Faham Kekuasaan Jawa: Pandangan Elit Kraton Surakarta dan Yogyakarta Isbodroini Suyanto-Gunawan (Universitas Indonesia)
Abstract During the Javanese historical development since the First Mataram Empire until today, Javanese cultural concepts as cultural syncretism of early Hindu-Buddhism, latter HinduBuddhism and Islam tends to be preserved. In its contact with later concepts from the west, such as formal education, modern politics and the entrance of various ideologies such as nationalism, capitalism, socialism, democracy and so on, has not negated those Javanese cultures. The main problem posed in this article is as follow: to what extent Javanese value of political power has been embraced by elites from Surakarta and Yogyakarta palaces. Whether their values are still strong or has it been diminished. Results reached in this research are: ( 1) Dominant perception of the elite, shows that their understanding of Javanese political power is still strong. They still strongly embraced the palace tradition and fully involved in all palace’s rituals; (2) Western cultural penetration has not able to negate the strong rooted Javanese culture from these palace’s elites. Their spirits are still bound to the Javanese culture which surrounded their palace; (3) Javanese sense of political power will play important role when it is positioned as spiritual power to those “njawani” rulers. Key words: Javanese culture; power; political elite; cultural traditions.
Pendahuluan Dalam perjalanan sejarah Jawa sejak kerajaan Mataram I hingga sekarang, konsepkonsep budaya Jawa yang terbentuk sebagai hasil sinkretisme budaya pra-Hindu-Budha, Hindu-Budha dan Islam cenderung masih dipertahankan. Persentuhan dengan konsepkonsep baru dari Barat, seperti pendidikan formal, perpolitikan modern, serta masuknya berbagai ideologi seperti nasionalisme, kapitalisme, sosialisme, demokrasi dan sebagainya tetap tidak menghilangkan nilainilai budaya Jawa tersebut.
Suyanto, Faham Kekuasaan Jawa
Artikel yang singkat ini akan mengemukakan beberapa hal yang berkaitan dengan faham kekuasaan Jawa yang masih melekat pada beberapa elit kraton Surakarta yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran serta kraton Yogyakarta yaitu Kasultanan dan Pakualaman. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini menggunakan dua konsep yaitu kekuasaan dan budaya. Secara umum, kekuasaan dipelajari oleh para ilmuwan Barat sebagai suatu hasil dari interaksi sosial. Berbeda dengan hal tersebut, faham kekuasaan Jawa tradisional mengkonsepsi-
207
kan kekuasaan dengan sifat-sifat adikodrati dan tidak membutuhkan legitimasi formal rasional. Sedangkan budaya dalam pembahasan penelitian ini mempunyai paling sedikit tiga wujud yaitu (Koentjaraningrat 1974:15–17): • wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan nilai-nilai, normanorma, peraturan dan sebagainya; • wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; • wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Menurut peneliti, konsep budaya Jawa adalah budaya dalam pengertian yang pertama, yang menurut Koentjaraningrat berciri, “...sifatnya abstrak dan tak dapat difoto karena ia berada dalam kepala-kepala atau dengan lain perkataan, dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.”
Selanjutnya ia mengatakan bahwa, “... Kebudayaan ideal ini dapat kita sebut adat tata kelakuan, atau secara singkat adat dalam arti khusus, atau adat istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata kelakuan itu, bermaksud menunjukkan bahwa kebudayaan ideal itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. ... adat terdiri dari beberapa lapisan dari yang paling abstrak dan luas sampai yang paling konkrit dan terbatas; yang paling abstrak adalah misalnya sistim nilai budaya. Lapisan kedua adalah sistim norma-norma yang lebih konkrit. Sistim hukum pada masyarakat lebih konkrit lagi. ... lapisan adat istiadat yang paling konkrit tetapi terbatas ruang lingkupnya.”
Selanjutnya, wujud kebudayaan yang kedua adalah sering disebut dengan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi. Sedangkan wujud budaya yang ketiga adalah kebudayaan fisik yang wujudnya adalah hasil karya seseorang dalam masyarakat (Koentjaraningrat 1974).
208
Di samping itu untuk pembahasan berikutnya, penelitian ini juga menggunakan apa yang disebut dengan konstruksi teoritis.1 Konstruksi teoritis dilakukan dengan menyusun dan mengemukakan tulisan dari para penulis atau studi-studi yang terdahulu tentang berbagai hal yang berkaitan dengan budaya Jawa, baik yang bersifat transendental ataupun yang imanen, serta sumber-sumber lain seperti babad atau piwulang .2 Konstruksi teoritis tentang faham kekuasaan Jawa tersebut, juga disusun atas dasar berbagai sumber yang dihasilkan oleh berbagai ilmuwan yang meneliti mengenai budaya Jawa. Mereka antara lain adalah C. C. Berg, Clifford dan Hildred Geertz, Claire Holt, Benedict R.O’G Anderson, Franz Magnis-Suseno, Soemarsaid Moertono, Ricklefs, Simuh, B. Schrieke, Niels Mulder, Moedjanto, Ruth Mc.Vey, S. De Jong dan beberapa lainnya. Di samping itu peneliti juga menggunakan berbagai piwulang dari para penguasa-penguasa Jawa dahulu seperti Mangkunegoro IV, Pakubuwono IV, dan Ronggowarsito. Serat Centini dan berbagai macam Babad seperti Babad Tanah Jawi, Demak, Surakarta, dan beberapa lainnya serta ceritera dalam pewayangan juga merupakan sumber dari konstruksi faham kekuasaan Jawa. 3 Penulisan artikel ini juga didasarkan pada
1
“Konstruksi teoritis” dalam ilmu pengetahuan modern, adalah suatu skema/struktur/gambar yang tidak merupakan kesimpulan induktif dari data tertentu, tidak juga hasil suatu deduksi, melainkan dibangun atas dasar kepastian intuitif dengan tujuan untuk mencapai kejelasan logis, dengan harapan bahwa konstruksi itu akan membantu untuk memahami sesuatu dengan lebih baik. Lihat, Magnis-Suseno (1984:4). 2
Piwulang adalah sebutan untuk ajaran tertulis dari para leluhur di Jawa. 3
Lihat, C.C. Berg (1974); Geertz (1969); Holt (1972); Anderson (1965); Magnis-Suseno (1987; 1984); Moertono (1985); Simuh (1999); Moedjanto (1987); Mulder (1973); dan Budiardjo (1984).
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005
beberapa wawancara mendalam terhadap beberapa elit keempat kraton tersebut.4
Konstruksi Teoritis Konstruksi teoritis tentang faham kekuasaan Jawa dapat dirangkum dalam beberapa hal pokok, yaitu raja sebagai pusat kekuasaan kosmis dan mistis, peranan wahyu dan ngelmu kasampurnaan , dan sumber-sumber simbolik yang mendukung kekuasaan raja seperti pusaka, tarian tradisional, upacara ritual religius dan nilai-nilai seorang pemimpin. Faham kekuasaan Jawa tersebut berbeda dengan faham kekuasaan Barat modern yang sumber kekuasaannya adalah hasil dari interaksi manusia dalam masyarakatnya. Sedang faham kekuasaan Jawa adalah bersifat adikodrati dan transendental yang sumber kekuasaannya bukan merupakan hasil dari hubungan antar manusia, tetapi berasal dari Tuhan, sehingga segala sumber yang mendukung kekuasaan tersebut juga bersifat adiduniawi atau gaib dan spiritual. Raja sebagai pusat kekuasaan kosmis dan mistis Wahyu merupakan sesuatu yang sangat penting bagi seorang penguasa, karena melalui wahyu itulah seorang penguasa mendapatkan legitimasinya. Tanpa wahyu, kekuasaan dianggap tidak berarti sama sekali. Penguasa Jawa percaya bahwa tugas yang ada di pundaknya, yaitu menciptakan keselarasan, keseimbangan dan keharmonisan antara dunia 4
Mereka adalah dua orang dari kraton Kasunanan dan satu orang dari Mangkunegaran di Surakarta serta dua orang dari kraton Kasultanan dan dua orang Pakualaman di Yogyakarta. Di samping ketujuh orang elit tersebut, wawancara mendalam juga dilakukan terhadap lima orang sebagai informan pendukung. Mereka adalah satu orang dari KasultananYogyakarta, dua orang dari Kasunanan, seorang dari luar Kasunanan tetapi mempunyai hubungan erat dengan kraton tersebut dan seorang dari Jakarta yang mempunyai hubungan erat dengan kraton Yogyakarta.
Suyanto, Faham Kekuasaan Jawa
mikrokosmos dan makrokosmos akan sempurna hanya jika penguasa memperoleh wahyu. Raja dianggap sebagai pusat kekuatan spiritual bagi seluruh kerajaannya, karena hanya rajalah yang dipercayai mampu menyedot kekuatankekuatan kosmis dari alam sekelilingnya. Peranan Ngelmu Kasampurnaan Laku, tapa brata dan ngelmu kasampurnaan adalah cara atau syarat untuk memperoleh wahyu tersebut. Di samping itu, melalui laku dan ngelmu kasampurnaan, p e n g u a s a diharapkan dapat menciptakan stabilitas dalam kerajaan dan pemerintahannya. Keberhasilan seorang raja menjadi mediator alam makro dan mikrokosmos akan melahirkan sebuah kerajaan yang bebas dari ancaman musuh, peperangan, kekeringan, penyakit, kelaparan dan bencana alam. Tanpa wahyu (Moertono 1985), seorang penguasa akan gagal menjadi mediator kedua kosmos tersebut. Itu sebabnya seorang raja mempunyai kekuasaan yang mutlak. Menciptakan keselarasan baik dengan alam ataupun manusia merupakan tindakan yang amat penting. Menciptakan keadaan yang harmonis dan selaras, selaras dengan dirinya sendiri, selaras dengan masyarakat dan selaras dengan Tuhan (Mulder 1973:14–15), merupakan keberhasilan dan menciptakan kekuatan spiritual yang dapat mengendalikan hal-hal aduniawi yang tidak tampak tetapi mempunyai kekuatan yang dinamis. Bila hal ini tercapai, orang menganggap bahwa seseorang mempunyai kekuasaan atau kasekten u n t u k mengendalikan sekelilingnya dengan mantap. Pemahaman tentang hal ini adalah sebagai akibat pengaruh dari konsepsi kosmologis.5 5
Konsepsi kosmologis menekankan bahwa jagat ini terdiri atas jagat besar dan jagat kecil atau mikro dan makro kosmos atau alam semesta dan dunia manusia. Antara kedua jenis alam ini terdapat hubungan yang terus menerus, tetapi kedudukan alam manusia tidak setara dengan kedudukan jagat raya. Makro kosmos
209
Kekuasaan seorang raja bersifat mutlak, karena kekuasaan yang bersifat adiduniawi melekat pada dirinya. Itu sebabnya raja tidak dapat dituntut keabsahannya oleh rakyat. Faham kekuasaan Jawa yang bersifat religius, membenarkan dirinya sendiri. Raja tidak dapat diganggu-gugat, karena ia merupakan warana atau khalifatullah. Rakyat tidak berhak meminta pertanggungjawaban raja. Rajalah yang harus mengontrol dirinya sendiri agar kekuasaan yang telah terkonsentrasi dalam dirinya tidak merosot, agar wahyu yang telah diperolehnya tidak berpindah ke penguasa atau tempat lain. Kekuasaan yang mantap akan melahirkan seorang raja yang besar sehingga kerajaan sekelilingnya akan menundukkan dirnya terhadap raja yang sangat berkuasa yang disebut chakravartin. Sumber-sumber simbolik yang mendukung kekuasaan raja Untuk tetap menjaga stabilitas kekuasaan, raja atau penguasa dituntut untuk terusmenerus melakukan komunikasi dengan dunia adiduniawi atau supraalami yang tidak nampak. Komunikasi tersebut dilakukan dengan cara memberikan sesajian ke tempat-tempat yang dianggap sakral seperti makam para leluhur, Ratu Laut Selatan dan gunung Lawu, Merapi, Merbabu dan hutan Krendhana di utara Surakarta dan Yogyakarta. Semua itu bertujuan untuk memperbesar kekuatan spiritual raja. Di samping tempat-tempat sakral tersebut, bendamempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap mikrokosmos. Pengaruh dari makro kosmos dapat bersifat menguntungkan bagi dunia manusia atau pengaruh yng merugikan. Hal tersebut tergantung pada berhasil atau tidaknya manusia dalam hal ini Negara atau kerajaan menciptakan keseimbangan dan keharmonisan dengan jagat raya tersebut. Dalam kerajaan, tugas untuk hal itu terletak pada tangan raja. Itu sebabnya makmur atau tidaknya suatu kerajaan terletak pada berhasil atau tidaknya raja menciptakan keselarasan dan keharmonisan tersebut (Heine-Geldern (1956:1–2).
210
benda pusaka juga memegang peranan yang penting bagi kekuasaan raja. Uraian di atas menjelaskan bahwa faham kekuasaan Jawa yang bersifat adikodrati menyandarkan dirinya pada sumber-sumber yang bersifat adiduniawi pula. Penguasa yang berhasil adalah penguasa yang mampu mengambil dan menampung (menyedot, Bhs. Jawa) kekuatan-kekuatan alam yang tan kasat mata (tidak kelihatan) untuk dikonsentrasikan dan diintegrasikan dalam dirinya. Itu sebabnya raja atau penguasa dipandang sebagai sumber kekuasaan kosmis. Alam adiduniawi dipandang sebagai alam dengan kekuasaan yang tidak kelihatan tetapi penuh dengan kekuatankekuatan yang dinamis yang dapat memberikan pengaruh positif ataupun negatif pada penguasa dan daerahnya. Seorang penguasa atau raja akan selalu berusaha agar kekuatan-kekuatan adiduniawi yang telah tersedot ke dalam dirinya tidak terpencar. Untuk menjaga hal ini raja atau penguasa harus terus menerus menyempurnakan dirinya melalui ngelmu kasampurnaan tersebut. Jadi kekuatan-kekuatan yang tan kasat mata yang dipandang sebagai sesuatu yang tidak rasional oleh mereka yang tidak memahami budaya Jawa, menjadi sangat rasional dalam konteks faham kekuasaan Jawa. Tiang penopang faham kekuasaan Jawa terletak pada kekuatan-kekuatan yang tan kasat mata.
Pandangan para elit tentang faham kekuasaan Jawa Masalah wahyu dan tanda-tanda adiduniawi lainnya Sumber faham kekuasaan Jawa yang bersifat adikodrati adalah sumber-sumber yang bersifat metaempirik seperti hal-hal yang berkaitan dengan masalah kegaiban, seperti wahyu, kekuatan-kekuatan spiritual yang dipercaya terdapat pada benda-benda pusaka
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005
dan tempat-tempat yang dianggap sakral. Cara memperoleh dan menghimpun kekuasaan pun dilakukan dengan cara-cara spiritual. Kekuasaan yang lebih tepat disebut dengan kasekten diperoleh bukan dengan cara-cara dengan menggunakan teknologi modern, tetapi dengan cara-cara yang metaempirik spiritual. Salah satu sumber kekuatan yang paling penting adalah peranan wahyu. Wahyu merupakan sumber legitimasi kekuasaan yang paling utama karena tanpa wahyu kekuasaan tak berarti apa-apa. Semua informan, baik utama maupun pendukung, mengetahui akan hal tersebut. Bahkan dalam keadaan yang telah berubahpun seperti masa sekarang, para informan tersebut masih menganggap bahwa wahyu merupakan unsur yang utama bagi seorang penguasa. Untuk meraih kekuasaan yang harus didahului dengan mendapatkan wahyu, seseorang harus berusaha keras secara spiritual, yaitu dengan melakukan laku dan tapa brata yang sungguh-sungguh. Salah seorang informan, Gusti Dipokusumo, anak dari Susuhunan XII mengatakan bahwa untuk mendapatkan kekuasaan orang harus berusaha sekuatnya dengan melakukan laku dan tapa brata, sehingga dengan cara demikian mungkin ia akan mendapatkan anugerah Allah, yaitu wahyu dan dengan cara demikian ia dapat ngalungguh yaitu mendapatkan kekuasaan. Menjalankan laku tidak bisa hanya asal-asalan saja, bukan dengan cara akal manusia tetapi kita harus menjalankannya sampai ndlosor atau bersimpuh di kaki Tuhan. Seseorang yang dapat melakukan laku dengan sungguh-sungguh ia akan mendapatkan kepekaan dalam melihat apa yang akan terjadi. Contoh dari kepekaan tersebut terdapat pada dua orang penguasa kraton Kasultanan, yaitu ketika HB IX sudah mendekati akhir dari hidupnya. Ia berbincang mengenai hal ini dalam ungkapan-ungkapan yang terselubung dan anaknya (sekarang HB X) mengetahui apa
Suyanto, Faham Kekuasaan Jawa
yang akan terjadi pada ayahnya dan ia akan menggantikan kedudukannya. Meskipun ia tidak sedikitpun mengucapkan kata-kata mengenai wahyu, tetapi pendapat Gusti Prabukusumo, adik dari HB X dan Gusti Murtiyah dari kraton Kasunanan, menyatakan bahwa wahyu itu melekat pada diri seorang penguasa dan orang mempercayai bahwa wahyu ada dalam diri HB X. Para elit berpendapat bahwa orang biasa tidak mempunyai wahyu. Dalam hal ini apakah ia, Gusti Prabukusumo dan HB X, mempercayai bahwa wahyu itu ada atau tidak, agak sukar bagi peneliti untuk menarik kesimpulan karena mereka tidak dengan langsung menyatakan bahwa mereka mempercayainya. Tetapi dari kata-katanya bahwa kalau ia terus menerus berdoa ia takut ketiban wahyu, apakah ungkapan kata-kata Gusti Prabukusumo tersebut belum cukup untuk mengatakan bahwa ia mempercayai adanya wahyu? Mungkin ia, Gusti Prabukusumo, meragukan apakah wahyu masih ada sampai masa sekarang mengingat kedudukan kakaknya telah dijamin oleh Undang-undang negara dan tampilnya HB X adalah melalui proses politik yang rasional. Berbeda dengan Gusti Prabukusumo, Gusti Murtiyah yang adalah anggota DPR-RI dari Fraksi PDIP, mempercayai bahwa kekuasaan memerlukan wahyu. Begitu pula Kanjeng Gondokusumo, anggota DPRD DIY. Bahkan, menurut informan tersebut dalam masa sekarang pun hal itu ada. Seorang elit dari Mangkunegaran KRAy. Hilmiyah mempercayai bahwa wahyu itu memang ada dan wahyu dapat keluar dari seseorang apabila orang tersebut meninggal dunia. Hal inilah yang diketahuinya ketika kakeknya Mangkunegoro VII meninggal dunia, dari tubuh kakeknya keluar sebuah sinar yang kebiru-biruan (wawancara penulis). Sebagai kesimpulan dari persoalan mengenai apakah wahyu itu melekat pada
211
kekuasaan atau tidak, terdapat beberapa pandangan. Elit kraton Kasunanan baik mereka yang informan utama ataupun pendukung begitu pula seorang elit dari Mangkunegaran, mempercayai bahwa wahyu melekat pada kekuasaan. Salah seorang elit dari Yogyakarta mempunyai pandangan yang sama dengan mereka. Dua orang elit dari Yogyakarta, seorang dari Kasultanan yaitu HB X dan seorang dari Pakualaman yaitu Pakualam IX tidak menyatakan bahwa mereka mempercayai wahyu, tetapi seorang elit, Gusti Prabukusumo, menyatakan bahwa wahyu tidak bisa melekat pada orang yang biasa. Jadi berdasarkan keterangan elit tersebut, kedua elit yang mempunyai posisi di pemerintahan tersebut, semestinya dalam diri mereka melekat wahyu. Elit tersebut mempercayai adanya wahyu, meskipun tidak diutarakan secara langsung. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa wahyu didapat melalui laku atau ngelmu kasampurnaan. Para subjek penelitian dan para informan pendukung melakukannya karena hal tersebut merupakan salah satu dari aspek kehidupan spiritual kraton. Masalah benda-benda yang dianggap berkekuatan spiritual Wahyu yang telah diuraikan di atas merupakan sumber kekuasaan dan legitimasi bagi para penguasa. Tanpa wahyu kekuasaan itu tidak akan berarti apa-apa. Sumber lain yang menopang untuk legitimasi kekuaasaan adalah berbagai barang pusaka kraton dan tempattempat yang dianggap sakral. Berbagai hasil wawancara mendalam menunjukkan bahwa semua informan mengetahui berbagai benda pusaka dan tempat-tempat yang dianggap sakral yang sampai sekarang masih sangat diyakini kekuatan spiritualnya. Tempat-tempat yang dianggap mempunyai kekuatan spiritual, yaitu empat kiblat yang masing-masing mempunyai penjaga. Di Selatan,
212
Kanjeng Ratu Kidul; di Utara, Kanjeng Ratu Kalayuwati; di Timur, Kanjeng Sunan Lawu; dan di Barat, Kanjeng Ratu Kedhaton di Gunung Merapi dan Merbabu. Para penunggu tempat-tempat tersebut dipercaya sebagai pelindung kerajaan Mataram. Ia menyebutkan semua itu merupakan simbol dalam kekuasaan Jawa, seperti Parangtritis yang merupakan tempat pertemuan Panembahan Senapati dengan Ratu Kidul. HB X mengatakan bahwa semua tempattempat tersebut merupakan simbolisasi dari ajur-ajer (menyatu), ia mengakui akan keberadaan tempat-tempat tersebut sebagai tempat-tempat yang sakral. Sebagai seorang Sultan dan juga seorang Gubernur, ia tetap sadar bahwa di tangannya lah stabilitas wilayahnya bergantung. Kata-kata ajur-ajer menunjukkan bahwa ia berkewajiban menciptakan keseimbangan dan keselarasan antara dunia empirik yaitu wilayah pemerintahannya dan dunia metaempirik, yaitu empat kiblat tersebut. Dari ungkapan wawancara tersebut terlihat bahwa ia tidak menolak mengenai eksistensi dunia yang gaib tersebut. Sebagai penguasa kraton, ia tetap menjalankan tuntutan budaya kratonnya, yaitu tetap menjalankan tradisi yang telah berakar. Begitu pula pandangan para elit lain baik dari kraton Surakarta ataupun Yogyakarta. Seperti Pakualam IX, meskipun ia tidak memberikan pendapat tentang hal yang sakral dan gaib, tetapi sebagai seorang yang menganut kejawen yang kental, tentunya ia mengetahui seluk beluk tentang masalah adiduniawi. Bagi Gusti Prabukusumo, adik HB X, Ratu Kidul hanya dianggap sebagai legenda. Para elit dari kraton Kasunanan, baik yang menjadi subjek penelitian maupun para informan pendukung, sangat mempercayai akan hal yang sakral dan gaib, terutama peranan Ratu Kidul. Bagi KRAy Hilmiyah dari Mangkunegaran, ia mengetahui mengenai Ratu Kidul hanya dari
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005
ceritera orang saja, tetapi mengenai tempattempat sakral dan hal-hal yang gaib lainnya ia mempercayai bahwa hal tersebut tidak boleh diabaikan. Setelah mengemukakan pandangan para elit dari keempat kraton, yaitu Kasunanan, Mangkunegaran, Kasultanan dan Pakualaman maka beberapa kesimpulan dapat dikemukakan. Pandangan mereka terhadap yang gaib adalah berbeda-beda meskipun tidak secara tajam. Semua subjek penelitian mengetahui akan halhal yang gaib dan tempat-tempat yang sakral. Tetapi tidak semua dari mereka memberikan pernyataan bahwa mereka mempercayai mengenai hal tersebut. Di antara mereka yang dengan tidak ragu menyatakan bahwa mereka mempercayai hal tersebut, adalah para elit dari kraton Kasunanan termasuk mereka yang menjadi informan pendukung dan seorang elit dari kraton Pakualaman, Kanjeng Gondokusumo dan seorang informan pendukung RM. Puntodewo. Sedangkan seorang elit dari kraton Mangkunegaran KRAy. Hilmiyah menyatakan bahwa ia belum dapat mengatakan bahwa ia mempercayai akan yang gaib dan tempattempat yang sakral. Ia hanya mengetahui dari orang-orang saja. Memang ia merasakan ada angin kencang pada waktu upacara perkawinan putri dari HB X baru-baru ini, tetapi benarkah pada waktu itu Ratu Kidul datang seperti yang dikatakan oleh banyak orang? Dua orang elit yang menduduki jabatan politis yaitu HB X dan Pakualam IX mengetahui bahwa yang gaib itu ada, tetapi cara mereka mengutarakan hal tersebut adalah secara terselubung. Satu orang menggunakan kata-kata ajur ajer dan yang seorang lainnya menggunakan kata ajowere (tidak semua boleh diketahui), terutama bagi hal-hal atau benda-benda yang dianggap sakral. Sedangkan Pakualam IX menyatakan bahwa kaitan kekuasaan dengan yang adiduniawi adalah,
Suyanto, Faham Kekuasaan Jawa
Itu sama saja di seluruh dunia juga begitu. Di Thailand juga, misalnya, ada kaitan dengan supranatural.
Pernyataannya di atas, secara tidak langsung, menunjukkan bahwa ia mengakui bahwa kekuasaan itu berkaitan dengan alam adiduniawi. Sedangkan seorang elit lain dari Kasultanan Gusti Prabukusumo mengetahui bahwa yang gaib dan sakral itu ada, tetapi masalah apakah ia mempercayai hal tersebut tidak mudah untuk menarik kesimpulan, karena sama seperti kedua orang elit terdahulu, mereka tidak memberikan pernyataan bahwa mereka mempercayai hal tersebut. Berbeda dengan para elit dari Yogyakarta, Kanjeng Gondokusumo dari Pakualaman dan seorang informan pendukung, RM Puntodewo, dengan tidak ragu mereka menyatakan bahwa mereka mempercayai alam adiduniawi. Tentang benda-benda pusaka yang diyakini mempunyai kekuatan magis spiritual, seorang informan pendukung, Prof. Selosoemardjan, menyatakan bahwa istana di Surakarta dan Yogyakarta itu penuh dengan benda-benda pusaka untuk melindungi raja dan hanya raja sajalah yang cocok untuk memakainya. Seorang elit lainnya, yaitu Gusti Prabukusumo mempercayai bahwa benda pusaka dalam hal ini adalah keris itu mempunyai kekuatan spiritual, tetapi ia belum mengetahui sampai di mana kekuatan tersebut. Berbeda dengan mereka, Kanjeng Gondokusumo menyatakan bahwa ia mempercayai betul bahwa benda-benda pusaka tersebut mempunyai kekuatan spiritual.
Pandangan para elit tentang pemimpin masa kini Uraian di bawah ini tidak akan menyebutkan individu seorang pemimpin. Penilaian para elit akan ditujukan pada bagaimana sebenarnya elit harus bertindak dan bertingkah laku dalam membina masyarakat atau rakyatnya. Hasil wawancara menunjukkan bahwa semua elit
213
mengakui akan proses-proses politik modern dalam menentukan para pemimpin di puncak kedudukan ataupun elit lain yang berada di lembaga-lembaga pemerintahan dan politik. Dalam melihat dan menilai para elit politik tersebut ternyata, mereka masih memakai ukuran-ukuran nilai tradisi dan budaya mereka. Mereka umpamanya melihat keberhasilan seorang pemimpin yang memerintah tidak hanya dinilai bahwa mereka adalah pemimpin yang dapat mengkombinasikan nilai-nilai Indonesia dan nilai-nilai politik Barat, mempunyai kemampuan dan strategi politik yang tepat pada waktu itu, tetapi para pemimpin tersebut dinilai sebagai pemimpin yang dialiri oleh darah trah Mataram. Mereka dikatakan sebagai lembu peteng, dari penguasa Surakarta dan Yogyakarta. Beberapa informan berpendapat bahwa apabila pemimpin itu seorang Jawa, maka ia harus tahu Jawanya. Artinya ia harus tahu menempatkan dirinya sebagaimana mestinya. Janganlah seseorang yang bukan raja memperlakukan dirinya sebagai seorang raja. Mereka menganggap bahwa pemimpin tersebut sebagai seorang Jawa yang tidak mengetahui budayanya dengan baik. Apabila ia sering menggunakan konsep-konsep Jawa yang tidak tepat maka akan terjadi mispersepsi terhadap kata-kata yang dipergunakan elit tersebut. Seperti menggunakan kata lengser keparabon, dan lainnya. Kata-kata tersebut tidak tepat bila yang mengucapkannya bukan seorang raja. Dalam anggapan para informan, setiap penguasa tentu mempunyai wahyu. Tetapi haruslah diingat bahwa wahyu raja adalah tidak sama dengan wahyu presiden. Wahyu presiden adalah sama dengan wahyu senapati. Itu sebabnya seorang presiden sebaiknya menggunakan kata-kata yang sebagaimana seharusnya. Seorang pemimpin yang berkuasa hanya sebentar sebagai akibat pergolakan politik, ditafsirkan oleh seorang responden karena trah Mataramnya hanya tipis saja. Sedang seorang
214
penguasa haruslah sempurna fisik dan psikisnya. Tanpa hal tersebut jangan diharap bahwa ia akan dapat bertahan lama. Pandangan yang semacam ini adalah bersumber dari konsep nilai kepemimpinan secara tradisional. Meskipun jaman telah berubah dan konsep demokrasi berlaku bagi semua orang tanpa memandang unsur seks, tetapi salah seorang elit berpendapat bahwa pemerintahan seorang peempuan tidak akan lama. Sejarah Jawa menunjukkan hal tersebut. Antara lain ia menyebutkan Prabu Kenyo yang memerintah sebagai ratu penyela sambil menunggu seorang penguasa yang sebenarnya untuk memerintah yaitu satryo piningit. Satu hal yang tak dapat dipungkiri menurut mereka, adalah bahwa para pemimpin tersebut tidak dapat melepaskan diri mereka dari pengaruh tradisi lama mengenai kekuatankekuatan magis. Soekarno yang tak diragukan lagi karena ilmu Baratnya yang telah membuat dirinya besar, masih juga percaya akan pusakapusaka kraton. Makam para leluhur dan berbagai benda pusaka milik kraton yang dipercaya mempunyai kekuatan magis dan yang dipercaya dapat memberikan kepercayaan dan ketenangan bagi penguasa, sering dipinjam oleh para elit dari luar kraton. Hal ini menunjukkan bahwa mereka secara sembunyisembunyi juga masih mempercayai hal yang bersifat magis religius. Begitu pula Suharto sebagai penguasa yang sangat kuat, ia sangat kental diwarnai oleh hal-hal yang irasional yaitu selalu dikelilingi oleh “orang-orang pinter” dan sering meminjam pusaka kraton. Begitu pula banyak elit yang pergi ke makam para leluhur mereka pada waktu mereka sedang berjuang untuk meraih kekuasaan politik untuk memegang jabatan negara. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka, para elit tersebut secara tidak langsung tetap mengakui akan kekuatan-kekuatan kosmis yang dapat menopang kekuasaan tersebut.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005
Mengenai kemelut politik yang terjadi sekarang ini, mereka beranggapan bahwa hal tersebut terjadi karena banyak elit yang tidak berbudi luhur dan dipenuhi oleh sifat-sifat pamrih. Anderson menggambarkan pamrih sebagai berikut: Pamrih adalah suatu istilah yang rumit yang barangkali dapat diartikan sebagai “motif pribadi yang tersembunyi”.Artinya ialah mengerjakan sesuatu, bukan karena tindakan itu harus dilakukan, melainkan karena kepentingankepentingan dan keinginan-keinginan pribadi terpenuhi dengan melakukannya.6
Budi luhur ini penting karena dari sinilah akan tercipta suatu pemerintahan yang baik. Budi luhur dapat merupakan dasar bagi elit untuk berpolitik supaya tidak kebablasan (keterlanjuran), karena mereka akan dapat mengekang diri. Di samping itu budi luhur dapat melahirkan elit yang memerintah dengan penuh keihlasan, memihak kepada rakyat tanpa pamrih sehingga dapat dijadikan panutan. Hal yang penting seorang penguasa hendaknya memiliki sifat Asthabrata yaitu: • dana yang tidak terbatas, “kedermawanan”, sifat Batara Endra, kepala semua dewa bawahan; • kemauan untuk menekan semua kejahatan, sifat dewa maut, Yama; • berusaha membujuk dengan ramah dan tindakan yang bijaksana, sifat dewa matahari, Surya; • kasih sayang, sifat Batara Candra; • pandangan yang teliti dan pikiran yang dalam, sifat dewa angin Bayu; • kedermawanan dalam memberikan harta dan hiburan, sifat dewa harta dunia, Kuwera; • kecerdasaan yang tajam dan cemerlang dalam menghadapi kesulitan macam apapun, sifat dewa lautan, Baruna dan; 6
Benedict R O’ G. Anderson, dalam Budiardjo (1984:90).
Suyanto, Faham Kekuasaan Jawa
•
keberanian yang berkobar-kobar dan tekad yang bulat dalam melawan setiap musuh, sifat dewa api, Brama (Moertono 1985:52).
Pemimpin juga harus bersifat s a b d o pandito ratu artinya harus dapat memegang janji tentang apa yang telah diucapkannya. Dapat disimpulkan bahwa penilaian yang dipakai oleh para informan terhadap para elit politik masa kini, adalah mereka tetap menggunakan patokan-patokan dari budaya Jawanya. Satu hal yang barangkali dapat diambil bagi para elit kita masa kini adalah agar mereka memupuk budi luhur karena melalui budi luhur inilah pemerintahan yang bersih dapat dilahirkan. Tentunya tanpa menafikan mekanisme kontrol politik yang sudah semakin melemah sekarang ini.
Kesimpulan Uraian di atas memperlihatkan bahwa para elit kraton, meskipun pengungkapan mereka dilakukan dengan cara yang berbeda, masih sangat kuat menghayati budaya kratonnya yaitu mereka tetap terlibat penuh dalam menjalankan tradisi kraton, seperti selalu terlibat dalam berbagai ritual spiritual kraton. Faham kekuasaan Jawa yang bersifat adikodrati, berkaitan erat dengan hal-hal yang transendental. Sumber-sumber bagi kekuasaan tersebut adalah bersifat spiritual adiduniawi dan tan kasat mata. Mereka memahami dan mengetahui bahwa sumber kekuasaan yang gaib itu ada dan bahwa yang gaib itu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan mereka. Meskipun pengaruh perubahan karena modernisasi dengan segala aspeknya telah melanda Indonesia termasuk Surakarta dan Yogyakarta, tetapi tampaknya pengaruh nilainilai budaya Jawa lebih dominan dalam alam pikiran para elit tersebut. Mereka tetap menghayati semua aspek spiritual yang melekat pada tradisi kraton
215
mereka. Mengapa hal tersebut tetap terpateri dalam pemikiran mereka adalah karena masyarakat Jawa pada umumnya tidak membedakan antara dunia empirik dan metaempirik, yang telah disosialisasikan secara kultural selama berabad-abad. Dunia metaempirik yang transendental dianggap ada dan nyata dan mereka menganggap bahwa hal tersebut adalah “hidup” sebagaimana dunia empirik. Pusat kekuatan adiduniawi dipercayai berada di Laut Selatan. Pergi menyepi untuk melakukan semedi dengan pergi ke tempattempat yang dianggap sakral seperti pantai Parangtritis yang dipercayai sebagai tempat bertemunya leluhur pendiri Mataram dengan Ratu Kidul, merupakan salah satu cara untuk mencari kehendak Tuhan atau untuk mengetahui apa yang akan terjadi kelak. Dalam perspektif Babad Tanah Jawi disebut sebagai neges kersaning hiyang inkang murbeng pandulu yaitu mencoba memahami apa yang dilihat atau maneges kersaning pangeran yaitu mencoba untuk memahami kehendak Pangeran. Tujuan tersebut hanya dapat dicapai apabila seseorang memegang atau menguasai ngelmu kasampurnaan. Meskipun tidak semua dari para elit tersebut memberikan jawaban yang jelas mengenai apakah mereka mempercayai tentang aspek dari faham kekuasaan Jawa, tetapi pandangan mereka tentang kejawaan masih sangat kuat. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi resistensi budaya Jawa dalam lingkungan elit kraton dan juga pada masyarakat kedua daerah tersebut, meskipun kedua daerah tersebut telah mendapatkan kontak dengan budaya Islam dan Barat yang relatif kuat. Penetrasi kedua budaya tersebut di Indonesia dan khususnya di Jawa secara empirik tampaknya belum dapat mencabut budaya Jawa dari akarnya. Sampai sekarang ia masih tetap dapat bertahan, bahkan penetrasi Islam telah menciptakan suatu perpaduan kultural yang
216
cantik yang melahirkan budaya Jawa yang sinkretik seperti yang diperlihatkan oleh para informan. Kedua budaya tersebut dapat hidup berdampingan dengan damai. Kewajiban dalam agama Islam dapat berjalan bersama secara damai dengan ritual-ritual budaya Jawa yang bernafaskan budaya pra-Islam. Kitapun dapat melihat bahwa daerah konsentrasi Islam yang disebut dengan kauman berada tidak jauh dari kraton. Sebaliknya, perubahan-perubahan sebagai dampak dari penetrasi Barat, yaitu modernisasi dengan segala aspeknya, tidak menyebabkan perubahan secara mendasar pada aspek kultural Jawa yang sampai sekarang masih tetap kuat. Resistensi atau bertahannya budaya Jawa yang jelas mewarnai faham kekuasaannya, disebabkan karena dampak dari modernisasi belum berhasil mengubah lapisan bawah masyarakatnya. Modernisasi hanya menyentuh sebagian kecil masyarakat dan elit yang tersosialisasikan oleh budaya kratonnya yang telah berakar selama berabad lamanya. Hal inilah yang menyebabkan penetrasi Barat tak dapat mengubah pandangan kejawaan mereka. Resistensi ini tetap kuat karena budaya Jawa yang terwadahi dalam budaya kraton, tetap melekat pada masyarakatnya yang sebagian besar masih hidup dalam kultur petani yang mengagumi kraton dengan segala isinya. Dalam kerangka Indonesia menuju negara yang demokratis, kedudukan faham kekuasaan Jawa akan lebih bermakna apabila faham tersebut diposisikan sebagai spiritual power bagi para pemimpin Jawa yang masih njawani. Sebagai spiritual power, faham kekuasaan Jawa akan meneguhkan seorang pemimpin untuk dapat mengontrol dirinya sendiri di samping mau menaati kontrol dari negara. Tetapi faham kekuasan tersebut akan kehilangan makna dan bahkan akan menghambat pertumbuhan demokratisasi apabila ia diaplikasikan dalam kehidupan politik praktis.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005
Sebagai kesimpulan akhir, penulis berpendapat bahwa, • persepsi dominan dari para elit, baik informan utama maupun pendukung, menunjukkan bahwa penghayatan mereka terhadap faham kekuasaan Jawa masih kuat. Mereka masih tetap teguh memegang tradisi kraton dan masih terlibat penuh pada semua ritual kraton;
•
•
penetrasi budaya Barat belum dapat mencabut para elit kraton dari budaya Jawanya. Roh dan jiwa mereka masih tetap lekat dengan budaya Jawa yang melingkupi kraton mereka; faham kekuasaan Jawa akan sangat bermakna apabila ia diposisikan sebagai spiritual power bagi para penguasa yang masih njawani.
Referensi Anderson, B.R.O’G. 1965 Mythology and the Tolerance of the Javanese. New York: Cornell Univ. S.E.A.P., Modern Indonesia Project Monograph Series. 1977 “The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam C. Holt Culture and Politics in Indonesia. Ithaca, London: Cornell University Press. Hlm. 1–69. 1990 Language and Power, Exploring Political Cultures in Indonesia. Chicago: The Wilder House Board of Editors and the University of Chicago. Berg, C.C. 1974 Penulisan Sejarah Jawa. Terj. S Gunawan. Jakarta: Bhratara. Budiardjo, M. 1984 Aneka Pemikiran TentangWibawa dan Kuasa. Jakarta: Sinar Harapan. De Jong, S. 1976 Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Geertz, C. 1965 Old Societies and New States, The Quest for modernity in Asia and Africa. New York: The Free Press; London: Collier - Macmillan Ltd. 1969 The Religion of Java. New York: The Free Press, London: Collier-MacMillan Limited. 1977 “Afterword: The Politics of Meaning”, dalam C. Holt (peny.) Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell Univ. Press. Geertz, H. 1961 The Javanese Family, A Study of Kinship and Socialization. The Free Press of Glencoe, Inc. Heine-Geldern, R. 1956 Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia. Ithaca, New York: Southeast Asia Program, Cornell University. Holt, C. (peny.) 1977 Culture and Politics in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press.
Suyanto, Faham Kekuasaan Jawa
217
Koentjaraningrat 1974 Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: P.T.Gramedia. Magnis-Suseno, F. 1984 Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia. 1987 Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT. Gramedia, 1987. Moertono, S. 1968 State And Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period 16th to 19 th Century. Ithaca, New York: Modern Indonesia Project: Department of Asia Studies, Cornell University. 1984 “Budi dan Kekuasaan dalam Konteks Kesejarahan”, dalam M. Budiardjo Aneka Pemikiran TentangWibawa dan Kuasa. Jakarta: Sinar Harapan. 1985 Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau, Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI samapai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Moedjanto. G. 1987 Konsep Faham kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta:Penertbit Kanisius. Mulder, N. 1973 Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ricklefs, M.C. 1978 Modern Javanese Historical Tradition: A Study of an Original Kartasura Chronicle and Related Materials. London WCIE 7HP: School of Oriental and African Studies University of London. 1998 The Seen and Unseen Worlds In Java, History and Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II. Honolulu: Asian Studies Association of Australia in association with Allen & Unwin and University of Hawai’i Press Honolulu. Simuh 1999
218
Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005