Outer Islands of Indonesia, 1900-1942 (KITLV Press, Leiden, 2001) menunjukkan bahwa pandangan semacam itu terbukti terlalu simplistis dan tidak sepenuhnya mencerminkan kebenaran korespondensi dalam sejarah. Kehidupan ekonomi pribumi di Indonesia kolonial ternyata cukup bervariasi. Berbagai kajian mengenai sejarah ekonomi Indonesia pada masa kolonial yang muncul belakangan ini menunjukkan fakta bahwa di sejumlah daerah ekonomi pribumi ternyata juga berkembang. Fakta ini ditunjukkan, misalnya, dalam kajian Lindblad (1988), Between Dayak and The Dutch. Dari kalangan Indonesia, diperlihatkan misalnya dalam kajian Purwanto (1996), "The Economy of Indonesia Smallholder Rubber". Bukti lain, dapat dilihat dari peningkatan kesejahteraan petani sebagaimana tampak dalam kajian mengenai sektor pertanian rakyat yang dihasilkan Mackie dan Edy Burhan (Jember), Nawiyanto (Besuki), Thee (Sumatera Timur), Lindayanti (Jambi). Termasuk pula dalam deretan ini dan yang paling mutakhir adalah kajian yang dihasilkan Touwen. Dalam konteks perkembangan historiografi di Indonesia, karya Touwen mempertegas kecenderungan penulisan sejarah yang semakin meninggalkan sifat Jawasentrisme. Indonesia dikaji secara lebih utuh sehingga pars-pro toto dengan mengidentikkan Jawa sebagai Indonesia dapat dikurangi. Salah satu karakteristik menonjol karya Touwen adalah cakupan geografis yang sangat luas, outer 6

islands of Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan berbagai kajian sejarah ekonomi terdahulu yang cenderung mengambil lingkup spatial regional. Kajian tersebut di antaranya adalah karya Thee Kian Wie (Sumatera Timur), Purwanto (Sumatera Selatan), Gade Ismail (Aceh), dan Lindblad (Kalimantan Tenggara). Fokus ke arah kajian dinamika ekonomi regional juga terlihat dalam berbagai studi mengenai Jawa, misalnya karya Elson (Pasuruan), Fernando (Cirebon), Knight (Pekalongan), dan Padmo (Surakarta). Dalam menganalisis perkembangan ekonomi di luar Jawa sebelum Perang Dunia II, Touwen membagi wilayah luar Jawa dalam empat kelompok dengan kriteria perdagangan domestik dan ekspor. Kelompok pertama meliputi daerah Sumatera Timur, Palembang, dan Kalimantan Tenggara. Kelompok ini memperlihatkan fenomena dinamisme sektor perkebunan Eropa. Menurut Touwen, wilayah ini mengalami pertumbuhan perdagangan ekspor yang tinggi. Akan tetapi, kaitan ekonomi hulu dan hilirnya relatif kecil sehingga praktis tidak memberikan sumbangan bagi ekonomi lokal. Hampir semua keuntungan yang dihasilkan disedot ke luar sehingga membentuk a drain of funds. Keadaan semacam ini ditemukan pula di kelompok ketiga, meliputi Bangka, Belitung, dan Riau, yang merupakan wilayah dengan dominasi sektor pertambangan asing. Akan tetapi, perkembangan di wilayah dengan karakteristik dinamisme sektor pribumi sungguh berbeda, sebagaimana ditemukan di Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Manado. Tingkat kemakmuran rakyat di wilayah ini juga relatif lebih baik. Semua ini berkat keterlibatan mereka secara aktif dalam memanfaatkan peluang-peluang ekonomi yang muncul di pasaran internasional dengan memproduksi komoditas yang mempunyai nilai komersial tinggi. Oleh karena itu, menurut Touwen, tidaklah tepat mengasosiasikan sektor pribumi dengan sifat primitif, tradisional, dan rentan. Sektor pribumi dalam kenyataan memperlihatkan fleksibilitas, kemampuan beradaptasi dan orientasi pasar yang tinggi. Hal ini sekaligus menyanggah pandangan klasik bahwa kaum petani bersifat antipasar dan lebih menyukai tatanan kehidupan prakapitalis sebagaimana dikonsepsikan Scott. Secara tegas, Touwen menyatakan bahwa dinamika sektor Eropa bukanlah prakondisi bagai ekspansi sektor

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

produksi pribumi. Perkembangan ini murni sebagai tanggapan terhadap stimulus asli Asia, ketimbang karena tantangan yang diciptakan sektor Barat. Di daerah peri-peri, seperti Tapanuli, Bali, Bengkulu, Maluku, dan Timor Barat, yang bersifat self-sufficient dan tidak terpengaruh secara signifikan perdagangan asing, perkembangan ekonomi berjalan lebih lambat. Touwen mengakui bahwa di daerah ini juga terdapat dinamisme sektor pribumi. Namun demikian, dinamisme ini tidak mampu menggerakkan perubahan secara memadai akibat keterpencilan lokasi dan sumber daya alam yang kurang memadai. Dinamisme di berbagai wilayah luar Jawa, menariknya justru berlangsung pada era politik etis ketika fokus kebijakan kolonial lebih difokuskan ke Jawa. Menurut Touwen, ketika politik etis dengan berbagai proyek kemakmuran digalakkan di Jawa untuk membantu masyarakat pribumi yang tengah merosot tingkat kemakmurannya, wilayah luar Jawa justru menyumbangkan pemasukan finansial yang besar bagi negara kolonial. Dengan demikian, wilayah luar Jawa ikut memberikan subsidi bagi peningkatan kemakmuran di Jawa. Kajian Towen telah memberikan kontribusi besar bagi pemahaman dinamika dan variasi perkembangan ekonomi wilayah di luar Jawa. Ketidakseimbangan antara wilayah Jawa dan luar Jawa, Indonesia Barat dan Indonesia Timur, ternyata mempunyai akar sejarah yang sangat panjang sejak era kolonial, dan bukan semata-mata akibat kelalaian dalam penanganan pembangunan pada era pascakolonial. Dalam kajiannya itu, dengan gamblang Touwen menunjukkan hubungan pentingnya perdagangan inter-regional. Namun, pembahasan mengenai jaringan pelayaran domestik yang notabene menjadi pilar dan memungkinkan berlangsungnya hubungan perdagangan inter-regional tidak mendapat sorotan. Sebagai wilayah kepulauan dengan komponen perairan yang sangat dominan, perkembangan jaringan pelayaran merupakan salah satu faktor penentu dan bagian integral dari dinamika ekonomi Indonesia kolonial. Seperti ditunjukkan Howard Dick (1988, 2002), pemerintah kolonial berupaya keras mengembangkan jaringan pelayaran domestik, baik dengan cara membangun pelabuhan baru maupun meningkatkan sarana angkutan laut.

Empat pelabuhan samudera, yakni Belawan, Tanjung Priok, Surabaya, dan Makassar, dibangun dan dikembangkan untuk menjadi simpul-simpul perdagangan imperium Belanda. Belawan untuk melayani Sumatera Utara, Tanjung Priok untuk melayani Sumatera bagian selatan dan Kalimantan Barat. Pelabuhan Surabaya selain untuk pintu ekspor gula dari Jawa, juga melayani Kalimantan Tengah dan Selatan, dan Nusa Tenggara. Sedangkan pelabuhan Makassar difungsikan untuk memberikan layanan terhadap daerah "Timur Besar". Sedangkan peningkatan sarana angkutan laut ditandai dengan adopsi kapal-kapal uap modern dengan daya angkut yang lebih besar, kecepatan lebih tinggi, serta layanan lebih teratur oleh Maskapai Pelayaran Belanda (KPM). Bahkan, dengan subsidi silang, KPM berani melayani pelabuhan-pelabuhan yang secara ekonomis tidak menguntungkan. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa ekspansi jaringan pelayaran kolonial menjadi faktor perekat bagi integrasi ekonomi kolonial (colonial economy), bahkan juga negara kolonial (colonial state). Berbagai upaya tersebut tampaknya tidaklah sia-sia, terbukti ekonomi Indonesia kolonial dibebaskan dari ketergantungan total terhadap Singapura dan mengintegrasikan ekonomi outer islands ke dalam kontrol Belanda yang menempatkan Jawa sebagai titik pusatnya. Benarlah bahwa perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan kolonial memiliki arti yang cukup penting bagi perkembangan perekonomian selanjutnya. Namun demikian Anne Booth dalam bukunya mengenai The Indonesia Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries: A History of Missed Opportunities (Basingstoke: Macmillan and New York: St. Martin’s Press, 1998) mengatakan pentingnya merenungkan pelajaran apa yang dapat ditarik dari pengalaman kolonialisme selama dua abad tersebut dan mengajukan pertanyaan mengenai seandainya ada satu jenis kolonialisme yang dapat menghasilkan dampak ekonomi yang lebih baik. Dalam bukunya itu Booth membagi sejarah perekonomian Indonesia dengan periodisasi sebagai berikut: 1830-1870 pertumbuhan ekspor yang cepat, tetapi merosot kembali sesudah tahun 1840. 1870-1900 reformasi-reformasi kebijakan tetapi pertumbuhan lamban.

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

7

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

1900-1930 politik etik dan ekspansi ekspor . 1930-1942 depresi dunia, mengakibatkan kontraksi volume ekspor. 1942-1950 pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan, ekonomi amburadul. 1950-1958 rehabilitasi ekonomi dan pertumbuhan output. 1958-1966 kemerosotan PDB dan retrogresi structural 1966-1973 pemulihan ekonomi 1973-1981 periode boom minyak 1981-1990 ekspor non migas memimpin pertumbuhan output. Mengenai perekonomian masa kolonial, Booth menunjukkan adanya beberapa peluang yang hilang atau lebih tepatnya tidak ditempuh oleh pemerintah saat itu. Pertama, orang dapat memikirkan mengenai akibat-akibat dari Sistem Tanam Paksa, yang menghambat perkembangan institusi-institusi pasar di pedesaan Jawa, dan secara keseluruhan hanya berorientasi pada remitensi tahunan yang besar bagi budget Pemerintah Belanda. Kedua, pada masa akhir rejim kolonial Belanda, colonizer sibuk membangun koloni dalam arti material, tetapi sangat mengabaikan kebutuhan pendidikan tinggi atau pengembangan angkatan kerja terampil dari kalangan bangsa Indonesia. Para colonizers membangun sejumlah besar infrastuktur dan social overhead capital. Tetapi keuntungankeuntungan ekonomis dari usaha-usaha tersebut sebagian besar musnah sesudah kemerdekaan. Hal ini terutama karena sistem pendidikan tidak berhasil dalam mempersiapkan pegawai-pegawai kelas atas atau kelas menengah pribumi yang harus mengambil alih ekonomi sesudah kemerdekaan. Booth bahkan menyebutkan bahwa diabaikannya akselerasi akses kepada pendidikan tersebut adalah dosa yang terbesar dari kelalaian kolonialisme Belanda. Untuk memahami hal tersebut sebagai satu missed chance bagi perekonomian bangsa Indonesia dapat dilihat dari titik pandang masyarakat Indonesia sendiri yang terhalangi oleh ketidakseimbangan itu. Akan tetapi hal itu membuat sedikit kesadaran pada saat menganalisis kebijakan kolonial, yaitu bahwa Belanda kelihatannya tidak merencakan untuk meninggalkan Indonesia dengan segera; dan karena itu tidak mengintegrasikan formasi elit pribumi ke dalam kebijakan administrasi kolonial. Tentu saja colonizer selalu dapat 8

dipersalahkan karena mengkoloni suatu daerah, tetapi haruskah juga dipersalahkan dalam hal konsistensinya pada sistem yang mereka miliki? Menurut Booth yang lebih penting adalah adanya konsistensi sistem ketidaksetaraan etnis atau syak wasangka rasial pada masa kolonial Belanda. Itu adalah warisan pemerintah kolonial yang dengan pasti dapat dipandang sebagai missed chance, yang menunjukkan kepada kita akar dari posisi ekonomi yang kuat dari para wiraswastawan Cina, dan relatif lemahnya golongan wiraswasta pribumi. Keadaan itu juga merupakan bagian dari penjelasan mengenai diskontinuitas perkembangan ekonomi sesudah kemerdekaan. Masa Pemerintahan Sukarno Adalah tidak tepat apabila ada anggapan bahwa Nasionalisme pra kemerdekaan fokusnya sederhana dan tunggal, yaitu hanya menumbangkan rejim kolonial untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat saja. Beberapa mahasiswa bertanya apakah founding fathers kita tidak pernah memikirkan apa yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia setelah memperoleh kemerdekaannya, serta apa tujuan yang lebih lanjut dari sekedar merdeka secara politik. Dari pelajaran sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, jelas sekali jangkauan pemikiran para founding fathers itu yang sangat luas dan jauh kedepan. Bung Hatta sendiri merupakan monumen dalam pemikiran pembangunan ekonomi. Tetapi karena perjuangan kemerdekaan itu sendiri adalah perjuangan yang panjang dan sangat berat, fokus segala pemikiran dan upaya memang seolah-olah hanya terpusat pada kemerdekaan politik belaka. Kemudian setelah merdeka, Indonesia langsung dihadapkan pada masalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan sebagai nation state yang kokoh dan bersatu padu. Segala pemikiran dan upaya disedot oleh pemahaman dan penghayatan negara bangsa, atau oleh nation and character building. Sekarang ini betapa sedikitnya generasi muda yang memahami dan menghayati betapa sulitnya menempa penduduk negara kepulauan ini menjadi satu bangsa kesatuan, terutama setelah tercerai berai selama 3,5 abad. Kurangnya penghayatan inilah yang membuat banyak di kalangan elit mencemooh Bung Karno sebagai diktator demagoog yang hanya

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

pandai mengombang ambingkan sentimen massa dengan retorikanya yang kosong dan keblinger, sementara perekonomian Negara tetap amburadul. Namun banyak juga yang bisa melihat sisi lain dari periode kepemimpinannya, yaitu panggilan sejarah untuk memimpin di dalam sebuah periode pembentukan persatuan dan kesatuan negara bangsa yang baru saja merdeka, tetapi bangsa yang sangat pluralistik dengan kepulauannya, yang selama 3,5 abad dalam keadaan terjajah dan tercerai berai. Dapat dikatakan bahwa periode antara 1945 sampai 1966 adalah periode perjuangan keras dan sulit, melalui segala trial and errorsnya untuk tiba pada pembentukan nasion dan karakter bangsa dengan negara kesatuan yang mengenal sistem kabinet presidensiil, yang terobsesi terhadap pengambilan keputusan secara musyawarah dan mufakat, tetapi tidak mengharamkan pemungutan suara kalau alternatifnya adalah tanpa keputusan atau kekalutan; lalu menjadi negara bangsa yang demokrasinya bisa menghindari diktatur mayoritas dan tirani minoritas; bangsa yang tidak menganut faham bahwa konsensus nasional adalah 50 % ditambah 1; bangsa yang secara moril melalui obsesi musyawarah mufakat selalu mendengarkan dan mencoba meyakinkan minoritas sampai habis-habisan sebelum mengambil jalan pintas melalui pemungutan suara; bangsa, yang partai mayoritasnya menghargai dan bersedia mendengarkan saat partai minoritas berbicara.; bangsa bercirikan pluralistik yang mempunyai satu bahasa nasional; bangsa dengan toleransi beragama yang sulit dicari duanya. Periode antara 1945 dan 1966 yang diwarnai oleh pergulatan keras dan tampak semerawut itu adalah untuk pembentukan nasion dan karakter. Hasilnya adalah nasionalisme yang masih besar dampak postifnya sampai hari ini. Bung Karno juga dicemooh sebagai orang yang suka gemerlapan, suka terhadap proyek-proyek mercu suar. Yang dijadikan ajang ejekan ketika itu adalah pembangunan Hotel Indonesia, Tugu Monumen Nasional dan jalan-jalan raya Thamrin, Jenderal Sudirman, Jenderal Gatot Subroto, bypass ke Tanjung Priok dan sebagainya. Tetapi dapatkah kita membayangkan apa jadinya Jakarta sekarang tanpa jalan-jalan tersebut ? Dengan mengemukakan ini semuanya, kita dingingatkan betapa tipisnya apresiasi dan penghayatan kita terhadap perspektif sejarah

dari nasionalisme, yang dari periode ke periode mempunyai panggilan zamannya sendiri-sendiri, yang membutuhkan gaya kepemimpinan yang sendiri-sendiri pula, dan yang mempunyai prioritasnya sendiri-sendiri pula, karena keterbatasan kita sebagai manusia untuk melakukan segalanya seketika. Jadi, periode antara 1945 sampai 1966 adalah periode pembentukan negara bangsa yang produktif dan telah menghasilkan kehidupan bernegara dan berbangsa. Eksesnya ada, tetapi zaman apa yang tidak membawa ekses? Radius Prawiro dalam bukunya mengenai Indonesia’s Struggle for Economic Development, Pragmatism in Action, (Oxford University Press, 1998) mengumpamakan bahwa sejarah mirip dengan sungai besar kemanusiaan dan kebudayaan yang mengalir ke depan di bawah momentum waktu dan tradisi. Kadang-kadang ada nabi-nabi, revolusionaris, dan orang jenius dengan talenta kharisma dan kebijaksanaan, yang sadar bahwa mereka dipanggil untuk melakukan sesuatu yang tampaknya tidak mungkin dan mengubah jalan sejarah. Sukarno adalah salah satu contohnya—seorang yang benar-benar revolusionaris. Kedaulatan Indonesia bukanlah dianugerahkan begitu saja, melainkan diperjuangkan dan dimenangkan. Sukarnolah yang memimpin pertempurannya. Beliaulah yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan sepanjang hidupnya, kalau beliau berbicara, intensitas dari semangat dan keyakinannya benar-benar membakar pendengarnya. Beliau menyatukan sebuah bangsa yang besar yang terdiri atas lebih dari seratus juta penduduk, tersebar di lebih dari 17.000 pulau. Beliau membangunkan rakyat dari tidur kolonial dan menciptakan kesempatan bagi lahirnya sebuah bangsa yang merdeka. Namun demikian, revolusionaris biasanya bukan negarawan yang ideal. Kemampuan mereka untuk memberi inspirasi belum memenuhi kualifikasi untuk memerintah. Kebijakan ekonomi dari pemerintahan Sukarno, terutama sejak awal 1960-an sedemikian salah arahnya sehingga hampir menjerumuskan negara ke dalam bencana besar. Sukarno, sampai akhir hayatnya— antara lain melalui Konfrontasi dengan Malaysia, pengunduran diri dari PBB, dan dalam kemesraannya yang berbahaya dengan komunisme—bertempur dengan hantu neokolonialisme. Beliau gagal melihat bahwa dunia telah berubah, dan ada banyak

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

9

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

pertempuran baru yang perlu dilakukan dan musuh-musuh baru untuk dikalahkan. Sukarno percaya bahwa semuanya harus dicapai dengan kemauan politik yang penuh gairah. Beliau tidak menyadari bahwa pasar dan perilaku ekonomi tidak bisa diperintah dengan cara revolusi. Beliau tidak pernah menyadari bahwa beliau bisa mementahkan prestasi luar biasa yang telah dicapainya dengan sesuatu yang sederhana, inflasi. Namun demikian, dengan mengizinkan negara tergelincir hampir bangkrut, beliau mengikis panggung politik dan merusak kredibilitasnya di mata rakyat. Oleh karena itu, meskipun beliau berhasil membuka pintu bagi sebuah bangsa baru, beliau tidak berhasil memasuki negerinya. Revolusi adalah seperti tungku tempat sebuah masyarakat dipanaskan, tradisi dan struktur kelas dilebur, gagasan besar disepuh dengan kebiasaan lama, dan cara hidup baru dibentuk. Revolusi menyediakan sumber energi yang memicu perubahan besar dalam masyarakat yang telah menjadi kaku terbelenggu peraturan dan kebiasaan. Namun demikian, revolusi pada dasarnya adalah lingkungan yang tidak ramah dan tidak kondusif terhadap proses pembangunan jangka panjang. Pembangunan ekonomi memerlukan kesabaran evolusi. Evolusi adalah urusan yang memerlukan keuletan dan ketangguhan. Evolusi dalam pembangunan ekonomi memerlukan visi yang jelas dan kokoh serta usaha berkelanjutan lintas generasi. Mungkinkah bagi Indonesia untuk beranganangan menjadi salah satu negara terkaya di dunia? Tentu saja mungkin dan bisa. Hanya dengan menetapkan tujuan-tujuan besarlah Indonesia bisa mencapai prestasi yang besar. Tujuan hari kemarin harus senantiasa digantikan dengan tujuan-tujuan baru yang lebih ambisius. Dengan kemajuan pembangunan, prestasi yang dicapai di masa lalu akan terlihat biasa-biasa saja dan sudah basi. Untuk memelihara momentum pembangunan, Indonesia harus menetapkan tujuan-tujuan baru bagi generasi baru—sebuah generasi yang tak pernah mengalami tekanan kolonial, sebuah generasi yang menerima kemerdekaan sebagai suatu realitas, dan sebuah generasi yang tidak pergi tidur dengan kecemasan akan makan apa esok, melainkan generasi yang sudah biasa makan tiga kali sehari dan menekan tombol lampu listrik. Sementara generasi yang lebih tua berfokus pada hal-hal yang perlu seperti swasembada 10

pangan, generasi muda lebih melibatkan diri dengan hal-hal seperti pekerjaan dan kualitas kehidupan. Pelajaran pembangunan Indonesia harus meletakkan dasar bagi keberlanjutan pembangunan masyarakat baru yang sesuai dengan harapan generasi baru. Generasi baru harus menerima tantangan pembangunan baru dan menetapkan tujuan baru untuk abad baru. Kalau hal itu dilakukan, mereka akan berhasil di masa depan berbekal pelajaran dari masa lalu. Presiden Sukarno suka menyebut bahwa Indonesia adalah negara paling kaya di dunia. Tanahnya demikian subur sehingga ada hiperbolisme bahwa kalau seseorang menancapkan saja sebatang kayu ke dalam tanah, tak lama kemudian tongkat itu akan tumbuh menjadi tanaman. Sukarno dengan bangga mengatakan hal ini dengan penuh kesadaran bahwa dalam ukuran ekonomi saat itu, Indonesia adalah salah satu negara termiskin di dunia. Sukarno merupakan master dari imajinasi evokatif, tapi pernyataannya tentang kemakmuran Indonesia adalah bukan sekadar puisi. Meskipun Indonesia masih miskin, dilanda kelaparan dan penyakit, Sukarno melihat sebuah negara yang baru mencapai kemerdekaan dan bersama dengan itu kesadaran akan keberadaan dan tempatnya di muka bumi. Setelah sedemikian lama berada di bawah tindasan kolonial, Indonesia telah menemukan harapan baru untuk masa depan. Dengan harapan baru ini, Indonesia memang sesungguhnya menjadi sangat kaya. Masa Orde Baru Selama 1969-1996, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) riil Indonesia telah melesat dari Rp49.445 miliar (1969) menjadi Rp298.030 miliar (1996), sehingga terjadi pertumbuhan rata- rata sebesar 6,87% per tahun. Dengan tingkat pertumbuhan yang menakjubkan ini, Bank Dunia menggolongkan Indonesia sebagai salah satu dari delapan negara di Asia yang dijuluki High Performing Asian Economies (World Bank, 1993 The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy. Washington: Oxford University Press, September). Berikut akan diuraikan perjalanan ekonomi Indonesia yang mencapai pertumbuhan yang relatif tinggi, baik selama periode stabilisasi dan rehabilitasi (1967-1972), zaman keemasan minyak (1973-1982), fase gejolak eksternal

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

(1983-1986), maupun era kebangkitan ekspor nonmigas (1987-1996). Untuk memulihkan kembali perekonomian Indonesia yang sempat tergelincir pada paruh pertama 1960-an, pemerintah Orde Baru segera setelah memegang tampuk kekuasaan mencanangkan berbagai program rehabilitasi dan stabilisasi perekonomian. Pemerintah menempuh kebijakan moderately outward oriented yang antara lain ditandai dengan peningkatan utang luar negeri, kebijakan substitusi impor di bidang perdagangan dan industri, liberalisasi investasi asing dan domestik, penyesuaian nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tanggal 21 Agustus 1971, dan kebijakan rasionalisasi beberapa BUMN. Dalam waktu relatif singkat, berbagai kebijakan di atas mampu membuat perekonomian Indonesia bangkit kembali. Hal ini terlihat dari pertumbuhan utang luar negeri sekitar 20,52%, PMA 7,13%, dan ekspor neto 30,44% per tahun selama 1968-1972. Pada gilirannya, kemajuan yang diraih berbagai sektor ini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, bahkan sempat mencetak angka pertumbuhan dua digit. Selama periode stabilisasi dan rehabilitasi, pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 7,23% setahun, dengan angka pertumbuhan terendah tercatat tahun 1967 (2,29%) dan tertinggi tahun 1969 (11,11%). Setelah pemerintah Orde Baru berhasil melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi, perekonomian Indonesia pada periode berikutnya, era oil boom 1973-1982, tetap ditandai dengan tingginya tingkat pertumbuhan, yakni rata-rata 7,37% setahun. Gejolak eksternal berupa kenaikan harga minyak yang sangat tajam di pasaran internasional dapat dinyatakan sebagai titik awal terciptanya angka pertumbuhan yang relatif tinggi. Ketika dunia mengalami krisis energi tahun 1973, harga minyak melambung secara luar biasa, sehingga peristiwa ini dikenal dengan istilah oil boom pertama. Selama 1973 minyak mentah Indonesia mengalami empat kali kenaikan harga, yakni dari US$ 3,73 (April) menjadi US$ 4,75 (Oktober), US$ 6,00 (November) dan US$ 10,80 per barel (Desember). Rezeki minyak ini mendatangkan dampak positif kepada pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 1973 ekonomi tumbuh sebesar 11,31%, yang merupakan angka tertinggi yang pernah diraih bangsa Indonesia selama pemerintahan Orde Baru.

Pada tahun 1979-1980 kembali terjadi gejolak harga minyak (oil boom kedua) akibat dunia kekurangan pasokan minyak. Pada bulan April 1978 harga minyak mentah Indonesia masih sekitar US$ 15,65, namun setahun kemudian melonjak hampir dua kali lipat menjadi US$ 29,5 per barel. Peningkatan harga terus berlanjut mencapai US$ 35 setiap barel pada tahun 1981 dan terus bertahan hingga Oktober 1982. Menurut Sundrum (1988), dengan rezeki minyak yang melimpah - ditambah pemasukan dari utang luar negeri yang tumbuh sekitar 16,03% per tahun - posisi keuangan pemerintah menjadi sangat kuat, sehingga mampu meningkatkan investasi (terutama untuk mendorong perkembangan teknologi di sektor pertanian) dan pengeluaran rutinnya. Kenaikan pengeluaran pemerintah ini mendatangkan pendapatan yang lebih tinggi kepada masyarakat, yang pada gilirannya mampu mendorong kenaikan permintaan agregat dan investasi. Ketika itu PMA dan PMDN masing-masing tumbuh 75,62% dan 246,11% per tahun. Pada saat yang sama, impor juga mencatat pertumbuhan yang relatif tinggi, yakni dari US$ 2.664 juta (1973) menjadi US$ 17.854 juta (1982), atau melaju 30,76% per tahun. Sebagian dari impor ini digunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi ekonomi dan sisanya untuk memenuhi peningkatan permintaan agregat. Singkatnya, menurut Sundrum (1988) pe-ningkatan pengeluar-an peme- rintah, investasi, dan impor di ataslah yang menjadi pemicu utama terjadinya pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi selama 1973-1981. Setelah mengalami pertumbuhan yang meyakinkan selama dua periode sebelumnya, maka pada periode ketiga, yakni fase gejolak eksternal (1983-1986), Indonesia dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit: pertumbuhan ekonomi merosot drastis menjadi hanya 4,88% per tahun. Penurunan tingkat pertumbuhan selama periode ketiga di atas masih berkaitan dengan perkembangan harga minyak. Setelah mencapai angka US$ 35 tahun 1982, harga minyak Indonesia mulai menciut menjadi US$ 29,53 (1983 dan 1984), lalu US$ 28,53 (1985), dan secara berturut-turut anjlok hingga US$ 21,00 (Januari 1986), US$ 14,45 (Maret 1986), dan akhirnya mencapai angka terendah sebesar US$ 9,83 per barel pada bulan Agustus 1986. Kemerosotan ini tak pelak lagi

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

11

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

menyebabkan pendapatan pemerintah menciut. Hal yang sama diperlihatkan pula oleh investasi dan impor. PMA yang disetujui menyusut dari US$ 2.471 juta (1983) menjadi US$ 848 juta (1986), sehingga mengalami pertumbuhan negatif 19,06% per tahun. Sedangkan PMDN pada mulanya anjlok dari Rp 6.476 miliar (1983) menjadi Rp2.109 miliar (1984), untuk kemudian kembali merangkak naik menjadi Rp4.412 miliar (1986). Pada saat yang sama, impor menurun dari US$ 17.726 juta menjadi US$ 11.938 juta, atau tumbuh negatif sebesar 9,36% per tahun. Meskipun pemerintah masih sanggup mendapatkan utang luar negeri sebesar US$ 16.592 juta dan didukung pula oleh utang luar negeri swasta sekitar US$ 3.393 juta (masing-masing merupakan jumlah kumulatif utang yang bisa dicairkan selama 1983-1986), suntikan dana ini tak mampu menyelamatkan kemerosotan per-tumbuhan ekonomi. Ulasan Sundrum RM mengenai Indonesia's Slow Economic Growth: 1981-86, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 24, No. 1, April (1988), menunjukkan faktor-faktor internal yang menjadi penyebab utama melemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama fase gejolak eksternal adalah menurunnya pengeluaran pemerintah, investasi, dan impor. Sedangkan krisis ekonomi di berbagai belahan dunia, krisis keuangan internasional (kelangkaan sumberdana untuk bantuan asing), serta menguatnya yen Jepang terhadap dollar AS (yendaka) dapat dinyatakan sebagai faktorfaktor eksternal yang ikut mendatangkan pengaruh kepada melemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 1983-1986. Menghadapi berbagai persoalan di atas, pemerintah Indonesia berupaya mempertahankan stabilitas ekonomi makro dengan menempuh serangkaian kebijakan. Di bidang keuangan, pemerintah melakukan devaluasi pada Maret 1983 dan September 1986, menggulirkan Deregulasi Perbankan 1 Juni 1983, Paket Oktober 1986, dan tight monetary policy. Di bidang fiskal diadakan reformasi perpajakan (1984, 1985) dan penghematan fiskal (fiscal austerity). Di bidang perdagangan dan industri, pemerintah memperkuat kebijakan orientasi ke dalam melalui rasionalisasi tarif (Maret 1985), memperkuat proteksi melalui hambatan nontarif, reformasi bea masuk (Inpres No. 4/1985), dan peluncuran Paket 6 Mei 1986. Selain itu pemerintah masih terus melanjutkan 12

kebijakan rasionalisasi BUMN dan regulasi perekonomian pasar. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan reformasi, namun kebijakan-kebijakan tersebut masih bersifat ambivalent. Artinya belum terjalin koordinasi dan konsistensi kebijakan antarbidang dan antarsektor. Selama 1983-1986 pemerintah memang masih mencari bentuk dan arah kebijakan yang tepat untuk memulihkan stabilitas ekonomi makro. Sejak tahun 1987 Indonesia terus menempuh kebijakan reformasi, meskipun masih terkesan belum serius. Hal ini terlihat dari pengguliran serangkaian kebijakan deregulasi di berbagai bidang, walaupun masih didominasi oleh sektor moneter. Berawal dari pengguliran paket deregulasi Juli 1987 hingga paket deregulasi Juni 1996, sektor investasi (PMA dan PMDN) dan perdagangan luar negeri (ekspor nonmigas) mampu tumbuh sekitar 51,35% dan 19,79% per tahun. Di sisi lain, utang luar negeri (pemerintah dan swasta) tumbuh cukup besar, sekitar 11,70%. Alhasil, pertumbuhan ekonomi kembali meningkat dari 4,93% (1987) menjadi 8,21% (1995) dan 7,82% (1996). Menurut para pengamat ekonomi, relatif tingginya tingkat pertumbuhan tahun 1995 dan 1996 terutama didorong oleh kenaikan yang cukup besar dalam konsumsi dan investasi. Secara ratarata, selama 1987-1996 pertumbuhan ekonomi Indonesia pulih hingga 6,90% per tahun. Namun, pada tahun 1997 per-tumbuhan ekonomi Indonesia merosot cukup tajam menjadi hanya 4,7% akibat terjadinya krisis moneter (nilai tukar) sejak bulan Juli. Krisis ini berdampak luas ke berbagai sektor lainnya, seperti sektor riil, fiskal, perbankan, transportasi, perdagangan, investasi, dan lainlain. Selain pertumbuhan ekonomi, perdagangan luar negeri, investasi, dan utang luar negeri, Indonesia juga mencatat prestasi cukup bagus dalam pembentukan tabungan, penerimaan pajak, pengeluaran pemerintah, dan penyerapan tenaga kerja. Selama 19691996, tabungan tumbuh 41,23% (terbagi atas tabungan pemerintah 35,46% dan tabungan swasta 46,06%), penerimaan pajak melaju 25,53%, pengeluaran pemerintah tumbuh 25,58% (pe-ngeluaran rutin 25,17% dan pengeluaran pemba ngunan 26,73%), sedangkan angkatan kerja mencatat pertumbuhan 2,62% setiap tahunnya.

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

Dalam analisisnya terhadap delapan variable pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 1966-1996, Alkadri (2002) menyimpulkan bahwa kontribusi terbesar adalah diberikan oleh tabungan pemerintah dan terkecil oleh utang luar negeri swasta. Dampak positif ekspor barang terhadap pertumbuhan ekonomi secara statistik juga ditemukan signifikan. Sementara itu, tiga variabel lainnya (investasi asing, impor barang, dan pengeluaran pemerintah) memberikan dampak negatif kepada pertumbuhan ekonomi. Dampak negatif pengeluaran pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi ternyata secara statistik juga signifikan. Tidak signifikannya dampak positif utang luar negeri pemerintah dan swasta terhadap pertumbuhan ekonomi antara lain disebabkan oleh ketidaktepatan pengalokasian penggunaan. Di satu pihak, pemerintah mengalokasikan utang yang diperolehnya untuk membangun infrastruktur fisik dan nonfisik. Di pihak lain, swasta lebih banyak mengucurkan utang yang mereka dapatkan untuk membangun sektor properti, konstruksi, dan sektor-sektor lain yang kurang produktif dalam jangka pendek, padahal sebagian besar utang luar negeri swasta berjangka waktu pengembalian yang relatif pendek (3-5 tahun) dan berbunga relatif tinggi (5-8 persen), serta dipinjam dalam valuta asing, sedangkan pelunasannya mempergunakan dana dari hasil sector rupiah. Meskipun berdampak positif, selama 1969-1996 tabungan pemerintah, tabungan swasta, dan pajak juga belum memberikan pengaruh yang berarti. Hal ini antara lain dikarenakan: (1) tabungan pemerintah lebih banyak ditujukan untuk menanggulangi krisis ekonomi yang krusial, seperti defisit transaksi berjalan yang melonjak, anjloknya harga minyak, dan menutupi pengeluaran nonanggaran; (2) dana tabungan masyarakat yang disimpan di perbankan sebagian besar dialokasikan oleh pihak bank untuk pemberian kredit kepada pengusaha yang kurang likuid dan kelompok usaha sendiri, sehingga terjadi kredit macet yang relatif besar; dan (3) sebagian penerimaan pajak tersedot kembali untuk biaya pemungutan pajak, sehingga tingkat efektivitas penerimaan pajak relatif masih rendah. Sementara itu, investasi asing memberikan efek negatif kepada pertumbuhan ekonomi, antara lain akibat investor asing

yang masuk ke Indonesia pada umumnya membawa teknologi dan sistem manajemen yang sudah usang. Selain itu, keuntungan yang mereka peroleh lebih banyak dibawa kembali ke negara asalnya ketimbang untuk reinvestasi di Indonesia. Pengaruh negatif impor muncul karena masih tingginya import content dalam berbagai produk Indonesia, sehingga menghabiskan devisa dalam jumlah yang cukup besar, baik untuk mendatangkan bahan baku, bahan penolong, barang modal, maupun barang konsumsi. Adapun penyebab munculnya efek negatif pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di antaranya adalah makin besarnya biaya yang dibutuhkan pemerintah untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang luar negeri, besarnya subsidi pangan, bahan bakar minyak, dan pembiayaan daerah otonom; serta dialokasikannya pengeluaran pembangunan untuk berbagai proyek dan program yang diduga mengalami kebocoran yang cukup besar (Soemitro Djojohadikusumo memperkirakan sekitar 30%, Bank Dunia sekitar 10-20%, namun hingga kini belum ada penelitian akurat yang membantah perkiraan ini). Sebaliknya, ekspor barang (migas dan nonmigas) menjadi kunci utama sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 19691996. Hal ini dibuktikan oleh temuan empiris yang mengindikasikan bahwa ekspor berdampak positif terhadap pertumbuhan secara signifikan. Dengan demikian, di masamasa mendatang ekspor harus dikelola secara baik agar tetap menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang bisa diandalkan. Sumber pokok pertumbuhan ekonomi Indonesia berikutnya berturut-turut adalah tabungan pemerintah, tabungan swasta, investasi domestik (PMDN), dan pajak. Untuk tetap menjadikan keempat variabel ini menjadi sumber pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang, maka diperlukan pula pengelolaan yang tepat agar mampu memberikan dampak yang positif dan juga signifikan. Meskipun relatif kecil dan kurang berarti secara statistik, angkatan kerja ternyata mampu pula menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 19691996. Apabila potensi sumberdaya manusia yang dimiliki dapat lebih dikembangkan, maka besar kemungkinan di masa mendatang variabel ini bisa menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

13

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

Sementara itu, variabel-variabel lainnya yang diwakilkan oleh equilibrium error, juga mampu menjadi sumber pertumbuhan ekonomi selama kurun waktu 1969-1996. Oleh karena itu penelitian Alkadri menyarankan bahwa sejak dini bangsa Indonesia seyogyanya dapat mengidentifikasi variabel-variabel tersebut, apakah itu berupa kapitalisasi pasar modal, pendapatan per kapita, ataupun variabel-variabel lain. Masa Krisis dan Reformasi Sebelum krisis, ekonomi Indonesia bertumbuh sangat pesat. Pendapatan per kapita meningkat menjadi 2x lipat antara 1990 dan 1997. Perkembangan ini didukung oleh suatu kebijakan moneter yang stabil, dengan tingkat inflasi dan bunga yang rendah, dengan tingkat perkembangan nilai tukar mata uang yang terkendali rendah, dengan APBN yang Berimbang, kebijakan ekspor yang terdiversifikasi (tidak saja tergantung pada Migas), dengan kebijakan Neraca Modal yang liberal, baik bagi modal yang masuk maupun yang keluar. Sebagai dikatakan oleh Frans Seda dalam artikelnya mengenai Krisis Moneter Indonesia (Jurnal Ekonomi Rakyat Th. 1 No. 3, Mei 2002), kesuksesan ini menimbulkan di satu pihak suatu optimisme yang luar biasa dan di lain pihak keterbuaian yang tidak tanggung-tanggung. Suatu optimisme yang mendorong kebijakankebijakan ekonomi dan tingkat laku para pelaku ekonomi dalam dan luar negeri, sepertinya lepas kendali. Kesuksesan pembangunan ekonomi Indonesia demikian memukau para kreditor luar negeri yang menyediakan kredit tanpa batas dan juga tanpa meneliti proyek-proyek yang diberi kredit itu. Di dalam negeri, kegiatan-kegiatan ekonomi dan para pelakunya berlangsung tanpa pengawasan dan tidak dilihat “cost benefit” secara cermat. Kredit luar negeri (valuta asing) jangka pendek diinvestasikan ke dalam proyek-proyek jangka panjang. Ekonomi didorong bertumbuh diatas kemampuannya sendiri (bubble economics), sehingga waktu datang tekanan-tekanan moneter, pertumbuhan itu ambruk. Hal ini dipercepat dengan depresiasi rupiah sehingga para pengusaha yang menggunakan kredit luar negeri mengalami kesulitan di dalam memenuhi kewajiban melunasi hutangnya sesuai jadwal. Sementara itu terjadi pula suatu pergeseran dalam strategi Pembangunan 14

Ekonomi. Pembangunan Ekonomi yang selama ini adalah “State” dan “Governmentled” beralih menjadi “led by private initiatives and market”(kepada inisiatif masyarakat dan pasar). Hutang Pemerintah/Resmi/Negara turun dari USD. 80 milyar menjadi USD. 50 milyar di akhir tahun 1996, sementara Hutang Swasta membumbung dengan cepatnya. Jika di tahun 1996 Hutang Swasta masih berada pada tingkat USD. 15 milyar, maka di akhir tahun 1996 sudah meningkat menjadi antara USD. 65 milyar – USD. 75 milyar. Dalam hal ini maka kita melihat hutang pemerintah berkurang, yang berarti mengurangi beban rakyat, dan mendorong inisiatif masyarakat dan pasar untuk berfungsi lebih baik. Dengan demikian maka swasta diberikan kesempatan untuk berkembang. Tetapi oleh karena kepentingann swasta yang berlebihan maka timbul pinjam-meminjam dengan luar negeri dalam valuate asing yang sangat besar, yang mengakibatkan kesulitan-kesulitan tersebut di atas. Proses Swastanisasi/Privatisasi dari pelaku utama Pembangunan berlangsung melalui proses liberalisasi dengan mekanisme deregulasi. Dalam waktu sangat singkat dimungkinkan berdirinya bank-bank Swasta di seluruh tanah air dan bertaburan korporasikorporasi swasta dengan modal yang tidak terlalu tinggi. Sayang dalam perkembangan ini ada beberapa korporasi swasta yang berkembang tanpa kelayakan proyek yang pantas. Karena itu ketika diserang krisis mata uang, kita belum siap dan runtuhlah bangunan modern dalam tubuh Ekonomi Bangsa. Kerapuhan ini kita rasakan sangat mendalam dan meluas, sehingga tindakan-tindakan penyehatan-penyehatan seperti injeksi modal oleh Pemerintah, upaya-upaya rekapitalisasi, restrukturisasi Perbankan dan KorporasiKorporasi sepertinya tidak mempan. Sektor Finansial dan Korporasi masih tetap terpuruk. Rapuhnya sektor-sektor modern ini adalah dalam hal organisasi, manajemen, dan mental orang-orang/para pelakunya, dalam hal bisnis serta akhlak dan moral. Suatu kerapuhan total dan secara institusional pula. Masa krisis moneter Indonesia dimulai dan berawal saat kebijakan Pemerintah Thailand di bulan Juli 1997 mengambangkan mata uang Thailand “Bath” terhadap Dollar US. Selama itu mata uang Bath dan Dollar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang tetap. Devaluasi mendadak dari “Bath” ini menimbulkan tekanan terhadap mata-mata

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

uang Negara ASEAN dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini. Indonesia, yang mengikuti sistim mengambang terkendali, pada awalnya bertahan dengan memperluas “band” pengendalian/intervensi, namun di pertengahan bulan Agustus 1997 itu terpaksa melepaskan pengendalian/intervensi melalui sistim “band” tersebut. Rupiah langsung terdevaluasi. Dalam bulan September/Oktober 1997, Rupiah telah terdevaluasi dengan 30% sejak bulan Juli 1997. Bulan Juli 1998 dalam setahun, Rupiah sudah terdevaluasi dengan 90%, diikuti oleh kemerosotan IHSG di pasar modal Jakarta dengan besaran sekitar 90% pula dalam periode yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya dan selama ini, ternyata Indonesia paling dalam dan paling lama mengalami depresi ekonomi. Di tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot menjadi –13,2% dari pertumbuhan sebesar +4,7% di tahun sebelumnya (1997). Pertumbuhan Ekonomi Tahun % 1997 4,7 1998 -13,2 1999 0,8 2000 4,8 2001 3,3 Sumber : Bank Indonesia dan BPS

Implikasi dari runtuhnya sektor modern dari bangunan ekonomi kita ini adalah peningkatan pengangguran, peningkatan kemiskinan dan hutang nasional. Refleksi Setuju terhadap pendapat Björn Hettne (1990), satu hal yang tidak dapat kita pisahkan dari krisis adalah tidak adanya satu teori yang benar-benar komprehensif mengenai krisis itu sendiri. Hal ini tentu dimaklumi karena setiap teori bertolak dari asumsi bahwa setiap variable adalah kondusif dan dapat dikendalikan, serta verifikasinya tidak dilakukan pada segala macam kondisi; cocok untuk satu tempat, belum tentu cocok untuk tempat lain. Yang demikian ini cukup dimengerti oleh Tim Ekonomi. Radius Prawiro (1998) dalam bukunya yang telah disebutkan di muka, menceriterakan pengalamannya mengenai problematika teoretis tersebut. Dikatakannya bahwa selama periode 1966 – 1970 tak ada yang tampak kukuh. Gejolak yang sedang mentransformasi masyarakat di

seluruh dunia dalam bidang ekonomi relatif agak terselubung. Pemikiran ekonomi monumental pra-perang dari John Maynard Keynes masih dominan. Sistem Bretton Woods yang dibelanya sudah mulai redup, namun masih berfungsi sebagai landasan dari perekonomian internasional non-komunis. Visi moneter baru mulai memeperoleh tempat dalam pemikiran masyarakat ekonom, tetapi Keynes masih merupakan bintang penuntun dalam membandingkan semua teori yang berorientasi pasar. Bidang ekonomi pembangunan sendiri masih kurang berkembang, dan masih bertumpu pada asumnsi bahwa masalah yang dihadapi oleh negara-negara berkembang kirakira sama dengan yang dihadapi oleh negaranegara industri berabad-abad sebelumya. Kecuali pemikiran beberapa ilmuwan seperti Rostow dan Rosenstein Rodan, ekonomi pembangunan merupakan ajang persaingan antara Marxisme ala Uni Soviet dan ekonomi makro ala Keynes. Keduanya tidak cocok untuk menangani kesulitan yang dihadapi banyak negara-negara miskin yang industrinya belum berkembang. Dari segi teori, kritik terhadap ilmu ekonomi neo-klasik memang sudah lebih lama meskipun juga menjadi lebih relevan dan legitimate sejak “Washington Consensus”. Paul Ormerod (The Death of Economics, 1992) menyatakan ilmu ekonomi neo-klasik ortodoks harus dianggap sudah mati, dan Steve Keen memberikan kritiknya dalam Debunking Economics (2001). Di Indonesia perlawanan terhadap teori ekonomi neo-klasik dimulai tahun 1979 dalam bentuk konsep Ekonomi Pancasila. Kemudian reformasi 1997-98 menyadarkan bangsa Indonesia bahwa paradigma ekonomi selama Orde Baru belum seluruhnya berhasil menunjukkan sifat-sifat kerakyatan. Kemudian munculah gerakan ekonomi kerakyatan yang sebenarnya tidak lain dari sub-sistem Ekonomi Pancasila Jika Ekonomi Pancasila mencakup 5 sila (bermoral, manusiawi, nasionalis, demokratis, dan berkeadilan sosial), maka ekonomi kerakyatan menekankan pada sila ke-4 saja yang memang belum banyak dapat diwujudkan selama ini. Menurut pendukung pendekatan liberal neo-klasik (yang sejak 1980-an dikenal juga dengan nama “neo-liberalisme”), isyu pokok yang ditangani ilmu ekonomi adalah bagaimana menciptakan atau meningkatkan kekayaan atau kemakmuran materiil. Karena

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

15

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

itu, pembangunan ekonomi adalah upaya akumulasi kapital; yang keberhasilannya diukur dengan produk nasional bruto tahunan. Dalam proses itu, semua yang membantu akumulasi kapital harus digalakkan; yang tidak membantu dipersilahkan menyingkir. Proses akumulasi kapital itu diorganisasikan melalui mekanisme transaksi atau pertukaran dalam pasar. Dengan demikian, ilmu ekonomi berkembang menjadi ilmu pertukaran. Yang menjadi pusat perhatian adalah kegiatan produktif yang melalui transaksi pasar, sedangkan yang tidak melalui transaksi pasar tidak dianggap penting. Akibatnya, hasil kerja petani yang menanam padi untuk dikonsumsi sendiri tidak dicatat sebagai kegiatan ekonomi, dan tidak termasuk dalam perhitungan produk domestik bruto, karena tidak melibatkan transaksi pasar. Begitu juga, hasil kerja wanita yang produktif dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga tidak dihargai dan perhitungan karena tidak melibatkan transaksi pasar. Karakter metodologi yang dikembangkan dalam ilmu ekonomi liberal yang menonjol adalah positivisme dan saintisme. Metodologi ini mendukung cara pandang yang memusat pada persoalan materiil, yang empirik dan kasat-indera; mengutamakan variabel yang bisa diukur. Akibatnya, banyak persoalan penting yang bersifat normatif diabaikan karena tidak dapat diukur. Bahkan pendukung metodologi ini cenderung bersikap netral terhadap nilai-nilai etika dan moral, seperti keadilan. Karena itu, tidak mengherankan kalau persoalan pokok yang dibahas oleh para pembuat kebijakan yang berpikir atas dasar ilmu pengetahuan positivistik itu adalah persoalan bagaimana “memperbesar kue nasional”. Yang terutama adalah bagaimana meningkatkan kekayaan dan kemakmuran materiil melalui penggalakan transaksi di pasar. Akumulasi kapital melalui pasar. Ukuran keberhasilannya juga berujud prestasi dalam mendorong pertumbuhan kapital. Ideologi yang mendasari ilmu ekonomi liberal itu juga mengajukan asumsi khas tentang hakikat manusia. Manusia dipandang semata-mata sebagai “makhluk ekonomi” yang berperilaku seperti “utility-maximizing machine” dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Manusia dianggap hanya akan bergerak kalau kepadanya ditunjukkan “reward” yang sifatnya materiil. Karena itu sering muncul anggapan bahwa asal perutnya kenyang orang akan mudah 16

diatur. Inilah yang mendasari munculnya kebijakan publik yang dalam praktek membanjiri warga masyarakat dengan kepuasan materiil, dengan harapan kepuasan itu akan menimbulkan ketenangan. Yang dilupakan adalah perilaku manusia tidak hanya dituntun oleh rasionalitas, tetapi juga oleh filantrofi, moralitas dan pertimbangan etika. Pendekatan liberal neo-klasik itu juga mengembangkan sikap yang khas mengenai organisasi dan lembaga sosial. Seperti sudah tersirat di atas, lembaga sosial yang paling diutamakan adalah pasar, sedangkan organisasi dan lembaga sosial lain dianggap “given”. Yang paling penting adalah mekanisme pasar. Karena itu, mereka yang memiliki modal dan melibatkan diri dalam kegiatan pasar akan menentukan apa yang akan terjadi dalam proses ekonomi. Apa peran negara? Negara berperan mendefinisikan dan melindungi hak milik dan menciptakan lingkungan yang mendukung bekerjanya pasar. Yang menarik adalah pandangan kaum ekonom liberal mengenai keluarga. Dalam ideologi ini, keluarga (rumah tangga) dipandang sebagai lembaga sosial yang berperan ganda. Pertama, sebagai rumah tangga yang berfungsi sebagai mesin yang diprogram untuk memaksimalkan kepuasan dengan mengkonsumsi barang yang diproduksi secara massal oleh perusahaan (yang juga berperan sebagai mesin yang diprogram untuk memaksimalkan keuntungan). Karena itu tiap hari rumah tangga kita dibombardir dengan iklan yang menawarkan berbagai jenis barang dan jasa yang seringkali tidak jelas manfaatnya. Semakin giat rumah tangga mengkonsumsi barang dan jasa itu, semakin “maju” ekonomi itu, demikian argumennya. Kedua, rumah tangga juga berfungsi sebagai produsen input abstrak yang disebut “tenaga kerja”. Cara menyebut tenaga kerja dengan sebutan “sumberdaya manusia” juga memuat unsur ideologi kapitalistik itu. Istilah ini sebenarnya muncul dalam lingkungan pabrik. Di sana bisa ditemui mesin (sumberdaya fisik) dan manusia yang menanganinya (sumberdaya manusia). Status keduanya pada dasarnya disamakan, yaitu sebagai sumberdaya. Karena itu upaya memenuhi keperluan buruh seringkali berujud upaya memenuhi kebutuhan manusia sebagai sumberdaya, bukan sebagai manusia utuh. Sebagai sumberdaya, manusia memerlukan

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

ketrampilan, lapangan kerja, upah minimum yang memadai, dan sebagainya. Karena semata-mata dipandang sebagai sumberdaya, bukan sebagai manusia utuh, ia dianggap tidak memerlukan pemenuhan hak sebagai manusia utuh, misalnya hak untuk berserikat dan hakhak lain demi pengembangan identitas dirinya. Sementara itu, di sisi lain, ada pendekatan alternatif yang sebenarnya memiliki akar sejarah yang lebih jauh ke belakang, dengan argumen yang bertentangan dengan gagasan di atas, yang disebut “ekonomi-politik klasik”. Yang menjadi fokus perhatian pendekatan ini bukan hanya bagaimana kemakmuran ditingkatkan, tetapi juga bagaimana produksi dan konsumsi itulah yang sangat menentukan “who get what, when, how and how much”. Persoalan yang hanya bisa dipahami melalui pendekatan yang menggabungkan ekonomi dengan dimensi-dimensi sosial lainnya. Berbeda dengan pendekatan liberal, ekonomi-politik mengandalkan metodologi yang mempertimbangkan nilai-nilai etika dan moral. Melalui metode imperativis dan introspektif, ekonomi politik mempelajari bukan hanya bagaimana membuat individu menjadi makmur, tetapi yang lebih penting adalah menemukan penyelesaian bagi masalah kemiskinan dan perbaikan kondisi hidup manusia. Mengenai hakekat manusia, pendukung pendekatan ekonomi-politik klasik yakin bahwa perilaku manusia tidak hanya dituntun oleh rasionalitas, tetapi juga oleh filantrofi, moralitas dan pertimbangan etika. Kepentingan manusia tidak hanya memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi juga diimbangi dengan rasa tanggungjawab sosial. Pasar, menurut pendekatan ekonomi-politik, bukan lembaga sosial yang paling penting. Banyak proses produksi yang ditentukan oleh lembaga-lembaga sosial lain, seperti keluarga dan birokrasi. Di Indonesia, misalnya, proses produksi beras, gula, baja, semen, mobil, dan berbagai produk penting lain tidak bertumpu pada mekanisme pasar. Di masa Orde Baru, beberapa melalui keputusan birokratik; beberapa yang lain melalui pertemuan keluarga presiden. Karena itu, yang diutamakan oleh pendekatan ekonomi-politik adalah peran lembaga sosial dan politik, kekuasaan, dan manifesto sosio-kultural dalam kehidupan ekonomi. Dalam praktek, lembagalembaga itu memang sering dipakai oleh banyak orang untuk memproduksi kemakmuran.

Sepanjang sejarah manusia, terdapat kecenderungan pembaruan menuju perekonomian yang diharapkan lebih baik. Hal tersebut dapat dilihat dari tonggak-tonggak sejarah perkembangan ekonomi dunia mulai dari perekonomian pada masa awal sejarah, perkembangan ekonomi di Yunani, di Cina, di Jazirah Arab, perdagangan Timur-Barat, hingga ke Depresi tahun 1930-an, kemerdekaan bangsa-bangsa setelah Perang Dunia, apa yang disebut sebagai "Asian Miracle" dan krisis ekonomi Asia, serta rangkaian teori yang dihasilkan oleh para peraih hadiah Nobel. Perkembangan tersebut sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, dan tampaknya terdapat suatu kecenderungan pokok bahwa ekonomi -dan ilmu ekonomi- semakin realistis mencoba untuk selalu lebih dapat mencerminkan kehidupan manusia dan masyarakat yang kompleks. Dalam tataran teori dan konsep, ilmu ekonomi semakin banyak membahas berbagai hal yang pada kondisi riilnya dalam masyarakat memang menentukan keputusan ekonomi yang sebelumnya hampir selalu menjadi objek asumsi "ceteris paribus". Aspek-aspek seperti informasi yang tidak sempurna, adanya harapan (ekspektasi) yang rasional dalam pengambilan keputusan, adanya pengaruh demokratisasi terhadap penanggulangan kemiskinan, atau kesatuan keputusan produksi dan konsumsi dalam rumah tangga semakin mendapat perhatian dalam pembahasan teori. Kondisi tersebut kemudian juga beriringan dengan perkembangan yang terjadi pada ilmu ekonomi yang dipergunakan sebagai "panduan" dalam merancang proses pembangunan ekonomi, sehingga pada gilirannya proses pembangunan itu sendiri juga mengalami perkembangan. Lingkaran deduktif-induktif yang terdiri dari (1) teori dan konsepsi ekonomi; (2) strategi pembangunan ekonomi; dan (3) realitas ekonomi; menjadi "roda" yang memfasilitasi berjalannya pemahaman terhadap perkembangan arus besar pembaruan pembangunan ekonomi. Jika hal tersebut dicermati untuk konteks Indonesia maka akan diperoleh gambaran mengenai arus besar kecenderungan pembaruan apa yang tengah bergerak membentuk ekonomi Indonesia yang lebih baik. Pertama, kecenderungan perkembangan yang sangat kuat untuk menuju pada kegiatan ekonomi yang adil tanpa eksploitasi dan penindasan. Kita sama menyadari bahwa

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

17

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

Indonesia telah (pernah) mengalami kondisi perekonomian di bawah rezim yang otoriter dalam berbagai bentuknya mulai sejak penjajahan hingga masa pergantian abad. Otoriterisme hampir selalu menghasilkan ekonomi yang eksploitatif dan penuh penindasan, tidak hanya kepada manusia tetapi juga kepada alam dan lingkungan. Otoriterisme juga cenderung melahirkan dominasi yang juga sering kali melahirkan eksploitasi. Sifat yang otoriter dan dominatif yang juga sering sekali melahirkan eksploitasi. Sifat yang otoriter dan dominatif tersebut umumnya lahir dari pandangan yang terlalu mengedepankan persaingan serba bebas (free fight liberalism) dengan dukungan paradigma kekuasaan yang kuat. Arus proses menuju ekonomi yang adil itulah sebenarnya yang mendorong kita menjebol rezim otoriter yang telah berkuasa sekian lama di Indonesia. Pertumbuhan material yang dihasilkan rezim otoriter itu memang tinggi, tetapi ternyata dihasilkan dari proses yang sangat eksploitatif. Alam dieksploitasi tidak berkesudahan. Ribuan hektar hutan berikut isinya musnah, lautan dikuras tanpa henti, bumi pertambangan dikeruk hingga hanya menyisakan tanah yang membatu. Kondisi itu tentu memiliki korelasi yang jelas dengan pemberian hak-hak pengusahaan hingga jutaan hektar pada beberapa gelintir orang, dan pemberian konsesi pertambangan yang tidak terkontrol. Buruh juga dieksploitasi. Upah buruh yang murah justru dinyatakan sebagai faktor keunggulan. Posisi buruh selalu diusahakan untuk tetap berada pada sisi yang lemah dengan dalih karena besarnya supply tenaga pada pasar kerja. Sifat "ilegal" dari buruh yang sekarang menjadi masalah sebenarnya sudah mendapat "pembenaran" lama di dalam negeri sebelum mereka berangkat ke tanah seberang. Petani merupakan korban eksploitasi berikutnya. Harga produk pertanian yang harus dijaga stabil pada tingkat yang rendah dipandang menjadi salah satu komponen strategi utama pembangunan secara keseluruhan karena hal itu akan berarti pula pada dapat dipertahankannya upah buruh yang murah. Kondisi eksploitatif tersebut juga menimbulkan "paradox": produksi pertanian harus ditingkatkan tetapi insentif natural untuk meningkatkan produksi tersebut (harga) tidak (boleh) diberikan. Dan kita akhirnya tidak lagi dapat menerima perlakuan yang tidak adil dan 18

eksploitatif itu dan menggulirkan proses reformasi. Kecenderungan kedua dalam perkembangan perekonomian Indonesia adalah apresiasi yang makin tinggi terhadap keberagaman. Indonesia merupakan negara dengan ciri keragaman yang sangat tinggi. Ribuan pulau, puluhan suku bangsa, puluhan dialek dan bahasa, ribuan spesies fauna dan varietas tanaman, dan puluhan jenis bentuk ekosistem merupakan beberapa bentuk keragaman Indonesia. Jika kita percaya bahwa apa yang diciptakan Tuhan selalu merupakan yang terbaik bagi manusia, maka proses perkembangan ekonomi akan selalu mengarah pada apresiasi yang semakin tinggi terhadap keberagaman tersebut. Dilihat dari dimensi dunia maka akan sangat sulit bagi Indonesia untuk unggul bersaing jika basis keunggulannya adalah efisiensi. Efisiensi ekonomi yang hampir selalu berarti proses produksi yang seragam dan kontinyu mensyaratkan adanya skala usaha yang cukup besar untuk itu. Ini merupakan ciri keunggulan negara "benua" seperti Amerika Serikat, Australia, atau Cina. Itulah sebabnya misalnya- petani kita sangat sulit bersaing dengan petani dari negara-negara tersebut jika basis keunggulan persaingannya adalah efisiensi. Tetapi petani kita akan unggul justru jika mengusahakan kegiatan-kegiatan pertanian yang khas dan unik. Salak pondoh, beras Cianjur atau beras Rojolele, kayumanis Kerinci, talas Bogor, duku Palembang, rambutan Binjai, pisang Barangan, dan lainlain unggul terutama bukan karena tingkat efisiensi produksi yang dicapainya tetapi lebih karena aspek diferensiasinya yang menonjol. Demikian juga kegiatan ekonomi di Bali, Jogja, Jepara, atau karya batik Iwan Tirta, yang relatif tidak terpengaruh oleh krisis finansial (penurunan kegiatan ekonominya lebih karena faktor keamanan) memiliki basis keunggulan diferensiasi. Keberagaman juga sebenarnya merupakan hal yang paling mendasar yang membuat ekonomi berjalan. Bayangkan, jika di pasar semua pedagang menjual produk yang seragam maka tentu tidak akan terjadi transaksi. Dalam keseharian kita berekonomi maka kita cenderung untuk lebih senang dan nyaman pada suasana dimana terdapat banyak pilihan. Itulah yang menjadi faktor pendorong berkembangnya supermarket, misalnya. Oleh sebab itu keberagaman dalam kegiatan ekonomi semakin menjadi keharusan yang

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

tidak terbendung. Hal ini juga didukung oleh kenyataan bahwa selain berlainan dengan kodrat manusia yang memang berbeda satu sama lain, keseragaman yang berlebihan ternyata juga telah menimbulkan berbagai kerusakan. Contoh-contoh bisa dikemukakan dalam berbagai kegiatan ekonomi, seperti terlihat pada penyeragaman koperasi, monokulturisme usahatani tanaman pangan, dan sebagainya. Kecenderungan yang ketiga merupakan konskuensi logis dari arus yang pertama dan kedua, yaitu semakin jelas dan tegasnya kebutuhan desentralisasi dan otonomi ekonomi. Sentralisasi adalah "adik kandung" otoriterisme dan praktek eksploitatif, karena hanya dengan sentralisasi yang hampir mutlak maka pendekatan otoriter dapat efektif. Sentralisasi tersebut kemudian akan cenderung mengabaikan keberagaman, karena yang beragam itu lebih sulit dikontrol dan dikelola. Padahal setiap daerah memiliki ciri dan kondisinya masing-masing yang hanya dapat dikembangkan secara optimal jika pengelolaannya dilakukan secara terdesentralisasi dan otonom di daerah yang bersangkutan. Bahkan seharusnya otonomi itu juga dimiliki oleh masyarakat dan para pelaku ekonomi untuk lebih mengoptimalkan potensi dan karakter masing-masing. Desentralisasi dan otonomi ekonomi bukan sesuatu yang sempit terbatas hanya pada desentralisasi pemerintah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (sehingga menimbulkan "sentralisasi" baru di daerah), tetapi harus menjadi suatu proses untuk lebih meningkatkan otonomi masyarakat secara luas. Ketiga arus besar di atas kiranya saling jalin menjalin menjadi suatu "larutan" yang menyatu. Ekonomi yang adil tanpa eksploitasi mengharuskan penghargaan atas keberagaman, keberagaman membutuhkan desentralisasi dan otonomi, dan otonomi hanya dapat dikembangkan secara produktif dan memberi manfaat jika ada keadilan. Ketiganya saling mensyaratkan dan menguatkan dan menjadi satu kesatuan proses. Fenomena itulah yang tampaknya semakin kuat mewarnai perekonomian Indonesia, dan pembangunan ekonomi semakin tidak bisa menghindari diri untuk tidak mengakomodasikan berbagai unsur yang terkandung dalam ketiga komponen di atas. Mencermati tingkat perkembangannya yang sekarang ada di Indonesia, apakah proses

perubahan tersebut sudah selesai? Apakah kecenderungan pembaruan perekonomian Indonesia itu sudah menemukan "samudra" tujuannya? Jawabannya tentu belum. Proses yang terjadi masih jauh dari tujuan akhirnya. Di satu sisi, ketiga arus besar yang telah diungkapkan di atas masih berada pada tahap yang awal. Di sisi lain, masih ada unsur lain yang akan segera menjadi "ingredient" dari arus besar perubahan tersebut. Pengikisan praktek ekonomi yang tidak adil dan eksploitatif masih memiliki perjalanan yang panjang. Kegiatan ekonomi berbasis "keluarga-keluarga" (bukan ekonomi kekeluargaan) memang mungkin sudah mulai berkurang, tetapi dominasi beberapa perusahaan besar berbasis sumberdaya impor, mengekspoitasi sumberdaya lokal, dan menguasai pasardomestik masih terus berlanjut. Buruh memang sudah mulai mendapat hak-haknya, tetapi itupun masih sangat terbatas. Petanilah yang masih belum banyak beranjak kondisinya. Perlindungan hukum atas akses produktifnya masih terbatas, kapital hasil usaha produktif di pedesaan disedok oleh sistem perbankan dan hanya separuhnya yang dikembalikan, posisinya dalam persaingan internasional juga belum mendapat cukup perlindungan. Apresiasi terhadap keberagaman juga masih menghadapi tantangan kebutuhan pencapaian efisiensisegera (instant efficiency) yang selama ini tampak diperoleh dari proses produksi yang serba seragam. Proses desentralisasi dan otonomi juga masih menghadapi tantangan proses belajar (learning process) dalam berbagai hal di samping timbulnya gejala "resentralisasi" di daerah. Intinya, arus besar pembangunan ekonomi sedang bergerak, walaupun mungkin kecepatan dan percepatannya belum sebesar yang diharapkan. Untuk itu, usaha terus menerus untuk mendorong percepatan itu akan selalu berguna. Namun perlu pula disadari bahwa tantangan untuk itu cukup besar. Tantangan itu tidak cukup hanya diatasi dengan mengganti seorang presiden atau membatasi peran keluarga tertentu. Tantangan terhadap arus progresif perkembangan ekonomi tersebut mencakup pula sistem manajemen perekonomian, sebagian dalam lingkup ekonomi mikro tetapi terutama ada pada manajemen ekonomi makro. Hal ini terlihat dari berbagai bentuk kebijakan fiskal, moneter, perdagangan internasional, dan berbagai kebijakan pengaturan kelembagaan ekonomi

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

19

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

yang "lebih pro" pada pola ekonomi "lama". dan sebagainya. Oleh sebab itu disamping Para pengambil keputusan itu lebih ketiga kecenderungan di atas, masih terdapat memperhatikan indikator perkembangan pula beberapa komponen kecenderungan yang ekonomi yang semu dan tidak mengakar pada akan segera pula bergerak, dan tidak adak kegiatan ekonomi riil yang dilakukan oleh dapat lebih lama lagi ditahan oleh pemikiran masyarakat, seperti indeks harga saham atau "lama" tersebut. Pertama, dorongan untuk nilai tukar rupiah. Mereka juga cenderung membangun kegiatan ekonomi yang mandiri menutup mata pada kenyataan bahwa ekonomi dan berdaulat. Aspek ini terkait erat dengan sebenarnya dijalankan oleh jutaan rakyat kecil tiga kecenderungan pertama yang telah yang dengan caranya sendiri mampu diuraikan di atas. Eksploitasi dan ketidakmengatasi berbagai kesulitan dan terus adilan akan terus berlanjut jika tidak ada berkembang. Lebih dari itu, tantangan terbesar demokrasi. Demokrasipun hanya akan menjadi dari bergeraknya arus besar adalah pola pikir rangkaian "mekanis-formalistik" jika tidak serta landasan teori dan konsep yang diyakini terdapat kemandirian dan kedaulatan. oleh banyak pengambil kebijakan, guruKemandirian dan kedalulatan itu harus gurunya, dan murid-muridnya. Dasar ditegakkan mulai dari para pelaku usaha pemikiran yang diimpor dari sistem ekonomi individual hingga tingkat negara. Banyak yang berbeda dari masyarakat dengan latar contoh dapat dikemukakan bahwa proses yang belakang dan kondisi sosial budaya yang ekploitatif "terpaksa diterima" karena tidak berbeda tersebut ternyata telah sangat berurat ada kemandirian dan kedaulatan dalam berakar dalam elite pengambilan keputusan berekonomi. ekonomi, walaupun sebenarnya mereka adalah Kecenderungan penting yang juga akan juga orang-orang yang cerdas, rasional, dan segera dan harus didorong prosesnya adalah memiliki daya nalar tinggi untuk menilai kecenderungan untuk membangun kegiatan apakah sesuatu itu sesuai dengan kepentingan ekonomi yang taat hukum, beretika, dan rakyat auat tidak. Tidak mengherankan jika bermoral. Demokrasi hanya akan menjadi kondisi ini ditengarai juga merupakan hasil unjuk kekuatan dan pencarian jumlah suara dari usaha sistemis yang dilakukan pihak lain. mayoritas jika tidak ada hukum, etika, dan Dengan kembali menegaskan bahwa kesantunan berkehidupan. Hukumpun hanya ekonomi Indonesia sebenarnya dibangun akan menjadi tumpukan peraturan tanpa jiwa terutama oleh ekonomi rakyat banyak yang jika tidak ada moral "baik" yang multidimensi dan dengan dinamika yang melandasinya. Selama masa krisi dan sangat tinggi, maka perkembangan ekonomi reformasi ini kita telah memiliki 123 UU, 3 PP tidak dapat lagi dipisahkan dari perkembangan Pengganti UU, 153 PP, 228 Keppres, 22 aspek lain dalam masyarakat seperti Inpres, 12 PUU Ratifikasi, dan 7 Keppres perkembangan sosiologis, politik, teknologi, Prerogatif . Perundang-Undangan 1999 2000 2001 2002 Jumlah _______________________________________________________ UU 41 38 22 22 123 PPPU 3 3 PP 60 13 29 51 153 Keppres 73 75 50 30 228 Inpres 1 9 7 5 22 PUU Ratifikasi 9 3 12 Keppres Prerogatif 7 7 _______________________________________________________ Sumber: Sekretariat Kab inet Republik Indonesia, 31 Okttober 2002 http://www.ri.go.id/produk_uu/datar_isi-2.ht m

Tampaknya kecenderungan ke arah kemandirian dan kedaulatan ekonomi plus ekonomi yang mematuhi hukum, etika dan bermoral sudah tidak dapat dibendung lagi untuk harus segera digulirkan. Memang akan 20

sangat sulit memperkirakan bagaimana wujud dari pergerakan kecenderungan itu nantinya, mungkin akan memakan "biaya yang besar" tetapi mudah-mudahan dapat bergerak secara natural walaupun tetap diharapkan dapat

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

dipercepat. Apapun bentuknya, kelima elemen tersebut di atas tampaknya akan menjadi elemen-elemen utama yang membentuk arus besar perubahan perkembangan ekonomi Indonesia. Kecenderungan perubahan itu bukan merupakan suatu alternatif, tetapi sebaliknya sebenarnya adalah arus utama dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Saat ini memang seperti tidak terlihat demikian, terutama karena memang masih banyak pikiran, sistem, dan usaha untuk menghalanginya. Jadi pada dasarnya globalisasi dengan Washington Consensus-nya adalah baik. Bahkan Indonesia sudah menerapkannya sejak awal Pemerintahan Orde Baru dengan hasil positif yang signifikan. Akan tetapi karena prakondisi sebagaimana yang telah diuraikan di atas masih jauh dari kenyataan, maka seluruh idealisme globalisasi tersebut tidak dapat dicapai seluruhnya. Utang dan berbagai krisis masih belum masih terus diusahakan untuk diatasi oleh pemerintah. Khusus mengenai penanganan utang ini, Cyrillus Harinowo dalam bukunya mengenai Utang Pemerintah, Perkembangan, Prospek, dan Pengelolaannya, (Gramedia 2002) memberikan optimismenya. Dikatakannya bahwa Tim Ekonomi pada masa awal Pemerintahan Orde Baru, sudah memberikan suatu pelajaran penting dalam menentukan sikap menghadapi persoalan utang. Diyakini bahwa utang memang akan terus dibutuhkan bagi pembiayaan pembangunan Negara. Namun demikian utang harus sustainable, dan

jika ada masalh pembayaran, maka yang diperlukan adalah penjadwalan ulang. Menurutnya, Tim Ekonomi yang sekarang ini menghadapi permasalahan utang dalam keadaan yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan Tim Ekonomi pada masa awal Orde Baru yang tanpa modal apapun harus menghadapi a mountain of debt. Kondisi yang lebih baik itu adalah dari segi ekspor, cadangan devisa dan kemampuan yang cukup tinggi dalam pengumpulan pajak dan bukan pajak. Akan tetapi di samping Tim Ekonomi, yang vital diperlukan adalah kehadiran Tim Polkam yang tangguh. Stabilitas politik dan keamanan jelas juga merupakan prakondisi penting untuk pembangunan ekonomi. Dalam epilog bukunya, Radius Prawiro menyimpulkan bahwa sejarah telah menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak dapat bergandengan dengan gejolak ketidakstabilan politik. Sebagaimana kita maklumi, stabilitas politik memerlukan dukungan trias politika yang tegas, berdaulat, dan bersepakat. Sedangkan stabilitas keamanan memerlukan dukungan aparat keamanan yang professional dan tidak terbungkam oleh para penjahat yang berlindung dibalik celah-celah HAM. Teori dan hipotesis ekonomi macam manapun akan rontok kalau tidak didukung oleh stabilitas politik dan keamanan yang dikawal oleh perangkat hukum yang tegas dan aparat yang professional.

Daftar Pustaka Alkadri, 2002 Sumber-sumber PertumbuhanEkonomi Indonesia Selama 1969-1996, Jurnal Pusat Studi Indonesia – UT No. 9.2, http://202.159.18.43/jsi/92alkadri.htm Badan Pusat Statistik, 2002 Pertumbuhan Ekonomi Inonesia 2001, Berita Resmi Statistik No. 07/V/18 Februari 2002 Badan Pusat Statistik, 2002 Pertumbuhan Ekonomi Inonesia, Berita Resmi Statistik No. 37/V/15 Agustus 2002 Bank Indonesia, 2002 Laporan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2001 Booth, Anne, 1998 The Indonesia Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries: A History of Missed Opportunities, EH.Net Book Review, October 1998 Burger, DH.dan Prof. Prajudi, 1957 Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia, Pradnya Paramita, Bandung Harinowo, Cyrillus, 2002 Utang Pemerintah, Perkembangan, Prospek, dan Pengelolaannya, Gramedia, Jakarta INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005

21

Edy Siswoyo, Dimensi Politik

Hettne, Björn, 1990 Development Theory and The Three World, edited by DJ. Dwyer, Longman Group Ltd. London. INFID, 2002 Inequality, Poverty & Impunity: The Challenges of Indonesia in the Era of Democratization & Globalization, International NGO Forum on Indonesian Development, 13rd. Conference: 28 September - 2 Oktober 2002 Mubyarto and Daniel W. Bromley, 2002 A Development Alternative for Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta Prawiro, Radius, 1998 Indonesia’s Struggle for Economic Development, Pragmatism in Action, Oxford University Press, New York Pusat P3R-YAE, Komisi Ilmu-ilmu Sosial – AIPI Bina Swadaya, Perhepi, ISI, dan Gema PKM, 2002 Manifesto Politik Ekonomi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Pembangunan Indonesia Yang Berkeadilan social, Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Jakarta 22 Januari hingga 2 Juli 2002, Kwik Kian Gie, 2002 Membangun Kekuatan Nasional Untuk Kemandirian Bangsa, Jurnal Ekonomi Rakyat, Th 1No.7, Sept. 2002, http://www.ekonomi-rakyat.org/ Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2002 Produk Perundang-Undangan Republik Indonesia, http://www.ri.go.id/produk_uu/datar_isi-2.htm, 31 Okttober 2002 Seda, Frans 2002 Krisis Moneter Indonesia, Jurnal Ekonomi Rakyat Th. 1 No. 3, Mei 2002, http://www.ekonomi-rakyat.org/ Stiglitz, Joseph E, 2002, Globalization and Its Discontent, WW. Norton & Co., New York, Resensi Buku Jurnal Ekonomi Rakyat, http://www.ekonomi-rakyat.org/ Sundrum RM, 1988 Indonesia's Slow Economic Growth: 1981-86, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 24, No. 1, April (1988) Touwen, Jeroen, 2002 Extremes in the Archipelago; Trade and Economic Development in the Outer Islands of Indonesia, 1900-1942, KITLV Press, Leiden World Bank, 1993 The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy. Washington: Oxford University Press, September 1993 EDY SISWOYO Lahir d i Salatiga, 28 April 1954. Sarjana Ju rusan Sejarah Un iversitas Kristen Satya Wacana 1978, Magister Sosiologi Universitas Indonesia 1988. Pemerhati masalah-masalah sosial-ekonomi, politik dan lingkungan. Lektor pada Seko lah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Widuri. Semua bahan pustaka dan data untuk naskah ini dapat diakses secara on-line. Hubungi: [email protected], edysw@telko mnet, [email protected] Telepon: 021 5854228, 021 9126263, 0812 1954228

22

INSA NI No.8/Th.XXII/Februari/2005