Etika Kristen, STT SETIA, mei 2014.pdf - Jan Boersema

Etika khusus : mis. kasuistik, etika situasi, etika medis. d. Meta-etika: filsafat tentang etika dan tentang pertimbangan-pertimbangan etis. Biasanya ...

9 downloads 676 Views 353KB Size
ETIKA KRISTEN STT SETIA Mei 2014 Dr Jan Boersema

1! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014

Daftar isi 1. Etika umum dan etika Kristen

6

2. Utilisme atau deontologi? Atau etika kebajikan?

11

3. Kitab Suci sebagai sumber Etika. 4. Kasih sebagai inti Hukum. 5. Kesepuluh hukum (hukum 1-4).

15 19 23

6. Kesepuluh hukum (hukum 5,6). Etika medis.

27

7. Kesepuluh hukum (hukum 7) 8. Kesepuluh hukum (hukum 8-10). Etika lingkungan.

32 37

9. Penciptaan, dosa, pelepasan

42

2! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014

1. Moral dan etika. Prakata Dalam setiap budaya dan agama manusia membahas ‘moral’ dan ‘etika’. Kata-kata itu menunjukkan kelakuan yang baik. Kedua kata sering ditukar, namun lebih baik kalau kedua istilah tersebut dibedakan, yaitu bahwa ‘moral’ merupakan deskripsi kelakuan itu dan etika merupakan ilmu atau pertimbangan-pertimbangan tentang moral. Ditemukan pula kata-kata sifat seperti yang sesuai kedua kata benda tersebut, yaitu ‘moril’ dan ‘etis’. Filsafat Barat dan juga teologia Barat dipengaruhi oleh filsafat Yunani dan Romawi, dan disitu dikembangkan pertimbangan-pertimbangan etis yang berperan sampai sekarang. Kedua kata tersebut berasal dari dunia Yunani/Romawi: moral datang dari kata bah. Latin ‘mos’, dan etika dari kata bah. Yunani ‘ethos’. Dalam kedua bahasa klasik itu kata-kata ini mempunyai arti yang sama, yakni ‘kebiasaan’ ‘perilakuan’, ‘adat’. Sebuah kamus Bahasa Indonesia (Poerwadarminta) membedakan etika dan moral sbb: etika : ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral); moral : (ajaran tt) baik buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak). Sebuah istilah lain adalah kesusilaan, yang terdiri dari katakata Sanskerta ‘sila’, norma kehidupan, dan ‘su’: baik. Dewasa ini kesusilaan sering dipakai dengan arti sopan santun, tetapi pada akarnya artinya sama dengan etika (Brownlee). Buku-buku agama Kristen tidak selalu memisahkan ajaran dan etika. Dalam karangan Yoh. Calvin ‘Institutio’ (ajaran tentang agama Kristen), etika tercakup. Begitu dalam Karl Barth ‘Kirchliche Dogmatik’. Terdapat juga banyak buku etika kristen yang tidak bercampur dengan pembahasan ajaran, akan tetapi pemisahan itu dibuat dengan dasar praktis saja, bukan karena alasan prinsipiil. Diktat ini bersandar dengan khusus pada karangan-karangan J. Douma, yang berjudul Christelijke ethiek (Etika Kristen), dari tahun-tahun terakhir abad yang ke-XX. Di Indonesia terkenal karangan-karangan Joh. Verkuyl, Etika Kristen. Dan walaupun terdapat pembedaan waktu yang cukup terasa antara tahun-tahun Joh. Verkuyl (tahun 50-an dan 60-an abad XX), dan tahun-tahun J.Douma (tahun 90-an abad XX, tahun 10-an abad XXI), dasar dan alur pikiran Verkuyl dan Douma tidak berbeda.

3! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014

Kami menggunakan juga Malcolm Brownlee, ‘Pengambilan keputusan etis, dan faktor-faktor di dalamnya’, dari tahun 1981. Brownlee berkata bahwa buku Verkuyl sangat berguna, dan bukunya sendiri bukan pengganti dari karangan Verkuyl. Kami sendiri juga menganggap karangan Verkuyl tetap berharga. Verkuyl menerangkan dengan khusus kesepuluh hukum sedangkan Brownlee lebih mengarahkan perhatiannya kepada Alkitab sebagai keseluruhan dan menganggap bahwa perintah-perintah yang terdapat di dalamnya tidak langsung berlaku sebagai perintah bagi kita. Etika Dietrich Bonhoeffer, yang dikarangnya selama Perang dunia II, dan sebagian bahkan dari dalam penjara, telah membentuk juga banyak orang Kristen di negeri-negeri Barat. Akhir-akhir ini teolog-teolog dan filsof-filsof yang berbahasa Inggeris berpengaruh. Saya menyebut Alisdair Mc Intyre, Oliver O’Donovan, Stanley Hauerwas, dan tak lupa juga karangan-karangan Tim Keller, yang buku-bukunya sering mempunyai makna etis. Pengganti Douma sebagai mahaguru di STT Kampen adalah A. L. Th. De Bruijne, yang dalam 2006 menerbitkan disertasinya tentang Oliver O’Donovan, yang berjudul: ‘Levend in Leviathan’ (Hidup di dalam Leviathan). Leviathan adalah nama Ibrani untuk ular naga, yang dalam Abad Pertengahan sering dilukiskan sebagai lambang neraka, dan kadang-kadang juga sebagai pemerintah yang jahat, sesuai Wahyu 13. Berhubung dengan itu perlu dicantumkan filsof Inggeris Thomas Hobbes, yang dalam abad ke 17 mengarang ‘Leviathan’, tentang kuasa pemerintah dari sudut pandang humanistis. Kami akan membahasnya dalam bab 1. Kami mencantumkan lagi sebuah pedoman etis yang terkenal: Christopher J. Wright: ‘Old Testament Ethics for the people of God’, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: Hidup Sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama, BPK 2007. Bagian umum buku ini tentang ‘segitiga etika’ akan kami bahas dalam pelajaran 4. Yaitu : Allah, tanah dan bangsa. Definisi Moril (sebagai kata sifat; kata benda adalah: moral). Etika menganalisa dan menimbang hal-hal moril.Tetapi, apakah yang menentukan arti moril? Sesudah berusaha memberikan beberapa jawaban, akhirnya Douma berkesimpulan bahwa tidak mungkin kita memberi suatu definisi tentang moril yang terdiri dari satu ciri khas saja, yang berlaku bagi semua kenyataan moril. Definisi yang diusahakannya adalah sebuah perumusan yang menyebut banyak aspek. Dalam definisi yang disarankan Douma terdapat 7 aspek yang menggarisi dan menentukan arti ‘moril’: Definisi ‘moril’: (1) manusiawi, (2) bernorma, (3) dipandang dari aspek baik-buruk, (4) berkaitan dengan motivasi, (5) disertai dengan emosi, (6) didasari atas kebajikan (virtue) (7) dituju kepada nilai-nilai tertinggi. ‘Moril’ adalah sebuah kata sifat, yang harus dikaitkan dengan kata benda ‘kelakuan’ , dan kata itu (kelakuan) menjadi kata dasar dalam definisi etika (ilmu tentang moral), sekalipun kita

4! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014

akan membicarakan pula motivasi yang mendorong, dan kebajikan-kebajikan yang dibutuhkan dan yang menjaminkan kontinuitas dalam kelakuan. Definisi ‘etika’: Etika adalah pertimbangan-pertimbangan tentang kelakuan moril, yang dapat digambarkan sebagai kelakuan yang (1) manusiawi, (2) bernorma, (3) dipandang dari aspek baik-buruk, (4) berkaitan dengan motivasi, (5) disertai dengan emosi, (6) didasari atas kebajikan (virtue), (7) dituju kepada nilai-nilai tertinggi. Perbedaan etika dengan dogmatika bagus diterangkan Verkuyl sbb : Dogmatik bertolak dari keyakinan bahwa Allah lebih dahulu mengasihi kita (1 Yoh. 4 :19), sedangkan etika berfokus pada perintah bahwa manusia harus mengasihi Allah (dan sesamanya) (Mat. 22 :37-40). Keterkaitannya dengan tepat dilukiskan oleh Tim Keller dalam ‘Generous justice. How God’s grace makes us just’ (Keadilan yang murah hati. Bagaimana kasih karunia Allah menjadikan kita orang yang adil). Jika seorang manusia sungguh-sungguh merasakan kasih karunia Allah terhadap dia, orang berdosa, maka ia akan mengejar keadilan. Keller berhasil menghindar dari dogmatisme, yang hanya mengutamakan ajaran murni dan keselamatan jiwa, maupun dari ‘Social Gospel’ yang menekankan pergerakan di bidang sosial dan tidak mengkhotbahkan Kristus yang mati untuk menebus dosa. Keller malah mengkaitkan ajaran yang murni dengan kelakuan baik orang Kristen. Bukan saja Allah yang adil dalam menebus dosa karena jasa Kristus, tetapi seharusnya manusia yang diselamatkan juga adil terhadap sesamanya. Keller mengutip seorang filsof, A. Leff, yang membuktikan bahwa baik rasio maupun kasih mesra tidak berhasil untuk menjadikan kita manusia yang baik. Mujizat itu dikerjakan oleh Allah saja, dalam Yesus Kristus, dengan Roh-Nya. Kalau kita mau menolong sesama kita, kata Keller, pertolongan itu harus diberikan pada tiga tingkat: 1. Sumbangan (kepada orang yang melarat), 2. Pendidikan (kepada orang yang sudah ditolong itu), 3. Pengembangan masyarakat (agar lebih aman, lebih stabil, lebih makmur). Brownlee menekankan bahwa ciri khas sebuah keputusan etis adalah bahwa keputusan itu tidak bisa dielakkan dan harus diambil. Pertimbangan-pertimbangan harus menuju tindakan. Dalam hal itu harus kita beresiko bahwa mungkin keputusan kita salah, tetapi jika kita tidak mengambilnya kita lebih salah lagi. Kalau pengambilan disertai dengan doa dan penyerahan diri kepada Tuhan, kita tidak usah kuatir. Tuhan akan menolong. Dan kalau kita ternyata salah, Tuhan akan mengampuni. Kita seperti seorang yang mengemudi kendaraan pada waktu malam. Sinar lampu hanya bercahaya sampai beberapa puluhan meter ke depan, bukan seluruh jarak disinari. Bukan seluruh jalan, hanya sampai tikungan berikut. Tetapi sementara kita maju, kita selalu diterangi terus-menerus. Seorang filsof bernama Herman Dooyeweerd (abad yang ke-20, dalam gereja Reformed di Belanda) memelopori mazhab filsafat kristen yang dikenal sebagai ‘Filsafat tentang lingkungan hukum’. Ia meneruskan pandangan yang dikembangkan oleh Abraham Kuyper bahwa terdapat beberapa lingkungan hidup yang tidak boleh dicampurbaurkan (mis. rumah tangga, gereja, negara, universitas). Dietrich Bonhoeffer berbicara tentang 4 mandat yang diberikan Allah kepada manusia : gereja, keluarga/pendidikan, pekerjaan/budaya, pemerintah. Perhatikan bahwa Bonhoeffer tidak berbicara tentang negara. Ia telah melihat betapa besar bahayanya kalau satu negara atau satu bangsa dijunjung tinggi, bahkan diperilahi. Sebab hal itu terjadi dalam negara yang dipimpin oleh rezim Nazi di Jerman pada waktu itu (Hitler), dan Bonhoeffer merasa terpanggil untuk melawan rezim itu.


5! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014

S. Hauerwas, O’Donovan (dan De Bruijne). De Bruijne menerangkan teologi O’Donovan di Inggeris, yang bertolak dari kritik terhadap Hauerwas. Hauerwas, di Amerika, berpendapat bahwa gereja selalu harus bergerak dari posisi minoritas. O’Donovan, berbeda dengan Hauerwas, tidak berkeberatan untuk menciptakan masyarakat Kristen, namun ia tidak setuju dengan menciptakan teokrasi. Posisi Israel dahulu unik adanya dan tidak bisa diulangi (dalam pandangan itu O’Donovan sependapat dengan Calvin). O’Donovan : bahkan dalam Leviatan (masyarakat politik yang modern) manusia dapat hidup. Terkait teorinya tentang kekristenan, yaitu bahwa kekristenan adalah etika kristen konkrit sebagai jawaban atas konsep-konsep politik yang terdapat dalam wahyu Allah. Walaupun otoritas politik termasuk dunia yang berlalu, namun dicoraki oleh pemerintah Kristus dan terkait dengan gereja yang adalah persekutuan yang eskatologis dan sekaligus berkembang sekarang juga. O’Donovan menolak partai-partai politik Kristen dan klem-klem Kristen yang absolut atas masyarakat, ia berfokus kepada pembentukan teori Kristen dan kesaksian nabiah. O’Donovan dipengaruhi a.l. oleh Augustinus, Barth dalam pandangannya terhadap politik, sedangkan secara teologis ia berfokus kepada kristologi yang eskatologis. Ia tekankan pemeliharaan Allah, yang dengannya Allah menegakkan aturan penciptaan sampai kesudahan. Kekristenan adalah hasil sementara yang timbul serentak dari keberadaan dunia (saeculum) dan eskaton. Gereja adalah satu-satunya realitas politik yang syah. Alangkah baiknya politik internasional tetap plural, sampai eskaton, seperti sekarang dalam negara-negara yang muncul dari kekristenan dan yang sama-sama mengakui hak yang lebih tinggi, yaitu hak Allah. Warisan kekristenan bisa hidup bahkan dalam Leviatan (masyarakat politik yang modern) dan semoga konsep-konsep Alkitabiah semakin hidup juga dalam Leviatan. Pengaruh Augustinus adalah ajaran tentang kedua kerajaan, yang keduanya di bawah pemerintahan Allah, pengaruh Barth adalah prioritas Injil dalam etika. Demokrasi menurut O’Donovan termasuk ‘common goods’, karunia umum. Sekaligus O’Donovan mengajarkan bahwa setiap masyarakat dan negara membutuhkan salah satu kepala, atau otoritas, dalam bentuk apapun juga. Dulu Grotius menganut pandangan itu dan dalam hal itu Grotius dipengaruhi oleh kekristenan dan tidak semata-mata oleh ‘modernitas’, sebagaimana diklem oleh orang humanis dan rasionalis. O’Donovan sangat mengenal tulisan-tulisan Augustinus dan mengikutinya. Bagi mereka berdua kasih kepada Allah adalah konstitutif dan dengan sendirinya menghasilkan kasih kepada sesama maupun kepada diri sendiri. Jikalau obyek kasih manusia bukanlah Allah, maka kasih semu itu akan menyebabkan kehancuran : Augustinus melihatnya di runtuhnya kota Roma, O’Donovan melihatnya dalam jalan buntu modernitas. Hanya gereja saja yang tinggal tetap, sebab di sana kasih kepada Allah adalah obyek kasih bersama. Augustinus bersifat eskatologis dalam pikirannya : damai kota Allah baru tercapai di eskaton tetapi sudah bisa mulai di gereja dan dari sana mempengaruhi negara. Walaupun kota duniawi bersifat antikristen, Allah menggunakannya dalam pemeliharaanNya. Otoritas politik dapat menolong pada jalan ke eskaton, dengan memberikan disiplin ala Moses. Augustinus, dan begitu kemudian O’Donovan, menghargai masyarakat kekristenan tetapi tidak dengan sorak-sorai. Era Kristen, yang pada waktu Augustinus adalah zaman pasca Konstantinus Agung, tidak akan menjadi bentuk kerajaan Allah, sebab selalu berada di sisi 6! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014

duniawi dari eskaton. Mungkin O’Donovan agak lebih positif terhadap kota duniawi daripada Augustinus. Kalau Thomas Hobbes melihat perang sebagai keadaan semula, sebelum muncul ordo politik, maka Grotius bertentangan dengan itu melihat perang sebagai sesuatu yang mungkin sekalisekali perlu demi keadilan, tetapi bukan penggerak sejarah, seperti dikatakan Hobbes. Perang seharusnya terikat oleh hukum. Jadi, mungkin ada perang yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai adil, dan O’Donovan menyetujuinya. O’Donovan melihat relasi antara tradisi Kristen dan modernitas seperti Yunus dalam perut ikan besar. Namanya dalam karya O’Donovan adalah Leviathan, yang juga adalah nama karya besar Thomas Hobbes, pendiri teori politik yang modern. Menurut O’Donovan khususnya pada Hobbes terjadi retakan antara Kekristenan, dan pemikiran modern. Nama Leviathan sering dihubungkan dengan binatang dari dalam laut, Wahyu 13, yaitu kuasa politk yang jahat. Menurut O’Donovan bukan saja negara, tetapi seluruh modernitas adalah Leviathan, yang mau menelan tradisi kristen. Akan tetapi, seperti ikan paus menelan Yunus dan Yunus tetap hidup, begitu modernitas tidak bisa menghancurkan kekristenan secara total.

2. Etika umum dan Etika Kristen. Etika menganalisa dan menimbang hal-hal moril.Tetapi, apakah yang menentukan arti moril? Terdapat beberapa jawaban, sesuai pembahasan dalam buku Douma. 1. ‘Universalizability’ : perilakuan yang berlaku bagi setiap orang. Ahli filsafat Kant memesan: Berlaku demikian sehingga apa yang kauhendaki bagi dirimu sendiri dapat menjadi prinsip yang berlaku pula bagi setiap orang. Berarti: jangan memilih untuk dirimu sebuah gaya hidup yang tidak mungkin akan menjadi gaya hidup semua orang. Band. perkataan Tuhan Yesus sendiri dalam Mat. 7:12. Namun, unsur universalizability tidak dapat menjadi penentu mutlak untuk ‘moril’. Sebab terdapat banyak hal yang umum berlaku, namun tidak termasuk bidang moril. Mis. dalam teknik pelukisan biasanya warna-warna kelam ditaruh sebelum warnawarna cerah. Atau kendaraan dalam lalu lintas ikut jalur kiri (di Indonesia). Dan juga, pahlawan-pahlawan perang mengorbankan diri dengan berani. Apakah sikap itu harus menjadi kelakuan umum? 2. ‘Prescriptivity’: preskript adalah persyaratan. Memang, ‘ought to’ (wajib untuk) adalah sebuah ciri untuk kelakuan moril, tetapi bukan ciri yang satu-satunya. Apakah hanya persyaratan, yang harus diperhatikan, dan apakah keadaan kongkrit tidak perlu dipertimbangkan? Seorang yang memesan bahwa seorang manusia harus berlaku ‘X’, sewajarnya ia sendiri juga berkommitmen untuk berlaku ‘ X’. Kesungguhan sangat perlu. Mungkin kita memesandengan sangat serius bahwa manusia tidak boleh mencuri, padahal kita sendiri mencuri karena keadaan yang kritis. Bukankah kita berlaku ‘amoril’, kalau begitu? 3. ‘Overriding’: melampaui/melebihi. Menurut definisi ini perbuatan-perbuatan moril melampaui dan melebihi perbuatan lain. Contoh: Seorang ingin sekali menyelesaikan sebuah pekerjaan, tetapi pada saat itu isterinya jatuh sakit dan membutuhkan pertolongan: maka kewajiban yang terakhir melampaui yang pertama. Kewajiban itu 7! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014

adalah ‘overriding’ dan keputusan itu untuk menolong isterinya adalah keputusan yang moril. Cuma, keputusan untuk menentukan apa yang merupakan unsur ‘overriding’ terhadap yang lain, selalu subyektif adanya. Pandangan-pandangan terhadap hal-hal yang dianggap penting tidak selalu sama. Seorang kapitalis (kapital=modal) beranggapan bahwa tujuan utama perusahaannya adalah laba. Seorang environmentalist (environment=lingkungan) beranggapan bahwa pertama-tama lingkungan alamiah yang harus dipelihara dan dilestarikan. Seorang Kristen akan mengatakan bahwa Allah patut ditaati, lebih daripada manusia (Kis. 5 :29). Di sini kami melihat pentingnya ‘filsafat tentang lingkungan hidup’, yang diterangkan dalam fasal 1. 4. Ciri : ‘takut hukuman’ dan ‘rasa malu’. Menurut pandangan ini mereka yang melanggar peraturan-peraturan yang bersifat moril dengan sendirinya takut dihukum, merasa bersalah, bahkan merasa malu. Akan tetapi : bisa juga kita merasa malu apabila kita diolokkan, bila kita agak kaku dalam pergaulan sosial. Tetapi itu bukan hal yang moril. 5. Ciri khas moril tergantung dari beratnya perkara. Sebagai contoh : apakah dapat disimpulkan bahwa sebuah kelakuan moril berfokus kepada kebaikan orang lain ? Memang, jika kita membandingkan hal-hal moril dengan perkara lainnya, jelas perkara-perkara yang bersifat moril selalu penting adanya. Tetapi, juga perkara-perkara juridis bahkan perkara-perkara estetis (menyangkut keindahan, kesenian) terarah kepada kebaikan orang lain. Sulit juga untuk menyebut ke-10 hukum sebagai ciri khas, sebab hukum 1-4 lebih berfokus kepada relasi dengan Allah (jadi: agama) baru 5-10 pada relasi dengan sesama (moril). 6. Kasih sebagai ciri khas. Bahkan solusi ini tidak memadai. Sebab dapat dipersoalkan apakah aspek ‘kasih’ saja yang menentukan kelakuan etis, dan apakah bukan ‘keadilan’ termasuk juga (walaupun nanti satu paragraf seluruhnya dikhususkan kepada ‘kasih’ karena penting sekali). Etika meneliti pula hal-hal seperti perang, hukuman mati, hak-azasi manusia, persoalan-persoalan medis, yang nampaknya tidak dicoraki oleh kasih. Kesimpulannya bahwa sulit sekali untuk menentukan pengertian ‘moril’. Rupanya terdapat beberapa unsur yang sama-sama penting. Kita telah menemukannya dalam definisi tentang etika yang sudah disebut dalam bab 1. Di bawah ini definisi diulangi dan diperinci. Definisi ‘etika’: Etika adalah pertimbangan-pertimbangan tentang kelakuan moril, yang dapat digambarkan sebagai kelakuan yang (1) manusiawi, (2) bernorma, (3) dipandang dari aspek baik-buruk, (4) berkaitan dengan motivasi, (5) disertai dengan emosi, (6) didasari atas kebajikan (virtue), (7) dituju kepada nilai-nilai tertinggi. 1.Kelakuan manusiawi. Jika berbicara tentang binatang, dan mengatakan ‘anjing yang setia’, atau ‘semut yang rajin’, kita menggunakan sebuah metafor (perbandingan). Binatang-binatang bergerak berdasarkan

8! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014

naluri, bukan karena moral tinggi. Memang, binatang dapat dilatih, sehingga mirip dengan manusia dalam pergerakannya, tapi itu bukan kelakuan moril. Dalam kelakuannya manusia harus berlaku moril terhadap binatang, tetapi binatang tidak dapat berlaku moril atau amoril terhadap manusia. Walaupun mungkin kelihatan lebih setia daripada manusia Jika berbicara tentang malaekat, mereka sekarang tidak mengenal keduaan dan kelemahan seperti manusia, jadi bagi mereka (sekarang) tidak ada perjuangan moril, sekalipun pada mulanya memang ada. Dan sebagian dari malaekat memang jatuh dalam pencobaan pada waktu itu. Jika berbicara tentang Allah sendiri: bagi Allah tidak ada hukum atau norma yang di atasNya. Allah menciptakannya dan tidak dapat dikatakan bahwa Allah mempunyai tindakan yang etis atau kurang-etis. Allah semata-mata ilahi dalam perbuatan-Nya dan tidak boleh diukur oleh manusia. 2. Kelakuan yang bernorma. Bukan setiap kelakuan manusia adalah bernorma. Terkadang juga kita bertindak instinktif atau dengan terpaksa. Itulah kelakuan yang bersikap ‘must’, (bah. Inggeris: harus, dalam arti non-etis) seperti menguap, bermimpi, makan dan minum jika merasa lapar atau haus. Moral berkaitan dengan ‘ought’, (bah. Inggeris, harus, dalam arti ‘etis’), kelakuan yang harus dipertanggungjawabkan. Tanpa pilihan, tanpa kebebasan, tidak ada moral. Tetapi, dari dahulu dibedakan antara determinisme, yang mengatakan bahwa seluruh kelakuan manusia telah ditentukan, dan di sisi lain indeterminisme yang mengatakan bahwa semuanya masih terbuka dan bebas. Kedua aliran itu, bila diterapkan mutlak, tidak dapat disesuaikan dengan moral. Setiap manusia ditentukan oleh sikon dan sejarah, tetapi setiap orang mengembangkan pula pola kelakuan sendiri. Jadi, keterikatan dan kebebasan saling memperlengkapi. Ahli filsafat Kant berkesimpulan bahwa seharusnya kita harus menerima tiga postulat (= tuntutan logis), yaitu kebebasan, ketidakfanaan jiwa dan keberadaan Allah. Ketiga ini dengan sendirinya mengiringi moral. Siapa yang mengakui manusia sebagai makhluk yang bermoral, harus menerima juga ketiga postulat itu. 3. Kelakuan yang dipandang dari aspek ‘baik-buruk’. Dalam pemandangan moril bukan aspek ‘benar-salah’ yang menentukan. Sebuah soal ujian, yang diisi salah, tidak berkaitan dengan moral. Begitu juga bukan aspek ‘trampil-tidak trampil’. Seorang tukang yang tidak trampil, sehingga hasil kerjanya tidak kuat, bukan seorang yang amoril. ‘Indah-jelek’ juga tidak, bahkan ‘legal-illegal’ tidak. Sebuah tindakan yang menurut keputusan hakim illegal, tidak dengan sendirinya buruk dalam arti moril. Jadi, aspek baikburuk melebihi aspek legal-illegal : yang terakhir cocok untuk lingkungan juridis, tetapi dalam lingkungan moril, yang (menurut filsafat Dooyeweerd) lebih tinggi itu, kita memperhatikan baik-buruk. 4. Kelakuan yang bermotivasi. Hal yang bersifat legal lain daripada yang bersifat moril. Legal mungkin disertai kemunafikan, atau mementingkan diri. Sedangkan moril selalu disertai ketulusan, kehendak

9! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014

yang baik. Band. orang Farisi yang memberi zedekah, berdoa dan berpuasa, tetapi khususnya agar mereka dilihat orang. Pentinglah motif yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu. 5. Kelakuan yang disertai emosi. Bukan saja kehendak yang turut menentukan, tetapi juga perasaan. Dalam hal ini harus kita mengeritik Kant yang tidak mau tahu tentang emosi. Perlu kita turut merasakan kesakitan dan penderitaan orang yang kita tolong. Menghilangkan emosi tidak baik. Etika yang bertujuan untuk memutuskan sesuatu mutlak obyektif dan tidak mau menunjuk rasa hati, tidak sesuai dengan kehidupan manusia, di mana hubungan yang emosional sangat vital. 6. Kelakuan didasarkan atas kebajikan ( virtue). Kebajikan menunjukkan sesuatu yang kontinu: mis. ketulusan terus menerus, keadilan terus menerus. Kebajikan adalah sebagian dari akhlak manusia. Menurut Aristoteles kita harus melatih diri dalam kebajikan, supaya kita menjadi manusia yang betul. Aristoteles menekankan: penting bukan apa yang kita lakukan, tetapi apa yang kita mau menjadi. Terdapat sebuah aliran etika yang dapat disebut etika kebajikan (mis. Plato, Aritstoteles). Kami lebih cenderung untuk mengganggap kebajikan sebagai salah sata faktor, bukan yang satu-satunya. 7. Kelakuan yang ditujukan kepada nilai tertinggi. Kelakuan yang moril bertujuan kepada nilai-nilai tertentu, sedangkan nilai-nilai itu sendiri tidak selalu bersifat moril. Misalnya nilai-nilai seperti kesehatan, keindahan, kemerdekaan, demokrasi, kesejahteraan, pengabdian kepada Tuhan. Perbedaan antara beberapa sistem etika Pada umumnya diakui bahwa ada beberapa sistem etika. J. de Graaf membedakan: a. Etika deskriptif (yang menguraikan, tanpa langsung menilai, a.l. etika kebajikan, seperti diajar Aristoteles: pentinglah manusia menjadi apa, dan bukan apa yang dilakukan manusia) b. Etika normatif (yang mengarahkan dan mengendalikan; biasanya dibedakan normatif secara teleologis : pentinglah tujuan yang mau dicapai, dan normatif secara deontologis: pentinglah hukum yang merupakan titik tolak (lihat bab 4) c. Etika khusus : mis. kasuistik, etika situasi, etika medis. d. Meta-etika: filsafat tentang etika dan tentang pertimbangan-pertimbangan etis. Biasanya dalam etika yang matang unsur-unsur dari semua sistem dapat ditemukan, tetapi tidak secara mutlak. Begitu juga dalam etika yang diajar Douma dan yang kami sarankan dalam diktat ini. Etika itu dapat disebut etika tanggungjawab, di mana manusia mendengar akan perintah-perintah yang disampaikan dan sekaligus memperhatikan situasi yang ada dan akibat-akibat yang akan terjadi. Etika Kristen Sampai kira-kira 1960 di dunia Barat dilihat dengan jelas bahwa moral orang Kristen adalah moral khusus. Dari dahulu orang Kristen juga dikenal sebagai orang yang berbeda daripada yang lain, mis. dalam hal kasih. Orang Kristen setia kepada isteri, tidak mengutuki mereka

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 10

yang menganiaya mereka, orang Kristen membantu orang yang sakit, menguburkan orang yang tidak mempunyai keluarga. Sayang sekali sekarang banyak orang teolog menganut pandangan Kant bahwa moral adalah otonom. Sekarang banyak orang mengatakan bahwa Etika Kristen tidak mempunyai sesuatu yang khas. Atau mereka berpendirian bahwa orang Kristen boleh saja mempunyai moral Kristen dalam hal-hal yang luarbiasa : seperti mis. yang disebut dalam 1 Kor. 10 :24 (jangan mencari keuntunganmu sendiri saja) dan Mat. 5 :41,44 (kasihilah musuhmu). Solusi ini mirip dengan pembedaan RK antara kodrati dan adikodrati. Keadilan, kesetiaan adalah sama untuk semua orang, tetapi iman dan kasih, mencari penebusan dan mengikut Kristus adalah bagian orang-orang Kristen saja, menurut pandangan ini. Tetap kami berpandangan bahwa moral Kristen mempunyai pretensi universal. Tidak ada pemisahan antara yang adikodrati dan kodrati. Allah adalah Pencipta dan Pemelihara dunia ini, jadi tentu hukum-hukum-Nya berlaku bagi setiap orang, dan kepada Yesus Kristus diberikan segala kuasa baik di bumi maupun di surga. Syukurlah, bahwa sering terdapat kemiripan antara kelakuan orang Kristen dan orang lain. Kenyataan itu tidak mengherankan, jika kita merenungkan bahwa hukum Allah adalah ‘pakaian yang cocok’ untuk seluruh ciptaan, (K.Schilder), sebab seluruh dunia ini adalah hasil kerja tangan Tuhan. Akhir-akhir ini pandangan seperti itu juga disampaikan oleh O. O’ Donovan (judulnya: Resurrection and the moral order). Sayangnya moral Kristen kadang-kadang juga membuahkan hal-hal yang jelek: perbudakan, perang saudara, apartheid, penjajahan. Tetapi dalam membahas moral Kristen dan etika Kristen kita berurusan dengan hal yang normatif, bukan saja deskriptif. Definisi Etika Kristen: Pertimbangan-pertimbangan tentang kelakuan moril, dari sudut pandang yang disediakan dalam Kitab Suci. Catatan: • Etika Kristen tidak dengan khusus membahas pokok agamiah atau liturgis, tetapi membatasi diri pada pokok-pokok moril. • Dalam perumusan di atas dikatakan ‘Kitab Suci’ oleh karena Alkitab adalah kesatuan, band. Yoh. 10:35; 17:12, 1 Tim. 5:18. • Nama ‘Etika Kristen’ lebih tepat daripada ‘Moral Alkitabiah’. Nas-nas Alkitab seperti mengenai poligami, perbudakan dan perang suci dapat disalahgunakan jika langsung diterapkan tanpa memikirkan sejarah penyataan Allah. • Nama ‘Etika Teologis’ tidak memuaskan, sebab jika dibanding dengan mis. etika medis, yang membahas pokok menyangkun bantuan medis, apakah etika teologis membahas pokok-pokok menyangkut teologi? Jelas tidak.

3.Utilisme atau deontologi ? Atau etika kebajikan ? Sekarang kita membicarakan dua aliran dalam etika yang merupakan kedua ujung yang di antaranya terdapat banyak tipe etika, sedangkan juga pendekatan etis yang menurut kami benar ditemukan di tengah kedua ini. Di ujung satu, utilisme menanyakan keuntungan/guna ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 11

(utilis=lat. : berguna), di ujung lain deontologi menanyakan keharusan/kewajiban (deon, Yun., berarti : kewajiban). Saya menambahkan hasilnya nanti dengan unsur etika kebajikan. Dalam pertimbangan yang utilistis ditanyakan apakah effek dan guna dari kelakuan tertentu, dan kemudian atas dasar itu ditarik beberapa kesimpulan. Deontologi menanyakan prinsipprinsip, terlepas daripada efeknya : apakah kita setia pada prinsip atau tidak ? Akan menjadi nyata bahwa Etika Kristen tidak sama dengan satu dari kedua ini, tetapi tidak terlepas juga dari unsur-unsur yang didalamnya. Dari keduanya dapat diambil sesuatu yang baik dan harus ditolak juga sesuatu atau yang buruk. Bandingkan definisi etika yang dipersiapkan dalam bab 2, di dalamnya tertera a.l. norma dan tujuan yang tertinggi. Brownlee membedakan tiga jalan yang disebutnya ‘etika akibat’ (±utilisme), ‘etika kewajiban’ (deontologi) dan ‘etika tanggungjawab’ (pilihan dari Brownlee sendiri, dan dari kami juga sebenarnya). Nama utilisme tidak muncul dalam karangan Brownlee, ia menyebutnya etika teleologis (teleos,Yun. =tujuan). Dalam etika tanggungjawab kita berusaha untuk memberi jawaban kepada Tuhan dalam kelakuan kita, dengan membuat apa yang (menurut kita) diminta Allah daripada kita. Tetapi tak dapat disangkal bahwa si jahat juga berperan dan dapat mengacaukan pikiran kita. Untuk bertindak dengan bertanggungjawab haruslah kita memikirkan baik efeknya maupun perintah Tuhan. Brownlee memberikan banyak contoh Alkitabiah tentang ketiga cara itu dan membuktikan dengan itu bahwa cara berpikir yang satu tidak bisa terlepas daripada yang lain. Utilisme bertolak dari konsekwensi suatu kelakuan dan bertujuan kepada kesenangan terbesar atau manfaat terbesar untuk orang terbanyak : ‘the greatest happiness of the greatest number’. Pelopor-pelopornya adalah Jeremy Bentham dan John Stuart Mill (abad ke-18, 19). Istilahnya dalam bahasa Inggeris adalah utilitarianism. Utilisme membutuhkan pertimbangan: kesakitan dan kesenangan, celaka dan untung, semuanya harus ditimbang. Bentham menyebut 7 buah alat pengukur (calculus hedonistis) antara lain intensitas, lamanya, keterjaminan dan kemurnian dari kesenangan. Karena itu menurut Bentham mis. minum mabuk, jika diukur etis, sangat jelek. Dalam hal itu Mill menilai bahwa sebuah makhluk yang terbatas kapasitasnya (mis. seekor kambing) lebih mudah menjadi fully satisfied (sangat puas), daripada seorang manusia yang sulit dipuaskan. Kami mengikuti Douma yang berkata bahwa mempertimbangkan manfaat sebuah kelakuan memang amat penting, tetapi berbeda dengan utilisme. Sebab yang terakhir berarti bahwa ‘utilis’ selalu menjadi kepentingan yang satu-satunya. Utilisme perlu dikeritik dan tidak dapat dipertahankan. Sebab: 1. Apa kesenangan yang terbesar: siapa yang mengukurnya? Terkandung sebuah maksimilisasi, dan belum dipikirkan distribusi yang adil. 2. Apa kesenangan yang terbesar? Seorang yang ketagihan narkoba mungkin merasa puas (satisfied) tetapi tidak senang (happy). Siapa yang mengukur kesenangan, mis. makan/minum dibanding dengan mendengar musik atau seks? Kesenangan bukan sesuatu yang empiris, tapi evaluatif: band. Khotbah di Bukit: mereka yang sekarang dianiaya akhirnya akan dikenyangkan dengan kesenangan.

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 12

3. Bagaimana kita mengukur the greatest number? Apakah generasi-generasi yang akan datang harus diperhitungkan juga? Apakah hanyalah manusia, yang harus ditinjau, bukan binatang atau lingkungan? Mungkin kita beranggapan bahwa dengan sendirinya manusia mencari juga kesenangan orang lain, sehingga terjadi kesenangan sosial, tetapi ternyata manusia seringkali sangat egoistis. Apalagi: mempertimbangkan baik-buruk harus dilihat secara historis: apa yang terbaik untuk hari ini mungkin besok ternyata sangat buruk: orang tua si Hitler amat senang waktu ia lahir, tetapi kemudian para penduduk dunia menderita karena ia menjadi diktator. Deontologi Kant adalah seorang deontolog. Bonhoeffer sering menyebutnya sebagai contoh yang tidak boleh diikuti, sebab Kant berbangga bahwa ia selalu akan membicarakan kebenaran, juga mis. jikalau dengan itu ia menyerahkan seorang pengungsi kepada rezim kejam yang mencarinya. Deontologi berbentuk banyak. Dapat berdasarkan penyataan Allah, atau seperti gereja RK berdasarkan hukum naturalis. Sedangkan dalam deontologi Kant intensi manusia adalah intinya, kemauannya. Prinsip Kant adalah: berlaku demikian bahwa peraturan yang engkau kehendaki selalu dapat menjadi prinsip hukum-hukum umum. Cuma, Kant menyampaikan saja etika yang formil. Bukan materiil. Ketika ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kasus konkrit (menyembunyikan pengungsi, dan tidak melaporkannya) ia kalah. Bonhoeffer selalu mengatakan bahwa etika tidak boleh dilepaskan daripada keadaan konkrit, dan bahwa keadaan konkrit itu adalah dunia yang diciptakan Kristus bagi manusia dan didalamnya Kristus menuntut jawaban yang bertanggungjawab dan penuh kasih. Terkait dengan deontologi sering diceriterakan dilema Eutrypho (dari sebuah dialog filsof Socrates): Apakah sesuatu adalah baik, karena para dewa menghendakinya, atau para dewa menghendaki sesuatu karena itu baik adanya? Menurut ceritera, Eutrypho melaporkan ayahnya kepada kehakiman, karena ia membunuh seorang tetangga. Hanya saja, ayahnya membunuh orang itu dengan terpaksa, sebab ia melakukan kekerasan (pembunuhan) terhadap orang lain. Eutrypho takut murka dewa jika ia tidak melaporkan, sedangkan Socrates tidak menyetujui bahwa Eutrypho harus melaporkan ayahnya. Sebab bagi ayah Eutrypho tidak ada jalan lain daripada membunuh orang jahat itu. Namun Eutrypho berkata bahwa kelakuan ayahnya pada dasarnya jahat, sehingga ia harus memberitahukan itu. Dilema itu mungkin dirasakan mereka yang menyembah kepada dewa-dewi Yunani. Tetapi dilema Eutrypho tidak kena Allah kita. Siapa yang menerima Allah sebagai yang berkuasa dalam pokok-pokok etis, akan menerima-Nya dalam kasih-Nya dan menyangkal bahwa Allah adalah seorang despot yang bengis. Kebajikan (virtue).

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 13

Etika kewajiban sudah dibahas sebagai perlawanan dari utilisme (etika akibat). Tetapi etika kewajiban sering dipertentang juga dengan etika kebajikan. Sekarang kita membahasnya dari sudut pandang itu. Di atas kami bersama dengan Brownlee telah memilih etika tanggungjawab, sebagai jalan tengah antara etika akibat dan etika kewajiban. Etika kebajikan tidak sama dengan etika tanggungjawab, tetapi dalam pandangan kami dapat dilihat sebagai bagian daripadanya. Bukan saja kelakuan manusia yang harus diteliti, tetapi juga sifatnya. Kelakuan etis membutuhkan kontinuitas, dan kebajikan manusia dapat menjaminkannya itu. Alasdair Mc Intyre adalah seorang filsof yang bukunya berjudul ‘After virtue’ (1981) sangat berpengaruh. Sebelumnya, selama beberapa abad, topik virtue hampir tidak dibahas. Douma misalnya, dalam buku-bukunya yang pertama, tidak menyebutnya juga. Baru pada akhir abad XX virtue, kebajikan, ditemukan kembali. McIntyre dilihat pula sebagai penganut aliran komunitarisme, jadi ia menekan ‘community’, bukan ‘individuality’: setiap orang dibentuk oleh komunitas, masyarakat, yang di sekelilingya maupun yang sebelumnya. Sebab kita lahir dalam sebuah komunitas dan menjadi besar di dalamnya dan hidup di dalamnya. Menarik sekali, bahwa seorang filsof hendak menolak individualisme dan liberalisme yang begitu merusakkan masyarakat Barat. Kebajikankebajikan manusia dibentuk didalam masyarakat itu, katanya. Kata Macintyre : Virtue adalah hasil dari praktek-praktek sosial, yaitu ketetapan-ketetapan bersama yang mengejar hal-hal yang baik. Tugas-tugas kita sebagai orangtua, dosen, pemimpin dll, semuanya mengandung praktek-praktek tertentu. Hidup manusia adalah sesuatu yang naratif: seorang tidak mulai dari nol, tetapi cerita hidupnya bersumber pada berbagai-bagai tradisi. Di dalam ceritera itu kebajikan dan karakter seorang manusia dibentuk. Teolog Stanley Hauerwas mempromosikan gereja sebagai lingkungan di mana kita tumbuh dan di mana kebajikan-kebajikan kita berkembang. Manusia harus memposisikan dirinya dalam naratio (ceritera) dari Yesus Kristus dan gereja. Tetapi di sini juga patut ditanya apakah norma-norma tidak perlu ? Menurut pandangan Reformed tetap perlu. Apalagi, gereja beranekaragam : ada yang ortodoks, ada yang liberal, ada yang kharismatik. Tentu perbedaan itu mempengaruhi juga perkembangan anggotanya. Apakah semuanya itu sama saja ? Menurut kami tidak. Hauerwas menentang etika modern yang ahistoris: bukan kita yang membentuk moralitas kita, tetapi moralitas membentuk kita. Dan hidup Yesus Kristus adalah sumber kebebasan kita: sejauh kita mengamini ceritera tentang Yesus yang dikabarkan di gereja, kebebasan kita dibentuk. MacIntyre dan Hauerwas ingin tahu dari mana timbulnya moral. Datangnya dari kehendak individual, atau dari persekutuan yang bersejarah dan di dalamnya kita juga telah berada? Mereka memilih yang terakhir, tetapi mereka terlalu optimistis dan idealistis tentang manusia. Sebab manusia tidak baik adanya, dan masyarakat bahkan gereja sangat pluriform. Hauerwas sendiri berada dalam tradisi pasifisme, dari orang Baptis. Sayang sekali bahwa bagi Hauerwas Alkitab tidak bisa menjadi ‘iudex controversiarum’, yaitu untuk menjadi hakim dalam pertentangan-pertentangan. Menurutnya Alkitab dapat ditafsir dengan bermacammacam cara.

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 14

Etika jemaat. Hauerwas dapat dianggap sebagai penganut etika jemaat. Apa yang dimaksud dengan itu ? Satu pengertian yang salah adalah bahwa tidak ada petunjuk dari luar, tetapi bahwa jemaat sendiri menentukan apa yang perlu dan wajar dalam keadaan konkrit. Tentu pandangan itu salah, sebab Firman Tuhan yang merupakan lampu bagi kaki kita. Tetapi benar adalah bahwa kita dalam memikirkan tanggungjawab Kristen harus membagi hikmat dengan jemaat dan belajar dari jemaat dan sebagai jemaat harus tumbuh bersama-sama. Dalam arti yang kedua itu Hauerwas dapat digolongkan pada aliran etika jemaat itu.

Virtue (kebajikan) Etika kebajiikan, dari manakah itu? Plato dan Aristoteles, filsof-filsof Yunani, telah memeloporinya. Plato menyebut sebagai ke-empat kebajikan utama: hikmat, keberanian, penguasaan diri, dan keadilan (sofia, andreia, sofrosune dan dikaiosune). Sesuai dengan itu dalam psikhologinya Plato membedakan dalam jiwa manusia tiga bagian: akal budi (nous), semangat (thumos), dan keinginan atau hawa nafsu (epithumia), yang harus dikendalikan oleh penguasaan diri. Hal itulah juga sesuai ajaran Plato tentang negara: ada para pemimpin, yang memikirkan, ada para pegawai dan serdadu yang mengatur dan melindungi negara, ada para petani dan buruh, yang bekerja untuk memenuhi keingingan dan hawa nafsu dalam makan dan minum. Keadilan adalah kebaikan yang mengkoordinir yang lain. Menurut Aristoteles, manusia mempunyai tujuan dalam dirinya, yakni eudaimonia (kesenangan, happiness). Demi eudaimonia maka ‘hidup dengan baik’ dan ‘berlaku dengan baik’ adalah sama. Aristoteles hanya saja memikirkan hidup di dunia ini: di sinilah manusia harus mencapai tujuannya, di sini ia harus menjadi manusia yang baik. Manusia harus melatih diri dalam kecapan moril. Hendaklah ia memiliki kebaikan, arete, virtus, demikian rupa hingga kebaikan itu menjadi ‘habitus’ (milik pribadinya, sifatnya). Menurut Aristoteles ‘virtue’ adalah selalu di tengah (he mesotes), antara dua ujung, dua kutub. Jika berolah raga terlalu kurang, itu tidak baik, jika terlalu fanatik, tidak baik juga. Jika makan sedikit sekali, tidak baik, jika makan terlalu banyak, tidak juga. Aristoteles membedakan kebajikan yang dianoetis: intellektual, yakni hikmat (sofia), pengertian (sunesis) dan kebijaksaan (fronesis) dan kebajikan-kebajikan etis. Kebajikan-kebajikan dianoetis adalah yang terpenting: eudaimonia yang tertinggi adalah theoria: pantauan rohani, khususnya bagi orang filsof. Sebab, untuk para dewa juga theooria adalah kegiatan utama: sebab mereka tidak mempunyai kegiatan-kegiatan seperti manusia. Manusia harus menjadi autark, bebas, swasembada , dan itu baru akan dicapainya jika ia terlepas daripada orang lain dapat menyerahkan diri kepada theooria. Kebajikan-kebajikan etis memungkinkan kita untuk bergaul dengan orang lain. Menurut Aristoteles jumlah kebaikan etis lebih daripada sepuluh. Kata etika sebenarnya datang dari ‘etike tekhne’: teknik atau kecakapan untuk berlaku baik, jadi sangat praktis. Baik Plato maupun Aristoteles bermaksud untuk mendidik manusia agar ia menjadi manusia yang baik dalam polis (kota/negara) Atena. Jadi, jauh sebelum McIntyre dan Hauerwas mereka pun menekan komunitas sebagai tempat untuk mengembangkan kebajikan-kebajikan.

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 15

Augustinus membedakan hikmat (prudentia), iustitia (keadilan), temperantia (penguasaan diri), fortitudo (keberanian). Dan semuanya itu adalah aspek-aspek dari kasih. Tomas Aquinas (Abad Pertengahan, tokoh gereja RK) menguraikan ajaran tentang kebajikan yang sangat terperinci. Tetapi ia tidak berfokus kepada komunitas melainkan kepada individu. Ia menambahi keempat kebajikan klasik dengan ketiga kebajikan Kristen: iman, harapan dan kasih. Roh Kudus mencurahkan kebaikan-kebaikan Kristen itu, berarti manusia tidak membutuhkan sesamanya, atau komunitas, untuk mengembangkannya. Ia mendapatnya langsung daripada Roh Kudus. Tujuan utama menurut Tomas adalah beatitudo (‘happiness’), yakni sama dengan eudaimonia untuk Aristoteles. Tetapi Aristoteles mencarinya di bumi dan Tomas di surga. Teoria Dei (memandang Allah) baru tercapai jika iman, harapan dan kasih dicurahkan oleh Roh Kudus. Juga bagi Tomas virtue berada di tengah. Dan itu tidak benar, menurut kami : bagaimana mungkin seorang manusia harus menjaga diri agar iman dan harapan dan kasih tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak, tetapi justru di antara itu ? Kita harus mengasihi Allah dengan segenap hati, begitu sesama manusia ! Bagi para Reformator ajaran tentang kebajikan tidak perlu mendapat tekanan. Tentu mereka juga ingin supaya kita mempunyai kebajikan-kebajikan, dan supaya manusia maju dalam hal itu. Bagi mereka pentingnya kebajikan sama sekali tidak merupakan bahan diskusi, sebab Alkitab juga sering membicarakan bagaimana seharusnya sifat dan sikap seorang yang percaya kepada Allah. Tetapi manusia akan dibenarkan oleh iman kepada Yesus Kristus dan itulah fokus Reformasi. Pada zaman sesudah era Reformasi ternyata tidak ada perkembangan ajaran etika mengenai kebajikan. Tekanan lebih pada kesepuluh hukum. Menurut kami kewajiban dan kebajikan harus berjalan sama dalam satu etika. Virtue, atau kebaikan, menurut difinisi Douma, adalah kemampuan untuk berlaku moril dengan baik, berdasarkan pengertian yang diperoleh oleh pembawaan dan pembinaan, pada saat yang tepat dan dengan cara yang tepat. Menyangkut relasi antara kebajikan dan norma dapat disimpulkan bahwa kebajikan-kebajikan menolong untuk menerapkan norma-norma yang konkrit. Kewajiban yang bertabrakan Sering ditemukan situasi yang disebut ‘kewajiban yang bertabrakan’ (collisio officiorum), band. dilema Eutryphos. Contoh: haruskah dokter mengatakan kebenaran kepada orang yang sakit berat? Haruskah seorang anak menjawab sesuai kebenaran jika guru dengan kasar bertanya apakah ayahnya tadi malam pulang ke rumah dengan mabuk seperti biasa? Contoh terakhir itu dari Bonhoeffer. Untuk bereaksi dalam keadaan-keadaan yang sulit itu tentu dibutuhkah hikmat. Jika saya mengerti solusi Douma dengan baik ia berkata bahwa sebenarnya tidak ada penabrakan, sebab tidak mungkin Allah memaksa kita memilih dari dua kemungkinan yang sama-sama ditawarkan oleh Allah dan yang sama-sama sesuai kehendak-Nya. Seorang yang berhikmat dan yang bertindak dalam kasih tentu akan tahu apa yang harus dilakukannya.

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 16

Tetapi menurut kami pandangannya bahwa pada dasarnya tidak ada collisio, penabrakan, tidak memuaskan, dan tetap harus dikatakan bahwa ada kewajiban yang bertabrakan. Lebih baik mengaku kepada Tuhan bahwa kita terpaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai perumusan hukum Taurat, karena ada kewajiban lain yang harus kita lakukan juga (misalnya dalam keadaan perang menipu tentara musuh yang sedang mencari guerilyawan, band. Yos. 2, band. Yak. 2:25, band. juga Kel.1:15 dst). Hati nurani kita tidak akan terbeban kalau begitu.

4. Kitab Suci sebagai sumber Etika. Kitab Suci (Alkitab) adalah sumber utama untuk Etika Kristen. Banyak orang menyangkalnya, juga banyak teolog, atas dasar bahwa waktu dan tempat terlalu berbeda. Tetapi kami yakin bahwa Roh Kudus yang telah mengilhamkan Kitab Suci untuk menjadi Firman Tuhan bagi segala zaman, sanggup untuk membuat Alkitab menjadi sumber bagi setiap orang yang hendak menimba daripadanya. Dalam Kitab Perjanjian Baru sering ditemukan orang-orang suci yang mendasarkan pandangan mereka atas kitab Perjanjian Lama, mis. Ul 32:35 dalam Roma 12:19. 2 Kor.8:15, 9:9 mengutip Kel. 16:18 dan Mazm 112:9 tentang hal memberi. 1 Kor. 10 menyebut sejarah Israel di padang gurun sebagai pengajaran bagi kita. ‘Sebab ada tertulis’ merupakan alasan kuat. Luk. 10:26, Mat. 22:29, Yoh. 10:35. Begitu juga pandangan dalam sejarah gereja. Augustinus, Tomas dari Aquino, Luter dan Calvin bersumber pada otoritas Alkitab. Kedudukan Alkitab berubah total ketika para penafsir, berdasarkan ilmu yang disebut penelitian historis-kritis, tidak menerima lagi kesatuan Alkitab dan menganggap Alkitab sebagai kesaksian-kesaksian manusiawi yang bertentangan satu dengan yang lain. Sejak itu selalu diterbitkan buku-buku tentang mis. etika Yesus yang eskatologis, etika jemaat-jemaat pertama, etika Paulus yang kristologis dll. Judul-judul seperti itu menurut kami tidak tepat sebab mengesankan bahwa terdapat bermacam-macam etika dalam Alkitab. Dalam abad XX, di bawah pengaruh filsafat eksistensialisme, disangkal bahwa terdapat kebenaran-kebenaran yang tetap berlaku. Katanya: tidak mungkin untuk menempatkan buku Alkitab dalam sebuah aku-anda relasi, yaitu relasi Allah dan manusia, atau manusia dengan manusia. Teologi K. Barth dicoraki oleh filsafat tersebut. Dan menurut filsafat tersebut, setiap kebenaran, baru terwujud dalam sebuah relasi. Terdapat teolog-teolog yang tidak menerima Alkitab sebagai Firman Tuhan dan sebagai sumber untuk etika, tetapi menerima saja beberapa model dari Alkitab, yang menurut mereka memiliki wibawa dari Allah. Pertanyaan kami ialah mengapa beberapa model saja diterima sebagai berwibawa dan Alkitab sendiri tidak. Dan juga: model-model apa yang layak diterima dan apa tidak? Contoh: Exodus motif, sebagai dasar untuk teologi Pembebasan, atau motif Khotbah di bukit. Atau motif kasih. Berbeda sekali dengan pola tadi adalah ‘biblisisme’, yaitu bahwa nas-nas Alkitab diterima terlepas daripada konteks. Perbedaan waktu dan tempat tidak dihiraukan. Mis. kutuk atas Ham (Kej. 9:29) menjadi dasar untuk mempertahankan perbudakan orang negro, atau Yoh. 9:4a sebagai dasar untuk bekerja seminimal 9 jam sehari, atau enam hari seminggu (Kel. 20:9).

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 17

Alkitab adalah Firman Tuhan yang oleh pekerjaan Roh Kudus merupakan pedang yang bermata dua (Ibr. 4 :12). Tetapi selalu harus kita memeriksa diri apakah kita menggunakan Alkitab dengan murni dan tidak biblisistis. Mereka yang tidak menerima Alkitab sebagai Firman Tuhan seringkali mengatakan bahwa orang Kristen yang menerima Alkitab sebagai sumber Etika adalah orang yang biblisistis. Tuduhan itu tidak tepat bila pembaca Alkitab yang menerima wibawa Alkitab memperhatikan juga konteks setiap nas. Menurut Douma dapat dibedakan antara empat penggunaan Alkitab: 1. Apabila digunakan secara langsung, Alkitab adalah seperti pemandu. Dalam keadaan konkrit terdapat petunjuk Alkitab yang konkrit. 2. Alkitab adalah tetap seperti penjaga, yang tidak menunjuk jalan yang benar tetapi memberikan aba-aba untuk tidak ikut jalan yang salah. Dalam keadaan konkrit Alkitab memberikan peringatan untuk tidak melakukan sesuatu yang salah itu. 3. Alkitab digunakan juga sebagai penunjuk arah, yang dalam lalu lintas menunjuk tujuan kepada pengemudi-pengemudi. Sebab Alkitab memberikan faktor-faktor yang tetap, dan yang direktif bagi kita. 4. Di samping itu Alkitab memberikan banyak contoh, mis. dari Yesus Kristus sendiri: contoh-contoh seperti itu sering tidak mengajar kelakuan konkrit melainkan etos Kristen secara umum. Catatan: Menyangkut Alkitab sebagai penjaga dapat ditambahkan umpamanya bahwa perkembangan-perkembangan historis seperti pembubaran perbudakan, penghentian poligami, penjajahan, memang tidak langsung diperintah dalam Alkitab tetapi benar-benar adalah sesuai ajaran Alkitab dan juga sesuai perkembangan sejarah. Menyangkut Alkitab sebagai penunjuk arah: terdapat masalah-masalah etis yang jawabannya tidak ada dalam Alkitab, oleh karena pada waktu itu masalah-masalah tersebut belum bisa ada: mis. bayi tabung, penyelidikan DNA. Tetapi karena Tuhan menetapkan faktor-faktor yang tetap berlaku maka Alkitab berguna dalam permasalahan itu juga, misalnya melalui unsur-unsur seperti ‘jangan membunuh’, ‘manusia adalah gambar Allah’ dll. Christopher J.H. Wright: Segitiga etika Wright adalah seorang Inggeris yang pernah mengajar di Indiah. Ia ahli etika dan ahli Perjanjian Lama. Dalam karyanya yang terkenal: ‘Old Testament ethics for the people of God’ ia meletakkan sebuah dasar yang kuat dengan mengintrodusir pengertian ‘the ethical triangle’ (segitiga etika). Ia menekankan bahwa etika Israel dibangun atas ‘worldview Israel’ (pandangan umum orang Israel). Dalam pandangan itu orang Israel berfokus kepada Tuhan, Allah Israel (sudut teologis), bangsa Israel, sebagai bangsa yang dipilih dan yang mempunyai hubungan unik dengan Allah (sudut sosial) dan tanah Israel, yang menurut keyakinan orang Israel adalah tanah yang dijanjikan Allah kepada mereka (sudut ekonomis). Ketiga sudut tersebut membentuk sebuah segitiga, yaitu segitiga etika. Wright menekankan bahwa dalam seluruh P.L. etika bersifat teologis: pokok-pokok etis terkait dengan Tuhan Allah: sifat Allah, kehendak Allah, tindakan-tindakan Allah, tujuan Allah. Ditekankan juga bahwa Allah dikenal dari sejarah, dari tindakan-Nya, bukan saja dari perkataan-Nya. Ditekankan pula bahwa dalam sejarah itu Allah selalu berprakarsa: Allah mencari manusia, Allah memilih Abraham dan bangsa Israel, Allah mendirikan perjanjian. Dalam hal itu inti kitab-kitab Perjanjian Baru persis sama, band. Yoh. 15:12, 1 Yoh.4:19, ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 18

Roma 12:1. Dan karena itu etika Kristen sekarang seharusnya bertolak dari pembebasan manusia oleh Allah berdasarkan anugerah-Nya itu. Wright dengan sangat tepat memilih nas-nas Alkitab untuk menjelaskan keseluruhan maksudnya: mis. Kej. 50:20 sebagai pernyataan yang sangat indah tentang kemahakuasaan Allah dan kebebasan manusia (Yusuf dan saudara-saudaranya) atau Kej. 18:19, yang menerangkan keterjalinan peran Israel yang etis dan yang misioner: Abraham dipilih Allah agar ia membimbing rumahtangganya dan keturunannya berjalan di jalan Tuhan, dengan melakukan keadilan dan kebenaran supaya Allah akan menghasilkan untuk Abraham apa yang telah dijanjikan-Nya, yaitu bahwa dalam Abraham seluruh dunia akan beroleh berkat. Sedangkan konteks perkataan itu adalah hukuman Allah terhadap Sodom. Diselidiki ciri khas kehidupan sosial Israel dibanding dengan bangsa-bangsa sekelilingnya. Tentulah perbedaan yang paling nampak adalah teologis. Dan berhubung dengan itu Israel tidak mengikuti pola sosial bangsa-bangsa Kanaan, yang bersifat feodal, di mana raja memiliki seluruh penduduk seluruh tanah, karena raja juga dilihat sebagai anak dewa. Di Israel seluruh tanah dimiliki oleh keluarga-keluarga, setiap orang Israel adalah bebas, pemerintah dilakukan oleh penatua-penatua kota. Ketika bangsa Israel mengingini seorang raja, Samuel memberi peringatan keras. Hanya pada masa Daud dan Salomon kerajaan bermakmur, tetapi kemerosotan telah dimulai pada zaman Salomon. Cerita Ahab dan Nabot menjelaskan bahwa kejahatan religius dan ekonomis berjalan sama: penyembahan berhala oleh Ahab akhirnya menyebabkan ia mencuri tanah Nabot, dan Nabot dituduh Ahab dengan palsu sebagai pemfitnah Allah sehingga Nabot dihukumkan mati. Wright berkata bahwa Israel adalah paradigma (contoh, pengajaran) Allah: bukan saja Firman Allah kepada Israel tetapi seluruh keberadaan Israel sebagai bangsa Allah yang dipimpin Allah dalam semua aspek kehidupan. Paradigma tidak berarti bahwa hukum-hukum Perjanjian Lama langsung dapat diterapkan. Israel sebagai paradigma berarti bahwa keseluruhan sejarahnya menjadi paradigma, dan dalam hal itu perlu direnungkan pula bahwa Israel adalah jalan Tuhan kepada dunia ini untuk mendatangkan Juruselamat dunia. Penggenapan hukum dalam Kristus: Menggenapi, pleroo, (Mat. 5: 17) berarti melengkapi, bukan saja mengesyahkan: arti hukum bagi kita berbeda dengan artinya bagi Israel, menurut Douma. Sedangkan menurut J.van Bruggen menggenapi harus ditafsirkan sebagai melengkapi segaligus mendiktekan. Memang bagi kita hukum mosaica tidak lagi menjadi pemandu: persembahan-persembahan tidak dituntut lagi, dan juga hukum-hukum perdata berbeda: dalam hukum Musa ditemukan 20 pelanggaran yang menuntut hukuman mati pada waktu itu, tetapi bukan pada waktu kita. Dalam kasus hukum yang ke-4 penggenapan berarti bahwa sabat israelitica ditemukan kembali dalam perayaan hari minggu. Hukum yang ke-4 itu tidak termasuk peraturanperaturan seremoniil atau peraturan kenegaraan, tetapi termasuk undang-undang dasar yang diperintahkan Allah sendiri di gunung Sinai. Menurut Calvin hukum-hukum negara yang berbeda dengan hukum Musa kadang-kadang bahkan lebih cocok daripada hukum Musa. Oleh sebab itu menurut Calvin tidak dapat dikatakan bahwa negara bersangkutan telah meniadakan hukum Musa, karena sebenarnya hukum Musa tidak pernah diberikan kepada bangsa itu sebagai undang-undang negara. Tomas Aquinas membedakan antara hukum moril, seremoniil, dan sipil, begitu juga sebuah kompendium ajaran Reformed di Belanda dari abad yang ke-16, yang berjudul Synopsis purioris theologiae. ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 19

Berbeda sekali adalah pandangan orang-orang tertentu di Amerika Serikat, a.l. R.J. Rushdoony, yang disebut Christian Reconstruction. Mereka mau menghidupkan seluruh hukum Musa dengan pengertian bahwa penyembahan berhala, mengutuki orang, homoseksualitas, pemberontakan perlu dihukum mati. Menurut Rushdoony pandangan Calvin mengenai bangsa-bangsa yang mengembangkan hukumnya sendiri adalah pandangan bidah. Pandangan Christian Reconstruction itu berkaitan dengan postmilennialisme: masyarakat kini akan hancur dan sesudah itu manusia akan hidup bila ia kembali ke hukum-hukum Alkitab. Hanya hukum-hukum seremoniil merupakan pengecualian baginya. Pandangan ini juga disebut teonomisme. Untuk bersumber pada Alkitab dengan cara yang bertanggungjawab kita membutuhkan pertolongan Roh Kudus. Dibanding dengan Israel, gereja PB sudah akalbalig. Dipimpin oleh Roh Kudus ia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Apakah Roh Kudus memberikan pula pengetahuan tambahan, di samping pengetahuan dari Alkitab? Pertanyaan itu tidak langsung dapat dijawab.Tetapi seorang yang berkata bahwa ia memiliki pengetahuan yang datang langsung daripada Roh Kudus, harus memberikan legitimasinya melalui Firman Tuhan. Seorang yang tampil sebagai seorang yang dipimpin oleh Roh Kudus, harus dinilai dengan analogia fidei (kesamaan iman, isi iman) (Roma 12 :3, 1 Kor. 14 :29). Calvin telah berkata : kita membutuhkan coniunctio atau consonans dari dua suara : Firman dan Roh. Mengikut Kristus Untuk merenungkan arti mengikut Kristus bukan saja kita membahas beberapa nas yang menyebutnya hurufiah, mis Mt 8:22, 9:9, 19:21. Lebih penting lagi kata Paulus dalam 1 Kor. 11:1, dan secara khusus seluruh pola hidup Kristus sendiri dan pemikiran-Nya. Band Fil.2:7. Mengikut Yesus bukan menjiplak-Nya atau mengimitasi-Nya. Yang dimaksudkan adalah melayani dan mentaati, band. 1 Raja-Raja 18:21: Mengikut allah lain sama dengan mengabdi kepadanya. Begitu dengan mengikut Allah: Ul. 13:4. Kitab-kitab Perjanjian Baru lebih jelas lagi: bukan saja mentaati, bukan juga mengimitasi jalan hidup Tuhan Yesus, tetapi mewujudkan pola hidup-Nya. ‘Akolouthein’, kata Tuhan Yesus, ‘mimeisthai’, kata Paulus. Tidak perlu keduanya dipisahkan atau dibedakan. Dahulu sangat terkenal buku Thomas a Kempis, ‘De imitatione Christi’ (tentang mengikut Kristus). Thomas berbicara tentang ‘mengikut Kristus’ (sequi) tetapi langsung menggantikannya dengan ‘menjadi serupa dengan Kristus’ (imitare). Bukunya adalah pedoman untuk spiritualitas Kristen, dengan tekanan atas doa, renungan, latihan rohani. Mengikut Yesus berarti: 1. mengindahkan panggilan dari Bapak, dalam setiap pelaksanaan tugas, sama seperti Yesus selalu melakukan kehendak Bapa-Nya (Yoh. 4:34). 2. Kristus berusaha demi sesama-Nya. Kristus mencuci kaki saudara-saudara-Nya. Karena kasih untuk sesama-Nya ia meninggal dunia. Lalu kasih itulah merupakan tujuan dari mengikut Kristus : 2 Kor. 5 :14, 1 Kor. 13:4.

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 20

3. Mengikut Kristus berarti pula: menyangkal diri, rela menerima penderitaan dalam mengikut Yesus: Mat. 16:24. Bahkan Paulus pernah berkata: ia memperlengapi penderitaan Kristus (Kol. 1:24): mutatis mutandis penderitaan Kristus kena juga orang Kristen. Bukan setiap orang harus meninggalkan keluarga dan pekerjaan seperti murid-murid pertama, atau harus meninggalkan biara (Luther), tetapi untuk setiap orang berlaku: Manusia lama harus mati, dan hal itu berarti penderitaan. Kata Bonhoeffer juga bahwa mengampuni sesamanya dapat terasa pula sebagai penderitaan, namun perjuangan itu sangat perlu, berdasarkan Gal. 6:2 (saling memikul beban, beban dalam arti: dosa, band. ay. 1). Pada akhir hidupnya Bonhoeffer telah membuktikan itu dengan sungguh-sungguh, ketika ia dihukum mati (digantung) oleh rezim Nazi dan mati syahid.

5.Kasih sebagai inti Hukum. Bonhoeffer mengutamakan dua unsur dalam kelakuan etis: tanggungjawab dan kasih. Pada dasarnya Douma memilih yang sama. Kasih mencakup segala perintah, sebagai ‘ikatan kesempurnaan’ (Kol. 3:14). Alkitab menyebut kasih dalam berbagai-bagai bentuk. Kasih Allah kepada dunia (Yoh.3:16), kasih Allah kepada bangsa-bangsa (Ul. 33:3), kepada manusia (Titus 3:4) dan khususnya kepada bangsa-Nya sendiri (Ul. 4:37, Yoh. 17:3, Ef.2:4) yaitu bangsa Israel dulu dan kemudian semua orang yang berada dalam Kristus. Tersebut juga kasih Kristus, 2 Kor. 5:14, 1 Joh. 3:16, dan kasih Roh Kudus, dan juga kasih antara Bapak, Anak dan Roh. Manusia dipanggil untuk mengasihi Allah, dan juga sesama manusia. Dalam kasih yang terakhir itu dapat dibedakan kasih antara suami dan isteri, orangtua dan anak, antara sahabat, antara kekasih, antara orang seiman, tetapi juga terhadap orang asing. Perlu dicatat juga kasih manusia kepada dirinya sendiri. Bisa juga kita mengasihi hal-hal seperti hikmat, perintah Allah dll. Sayangnya kasih dapat diarahkan pula kepada hal-hal yang tidak baik, mis. dunia. Untuk membedakan beberapa bentuk kasih, dapat diperhatikan kata-kata Yunani seperti ‘eroos’ dan ‘agape’, yang diterangkan dengan baik oleh C.S. Lewis: ‘need-love’ dan ‘giftlove’. Keduanya pada dasarnya baik, tetapi mempunyai ciri khas yang berbeda. Di samping itu terdapat pula dalam bahasa Yunani kata ‘storge’ (kasih yang nyata dalam mengasuh, memelihara) dan ‘filia’ (dengan banyak arti: terkenal ‘filadelfia’: kasih persaudaraan) Sekalipun pembedaan eroos-agape itu penting adanya, namun bukan semuanya dapat dicakup didalamnya itu. Sebab kasih dapat berhugungan juga dengan unsur mengagumi, mis terhadap perintah-perintah Allah atau Bait Suci. H. van Oyen memperhatikan tiga bentuk kasih: ‘eroos’, ‘agape’ dan ‘filia’. Douma mengikut pembahagian itu dan menerangkan: ‘Eroos’, itulah ketertarikan , keinginan, baik kepada Allah maupun kepada sesamanya. Termasuk kasih seksuil. Jika ‘agape’, itulah kasih yang tidak menerima melainkan memberikan. Kadang-kadang dengan menyangkal diri. Terakhir ‘filia’: kasih terhadap struktur-struktur hidup, sebagaimana ditentukan oleh Allah. Katabenda ‘eroos’ dan ‘filia’ tidak ditemukan dalam PB, hanya ‘agape’. Sedangkan katakerja yang ada hanya ‘filein’ dan ‘agapein’.

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 21

Kasih kepada Allah tidak terbatas pada saat-saat tertentu, di mana iman kita memuncak dalam hubungan mistik dengan Allah. Dan dalam kasih kepada Allah tentu juga tidak ada tempat bagi seksualitas, seperti pada ritual-ritual orang Kanaan (ilah seperti Baal dan Astarte). Adiafora Kasih kepada Allah total adanya. Tinggal pertanyaan apakah ada adiafora (hal-hal yang netral, tidak penting). Secara praktis memang ada, namun istilah itu tidak tepat. Jelas bahwa Alkitab dalam sekian banyak kasus tidak memberikan peraturan langsung. Tetapi tidak benar bahwa terdapat zone netral di mana manusia dapat menentukan semau-maunya saja. Untuk setiap keputusan ada situasi tertentu, akibat tertentu, mungkin juga emosi tertentu. Mungkin tidak ada perintah tertentu, namun setiap keputusan harus diambil secara bertanggungjawab. Pilihan orang Kristen yang satu dengan yang lain dapat berbeda, tetapi bisa saja dua-dua bertanggungjawab. Dalam Fil. 1:9 tidak dibicarakan tentang adiafora, tetapi justru dikatakan bahwa kita harus menentukan sikap kita tentang ‘diaferonta’ (hal-hal yang harus dibedakan), yaitu memilih yang penting dan mengambil keputusan baik tentang itu. Siapa sesamaku? Tidak sulit bagi seorang untuk menjawab siapa sesamanya (ho plesios). Band. Luk 10 dan Mat. 22. Dalam situasi konkrit harus ditentukan siapa yang telah menjadi sesama bagi kita: setiap orang dapat menjadinya, tetapi bukan setiap orang adalah sesama kita. Dalam kasih kepada sesama terdapat juga urutan. Sebab terdapat orang yang lebih dekat dengan kita daripada yang lain. Tidak tepat jika kasih terhadap sesama selalu merupakan ‘gift love’ dan tidak pernah ‘needlove’. Misalnya dalam hubungan cinta keduanya perlu. Tuntutan mengasihi tidak selalu berat adanya. Apakah dalam kasih kepada anak sendiri, dan antara suami-isteri tidak banyak juga yang kita terima? Tetapi akan timbul masalah, jika eroos dan agape diceraikan dan hanya kasih kepada seorang dilihat sebagai tuntutan dari Allah dan kasih daripada seorang tidak. Kasih kepada Allah dan sesama telah dituntut dalam PL juga, yaitu Im. 19:18, dibanding dengan Ul. 6:5. Tetapi unsur yang baru dalam PB adalah bahwa Yesus menunjuk kepada diriNya: ‘Sama seperti Aku mengasihi kamu’ (Yoh. 13:34). Jadi, ‘filadelphia’ (kasih persaudaraan) adalah bentuk khusus daripada kasih kepada sesama. Kata ‘seperti dirimu sendiri’ menunjukkan intensitas kasih. Kasih kepada diri sendiri tidak boleh menjadi ‘mementingkan diri’, ‘filautos’, band 2 Tim. 3:2. ‘Mengasihi musuhmu’ Mat. 5 :47. Salah satu alasan untuk mengasihi musuh, adalah bahwa Allah sendiri mahamurah (Rom. 12 : 1). Yoh. 3 :16 adalah dasar kasih kepada musuh. PL juga melarang untuk bersifat benci: Im 19:17, Amsal 24:17, 29. Kata Yesus bahwa menurut tradisi para musuh harus dibenci, Mat. 5 :43, bukan berarti bahwa menurut hukum kita harus membencinya, tetapi menurut penafsir-penafsir. Tetapi Yesus Kristus mengajarkan yang lebih mendalam, yaitu lebih radikal, sebab Kristus sendiri mati untuk orang berdosa. Atas dasar perintah untuk mengasihi sesama janganlah disimpulkan bahwa setiap argumentasi berdasarkan lex talionis (hukum pembalasan) harus ditolak. Bila Yesus menolak itu, Mat. 5 : ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 22

38, itulah karena Ia berbicara kepada pengikut-pengikut-Nya secara perseorangan. Sebab memang, seorang diri tidak boleh membalas dendam, dan Allah yang mempunyai pembalasan. Tetapi Allah menginstruksikan kepada pemerintah-pemerintah untuk melaksanakan hukuman (Roma 12, 13). Mengasihi musuhnya adalah perintah untuk semua orang Kristen, tidak seperti ajaran RK bahwa hanya perfecti (orang sempurna) saja bisa memenuhi consilia itu. ‘Peraturan emas’ Terkenal sebuah nas yang dinamakan ‘peraturan emas’ (Mat. 7: 12): ‘segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi’. Secara singkat: menunjukkan kepada sesamamu kasih yang diharapkan olehmu. Peraturan seperti itu telah ditemukan pada Thales dari Milete, 600 seb M., dan pada Konfucius, 500 seb. M. Seringkali rumusan tersebut ditemukan dalam bentuk yang negatif: ‘yang engkau tidak kehendaki dll’. Akan tetapi perbedaan antara perumusan yang positif dan yang negatif tidak terlalu besar. Konteks bagi penggunaan secara Kristen adalah hukum dan para nabi. Kant mengeritik peraturan itu tapi sebenarnya tidak berbeda jauh dengan imperatif yang kategoris sebagaimana dikalimatkan Kant sendiri: Berbuat demikian supaya apa yang engkau terima sebagai prinsip, dapat menjadi juga prinsip bagi semua orang. Terdapat pula tafsiran yang utilistis dari nas tersebut: ‘do ut des’ : ‘aku berikan supaya engkau akan berikan’. Mengasihi diri Menurut Augustinus, Bernard de Clairveau, Thomas Aquinas, maka kita wajar mengasihi diri, sedangkan menurut Calvin dan Barth dll tidak boleh. Tetapi semua teolog tersebut yakin bahwa memang terdapat bentuk kasih diri yang jelek. Augustinus membela kasih diri sebagai kekuatan yang mendorong manusia memandang ke atas sampai kasih itu memuncak dalam kasih kepada Allah. Bagus juga Tomas : seorang yang mengasihi Allah akan mengasihi juga kepunyaan Allah, yaitu diri sendiri. Tetapi berhubungan dengan ini Augustinus maupun Tomas mengajar juga sesuatu yang aneh, yaitu : kita harus mengasihi sesama karena hal yang baik didalamnya, yaitu kita mengasihi natura manusia pada umumnya. Jadi kita mengasihi musuh karena ia tetap manusia. Tetapi dengan demikian kita membuat manusia konkrit menjadi abstrahan. Dan pada akhirnya kita tidak mengasihi orang tertentu, sedangkan justru itulah yang dikehendaki Allah. Jangan menempatkan kasih diri di atas kasih kepada sesama, sebab terdapat hanya dua perintah dalam Mat. 22. Kristus tidak berkata: dan mengasihi dirimu. Kasih diri adalah sebuah kenyataan yang menjadi pengukur dan dorongan untuk kasih yang lain. Kasih dan keadilan. Etika situasi Terdapat sebuah perkataan Augustinus yang tidak boleh menjadi patokan absolut: ‘dilige et quod vis, fac’. ‘Kasihilah, dan apa saja yang engkau mau, perbuatlah itu’. Augustinus mau menekankan kemerdekaan kristiani, bahwa seorang Kristen tidak terikat kepada banyak peraturan seperti dahulu dipraktekkan oleh orang Farisi.

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 23

Hanya saja, kalimat itu telah menjadi patokan mutlak dalam aliran etika yang dinamakan: ‘etika situasi’, yaitu di mana tindakan moril semata-mata ditentukan oleh keadaan aktual. Begitu J. Fletcher dalam ‘Situation Ethics’ (1966). Hanya perintah kasih yang dipertahankannya, sebagai perintah intrinsik. Semua perintah lain tergantung dari keadaan, katanya. Tidak mungkin kita dapat menilai semua keadaan melalui hanya satu axioma saja, yaitu kasih. Sebab keadaan masyarakat cukup rumit. Sangat melelahkan juga jika dalam setiap situasi kita harus memikirkan dari permulaan lagi apa yang baik. Terakhir: dalam Alkitab perintah kasih tidak terlepas dari perintah lain: kasih bukan pengganti hukum, tetapi penggenapan hukum, band juga Yoh. 15:10. Ikatan antara kasih dan keadilan kuat sekali, khususnya jika kita memandang kepada salib Kristus. Di sana Allah menunjukkan kasih-Nya dan juga keadilan-Nya. Kasuistik Kasuistik (band. Douma, Kelakuan yang bertanggungjawab, fsl 14) adalah ilmu tentang kasus-kasus, yang mengajar bagaimana menerapkan peraturan umum untuk kasus-kasus khusus. Seorang dapat menolong sesamanya dalam hal itu. Kasuistik sering dibenci, ingat orang Farisi dengan 613 perintah dan larangan. Ingat juga buku-buku pedoman pada pengakuan dosa dari gereja Katolik Roma dalam Abad Pertengahan. Kasuistik dapat menjadi seperti terlukis dalam Yes. 28:10. Dan juga dapat memberi kelonggaran untuk menyebut baik apa yang jahat, band. Mat. 23:23. Barth menolaknya, dengan mengatakan bahwa, kalau begitu, manusia mengambil tempat di takhta Allah. Tetapi Bonhoeffer mengintroduksikan dalam seminari teologia yang dipimpinnya ‘pengakuan dosa’, walaupun tidak sama seperti di gereja Katolik Roma. Ia mau supaya seorang Kristen secara pastoral ikut memikirkan beban saudaranya dan akan mengatakan apakah sesuatu baik atau tidak dan akan mendoakan saudaranya. Menurut Douma tidak bisa kita menolak kasuistik semata-mata. Ternyata dalam praktek sehari-hari setiap orang melakukannya. Kita tidak menolong orang yang menggumuli sebuah masalah dengan mengatakan kepadanya : saudara memutuskan sendiri saja sesuai seleramu apa yang baik. Jika kita berbelas kasihan maka kita akan memberi pandangan, dan sedikitdikitnya kita membutuhkan kasuistik. Dalam Alkitab terdapat kasuistik juga, sebab setelah kesepuluh hukum diumumkan dalam Kel. 20 dan Ul .5 dinyatakan juga banyak peraturan yang diawali dengan : jika terjadi yang ini atau yang itu (ki, im), dan itulah peraturan kasuistis. Peraturan itu berbeda dengan peraturan apodiktis, seperti kesepuluh hukum, yang diawali dengan : jangan (lo). Pada ukuran tertentu kita membutuhkan etika jemaat dan kasuistik. Terlebih dalam ‘secular age’. Kasuistik yang baik tidak membahas sedetailnya tetapi menyebut tipe-tipe situasi yang agak umum. Jangan kita terperangkap dalam kesalahan-kesalahan kasuistik yang buruk, dengan mau mengatur semuanya. Jika kita menggunakan etika jemaat, dan membentuk sebuah pola hidup didalam mengikut Yesus, dan jika kita tidak mempertentangkan kebebasan sendiri dan hukum Allah, makanya kita akan menggunakan kasuistik untuk memperoleh uluran tangan etis. Bersama-sama dengan orang seiman harus kita mencapai kedewasaan rohani : Ef. 4 :12.

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 24

Spiritualitas (kehidupan rohani, kerohanian) (band. Douma, Kelakuan yang bertanggungjawab fsl 15) Etika membutuhkan spiritualitas: nampak dalam doa dan penelitian Alkitab, renungan, ibadah, liturgia, waktu yang teduh. Spiritualitas adalah hidup bertujuan kepada Allah Tritunggal. Istilahnya lebih cocok daripada askesis, yang berarti latihan, dan yang sering ditafsir negatif. Kompromis. Kenyataan kompromis terdapat dalam Alkitab. Band. Ul. 24:1. Tetapi kompromis tidak boleh disalahgunakan. Douma: Kompromis adalah akseptasi (penerimaan) sesuatu yang kurang daripada yang semestinya dan harus diusahakan berdasarkan perintah Allah. Terkadang perceraian merupakan kompromis, begitulah perpecahan gereja. Setiap kali kita berkompromis kita menderita, karena maksimum tidak bisa dicapai. Dalam Kis. 5 :29 dinyatakan sebuah batas yang tidak boleh dilewati : kita harus mentaati Allah lebih daripada manusia.

6.Kesepuluh hukum (hukum 1-4). Dalam Alkitab kesepuluh hukum dicantumkan dua kali, Kel. 20 dan Ul. 5. Tuhan Allah sendiri mengumumkan hukum-Nya dari atas gunung Sinai. Kesepuluh hukum ini, dalam bah. Yunani: Dekalog, adalah hukum dasar yang telah diumumkan sebelum Tuhan memberikan perintah-perintah lain melalui Musa. Kel. 20 menceriterakan pengumuman Dekalog, sedangkan Ul. 5 merupakan sebagian dari khotbah Musa yang diucapkan pada saat bangsa Israel mau masuk Kanaan. Musa mengingatkan sejarah yang sudah terjadi. Dalam ceritera itu diulanginya Dekalog, dengan beberapa perbedaan, dibanding dengan Kel. 20. Sebab Musa bermaksud untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada bangsa yang telah tiba di ambang pintu Kanaan, dan keadaannya berubah sejak mereka berangkat dari gunung Sinai. Tuhan Allah sendiri menuliskan Dekalog atas dua loh batu (Kel. 31:18), yang disimpan dalam tabut perjanjian (Ul. 10). Dekalog sering dikutip, baik dalam kitab-kitab P.L. maupun P.B. Lih. Yer. 7:9; Hos. 4:2, Mat. 19:18, Roma 13:9, 1 Tim. 1:9, Ef. 6:2, Yak. 2. Hukum yang pertama Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku Perlu diamati hubungan antara kata-kata pendahuluan dan hukum yang pertama. Allah memperkenalkan diri sebagai Tuhan, Allah mereka, yang telah melepaskan mereka dari Mesir. Nama Tuhan adalah indonesianisasi dari kata Yahwe, ‘Aku adalah Aku’ (Kel. 3:14). Pengertian nama itu bukan bahwa Tuhan berdiam diri dan tidak bergerak, melainkan bahwa Tuhan tetap sama dan tetap setia untuk mengingat akan perjanjian-Nya (band. Kel. 3:16). Justru karena Tuhan tetap setia makanya Ia membebaskan bangsa Israel dari perbudakan. Dan Tuhan, Pelepas itu, menuntut supaya mereka tidak akan menyembah kepada allah lain. ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 25

Tentu rumusan ini tidak berarti bahwa terdapat allah lain. Tetapi Tuhan tahu apa yang kadangkadang muncul dalam benak anak-anak-Nya dan Tuhan mau mencegah penyembahan berhala itu. Dan sekalipun allah lain tidak ada, memang roh-roh jahat ada dan mereka suka menyeret anak-anak Tuhan kepada perbudakan baru, untuk menunduk kepada allah yang dibuat manusia dengan harapan bahwa mereka bisa menolong. Band. 1 Kor. 10:19,20. Indah jika diperhatikan bahwa Tuhan berkata: Aku telah membawa ‘engkau’, bukan ‘kamu’. Bangsa Israel dipanggil secara perseorangan. Dalam perjanjian Allah setiap orang bertanggungjawab penuh. ‘Di hadapan-Ku’: Tuhan Allah tentu menyaksikannya jika kita menyembah kepada berhala. Pelanggaran itu tidak bisa disembunyikan. Apalagi, dosa penyembahan berhala itu sering diumpamakan dengan dosa zinah (Yer. 2; Yeh. 16; Hos. 2) maka dapat dikatakan bahwa penyembahan berhala adalah seperti berzinah di depan mata suami atau isteri yang syah. Ilmu sihir dan tenungan adalah pelanggaran hukum ke-1. Sebab dengan itu kita menarik kepercayaan kepada berhala yang diundang oleh tukang sihir itu. Jemaat Tuhan harus berhati-hati sekali terhadap pedukunan juga. Bukan jika diartikan sebagai obat tradisional semata-mata, tetapi jika ditemukan unsur percaya terhadap dukun yang mempunyai kuasa gaib, atau yang mengundang kekuatan dari roh-roh. Hukum yang kedua Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun… Hukum 1 dan hukum 2 berhubungan erat. Hukum 1 melarang untuk menyembah kepada allah lain, sedangkan hukum 2 melarang untuk menyembah kepada Allah dengan cara yang salah. Gereja RK tidak membedakan kedua hukum ini dan menerimanya sebagai satu saja. Untuk tetap mencapai angka 10 mereka membagi hukum yang ke-10 menjadi dua. Sebab menurut gereja RK tidak dilarang untuk membuat patung daripada orang santo atau bahkan daripada Tuhan Yesus, konon untuk mempermudah ibadah. Tetapi hal itu bisa berakibat penyembahan di hadapan patung itu. Karena hukum yang ke-2 tidak dianggap sebagai hukum tersendiri maka gereja RK merasa bahwa pembuatan patung bisa diperbolehkan. Untuk bangsa-bangsa di Timur-Tengah pada waktu kuno maka patung adalah tempat kediaman ilah, karena itu patung sendiri juga sering dinamakan allah. Ingatlah akan dosa dengan anak lembu emas. Kel. 32. ‘Buatlah untuk kami allah yang akan berjalan di depan kami (ay. 1)’. Dan kemudian: ‘Hai Israel, inilah Allahmu, yang telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir (ay.4)’. Jadi, mereka mau menyembah kepada Allah dalam rupa patung itu. Sama seperti bangsa-bangsa keliling, mereka menghendaki allah yang dapat diangkut mereka, dilihat mereka, diraba mereka. Tetapi dengan itu Allah dilecehkan dan dihina. Pada dasarnya hukum yang ke-2 perlu diartikan sebagai hukum yang melarang setiap cara penyembahan kepada Allah yang melawan kehendak-Nya, dan yang adalah sesuai kehendak manusia. Dan juga segala bentuk kompromis, di mana manusia tidak menaruh percaya kepada Firman Tuhan saja tetapi mencampurkan agama benar dengan agama semua.

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 26

Allah sendiri tidak dapat dan tidak boleh digambarkan. Menyangkut makhluk: boleh digambarkan, asal bukan untuk disembah. Jadi, pandangan gereja Kristen berbeda dengan pandangan orang Islam, seperti terlihat pula dari kesenian masing-masing. Tentang Tuhan Yesus, dan gambar-gambar-Nya seperti di Ceritera-ceritera Alkitab, dapat dikatakan bahwa gambar itu tidak salah sebetulnya, sebab Tuhan Yesus adalah Allah yang telah menjadi manusia. Tuhan Yesus, sebagai manusia, dapat dilukiskan, sekalipun jelas bahwa kita tidak tahu bagaimana roman muka-Nya. Tajam sekali ucapan berkat dan kutuk yang mengakhiri hukum yang ke- 2 ini, tentang dosa yang dibalas kepada keturunan yang ke-3 dan ke-4 daripada mereka yang membenci Tuhan dan kasih setia yang turun atas generasi yang ke-1000. Ancaman itu tidak berarti bahwa cucu dan cici dikutuk karena orang tua, dan itu juga berlawanan dengan ayat-ayat lain, mis. Yeh. 18. Tetapi ancaman ini merupakan peringatan kepada orang yang hidup, supaya mereka tidak akan menyimpang sedikit pun, sebab jika mereka menyimpang, bisa saja keturunannya akan ikut, sampai cucu dan cici. Orang tua sendiri nanti dapat menyaksikan betapa hebat akibat daripada dosa mereka. Hukum yang ketiga Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan. Hukum yang ke- 2 telah melarang penyembahan yang salah, kemudian hukum yang ke-3 menunjuk jalan yang benar. Sekalipun hukum yang ke-3 juga berbentuk larangan, namun isi hukum itu menyatakan bagaimana Tuhan Allah hendak dipuji dan disembah: dengan memuji nama-Nya dan bersembayang kepada-Nya. Tuhan tidak jauh, dan tidak perlu didekatkan melalui sebuah patung buatan manusia, yang adalah pemalsuan saja. Sebab Tuhan sudah dekat untuk setiap orang yang memanggil namaNya (Yes. 55:6). Tuhan telah memperkenalkan diri-Nya dengan sebuah nama yang sangat indah: Yahwe (di-indonesiakan dengan TUHAN) dan Tuhan mau dipanggil dengan nama itu dan akan mendengarkan mereka yang berseru kepada-Nya.. Keliru sekali orang Yahudi yang begitu takut untuk melanggar hukum yang ke-3 ini sehingga mereka sama sekali tidak mengucapkan nama Yahwe, tetapi setiap kali membacakan Adonai, di mana tertulis Yahwe. Naskah yang tertulis tidak diganggu, tetapi dalam pembacaannya terjadi penggantian nama. Dan hanya nama Allah yang satu itu, Yahweh, yang begitu disegani. Adonai berarti ‘tuan’, sedangkan Yahwe sebenarnya: ‘Aku adalah Aku’ (band keterangan hukum yang ke-1). Karena kebiasaan orang Yahudi inilah maka dalam Septuaginta (terjemahan Kitab PL dalam bahasa Yunani), nama Yahwe diterjemahkan dengan Kurios (tuan), begitu juga dalam terjemahan lainnya: Lord (Ingg), Seigneur (Per.), Dominus (Lat), Tuhan (Ind.). Biasanya dengan huruf besar, untuk membedakannya dari kata tuhan yang adalah sapaan untuk Tuhan Yesus (dan sebenarnya juga terjemahan dari kurios). Sebab dalam bahasa Yunani seorang besar dipanggil kurios: tuan. Kadang-kadang juga orang Yahudi menggantikan nama Yahweh oleh ‘Syem’, yang berarti ‘Nama itu’, band. Im. 24:10-16.

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 27

Jika semuanya dipertimbangkan harus dikatakan bahwa keliru sekali untuk tidak menggunakan nama Yahwe yang indah itu. Nama itu diberitahukan oleh Allah sendiri, untuk mengingatkan bangsa Israel akan perjanjian Tuhan. Cuma, pemanfaatan nama itu dengan salah, itulah berbahaya. Contohnya pemanfaat arus listrik: sangat berguna, tetapi sangat berbahaya jika salah dipakai. Nama Tuhan yang sangat berarti itu boleh disebut juga dalam sumpah: Tuhan mengizinkan kita untuk menyebut namaNya sebagai saksi, supaya perkara hukum yang berat dapat diselesaikan. Begitu juga dalam pelantikan jabatan (pemerintah, dokter, notaris, ABRI). Tetapi bersumpah dalam hal-hal sepele saja tidak boleh, dan tidak boleh juga untuk menghindar dari kecurigaan. Nama Tuhan adalah agung, jangan mengucapkannya dengan sembarangan. Dalam Khotbah di Bukit Tuhan Yesus berpesan untuk sama sekali tidak bersumpah: tetapi latarbelakang ucapan itu adalah kritik Tuhan terhadap kemunafikan orang Yahudi yang mengucapkan sumpah yang hanya setengah saja (mis. pada surga, atau pada Bait Suci), yakni untuk bisa menyembunyikan tipu daya mereka sendiri. Karena itu Tuhan Yesus melarang sama sekali untuk bersumpah, dengan mengatakan bahwa ‘ya’ tinggal tetap ‘ya’ dan ‘tidak’ tinggal tetap ‘tidak’. Dalam arti lebih luas harus kita sadari pula bahwa setiap pemakaian nama Tuhan dan juga nama Kristus bahkan Kristen, menuntut supaya kita menghormati nama yang suci itu dalam kelakuan kita. Jika ada parpol Kristen, atau majalah Kristen, atau sekolah Kristen, hendaklah nama Tuhan terus dimuliakan di sana, dan tidak dicemarkan, apalagi dalam gereja Kristen. Hukum yang ke-empat Ingatlah dan kuduskanlah hari sabat. Dalam pemahaman hukum Allah dapat dibedakan antara dua cara penggunaan: yakni ‘nomisme’ dan ‘antinomianisme’. Dan khususnya dalam penetrapan hukum yang ke-4 itu aliran-aliran tersebut sangat nampak. Nomisme (nomos= hukum) berpegang pada penerapan hukum dengan cara hurufiah. Paling jelas itu dalam aliran adventisme, yang tetap merayakan hari yang ke-7, jadi hari sabtu. Tetapi nomistislah juga penafsiran hukum yang ke-4 yang memproklamir sebuah daftar tentang halhal yang diperbolehkan pada sabat dan hal-hal yang tidak, seperti kita tahu dari orang-orang Farisi. Orang antinomianis beranggapan bahwa hukum tidak penting bagi kehidupan seorang Kristen. Begitu juga hukum yang ke-4. Mereka berani mengatakan bahwa seorang Kristen telah merdeka dari hukum Taurat (Gal. 4,5). Maksud Paulus di sana adalah bahwa kita bebas dari hukuman yang dituntut oleh hukum kepada orang berdosa. Kita merdeka dari hukuman itu oleh sebab Kristus telah menanggung hukuman itu. Hemat kami gereja-gereja Kristen di Indonesia cenderung antinomianistis dalam hal merayakan hari minggu: berbelanja, bepergian, dianggap biasa. Apakah inti hukum yang ke-4? 1. Menurut Kej. 2:2,3, Kel. 20:8-11; Kel. 31:161,7, Ibr 4, Tuhan Allah telah menetapkan sabat pada awal dunia. Allah Pencipta sendiri berhenti bekerja pada hari yang ke- 7, dan ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 28

menentukan bahwa seterusnya sehari pada setiap minggu akan disendirikan untuk menjadi hari perhentian. 2. Hari yang kudus itu dimaksudkan pula menjadi hari ibadah, untuk memuji Tuhan. Sesudah manusia jatuh hari ke-7 sebagai hari perhentian tetap berlaku, juga sebagai hari ibadah di mana Tuhan dipuji, bukan saja karena penciptaan tetapi karena penebusan pula. Unsur itu nyata dalam Ul. 5 di mana pelepasan dari Mesir disebut sebagai alasan untuk merayakan hari sabat. Bahwa sabat sudah dikenal sejak penciptaan, jadi sebelum hukum Taurat diberikan, menurut kami jelas dari Kel. 16, ceritera mengenai ‘mana’. Sebab dikatakan bahwa pada hari ke-7 mana tidak akan turun, sebab manusia harus bebas dari pekerjaan pada hari itu. Di bumi baru bangsa Tuhan akan akan menikmati perhentian sempurna dam bersukacita untuk selama-lamanya (Ibr. 4:8,9). 3. Gereja PB sejak zaman rasuli merayakan hari yang pertama, tidak lagi hari yang ke-7, sebab pada hari pertama Tuhan Yesus bangkit dari antara orang mati dan setiap kali jemaat Tuhan pada hari pertama minggu itu boleh memperoleh perhentian dan bisa beribadah, dan diingatnya bahwa keselamatan diperoleh oleh Yesus Kristus. Inti dari sabat tinggal tetap: perhentian dan ibadah, tetapi diwujudnyatakan pada hari pertama untuk memuji Yesus Kristus sebagai Juruselamat yang bangkit. Kebiasaan gereja purba untuk berkumpul pada hari pertama terlihat dari Kis. 20:7, 1 Kor. 16:2, Wahyu 1:10. Jemaat pertama belum diperbolehkan untuk beristirahat sepanjang hari, dan mereka beribadah pada waktu pagi subuh atau malam. Kebudayaan Yunani- Romawi belum memungkinkan untuk berhenti bekerja. Baru kaisar Konstantinus Agung yang masuk Kristen membuat hari minggu menjadi hari raya (323). Syukurlah, keputusannya mempengaruhi begitu banyak kebudayaan di dunia ini sampai sekarang. ‘Ingatlah’ berarti dalam bahasa Ibrani: mengingat untuk dilakukan. ‘Kuduskanlah ‘ berarti: menganggap khusus, spesial; untuk diperlakukan sebagai hari khusus, yakni untuk Tuhan.

7.Kesepuluh hukum (hukum 5,6). Etika medis Hukum yang kelima Hormatilah ayahmu dan ibumu. Keluarga dan rumah tangga adalah lingkungan hidup yang utama: di sana kita lahir, dididik, dan bila dewasa kita bisa membentuk keluarga sendiri. Seorang yang tidak belajar untuk dengar-dengaran kepada orang tua, bisa saja ia membandel dan tidak akan mendengar kepada guru, pemerintah, majelis gereja dll. Pentingnya hukum 5 ini ditekan dalam Ef. 6. ‘supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan…’: kehidupan manusia akan merosot dan tidak berkembang jika dalam rumah tangga tidak ada damai dan orang tua tidak dihargai. Jelas sekali bahwa perumusan hukum ini menunjukkan tanah Kanaan, yang mau diduduki oleh bangsa Israel. Tetapi sama jelas juga bahwa kita sekarang akan diberkati di tempat kita tinggal jika taat, band Ef. 6:3: ‘supaya kamu berbahagia dan panjang umur di bumi’.

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 29

Seperti pelanggaran terhadap hukum yang 3,4 dikenakan hukuman mati, begitu juga pelanggaran terhadap hukum ini di Israel dahulu. Band. Kel. 21:15a, Im. 20:9, Kel. 21:17, Ul. 27:16, Amsal 19:26, 20:20. Perintah ini seharusnya diterapkan kepada semua orang yang berwibawa atas kita, dan itulah sesuai Ef. 6. Keterangan Kat. Heid. itu masuk akal jika diperhatikan bahwa yang berwibawa di kota-kota Israel adalah orang tua . Pemerintah kota atau desa terdiri dari kepala-kepala keluarga besar atau klen. Anggota-anggota jemaat Kristen patut menyadari bahwa anak mereka bukanlah pertama-tama anak keluarga atau anak suku, tetapi anak Tuhan (band. Ayub 5:4, Amsal 14:26 tentang harga diri anak, dan juga Ef. 6). Anak-anak yang sudah dewasa harus menolong orang tua yang tidak mampu lagi. Itulah juga termasuk menghormati ayah dan ibu. Tanggungjawab itu di dunia Timur lebih dipeduli daripada di Barat. Wright, dalam Old Testament Ethics for the people of God, mengutip fasal-fasal seperti Yer. 29, dan Daniel 2,4 untuk membuktikan bahwa pemerintah yang ada, sekalipun tidak percaya kepada Allah, harus dihargai dan ditaati, bahkan didoakan (240-242). Begitu juga makna sejarah Yusuf di Mesir. Unsur-unsur yang sama ditemukan dalam Perjanjian Baru, dalam Roma 13 dan 1 Tim. 2. Mengenai pemerintah di Israel, Wright mengajar bahwa kita harus memperhatikan seluruh pengajaran P.L. dalam hal ini, dan bukan beberapa nas khusus. Apalagi, di Israel secara berturut-turut terdapat beberapa sistem yang berbeda-beda, mulai dari zaman patriarkh sampai dengan kerajaan bahkan exil. Sedangkan sistem yang paling dihargai adalah sistem sesudah Israel masuk ke Kanaan dan sebelum raja Saul dipilih (247). Taat kepada pemerintah Topik etika ini sangat hangat, khususnya di Republik Indonesia yang multi-kultural dan multiagama. Sering timbul pertanyaan tentang hak Kristen untuk membela diri kalau terjadi kekerasan, apalagi apakah umat Kristen boleh menolak ketaatan kepada pemerintah jikalau terjadi keputusan-keputusan pemerintah yang berlawanan dengan kehendak Allah. Dalam hal itu Roma 13 selalu dikutip sebab merupakan bagian Alkitab yang agak panjanglebar berbicara tentang ketaatan kepada pemerintah, yang dijuluki sebagai hamba Allah. Sedangkan dari sejarah diketahui bahwa kaisar yang berkuasa pada waktu itu adalah Nero yang bahkan kemudian menindas orang Kristen dengan sangat kejam. Norman Geisler dalam Etika Kristen membahas juga masalah bolehkah atau tidak melawan pemerintah. Ia membedakan tiga aliran dan memilih yang di tengah, begitu juga dengan pokok bolehkah berperang dan dengan pokok apakah hukuman mati diperbolehkan. Tetapi untuk setiap pilihan ia mempunyai dasar-dasar Alkitabiah, jadi ia tidak memilih jalan tengah karena itu lebih aman saja. Menyangkut Roma 13 perlu disadari bahwa bab itu tidak membahas pokok pemerintah, melainkan merupakan lanjutan dari pokok kasih, yang diteruskan juga dalam bab 13 bagian 2. Yang disebut bukan kaisar atau gubernur, tetapi ‘exousia’, berarti yang berwenang, dan yang dimaksudkan dengan itu bukan lembaga pemerintah tetapi setiap orang yang dalam keadaan konkrit mempunyai kuasa atas orang lain, mulai dari orang-tua sampai dengan pemerintah, termasuk guru, majikan dan majelis gereja. ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 30

Dalam Alkitab tidak ada alasan untuk mengdewakan pemerintah. Bagaimana mungkin seorang yang disebut hamba Tuhan akan disetarakan dengan Tuhan? Karena itu juga sangat riil bahwa kuasa pemerintah tidak dianggap mutlak. Sekaligus sangat penting bahwa pemerintah dihormati, bukan saja karena (perintah) Tuhan, tetapi juga karena hatinurani. Tuhan Allah telah membentuk manusia sedemikian rupa hingga ia berfungsi dalam kebersamaan dengan orang lain, menurut struktur-struktur tertentu, dan tidak sebebasbebasnya. Anarkisme bukan saja dilarang Tuhan tetapi juga sangat bodoh. Kalau dalam negara terjadi penindasan terhadap golongan-golongan tertentu atau bahkan terhadap rakyat seluruhnya maka melalui sistem pemerintah rendah yang ada, perlawanan terhadap pemerintah atas yang ada boleh dilakukan (begitu pandangan reformator J. Calvin). Berperang Tentang hak berperang dari dahulu disebut 5 kriteria: defensif, tidak melebihi serangan, dengan menghargai kemanusiaan, oleh pemerintah (atau pemerintah tingkat rendah), dengan melindungi lingkungan. Berdasarkan alasan yang ke-3 dan ke-5 perang nuklir sebenarnya dapat ditolak dan dilarang, namun tak dapat disangkal bahwa tidak ada pemisahan total antara perang nuklir dan perang lain. Perang dengan senjata biologis atau kimia bisa juga sangat kejam. Dan 2. : sebagian dari senjata nuklir ditempatkan dengan tujuan untuk menakutkan musuh, bukan untuk menggunakan sejata itu. Keseimbangan itu dikejar pada masa ‘perang dingin’ antara barat dan timur, dengan melalui percakapan-percakapan antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet, yang disebut SALT dll. Amat jelas bahwa etika politik dan etika sosial terkait. Hampir setiap perang disebabkan oleh alasan-alasan ekonomis atau sosial: bangsa-bangsa berperang untuk mendapat makanan dari bangsa tetangga yang kaya; pemberontakan-pemberontakan timbul karena sebagian bangsa menderita dan kekurangan. Dalam dunia modern sangat penting bahwa pemerintahpemerintah berusaha agar tidak terjadi kemiskinan di daerah tertentu atau negara tertentu. Bukan saja dari segi kemanusiaan tetapi juga dari segi keamanan. Eropah barangkali akan menjadi Eropah serikat demi menghindar kemiskinan di beberapa negara di Eropah Selatan yang bisa membahayakan negara-negara lain. Hukum yang ke-6 Jangan membunuh. Hukum ini mengatur perlindungan terhadap kehidupan seseorang dan penghargaan terhadap kedudukannya di tengah masyarakat. Sebab ‘hidup’ bukan saja bahwa jantung berdenyut. Pada dasarnya ‘hidup’ adalah: berada dalam persekutuan dengan Allah maupun sesamanya.. Sebab untuk itu manusia diciptakan Allah. Begitu kata ‘mati’ menunjukkan keberadaan di luar persekutuan dengan Tuhan (Ef. 2:1). Tuhan Allah berhak atas kehidupan setiap orang, baik mereka yang mengenal Tuhan maupun yang tidak mengenal-Nya. Semua manusia berasal dari manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah dan setiap manusia juga diciptakan untuk hidup sebagai gambar Allah. Karena itu ia tidak boleh dibunuh oleh sesamanya, sebab dengan itu Penciptanya dihina (Kej. 9:6, Yak. 3:9).

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 31

Kata ratsach, membunuh, yang ditemukan dalam naskah Kel. 20, tidaklah menunjukkan setiap kegiatan mematikan seseorang. Membunuh dalam perang tidak termasuk, begitu juga hukuman mati tidak. Ratsach berarti membunuh dengan melawan hukum dan keadilan. Etika medis Di bawah ini penulis membahas beberapa pokok etika medis, yang terkait dengan hukum tentang perlindungan hidup. Tentang sumpah jabatan, di mana seorang medis mengikat diri untuk melindungi hidup seseorang, siapapun juga dia. Tentang rahasia jabatan. Tentang abortus provocatus (pengguguran sengaja) dan tentang teknik DNA: sampai jauh mana seorang manusia berhak untuk mengatur DNA seseorang, sebab dengan itu ia bisa mengganggu kepribadian seseorang. Definisi J. Douma tentang Etika medis adalah: pertimbangan-pertimbangan tentang kelakuan moril di dalam bidang kesehatan, yang tertuju kepada menyembuhkan, meringankan penderitaan dan merawati manusia yang sakit atau cacat, maupun menghindari dan meniadakan penyakit-penyakit. Etika medis Kristen adalah pertimbangan tsb dari sudut pandang yang disediakan dalam Kitab Suci. Sumpah jabatan

Terkenal antara orang medis sumpah Hippokrates, yang disempurnakan oleh deklarasi Jenewa (1948) dan juga menjadi sumpah jabatan dokter Indonesia. “Demi Allah, saya bersumpah bahwa : Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan;
 Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya;
 Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan bermoral tinggi, sesuai dengan martabat pekerjaan saya; Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan;
 Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter;
 Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran;
 Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin diperlakukan;
 Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial;
 Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan;
 Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan; Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.” Dalam sumpah asli dikatakan juga antara lain bahwa seorang dokter yang karena jabatan mempunyai kontak intensif dengan pasien tidak boleh mencari kenikmatan seksuil. Dan dengan terbuka juga dikatakan bahwa seorang dokter tidak akan melakukan abortus. Sumpah yang berlaku di Barat sekarang pada umumnya tidak terkait dengan agama, dan membuka jalan untuk mengindahkan otonomi manusia, sebagai salah satu ciri sekularisasi. Intinya adalah bahwa calon dokter bersumpah ia akan melakukan ilmu medisnya menurut peraturan-peraturan hukum yang ada sesuai kemampuan yang ada padanya dan tidak akan membuka rahasia jabatan, kecuali jikalau dituntut oleh hukum.

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 32

Informasi kepada pasien. Rahasia jabatan.

Pada umumnya diakui kewajiban ‘informed consent’, yang berarti bahwa kepada seorang pasien harus diberitahu penelitian mana dan operasi mana mau dilakukan dokter, dan juga dengan risiko apa. Sekaligus pasien bebas memilih dokter mana yang akan menolongnya. Bagaimana dengan pasien yang tidak bisa diinformasikan, karena masih kecil, atau sudah pikun, bahkan mungkin dalam coma (tidak sadar)? Dalam hal itu sebaiknya ada seorang yang mewakilinya, yang harus memikirkan keputusan mana akan diambil oleh pasien sendiri, seandainya ia masih bisa (substitute judgment standard). Selain daripada itu ada juga patokan otonomi yang sungguh-sungguh (pure autonomy standard) yaitu apakah pasien telah ditinggalkan bukti-bukti pada waktu ia masih sehat (mis. dokumen)? Dan terakhir patokan kepentingan yang terbaik (the best interest standard), yaitu memilih bantuan medis yang paling menguntungkan pasien itu. Rahasia jabatan melindungi kepentingan pasien (individual) dan juga kepentingan sosial. Masyarakat pun beruntung jikalau tahu bahwa pasti dokter-dokter akan memelihara rahasia. Orang penjahat pun patut dilindungi oleh rahasia jabatan seorang dokter. Ada pengecualian-pengecualian di mana hukum menuntut untuk membuka rahasia, tetapi tidak dapat diberikan sebuah daftar tentang itu. Kebutuhan itu sangat ditentukan oleh keadaan. Pada umumnya dokter dan pastor/ pendeta dan pengacara dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk bersaksi. Contoh: jikalau ayah seorang bayi tidak dikenal, maka dokter harus melaporkan kelahiran anak. Dalam kasus kematian seorang, dokter wajib menyatakan alasan kematian, kalau alamiah. Jikalau ia yakin tentang terjadinya kejahatan ia dapat menghindar dari pelaporan. Menurut hukum seorang dokter harus melaporkan penyakit yang menular kepada dinas kesehatan. Seorang dokter harus memberikan informasi juga kepada hakim dalam kasus seorang yang harus opname dalam rumah sakit jiwa. Dan mungkin secara moril seorang dokter harus membuka rahasia, mis. jikalau seorang sopir bis yang sakit ayan dan tidak mau berhenti menyopir. Atau dalam kasus penyiksaan terhadap seorang anak. Perlu diingat bahwa dalam masa komputerisasi ini rahasia jabatan mudah diganggu karena begitu banyak data telah dikumpul secara digital. Bagaimana tentang menyatakan kebenaran kepada pasien dalam kasus penyakit berat? Dahulu pada umumnya pia fraus (penipuan saleh) diakui, sebagai konsekwensi dari prinsip Hippokrates untuk tidak mengakibatkan luka dan penderitaan. Tetapi sekarang pada umumnya itu tidak diperbolehkan, apalagi antara orang Kristen. Seorang sepatutnya dapat mempersiapkan diri atas kematian. Tetapi tidak perlu semuanya diberitahukan langsung, apalagi pada saat yang tidak cocok. Kadang-kadang juga terdapat orang yang sebelumnya sudah berkata kepada dokter bahwa mereka tidak ingin diberitahu. Kepada mereka dokter tidak perlu juga mengatakan bahwa mereka sakit berat.

“Penelitian sel dan gen.

Untuk diikutsertakan dalam program screening genetis, selalu harus atas dasar sukarela. Screening tidak boleh atas dasar keputusan pemerintah atau keputusan asuransi. Pengecekan kesehatan sebenarnya harus dibatasi pada kesehatan pada saat itu. Namun, tidak dapat dihindari bahwa seorang yang mau masuk dalam asuransi jiwa dengan nilai yang sangat tinggi, akan dituntut dahulu untuk dites mengenai mis. AIDS/HIV. Diagnosis terhadap gen secara prekonsepsional kadang-kadang dapat dibenarkan. Di pulau Siprus terdapat penyakit thalassemi (penyakit darah). Gereja Ortodoks melarang abortus sesudah diagnosis prenatal dan Gereja menentukan bahwa setiap orang sebelum nikah harus menyerahkan sertifikat bahwa ia sudah dites. Diagnosis gen secara prenatal tidak dapat dilarang mutlak dalam etika Kristen. Biasanya dilarang atas dasar bahwa screening seperti itu kemudian akan disusul oleh abortus atau menghancurkan embrio. Boleh misalnya jikalau diagnosis terjadi selama anak itu belum lahir, untuk menyembuhkan anak itu kalau baru lahir. Jadi, kadang-kadang foetus dilihat sebagai pasien. Terapi gen: melalui teknik DNA rekombinan dapat dilakukan bahwa gen rusak dapat dinonakfitfkan dan gen sehat ditranplantasikan. Terapi seperti itu akan lebih intensif lagi jikalau sel-sel kelamin dapat diterapi, sehingga generasi berikut sehat juga. Tetapi itu terlalu beresiko. Jikalau terjadi kesalahan maka generasi berikut

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 33

dirusakkan juga. Dan juga terapi gen seperti itu tidak terlepas daripada eksperimen dengan embrio. Tetapi memperbaiki sel benih atau sel telur yang rusak boleh, sebab belum ada individu baru. Melalui ivf (pembuahan dalam laboratorium) sel-sel itu bisa dibuahkan. Menurut Dr CB Kusmaryanto SCJ dalam bukunya berjudul Sel Abadi dengan Seribu Janji Terapi, sel induk merupakan sel yang tidak atau belum terspesialisasi, sel awal mula, dalam berkembang biak melalui pembelahan sel dalam waktu lama. Sebab, sel ini dalam tahap awal perkembangan embrio manusia menjadi sel awal mula yang menumbuhkan semua organ tubuh manusia.
 


Ada sel induk yang diambil dari embrio (fetus), ada juga ssel induk dewasa. Sel induk embrio memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel matang, misalnya sel saraf, sel otot jantung, sel otot rangka, dan sel pankreas. Sel induk juga mampu meregenerasi dirinya sendiri. Menurut The Official National Institute of Health Resource for Stem Cell Research, sel induk ini ditemukan dalam berbagai jaringan tubuh.
 


Sel induk dewasa dapat ditemukan dalam sumsum tulang dan bisa berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang mengalami kerusakan. Tubuh kita mengalami perusakan oleh berbagai faktor dan semua kerusakan yang mengakibatkan kematian jaringan dan sel akan dibersihkan. Keuntungan sel induk dari embrio di antaranya ia mudah didapat dari klinik fertilitas, bersifat pluripoten sehingga dapat berdiferensiasi menjadi segala jenis sel dalam tubuh, berumur panjang karena dapat berpoliferasi beratus kali lipat pada kultur, reaksi penolakan juga rendah. Namun, sel induk ini berisiko menimbulkan kanker jika terkontaminasi, berpotensi menimbulkan penolakan, dan secara etika sangat kontroversial.
 


Sementara sel induk dewasa dapat diambil dari sel pasien sendiri sehingga menghindari penolakan imun, sudah terspesialisasi sehingga induksi jadi lebih sederhana dan secara etika tidak ada masalah. Kerugiannya, sel induk dewasa ini jumlahnya sedikit, sangat jarang ditemukan pada jaringan matur, masa hidupnya tidak selama sel induk dari embrio, dan tidak bersifat multipoten sehingga diferensiasinya tidak seluas sel induk dari embrio.
 


Sejauh ini, penggunaan sel stem embrionik masih dibayangi masalah etika dan dilarang di beberapa negara, seperti di Amerika Serikat dan Perancis. Pemerintah Federal Amerika Serikat melarang pendanaan penelitian yang menggunakan sel induk berasal dari embrio, tetapi tidak melarang penelitian itu sendiri. Hal ini menyebabkan penelitian dilakukan pihak swasta tanpa pengawasan yang baik.
 


Namun, di beberapa negara, seperti Singapura, Korea, dan India, penggunaan sel stem embrionik manusia untuk kedokteran regeneratif diperbolehkan. Kanada membolehkan penggunaan embrio sisa bayi tabung untuk penelitian sel induk. Swedia mendukung kegiatan pengklonan embrio untuk tujuan pengobatan. Di Inggris, pihak swasta diperbolehkan membuat sel induk dari embrio.
 


Sel induk yang berupa embrio datang dari hasil abortus, zigot sisa dan hasil pengklonan. Hal ini menimbulkan berbagai masalah etika, seperti apakah penelitian embrio manusia secara moral dapat dipertanggungjawabkan: apakah penelitian yang menyebabkan kematian embrio itu melanggar hak asasi manusia dan berkurangnya penghormatan pada makhluk hidup”.
 


Saya tambahkan bahwa menurut informasi yang saya peroleh para ahli sudah menemukan satu cara untuk tidak menggunakan sel induk dari embrio, tetapi untuk melakukan riset dengan sel induk somatis (atau dewasa), yaitu diambil dari sumsung atau badan tubuh lain. Kalau memang begitu, tidak dibutuhkan lagi penelitian embrio dan eksperimen dengan embrio maupun pembuangan embrio yang sudah dipakai.

8.Kesepuluh hukum (hukum 7) Hukum yang ketujuh Jangan berzinah. ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 34

Pernikahan adalah hubungan antar-manusia yang paling erat. Suami-isteri dipersatukan Tuhan untuk sama-sama memuliakan Tuhan, untuk saling mengasihi dan menolong, untuk mendidik dan mengasuh anak-anak jika diberikan Tuhan kepada mereka. Pernikahan merupakan hubungan yang tak boleh diputuskan, begitu ajaran Tuhan Yesus sendiri dalam Mat. 19:1-12, di mana Tuhan mengutip Kej. 2. Pernikahan adalah sebuah hubungan yang bersifat perjanjian (Mal. 2:14). Perjanjian itulah sebetulnya diwujudnyatakan dalam hubungan perjanjian lainnya, yaitu perjanjian Allah dengan bangsa-Nya. Karena itu sangat penting bahwa pemuda- pemudi Kristen berpacaran dan nikah dengan sesama Kristen. Sebab menurut Mal. 2 :15 Allah menghendaki pula supaya akan dilahirkan keturunan ilahi, yaitu anak-anak perjanjian. Penerapan hukum yang ke-7 sangat luas, juga kepada semua hal-hal yang tidak senonoh dan yang dapat menarik manusia kepada hawa nafsu yang tidak baik. Dalam dunia modern terlalu banyak hal buruk yang sangat menarik, pikirkan saja betapa besar bahayanya dari klip-klip video dan film-film, apalagi situs-situs porno di internet. Rupanya manusia pinter untuk menggunakan perkembangan teknologi bukan saja untuk hal-hal yang baik tetapi juga untuk kemesuman. Kami tidak bermaksud untuk mendukung gaya berpakaian perempuan moslim, tetapi tidak juga kelakuan dan mode seperti di banyak film Barat. Alkitab melukiskan dengan indah kecantikan perempuan dan keperkasaan lelaki, band. Kidung Agung, dan tidak ada salahnya jikalau pakaian dan penampilan memperlihatkan keindahan tubuh. Alkitab juga tidak merahasiakan hal-hal yang berhubungan dengan seks. Tetapi kemesuman tidak diingini Tuhan. Keluarga berencana Pertimbangan-pertimbangan tentang KB harus berdasarkan kehendak Allah yang dinyatakan dalam Firman, tentang ‘keturunan ilahi yang dikehendaki Allah itu’. Allah telah menciptakan manusia, terutama untuk hormat Allah, bukan untuk kesenangan pribadi dan untuk hidup enak-enak. Tetapi bukan setiap pemakaian KB harus dianggap terlarang bagi orang Kristen, sebab orangtua harus memikirkan pula bagaimana mereka bisa mengasuh anak mereka. Kesehatan ibu juga tidak selalu mengizinkan ia mendapat banyak anak. Apalagi, di tempattempat tertentu, khususnya di daerah yang sudah padat penduduknya, harapan bagi generasi muda tidak terlalu besar. Juga hal itu perlu dipertimbangkan. Apalagi, bila dalam keadaan gawat, mis. perang. Akan tetapi, jangan kita bertitik-tolak dari perhitungan tentang jumlah penduduk bumi setotalnya. Para ahli dan orang politik sering menganjurkan untuk tidak lebih dari dua orang anak, supaya jumlah penduduk dunia tetap stabil, tetapi perhitungan seperti itu di luar kemampuan kita sebenarnya. Daerah-daerah yang dahulu rajin mempromosikan KB sekarang diserang oleh ancaman ketuaan masyarakat. Dan perhitungan itu tidak sesuai Firman Tuhan juga yang telah menerangkan kepada kita bahwa dunia ini akan berkesudahan, dan bahwa Tuhan akan menciptakan bumi yang baru dan langit yang baru pada saat yang dikehendaki Tuhan . Jadi, hendaklah kita bertindak bertanggungjawab, tetapi menyadari pula bahwa tanggungjawab kita terbatas, berarti indahlah jika kita, sejauh kita dapat memandang , membentuk sebuah keluarga Kristen dan memperbesarkan anak-anak demi hormat Tuhan,

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 35

tetapi tidak wajarlah jika kita membatasi jumlah anak menjadi hanya satu atau dua tanpa alasan yang kuat. Bagi beberapa ahli di negara Barat abortus termasuk KB. Tetapi itu penipuan besar. Abortus bukanlah KB melainkan pembunuhan dan dilarang Tuhan. Mas kawin, belis Apakah terdapat petunjuk Alkitab tentang pengurusan nikah seperti sering terjadi di Indonesia dengan mas kawin dan/atau belis (Indonesia- Timur)? Jelas bahwa adat itu tidak langsung dilarang dalam Alkitab, tetapi tidak dipromosikan juga. Kita menemuinya dalam sejarah peminangan Ribka (Kej. 24), juga dalam sejarah Yakub (Kej. 31). Di situ jelas bahwa mohar, yaitu harga kawin yang dikenal dari Alkitab, adalah sebuah pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, dengan maksud bahwa orangtuanya akan menyimpannya guna dia, seandainya ia kemudian hari menjadi janda, ataupun diceraikan suaminya. Sebab kedua puteri Laban, Lea dan Rahel, berbicara tentang harta mereka yang telah dihabiskan oleh ayah mereka dan tidak disimpan guna mereka. Tetapi hal penuntutan belis, yang dikenal di sebagian Indonesia, tidak ditemukan dalam Alkitab, dan juga perkawinan anak tidak boleh dianggap sebagai kesempatan untuk memperkaya diri. Hendaklah kemakmuran keluarga baru yang diutamakan. Poligami Nas pertama dalam Alkitab tentang nikah adalah Kej. 2: 24, yang secara singkat sudah menganjurkan nikah monogam dan melarang poligami. Sebab dikatakan bahwa keduanya itu akan menjadi satu daging. Tidak ada pembicaraan tentang kemungkinan mengambil isteri kedua. Memang poligami dikenal dulu dalam dunia Tengah, di keluarga Abraham pun, begitu pada banyak orang percaya pada waktu itu. Tetapi orang yang pertama yang dilukiskan sebagai orang poligam adalah Lamekh, keturunan Kain, dan dialah seorang yang sangat sombong dan bengis terhadap orang lain. Isteri-isterinya harus membuktikan kehebatannya. Poligami dengan sendirinya menyatakan kurang penghargaan terhadap perempuan. Itulah termasuk akibat dosa, seperti telah diberitahukan Allah sesudah manusia jatuh kedalam dosa tentang penderitaan seorang wanita. Penindasan itulah bukan satu hal yang dikehendaki Allah, tetapi termasuk kutuk yang melanda perempuan sesudah manusia jatuh kedalam dosa. Dalam masa PB kini poligami harus dihindari, sebab menurut Gal 3:28 tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, berarti hak wanita tidak boleh ditindas. Jelas juga dari persyaratan 1 Tim. 3 bahwa Tuhan mau supaya penilik jemaat menunjukkan contoh yang baik dan beristeri satu saja. Ef. 5 menunjuk betapa indahnya hubungan nikah yang monogamis, sebab hubungan itu mengumpamakan hubungan Kristus dengan jemaat. Nikah gereja Peneguhan nikah dalam gereja sebaiknya mempunyai unsur- unsur sbb: 1. Kedua mempelai saling menerima sebagai suami-isteri dan berjanji untuk hidup setia dan sesuai Firman Tuhan, dan janji itu disaksikan oleh jemaat dan diucapkan di hadapan Tuhan; 2. Kedua mempelai mendengar atas dasar Firman Tuhan bahwa nikah mereka syah adanya dalam mata Tuhan. 3. Kedua mempelai didoakan dan diberkati.

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 36

Nikah gereja itu harus dibedakan dari pengesyahan nikah oleh pemerintah, BS, pencatatan sipil. Pemerintah dapat dan harus melindungi nikah, seperti dulu adat melindunginya. Gereja tidak dapat melindunginya sebab tidak mempunyai kuasa duniawi. Sesuai dengan sifatnya maka pernikahan adalah sebuah ikatan yang harus dikenal dan dihargai oleh setiap orang. Nikah bukan satu hal pribadi melainkan umum. Oleh karena itu tidak baik jika sebelum nikah orang sudah hidup serumah. Alasan lain adalah bahwa kita seharusnya berjanji, di depan Tuhan maupun keluarga dan jemaat, bahwa kita akan setia dalam pernikahan. Sesudah janji itu kedua mempelai dinyatakan sudah nikah dengan resmi. Tanpa perjanjian itulah maka pada dasarnya seks bebas diperbolehkan dan keindahan dan keunikan kasih mesra dalam nikah direndahkan dalam pandangan masyarakat. Penceraian Dalam Mat. 19 Tuhan Yesus menentang orang-orang Yahudi yang mencari akal untuk menceraikan isteri. Sampai sekarang manusia sering mencari alasan-alasan, bila kasih terhadap isteri sudah menghilang. Perceraian diperbolehkan hanya saja jika salah seorang dari pasangan itu telah merusakkan hubungan karena berselingkuh dengan orang lain, sekalipun bahkan dalam kasus itu perceraian bukan tuntutan. Dalam 1 Kor. 7 Paulus membahas masalah seseorang yang telah ditinggalkan oleh suami atau isteri justru karena dia tidak mau mengikutinya untuk masuk Kristen. Orang itu tidak dapat diharuskan untuk tetap berusaha memulihkan hubungan dengannya. Bukan bahwa seorang yang masuk Kristen boleh menceraikan isterinya yang tidak ikut, tetapi boleh bilamana suami atau isteri yang tidak percaya itu bertindak dan tidak mau meneruskan pernikahan karena partnernya masuk Kristen. Tidak berarti juga bahwa dalam kasus-kasus lainnya di mana seorang ditinggalkan partnernya dengan sendirinya ia berhak pula untuk tidak meneruskan hubungan nikah. Kasus yang dibicarakan di sini adalah kasus antara dua orang suami-isteri pada saat seorang masuk Kristen. Dalam kasus-kasus berat lain, di mana seorang ditipu atau ditinggalkan partnernya dan perdamaian tidak mungkin akan terjadi lagi, barangkali dapat disetujui bahwa partner yang setia itu boleh mencerai, bukan berdasarkan 1 Kor. 7 tetapi berdasarkan kenyataan bahwa pernikahannya sudah rusak total dan seiring dengan kasus 1 Kor. 7. Seringkali terjadi perdebatan pula tentang kasus apakah orang yang sudah cerai boleh nikah lagi, dan kadang-kadang itu dilarang berdasarkan Mat. 19: setiap orang yang mengawini seorang yang ditinggalkan partner mengakibatkan perceraiannya. Tetapi nas itu tidak bertujuan menurut kami untuk menyiksa orang yang terpaksa cerai, sekalipun tidak bersalah, yaitu untuk memaksanya tetap tinggal sendirian. Nas itu bertujuan untuk tidak menghalangi jalan perdamaian dengan partner yang resmi oleh nikah kedua dengan orang lain. Di bawah ini kami memberikan pertimbangan lebih lanjut tentang pokok-pokok tersebut. Nabi Maleakhi mengatakan, bahwa Allah membenci penceraian (2:16). Tak dapat disangkal bahwa nas itu berlaku dalam konteks tertentu, yang akan diterangkan di bawah ini. Tetapi, sekaligus harus dikatakan bahwa Allah membenci penceraian dalam setiap keadaan. Sebab, Allah sendiri menetapkan perkawinan sebagai ikatan tetap pada awal sejarah dunia, dalam ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 37

taman Firdaus (Kej. 2). Karena itu, Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia (Mat. 19:6). Pengaturan itu adalah patokan yang pertama dan utama mengenai perceraian. Apakah perlu ada peraturan tambahan, mis.: boleh bercerai, jikalau pacar telah berzinah? Ataukah: bolehkah bercerai, jikalau ditinggalkan oleh pacar dengan alasan yang tidak syah? Alangkah baiknya peraturan-peraturan seperti itu tidak disetarakan dengan peraturan bahwa perceraian tidak boleh. Apalagi, dari dahulu dibedakan antara perceraian karena zinah dan karena alasan lain. Tentang alasan zinah dikatakan: inilah ‘causa divortii faciendi’ : alasan untuk bercerai: untuk melakukan perceraian. Sedangkan dalam kasus seorang yang ditinggalkan pacarnya dan mau bercerai, dapat dikatakan saja bahwa terdapat ‘causa divortii patiendi’: alasan untuk bercerai dalam arti untuk berserah. Terdahulu tentang konteks Maleakhi, agar jelas bahwa setiap nas Alkitabiah tentang perceraian bersifat konkrit. Mereka yang dipersalahkan adalah orang Yahudi yang menceraikan isteri mereka sendiri, perempuan Yahudi yang telah diambil sebagai isteri sejak mereka muda, dan isteri yang syah itu diganti oleh seorang perempuan Kanaan, yang disebut anak allah lain. Tindakan itu disertai kekerasan juga. Begitu Ulangan 24 tentang surat perceraian adalah pengaturan khusus juga: yang dibicarakan adalah kasus bahwa seorang telah menceraikan isterinya dengan sebuah surat perceraian, dan kemudian seorang lain telah menikahinya, tetapi menceraikannya juga. Dalam hal itu suami yang pertama tidak boleh menerimanya kembali. Jadi, yang diatur bukan surat perceraian, apalagi perceraian. Ternyata, perceraian bersama surat perceraian sudah ada. Dan Tuhan Yesus menjawab orang Yahudi yang mengatakan bahwa Musa memerintahkan surat perceraian sbb bahwa Musa hanya mengizinkan perceraian karena ketegaran hati, tetapi dari awal bukan demikian (Mat. 19:8). Tak dapat disangkal bahwa Tuhan Yesus sendiri menambahkan: kecuali dalam hal zinah (Mat. 5:32; 19:9). Dengan zinah itu seorang telah merusakkan perkawinan itu dan bukan pacar yang ditipu adalah yang merusakkan ikatan nikah tetapi yang berzinah dan menipu. Nas dari 1 Kor. 7 sering dikutip sebagai alasan yang kedua untuk bercerai, yaitu seorang yang ditinggalkan pacarnya. Hanya saja, yang dikatakan di sana adalah izin yang diberikan Firman Tuhan kepada seorang yang masuk Kristen dan kemudian mengalami bahwa pacarnya tidak mengikutinya. Bukan dia sendiri yang boleh menceraikannya tetapi kalau yang lain pergi maka ia sendiri bisa menyerah kepada keadaan itu sebab ia juga tidak bisa memaksa orang untuk masuk Kristen. Nas itu melukiskan keadaan konkrit dalam saat seorang dari suami isteri bertobat dan masuk Kristen dan yang lain tidak mau. Terdapat pandangan gereja R.K. bahwa sebuah pernikahan pada dasarnya tetap berlaku, juga sesudah perceraian, dan berakibat dalam larangan untuk kawin ulang, dalam setiap hal, baik untuk yang bersalah dalam perceraian, maupun untuk yang tidak bersalah. Latarbelakang pandangan itu adalah keyakinan gereja R.K. bahwa nikah adalah sebuah sakramen. Pendirian seperti itu dalam Alkitab tidak ditemukan. Bagaimana dengan pandangan Paulus bahwa seorang yang meninggalkan isterinya atau suaminya kemudian daripada itu harus tinggal sendiri (1 Kor.7:11). Tujuan Paulus ialah bahwa mereka harus berdamai, kalau tidak harus tinggal sendiri. Dengan maksud untuk tetap membuka kemungkinan untuk berdamai. Tetapi bukan untuk mengatakan bahwa nikah yang sudah putus sebenarnya masih ada. Begitu Tuhan Yesus sendiri berbicara juga dalam konteks konkrit: Setiap orang yang kawin seorang yang

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 38

diceraikan melakukan perzinahan: sebab ia menutup kemungkinan bahwa mereka akan berdamai lagi (Mat. 5:32). Begitu setiap orang yang mengusir isterinya juga. Sebaiknya kita bertolak dari hanya satu peraturan saja, yaitu jangan bercerai, dan jangan menambahkan peraturan-peraturan yang mengharuskan perceraian. Dapat dipertimbangkan untuk menyebut alasan zinah juga causa patiendi, dan bukan causa faciendi. Sebab tidak seharusnya ada perceraian sesudah zinah. Akan tetapi, sebaiknya kita juga tidak membatasi causa patiendi kepada dua saja, zinah dan ‘perpisahan’ sesuai 1 Kor. 7. Menurut gereja dahulu terdapat lebih banyak alasan, mis. seorang suami yang begitu lama di perjalanan atau di perang, tanpa berita apa-apa. Maka akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa suaminya sudah mati dan ia bisa kawin ulang. Atau dalam kasus di mana sesudah hari nikah langsung ditemukan bahwa pacar itu sakit adanya mis. tidak bisa melakukan seks dengan cara yang sehat. Kalau hal seperti itu sengaja disembunyikan maka dapat dianggap sebagai satu perzinahan juga dan alasan untuk bercerai. Dan mungkin ada alasan lain lagi. Pokoknya, semua itu dianggap sebagai causa patiendi. Mengenai zinah dan perpisahan lainnya: jelas bahwa dia yang berhak untuk minta diceraikan adalah oknum yang tidak bersalah, dan dia juga punya hal untuk kawin ulang, sedangkan yang bersalah tidak berhak untuk menceraikan atau untuk kawin ulang. Homoseksualitas Kami bertolak dari karangan Verkuyl dalam jilidnya tentang etika seksuil. Penulis mendukung bahwa Verkuyl membedakan antara homoerotis (atau homofili) dan homoseksual. Tentang yang pertama harus dikatakan bahwa itulah pembawaan yang seringkali tidak bisa dirubah. Kata yang kedua menunjukkan pula kontak badani dengan orang yang sejenis kelamin dan hubungan seksual itu dilarang Firman Tuhan. Verkuyl sama sekali tidak mau mempromosikan homoseksualitas, malahan justru tidak. Tetapi ia berkata tentang beberapa nas Alkitab yang melarangnya bahwa nas-nas itu membicarakan persetubuhan homoseksual berkaitan dengan ibadah berhala: Im. 18:22, 20:19, Roma 1:26,27, 1 Kor. 6:9,10, 1 Tim. 3:9,10. Menurut kami nas-nas ini tidak terbatas pada homoseksualitas dalam bentuk prostitusi sakral, tetapi pada setiap pergaulan homoseksual. Kami sependapat dengan Verkuyl bahwa Kej. 18 membahas kejahatan orang Sodom, dan tidak dapat dikatakan homoseksuil semata-mata. Mereka tidak enggan menggagahi juga perempuan. Maksud Verkuyl adalah bagus: katanya kita tidak mengenal cinta kasih jika kita mencela dan menghakimi orang homoseksual karena pembawaan tersebut. Semoga orang-orang itu merasakan bahwa jemaat Kristen adalah tempat yang aman di mana mereka juga dilindungi oleh kasih persaudaraan dan ditolong untuk tidak jatuh dalam dosa kelakuan homoseksual. Pelecehan seksual. Topik ini sangat sensitif dan menurut sayu juga kurang dipeduli dalam gereja-gereja di Indonesia. Yang dimaksudkan adalah inses, bukan dalam arti kawin sumbang sebagai pelecahan peraturanperaturan adat atau mengenai perkawinan yang dipersyaratkan adat. Tetapi inses dalam arti kekerasan dalam rumah tangga di mana seorang ayah atau kakak atau paman memaksa anak atau adik untuk melakukan seks. Hal jahat seperti itulah bisa terjadi juga di gereja, kalau pendeta atau pater

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 39

menggunakan wibawa yang ada padanya untuk menggagahi seorang gadis (atau mungkin juga anak laki-laki). Di sekolah-sekolah kelakuan seperti itu sama jahat.

Alasan utama untuk sangat menentang dosa yang jijik ini adalah bahwa anak-anak yang sedang berkembang sangat membutuhkan kenyamanan dan rasa harga diri. Mereka harus dididik dan dibina, dan tidak boleh dianggap sebagai milik yang bisa menjadi obyek kesenangan. Dalam pada itu praktek dalam kehidupan suku kadang-kadang kurang sehat, dan hak anak-anak kurang dijaminkan. Sedangkan dalam gereja atau sekolah mereka sebagai anak atau remaja tepergantung dari posisi guru atau pater, mis untuk mendapat nilai baik. Begitu dalam kantor atau perusahaan dari majikan untuk mendapat gaji. Dengan pelecahan dan pemerkosaan hak anak-anak sangat ditindas dan Allah mereka dimarahi. Dosa pelecahan seksual dalam keluarga sering terjadi di kalangan Kristen juga, dan seringkali anak-anak itu diancam untuk menyerah dengan alasan bahwa mereka harus menaati orang tua. Kadang-kadang majelis gereja, jikalau diberitahu, cenderung untuk mendukung generasi tua dan menegaskan saja bahwa anak-anak harus tunduk. Kadang-kadang isteri-isteri tahu dan tidak mengambil tindakan sebab tidak mau berkelahi dengan suami. Anak-anak yang diperlakukan demikian jiwanya sangat terganggu dan bukan sedikit kali mereka sendiri kemudian tidak dapat berfungsi dengan baik bahkan mereka sendiri cenderung melakukan kekerasan juga. Tentang topik ini diterbitkan BPK buku Carolyn Holderread Heggen, Pelecahan seksual dalam keluarga Kristen dan Gereja. Diberikan banyak informasi yang penting dan yang membuat kita kaget. Namun, karangan ini bersifat feminis juga, misalnya menganggap bahasa Alkitab antropoid: kelaki-lakian. Dan cenderung juga untuk memuji selibat dan agak bersifat anti-laki-laki.

9.Kesepuluh hukum (hukum 8-10). Etika lingkungan Hukum yang kedelapan Jangan mencuri. Juga dalam hukum 8 kita bertemu dengan Allah sebagai Allah perjanjian, sebab milik yang dipercayakan Tuhan kepada manusia bertujuan agar manusia menggunakannya untuk melakukan tugas sebagai anggota perjanjian. Manusia adalah bendahara Allah, atas kepunyaan Allah yang diberikan kepadanya untuk mengurusnya. Jika kita mencuri, maka kita tidah mengindahkan hak Allah yang telah membagi-bagikan kepada manusia sesuai dengan kehendak-Nya. Band. Mazm 24, Mazm 50, Kis. 17:24,25. Juga Luk. 16:1-9, Luk. 19: 1-27. Pencurian yang sangat dibenci Allah adalah penculikan orang, yang harus dihukum dengan hukuman mati (Kel. 21:16; Ul. 24:7). Sungguh, satu peringatan berat untuk mereka yang memperdagangkan manusia: sekalipun perbudakan telah dilarang dengan resmi di hampir seluruh dunia, selalu terdapat banyak orang yang ditipu dengan janji palsu bahwa di negeri orang kaya mereka akan mendapat pekerjaan bagus, padahal mereka dipaksa untuk menjadi pelacur atau penyalur narkoba. Atas dasar nas-nas PL pernah dilarang untuk meminjamkan uang dengan menuntut bunga (mis. Kel. 22:24), atau menabung di bank. Tetapi itu tidak dapat dipersalahkan dan orang ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 40

seperti Calvin juga dapat membenarkannya melawan orang Anabaptis. Sebab, jika uang dipinjamkan dengan bunga yang wajar, maka uang itu bisa berputar dan menolong orang. Tetapi yang dilarang ialah makan riba, laba yang berkelebihan, seperti biasanya dahulu bilamana meminjamkan. Sebab tujuan itu bukan untuk menolong melainkan merugikan. Bila kita bermodal dan hendak saja hidup dari bunga uang itu, atau dari hewan yang kita miliki, itulah kurang baik, sebab dengan itu kita bukan bendahara yang setia. Kita tetap harus aktif dan bekerja, dan uang yang dimiliki harus digunakan juga untuk menolong orang lain, terutama kawan-kawan seiman (Gal. 6:10). Sistem ekonomi yang berlaku di negara-negara Barat sering dicoraki sebagai kapitalisme atau liberalisme. Kapital berarti modal. Dalam sistem itu ditekankan perdagangan bebas dan citacita untuk berusaha sedapat mungkin. Terdapat pula sistem-sistem yang dinamakan sosialistis, dan sistem itu mengenal peran pemerintah untuk membagi-bagikan kekayaan melalui perpajakan sehingga orang miskin dapat ditolong dan orang lain yang lemah, mis. orang sakit. Pemerintah dapat mengusakan pula asuransi kesehatan dan pensiunan dengan itu. Sistem sosialistis itu tidak dapat dibenarkan jika tanggungjawab pribadi dihilangkan dan diambil alih oleh pemerintah. Dorongan untuk berusaha akan menghilang jika milik pribadi tidak diperbolehkan dan segala sesuatu dimiliki bersama melalui pemerintah. Sistem itu terkenal sebagai sistem komunistis dan telah gagal. Tetapi sistem sosial adalah baik jika tanggungjawab pribadi tidak diganggu dan perpajakan yang diatur pemerintah mungkin tinggi tetapi adil. Baguslah peraturan mengenai tahun sabat dan tahun yobel, Im 25, yang menjelaskan bahwa sebenarnya Tuhan yang memiliki tanah Israel dan membagikannya antara orang Israel. Wright menjelaskan ‘the jubilee’ panjang lebar. Ia menyebut keterangan bahwa tahun Jobel adalah tahun ke-50, sesudah tahun ke-49 sebagai tahun sabat. Mungkin juga ´the jubilee´ tidak dirayakan sepanjang satu tahun tetapi satu hari saja, yaitu hari pembebasan hamba hamba. Dosa-dosa yang dapat dipersingkatkan sebagai KKN telah dilarang dalam banyak nas Alkitab, mis. Kel. 23:6-8, Mazmur 15, kitab-kitab nabi. Etika lingkungan: stewardship Para teolog Reformasi pada umumnya mengutamakan peran manusia sebagai bendahara Allah di atas bumi (stewardship). Begitu R. Borrong, dan di Belanda juga J. Douma. Dalam agama primitif lingkungan sering tidak diraba, sebab dianggap ilahi. Dalam hal itu kemajuan agama Kristen dan dengan khusus Kristen Protestan memajukan penelitian alam dan juga penggarapan alam. Terkenal pandangan dari Max Weber yang menunjukkan Kalvinisme sebagai penggerak kapitalisme. A. Yewangoe (dalam bukunya ‘Tidak ada ghetto. Gereja dalam dunia’) pernah menilai positif pandangan Weber itu sebab , konon, membuktikan bahwa agama Kristen membangun masyarakat dan lingkungan. Namun, sebenarnya, tujuan karangan Weber tidak sebagus itu, sebab ia berkata bahwa ajaran Kalvinisme memang mendorong manusia untuk berkembang tetapi itu disebabkan oleh ketakutan akan Allah. Menurut ajaran predestinasi Calvin, manusia takut bahwa ia akan dihukum Allah karena tidak bekerja sekuat mungkin. Jadi, perkembangan terjadi atas dasa takut dan gentar. ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 41

Mengenai pandangan itu, pertama harus dikatakan bahwa memang Calvin mendorong untuk bekerja dengan rajin, tetapi bukan atas dasar takut melainkan untuk memuliakan Allah. Sedangkan ajaran Kalvinisme justru bermaksud untuk mengajar kepada manusia bahwa keselamatan datang dari Allah dan bukan dari manusia. Justru itu yang mendapat tekanan dalam ajaran tentang predestinasi juga. Terdapat satu kesalahan lain menyangkut ajaran predestinasi itu, yaitu perlu diinsafi bahwa kemahakuasaan Allah kadang-kadang digunakan untuk membuat manusia malas dan sembrono, dengan alasan bahwa kita tidak bisa bekerja dan membutuhkan Allah semata-mata. Maka, munculnya sikap fatalistis itu menunjukkan bahwa ajaran predestinasi tidak dengan sendirinya mendorong untuk bekerja keras. Terdapat satu pandangan kedua mengenai tesis Weber itu: Lynn White pernah menerangkan bahwa kemajuan telah mulai pada awal Abad Pertengahan, bukan pada era Reformasi, jadi pada saat manusia menemui luku, penunjuk waktu (jam), kincir angin/air, dan tidak lagi bekerja dengan satu ekor atau satu pasang sapi /kerbau tetapi dengan banyak, sampai 4 pasang. Dengan demikian ia harus bekerja dengan lebih berdisiplin. (Satu catatan kecil tentang pandangan itu: Dari Kitab Perjanjian Lama dapat diketahui tentang nabi Elisa bahwa ia bersama hamba-hambanya pada saat pemanggilannya sedang meluku dengan 12 pasang sapi (1 Raja-raja 19:19-21). Bukan saja agama Kalvinis tetapi setiap aliran Kristen yakin bahwa alam tidak patut diperilahi dan dapat diteliti dan dikembangkan. Hal itu berarti juga bahwa kita kelirut kalau mengatakan bahwa agama Kristen mengatakan bahwa kita harus kembali kepada alam dan harus bermusuhan dengan pabrik dan industri dan kapitalisme. Seandainya demikian, kita menolak setiap perkembangan yang diberikan Allah. Dan tanpa kemajuan tersebut maka umat manusia sudah mati kelaparan. Dalam pada itu harus dikatakan juga bahwa teologi DGD sebagaimana diterangkan a.l. oleh Larry L.Rasmussen kembali kepada pengdewaan alam, seperti dahulu dalam agama suku. Jadi, penting sekali untuk memposisikan manusia bukan sebagai budak kapitalisme tetapi juga bukan sebagai budak alam. Manusia adalah bendahara dan boleh menggunakannya, juga demi pertumbuhan umat manusia demi hormat nama Allah. Tentang kepemilikan dapat kit abaca juga Craig L. Blomberg, Tidak miskin, tidak kaya. Ia menunjukkan bahwa menurut kitab Perjanjian Lama kekayaan dapat dilihat sebagai berkat Allah. Sekaligus ia membaca juga peringatan-peringatan nabiah bahwa kekayaan bisa menjadi sebab dosa. Untuk P.B ia tidak begitu melihat hubungan antara ketaatan kepada Tuhan dan kekayaan sebagai berkat. Namun ia berpendirian bahwa sama seperti pada waktu P.L. seorang Kristen harus memberikan persepuluhan dan ia akan diberkati Tuhan jikalau ia memberikan kepada Tuhan. Yakob Tomatala, dalam bukunya Manusia sukses, menolak teologi berkat dari Perspektif Alkitab dan ia berkata bahwa manusia sukses, jika ia telah belajar untuk taat kepada Tuhan dan hidup atas dasar janji-janjin Allah. Budaya Budaya sering terpaut dengan lingkungan. Budaya telah mengatur bagaimana manusia harus berada dan bekerja dalam lingkungannya, dan dalam peraturan budaya itu sering termasuk hikmat dan pengalaman dari ribuan tahun untuk bekerja dengan berkat di atas tanah suku. Budaya bisa berubah juga, karena kamajuan, dan juga karena masuknya agama dan iman. Semoga dalam dunia modern ini tercipta sebuah budaya baru untuk melestarikan bumi dan menghasilkan buah-buahnya, bukan sebanyak mungkin tetapi sesuai kebutuhan. Secara etis dapat dikatakan bahwa keuntungan yang dilihat dan dikerjakan bukan saja keuntungan jangka ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 42

waktu pendek tetapi juga jangka waktu panjang. Apa gunanya kita sekarang dapat memakan lebih dari secukupnya sedangkan dengan cara itu hasil untuk cucu dan cici sangat diperkecil. Jadi, penting nas-nas Alkitab tentang manusia sebagai bendahara, Kej 1, Kej 9, Mazmur 8. Penting juga berita dari Kej 2 dan Rom 8 bahwa bumi akan menghasilkan semak duri, dan bahwa seluruh ciptaan mengeluh dan berada dalam keadaan sakit bersalin. Kenyataan itu mengajar bahwa manusia tidak boleh berharap bahwa ia sanggup untuk menciptakan sebuah system yang awet, yang tahan lama dan tidak akan rusak. Sejarah selalu mengajar bahwa penemuan-penemuan baru akhirnya dapat menjadi bahaya besar. Contohnya: asbes; antibiotik; tenaga nuklir; pestiside. Manusia harus rela mengembangkan dan harus berani mengembangkan, tetapi ia harus menyadari pula bahwa tidak ada yang sempurna. Hanya saja, seringkali kita belum tahu bagaimana efeknya kemudian hari. Jelas sekali juga penemuan-penemuan manusia didorong oleh ekonomi dan mempengaruhi ekonomi. Relasi lingkungan dan ekonomi tak dapat disangkal. Kalau kita mau memajukan perkembangan lingkungan hendaklah kita menghargai juga ekonomi: jika ada kemungkinan untuk sama-sama dengan orang bermodal mencetak sebuah kemajuan yang bukan saja menguntungkan lingkungan tetapi kemudian hari juga ekonomi, maka kita lebih kuat daripada kalau selalu bertindak sebagai kelompok aktivis melawan pemerintah dan orang bermodal. Penting sekali untuk mendorong pengawetan lingkungan dari tempat tinggal dan tempat kerja sendiri. Tetapi dalam hal itu harus kita menjaga juga untuk menjadi lelucu, dengan melakukan hal-hal yang tidak tahan lama atau terlalu pada skala kecil. Satu hal yang patut disadari kalau berbicara tentang lingkungan yaitu perbedaan kota dan desa. Rupanya banyak orang suka tinggal di kota dengan segala kemajuan, tetapi makan dan minum datang dari desa, dan karena itu desa patut dihargai dan tidap boleh dibelakangi. Sekaligus harus diakui bahwa bukan setiap orang dapat tinggal di kampong dengan halaman luas. Melihat jumlah penduduk dunia seharusnya ada juga rumah bertingkat di kota, asal di tengah itu terletak taman dan pepohonan. Sebab pohon adalah paru-paru kota dan memberikan juga kesenangan dan ketenangan kepada jiwa. Jadi penataan kota dan daerah amat penting, begitu jugasebuah pemerintahan yang kuat dan adil juga. Demi melindungi dan membela tanah, air dan udara dan semua makhluk yang hidup di atasnya. Kurang disadari betapa kaya bumi ini, yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Lihat saja semua jenis binatang dan tanaman/tumbuhan di mana pata dikuatirkan bahwa sebagian besar sudah punah. Dalam kehidupan suku memang seringkali pemborosan dan perusakan, ingat saja akan pembakaran hutan. Tetapi budaya kuno sering mempunyai juga respek terhadap ciptaan yang ada. Kemajuan modern harus disertai respek terhadap alam, bukan saja terhadap dompet. Uraian tentang manusia sebagai bendahara Allah, menurut Yoh. Calvin, sesuai keterangan dari dr J.C. Graafland. Calvin telah mendobrak pemikiran ekonomis di negara-negara Barat, khususnya karena Calvin menyetujui untuk meminjamkan uang dengan membebankan bunga. Sebelum itu hal itu dianggap dilarang, berdasarkan beberapa nas alkitab, yang akan dibicarakan di bahwa ini. Juga filsafat Yunani melarangnya dan sampai sekarang terlarang juga di kalangan orang Islam. Luther pada mulanya tidak menyetujuinya juga, tetapi sikap Luther dapat diterangkan karena beliau bergerak dalam masyarakat pertanian, sedangkan Calvin dalam kota Jenewa. Pada akhir hidupnya Luther tidak lagi berkeberatan. Jenewa adalah negara tersendiri, sering berperang oleh kerajaan Savoie yang di bagian selatan. Pangan dari Savoie sering ditahan, sehingga harga bahan makanan di Jenewa naik. Pada umnya pada waktu itu di Eropah acapkali terjadi pergejolakan ekonomis karena harga-harga yang tinggi dan jumlah pengangguran yang signifikan. Sekalipun kegiatan perdagangan makin tahun meningkat, karena

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 43

banyaknya pelayaran ke negeri-negeri yang jauh, di Eropah sendiri di mana-mana terjadi perang yang menuntut anggaran tinggi. Untuk kegiatan-kegiatan seperti pelayaran dibutuhkan modal, organisasi, infrastruktur, dan semuanya mulai terbentuk. Banyak yang menanam modal dan memegang saham dalam usaha perkapalan atau perindustrian. Calvin sangat mengerti bahwa untuk perkembangan ekonomis dibutuhkan modal, dan menurutnya meminjamkan dengan bunga tidak salah, dan sama dengan menyewakan sebidang tanah. Modal adalah alat produksi, sama seperti tenaga manusia, dan seorang yang memperlengkapi orang lain dengan modal itu patut menerima imbalan. Nas-nas seperti Kel. 22:25, Im. 25:35-38, Ul. 23:19,20, sesuai pandangan Calvin berfokus kepada bantuan kepada orang miskin, dan memang untuk itu tidak boleh dituntut bunga. Atau dengan kata lain: Untuk kredit konsumptif bunga tidak diperbolehkan, tetapi untuk kredit investasi boleh. Juga Luk. 6:35 menurut Calvijn tidak melarang bunga, melainkan merupakan dorongan untuk menolong yang berkekurangan berdasarkan kasih. Daripada orang asing boleh dituntut bunga, menurut Ul. 23, dan menurut Calvijn itulah wajar karena orang asing menuntutnya juga jika mereka meminjamkan kepada orang Israel. Tetapi bunga yang dibebankan harus adil, dan riba terlarang. Calvijn memberikan persyaratan sbb: 1. Orang miskin yang ditolong jangan dibebankan dengan bunga 2. Meminjamkan bukan seluruh modal yang dimiliki, agar selalu ada kesempatan untuk menolong orang miskin dan berbuat baik 3. Jangan memberlakukan persyaratan yang dianggap tidak adil jika dikenakan pada dirimu sendiri (Luk. 6:31, Mat. 7:12) 4. Jangan menjadi bankir (seorang yang meminjamkan sebagai professi) 5. Dia yang meminjam harus memperoleh lebih banyak untung daripada bunga yang dibayarnya 6. Bilamana bermodal, jangan hidup berfoya-foya, tanpa bekerja, hanya mengharapkan uang. Peringatan untuk tidak menjadi bankir berdasarkan kekuatiran Calvijn bahwa dengan demikian manusia akan kerakusan uang bahkan menjadi penyamun. Milik pribadi dalam pandangan Calvijn tidak dilarang, tetapi milik itu tidak boleh menjadi penyebab untuk kehidupan duniawi; kita juga harus selalu tulus ikhlas, dan tetap berterima kasih kepada Tuhan. Beberapa nas petunjuk: Amsal 19:17, 1 Kor. 7: 38.

Seandainya petunjuk-petunjuk Calvin yang diringkas di atas dikenal dan dipraktekkan maka dunia Barat sekarang tidak ditimpa oleh krisis kredit dan krisis moneter. Krisis itu telah mulai di Amerika Serikat sekitar 5 tahun yang lalu dan berlangsung sampai sekarang. Awalnya adalah sekian pinjaman guna membeli rumah yang diberikan bank-bank atas dorongan pemerintah, dengan sangat lunak. Sering harga pinjaman jauh melebihi harga rumah, dengan harapan bahwa kemudian harga-harga rumah akan naik, seperti biasa, dan pinjaman akan menjadi lebih sesuai. Ternyata, harga-harga rumah tidak naik tetapi turun, bank-bank telah meminjamkan tanpa jaminan yang sesuai, orang-orang yang menabung mulai mencurigai bank dan mengambil uangnya. Ketika beberapa bank anjlok, seluruh ekonomi kacau balau, sebab dasar ekonomi adalah kepercayaan. Bank-bank di Eropah pun mempunyai bagianbagian dalam milik-milik bank Amerika, dengan tidak mengetahui bahwa saham mereka di sana ‘kotor’, yaitu tidak mempunyai jaminan. Apalagi, kapitalisme di Eropah sering terjangkit oleh kerakusan yang sama seperti di AS. Hukum yang kesembilan Jangan mengucapkan saksi dusta. Hukum ini membicarakan penggunaan lidah dan bahasa. Kuasa lidah sangat besar, band. Yak. 3. Hanya manusialah, yang dapat berbicara, makhluk-makhluk lain tidak, sekalipun mereka juga mempunyai semacam komunikasi. Tetapi berbicara berarti: bisa mempertimbangkan dan bisa memutuskan baru mengeluarkan kata. Manusia dapat berkommunikasi dengan Allah juga, melalui doa dan memuliakan nama-Nya. Dengan kemampuan berbicara manusia dapat bergaul dengan sesamanya dan bekerja sama dan mengorganisir sesuatu. ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 44

Lidah dan bahasa juga sangat berarti dalam perjanjian Allah. Akan tetapi, justru kemampuan manusia yang sangat indah itu digunakan iblis untuk merusakkan pekerjaan Allah. Ia memutarbalikkan perkataan Tuhan kepada manusia dan ia mengajak manusia untuk menipu juga. Diabolos adalah nama iblis, yang berarti pemutarbalik. Dalam Yoh.9:44 iblis dinamakan pendusta dan bapak segala dusta. Dalam kitab Ayub bahkan Tuhan sendiri dibujuk iblis untuk tidak percaya akan kemurnian Ayub. Tetapi si pendakwa itu kalah ketika Tuhan Yesus mati untuk dosa di atas kayu salib (Wahyu 12:1-10). Mula-mula tidak ada hakim khusus di Israel. Tua-tua, atau para penatua kota bertindak sebagai pengadilan, dan duduk di pintu gerbang kota. Tidak ada juga jaksa khusus, tidak ada pengacara khusus. Pihak yang beperkara masing-masing membawa saksinya. Karena itu, seorang yang bersaksi dusta dapat sangat merugikan sesamanya, bahkan membahayakan nyawanya. Hukuman bagi saksi dusta ialah bahwa ia harus ditindaki dengan hukuman sebagaimana yang akan berlaku kepada orang yang terhadapnya ia bersaksi (Ul. 19:19). Ceritera yang melukiskan peragaan saksi dusta adalah sejarah kebun anggur Nabot dan raja Ahab (1 Raja-raja 21). Hukum yang kesepuluh Jangan mengingini sesuatu yang dipunyai sesamamu. Hukum ini mencakup segala rancangan dan perencanaan. Hukum ini adalah yang paling tajam dan memperdalam hukum 6-9. Kata bahasa Ibrani ‘chamad’ menuntukkan keinginan dan perencanaan. Jadi, bukan saja bahwa kita mempunyai keinginan dan pikiran mis. tentang isteri seseorang, tetapi merancangkan juga untuk berzinah dengannya. Sebenarnya, keinginan-keinginan manusia, termasuk keinginan seksuil, merupakan bagian daripada kemanusiaannya, dan tidak dapat dikatakan buruk dengan sendirinya. Augustinus, di bawah pengaruh filsafat Yunani, menganggap bahwa keinginan seksuil dosa adanya, tetapi itu tidak benar. Bahkan dalam kitab Kidung Agung kasih mesra dipuji serta keinginan antara laki-laki dan perempuan. Keinginan jahat adalah musuh besar untuk manusia, lih. 1 Kor. 10:6 dan 1Petrus 2:11, dan khususnya Yak. 1:14. Nas terakhir mengatakan bahwa bukan Allah yang mengerjakan hal-hal yang tidak baik untuk manusia, tapi keinginan kita sendiri, jika dikawinkan dengan hal-hal jahat di luar kita yang menarik dan membuat keinginan itu dibuahi dan akhirnya mengeluarkan dosa.

10.Penciptaan, dosa, pelepasan. Terdapat tata tertib alam kejadian? (terj. Verkuyl dari ‘Schöpfungsordnungen’, ordo creationis). Khususnya Emil Brunner, Das Gebot und die Ordnungen, membahas etika tata tertib alam kejadian. Brunner adalah seorang teman Karl Barth, tetapi dalam penghargaan terhadap tata tertib tersebut mereka berbeda pendapat. Brunner, seperti Barth, memang mengatakan bahwa manusia menerima perintah Allah hanya pada saat tertentu saja, bila Allah memanggilnya, ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 45

gaya eksistensialistis. Tetapi menurutnya harus dibedaken antara ‘Gebot’, perintah, dan ‘Ordnungen’, ketentuan-ketentuan. ‘Gebot’ merupakan panggilan Allah pada saat kita bertemu Tuhan secara eksistensial, ‘Ordnung’, atau ‘Gesetz’, terdiri dari Alkitab, dan juga hati nurani, maupun hukum-hukum alam, bahkan kebiasaan-kebiasaan sosial. Barth mengeritik Brunner, dan menurut Douma dengan benar, sebab tidak mungkin realita-realita di sekeliling kita bisa bersuara, seperti dikatakan Brunner. Manusia selalu sibuk untuk membentuk struktur dalam lingkungan hidupnya, sesuai struktur yang telah ditemukan secara alamiah, sosial dan bersejarah, tetapi ia merusakkannya juga. Berbahaya jika ‘struktur’ menjadi sumber tersendiri bagi kita. Tentu struktur-struktur penting adanya, dan diletakkan Allah Pencipta dalam dunia ini. Apalagi, manusia yang baru akan diperbaharui sesuai gambar Penciptanya (Kol. 3:10). Struktur yang diletakkan Penciptanya dalam dunia ini harus dihargai. Tetapi manusia tidak dapat tahu persis bagaimana adanya struktur dunia pada saat diciptakan Allah, yaitu sebelum ada dosa, dan juga ‘schema’ (=struktur) dunia ini sedang berlalu (1 Kor. 7:31). Struktur-struktur itu tidak boleh diabadikan. Tetapi J. Douma membahas struktur sebagai salah satu dari kelima relasi yang penting bagi manusia, lih. fasal 12. Lex naturalis (hukum alamiah) Ordo creationis adalah struktur yang ditemukan dalam ciptaan-ciptaan, sedangkan lex naturalis –kata orang- adalah hukum yang telah tertulis dalam hati setiap manusia, sekalipun ia tidak menyadarinya. Sesuai pandangan Reformed tidak mungkin untuk menyusun sebuah etika atas dasar lex naturalis, seperti diusahakan gereja RK. Memang menurut Roma 2:14 bangsa-bangsa melakukan hukum Allah dari dirinya sendiri (natura) . Benarlah juga, bahwa terdapat moral di dunia, di luar gereja pula. Tetapi hukum yang dimaksudkan dalam Roma 2 :14 adalah hukum Musa, bukan semacam hukum dalam hati manusia yang dimilikinya sesuai dengan sifatnya sebagai manusia. Kata Paulus ialah bahwa bangsa-bangsa sekalipun tidak mengenal hukum Allah tetap melakukan ‘pekerjaan hukum’. Bukan inti hukum Allah yang diraih oleh bangsa-bangsa itu, tetapi yang dilakukan mereka adalah hasil dari pengaruh hukum. Jangan kita berargumentasi bertolak pada sebuah hukum alamiah sepertinya diciptakan Allah sebagai sesuatu yang bekerja sendiri. Lebih baik kita mendasarkan pikiran pada kelebihan kuasa penyataan Allah. Apalagi, tujuan Roma 1 adalah menggambarkan manusia sebagai oknum yang tidak bisa berdalih, dan mendakwanya. Tujuannya bukan mengajarkan suatu teori tentang tata tertib alam kejadian. Inti dosa Dosa sangat berkuasa dalam diri manusia, dan karena itu bukan saja manusia menderita, tetapi bumi juga. Hubungan manusia dengan Allah akan diperbaharui hanya oleh Yesus Kristus, dengan penderitaan-Nya dan kematian-Nya. Menurut Alkitab dosa adalah pelanggaran, ketidaktaatan, pemberontakan, kesombongan, permusuhan dengan Allah, anomia. Satu kata tidak cukup, sebab dosa mempunyai banyak aspek. Bapak-bapak gereja seperti Augustinus berkata dosa adalah ‘privatio boni’; dan untuk lebih tepat : ‘actuosa privatio boni’. Dosa berarti bahwa yang baik (bonum) telah dirampas ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 46

(privatio). Dan menyangkut actuosa : dosa adalah satu kekuatan yang aktif bekerja, justru karena yang baik telah dirampas daripadanya. Dosa adalah seperti tumbuhan benalu, yang mengisap daya hidup dari tumbuhan lain sedangkan ia sendiri tidak mempunyai perakaran di tanah. Dosa turunan Sekalipun manusia telah menjadi hamba dosa, ia tetap bertanggungjawab atas dosanya. Sekarang keadaannya : non posse non peccare (tidak mungkin tidak berbuat dosa : Augustinus). Terdapat peccatum originale, dosa turunan, yang menyatakan : 1. dosa sudah ada sebelum kita ada 2. karena ketentuan Allah dosa Adam telah menjadi sumber segala dosa. 3. dosa total adanya, bukan saja mengenai hawa nafsu, seksualitas 4. dosa universal adanya, kena seluruh umat manusia dan telah berkembang menjadi bermacam-macam kuasa jahat, yang menaklukkan berjuta-juta orang. 5. dosa membangkitkan segala macam keinginan. Augustinus : bahkan kebajikan manusia yang terbaik adalah splendida vitia : dosa yang gemilang. Sekalipun dalam dunia ditemukan banyak hal yang menggembirakan. Kejahatan harus dicari dalam hati manusia yang berdosa, bukan dalam hubungan-hubungan sosial (Marx), dan bukan juga dalam pertentangan antara hawa nafsu dan kenyataan (Freud) atau agresi manusia yang belum dikendalikan (Lorenz). Kebebasan Manusia mempunyai kehendak bebas, sehingga ia sendiri bertanggungjawab atas dosanya. Tetapi bukan bebas dalam arti bahwa ia sendiri dapat luput dari perhambaan dosa. Secara antropologis memang manusia mempunyai kehendak bebas, jadi bebas dari paksaan. Tetapi secara religius tidak, sebab tidak mungkin ia sendiri dapat memilih mengikuti Tuhan. Manusa bebas dalam arti religius jika ia dibebaskan oleh Kristus dan diperbaharui oleh Roh. Bagi orang Kristen pengertian ‘kebebasan’ atau ‘kemerdekaan’ berbeda dengan pandangan humanis. Mulai dari aliran Stoa di Yunani kuno kebebasan dilihat sebagai bagian dari ataraxia: kemampuan untuk tidak terpengaruh dan tidak tergerak. Dan sekaligus: mampu untuk berkuasa atas nasib yang menentukan kehidupan. Bagi orang Yunani seorang merdeka berbeda dengan seorang budak. Seorang budak harus menaati tuannya, dan seorang merdeka memang bebas terhadap orang lain. Namun, seorang merdeka tetap taat kepada perintahperintah negara dan menyadari tanggungjawabnya. Seorang Kristen tidak akan memilih antara determinisme atau indeterminisme, yakni antara keterikatan dan kebebasan. Bagi seorang Kristen kebebasan tidak berarti boleh mengatur dirinya sendiri, tetapi bahwa ia terikat kepada Tuhan Allah, dan justru itulah kemerdekaannya. Kebebasan Kristiani Kalau kita membicarakan kebebasan Kristiani, harus kita membedakannya dari kebebasan secara filsafat yang menunjukkan otonomi yang mutlak. Kebebasan adalah sebuah kata Alkitabiah tentang pergaulan dengan Allah tanpa halangan, di dalam Kristus, sebagai jalan ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 47

kebenaran. ‘Bebas’ berarti: berada dalam lingkungan asal, bersama dengan Allah. Pada saat manusia mau memperluas lingkungannya ia mirip seekor ikan yang melompat dari dalam air dan mati di atas darat. Pembebasan adalah bahwa ikan dikembalikan kedalam air. Kebebasan Alkitabiah itu tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan. Kita boleh bergaul dengan Allah dan menikmati segala yang diberikan-Nya. Band. Gal. 3,4,5. Kebebasan dan hukum : kita telah dibebaskan dari kutuk dan kuk hukum. Tetapi hukum sendiri itulah baik, dan adil, dan benar. Hukum mosaica telah menjadi hukum Kristus, sedangkang interpretasi orang Farisi yang mendangkalkannya ditolak oleh Kristus sendiri dalam Khotbah di bukit.. Seorang yang mendalami hukum Kristus mendalami hukum kemerdekaan yang sempurna (Yak. 1). Pada waktu Perjanjian Lama orang beriman tidak merasakan hukum sebagai penyiksaan atau beban, Mazm. 119, Mazm 92. Jadi, jangan memisahkan Hukum dan Injil, seperti sering dilakukan oleh teolog-teolog Luteran. Kata Roma 10:4 tentang Kristus yang adalah telos (tujuan, penggenapan) dari hukum Taurat bagi mereka yang percaya, harus diartikan sbb: bagi orang beriman hukum bukan jalan keselamatan, sekalipun pada waktu Perjanjian Lama memang sering ditafsir demikian, apalagi oleh orang Yahudi pada zaman rasuli. Tetapi orang yang percaya dengan sungguh-sungguh tidak pernah melihat hukum seperti itu, bahkan pada masa Perjanjian Lama pun tidak. Allah yang menyelamatkan. Berbeda sekali dengan orang Luteran itu adalah pandangan Barth yang mengatakan bahwa hukum adalah sebuah bentuk Injil. Pandangan itu tak dapat disetujui sebab menghilangkan rasa bersalah. Fungsi hukum yang bertujuan tiga (band. Douma, Kelakuan yang bertanggungjawab, 64-70). Jemaat Kristen telah menerima hukum mosaica dari tangan Kristus dan sebagai hukum Kristus, dan bagi jemaat itu fungsi hukum dapat dibagi tiga: Usus legis primus: usus politicus atau civilis: bermanfaat bagi kehidupan politik. Usus legis secundus: usus pedagogicus atau elenchticus, untuk menunjukkan dosa. Usus legis tertius: usus didacticus atau normativus, untuk menjadi pedoman bagi pengucapan syukur. Usus primus mengekang kejahatan, tetapi tidak mengalahkannya. Melalui hukum itu Allah mengatur bahwa kehidupan di bumi tetap mungkin. Hukum Allah adalah pakaian yang satusatunya yang cocok untuk dunia. Usus primus itu juga adalah alat dalam tangan Kristus, sebab Dialah yang mempunyai kuasa baik di surga maupun di bumi. Usus secundus sering dikaitkan dengan Gal.3: 24, dari situ juga kata pedagogicus. Cuma, tidak terlalu tepat sebab menurut nas tersebut hukum adalah pedagogos sampai Kristus, jadi sekarang tidak lagi. Dalam sejarah keselamatan fungsi tersebut telah berlalu. Namun, hukum tetap berlaku sebagai cermin untuk mengenal dosa, sebab dalam diri kita adalah perjuangan antara roh dan daging (Roma 7:13 dst). Tetapi Injil mendahului Hukum, band. pendahuluan hukum Taurat. Mengenai kata pedagogis: dulu seorang pedagogos tidak selalu disenangi: ia bukan saja pendidik, tetapi juga penjaga. Usus tertius berlaku dalam dan untuk pengudusan hidup. Dalam tangan Kristus hukum berlaku sebagai pedoman.

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 48

Sering dikatakan bahwa untuk Calvin usus yang ke-3 itu telah menjadi nr 1. Verkuyl menerangkan bahwa usus elechticus menjadi nr 1 untuk Calvin, baru normativus, baru politicus. Menurut Douma para Reformator sebenarnya tidak berselisih pendapat, tetapi para penganut Luter memang kurang menghargai usus normativus dan berfokus pada politicus dan khusus elenchticus. Perfeksionisme. Seorang perfeksionis beranggapan bahwa kesempurnaan sudah bisa dicapai dalam kehidupan ini, dan ia melupakan perjuangan seperti dalam Roma 7 :14. Mereka menafsir Roma 7 secara lain : yaitu bahwa Paulus berbicara tentang hidupnya sebelum bertobat. Semboyan Reformasi ‘simul iustus dan peccator’ dilupakan. Kehendak manusia memang tidak bebas lagi, dan harus dibebaskan, namun belum sampai sempurna. 1 Joh 3:9 harus dikaitkan dengan 1 Joh. 1:10, dan 1 Joh. 2:1. Seandainya sudah sempurna, mengapa doa ‘Bapak kami’ mengatakan ‘jangan membawa kami kedalam pencobaan? Perlu disadari Fil. 3 :12. Seorang perfeksionis menyangka bahwa seorang beriman bukan saja bebas dari utang dosa tetapi juga dari kuasa dosa. Mis. John Wesley berpikir bahwa sesudah pembenaran oleh iman, dosa manusia dapat dimenangkan secara riil, melalui tindakan Allah yang khusus, yaitu ‘second blessing’, Wesley ditentang oleh Ludwig von Zinzendorf, pelopor Pietisme dari Jerman. Zinzendorf benar, sebab ‘tamim’ (Ibr) dan ‘teleios’ (Yun) tidak menunjukkan kesempurnaan etis tetapi hidup yang ditujukan kepada Allah dengan baik. 1 Joh 3:9 tidak menunjukkan kesempurnaan etis tetapi harus dilihat dalam pertentangan dengan orang gnostik yang mengatakan bahwa mereka yang mengenal Allah tidak melakukan dosa lagi. Dosa itu tidak kena diri mereka, hanya tubuh saja. Karena itu Yohannes mau menyatakan bahwa tidak mungkin mereka benar-benar mengenal Allah, sebab kalau begitu benih Allah ada didalamnya, dan juga Kristus presens (hadir) (4:4). ‘Tidak bisa berdosa’ bukan kenyataan, tetapi norma yang jelas dan masuk akal: tidak bisa seorang Kristen melakukan yang demikian. Sikap lain, bertentangan dengan perfeksionisme, adalah sikap orang yang senang-senang saja, mudah puas, sembrono, lalai. Mereka tidak berjuang lagi, tidak mencita-citakan pengudusan (Ibr. 12:14). Perjanjian Baru tidak mengizinkan untuk menyangkal kesungguhan dosa, sekalipun dalam iman dapat dikatakan bahwa kita telah mati bagi dosa dan hidup bagi Kristus.. Manusia mempunyai suara hati. Pada Abad Pertengahan sering dipikirkan bahwa suara hati pada dasarnya tidak bisa keliru. Dibedakan antara ‘synterese’ (±pemeliharaan) dan ‘conscientia’ (‘suneidesis’, ± mengetahui bersama). Synterese adalah kapasitas natural untuk melakukan apa yang baik dan perlu dipertahankan terhadap yang jahat. Di samping itu adalah conscientia, yang bisa keliru. Dalam pandangan RK maka gereja membantu manusia, sebab imam dalam acara pengakuan dosa dapat menunjukkan sikap yang pasti dan menolong anggota gereja yang mengaku dosanya. ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 49

Para reformator melihat suara hati sebagai penuduh. Memang para reformator tetap menganggap adanya terang kodrati, tetapi itu ditindas dengan kelaliman (band. Rom.1,2). Calvin menggambarkan conscientia sebagai ‘mengetahui bersama dengan Allah’. Menurut Calvin suara hati berada di tengah Allah dan manusia. Tetapi pada abad 19 dan 20 F. Nietsche dan S. Freud menjelekkan suara hati, sebab adalah fenomena yang menyakiti manusia. Menurut Freud essensi manusia tidak-personal: Es, id. Libido. Tetapi Ich, ego harus menyesuaikan diri. Emanasi (munculnya) libido (hawa nafsu) dikekang oleh perintah dan larangan, khususnya dari orangtua. Kemudian terjadi identifikasi antara Ich dan instansi dari luar, khususnya ayah, sehingga terbentuk Uber-Ich dan dengan itu moral. Jadi Ich diserang oleh Es dan oleh Uber-Ich. Menurut Nietsche orang yang terbaik adalah dia yang berani berlagak ego-istis: itulah kebebasan mutlak. Sebab kalau tidak ego-istis, maka kita mengikat diri kepada orang lain. Dan suara hati tidak boleh menghalangi manusia dalam kemauannya yang keras itu. Menurut Douma suara hati adalah lembaga dalam diri manusia yang mengkonfrontirnya dengan segala keputusannya, lalu menilai itu. Juga orang yang bukan Kristen mempunyai sedikit pengenalan akan Allah bahkan suara hati: Roma 2:14. Bahasa Ibrani tidak mengenal kata untuk ‘suara hati’. Mungkin ‘leb’ ‘hati’ bisa dianggap sebagainya. NT mengenal kata ‘suneidesis’. Berhubungan dengan itu De Kruijf bersama Van Oyen menunjukkan bahwa dalam khotbah – Nya Tuhan Yesus tidak pernah berkata tentang suara hati, dan juga tidak tentang kesusilaan dan kebajikan. Sebab Tuhan Yesus tidak bertolak dari kesusilaan atau moral umum , tetapi menekankan relasi pribadi antara Allah dan manusia. Tuhan Yesus menuntut kesetiaan kepada firman-Nya sendiri: “Tetapi Aku berkata...”. Baru dalam surat-surat rasuli menjadi jelas bahwa seorang yang bertemu dengan Tuhan Yesus akan dilepaskan dari ketakutan dan ketegangan dan mendapat hati nurani yang baik dan murni (1 Tim.3:4, 1 Petrus 3:16). J.I. Packer : suara hati agak otonom, tetapi kita dapat menindasnya. Jika suara hati dibentuk oleh Firman dan jika ditaati, maka ia menjadi ‘Gods deputy and viceregent within us, Gods spy in our bosoms, Gods sergeant, which He employs to arrest the sinner’. Dalam pandangan Augustinus dan pandangan Reformed maka kehendak dan juga suara hati harus diperbaharui oleh Roh Kudus, jadi kita teringat akan pandangan Verkuyl, yang sudah disebut dalam fasal yang pertama. Suara hati yang baik merasa diri bebas di depan Allah. Tetapi suara hati yang baik tidak bisa dibentuk di luar anugerah Allah.

Kepustakaan Craig L.Blomberg, Tidak miskin, tetapi juga tidak kaya, Jakarta 2011. R.P. Borrong, Etika bumi baru. Malcolm Brownlee, ‘Pengambilan keputusan etis, dan faktor-faktor di dalamnya’,1981 ! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 50

David K. Clark, Robert V. Rakestraw (eds), Readings in Christian Ethics, Vol. 1: Theory and Methods, ed.7, 2006; Vol. 2: Issues and applications, ed.9, 2005. Jochem Douma, ‘Christelijke Ethiek’ I, Grondslagen, (‘Etika Kristen’, I, Dasar-dasar), 1999; kemudian diterbitkan jilid VI tentang etika medis. Jochem Douma, ‘Kelakuan yang bertanggungjawab’, 1993 Jochem Douma, ‘The Ten Commandments. Manual for the Christian life’, 1996. Norman L.Geisler, Etika Kristen. Joh. C. Graafland, Rentmeesterschap bij Calvijn: Leefregels bij de kredietcrisis (Calvin tentang menjadi bendahara: peraturan-peraturan hidup dalam krisis kredit). In: Radix, 2008. Carolyn Holderread Heggen, Pelecehan seksual dalam keluarga Kristen dan gereja, Jakarta 2008. Timothy Keller, Generous justice. How God’s grace makes us just’, 2010. Henk ten Napel, ‘Jalan yang lebih utama lagi. Etika Perjanjian Baru’, 1997. Larry L. Rasmussen, Komunitas bumi baru (Jakarta 2010). Joh.J. Verkuyl, Etika Kristen (umum, sosial-ekonomi, etika seksuil, ras, bangsa, gereja, negara, etika politika, etika dan kebudayaan, kapita selekta), 1956 (dan tahun-tahun berikut). Christopher J.H. Wright, Old Testament Ethics for the people of God, 2004. Terjemahan :Hidup Sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama, BPK 2007.

! Etika Kristen. STT SETIA, mei 2014 51