REKACIPTA TRADISI BETAWI - JOURNAL UI

Download These days there are many who believe that the Betawi will become mere ... Pelestarian dan Pemanfaatan, Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendir...

0 downloads 419 Views 36KB Size
Rekacipta Tradisi Betawi: Sisi Otoritas dalam Proses Nasionalisasi Tradisi Lokal1 Yasmine Zaki Shahab (Universitas Indonesia) Abstract These days there are many who believe that the Betawi will become mere legends of an ethnic group that once lived in Jakarta. Even as they are aware of the existence of Jakarta’s indigenous people, they are swept by the myth that this ethnic group has been marginalized, and gradually losing its identity as a result of development. However, the voice of the Betawi is now being heard—including their demand that the office of Governor of Jakarta be held by a Betawi—leading many to ask: ‘Who are they?’ What the Betawi are doing is in contrast to the myths surrounding them. The author sees the matter as a contradicting viewpoints of Betawi. Although many believe that this ethnic group is becoming marginalized and in the process of disappearing, the author believes the opposite is true. The Betawi are becoming more noticeable; and they are playing a larger role in Jakarta’s history. They are not in the process of disappearing, but are re-appearing. They are not losing their identity; instead, they are creating, and in fact have found and are actively expressing Betawi identity as a means of representing their existence. This has been going on since the 1970’s in many aspects of life. This article focuses on art as one aspect. The author believes has been given much attention by actors in the invention of tradition. The outcome has been a qualitative and quantitative improvement in the existence of the Betawi ethnic group, which has in turn raised the attention of those any deal with the Betawi people. Several issues are discussed here: when did all these begin among the Betawi? What triggered the process? Who are involved, and who, especially, are the active players? If art is reinvented, are the effects limited to art and matters of identity and self-representation; or are there wider ranging consequences? If the latter is the case, then the author expects the use of cultural aspects for non-cultural ends. How will this take place? With a focus on the actors of reinvention, the question to be addressed is who holds authority in the reinvention of tradition in efforts to achieve non-cultural goals through a cultural approach, and how does this come about?

1

Tulisan ini berasal dari makalah yang disajikan dalam panel: ‘Pariwisata Indonesia dan Globalisasi: antara Pelestarian dan Pemanfaatan, Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri’, dalam Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2: ‘Globalisasi dan Kebudayaan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru’, Kampus Universitas Andalas, Padang, 18-21 Juli 2001.

46

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

Penasionalisasian tradisi lokal tampaknya telah berjalan cukup lama dalam sejarah perjalanan umat manusia (Hobsbawm 1989). Sebagian telah berlangsung sejak 200 tahun yang lalu (Bernard 1989; Ranger 1989; TrevorRopper 1989), dan sebagian lainnya baru terlaksana beberapa tahun terakhir (Hellwig 1989; Shahab 1994; Maunati 2000; Dyson 2001; Hijang 2001; Kumbara 2001). Sebagian dari proses ini direkacipta dengan sadar dan sengaja dalam usaha nasionalisasi tradisi lokal, dan sebagian lagi terjadi tanpa disengaja yang akhirnya menuju pada nasionalisasi tradisi lokal. Proses nasionalisasi tradisi lokal terus berjalan hingga kini dalam kedua bentuknya, yang sengaja dinasionalisasikan, serta yang tidak sengaja telah ternasionalisasikan. Baik disengaja atau tidak, tradisi-tradisi lokal dengan wajah dan fungsi baru itulah yang dikategorikan sebagai rekacipta tradisi dalam tulisan ini. Semua tulisan mengenai rekacipta tersebut di atas umumnya membahas tujuan serta faktorfaktor yang melatar-belakangi proses rekacipta ini. Tidak ada dari tulisan tersebut yang membahas mengenai sisi otoritas dalam rekacipta tradisi, artinya siapakah yang mempunyai kekuasaan dalam proses. Diskusi ini menjadi berarti ketika di dalam proses rekacipta terdapat pertentangan-pertentangan saat terjadi perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan, khususnya dalam menentukan batasan kepemilikan. Data empiris menunjukkan bahwa dalam banyak masalah rekacipta tradisi, salah satu faktor yang paling krusial adalah label etnis yang berhak disandang untuk hasil kreasi tersebut. Proses rekacipta tradisi Betawi memberi peluang luas untuk membahas sisi otoritas dalam proses rekacipta tradisi. Pertama, rekacipta tradisi Betawi dilakukan oleh orang Betawi dan orang nonBetawi, oleh lembaga Betawi dan lembaga nonBetawi, oleh lembaga pemerintah dan oleh lembaga non-pemerintah.

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

Kedua, dalam proses rekacipta ini—yang telah dan sedang terus berlangsung sejak tahun tujuhpuluhan—ternyata telah terjadi pergeseran kekuasaan dalam arti waktu dan ruang dalam pengambilan keputusan batasan kebetawian. Terdapat perbedaan pendapat terutama pada aspek pelabelan hasil rekacipta, apakah produk rekacipta tersebut dianggap tradisi Betawi sehingga dapat dikategorikan sebagai Betawi atau sebagai nonBetawi. Adanya tiga pihak utama dalam proses rekacipta ini: Betawi dan nonBetawi, lembaga pemerintah dan lembaga nonpemerintah serta lembaga dan individu/profesional, menyebabkan proses ini amat diwarnai dengan pertentangan-pertentangan, suatu prasyarat untuk mengukur sisi otoritas dalam proses ini. Representasi masing-masing kelompok yang terdapat dalam proses rekacipta yang sekaligus menjadi subyek diskusi ini adalah Dinas Kebudayaan DKI yang merupakan representasi Pemda DKI; Lembaga Kebudayaan Betawi yang merupakan representasi masyarakat Betawi; praktisi/profesionalisme bidang seni yang merupakan representasi kelompok nonBetawi, khususnya mereka yang berkiprah di dunia seni. Orang Betawi yang berkiprah dalam proses rekacipta ini umumnya adalah kelompok elit Betawi melalui organisasiorganisasi Betawi.2 Ketiga kelompok dalam proses rekacipta ini, khususnya kelompok pemerintah dan Betawi, merupakan kelompokkelompok yang amat berbeda dalam arti kekuasaan. Pengertian elit dan kekuasaan di sini akan difokuskan dalam batasan elit dan kekuasaan menurut Bottomore (t.t.) yang membagi kelompok elit atas dua bagian, yaitu elit yang memerintah yang terdiri dari individu yang 2

Untuk organisasi Betawi lihat Shahab (1994:291– 346); kini variasi organisasi jauh lebih kompleks dibandingkan saat penelitian dilakukan tahun 1989.

47

secara langsung maupun tidak langsung memainkan bagian yang berarti dalam pemerintahan; elit yang memerintah yang terdiri dari mereka yang tidak termasuk dalam kelompok pertama. Seperti dikatakan Mosca (1939), dalam semua masyarakat, dari yang belum begitu berkembang hingga masyarakat yang sudah kuat dan berkembang pesat, senantiasa muncul dua kelas: kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang pertama senantiasa lebih sedikit jumlahnya, mempunyai monopoli kekuasaan, dan memperoleh semua keuntungan yang timbul karena itu; kelas yang kedua yang jumlahnya lebih banyak, dipimpin dan diawasi oleh kelas pertama. Kelompok pertama ini dapat memerintah karena kelompok ini memang terorganisasi, terdiri dari individu-individu yang lebih unggul. Anggota-anggota dari kelompok ini memiliki atribut yang mendapat penghargaan dan pengaruh dalam masyarakat tempat mereka berada. Kelompok kedua merupakan kelompok elit dari masyarakat yang lebih luas, yang berperan atas nama kelompok yang lebih luas itu. Dalam masyarakat modern, kelompok pertama tidak begitu saja ditempatkan di atas seluruh masyarakat, tetapi berhubungan erat dengan masyarakat melalui kelompok kedua yang kurang berhubungan dengan pelaksanaan kekuasaan, walaupun mereka ini mempunyai pengaruh sosial yang penting. Yang tersebut terakhir adalah kelompok-kelompok fungsional dan pemangku jabatan yang memiliki status tinggi dalam suatu masyarakat. Untuk kasus tulisan ini, pemda DKI merupakan kelompok elit yang memiliki kekuasaan formal, dan LKB merupakan kelompok elit Betawi yang berfungsi sebagai representasi Betawi, penghubung antara pemda DKI dan masyarakat Betawi. Awal berdirinya organisasi Betawi pada umumnya diprakarsai orang Betawi Kota, sejumlah kecil orang Betawi Tengah, dan tidak

48

ada satu pun orang Betawi Pinggir yang berpartisipasi.3 Oleh karena itu, dalam diskusi selanjutnya sebutan Betawi menunjuk pada orang Betawi Kota dan Tengah. Hanya ketika berbicara tentang Betawi Pinggir, maka akan disebut label tambahan pada kata Betawi. Sampai beberapa saat yang lalu, bila berbicara mengenai kelompok elit Betawi, kata ini menunjuk pada Betawi Kota dan Betawi Tengah. Kelompok elit agama lebih menunjuk pada kelompok Betawi Tengah, sedang kelompok elit politik lebih menunjuk pada kelompok Betawi Kota. Walaupun kini mulai terdapat pergeseran dan perubahan, lebih dominannya orang Betawi Kota dalam kelompok elit politik dan dominannya orang Betawi Tengah dalam kelompok elit agama merefleksikan sisa sejarah di atas.

Latar belakang proses rekacipta kesenian Betawi Deskripsi mengenai proses rekacipta tradisi Betawi akan terfokus pada peran dari Dinas Kebudayaan DKI, Lembaga Kebudayan Betawi (LKB) dan organisasi-organisasi Betawi lainnya, serta para praktisi dan profesional seni, dalam usaha melakukan generalisasi untuk mencapai pengertian siapakah sebenarnya pemegang kekuasaan dalam proses rekacipta tradisi lokal, khususnya kesenian. Hal itu 3

Deskripsi rinci tentang penggolongan orang Betawi atas Betawi Kota, Betawi tengah, Betawi Pinggir, Betawi Pesisir, Arab Betawi dan Cina Betawi (Shahab 1994: bab IV) pada mulanya mendapat protes dari sebagian kecil Betawi yang melihatnya sebagai pemecahbelahan (Majalah Kartini 1994). Tetapi, kami tetap berpendapat penggolongan ini penting sebagai pisau analisis untuk mengerti Betawi karena hingga beberapa waktu yang lalu amat jelas perbedaan yang terdapat di antara mereka. Bahwa penggolongan ini penting sebagai pisau analisis tampak pada semakin banyak dan umum orang berbicara tentang Betawi dengan menggunakan penggolongan ini. Kini, perbedaan antara golongangolongan Betawi tersebut praktis semakin hilang, mendekati homogenitas.

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

sekaligus menjawab mengapa kekuasaan berada di tangan mereka, dan apa saja faktorfaktor kontributor penentu kekuasaan tersebut. Sejarah berdirinya Dinas Kebudayaan DKI dan Lembaga Kebudayaan Betawi tidak dapat dipisahkan dari latar belakang sejarah proses rekacipta tradisi Betawi. Latar Belakang rekacipta tradisi Betawi tidak dapat dipisahkan dari peran Gubernur DKI Jakarta periode 1966– 1977, Ali Sadikin.4 Dari sini jelas bahwa proses rekacipta tradisi Betawi diawali oleh kelompok elit pemerintah. Ali Sadikin yang dalam—awal pemerintahannya—ditantang oleh kas DKI yang amat minim (Abayasekere 1989), serta wajah Jakarta yang kumuh, dilengkapi dengan minat dan kepeduliannya yang besar terhadap seni dan sejarah (Pemda DKI 1977; Ranadhan 1972), telah membawa Gubenur Jakarta ini pada program-program pengembangan Jakarta dan Betawi (Shahab 1994). Usaha ini menuntut penambahan satu devisi dalam struktur pemerintahan DKI yang tugasnya khusus menangani masalah kebudayaan, sehingga dibentuklah satu divisi baru yang dinamakan Dinas Kebudayaan DKI pada tahun 1968 (Shahab 1994; Ratih 2001; Purwo 2001).5 4

Walaupun ada segelintir kelompok yang menolak hal ini, saya tetap bertahan pada penemuan saya bahwa Ali Sadikin adalah inisiator dalam proses rekacipta tradisi Betawi (Shahab 1994: 168-176). Pendapat ini didukung oleh pertama, pemberian gelar ‘Bang’ untuk Ali Sadikin yang terus bertahan sebagai gelar penghormatan Betawi pada gubernur-gubernur Jakarta hingga saat ini. Kedua, penghargaan Betawi Awards pertama yang diberikan oleh masyarakat Betawi melalui ‘Masyarakat Betawi Sejabotabek’ (MABESBETAWI) kepada Ali Sadikin di Hotel Presiden pada tahun 2000 atas jasa-jasanya dalam kebetawian.

Ternyata usaha untuk mengangkat kebetawian ke permukaan dalam rangka mewarnai Jakarta dengan tradisi lokal tidaklah semudah yang diperkirakan. Bukan saja miskinnya pengetahuan serta perhatian yang pernah diberikan kepada kelompok ini, melainkan juga banyak ketidakjelasan, variasi serta pertentangan-pertentangan yang terdapat di dalamnya. Pertentangan-pertentangan ini berupa perbedaan pengertian serta penafsiran kebetawian antara kelompok-kelompok Betawi, serta antara orang Betawi dan pengamat Betawi. Untuk mengatasi usaha ini Pemda DKI menyelenggarakan ‘Pra-Lokakarya Kebudayaan Betawi’ pada tahun 1975 (Widjaja 1976). Salah satu hasilnya adalah pembentukan Lembaga Kebudayaan Betawi dengan SK Pemda DKI pada tahun 1976 yang bertugas menangani segala aktivitas kebetawian sebagai kepanjangan tangan dari Dinas Kebudayaan DKI. Yang terakhir bertugas menangani seluruh masalah kebudayaan yang ada di Jakarta. Usaha pertama Pemda DKI dalam menyentuh tradisi lokal adalah menggali dan mengembangkan teater rakyat Betawi, Lenong, dengan menunjuk Soemantri, Ali Shahab dan S.M. Ardan (Widjaja 1976) sebagai tim untuk menghidupkan kembali lenong yang sedang menuju pada kepunahan.6 Setelah berbulanbulan bekerja, ketiga orang anggota tim rekacipta lenong ini berhasil menampilkan lenong perdana pada tahun 1968 di Taman Ismail Mardjuki. Keberhasilan mereka tidak saja tampak pada meledaknya jumlah penonton, tetapi diikuti dengan munculnya grup-grup lenong dengan berbagai wajah; lenong rakyat yang berhasil mengangkat banyak aktor dan

5

SK Gubernur nomor cb8/1/127/1967 pada 19 September 1967 telah mengalihkan tugas DPDK yang berhubungan dengan kebudayaan kepada Dinas Kebudayaan. SK Gubernur 1b2/1/48 yang dikeluarkan pada 14 September 1967 telah meresmikan Dinas Kebudayaan dalam struktur pemda DKI.

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

6

Soemantri adalah seniman asal Jawa yang amat peduli akan hilangnya teater rakyat Betawi khususnya lenong; Ardan adalah penulis asal Betawi, dan Ali Shahab aktor, sekaligus produser dan sutradra film yang juga asal Betawi.

49

aktris lokal ke tingkat selebritis; lenong departemen sebagai media penyampaian program-program pemerintah; lenong mahasiswa yang pemainnya serta mayoritas konsumennya kelompok berpendidikan; lenong kelompok elit yang pemainnya anak-anak di bawah umur dan sebagainya, yang kesemuanya merupakan warna baru dalam lenong (Shihab 2002; Ardan 2002). Sebenarnya, lenong yang asalnya adalah milik orang Betawi di pinggiran Jakarta (Grijins 1976), pernah ditolak oleh orang Betawi Kota, khususnya kelompok menengah atas. Kelompok ini merupakan kelompok Betawi yang dominan jumlah dan perannya dalam proses pengkreasian kembali tradisi Betawi (Abayasekere 1985; Shahab 1994). Walaupun demikian, penolakan terhadap lenong hasil rekacipta tidak terlalu keras. Salah satu faktor penyebab mudahnya lenong diterima kelompok Betawi Kota pada umumnya ialah adanya dua dari tiga orang tim rekacipta lenong adalah anak Betawi Kota. Dalam melaksanakan pekerjaan ini telah diperhitungkan hal-hal yang dapat diterima dan hal-hal yang tidak dapat diterima orang Betawi, sehingga lenong tersebut mereka lihat sebagai representasi orang Betawi.7 Sebagai contoh kontras misalnya, munculnya Lenong Rumpi yang dinilai oleh orang Betawi tidak merefleksikan masyarakat Betawi. Demikian keras penolakan terhadap Lenong Rumpi, sehingga untuk menyelesaikannya diadakan Seminar Lenong Rumpi di Universitas Indonesia dengan peserta Lenong Rumpi, LKB, Pemda DKI, dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Diskusi seminar menunjukkan bahwa hal-hal yang menyebabkan Lenong Rumpi tidak dapat diterima oleh masyarakat Betawi adalah pertama, hal-hal yang 7

Cerita Pitung dan Nyai Dasima yang dimodifikasi dalam ‘Lenong Rekacipta’ menggambarkan dengan jelas proses ini (Shahab 1994).

50

berhubungan dengan agama; kedua, Lenong Rumpi tidak memenuhi pakem lenong; ketiga, cerita yang dibawakan Lenong Rumpi tidak menggambarkan orang Betawi masa kini. Kesenian Betawi lainnya yang diangkat pemda DKI adalah gambang keromong, jenis musik asal Betawi Pinggir yang penampilannya seringkali berasosiasi dengan perayaanperayaan yang diwarnai dengan pergaulan bebas, alkohol, dan judi. Warna gambang keromong amat bertentangan dengan warna paling mendasar dari Betawi, yaitu Islam. Oleh karena itu, gambang keromong mendapat penolakan keras dari masyarakat Betawi ketika pemda mengangkat gambang keromong sebagai musik Betawi. Tetapi, karena inisiator pemunculan gambang keromong adalah pemerintah, banyak acara yang di-sponsori pemerintah DKI memunculkan gam-bang keromong sebagai satu-satunya musik Betawi yang telah tersentuh program Dinas Kebudayaan. Para pelaksana program itu bukan orang Betawi. Penolakan orang Betawi ditampilkan dengan cara walk out tokoh-tokoh Betawi dari acara, segera setelah gambang keromong dimainkan. Sebaliknya, tidak ada kegiatan-kegiatan yang dijalankan orang Betawi Kota dan Betawi Tengah pada waktu itu yang memunculkan gambang keromong. Penolakan gambang keromong sebagai kesenian Betawi oleh orang Betawi cukup nyata sampai dengan akhir tahun delapan-puluhan. Pemunculan gambang keromong dalam acara Pemda amat berbeda penampilannya dengan pemunculan gambang keromong dalam bentuk aslinya. Pada acara-acara Pemda DKI, gambang keromong muncul tanpa alkohol, judi, dan penari-penari erotis. Secara bertahap, gambang keromong dengan wajah barunya diterima oleh orang Betawi. Kini, gambang keromong telah mewarnai acara-acara kebetawian, baik yang diselenggarakan oleh Pemda maupun oleh masyarakat Betawi. Pada

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

mulanya penerimaan ini hanya terbatas pada public life orang Betawi. Ketika Persatuan Wanita Betawi menawarkan latihan gambang keromong kepada para anggotanya, tidak ada respon, kecuali tawa derai. Tampaknya mereka melihat tawaran ini sebagai hal yang lucu dan sulit diterima. Jadi, walaupun kelompok elit mulai belajar untuk menerima rekacipta tradisi Pemda dan mencoba mensosialisasikannya pada kelompok Betawi, usaha ini ternyata tidaklah mudah. Gambang keromong tidak dilihat sebagai tradisi Betawi oleh orang Betawi. Setelah beberapa dekade, tampak bahwa Gambang keromong telah sepenuhnya diterima oleh masyarakat Betawi. Cabang seni ini telah mewarnai acara-acara kebetawian, baik yang diselenggarakan Pemda DKI maupun yang diselenggarakan orang Betawi, dalam public dan private sphere mereka. Ketika Keroncong Tugu diangkat menjadi musik Betawi, praktis tidak ada penolakan dalam proses ini, walaupun keroncong Tugu berasal dari kelompok keturunan Portugis di daerah Tugu yang beragama Kristen. Tetapi, acara keroncong itu sendiri dalam pertunjukannya tidak berhubungan dengan unsur yang bertentangan dengan agama. Mungkin itu sebabnya tidak ada kesulitan dalam mengangkat keroncong Tugu sebagai musik Betawi. Pengalaman gambang keromong amat berbeda dengan sejarah perjalanan cokek yang juga berasal dari pinggiran Jakarta. Seperti gambang keromong, pertunjukan cokek tidak dapat dipisahkan dari alkohol, judi, dan wanita. Tampaknya, usaha mencabut ketiga unsur ini dari cokek belum berhasil. Sejauh ini cokek berperan sebagai lahan inspirasi kreasi tari Betawi kontemporer. Kegagalan memisahkan faktor-faktor yang bertentangan dengan ajaran agama menyebabkan cokek tidak pernah dimunculkan dalam acara kebetawian, khususnya acara formal pemerintah dan Betawi pada umumnya.

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

Tari merupakan cabang seni lainnya yang umumnya berasal dari pinggiran kota Jakarta, (Betawi Pinggir) yang paling banyak dikreasi dan dimunculkan dalam acara kebetawian. Walaupun pada mulanya sering terdapat penolakan dari masyarakat Betawi terhadap hasil rekacipta tari Betawi karena tidak dilihat sebagai tari Betawi, secara lambat laun dalam waktu yang tidak terlalu lama, tari hasil kreasi ini muncul dengan label Betawi. Bukan saja tidak ada alasan ataupun kekurangan dari penampilannya, melainkan akan miskinlah tradisi kontemporer orang Betawi bila selalu menolak. Demikian peringatan yang selalu diberikan oleh para kreator tradisi kepada orang Betawi yang menolak kreasi mereka. Selain itu, orang Betawi juga mengakui keindahan tari rekacipta ini, dan menganggapnya sebagai suatu hal yang dapat dibanggakan sebagai identitas Betawi. Deskripsi berikut melukiskan pengalaman seorang tokoh Betawi dalam menanggapi tari Betawi hasil kreasi dari Dinas Kebudayaan. Kira-kira ada tujuh puluh orang yang diundang untuk menyaksikan tari blantek kreasi dari Dinas Kebudayaan. Hanya lima orang Betawi yang diundang dan satu diantaranya sebagai representasi LKB. Saya protes panitia bahwa komposisi undangan Betawi-nonBetawi ini tidak benar. Sejujurnya saya belum pernah mendengar atau melihat blantek seumur hidup saya. Menurut pandangan saya mereka tidak harus berpura-pura menyebut itu Betawi. Blantek adalah kesenian Buitenzorg. Betul kita miskin akan tari Betawi, tetapi blantek itu juga ditolak sebagai kesenian Sunda. Mereka harusnya memodifikasinya sebelum dipertunjukkan kepada umum. Kita dulu juga menolak lenong, tetapi setelah dimodifikasi perlahan-lahan kami terima lenong. Mereka juga harus berbuat sama terhadap blantek. Modifikasi, lalu perlahan-lahan perkenalkan kepada umum sebagai tradisi Betawi. Saya tidak suka pada orang LKB. Mengapa mereka setuju pada Dinas Kebudayaan? Tetapi waktu saya menghadiri acara Betawi di Senen beberapa tahun kemudian, harus saya akui bahwa tari blantek betul-betul bagus. Bahkan lebih bagus dari zifin.8 Namun, tari blantek tersebut telah dimodifikasi.

51

Salah satu faktor utama penyebab mudahnya tari diterima masyarakat Betawi karena penampilannya sendiri tidak bertentangan dengan agama, sopan dalam gerak dan busana. Walau demikian, pada awal proses digalakkannya tari Betawi, tidak ada orang tua Betawi yang mengijinkan anaknya menjadi penari. Bahkan, koreografer Betawi yang cuma dua orang jumlahnya, gagal untuk melibatkan anak Betawi. Hal itu karena orang Betawi masih melihat tari sebagai profesi yang ‘tercela’, tercerminkan pada julukan kembang latar untuk para penari. Kini, pandangan negatif terhadap profesi tari mulai bergeser dengan mulai terlibatnya anak Betawi dalam sanggar tari. Ada perbedaan dalam proses rekacipta tari yang dilakukan Pemda dan para koreografer nonBetawi dengan rekacipta tari yang dilakukan oleh koreografer Betawi. Pihak pertama lebih memusatkan lahannya pada tari yang berasal dari Betawi Pinggir, dan pihak kedua lebih mengkonsentrasikan lahan rekaciptanya pada tari milik Betawi Kota dan Betawi Tengah. Perbedaan menyolok antara keduanya adalah didominasinya produk rekacipta Betawi Kota dan Tengah oleh penari laki-laki dengan busana, iringan lagu, dan musik berwarna religius. Walaupun kreasi Pemda tidak berwarna religius, tidak ada unsur dalam koreografinya yang bertentangan dengan agama. Rekacipta tari berhubungan erat dengan rekacipta busana. Akhirnya, yang berkembang bukan cuma rekacipta busana tari, melainkan juga rekacipta busana Betawi pada umumnya (Shahab 2001). Banyak dari usaha rekacipta ini yang akhirnya menuntut direkaciptanya tradisi terkait, seperti misalnya upacara, simbol, dan sebagainya. Ini semua menghidupkan kembali banyak tradisi Betawi yang sudah menghilang. Bahkan, banyak upacara lingkaran hidup yang 8

Kreasi tari asal Betawi Tengah.

52

mulai ditinggalkan orang Betawi telah dihidupkan kembali sebagai efek samping dari kegiatan rekacipta tradisi Betawi. Terlibatnya orang Betawi sebagai narasumber telah merangsang orang Betawi untuk terlibat lebih jauh dalam proses rekacipta ini. Secara tidak sengaja, usaha pemerintah telah menghidupkan tradisi Betawi yang sedang menuju pada kepunahan. Orang Betawi yang pada tahun 50-an hingga tahun 70-an sedang mengalami krisis identitas, telah difasilitasi oleh banyak ‘Tradisi Rekacipta’ yang pada gilirannya telah memunculkan eksistensi Betawi. Usaha pemerintah ini juga telah merangsang orang Betawi yang telah semakin nyata eksistensinya untuk melakukan hal yang sama, dan perlahan-lahan mengambil alih peran yang selama ini dijalankan oleh pemerintah. Hal ini dimungkinkan bukan saja karena orang Betawi adalah pemilik tradisi tersebut dan yang paling mengetahui akan isi tradisi, melainkan juga karena eksistensi dan pengakuan terhadap eksistensi oleh pihak luar meningkat terus dari waktu ke waktu.

Kompetisi kekuasaan dan rekacipta tradisi Data empiris menunjukkan bahwa hal yang amat sulit untuk mewujudkan kompromi dalam rekacipta seni adalah bila cabang seni yang direkacipta tidak senafas dengan jiwa kebetawian, khususnya bila berhubungan dengan warna agama (baca:Islam). Sebagai contoh ialah diangkatnya gambang keromong sebagai musik Betawi. Gambang Keromong akhirnya diterima setelah berhasil menghilangkan hal-hal yang bertentangan dengan agama. Sebaliknya yang terjadi dengan cokek yang gagal menghilangkan hal-hal yang bertentangan dengan agama, gagal muncul dalam barisan produk hasil rekacipta. Apabila tidak bertentangan dengan agama, walaupun

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

orang Betawi tidak melihatnya sebagai tradisi Betawi, produk kreasi ini ‘terpaksa’ diterima oleh orang Betawi. Pada awal proses rekacipta Betawi, tidak banyak orang Betawi yang terlibat di dalamnya. Umumnya mereka yang terlibat dalam proses ini adalah pegawai Pemda serta kaum profesional yang dikontrak Pemda sebagai tenaga ahli. Umumnya mereka tidak mengerti Betawi dalam arti adanya variasi-variasi Betawi yang masing-masing mempunyai karakternya sendiri-sendiri, dan kadang-kadang sifat dari karakter ini agak bertentangan satu dengan lainnya. Dapat dipahami bila pengangkatan tradisi lokal menjadi tradisi nasional oleh Pemda sering ditolak Betawi, karena tidak dilihat oleh orang Betawi sebagai tradisi mereka. Terdapat beberapa kesulitan yang dihadapi kelompok Betawi pada awal poses rekacipta ini. Pertama, mereka yang terlibat dan dilibatkan dalam proses ini adalah kelompok Betawi Kota, padahal amat sedikit peran kesenian dalam kehidupan kelompok ini. Oleh karena itu, tidak banyak orang Betawi Kota yang berprofesi di bidang seni. Di samping itu, profesi di bidang seni merupakan profesi tercela karena kehidupan seniman berkaitan erat dengan hal-hal yang dilarang dalam agama. Minimnya orang Betawi yang terlibat dalam aktivitas kesenian bukan saja disebabkan dan terbatasnya peran seni dalam kehidupan mereka, melainkan juga miskinnya cabang-cabang seni pada kelompok Betawi. Hal ini menjadi kontributor rendahnya partisipasi orang Betawi dalam aktivitas kesenian. Umumnya cabang kesenian dari kelompok ini juga amat diwarnai agama, sehingga amat terbatas ruang untuk mengkreasi tradisi ini. Demikianlah para kreator yang nonBetawi telah memilih tradisi Betawi Pinggir sebagai lahan mereka. Sebaliknya, orang Betawi Kota dan Betawi Tengah tidak dapat berbuat banyak, termasuk menolak hasil kreasi Pemda, karena mereka sendiri tidak memiliki keahlian

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

dalam seni, serta tidak dapat menyediakan materi sebagai substitusi rekacipta yang mereka tolak. Organisasi-organisasi Betawi serta LKB hampir selalu kalah dalam kompetisi ini, dan hampir selalu menjadi pihak yang terpaksa menerima hasil kreasi, walaupun mereka tidak menyetujuinya. Tantangan terbesar yang mereka hadapi bila mereka menolak adalah tidak akan adanya kebetawian di Jakarta, padahal eksistensi kebetawian di Jakarta merupakan salah satu visi para tokoh dan organisasi Betawi. Ditantang oleh kenyataan miskin tradisi di satu pihak, padahal di lain pihak rekacipta merupakan tuntutan kebutuhan, secara perlahan-lahan kelompok elit Betawi mulai menerima hasil kreasi Pemda. Aktifitas kebetawian dengan simbol-simbol kebetawian telah memicu dan meningkatkan kepedulian orang Betawi terhadap kebudayaannya. Perhatian besar yang diberikan Pemda DKI serta kepedulian orang Betawi terhadap kebudayaannya telah menyebabkan kesenian Betawi meningkat dalam arti kuantitas dan kualitas, serta dalam arti waktu dan ruang. Bila usaha Pemda dalam merekacipta tradisi Betawi amat terfokus pada daerah pinggir karena dilihat sebagai lahan yang kaya tradisi, usaha para elit Betawi lebih terfokus pada tradisi Betawi Kota dan Betawi Tengah. Demikianlah kombinasi usaha rekacipta yang dilakukan oleh Pemda, praktisi/ profesional dan orang Betawi sendiri menyebabkan maraknya tradisi hasil rekacipta di Jakarta. Maraknya produk rekacipta tradisi Betawi telah memfasilitasi orang Betawi dengan seperangkat identitas kebetawian yang cocok dengan tuntutan situasi kontemporer yang selama ini absen dalam kehidupan orang Betawi. Dampak program pemerintah terhadap masyarakat Betawi adalah munculnya kembali identitas Betawi yang gilirannya memunculkan eksistensi Betawi. Eksistensi ini antara lain

53

muncul dalam bentuk menjamurnya organisasiorganisasi Betawi.9 Dengan adanya organisasiorganisasi, orang Betawi memiliki wadah untuk aktivitas yang tidak terbatas pada seni dan budaya, tetapi pada kehidupan sosial dan politik. Wakil dan suara Betawi kini muncul dalam semua nafas kota Jakarta melalui organisasi-organisasi mereka. Eksistensi Betawi yang marak ini menyebabkan dibutuhkannya keterlibatan orang Betawi dalam aktifitas kebetawian. Acara-acara kebetawian Pemda telah melibatkan anak Betawi melalui BAMUS BETAWI dan LKB serta jajaran yang ada di bawahnya. Menarik untuk mengutip komentar salah seorang tokoh Betawi ketika pada tahun 1975 dia diundang oleh panitia ‘Pra Lokakarya Betawi’. Satu keanehan bahwa orang Betawi dilibatkan dalam peristiwa ini. Banyak seminar, diskusi, perlombaan, festival Betawi tidak pernah melibatkan orang Betawi. Ada proyek yang dinamakan Penggalian dan Pendokumentasian Folklore Betawi yang tidak pernah melibatkan orang Betawi; festival musik dan teater tradisional Betawi juga lupa untuk melibatkan orang Betawi (Pelita 1976).

‘Acara Betawi kok tidak ada orang Betawinya’, itulah komentar yang muncul kini bila hal tersebut terjadi. Eksistensi Betawi dalam bentuk di atas, serta aktivitas-aktivas kebetawian yang dilakukan mereka bukan saja telah menimbulkan kepercayaan diri pada orang Betawi serta pengakuan pihak nonBetawi terhadap eksistensi mereka, melainkan juga telah menimbulkan dan meningkatkan kharisma pada orang Betawi. Kharisma dan kekuasaan mereka tampak pada 9

Kalau pada Mubes BAMUS BETAWI tahun 1996 hanya terdapat kurang dari 20 anggota, maka pada Mubes BAMUS BETAWI tahun 2001 tercatat 64 anggota. Bukan saja organisasi ini bertambah dalam kuantitas, tetapi juga dalam kualitas. Bahkan Ketua BAMUS amat terkejut akan perubahan yang terjadi.

54

tuntutan-tuntutan serta pernyataan sikap yang dikemukakan. Perbandingan kasus lenong kreasi sumantri dkk. dan ‘Lenong Rumpi’ menunjukan pergeseran otoritas rekacipta dari tangan Pemda DKI ke tangan Betawi. Pernyataan sikap yang paling sering muncul akhirakhir ini adalah tuntutan pengakuan eksistensi dan hak-hak budaya, serta hak sosial anak Betawi sebagai penduduk asli Jakarta yang telah banyak berperan dan berkurban untuk pembangunan Jakarta. Tuntutan utama akhirakhir ini yang harus terus dikumandangkan adalah tuntutan Putera Betawi sebagai gubernur DKI Jakarta dan dibangunnya Perkampungan Budaya Betawi oleh Pemda DKI. Tuntutan didirikannya Perkampungan Budaya Betawi telah terealisir dengan ditunjuknya Situ Babakan dan dimulainya pembangunan di lokasi ini. Jika pada beberapa dekade yang lalu tuntutan anak Betawi cuma tuntutan di ‘udara’, tampaknya tuntutan itu kini mendapat tanggapan, dan semakin mendekati kenyataan. Hal ini tampak misalnya pada pernyataan gubernur DKI yang menyatakan akan mendukung serta membantu merealisasikan tuntutan ini, dan janji partai-partai politik dalam Pemilu 1998 untuk mengangkat anak Betawi sebagai gubernur bila partai mereka menang dalam pemilu di Jakarta. Demikianlah bukan saja jumlah tuntutan hak-hak anak Betawi sebagai penduduk asli Jakarta yang meningkat dalam arti kuantitas dan kualitas, melainkan juga reaksi pihak luar terhadap tuntutan ini. Perhatian maupun kepedulian pihak luar tampak jauh lebih meningkat dibandingkan dengan perhatian dan kepedulian Pemda DKI sebelumnya terhadap penduduk Betawi. Perubahan posisi orang Betawi seperti tersebut di atas telah merubah posisi mereka dalam proses rekacipta tradisi Betawi saat ini. Kalau dulu mereka terpaksa harus menerima kreasi pihak luar, kini pihak luarlah yang harus

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

mendengarkan suara mereka. Kalau pada awal proses penggalian, pengembangan dan pelestarian kesenian Betawi, pemerintah—yang praktis hampir seluruhnya nonBetawi—yang melakukannya, kini keterlibatan anak Betawi melalui LKBnya merupakan syarat utama. Aktivitas kebetawian menjadi tidak sah tanpa dihadiri oleh wakil Betawi. Kreasi menjadi tidak sah tanpa mendapat persetujuan wakil Betawi. Orang Betawi kini menjadi pemilik tradisi Betawi dan menjadi yang paling berhak atas tradisi ini, menggantikan Pemda sebagai kekuasaan elit formal.

Kesimpulan Proses rekacipta tradisi Betawi diprakarsai Pemda DKI.Tetapi, maraknya rekacipta kebetawian telah memfasilitasi identitas ke-

betawian pada orang Betawi yang sedang mengalami krisis identitas, dan merangsang anak Betawi berpartisipasi dalam proses ini, antara lain dengan mendirikan organisasiorganisasi di bawah naungan BAMUS BETAWI. Pendirian BAMUS BETAWI memungkinkan orang-orang Betawi untuk mempunyai wadah satu suara. Bervariasinya visi dan misi organisasi Betawi telah mengembangkan aktivitas kebetawian tidak hanya pada seni, tetapi merebak ke aktivitas sosial dan politik. Merebaknya aktivitas, sekaligus peran dan kekuasaan, meyebabkan eksistensi Betawi menjadi nyata serta diakui pihak luar, sekaligus diiringi dengan kemunculan karisma Betawi. Hal-hal ini menyebabkan terjadinya pengalihan peran dari Pemda DKI ke masyarakat Betawi itu sendiri.

Kepustakaan Abayasekere, S. (peny.) 1985 From Batavia to Jakarta: Indonesia’s Capital 1930s to 1980s. Melbourne: Monash University Central of South East Asian Studies. 1989 Jakarta: A History . Singapore: Oxford University Press. Bernard S. C. 1989 ‘Authority in Victorian India’ dalam E. Hobsbawns dan T. Ranger (peny.) The Invention of Tradition. Cambrige: Cambrige University Press. Hlm.. 165–211. Bottomore, T. B. t.t. Elites and Society. Pelican Book. Dyson L.P. 2001 Tari Dayak atau Dayak Menari. Makalah dalam Simposium Internasional ke-2 Jurnal Antropologi Indonesia: ‘Globalisasi dan Kebijakan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru’, Universitas Andalas, Padang, 18–21 Juli 2001. Grijns, C.D. 1976 ‘Lenong in the Environs of Jakarta: a Report’, Archipel 12:175–202. Hellwig, J. 1989 Jaipongan . The Making of New Arts. London: School of Oriental and African Studies.

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

55

Hijang, P. 2001 Pengembangan Eko Pariwisata Budaya: Kajian dalam Konteks Ekonomi Daerah di Tanah Toraja Sulawesi Selatan. Makalah dalam Simposium Internasional ke-2 Jurnal Antropologi Indonesia: ‘Globalisasi dan Kebijakan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru’, Universitas Andalas, Padang, 18–21 2001. Hobsbawm, E. dan T. Ranger 1987 The Invention of Tradition. Cambrige: Cambrige University Press. Kumbara, A.A. 2001 Pembangunan Pariwisata di Indonesia Berdimensi Kerakyatan dan Berwawasan Eko Budaya; Belajar dari Kasus Pariwisata Bali. Makalah dalam Simposium Internasional ke-2 Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA: ‘Globalisasi dan Kebijakan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru’, Universitas Andalas, Padang, 18–21 Juli 2001. Maunati 2001 Kodifikasi Budaya Dayak dalam Konteks Industri di Kalimantan Timur. Makalah dalam Simposium Internasional ke-2 Jurnal Antropologi Indonesia: ‘Globalisasi dan Kebijakan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru’, Universitas Andalas, Padang, 18–21 Juli 2001. Mosca, G. 1939 The Rulling Class . New York: McGraw-Hill. Pemda DKI 1977 Catatan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta 1966-1977. Jakarta: Pemda DKI. Purwo 2001

Faktor Penyebab Rendahnya Penggunaan Peralatan Seni Budaya pada Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Islam Azzahra.

Ramadhan, K.H. 1992 Bang Ali. Demi Jakarta 1966-1977 . Jakarta: Pusat Sinar Harapan. Ranger, T. 1987 ‘The Invention of Tradition in Colonial Africa’ dalam E. Hobsbawn dan T. Ranger (peny.) The Invention of Tradition . Cambrige: Cambrige University Press. Hlm. 211–263. Ratih 2001

Pembinaan Kesenian di SD oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Islam Azzahra.

Shahab, Y.Z. 1993 The Creation of Ethnic Tradition. The Betawi of Jakarta. Tesis PhD tidak diterbitkan. London: School of Oriental and African Studies. Trevor-Roper, H. 1987 ‘Invention of Tradition: The Highland Tradition of Scotland’, dalam E. Hobsbawn dan T. Ranger (peny.) The Invention of Tradition . Cambrige: Cambrige University Press. Hlm. 15– 42. Widjaja 1976

56

Seni Budaya. Pra-lokakarya. Penggalian dan Pengembangannya. Jakarta: Pustaka Jaya.

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

Majalah Kartini 1994 ‘Bumi juga dipecahbelah’.

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

57