Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Warjio
ISSN: 0216-9290 Paradoks Politik Pembangunan
Paradoks Politik Pembangunan WARJIO Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email:
[email protected]
Diterima tanggal 1 Juni 2014/Disetujui tanggal 20 Juni 2014 The concept of development and its results, is still being debated. Several theorists have demonstrated that development is a tools to reduce ppoverty and and the others consider the opposite. This study analyzes the political development and the many issues related to development. This study is using political development approach and also library research method to collect data. This study have used qualitative methods to analyze data. The results of these studies have found that the development is a global paradox. Development has varied problems and development led to imbalances world. Development also raises a moral issue, environmental damage, culture of consumerism, natural disasters and humanitarian disasters. This condition has led to the rejection will be development in some locations. There is a gap between desire and reality. Keywords: Political development, economic development, globalization.
Pendahuluan Laporan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2012 menyebutkan bahwa target MDGs 1, yaitu menurunkan separuh kemiskinan ekstrim dari tingkat tahun 1990 telah tercapai, namun kemiskinan itu sendiri tetap masih menjadi permasalahan di banyak Lebih dari itu, proyeksi negara. 1 pembangunan yang telah dicanangkan dan dilaksanakan di berbagai negara, kesenjangan justeru terus muncul dan menjadi persoalan yang berkaitan dengan moralitas. Beberapa pakar pembangunan sebenarnya telah mengungkap sisi buruk dari pembangunan ini. Pada tahun 2003, Philip Quarles van Uppord dan Ananta Kumar Giri (eds) telah menulis buku yang berjudul A Moral Ciritique of Development. Karya 1
Nugraha, Judha, “Postur dan Strategi Diplomasi Ekonomi Indonesia ke DepanUntuk Mengamankan Target Pertumbuhan Nasional”, dalam Tabloid Diplomasi, No.73 Tahun VII,15 Pebruari-14 Maret 2014.
mereka ini memaparkan bagaimana ketimpangan dan kesenjangan yang dalam telah terjadi dalam pembangunan. Bukan saja kesenjangan akan ekonomi dan keadilan di berbagai wilayah tetapi juga telah menimbulkan krisis moral pada tingkat yang kritis. Hal ini disebabkan karena pembangunan hanya dilihat dari aspek ekonomi dan hegemoni kekuasaan saja. Etika dan moral yang seharusnya menjadi pedoman dalam pembangunan justeru dibelakangkan. Sebelumnya, tepatnya pada tahun 1992, penerima hadiah Nobel, Amartya Sen menerbitkan satu buku yang berjudul Inequality Reexamined. Dalam buku tersebut, Sen melontarkan satu istilah terkenal yaitu development paradox. Development paradox yang dimaksudkan Sen merujuk pada timpangnya pembangunan antara negara maju dan negara berkembang serta antara pembangunan antara desa dan kota. Apa yang disampaikan oleh Sen merupakan satu realitas dan
83
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Warjio kenyataan sendiri. 2
pahit
dari
pembangunan
ISSN: 0216-9290 Paradoks Politik Pembangunan itu
Barangkali kita dapat menjelaskan mengapa kemudian realitas dari pembangunan itu dan menjadi paradoks yang menimbulkan ketimpangan kemiskinan dan menggerogoti nilai-nilai moral?. Seperti apa sebenarnya paradoks pembangunan itu? Ketimpangan pembangunan seperti apa yang terjadi dari pembangunan itu? Siapa yang mengendalikan pembangunan sehingga memunculkan paradoks? Saya mengajukan beberapa peertanyaan dasar ini untuk memulai studi mengenai paradoks Politik Pembangunan dengan menganalisis beberapa isu dan fenomena dalam pembangunan. Pendekatan dan Metode Studi ini menggunakan pendekatan politik pembangunan untuk membahas paradoks politik pembangunan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik kepustakaan. Analisis dalam studi ini dilakukan dengan dengan teknik analisis kualitatif. Gambaran Kemiskinan Dunia Laporan yang diberikan oleh Human Development dan UNDP (United National Development Program) tahun 1992,-sebagaimana yang disebutkan Budi Winarno, diperkirakan bahwa 20 % dari populasi dunia yang tinggal di negara maju memperoleh 82,7% dari total pendapatan dunia, sementara 20 % lainnya yang tinggal di negara-negara termiskin hanya menerima 1,4 %. Pada tahun 1989, rata-rata pendapatan 20 % masyarakat masyarakat yang hidup di negara paling kaya mencapai 60 kali lebih tinggi dibandingkan dengan 20 % masyarakat yang hidup di negara-negara paling miskin. Rasio ini merupakan dua kali rasio tahun 1950. Lebih lanjut, Laporan Human Development dan UNDP tahun 1996 menunjukkan bahwa selama tiga dekade yang lalu hanya 15 negara yang mengalami pertumbuhan yang tinggi, sementara 89 negara menjadi lebih buruk secara sosial 2
Amartya Sen, Inequality Reexamined, (Harvard: Harvard University Press, 1992).
84
ekonomi dibandingkan dengan keadaan sepuluh tahun yang lalu. Di tujuh puluh Negara Sedang Berkembang saat ini, tingkat pendapatan mereka lebih kecil jika dibandingkan dengan penghasilan mereka pada 1960an atau 1970an. Laporan UNDP (United Nation Development Program) tahun 1999 juga menunjukkan kecenderungan serupa. Dalam hal pendapatan lebih dari 80 negara masih mempunyai pendapatan yang tidak lebih baik dibandingkan dengan beberapa dekade yang lampau. Pada waktu 40 negara di dunia mempunyai pendapatan yang yang terus tumbuh dalam kisaran lebih dari 3 % pertahun sejak tahun 1990, 55 negara lainnya di dunia yang hampir sebahagian besar berada di Afrika Sub-Sahara, dan Eropa Timur mengalami penurunan pendapatan. Selanjutnya, negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Cooperation Development) yang merupakan 19 % penduduk dunia menguasai 71 % perdagangan barang dan jasa, 58 % investasi langsung luar negeri, dan 91 % pengguna internet. 3 Sementara itu, jumlah orang miskin yang terdata di dunia juga mengalami kenaikan. Pada pertengahan tahun 1990-an, dengan mengambil garis kemiskinan yang ekstrem dengan mensejajarkan konsumsi perhari dengan satu dollar Amerika Serikat, ada kurang lebih 33 % penduduk dunia yang yang berada di negara-negara sedang berkembang berada dalam kesengsaraan. Mereka kekurangan gizi, hidup dalam rumah yang tidak layak, kurang mendapatkan akses pendidikan, susah mendapatkan fasilitas air bersih dan makanan dan juga pelayanan kesehatan. 4 Dalam masyarakat miskin ini, sebagian besar, yang jumlahnya sekitar 550 juta jiwa, berada di Asia Selatan, 215 juta jiwa di Afrika Sub Sahara, dan 150 juta jiwa lagi 3
Budi Winarno, Globalisasi: Peluang atau Tantangan bagi Indonesia, (Jakarta:Penerbit Erlangga, 2008), hal. 5. 4 Peter & Susan Calvert, Politics and Society in The Third World, (England, Longmann Education, 2001), hal 49.
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Warjio berada di Amerika Latin. Dengan menggunakan cara yang sama, ILO (International Labour Organization) memperkirakan bahwa persentase penduduk berada di bawah garis kemiskinan meningkat dari 53,5 % di tahun 1985 menjadi 54 % di tahun 1990 di Afrika Sub Sahara, dan 23 % menjadi 27,8 % di Amerika Latin, dan menurun dari 61,1 % di Asia Selatan, dan 15,7 % menjadi 14,7 % di Asia Tenggara dan Asia Timur. 5 Pembangunan dan hasil-hasilnya dapat dilihat pada kasus Indonesia dan beberapa keadaan serupa di Afrika dan Amerika Latin. Kasus Indonesia,--jika dilihat dianalisis dari transformasi struktural,--sebagaimana yang diungkapkan HS. Dillon, yaitu bobot ekonomi dari pertanian-pertambangan ke manufaktur dan sektor jasa bernilai tinggi, selama ini merupakan hal semu karena para petani bukannya naik kelas, tetapi justeru digusur di kampung halamannya untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga Kerja Wanita (TKI/TKW) atau berjejalan disektor informal yang meruyak di perkampungan kumuh kota. Pertumbuhan, inflasi, kenaikan indeks harga saham, cadangan devisa dan lain-lain, adalah deretan angka menghibur yang menghiasi media massa, tetapi secara kasat mata kemiskinan masih melekat dalam kehidupan. Telah terjadi disparitas dan ketimpangan yang menjadi paradoks yang selalu menyertai pembangunan di Indonesia. Selama ini dalam konteks pembangunan Indonesia, lebih mengedepankan pada pertumbuhan ekonomi ketimbang kualitas pembangunan itu sendiri. Trend ketimpangan kian memburuk, terutama sejak krisis ekonomi 1998, dengan Indeks Gini yang menggambarkan tingkat ketimpangan meningkat dari 0, 33 tahun 2002 menjadi 0, 37 tahun 2009 dan menembus 0,4 pada tahun 2011. Ketimpangan terjadi secara multidimensional; antar wilayah antar sektor antar kelompok pendapatan 6 Berikut ini saya sampaikan Tinjauan Kompas:
5
Budi Winarno, op.cit., hal. 5. Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014: Tantangan, Prospek politik dan Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2014), hal. 94.
6
ISSN: 0216-9290 Paradoks Politik Pembangunan “Ketimpangan ketimpangan spasial yang yang muncul akibat pemusatan kegiatan pembangunan yang ditemui 20-30 tahun lalu tidak merubah wajah, tercermin dalam meningkatnya kesenjangan Jawa-Luar Jawa, pedesaan-perkotaan, kawasan Indonesia Barat-kawasan Indonesia Timur, wilayah hinterland-wiaayh perbatasan, bahkan dalam satu wilayah yang sama. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi juga tidak dibarengi penurunan secara signifikan angka kemiskinan dan pengangguran, karena kue nasional konsentrasi pada kelompok 20 persen terkaya. Peningkatan pangsa kue kelompok 20 persen terkaya dalam distribusi pendapatan nasional dibarengi penciutan pangsa 40 persen penduduk miskin. Pangsa kelompok 20 persen terkaya terus naik dari 21, 24 persen (1999) menjadi 46,45 persen (2011) dan 48, 94 persen (2012). Sementara perolehan 40 persen penduduk termiskin 21, 22 persen (1999) menjadi 17,6 persen (2011) dan 16,88 persen (2012). Efek ke bawah (tricle down effect) tidak terjadi yang terjadi adalah muncrat ke atas (tickle up effect)”
Di sisi lain, kehidupan gemerlap warga bangsa menikmati gaya hidup yang penuh konsumerisme. Ada banyak kasus yang bisa menjelaskan keadaan ini. Di bawah ini saya petik kisah keadaan petani di daerah Karawang, Jawa Barat yang termarginalkan oleh pembangunan dan terjerat dengan kemiskinan. Kasus terbaru hilangnya tanah petani di Indonesia, --atas nama pembangunan, juga dialami oleh petani di Afrika Selatan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Greenberg banyak rakyat di Afrika Selatan pasca rejim Apartheid tidak memiliki tanah akibat kebijakan pembangunan. Melalui organisasi Landless People Movements (LPM) atau Gerakan Rakyat Tidak Bertanah kini memperjuangkan hakhak atas tanah mereka. Harapan akan pengembalian besar-besaran tanah kepada orang-orang asli yang tidak berpunya berkembang setelah rejim Apartheid Afrika Selatan tumbang di tahun 1994. Konstitusi baru dibuat dan mengandung perintah konstitusional untuk meredistribusi tanah, menjamin hak garap, dan kepemilikan tanah bagi semua dan mengembalika tanah kepada mereka yaaanggg dirampas tanahnya semenaaa-mena. Namun harapan itu menjadi pupus ketika partai yang yang berkuasa (African National CongressANC) mengadopsi model land reform bank Dunia yang berdasar pada mekanisme pasar:” willing buyer willing seller”. LPM boleh jadi adalah gerakan yang unik diantara gerakangerakan akar rumput independent lainnya karena keanggotaan LPM bisa ditemukan
85
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Warjio baik di daerah-daerah perkotaan maupun di pedesaan. Gerakan ini menantang pemisahan perjuangan kota dan desa dengan menegaskan bahwa penggusuran di kota dan ketiadaan jaminan hukum penggarapan tanah adalah isu-isu yang secara fundamental terkait dengan akses tanah. Gerakan perjuangan atas tanah oleh rakyat juga terjadi di Brazil. Melalui organisasi MST (Movimento Dos Trabalhadores Ruraisem atau Movement Rural Landless Workers atau Pergerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah yang dibentuk pada 1984, gerakan ini memperjuangkan tanah-tanah yang dirampas atas nama pembangunan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Wolford, di Brazil, pembagian tanah masih belum adil dan sudah dipertarungkan sejak bangsa Portugis mulai menempati koloni baru di awal tahun 1500-an. Karena kerajaan Portugis tidak mau dan tidak anggup menjajah Brazil secara langsung, wilayah yang sudah dikenal tersebut di bagi ke dalam 15 captainceis (berada di bawah seorang kapten) di tahun 1534 dan hak-hak utama atasnya diwariskan kepada Kapten secara turun temurun. Kapten tersebut mengatur pembagian tanah dan yang memiliki koneksi dengan para kapten tersebut dapat memiliki tanah yang luas. Melalui MST gerakan tanah untuk rakyat diperjuangkan. MST menjadi oposisi jika kebijakan pembangunan merugikan rakyat. Wajah yang sama, juga terjadi di Zimbabwe. Prospek akan demokratisasi dan land reform egaliter di Zimbabwe pupus akibat perubahan arah kebijakan dan sosialisme ke neoliberalisme. Sebagaimana yang diteliti Moyo, pemaksaaan program-program pembangunan berupa penyesuaian struktural di seantero Afrika pada tahun 1980-an dirasionalisasi dengan penjelasan tentang adanya krisis ekonomi politik di Afrika. Beragam asumsi ilmu ekonomi neoklasik dan ilmu politik liberal dipakai untuk menjustifikasi kebijakan-kebijakan ini. Terlebih lagi, perubahan kebijakan ini diadopsi tanpa ada konsultasi dengan mayoritas rakyat, terutama kaum buruh, tani miskin dan usaha kecil. Namun demikian bisnis-bisnis besar, kelompok kulit putih pemilik ladang-ladang pertanian besar, dan borjuis kulit hitam yang mulai terbentuk,
86
ISSN: 0216-9290 Paradoks Politik Pembangunan diwakili oleh Pusat pengembangan Bisnis Pribumi (IBDC) mendukung kebijakankebijakan yang dihasilkan dengan konsultasi aktif bank Dunia ini. Bila IBDC mengupayakan aksi afirmatif bagi para anggotanya, pemerintah hanya menawarkan sedikit ke arah program redistribusi tanah yang sulit digapai itu. Reformasi ekonomi neo liberal ini karenanya mensyaratkan penyeimbangan dari berbagai kepentingan kapitalis:kapitalis asing, kapitalis kulit putih lokal dan kapitalis pribumi. Gambaran demografi tersebut menunjukkan ketimpangan dari dunia. Dunia telah terbagi dalam beberapa pemeringkatan: Dunia Pertama, Dunia Kedua, dan Dunia Ketiga. Dunia Ketiga menampilkan satu keadaan dimana, kenyataan jauh dari keinginan sebagai konsekwensi dari pembangunan dan selalu dikaitkan dengan keterbelakangan. Kelompok Dunia Ketiga secara mayoritas banyak didominasi oleh negara-negara dari kawasan Afrika, Asia dan Amerika Latin. Mereka ini pada umumnya disebut juga sebagai negara terbelakang. Sedangkan Dunia kesatu atau biasa disebut sebagai Negara Maju didominasi oleh Amerika Serikata dan negara-negara Eropa Barat (lihar Peta Pembangian Dunia). Oleh Prof. Bauer, istilah Kurang Berkembang dan Sedang Berkembang adalah euphemisme belaka. Tapi untuk isitlah Kurang Berkembang dan Sedang Berkembang adalah euphemisme yang tidak tepat; Kurang Berkembang adalah istilah yang terangterangan memberi kesan bahwa keadaan yang digambarkan tidak normal, tercela, dan barangkali sulit diperbaiki. Sedang istilah untuk Sedang Berkembang mengandung beberapa kontradiksi, misalnya seolah mengacu pada stagnasi atau kemunduran dunia yang padahal Sedang Berkembang. Budi Winarno mencatat bahwa efek negatif pembangunan bukan hanya persoalan kemiskinan tetapi juga menyangkut persoalan lingkungan yang mengancam kehidupan manusia. Media telah memberitakan adanya peningkatan suhu udara mengarah pada global warning. Salah satu penyebabnya adalah peningkatan CO2 diudara sebagai hasil penggunaan bahan bakar berbasis fosil untuk industrialisasi dan sektor transportasi. Industrialisasi ternyata
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Warjio memberikan dampak lingkungan yang mengkhawatirkan dan jika tidak segera di atasi akan mengancam kelangsungan kehidupan spisies manusia. Sebagaimana yang dicatat The World Bank tahun 2011, kota-kota industri di kawasan-kasawan Asia, Afrika, Amerika Latin maupun Eropa Timur mengalami banyak persoalan mengenai polusi sebagai hasil dari industrialisasi. Polusi ini telah memberikan sumbangan dalam pencemaran udara dan lingkungan. Keadaan ini bukan saja menyebabkan biaya menjadi tinggi dari hasil polusi itu tetapi juga mendorong kemiskinan terus berlarut. Pakar pembangunan Dunia Ketiga, Arief Budiman menjelaskan bahwa keberhasilan pembangunan didasarkan pada beberapa hal. Pertama, Pertumbuhan Ekonomi Yang Cukup Tinggi. Kedua, Adanya Kesinambungan Pembangunan yang memfokuskan kepada: Tidak terjadinya kerusakan sosial dan tidak terjadinya kerusakan alam. Apa yang saya sampaikan ini juga punya argumentasi jika dirujuk dengan laporan resmi lainnya. Laporan yang diberikan oleh Human Development dan UNDP (United National Development Program) tahun 1992,--sebagaimana yang disebutkan Budi Winarno 7 setidaknya dapat digunakan untuk memperkuat argumentasi di atas. Menurut laporan ini, diperkirakan bahwa 20 % dari populasi dunia yang tinggal di negara maju memperoleh 82, 7% dari total pendapatan dunia, sementara 20 % lainnya yang tinggal di negara-negara termiskin hanya menerima 1,4 %. Pada tahun 1989, rata-rata pendapatan 20 % masyarakat masyarakat yang hidup di negara paling kaya mencapai 60 kali lebih tinggi dibandingkan dengan 20 % masyarakat yang hidup di negara-negara paling miskin. Rasio ini merupakan dua kali rasio tahun 1950. Lebih lanjut, Laporan Human Development dan UNDP tahun 1996 menunjukkan bahwa selama tiga dekade yang lalu hanya 15 negara yang mengalami pertumbuhan yang tinggi, sementara 89 negara menjadi lebih buruk secara sosial ekonomi dibandingkan dengan keadaan sepuluh tahun yang lalu. Di tujuh puluh Negara Sedang Berkembang saat ini, tingkat pendapatan mereka lebih kecil
ISSN: 0216-9290 Paradoks Politik Pembangunan jika dibandingkan dengan penghasilan mereka pada 1960an atau 1970an. Laporan UNDP (United Nation Development Program) tahun 1999 juga menunjukkan kecenderungan serupa. Dalam hal pendapatan lebih dari 80 negara masih mempunyai pendapatan yang tidak lebih baik dibandingkan dengan beberapa dekade yang lampau. Pada waktu 40 negara di dunia mempunyai pendapatan yang yang terus tumbuh dalam kisaran lebih dari 3 % pertahun sejak tahun 1990, 55 negara lainnya di dunia yang hampir sebahagian besar berada di Afrika Sub-Sahara, dan Eropa Timur mengalami penurunan pendapatan. Selanjutnya, negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Cooperation Development) yang merupakan 19 % penduduk dunia menguasai 71 % perdagangan barang dan jasa, 58 % investasi langsung luar negeri, dan 91 % pengguna internet. 8 Sementara itu, jumlah orang miskin yang terdata di dunia juga mengalami kenaikan. Pada pertengahan tahun 1990-an, dengan mengambil garis kemiskinan yang ekstrem dengan mensejajarkan konsumsi perhari dengan satu dollar Amerika Serikat, ada kurang lebih 33 % penduduk dunia yang yang berada di negara-negara sedang berkembang berada dalam kesengsaraan. Mereka kekurangan gizi, hidup dalam rumah yang tidak layak, kurang mendapatkan akses pendidikan, susah mendapatkan fasilitas air bersih dan makanan dan juga pelayanan kesehatan 9. Dalam masyarakat miskin ini, sebagian besar, yang jumlahnya sekitar 550 juta jiwa, berada di Asia Selatan, 215 juta jiwa di Afrika Sub Sahara, dan 150 juta jiwa lagi berada di Amerika Latin. Dengan menggunakan cara yang sama, ILO (International Labour Organization) memperkirakan bahwa persentase penduduk berada di bawah garis kemiskinan meningkat dari 53,5 % di tahun 1985 menjadi 54 % di tahun 1990 di Afrika Sub Sahara, dan 23 % menjadi 27,8 % di Amerika Latin, dan menurun dari 61,1 % di Asia Selatan, dan
8 7
Budi Winarno, loc.cit.
9
Budi Winarno, ibid., hal. 5 Peter & Susan Calvert, op.cit., hal. 49.
87
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Warjio
ISSN: 0216-9290 Paradoks Politik Pembangunan nasional konsentrasi pada kelompok 20 persen terkaya. Peningkatan pangsa kue kelompok 20 persen terkaya dalam distribusi pendapatan nasional dibarengi penciutan pangsa 40 persen penduduk miskin. Pangsa kelompok 20 persen terkaya terus naik dari 21, 24 persen (1999) menjadi 46,45 persen (2011) dan 48, 94 persen (2012). Sementara perolehan 40 persen penduduk termiskin 21, 22 persen (1999) menjadi 17,6 persen (2011) dan 16,88 persen (2012). Efek ke bawah (tricle down effect) tidak terjadi yang terjadi adalah muncrat ke atas (tickle up effect).” 11
15,7 % menjadi 14,7 % di Asia Tenggara dan Asia Timur. 10 Marilah kita analisis keadaan negara-negara berkembang dalam konteks pembangunan dan hasil-hasilnya. Pada kesempatan ini, saya menampilkan kasus Indonesia dan beberapa keadaan serupa di Afrika dan Amerika Latin. Kasus Indonesia,--jika dilihat dianalisis dari transformasi struktural,--sebagaimana yang diungkapkan HS. Dillon (2012),yaitu bobot ekonomi dari pertanian-pertambangan ke manufaktur dan sektor jasa bernilai tinggi, selama ini merupakan hal semu karena para petani bukannya naik kelas, tetapi justeru digusur di kampung halamannya untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga Kerja Wanita (TKI/TKW) atau berjejalan disektor informal yang meruyak di perkampungan kumuh kota. Pertumbuhan, inflasi, kenaikan indeks harga saham, cadangan devisa dan lain-lain, adalah deretan angka menghibur yang menghiasi media massa, tetapi secara kasat mata kemiskinan masih melekat dalam kehidupan. Telah terjadi disparitas dan ketimpangan yang menjadi paradoks yang selalu menyertai pembangunan di Indonesia. Selama ini dalam konteks pembangunan Indonesia, lebih mengedepankan pada pertumbuhan ekonomi ketimbang kualitas pembangunan itu sendiri. Trend ketimpangan kian memburuk, terutama sejak krisis ekonomi 1998, dengan Indeks Gini yang menggambarkan tingkat ketimpangan meningkat dari 0, 33 tahun 2002 menjadi 0, 37 tahun 2009 dan menembus 0,4 pada tahun 2011. Ketimpangan terjadi secara multidimensional; antar wilayah antar sektor antar kelompok pendapatan (Tinjauan Kompas, 2014:94). Berikut ini saya sampaikan Tinjauan Kompas (2014): “Ketimpangan ketimpangan spasial yang yang muncul akibat pemusatan kegiatan pembangunan yang ditemui 20-30 tahun lalu tidak merubah wajah, tercermin dalam meningkatnya kesenjangan Jawa-Luar Jawa, pedesaan-perkotaan, kawasan Indonesia Barat-kawasan Indonesia Timur, wilayah hinterland-wiaayh perbatasan, bahkan dalam satu wilayah yang sama. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi juga tidak dibarengi penurunan secara signifikan angka kemiskinan dan pengangguran, karena kue 10
Budi Winarno, loc.cit.
88
Kasus hilangnya tanah petani di Indonesia, -atas nama pembangunan, juga dialami oleh petani di Afrika Selatan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Greenberg banyak rakyat di Afrika Selatan pasca rejim Apartheid tidak memiliki tanah akibat kebijakan pembangunan. Melalui organisasi Landless People Movements (LPM) atau Gerakan Rakyat Tidak Bertanah kini memperjuangkan hak-hak atas tanah mereka. Harapan akan pengembalian besar-besaran tanah kepada orang-orang asli yang tidak berpunya berkembang setelah rejim Apartheid Afrika Selatan tumbang di tahun 1994. Konstitusi baru dibuat dan mengandung perintah konstitusional untuk meredistribusi tanah, menjamin hak garap, dan kepemilikan tanah bagi semua dan mengembalika tanah kepada mereka yaaanggg dirampas tanahnya semenaaa-mena. Namun harapan itu menjadi pupus ketika partai yang yang berkuasa (African National CongressANC) mengadopsi model land reform bank Dunia yang berdasar pada mekanisme pasar:” willing buyer willing seller”. LPM boleh jadi adalah gerakan yang unik diantara gerakangerakan akar rumput independent lainnya karena keanggotaan LPM bisa ditemukan baik di daerah-daerah perkotaan maupun di pedesaan. Gerakan ini menantang pemisahan perjuangan kota dan desa dengan menegaskan bahwa penggusuran di kota dan ketiadaan jaminan hukum penggarapan tanah adalah isu-isu yang secara fundamental terkait dengan akses tanah. Gerakan perjuangan atas tanah oleh rakyat juga terjadi di Brazil. Melalui organisasi MST (Movimento Dos Trabalhadores Ruraisem atau Movement Rural Landless 11
Tinjauan Kompas, Menatap Indonesia 2014: Tantangan, Prospek politik dan Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2014), hal. 94.
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Warjio Workers atau Pergerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah yang dibentuk pada 1984, gerakan ini memperjuangkan tanah-tanah yang dirampas atas nama pembangunan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Wolford, di Brazil, pembagian tanah masih belum adil dan sudah dipertarungkan sejak bangsa Portugis mulai menempati koloni baru di awal tahun 1500-an. Karena kerajaan Portugis tidak mau dan tidak anggup menjajah Brazil secara langsung, wilayah yang sudah dikenal tersebut di bagi ke dalam 15 captainceis (berada di bawah seorang kapten) di tahun 1534 dan hak-hak utama atasnya diwariskan kepada Kapten secara turun temurun. Kapten tersebut mengatur pembagian tanah dan yang memiliki koneksi dengan para kapten tersebut dapat memiliki tanah yang luas. Melalui MST gerakan tanah untuk rakyat diperjuangkan. MST menjadi oposisi jika kebijakan pembangunan merugikan rakyat. Gambaran demografi tersebut menunjukkan ketimpangan dari dunia. Dunia telah terbagi dalam beberapa pemeringkatan: Dunia Pertama, Dunia Kedua, dan Dunia Ketiga. Dunia Ketiga menampilkan satu keadaan dimana, kenyataan jauh dari keinginan sebagai konsekwensi dari pembangunan dan selalu dikaitkan dengan keterbelakangan. Kelompok Dunia Ketiga secara mayoritas banyak didominasi oleh negara-negara dari kawasan Afrika, Asia dan Amerika Latin. Mereka ini pada umumnya disebut juga sebagai negara terbelakang. Sedangkan Dunia kesatu atau biasa disebut sebagai Negara Maju didominasi oleh Amerika Serikata dan negara-negara Eropa Barat (lihar Peta Pembangian Dunia). Menurut Peter Calvet & Susan Calvet dalam karyanya, Politics and Society in The Third World, Negara Ketiga adalah terma yang dibentuk dengan sengaja sebagai proses dan kepentingan politik pembangunan.Sebutan Dunia Ketiga adalah nama lain untuk penyebutan wilayah atau negara yang secara ekonomi terkungkung dalam kemiskinan. Oleh Prof. Bauer, istilah Kurang Berkembang dan Sedang Berkembang adalah euphemisme belaka. Tapi untuk isitlah Kurang Berkembang dan Sedang Berkembang adalah euphemisme yang tidak tepat; Kurang Berkembang adalah istilah yang terang-terangan memberi kesan bahwa
ISSN: 0216-9290 Paradoks Politik Pembangunan keadaan yang digambarkan tidak normal, tercela, dan barangkali sulit diperbaiki. Sedang istilah untuk Sedang Berkembang mengandung beberapa kontradiksi, misalnya seolah mengacu pada stagnasi atau kemunduran dunia yang padahal Sedang Berkembang. Menariknya, memahami bahaya kerusakan ingkungan akibat pembangunan, negaranegara maju seperti Amerika Serikat dan Australia justeru menjadi penghalang bagi usaha menekan laju emisi CO2 di udara. Pada akhirnya, negara-negara berkembanglah yang menanggung kerugian paling besar dari kerusakan itu. Global warning hanyalah salah satu dari sekian banyak isu lingkungan hidup yang dihadapi manusia sekarang ini. Di negara-negara dunia ketiga, oleh karena pembangunan, pembabatan hutan dilakukan guna mengejar ketertinggalan pembangunan industeri dan ekonomi mereka dari negara— negara industeri maju. Akibatnya, terjadi perubahan iklim banjir dimana-mana. Akibatnya, ancaman terhadap nyawa manusia tidak lagi disebabkan oleh faktorfaktor penyakit dan kelaparan yang hingga kini masih menghantui dan mengancam banyak negara tetapi juga bencana lainnya, berbagai penyakit, perubahan curah hujan, naiknya permukaan air laut, banjir, perubahan iklim ektrim, merosotnya kesuburan tanah dan lain sebagainya 12. 12
Pakar lingkungan menganggap penting bahwa pembangunan harus memperhatikan lingkungan. Menurut Emil Salim hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, hubungan antara sumber daya alam dengan ekosistem yang disebabkan oleh letaknya dalam tatanan lingkungan yang berupa sistem jaringan. Maka pengolahan sumberdaya alam perlu dilakukan begitu rupa, sehingga tidak merusak jaringan ekosistem, agar tetap terlestarikan fungsi ekosistem menopang kehidupan. Kedua, memahami keterbatasan lingkungan untuk menyerap pencemaran. Lingkungan ala seperti sungai, danau, air, tanah, laut, pantai, udara, dan hal-hal lain yang serupa memiliki ambang batas dalam menyerap buangan limbah padat, gas dan cair yang dihasilkan oleh kegiatan produksi, transportasi, energi dan konsumsi. Apabila limbah melalui ambang batas penyerapannya, maka lingkungan akan teracuni, sehingga lambat laun mematikan kehidupan. Antara pencemaran, kualitas lingkungan, kualitas hidup dan kualitas manusia terjalin hubungan. Semakin tercemar lingkungan,
89
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Warjio Apa yang disampaikan oleh Budi Winarno sebenarnya telah menyentuh persoalan etika dari pembangunan itu sendiri. Dengan kritis, Budi Winarno menanyakan: Masih relevankah isu pembangunan dibahas di tengah isu dunia seperti ini yang dicirikan oleh integrasi pasar-pasar dunia dalam kerangka globalisasi? Bukankah dalam globalisasi sekarang ini, para pejabat publik yang ditahun 1960-an dan 1970-an sebagai aktor utama perencana pembangunan lebih sering berbicara mengenai usaha-usaha mengintegrasikan ekonomi nasional ke dalam perekonomian global?. Kemudian dalam ambisi tersebut, liberalisasi menjadi suatu bagian tidak terpisahkan meskipun kritik terhadapnya begitu kuat. Memahami beberapa persoalan di atas, saya menyimpulkan bahwa pembangunan adalah sebuah paradoks global. Sebab di dalamnya terkandung sebuah gab (jurang) antara keinginan dan kenyataan. Sebuah dunia yang menghadirkan ketimpangan. Di satu sisi, ada kelompok masyarakat yang kaya sementara sisi lainnya masyarakat miskin. Demikianlah keyakinan saya ketika memahami kembali pembangunan. Apa yang saya sampaikan ini tentu memiliki beberapa alasan. Setelah diluncurkan lebih setengah abad, pembangunan masih menyisahkan persoalanpersoalan krusial seperti: mengapa satu negara bisa sukses dalam pembangunan sementara negara lain gagal dalam pelaksanaannya? Mengapa ideologi politik pembangunan di satu negara tertentu berbeda
semakin buruk kualitas lingkungan, semakin rendah kualitas hidup dan semakinmiskin kualitas manusia dan masyarakat, maka kualitas lingkungan harus dinaikkan dan pencemaran lingkungan harus diberantas. Ketiga, berusaha menggunakan sumberdaya alam seefisien mungkin. Semakin sedikit sumberdaya alam dipakai, semakin kecil pula dampak kerusakan lingkungan. Demikian pula semakin sedikit energi dipakai, persatuan produk, semakin kecil pula pencemaran lingkungan. Keempat, meletakkan pertimbangan ekonomi di depan proses pembangunanpada tahapan perencanaan akan mengurangi dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kelima, mengembangkan partisipasi masyarakat secara luas dalam pembangunan untuk memungkinkan penggunaan sumberdaya alam dengan rasa keadilan sosial.
90
ISSN: 0216-9290 Paradoks Politik Pembangunan dengan negara lainnya? Mengapa dalam satu negara hanya individu/kelompok-kelompok tertentu saja yang mengambil peran dan menikmati pembangunan sementara kelompok masyarakat lainnya terpinggir dan bahkan menjadi sapi perahan dari pembangunan? Mengapa satu negara tertentu terlalu tunduk terhadap satu negara lain dalam implementasi kebijakan pembangunan? Menjawab persoalanpersoalan ini, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu ada analisis yang mendalam terhadap pembangunan itu sendiri. Beberapa sarjana atau pun lembaga telah mencoba mencari formula yang tepat untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Formulaformula ini coba disuguhkan menjadi satu alternatif yang dapat diterapkan, terutama kepada Negara-Negara Berkembang Paradoks Global Pembangunan adalah sebuah paradoks global. Sebab di dalamnya terkandung sebuah gab (jurang) antara keinginan dan kenyataan. Sebuah dunia yang menghadirkan ketimpangan. Di satu sisi, ada kelompok masyarakat yang kaya sementara sisi lainnya masyarakat miskin. Demikianlah keyakinan saya ketika memahami kembali pembangunan. Apa yang saya sampaikan ini tentu memiliki beberapa alasan. Setelah diluncurkan lebih setengah abad, pembangunan masih menyisahkan persoalanpersoalan krusial seperti: mengapa satu negara bisa sukses dalam pembangunan sementara negara lain gagal dalam pelaksanaannya? Mengapa ideologi politik pembangunan di satu negara tertentu berbeda dengan negara lainnya? Mengapa dalam satu negara hanya individu/kelompok-kelompok tertentu saja yang mengambil peran dan menikmati pembangunan sementara kelompok masyarakat lainnya terpinggir dan bahkan menjadi sapi perahan dari pembangunan? Mengapa satu negara tertentu terlalu tunduk terhadap satu negara lain dalam implementasi kebijakan pembangunan? Menjawab persoalanpersoalan ini, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu ada analisis yang mendalam terhadap pembangunan itu sendiri. Beberapa sarjana atau pun lembaga telah mencoba mencari
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Warjio formula yang tepat untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Formulaformula ini coba disuguhkan menjadi satu alternatif yang dapat diterapkan, terutama kepada Negara-Negara Berkembang Salah satu formula atau model pembangunan adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Schramm. Menurut Schramm model pembangunan yang diperlukan bagi suatu negara adalah: (1).didasarkan pada pemahaman yang menyeluruh mengenai kebutuhan nasional; (2).bergerak pada kecepatan berapa saja yang layak; (3).diarahkan menuju apa yang dipersepsikan oleh negara tersebut sebagai tujuannya. Dalam persfektif yang hampir sama, pakar pembangunan Dunia Ketiga, Arief Budiman menjelaskan bahwa keberhasilan pembangunan didasarkan pada beberapa hal. Pertama, Pertumbuhan Ekonomi Yang Cukup Tinggi. Kedua, Adanya Kesinambungan Pembangunan yang memfokuskan kepada: Tidak terjadinya kerusakan sosial dan tidak terjadinya kerusakan alam. Model pembangunan ataupun indikator pembangunan yang sering digunakan oleh aktor-aktor pembangunan tersebut terus mendapat kritikan. Menurut Arief Budiman tolak ukur pembangunan yang berhasil, yang semula hanya memberi tekanan pada produktivitas ekonomi sebuah negara, kini semakin menjadi kompleks. Dua faktor yang ditambahkan yakni faktor keadilan sosial (pemerataan pendapatan) dan faktor lingkungan, berfungsi untuk melestarikan pembangunan ini, supaya bisa terus bisa berkesinambungan. Apakah model pembangunan mampu menjawab secara ideal tujuan pembangunan? Saya menegaskan bahwa model atau formula tersebut masih menjadi perdebatan serius dan belum terselesaikan. Para cendekiawan pembangunan dari seluruh dunia yang diminta pendapatnya oleh Schlegel mengenai pembangunan mengakui wujudnya konflik pemahaman pembangunan. Konflik atau perbedaan pandangan terhadap pembangunan itu bersumber pada konsep pembangunan, metodologi pembangunan ataupun sasaran pembangunan. Philip Quarles Van Ufford & Ananta Gumar Giri
ISSN: 0216-9290 Paradoks Politik Pembangunan dalam karyanya, A Moral Critique of Development memberikan satu gambaran bahwa pembangunan sebagai sebuah pengharapan telah mengalami kegagalan. Pembangunan semakin kehilangan daya pikat dan vitalitasnya. Praktek dan wacana pembangunan saat ini berada dalam titik kritis akibat ketidakselerasan dan kesenjangan. Apa yang disampaikan oleh Philip Quarles Van Ufford & Ananta Gumar Giri dan juga para pakar pembangunan lainnya menjadi satu catatan serius bahwa pembangunan mengalami banyak ketidakselarasan, kontradiksi dan juga ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan ini menekankan pada keuntungan pada satu kelompok atau negara tertentu manakala kelompok atau negara yang lain mengalami kerugian. Akibatnya, akibat pembangunan, peta dunia telah terbelah:antara wilayah yang makmur dan wilayah yang miskin. Bila terjadi kesenjangan yang mencolok antara orangorang yang kaya dengan orang yang miskin, masyarakat yang bersangkutan akan menjadi rawan secara politis. Ini karena pembangunan masih terfokus pada matrialistis saja. Kita bisa lihat bagaimana kesenjangan terjadi dalam berbagai belahan dunia akibat dari pembangunan itu. Kemiskinan di dunia ini mayoritas utamanya masih didominasi oleh negara-negara berkembang. Peta wilayah itu meliputi Asia, Afrika dan Amerika Latin. Di wilayahwilayah tersebut,--yang dalam kurun beberapa waktu menjadi daerah jajahan negara-negara maju, menjadi penyumbang terbesar bagi berkembangnya jumlah populasi dunia. Dengan jumlah populasi yang demikian besar, menurut Bank Dunia tahun 1999 kualitas manusia di negaranegara tersebut mencemaskan, terutama setelah setengah Abad adanya bantuan pembangunan: (1). Setengah dari penduduk dewasa atau lebih dari 23 negara, kebanyakan dari Africa, buta huruf. Yang bukan negara Afrika termasuk Afganistan, Bangladesh, Nepal, Pakistan, dan satu negar di belahan dunia Barat yaitu Haiti; (2).Setengah dari penduduk perempuan atau lebih buta huruf di 35 negara termasuk yang sudah disebutkan di atas dan Aljazair, Mesir, Guetamala, India, Laos, Maroko, Nigeria dan
91
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Warjio Arab Saudi; (3).Angka harapan hidup di bawah 60 tahun ada di 45 negara, kebanyakan di Benua Afrika,, tapi ada juga di Afganistan, Kamboja, Haiti, Laos dan Papua Nugini. Angka harapan hidup kurang dari 50 tahun ada di 18 negara di Benua Afrika. Dan, angka, harapan hidup di Sierra Leone hanya 37 tahun; (4).Tingkat kematian anak-anak dibawah 5 tahun lebih dari 100 per 1.000 anak sekurangnya ada di 35 negara, lagi-lagi kebanyakannya di Afrika. Yang bukan negara Afrika termasuk Bangladesh, Bolivia, Haiti, Laos, Nepal, Pakistan, dan Yaman; (5).Tingkat pertumbuhan penduduk di negara-negara paling miskin adalah 2,1 persen pertahun, tiga kali tingkat pertumbuhan di negaranegara berpendapatan tinggi. Tingkat pertumbuhan penduduk di beberapa negara Islam tinggi: 5 persen di Oman;4,9 persen di Uni Emirat Arab; 4,8 persen di Yordania; 3,4 persen di Arab Saudi dan Turkmenistan. Di samping itu, menurut Bank Dunia (1999), pola-pola distribusi pendapatan yang paling tidak adil yang tercatat di Bank Dunia ditemukan di negara-negara paling miskin, khususnya di Amerika Latin dan Afrika. Kelompok 10 persen terkaya di Brazil memiliki hampir 48 persen, pendapatan: Kenya, Afrika Selatan dan Zimbabwe hanya sedikit tertinggal di belakangnya. Kelompok 10 persen di Chile, Kolombia, Guetamala dan Paraguaey memperoleh sekitar 46 persen pendapatan; di Guenea Bissao, Sinegal dan Siera Lone sekitar 43 persen; sebagai perbandingan, 10 persen pendeduduk terkaya di Amerika Serikat, dimana distribusi pendapatannya paling tidak adil diantara negara-negara demokratis yang maju, mendapatkan 28,5 persenan seluruh pendapatan. Mengapa wilayah-wilayah Afrika, Asia dan Amerika Latin masih terjebak pada persoalan kemiskinan sedangkan proses pembangunan telah lama dilaksanakan? Sejumlah studi yang ada mengenai pembangunan juga masih belum memberikan penjelasan yang memuaskan atas pertanyaanpertanyaan itu. Karya monumental Michael P. Todaro & Stephen C. Smith Economic Development,--yang sangat kuat pendekatan ekonominya, menegaskan bahwa kemiskinan, kesenjangan sosial, perusakan
92
ISSN: 0216-9290 Paradoks Politik Pembangunan lingkungan, kesenjangan antar wilayah adalah beberapa isu yang terjadi akibat pembangunan. 13 Karya monumental ini menyoroti bagaimana pembangunan di negara-negara berkembang di Asia, Amerika Latin dan Afrika ternyata belum mampu memberikan tarap ekonomi, kemakmuran dan keadilan bagi banyak orang di kawasan Asia dan Amerika Latin. Di tahun 2011, The World Bank telah mengeluarkan satu buku yang diberi judul, Atlas Global of Development (Edisi ketiga). Buku ini menyajikan begitu banyak data mengenai pembangunan dan hasil-hasil yang telah dilakukannya mulai dari Asia, Afrika maupun Amerika. Keadaan manusia, lingkungan, pembangunan ekonomi yang dihubungkan dengan geograpi menjadi titik sentral dari pembangunan yang dijalankan. Indikator seperti kemiskinan, pertumbuhan populasi penduduk, produksi makanan, perubahan iklim, investasi langsung dan perdagangan internasional dijadikan sebagai dasar dalam penilaian pembangunan. Dari seluruh kasus-kasus yang ada di negaranegara berkembang, kemiskinan masih menjadi persoalan utama. Di negara-negara ini tercatat 1,4 milyar pendapatan masyarakat kurang dari $1.25 setiap harinya. Buruknya kesehatan, sulitnya pekerjaan dan juga pendidikan yang bisa diberoleh secara adil, masih menjadi persoalan-persoalan yang belum terselesaikan. Di negar-negara berkembang kematian anak-anak sangat besar. Demikian juga masalah penyakit seperti HIV/AIDS menjadi persoalan yang meresahkan 14. Di negara-negara berkembang seperti di Asia, Afrika dan Amerika Latin, pembangunan telah menjadi lahan eksploitasi untuk memperkerjakan anakanak. Mirisnya lagi, program pembangunan yang dijalankan justeru mengakibatkan keterbelakangan kaum perempuan.
13
Michael P. Todaro, Economic Development in The Third World, (New York: Longman Group, 1977). 14 Data tahun 2008 menunjukkan ada sekitar 33,4 juta penderita di seluruh dunia, dimana Afrika menyumbang populasi terbesar untuk kasus HIV/AIDS ini (The World Bank, 2011)
Jurnal POLITEIA|Vol.6|No.2|Juli 2014 Warjio
ISSN: 0216-9290 Paradoks Politik Pembangunan
Penutup Penjelasan yang sudah disampaikan adalah beberapa contoh kasus dari paradoks pembangunan. Masalah dunia ini bukannya tidak menjadi sorotan. Di awal Milennium Baru, seluruh dunia berkumpul untuk membicarakannya. Pada tahun 2000 lalu, pemimpin dunia berkumpul di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, antara lain berikrar mengurangi kemiskinan hingga separo 2015. Apa yang disajikan dari data mengenai ketimpangan di Indonesia adalah fakta tidak tercapainya Tujuan Milenium. Daftar Pustaka Ekonomi Indonesia ke Depan Untuk Mengamankan Target Pertumbuhan Nasional”, 2014. Tabloid Diplomasi No.73 Tahun VII,15 Pebruari-14 Maret 2014. Calvert, Peter & Susan Calvert. 2001. Politics and Society in The Third World. England: Longmann Education. Sen, Amartya. 2008. Inequality Reexamined, Harvard: Harvard University Press. 1992. Tinjauan Kompas, 2014. Menatap Indonesia 2014: Tantangan, Prospek politik dan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Kompas. Todaro, Michael P.. 1977. Economic Development in The Third World. New York: Longman Group. Winarno, Budi. 2008. Globalisasi: Peluang atau Tantangan bagi Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
93