GEMPABUMI DAN TSUNAMI DI SUMATRA DAN UPAYA UNTUK

Download Proses tektonik lempeng dan terbentuknya jalur gempabumi di Sumatra...... 6 ... Kerusakan lingkungan hidup akibat proses gempabumi dan tsun...

0 downloads 438 Views 3MB Size
Gempabumi dan Tsunami di Sumatra dan Upaya Untuk Mengembangkan Lingkungan Hidup Yang Aman Dari Bencana Alam

Oleh: Danny Hilman Natawidjaja

December 2007

Daftar Isi Daftar Isi ............................................................................................................. 1 1.Pendahuluan: sumber gempabumi dan lingkungan hidup di Sumatra...................... 5 1.1.

Proses tektonik lempeng dan terbentuknya jalur gempabumi di Sumatra...... 6

1.2. Proses gempabumi di bawah laut perairan barat Sumatra .............................. 9 1.3. Proses gempabumi di daratan Sumatra....................................................... 13 1.4. Kerusakan lingkungan hidup akibat proses gempabumi dan tsunami ............. 15 1.4.1. Efek Perubahan muka bumi akibat siklus gempa.................................... 16 1.4.2. Efek proses gempabumi dan tsunami ................................................... 17 1.5. Upaya mengantisipasi kerusakan lingkungan dan bencana gempabumi dan tsunami .......................................................................................................... 19 2. Jalur gempabumi di bawah wilayah perairan barat Sumatra (Zona Subduksi Lempeng) .......................................................................................................... 20 2.1 Sejarah dan zonasi gempabumi di zona subduksi.......................................... 20 2.1.1. Gempa tahun 1797 (10 Februari 10, pukul 10 malam) ........................... 23 2.1.2. Gempabumi tahun 1833 (24 November, pukul 8 malam)........................ 28 2.2 Studi Kasus: Gempabumi Aceh-Andaman, 26 December 2004 ....................... 41 2.2.1 Gempa-tsunami Aceh adalah proses alam biasa...................................... 41 2.2.2. Bagaimana para ahli meneliti gempabumi ?........................................... 42 2.2.3. Pengukuran lapangan di Pulau Simelue................................................. 43 2.2.4. Analisa Citra Satelit dari Gempa Aceh ................................................... 46 2.2.5. Pengukuran GPS (Global Positioning System) ........................................ 48 2.2.6. Model Sumber Gempabumi Aceh.......................................................... 51 2.2.7. Apakah Tsunami Akan Terulang Lagi di Aceh? ....................................... 52 2.3 Studi Kasus: Gempabumi Nias-Simelue, 28 Maret 2005 ................................. 53 2.3.1. Perubahan mukabumi yang terjadi ....................................................... 55 2.3.2. Model gempabumi Nias-Simelue tahun 2005 ......................................... 62 2.3.3. Gempa Nias-Simelue tsunaminya tidak besar ........................................ 63

2.3.4. Kapan gempa selanjutnya di Segmen Nias-Simelue................................ 64 2.4 Laporan singkat hasil survey: Gempabumi Bengkulu-Mentawai, 12-13 September 2007 .............................................................................................................. 67 2.5 Antisipasi Gempabumi yang akan datang di wilayah Mentawai, Padang, dan Bengkulu ........................................................................................................ 69 3. Jalur Gempabumi di Pegunungan Bukit Barisan (Patahan Sumatra) ..................... 73 3.1. Potensi bencana gempabumi di jalur Patahan Sumatra................................. 73 3.2. Pemetaan jalur Patahan Sumatra untuk mengantisipasi bencana gempa........ 74 3.3 Tektonik dan segmentasi Patahan Sumatra .................................................. 75 3.4. Kecepatan gerak patahan (sliprate) ............................................................ 77 3.5. Sejarah gempabumi di Patahan Sumatra dan potensi bencana di masa depan 80 3.5. Potensi gempa bumi dari Patahan Sumatra ................................................. 82 3.6. Studi Kasus: Gempabumi 6 Maret 2007 di wilayah Danau Singkarak, Sumatra Barat .............................................................................................................. 85 3.6.1. Ringkasan .......................................................................................... 85 3.6.2. Lokasi episenter gempabumi................................................................ 87 3.5.3. Data rekahan patahan gempa di permukaan ......................................... 89 3.6.4. Hubungan antara kerusakan yang terjadi dan lokasi patahan gempa....... 98 3.6.5. Antisipasi bencana gempa di masa datang ...........................................100 4. Analisa bencana gempabumi...........................................................................102 4.1. Latar belakang dan Metoda.......................................................................102 4.2. Analisa bencana goncangan gempa (Seismic Hazard assesment) .................106 4.2.1. Skenario sumber gempa .....................................................................106 4.2.2. Hasil analisa deterministic seismic hazard analysis (DSHA) ....................106 4.3. Bencana alam ikutan akibat goncangan gempa ..........................................112 5. Analisa bencana akibat limpasan tsunami.........................................................113 5.1. Latar belakang.........................................................................................113 5.2. Simulasi pemodelan gempa-tsunami..........................................................114 5.2.1 Metoda ..............................................................................................114

5.2.2. Skenario sumber gempa-tsunami ........................................................116 5.3. Hasil analisa dan peta limpasan tsunami di wilayah Kota Padang .................119 5.3.1. Umum .............................................................................................119 5.3.2. Padang .............................................................................................120 5.4. Hasil analisa dan peta limpasan tsunami di wilayah Kota Bengkulu..............124 5.4.1.

Tinggi dan pola gelombang tsunami di Bengkulu ..............................124

5.3.2. Peta simulasi inundasi tsunami untuk Kota Bengkulu ............................126 6. Strategi pembangunan dan pengembangan lingkungan hidup yang aman bencana alam .................................................................................................................129 6.1. Dasar Pemikiran.......................................................................................129 6.2 Data potensi bencana alam........................................................................131 6.3.

Realisasi mitigasi bencana alam di daerah...............................................132

Daftar Pustaka...................................................................................................133

1. Pendahuluan: bencana gempabumi dan lingkungan hidup di Sumatra Usaha mengembangkan lingkungan hidup tidak hanya bergantung dari proses yang berkaitan dengan aktifitas manusia dan mahluk hidup lainnya tapi juga berkaitan dengan pemahaman dari efek proses alamiah.

Pada prinsipnya, efek dari proses

alamiah dapat dibagi menjadi dua macam. Yang pertama adalah proses alamiah yang efeknya terjadi secara perlahan-lahan akibat proses yang konsisten terus menerus selama bertahun-tahun, puluhan tahun sampai ratusan tahun atau lebih.

Yang

termasuk dalam proses ini contohnya adalah: proses erosi pantai yang lambat laun merambah ke darat merusak lingkungan binaan manusia secara perlahan-lahan, atau proses dinamika sungai di wilayah hilir yang sering mengakibatkan proses erosi dan banjir yang mengganggu pemukiman manusia disekitarnya.

Yang kedua adalah

proses alamiah yang mengakibatkan perubahan alam yang signifikan dalam waktu yang sangat singkat atau secara tiba-tiba; contohnya adalah: peristiwa gempabumi, tsunami, dan letusan gunung api. Pada umumnya proses dan perubahan alam baik yang terjadi secara perlahan-lahan dan terutama yang datang mendadak dapat menjadi bencana untuk manusia dan lingkungan hidup apabila kurang diantisipasi sebelumnya. Agar supaya dapat mengembangkan konsep dan pelaksanaan pengembangan lingkungan hidup yang lebih aman dari bencana alam, maka kita perlu pengetahuan dan data yang cukup tentang proses alam ini. Dalam studi ini akan dibahas dasardasar pemahaman dan informasi tentang proses gempabumi dan tsunami, khususnya di Sumatra. Kemudian efek bencana terhadap lingkungan hidupnya akan dianalisa secara kuantitatif sehingga kita dapat membuat strategi bagaimana mensiasati dan mengantisipasi efek bencana alam yang dapat terjadi di masa datang. Dalam sub-bab ini akan dibahas tentang dasar pengetahuan ilmiah tentang proses gempa bumi secara singkat dan popular sebagai berikut.

1.1. Proses tektonik lempeng dan terbentuknya jalur gempabumi di Sumatra Bumi kita ini berlapis-lapis.

Keberadaan lapisan-lapisan ini berkaitan erat

dengan perubahan temperature dan tekanan yang semakin tinggi kearah pusat bumi. Lapisan bumi dapat dikelompokan menjadi tiga bagian utama. Pertama, lapisan paling luar disebut lapisan batuan (litosfer) atau kulit bumi yang padat, tebalnya sampai 100 km-an. Lapisan luar ini biasa disebut sebagai lempeng bumi yang selalu bergerakgerak. Kedua, disebelah dalamnya adalah mantel bumi yang tebalnya sampai ribuan kilometer. Bagian luar dari mantel ini bisa bersifat cair, sehingga lapisan batuan bumi seperti mengapung di atasnya. Ketiga, di sekitar pusat bumi adalah intibumi yang luar biasa panasnya, terdiri dari lelehan besi dan timah.

Yang erat kaitannya dengan

proses gempa bumi adalah lapisan yang paling luar, yaitu litosfer tersebut. Gempabumi besar umumnya terjadi pada bagian paling atas dari kerak bumi, disebut kerak bumi (=earth crust) yang tebalnya hanya 10 – 40km. Di bagian ini suhu bumi umumnya tidak melebihi 300 - 400° C. Ini adalah persyaratan utama untuk terjadi proses deformasi elastik yang menimbulkan gempabumi. Litosfer “mengapung” diatas mantel bumi yang cair. Kemudian, karena mantel ini dipanaskan oleh intibumi yang super panas maka terjadilah arus konveksi di mantel seperti halnya kalau air dipanaskan di atas tungku api (Gambar 1.1).

Arus yang

terjadi dalam mantel bumi menyebabkan kulit bumi di atasnya terseret-seret. Hal ini menyebabkan

litosfer

terbelah-belah

menjadi

banyak

“lempeng”

untuk

mengakomodasi gerakan. Selanjutnya, lempeng-lempeng bumi ini bagaikan sampan raksasa yang bergerak saling menjauh, berpapasan, dan bertumbukan. Pergerakan ini hanya beberapa milimeter – centimeter pertahun sehingga pancaindra kita tidak bisa melihat atau merasakan efeknya karena terlalu kecil.

Gambar 1.1 Diagram Struktur bumi mengilustrasikan teori tektonik lempeng. Kerak bumi baru terbentuk di jalur pemekaran lantai samudra. Kerak bumi lama di daur ulang di zona subduksi (penunjaman). Lempeng-lempeng yang bergerak berpapasan satu dengan yang lain pada zona patahan transform. Gempabumi umumnya terjadi pada tiga zona batas lempenglempeng bumi ini. Pada kedalaman 150 – 200 km di zona subduksi, kerak bumi meleleh menjadi magma, dan magma naik ke atas menjadi jajaran gunung api.

Fakta bahwa Bumi yang tak pernah diam ini baru dikemukakan pada tahun 1915 oleh seorang ilumuwan yang bernama Alfred Wagener yang berhipotesa bahwa muka bumi ini bergerak perlahan-lahan. Hipotesa Wagener hanya berdasarkan pada fakta bahwa bentuk pantai Afrika Barat sangat mirip dengan pantai Amerika timur, demikian juga flora dan faunanya, sehingga dia berpendapat bahwa dulunya kedua pantai ini bersatu sebelum kemudian terpisahkan akibat pergerakan muka bumi. Hipotesa ini selama ~40 tahun tidak diterima oleh masyarakat ilmiah, sampai akhirnya Dietz (1961) dan Hess (1961) menemukan fakta-fakta ilmiah kuat, berdasarkan data seismik, bahwa ditengah samudra terdapat kemunculan lempeng bumi yang dicirikan oleh jejeran pegunungan tinggi di dasar laut.

Kemudian data juga menunjukkan

bahwa karena luas muka bumi ini tetap, maka lempeng samudra yang terbentuk sebelumnya harus ’ditunjamkan’ kembali ke dasar bumi, yaitu disepanjang tepian

lempeng yang dicirikan oleh palung laut dalam (Gambar 1.1).

Jadi terbukti bahwa

apa yang dikatakan Wagener ini ternyata benar. Maka sjak itu lahirlah cikal-bakal teori Tektonik Lempeng (“Plate Tectonic Theory”) yang menjadi dasar bagi perkembangan ilmu dan teknologi gempabumi modern. Salah satu palung laut dalam yang menjadi tempat penunjaman lempeng Samudra ke dalam bumi adalah disepanjang tepian benua di barat Sumatra yang menerus sampai ke Selatan Jawa, Bali, dan Lombok. Gempabumi 26 Desember 2004 di Aceh-Andaman adalah termasuk gempabumi pada jalur penunjaman lempeng.

Gambar 1.2. Dinamika umum tektonik Indonesia diperlihatkan oleh respon Kep. Indonesia terhadap pergerakan relatif tiga lempeng bumi dari data GPS (Global Positioning System) Panah besar merah adalah kecepatan gerak dari lempeng. Panah-panah hitam menunjukan kecepatan gerak dari lokasi tempat pengukuran monumen GPS antara tahun 1989 dan 2002 (sumber dari [Bock, 2003]).

Indonesia letaknya diantara pertemuan 4 lempeng bumi besar, yaitu: Lempeng Hindia dan Australia, Lempeng

Eurasia, dan Lempeng Pacific (Gambar. 1.2 ).

Lempeng Hindia-Australia bergerak ke Utara menumbuk Lempeng Eurasia dengan kecepatan 50 – 70 mm/tahun. Zona tumbukan dua lempeng ini adalah di sepanjang Palung laut Sumatra – Jawa – Bali – Lombok.

Lempeng (benua) Australia menabrak

busur kepulauan di sepanjang tepi kontinen dari tepian selatan Timor Timur terus ke timur dan melingkar berlawanan arah jarum jam di Lautan Banda. Lempeng Pasific bergerak dengan kecepatan ~120 mm/tahun kearah barat-baratdaya menabrak tepian utara dari Pulau Papua New Guinea - Irian Jaya, dan terus ke arah barat sampai ke daerah tepian timur Sulawesi.

Gerakan dari tabrakan dan pergeseran lempeng-

lempeng besar ini tentunya direspon secara mekanis oleh

Kepulauan Indonesia.

Pergerakan yang terlihat sebagai panah-panah vektor dalam Gambar 1.2 Pergerakan lempeng-lempeng inlah yang membuat banyak gempabumi.

1.2. Proses gempabumi di bawah laut perairan barat Sumatra Dari uraian di atas kita memahami bahwa wilayah barat Sumatra sering terjadi gempa karena posisinya di sepanjang jalur tumbukan dua lempeng bumi, di mana lempeng (Samudra) Hindia bergerak menunjam ke bawah lempeng (benua) Sumatra (Gambar 1.2). Sumatra dan busur kepulauan di bagian baratnya adalah bagian dari lempeng Eurasia. Sedangkan lempeng lainnya berada di bawah Lautan Hindia. Batas tumbukan dua lempeng ini dapat diamati berupa jalur palung laut dalam di sebelah barat Sumatra sampai ke Kep. Andaman (Gambar 1.3). Lempeng Hindia menunjam di bawah Sumatra dengan kecepatan 50−60 cm/tahun dan kemiringan dari zona penunjamannya sekitar 12° [Natawidjaja, 2003; Prawirodirdjo, 2000]. Batas antara lempeng yang menunjam dan massa batuan di atasnya disebut sebagai

bidang

kontak dari zona penunjaman atau disebut juga sebagai bidang zona subduksi (Gambar 1.4).

Di Sumatra bidang zona subduksi ini dapat diamati (dari data

seismisitasnya) sampai kedalaman sekitar 300 km di bawah P. Sumatra. Bagian zona subduksi dari palung sampai kedalaman 40 km-an, umumnya mempunyai sifat regas (elastik) dan batas kedua lempeng ini di beberapa tempat terekat/terkunci erat.

Karena itu dorongan terus menerus dari Lempeng Hindia menyebabkan terjadinya akumulasi energi-potensial regangan pada bidang kontak yang merekat erat ini berupa pengkerutan (Gambar 1.5a) [Chlieh et al., in press].

Bidang kontak zona

subduksi dangkal ini biasa disebut sebagai “megathrust” (= mega-patahan naik yang

berkemiringan landai). Inilah yang menjadi sumber gempabumi di lepas pantai barat Sumatra.

Gambar 1.3. Tektonik aktif Pulau Sumatra memperlihatkan sumber-sumber utama gempabumi pada zona Subduksi dan zona Patahan Sumatra. Banyak gempa besar yang terjadi pada kedua zona utama gempa ini. A ― B adalah lintasan penampang skematik pada Gbr.1.4.

Di bawah kedalaman 40 km-an, temperatur disekitar bidang kontak melebihi 300-400°C sehingga tidak lagi memungkinkan adanya akumulasi energi elastik (gempa).

Dengan kata lain pada kedalaman ini lempeng yang menunjam akan

bergeseran

dengan

lempeng

di

atasnya

tanpa

terkunci

atau

menimbulkan

pengkerutan seperti proses yang diterangkan di atas, sehingga di kedalaman ini umumnya tidak ada gempa-gempa besar, tapi hanya gempa-gempa kecil saja. Pada kedalaman antara 150-200 km, temperature bumi bertambah panas sehingga batuan disekitar zona kontak ini meleleh. Kemudian lelehan batuan panas ini naik ke atas membentuk kantung-kantung bubur batuan panas yang kita kenal sebagai kantungkantung magma (Gambar 1.4).

Pada akhirnya magma ini mendesak ke atas

permukaan membentuk “kubah magma”, yaitu gunung api. Itulah sebabnya kenapa selain sering gempabumi, Sumatra juga mempunyai jajaran gunung api di punggungan pulaunya, dikenal sebagai Pegunungan Bukit Barisan.

Gambar 1.4. Diagram zona subduksi Sumatra (penampang A-B pada Gambar 1.3) memperlihatkan struktur bumi di bawah permukaan. Sumber gempa besar di Sumatra adalah pada megathrust dan jalur Patahan Sumatra. Megathtrust adalah pada bidang kontak zona subduksi sampai kedalaman ~ 50km. Pada kedalaman 150-200km, lempeng meleleh menjadi magma. Magma naik ke atas menjadi gunung api. (Sumber: Poster dan Brosur LIPI-Caltech :

“Sumatra Rawan Gempa”).

Pada masa diantara gempabumi besar, bidang kontak dua lempeng yang terekat kuat akan mengkerut dan menghimpun tekanan, karena lempeng Hindia terus bergeser masuk di bawah lempeng Sumatra (Gambar 1.5A).

Sejalan dengan itu,

pulau-pulau yang berada di atas lempeng Sumatra ikut terseret ke bawah perlahanlahan dan juga terhimpit kearah daratan Sumatra.

Suatu saat, tekanan yang

terhimpun diantara dua lempeng ini menjadi terlalu besar untuk ditahan, sehingga rekatan diantara dua lempeng ini pecah dan lempeng di bawah pulau akan terhentak dengan sangat kuat ke arah barat dan atas (Gambar 1.5B). Lentingan lempeng ini menghasilkan goncangan keras yang dikenal sebagai gempabumi, dan membuat pulau-pulau di sebelah barat terangkat, sebaliknya yang di bagian timur turun ke bawah akibat efek deformasi elastik. Setelah itu, bidang kontak akan merekat lagi dan pulau-pulau kembali terseret ke bawah (Gbr 1.5C). Siklus proses gempabumi ini berlangsung selama satu abad atau lebih sampai suatu saat nanti kembali terjadi gempabumi besar. Ketika pulau-pulau terhentak ke atas saat gempabumi, permukaan bumi di dasar laut ikut terangkat sehingga sejumlah besar volume air ikut terdorong ke atas dan menghasilkan bumbungan besar air di atas permukaan laut (Gbr. 1.5B). Bumbungan air ini kemudian menyebar ke segala arah dan menjadi gelombang tsunami (Gbr. 1.5C). Gelombang tsunami sangat panjang dan bergerak sangat cepat menerjang dan membanjiri daratan.

Gelombang tsunami bisa sangat berbahaya

walaupun hanya beberapa meter karena seluruh massa airnya bergerak dengan sangat cepat sehingga mempunyai energi momentum yang tinggi.

Ini berbeda

dengan gelombang biasa yang pergerakannya hanya di bagian atasnya saja.

Gambar 1.5 A-B-C. Proses siklus gempabumi pada zona subduksi/penunjaman lempeng (bahan diambil dari Poster dan Brosur LIPI-Caltech: “Pulau Kita Tenggelam: karena proses gempabumi”)

1.3. Proses gempabumi di daratan Sumatra Lempeng Hindia menabrak bagian barat Sumatra secara miring (lihat Gambar 1.3) sehingga tekanan dari pergerakan ini terbagi menjadi dua komponen. Pertama adalah komponen yang tegak lurus dengan batas lempeng atau palung.

Komponen

pergerakan ini sebagian besar diakomodasi oleh zona subduksi seperti diuraikan di

atas. Kedua adalah komponen gerakan horizontal yang sejajar dengan arah palung dan menyeret bagian barat Sumatra ke arah baratlaut.

Karena gaya ini maka

terbentuklah patahan bumi besar disepanjang punggungan pulau, yakni dikenal sebagai Patahan (Besar) Sumatra.

Bidang kontak pada zona Patahan Sumatra ini

tegak lurus membelah dua bumi Pulau Sumatra. Dari waktu ke waktu bumi di bagian barat Patahan Sumatra ini bergerak ke arah baratlaut dengan kecepatan 10 sampai dengan 30 mm/tahun relatif terhadap bagian di sebelah timurnya.

Namun, sebagaimana halnya bidang kontak zona

subduksi yang dangkal, bidang Patahan Sumatra sampai kedalaman 10 – 20km juga terkunci erat sehingga terjadi akumulasi tekanan elastik pada masa antar gempa, berpuluh-puluh tahun sampai ratusan tahun.

Suatu saat, tekanan yang terkumpul

sudah demikian besar sehingga bidang kontak/patahan sudah tidak kuat lagi menahan, sehingga pecah dan batuan di kanan-kirinya melenting tiba-tiba dengan kuat, terjadilah gempabumi besar. Berbeda dengan yang di zona subduksi, pada Patahan Sumatra gerakan yang terjadi arahnya menyamping/horisontal pada sepanjang bidang patahan yang tegak lurus. Bumi di bagian barat patáhan akan bergeser tiba-tiba ke arah utara dan yang di bagian timur bergeser ke arah selatan. Setelah gempa, bidang patahan akan kembali merekat dan terkunci lagi, dan mengumpulkan tekanan elastik sampai suatu hari nanti terjadi gempabumi besar lagi. Jalur Patahan Sumatra bisa dikenal dari kenampakan bentang alam di sepanjang jalur.

Dari udara kita dapat melihat kelurusan dari jalur patahan yang

membelah bumi (jalur merah pada Gambat 1.6).

Jalur ini seringkali ditandai oleh

kenampakan bukit-bukit kecil di sepanjang patahan, pergeseran alur-alur sungai, dan danau-danau yang terjadi karena pergeseran bumi, seperti Danau Singkarak dan Danau Diatas (Gambar 1.6).

Gambar 1.6. Diagram Jalur Patahan Sumatra di Sumatra barat. (Sumber data: [Sieh and Natawidjaja, 2000], gambar diambil dari brosur: Sumatra Rawan Gempabumi, LIPI – Caltech)

1.4. Kerusakan lingkungan hidup akibat proses gempabumi dan tsunami Siklus gempa terdiri dari : (1) perioda panjang diantara gempa besar dimana sumber gempa secara perlahan-lahan mengakumulasi energi regangan dan (2) Kejadian gempa yang melepaskan energi regangan secara tiba-tiba. Ada beberapa hal pengetahuan dasar yang dipahami dari proses siklus gempa yang berhubungan dengan perubahan lingkungan hidup dan bencana alam yang ditimbulkan. Dalam perioda panjang antar gempa muka bumi disekitar jalur gempa bergerak secara perlahan-lahan dalam hitungan milmeter sampai beberapa centimeter pertahun.

Ada wilayah yang turun dan ada juga yang naik. Untuk Sumatra, pulau-pulau yang persis di atas zona ’megathrust’ (sumber gempa zona subduksi) seperti Pulau Simelue, Nias, Batu, Siberut, Sipora dan Pagai umumya akan mengalami penurunan secara perlahan-lahan sampai 15 mm/tahun.

Artinya kita harus mengantisipasi bahwa

apabila membangun rumah-rumah ditepi pantai yang hanya 50 cm di atas muka laut, maka dalam kurun waktu 50-tahunan rumah-rumah ini bisa menjadi di bawah air. Bukti adanya penurunan pulau-pulau ini jelas terlihat di mana di banyak tempat di Kep. Mentawai, pohon-pohon kelapa dan lainnya yang tadinya di atas muka laut sekarang sudah terendam air. Untuk daerah di sepanjang jalut Patahan Sumatra di darat, penurunan dan pengangkatan secara perlahan-lahan ini tidak terjadi karena prgerakan utamanya menyamping, yakni blok barat bergerak ke Utara dan blok timur ke Selatan sampai sekitar 3 cm/tahun. Untuk segmen patahan yang terkunci maka pada perioda antar gempa ini di jalur tidak ada pergerakan. Namun pada segmen yang tidak atau hanya sebagian terkunci maka akan ada pergerakan perlahan-lahan. Pergerakan tektonik perlahan-lahan ini bisa menimbulkan problem pada lingkungan/struktur binaan manusia, misalnya ruas jalan raya, rumah-rumah atau bangunan bisa terus menerus mengalami problem kerusakan akibat pergeseran tanah ini.

1.4.1. Efek Perubahan muka bumi akibat siklus gempa Pada waktu terjadi gempabumi, energi potensial regangan yang terkumpul pada zona patahan selama ber-puluh-puluh hinga ratusan tahun di lepaskan serentak sehingga menimbulkan perubahan muka bumi yang tiba-tiba. Hal ini tentunya dapat menimbulkan bencana bagi manusia. Untuk gempa di zona subduksi, pergerakan ini akan menyebabkan wilayah tertentu terangkat ke atas sampai beberapa meter dan wilayah lainnya amblas sampai 1-3 meter.

Misalnya bagian pantai barat Pulau Nias

yang sebelum gempa Maret 205 sebagian pantainya makin terendam laut secara perlahan-lahan, maka pada waktu gempa Maret 2005 pantai ini terangkat sampai 3 meter.

Pengangkatan tiba-tiba wilayah kepulauan ini memberikan dampak kerusakan lingkungan antara lain sebagai berikut: - populasi terumbu karang pada zona pasang-surut di sepanjang tepi pantai akan terangkat ke atas air dan mati, baik sebagian ataupun total - rusaknya ekosistem terumbu karang juga membuat populasi ikan yang tadinya banyak hidup di terumbu karang menjadi kabur mencari tempat yang baru. Hal ini tentu akan berpengaruh pada mata pencaharian para nelayan di sekitarnya. -pengangkatan juga menyebabkan dasar laut naik sehingga hal ini bisa mempengaruhi peta navigasi laut; artinya ada banyak daerah yang tadinya bisa dilalui perahu nelayan menjadi tidak bisa lagi karena sudah terlalu dangkal. -hal yang positif pengangkatan wilayah pantai adalah membuat daratan menjadi luas sehingga membuka lahan kehidupan baru untuk dijadikan sawah ladang dan sebagainya.

Namun perlu diingat bahwa proses selanjutnya akan kembali

menenggelamkan daratan baru ini secara perlahan-lahan sampai terjadi lagi gempa besar yang mengangkat kembali daratan ini. Penurunan tiba-tiba dari wilayah pantai menyebabkan: -

ekosistem yang tadinya hidup di atas air menjadi tenggelam dan mati. Wilayah pantaipun menjadi menyusut.

-

sebagian wilayah pemukiman yang terlalu dekat dengan muka laut menjadi tenggelam di bawah air sehingga tidak bisa dihuni lagi. Hal ini sudah terjadi di berbagai wilayah pantai Sumatra Utara dan NAD setelah gempa Aceh-Andaman 2004 dan gempa Nias-Simelue 2005.

1.4.2. Efek proses gempabumi dan tsunami Proses patahan bumi yang pecah dan bergerak tiba-tiba pada waktu gempa besar menimbulkan goncangan yang sangat keras di daerah sumber dan sekitarnya. Goncangan ini tentunya dapat menimbulkan kurasakan pada lingkungan hidup

manusia. Rumah-rumah dan bangunan lainnya dapat mengalami kerusakan ringan sampai berat, bahkan bisa ambruk total. Disamping efek goncangan tanah disepanjang jalur patahan akan mengalami pergerakan tiba-tiba sampai beberapa meter sehingga rumah-rumah dan bangunan atau konstruksi buatan manusia yang dibangun di atasnya menjadi rusak. kasus ini walaupun rumah dan bangunan tersebut sudah dirancang

Dalam

untuk tahan

goncangan namun kebanyakan tetap akan rusak akibat fondasinya bergeser, kecuali kalau hal inipun sudah diperhitungkan dengan konstruksi khusus yang memadai sesuai dengan analisa bencananya.

Tapi secara umum seharusnya ada peraturan daerah

yang mengatur agar jalur patahan ini sebisa mungkin tidak ditempati untuk rumah dan bangunan, apalagi untuk fasilitas umum, seperti sekolah, hotel, dan rumah sakit. Seperti yang diuraikan di atas, apabila gempabumi terjadi di bawah laut maka pengangkatan dasar laut yang terjadi menyebabkan terjadinya tsunami.

Tsunami

berbeda dengan gelombang laut biasa. Gelombang laut biasa terjadi karena tenaga arus angin di atas sehingga hanya bagian atas dari badan air saja yang bergerak. Gelombang tsunami menggerakan seluruh badan air dan dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Dilaut dalam kecpatan gelombang tsunami mencapai 700 km/jam.

Makin mendekat ke pantai, laut makin dangkal sehingga kecepatannya berkurang, namun hal ini membuat amplitudo gelombang semakin besar.

Oleh karena itu

tsunami bisa sangat berbahaya, walaupun dengan tingi gelombang yang hanya 1-3 meter sama seperti gelombang badai biasa tapi daya momentumnya jauh lebih besar. Efek terjangan tsunami dapat menimbulkan kerusakan hebat pada lingkungan alam dan lingkungan hidup manusia seperti yang pernah kita saksikan sewaktu terjadi tsunami Aceh tahun 2004.

1.5. Upaya mengantisipasi kerusakan lingkungan dan bencana gempabumi dan tsunami Dengan memahami proses alam kita dapat mengantisipasi atau meminimalisasi efek kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh gempabumi dan tsunami. Dari uraian di atas efek-efek kerusakan utama yang harus derhitungkan dalam perencanaan lingkungan hidup dan antisipasi bencana adalah sbb: 1. Proses pergerakan muka bumi, penurunan atau pengangkatan yang terjadi dalam prioda antar gempabumi 2. Proses pengangkatan dan penurunan tiba-tiba ketika trjadi gempabumi 3. Efek pergerakan dan goncangan gempabumi 4. Terjadinya tsunami Selain itu ada efek bencana ikutan lainnya seperti proses gerakan tanah, amblasan, dan likuifaksi yang dipicu oleh goncangan gempabumi. Pada prinsipnya usaha untuk mitigasi bencana alam terbagi dua hal.

Yang

pertama, untuk wilayah pemukiman atau bangunan yang sudah terlanjur berada di wilayah rawan bencana, maka hal dapat dilakukan adalah membuat langkah-langkah persiapan agar apabila bencana yang diantisipasi itu terjadi efek mrusaknya dapat diminimalkan.

Yang kedua, untuk jangka panjang, perencanaan lingkungan hidup

termasuk RTRW daerah harus memperhitungkan wilayah-wilayah rawan bencana sehingga pada suatu saat nanti kejadian gempabumi dan tsunami yang terjadi tidak mengakibatkan perusakan lingkungan hidup dan bencana manusia.

2. Jalur gempabumi di bawah wilayah perairan barat Sumatra (Zona Subduksi Lempeng) 2.1 Sejarah dan zonasi gempabumi di zona subduksi Zona subduksi Sumatra adalah jalur gempa bumi yang paling banyak menyerap dan mengeluarkan energi gempabumi.

Dalam sejarah, tercatat sudah banyak

gempabumi yang terjadi dengan magnitudo (skala Richter dll) di atas 8 (Gbr.2.1) [Natawidjaja, 2005; Newcomb and McCann, 1987]. Di Selatan khatulistiwa, gempa besar pernah terjadi tahun 1833 (M8.9) dan pada tahun 1797 (M8.3-8.7).

Kedua gempa ini menghasilkan tsunami besar yang

menghantam perairan Sumatra barat dan Bengkulu. Catatan sejarah dari dua gempa besar di wilayah Mentawai, Sumatra barat dan Bengkulu ini akan di bahas secara khusus di sub-bab berikut di bawah. sebagai segmen Mentawai.

Wilayah zona subduksi di selatan ini disebut

Segmen ini sudah dua tahun terakhir kami waspadai

sebagai sumber gempa besar dan tsunami berikutnya di pantai barat Sumatra setelah gempa Aceh-Andaman tahun 2004 dan gempa Nias-Simelue tahun 2005.

Ternyata,

pada bulan September 2007 segmen ini memang mengeluarkan energi gempanya sebesar Mw8.4 (skala momen magnitudo ~ skala Richter). Namun energi ini hanya kurang dari sepertiga dari total energi yang sudah terkumpul lagi sejak tahun 1797 dan 1833. Artinya potensi gempa dan tsunami di segmen ini masih besar, bahkan jadi lebih perlu diwaspadai setelah gempa September 2007 ini.

Gambar 2.1 Tektonik aktif Pulau Sumatra memperlihatkan sumber-sumber utama gempabumi pada zona Subduksi. Banyak gempa besar yang terjadi pada zona subduksi atau tumbukan lempeng ini. Elips berwarna menunjukan sumber gempa dan angka di sebelahnya menunjukan tahun dan besarnya magnitudo gempa yang terjadi termasuk gempabumi 26 Desember 2004 (Magnitudo 9.2 ~ Skala Richter), gempa 28 Maret 2005 (M 8.7), dan gempa Bengkulu 12 September 2007.

Di wilayah khatulistiwa, gempa besar terkhir terjadi tahun 1935 dengan kekuatan gempa M 7.7. Gempa ini menyebabkan kerusakan yang cukup parah di Telo, kota Kecamatan di Kep. Batu dan juga wilayah sekitarnya. Di beberapa tempat di Kep. Batu dilaporkan juga adanya kenaikan airlaut ketika gempa, namun tidak dilaporkan adanya kerusakan serius akibat gelombang laut yang naik ini (i.e. tsunami). Di utara khatulistiwa, gempa dan tsunami besar pernah terjadi di wilayah NiasSimelue pada tahun 1861. Gempa tahun 1861 ini diperkirakan berkekuatan lebih dari 8.5 skala magnitudo (~Richter). Tercatat dalam sejarah bahwa tsunami yang terjadi cukup besar (Gbr 2.2.) [Newcomb and McCann, 1987; Wichmann, 1918a]. Pada tahun 1907 terjadi bencana tsunami besar lagi di wilayah Simelue dan Nias. Meskipun magnitudo gempa yang menyebabkan tsunami 1907 ini tidak terlalu besar (M7.6) namun tinggi tsunami yang terjadi di pantai barat dan Utara Simelue mencapai lebih dari 10 meter.

Bedasarkan pengematan lapangan dan wawancara

dengan pnduduk setempat tinggi tsunami tahun 1907 adalah dua kali lebih besar dari tsunami Aceh untuk wilayah Pulau Simelue. Peristiwa tsunami tahun 1907 inilah yang katanya melahirkan istilah “SMONG” atau bahasa lokal untuk tsunami. Para orang tua yang selamat waktu tsunami 1907 menceritakan tragedi bencana alam ini pada anaknya (yang banyak masih hidup sekarang ini).

Inti nasehatnya kurang lebih

adalah “apabila nanti air laut tiba-tiba surut sampai jauh ke tengah maka itulah tandanya smong akan datang, larilah cepat ke bukit, selamatkan jiwa dan tinggalkan saja harta benda”.

Gambar 2.2. Lukisan dari tsunami yang terjadi tahun 1861 di wilayah Sumatra Utara, Nias, dan Simelue menggambarkan kedahsyatan dari tsunami tersebut.

2.1.1. Gempa tahun 1797 (10 Februari 10, pukul 10 malam) Naskah Asli dari catatan sejarah gempa 1797: 1. From [Wichmann, 1918b], pp. 74-75. (English Translation by Jenny Briggs) February 10, around 10 p.m. West coast of Sumatra. The first period of shaking lasted one minute, after which a tidal wave immediately arose and forced its way with such strength into the river at Padang that the town was flooded.2 After this, the water withdrew so far that even the river bed was left dry. This sequence was repeated three times. The village of Ajer [Air] Manis, located on the beach, was flooded and several huts were swept away. In Padang itself, crevices appeared that were 3-4 inches wide, but these closed up again after further shaking occurred. However, cracks formed in the walls of most of the buildings. Throughout the entire night as well as throughout the whole of the next day, February 11, the ground was moving. Every 15-20 minutes, severe shaking occurred. For the duration of the entire following week, people felt the ground trembling. However, the intervals of calm grew steadily longer.3

According to J. Griffith’s reports, the earthquakes had spread over an area 2 degrees north and 2 degrees south of the equator. Moreover, the tidal wave they generated also had effects on the Batu islands.4 J. Anderson mentioned, based on the report of S. C. Crooke, a severe earthquake in the region of Djambi [Jambi], east Sumatra, “about 20 years prior to 1820” 5, and J. R. Logan thinks that it very possibly could have occurred in 1797 at the same time as the quakes in west Sumatra6.

________ Footnotes: 1

“par les matières en fusion qu’on voyait bouilloner au fonds de son cratère.” Deschamps.

Precis sur l’ile de Java. Mem. de la Soc. roy. d’Arras 3. 1820, p. 217. 2

J. du Puy. Een paar aanteekenigen omtrent vuurbergen en aardbevingen op Sumatra,

Tidjschrift voor Neerl. 1845. 3, p 114. --- Robert Mallet (Fourth report on the Facts of Earthquakes. Report Brit. Assoc. Adv. of Sci. 24. 1854. London 1855, p. 38) referred to the papers written by J. Griffith in stating that this earthquake occurred on Feb. 20, but Griffith’s reports certainly gave it no date. On Feb. 10, 1797, S. A. Buddingh described an earth- and sea-quake at the Minnahassa on Celebes. He reported himself that at Kema the tidal wave was so powerful that it made the water in the rivers rise up, and that among others the village of Ajer Madidi -halfway between Kema and Menado at an elevation of 232.3 m.-- was flooded (Neederlandsch Oost-Indiё 2. Rotterdam 1860, p. 66.) In the entire report, not one word is true. Apparently he once heard of the earthquake in Sumatra and, with the usual carelessness, attributed it to northern Celebes. 3

It was also reported that a ship was swept 3 miles toward land by the tidal wave and

that the wave caused 300 people to lose their lives (Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles, London 1830, p. 295). 4

Description of a rare Species of Worm Shells, discovered at an Island lying off the

Northwest [sic!- A.W.- author] coast of Sumatra. Philos. Transact. 96. London 1806, p. 269. 5

Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Edinburgh and London 1826, p. 402.

6

On the Local and Relative Geology of Singapore. Journ. Asiatic Soc. of Bengal. N.S. 16.

Calcutta 1847, p. 549.

2. From [du Puy, 1845], pp 113-115. Translated by Maarten Schmidt, Caltech Earthquakes are frequent on Sumatra, but they cause not much damage because of the low population. The strongest earthquake in the memory of the people in Padang, happened on February 10, 1797 around 10 p.m. The moon which was full shone brightly but darkened at the first quake and stayed so during the night - the first shock lasted for about one minute - the waves of the sea ran with fury up the river by which the whole place was flooded. Next, all the water ran out the river, which was suddenly dry; this repeated itself three times; the river banks were covered with fish; a sailing ship of 150 tons which was moored to a tree near the mouth of the river, broke loose when the sea entered and was driven to behind the then-existing fort, a distance of 3/4 Eng. miles; on the way the vessel hit a stone house and two wooden ones which were demolished. Several smaller vessels, which were moored in the river, were also dislodged and moved off by the sea; some of these were later found behind the great market. A storage building in front of the house of the Resident at the river bank was lifted by the rushing waves and put down in the Chinese kampong - all of Air Manis, a seaside village at the corner opposite the Padang harbor is flooded and many houses flushed away - the next day one found several of the unfortunate inhabitants dead on the tree branches, where they had climbed to save themselves. The inhabitants of Padang left their houses and fled to the square outside the city; they saw the ground break open at some places some 3-4 inches wide, and then in further shaking close again. The earth was the whole night, and the following day, in continuing movement; every15 to 20 minutes there was heavy quaking and it lasted a week that the ground was shaking; the pauses became longer and longer. The walls of most of the stone houses in Padang were torn, so that cases and furniture fell over and much damage was suffered; in Padang itself only two people died.

A less strong earthquake occurred in 1822 . . .[Shaking reports suggest that this earthquake was caused by the Sumatran fault, far inland]

3. [du Puy, 1847], pp 55-56. Translated by Maarten Schmidt, Caltech On February 10, 1797, at 10 p.m. a heavy earthquake occurred which caused the collapse of many houses. The shock was so strong that the ground split open; further shocks were felt every half hour for five hours during the night though they became weaker and weaker. At the time of the first shock the sea came up three times, so high that it reached one third of the height of the 'Apenberg', which did brake the force somewhat, and all the ships outside the river were thrown onto dry land. An English sailing ship of about 180-200 tons was found behind the Bird Market the next morning. The sides of the river were covered with fish and all seaside houses were flooded. Fortunately, this terror caused few or no human casualties. Old people claimed that 40 years ago there had been a yet stronger earthquake. [There was, in fact an earthquake in 1756 (Newcomb and McCann [1987]).]

Ringkasan: Semua laporan dari gempa dan tsunami tahun 1797 terfokus pada akibat tsunami di wilayah muara sungai sampai pelabuhan (Muaro Padang). Ini tidak berarti bahwa limpasan tsunami hanya sangat terlihat di wilayah ini, karena perumahan penduduk memang baru menempati wilayah ini pada saat itu. Walaupun dilaporkan kerusakan di Padang cukup parah tapi yang mati hanya dua orang. Guncangan. Lama guncangan yang terasa di Padang adalah satu menit. Laporan du Puy [1845] mengindikasikan bahwa gempa ini adalah yang terkuatdalam ingatan penduduk Padang waktu itu. Namun pernyataan ini berlawanan dengan laporan du Puy tahun 1847 yang mnyebutkan bahwa ada gempa yang lebih kuat yang terjadi 40

tahun sebelumnya (~1757). Banyak rumah yang ambruk ketika gempa. Di tanah terbanyak banyak rekahan dengan bukaan 3 – 4 inci. Tsunami. Beberapa orang yang berusaha memanjat pohon untuk menghindari tsunami di Air Manis keesokan harinya ditemukan sudah mati di atas pohon.

Seluruh kota

terendam bah tsunami dan beberapa rumah dilaporkan hanyut terbawa gelombang. Di Padang dilaporkan tsunaminya juga menggenangi ”seluruh” kota. melaporkan ada 3-4 kali gelombang ”pasang-surut” di pelabuhan.

Orang

Satu laporan

menyatakan bahwa tsunami naik sampai sepertiga Bukit atau Semenanjung Apenberg (Gbr 2.3) yang tinggi totalnya 104 m. Artinya tinggi tsunami mencapai 30 meteran. Laporan itu juga menyebutkan bahwa Bukit appenberg tersebut memecahkan gelombang tsunami. Laporan lain menyebutkan bahwa ketika tsunami tinggi air laut adalah sekitar 50 kaki di atas normal. Di Padang, gelombang ”pasang-surut” tsunami membuat dasar sungai terlihat kering dan meninggalkan banyak ikan mati di atasnya. Semua perahu di sungai menjadi berada di atas tanah kering. Ada kapal besi dari Inggris seberat 150 -200 ton yang ditambatkan ke sebuah pohon di dekat muara sungai terbawa gelombang tsunami sampai 0.75 mil ke arah hulu dan kemudian terdampar di daerah Pasar Burung. Kapal ini merusakkan beberapa rumah takkala saat terhanyut. Semua rumah di tepi laut dikabarkan tenggelam oleh air bah. Interpretasi: Di Air Manis, di sebuah kampong kecil di tepi pantai sebelah baratnya bukit Apenberg, tinggi tsunami cukup untuk menenggelamkan orang yang berusaha memanjat pohon-pohon untuk menghindar. Pohon-pohon ini kemungkinan sekitar 4-5 meter untuk dapat menahan beban rata-rata orang dewasa. Kemudian dari fakta bahwa glombang tsunami bisa membawa kapal besi Inggris seberat 150-200 ton artinya bahwa tinggi tsunami (=”flow depth”) paling tidak 5 meteran mengingat tinggi pinggiran sungai adalah sekitar 2 meter dan ”draft” bawah kapal mungkin sekitar3

meteran. Jadi dari dua catatan kejadian ini dapat dapat disimpulkan bahwa tinggi gelombang tsunami adalah sekitar 5 meteran.

Ini adalah perkiraan yang cukup

konservatif dibandingkan dengan laporan yang menyebutkan bahwa tinggi gelombang adalah sekitar 30 meter di tepi bukit Apenberg dan sekitar 50 kaki (15 m) ditempat lainnya di sepanjang pantai. Kami sangat meragukan laporan ini, karena kalau benar seharusnya tsunami sebesar ini menghancurkan seluruh perumahan penduduk di Padang dan menyebabkan kemaian yang lebih banyak lagi.

Kami memperkirakan

bahwa tinggi maksimum gelombang tsunami-nya kurang lebih setinggi 5 sampai 10 meteran.

2.1.2. Gempabumi tahun 1833 (24 November, pukul 8 malam) Catatan Asli sejarah gempa tahun 1833: 1. From [Wichmann, 1918b], pp 94-97. (Translated by Jenny Briggs) January 28, a few minutes after 12 noon. Batavia. Earthquakes. The shocks were repeated, gaining in severity. The last one was so strong that several houses were damaged and even the old Lutheran church developed cracks.1 January 29, noon. Tjiwidei. District of Tjisondari, Division of Bandung, Preanger regency, Java. Severe quakes, one of which was followed by rumblings from the earth that lasted one minute.2 November 24, around 8:30 p.m. Sumatra. Severe earthquake, that was felt in Singapore and even in Java.3 In Bengkulen [Bengkulu], on the west coast of Sumatra, there were severe quakes, the first of which lasted 5 minutes4 and caused damage and even destruction of buildings. The tidal wave which crashed into the coast destroyed the harbor dam and all houses nearby. Two schooners, along with several smaller crafts, were flung onto the land. Padang. Severe quakes, lasting 3 minutes, which recurred over the following days. Direction SSW-NNE. Apart from the damage to buildings, cracks also appeared in the earth,

from which water and “sulfurous steam” arose. Each quake was accompanied by a subterranean crashing noise. A tidal wave that broke here did considerable damage. Indrapura and Pulu Tjingko [Cinco island]. Severe shaking. The damage caused here by the tidal wave was significant, and people also lost their lives. From the Gunung Singalang (volcano) people heard a loud boom, which, as at the Merapi volcano (which was initially blamed for the explosion), was followed by an eruption. Priaman. The most intense quakes. Cracks of two or more feet in breadth appeared in the earth. The sea drew back and then returned in the form of a powerful tidal wave, which tore numerous ships from their anchors. The shaking continued for many days.5 Province of Rau, Division of Lubuk Sikaping. The Amerongen Fort was forcibly attacked by rebellious natives during the time of the earthquake itself; they interpreted the shaking as a good sign.6 Palembang. The first quake, noticed at 8:30 p.m., was followed by 6 others. Direction S-N. Buildings developed cracks and several huts collapsed. The Ajer [Air] Lang river, whose source was at the volcano Bukit Kaba, had run dry 3 years previously when an earthquake was followed by a landslide that created a dam and a lake. During the earthquake of November 24, however, this dam was destroyed again, which emptied the lake.7 In their stormy course, the tumbling waters either partly or completely destroyed the village of Kapala Tjurk on Ajer Lang, as well as the more distant villages on Ajer Kling8: Udjan Panas, Lubuk Talang, Ajer Apo, Lubuk Tandjung, Tabah, Njambikei and Grung Agung.9 Singapore. At 8:35 p.m. a weak shock was felt, followed by a shaking of the ground that lasted for a minute or perhaps somewhat longer. The vibrations experienced in the encampment of Glam were stronger than those in the town itself. In the report it was noted that this was the first earthquake in Singapore since its occupation by the English (1819). 10 On Java, the quake was also weak; reports simply noted this fact. On the high seas, the quake was also experienced. The ship “Mercurius”, which at the time was above the Pageh [Pagai] Islands on the west coast of Sumatra, was shaken by heavy quakes.

August 26. The island Ramiri on the coast of Arakan, Birma. During the earthquake, people observing the mud volcano from Kyauk Phyu, [a town/place- J.B.] which lay off its northern peak, saw flames and steam rising several hundred feet above the volcano’s summit.11 November 25, 7 a.m. Singapore. A quake, followed by a second one at 5 a.m. [sic- J.B. This may be an error in the original that should be p.m.?] Direction E-W.12 Pulu Painang (Penang). Earthquake.13

2. From [du Puy, 1847], pp 156-158. Translated by Maarten Schmitt, Caltech To the editors of the Journal of the Dutch (East) Indies A friend and lover of the sciences has enabled me to communicate the following observation of a major earthquake, falling in the time interval between the observations of Mr. du Puij and mine.

Dr. A.F.W. Stumpff On November 24, 1833, around 8 p.m. oscillating earthquake shocks were felt in Padang, on the W. coast of Sumatra, which at first were not thought to be serious; soon, the shocks were so violent that all went outside, fearing to be buried under the wiggling buidings. Outside, with the earth shaking under one's feet, one saw in a bright moon buildings and trees in hefty motion, the ground splitting with water bubbling up with major force, while the river was threatening to overflow. The sea was extremely active, one was fearful of it rushing in causing destruction as had happened in a similar natural event late in the last century. This situation lasted somewhat over three minutes. The entire population of Padang was afoot, those living along the river trying to reach higher lying areas of the city. During the months of August, September and October one had observed extreme heat and humidity; the day of November 24 characterized itself by a deep silence in all of nature, that had not then been noticed, however; the terrible motion that followed was not without

consequnces. In the houses, everything was overthrown, especially the stone houses were subject to great destruction through the tearing and separating of walls and the collapse of stone pillars. At sea there was also much commotion. Ships in the port of Padang moved on their anchors, some of which were lost. An underground noise preceded the motion, after which mud and sulfur-like fumes rose from the split ground. Several hours before the first shock, one had seen along the beach a surprisingly large amount of fish; the following day many dead fish were observed at the same location. It was noteworthy that the volcano Merapi in Agam was not particularly active during this terrifying event; it had early thrown out much fire and ash but during the general upheaval the mountain was quiet; only after the first motion one had observed a terrible bang, which some here in Padang also believed to have heard. Elsewhere, local circumstances seem to have offered more resistance to the destructive force. At Poelo Cinco [Cinco island], the sea rushed in and carried off several houses and also people. At Indrapoera there was also some destruction caused by the sea and a few people died. At Benkoelen [Bengkulu], all buildings had much damage, so much so that the tower and the fort had to be taken down; the pier with the storage building and the customs office were wiped out, two government and several other ships were deposited on the beach, however no lives were lost there. Shocks were felt far into the ocean. The captain of the 'Mercury' tells that near the Pagai islands, hundreds of miles offshore, he experienced the shocks as if he had hit cliffs. Experts are assuming that this earthquake moved from SSW to NNE. The first and strongest motion was simultaneous with spring tide, three days before Full moon. The atmosphere seems to have been little affected and weather stations saw no change. The same night and following days were characterized by shocks of varying strengths until the end of November.

3. From [Verkerk, 1870], pp 314-328. Translated by Maarten Schmidt, Caltech

[Summary: The article describes the first part of an ascent of themost active volcano in the Palembang Highlands, the Holy Mountain]

Kabaa. On the way, the author descibes his stay in Apoor, where he is hosted by the old man Tjermin.]

About 25 years ago, the region east of Kaaba was subject to an upheaval, so terrible in its consequences, that it has erased people's memory of all previous disasters. Some three years earlier, one of the streams originating on the Kaaba, the Ajer Lang, had suddenly dried up. An earthquake close to its origin had made a dam over the stream bed: the water could not escape and created a lake in a nearby valley. The damage caused by the lack of water along the Lang was repaired and forgotten, and the fear of disaster had subsided among the people - when suddenly terror struck. This time it happened in the middle of the night. Awakened by the hefty shocks of the booming earth, which was staggering like a horse driven by its rider, they rushed outside. From the steep, nearly verical, side of the Lang, which near the village Kapala Tjoeroek is about 100-200 feet high, and where the bamboo huts cling to the side like bird nests, they looked down into the river; but who can descibe their terror when they saw in the bright lightning flashes, there in the depths where hours earlier there had been nothing but a dry rocky bottom, a screaming and boiling sea that rose up from the abyss as if to swallow the mountain. The lake had broken through its dam and rushed as if in one jump into the Kapala Tjoerek bed! - The hapless! could hardly believe their eyes. As in a terrible dream, swaying between doubt and fear, they kept staring, and even though the danger increased all the time, none were thinking about saving themselves. None of them would escape. Not even the few who, not mesmerized by fear, ran up the mountainside. The faster and faster rising flood overtook them all. The disaster took more than 120 lives. Tjermin's wife was also killed. A number of villages were totally or partly destroyed. Except for Kapala Tjoeroek at the Lang, the following places on the Klingi (into which the Lang empties): Oedjan Panas, Loeboe Talang, Ajer Apo, Loeboe Tandjoeng, Tabah, Njambikei and Goeroeng Agoeng. After two days the Lang went down to its present day level. It was finally noted that three elephants were moved along in the stream.

4. From: Jeffrey Hadler, U California, Berkeley, email communication 21 April 2005 ;

… I've been writing to fellow historians and Anthony Reid has this 1833 anecdote: ‘I was fascinated by 1833, and share your wonderment that we have not heard more about it in the literature. I looked up the book I happen to have of Henry Lyman: The Martyr of Sumatra, since he was in Padang about that time. It turns out he arrived Padang only early 1834, but noted of Sunday 23rd Feb 1834 that he preached on board a ship, the Eugene, and "Heard of an earthquake at Padang whch very much damaged the hill; opened the river so as to make it dry, and filled it with fish not known before. It also drove on this coast a large shoal of fish, never before seen here, something like alewives." (pp.289-90).’. 5. From [Boelhouwer, 1841], pp 175-176. Translated by Maarten Schmidt, Caltech I should not forget to mention an earthquake that we felt at the end of November. In the evening there were very heavy shocks, such that all of us feared for our lives and none, not even the oldest natives, could recall something like this. It was impossible for me and anybody else to stay in the house, and we could not even keep standing; all of nature seemed to be in turmoil, everything was shaking and was falling apart; nothing that had been on tables or in cabinets stayed there; the earth opened up at various places, creating fissures two or more feet wide. The sea retreated with furious power a long way, from which she came back in with double fury; none of the ships off Priaman stayed anchored, all were torn away and we found them the next morning at large distances, spread left and right. For several days there was shaking, though less. In Padang, several stone buildings, including the church, suffered much damage; the church could not be used any more, and on my journey to Padang I saw terrible grooves (rills) on the beach. At Benkoelen, as we learned later, the entire harbor head as well as the tax office for Import and Export were destroyed.

6. From [Mueller and Horner, 1855], pp 25-27. Translated by Maarten Schmidt, Caltech

Earthquakes are often felt at Padang, but rarely of such intensity that they endanger inhabitants. The most powerful earthquake since many years occurred on November 24, 1833, just after 8 p.m., for about 2 minutes. The air was damp, quiet and humid, in moonlight. The oscillating movement of the earth, together with underground shocks and a rattling sound that clearly came from the S.E., made everybody rush out of their houses and created fear in all. One heard everywhere a hard stomping of "rijstblokken" [rice blocks?] and people yelling. Along the river fissures had opened here and there, which then closed again. The sea had repeatedly run up the sloping beach, up to 10 to 12 "voet" [Dutch foot, approximately equal to an English foot] high. All wooden houses creaked and shook enormously; but the stone houses fared worse, with damaged walls, some fell over, and some roofs that collapsed. In some houses, furniture had been thrown from one corner to the other. There was considerable damage but few accidents. Only one native and two cows were lost. Curious is the large area over which the earthquake was noticed. The shaking was felt in Natal, Tanapoeli, Singapore, on the N. coast of Java, in the Lampongs, at Palembang and on Benkoelen [Bengkulu]: so over an area of at least 150,000 sq. miles, or about as large as France. At Benkoelen, the shocks wereheavier with more damage to the beautiful stone buildings, than at Padang. At the beach near Indrapoera the sudden rise in the ocean, which rolled in terrible waves over the low country side, a small village was entirely destroyed where a woman with her child disappeared in the water, while some people found refuge in trees where they stayed until the next morning. Also in parts of inner Sumatra the shocks were extremely violent, among others in the region Rau where just then the Dutch fort Anerongen was besieged by thousands of mutineers who considered this natural phenomenon a favorable sign for their side. The two volcanoes Merapi, in Agam and Korintji [Kerinci], gave at that time some indication of increased activity, though not such that their natural chimneys seemed to contribute to a diminishing and calming down of the underground explosive forces. This was provided by the small volcano Kaba, located in the hinterland of Palembang, between the high volcanoes Dempo and Merapi of Korintji, closer to the Dempo. From the capital Benkoelen the Goenong Kaba lies E.N.E. at 40 geogr. Minutes distance; from Palembang about 2 degress W.S.W. This volcano is only 1500-1800 "voet" (feet) high and has several peaks, among which besides the smoking crater there used to be a small lake, called Talaga Kitjil, probably an inactive caldera filled with rain water. During the earthquake, the Goenoeng Kaba had a terrible eruption, on which occasion the Talaga Kitjil emptied over the low country to the S.E.;

a flood that in its path destroyed and swept off everything, jammed up several rivers and caused major destruction in the districts Sindang-Klingi and Sindang-balita. A small village in a valley close to the foot of the mountain, was inundated to a height of 20 feet, at the end leaving a mud layer of 7 feet high, together with uprooted trees, rocks, and the bodies of 36 victims as well as many dead animals. In the two districts there were in total 90 casualties. The water in the river Moesi, near Palembang, was unfit to drink for several weeks due to sulfuric acid. During the night of 24-25th November 1833, 11 more earthquakes were felt and they continued with decreasing strength until the end of the year. The central point of the forces working inside the earth were clearer in the neighborhood of Goenong Kaba, where the shocks and loud underground noises were far and above the heaviest.

7. EARTHQUAKE IN JAVA. The Hague, June 29 The accounts received from Java, to the 26th of February, contain nothing of general interest: but one of the papers gives some particulars of the earthquake in the night of the 24th of November last. "This earthquke which was flet in Java and elsewhere, especially in Sumatra, is ascibed in a report from Palambang to an eruption of the Volcano Bocker(?) Kaba, in Palambang. Besides the damage done by repeated shocks of the earthquake, the effects of an inundation coming from that mountain were most distressing. Between the two principal peaks of the mountain there was a lake, called Telaga Ketjtel (?), which, in consequence of the shocks of the earthquake, inundated the neighbouring districts. The inundation was increased by the overflowing of the river Ager Dinglen(?), the channel of which was choked up by masses of earth and trunks of trees. The hamlet of Talbang Ager Lang was covered with water to the depth of 21 feet, and after the inundation there remained a bed of mud seven feet deep. Thirty-six inhabitants of the hamlet perished. The total number of victims in the districts was 90. Mount Kaba is 50 leagues from Palambang, and yet the water of the great river Moessie (?) [Musi] was not fit to drink for several weeks. An account from Kodal states that on the 2nd of February, during a torrent of rain, part of the mountain of Telo Mejo (?), in the district of Ngassinan(?), on the frontiers of Ansbarawa, had sunk down, by which 12 habitations were buried, and 37 persons lost their lives.

8. Excerpt from letter by Lionel Jackson, Donald Forbes, John Shaw, Vaughn Barrie, GSC Seychelles Tsunami Expedition, Canada, to Irwin Itzkovitch, Canada, 7 February 2005

It is our pleasure to inform you that the GSC Indian Ocean Tsunami Expedition to the Republic of Seychelles (RS) returned to Canada this past weekend. We consider our expedition, which was to investigate the tsunami that struck that island archipelago nation on 26 December 2004, an unqualified success.

… We arrived in RS the morning of 22 January and departed the morning of 3 February. We investigated the tsunami and its impact on the two largest granitic islands, Mahé and Praslin, where most of the population of about 80,000 reside. The tsunami resulted in significant property damage but only two fatalities in RS. Two factors worked in RS's favor: the tsunami struck during low tide and it was a Sunday so most businesses in the commercial and industrial areas of Victoria, the capital, were closed. These areas were extensively flooded and boats and debris were driven ashore. Furthermore, children were not in school. Had the tsunami struck at high tide on a normal working day, the death toll could have been scores or hundreds. Lastly, we were able to obtain tidal data recorded during the Krakatoa tsunami of 1883 from the RS National Archives in Victoria and from the 1888 Royal Society report that we examined in the British Library in London. This data set can be compared with the water level records from the 2004 tsunami, which appears to have been larger and more damaging that the Krakatoa event. The archival investigation also uncovered evidence of another tsunami that struck the islands ca. 1833 and may have been comparable to the 2004 event.

9. From the National Archives, Seychelles, via Phil Cummins, Australia, via Lionel Jackson, Canada. F/2.14 v. 17, item 44. pp 115-116. Extract from the Mercantile Record and Commercial Gazette, 5 October 1883, which reports extensively on the tsunamis in the Seychelles produced by the eruption of Krakatau in 1883.

… The following report has been kindly forwarded by Mr. H.W. Estridge, Collector of Customs at Mahe: …

I may remark that Mr. Beauchamp D’Offay, aged 67, told me that the same thing happened 50 years ago. He recollects it well. The tide then went into the houses, was knee deep, and came in with a roar.

Ringkasan: Guncangan gempa terasa sampai 5 menit di Bengkulu dan sekitar 3 menit di Padang.

Guncangan terasa sampai sejauh Singapura dan Jawa.

Terjadi tsunami

besar yang merusakkan wilayah Bengkulu, Pulau Cinco, Indrapura, Padang, dan Pariaman. Laporan menyebutkan tidak ada korban mati di Bengkulu dan hanya satu yang mati di Padang. Goncangan: Goncangan sangat kuat di wilayah sepanjang pantai dari Bengkulu sampai Pariaman dan juga di Pulau-pulau Pagai.

Di Pariaman goncangan demikian kuat

sehingga tidak ada orang yang bisa berdiri. Kerusakan besar terjadi di Padang dan Bengkulu, tapi yang lebih parah adalah di Bengkulu, dimana seluruh struktur bangunan rusak berat. Benteng dan menara harus di hancurkan total. Di Padang, rumah-rumah kayu tidak rusak tapi banyak rumah dari batu tembok rusak parah. Di bagian Sumatra bagian timur kerusakan bangunan dilaporkan sampai ke Kota Palembang.

Rekahan tanah selebar 2 kaki terjadi di Pariaman, dan juga banyak

retakan-rtkan tanah di sepanjang pantai antara Pariaman dan Padang dan di pinggiran sungai di Padang. Tsunami: Tsunami. Di Padang banyak kapal yang terbawa hanyut bersama jangkar yang ditambatkan, dan sebagian hilang. Di pantai hempasan tsunami mencapai ketinggian 3-4 meter.

Peta kuno Kota Padang pada tahun 1828 memperlihatkan perumahan

yang masih sedikit di sepanjang pantai, dan pusat kota masih berda di wilayah bagian

Utara sungai, sampai sekitar 1 kilometer ke arah darat.

Dermaga dan bangunan

pelabuhan di Bengkulu tersapu ludes oleh tsunami, dan beberapa kapal terhempas ke darat. Di Pariaman, dilaporkan tsunami didahului oleh surutnya air laut. Gelombang menghempaskan kapal-kapal dari tempat tambatnya ke samping kiri dan kanan. Di Pulau Cinco, gelombang tsunami menyapu ke darat menyapu beberapa rumah dan orang.

Di Indrapura, di utara Kota Bengkulu, tsunami yang dahsyat menerjang

daratan membanjari daratan rendah. Ada satu kampung yang tersapu bersih oleh tsunami. Satu orang ibu beserta anaknya terbawa tsunami dan hilang, tapi banyak orang yang bisa menyelamatkan diri dengan memanjat pohon dan kemudian menunggu sampai pagi.

Tsunami yang sampai di Pulau Seychelles yang berada

sekitar 5000 km dari pantai barat Sumatra di lautan Hindia tingginya sama seperti yang terjadi pada waktu tsunami Aceh-Andaman tahun 2004. Gejala gunung api. Dua gunung api, Marapi dan Kerinci, memperlihatkan kenikan aktifitas setelah gempa.

Runtuhnya dam alam di puncak Gunung Kaba menyebabkan banjir di

lembah-lembah di lereng sebelah tenggaranya.

Banjir bandang ini menyebabkan

hilangnya 90 orang penduduk. Satu kampung tenggelam oleh banjir yang dalamnya sampai 20 kaki (~6 meter) dan kemudian meninggalkan timbunan Lumpur sedlam 7 kaki (2 meter lebih). Interpretasi Lamanya goncangan dari gempa dan luas cakupan serta hebatnya kerusakan yang ditimbulkan mengindikasikan bahwa sumber gempanya sangat besar. Fakta bahwa kerusakan lebih parah terjadi di Bengkulu daripada di Padang adalah indikasi yang kuat bahwa sumber gempanya lebih dekat ke Bengkulu, artinya berda di bawah Kep.Pagai tapi tidak sampai ke Siberut (pulau yang berhadapan dengan Padang). Kerusakan akibat tsunami juga dilaporkan lebih besar/parah yang terjadi di Bengkulu – Indrapura daripada di Padang. Memang dilaporkan bahwa kapal-kapal di Pariaman

terlepas dari tambatannya, tapi deskripsinya menunjukan bahwa gelombang airlaut tidak sampai melewati dam alam di pinggiran sungai seperti halnya tsunami yang terjadi pada tahun 1797.

Meskipun demikian catatan sejarah menunjukkan bahwa

gelombang laut mencapai ketinggian 3-4 meter di pantai Padang, yang tentunya cukup untuk menyapu wilayah pantai sampai beberapa ratus meter ke darat. Tapi kelihatannya tidak melanda banyak perumahan yang masih jarang seperti terlihat di peta tahun 1828 (Gbr. 2.3)

Gambar. 2.2. Peta Kota Padang dari tahun 1781 – digambar kembali dari arsip peta kuno [diambil dari Natawidjaja et al., 2006].

2.2 Studi Kasus: Gempabumi Aceh-Andaman, 26 December 2004 Dari uraian di atas, sekarang kita mengerti bahwa gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh-Andaman bukanlah refleksi dari alam yang murka, melainkan ekspresi bumi dalam melepaskan “stress” yang sudah taktertahankan lagi setelah bertahan selama beratus-ratus tahun. Bagi bumi ini adalah ekspresi biasa-biasa saja yang akan terus diulang-ulang dalam kurun waktu bumi. gempabumi

Meskipun demikian, bagi kita,

dan tsunami yang terjadi bulan Desember 2004 di wilayah Aceh-

Andaman adalah bencana alam terbesar dalam kurun seratus tahun terakhir. Gempabumi yang menimbulkan tsunami maut ini terjadi pada zona subduksi Sumatra-Andaman.

Gempabumi

ini memecahkan bidang kontak zona subduksi

sepanjang sekitar 1600km, mulai dari P. Simelue sampai ke wilayah Kep. Andaman (Gbr 2.10).

Akibat lempeng Hindia yang bergerak terus menerus sekitar 30

mm/tahun menghimpit lempeng Sumatra-Andaman, maka setelah lebih dari 300 tahun tidak ada gempabumi raksasa (=yang berkekuatan sama dengan atau lebih besar dari magnitude 8 ~ skala Richter) akhirnya akhir Desember 2004 energi elastik dari tekanan yang terakumulasi sekian lamanya akhirnya dilepaskan dalam satu hentakan maut dari gempabumi berkekuatan Mw 9.2. Pulau-pulau dan dasar lautan di timur palung sepanjang 1600km tersebut tiba-tiba terpelanting ke barat 10 - 30 meter, dan terangkat ke atas beberapa meter.

Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya bumi

berguncang dan berapa banyaknya volume air laut yang tiba-tiba ikut terangkat akibat dasar laut yang naik tersebut.

Tak heran kalau tsunami yang terjadi demikian

dahsyatnya.

2.2.1 Gempa-tsunami Aceh adalah proses alam biasa Memandang dari kacamata lain, peristiwa gempabumi dan tsunami di Aceh, selain merupakan bencana alam besar juga menjadi obyek yang sangat penting bagi para ahli gempabumi dan tsunami se-dunia. Selain keanehan kejadiannya juga gempa

megathrust tahun 2004 ini adalah yang pertama terjadi setelah alat pemantau

gempabumi modern banyak terpasang, khususnya jaringan seismometer dan statsiun

GPS (Global Positioning System).

Disebut keanehan karena sebelumnya zona

subduksi Aceh-Andaman diklasifikasikan sebagai yang kurang berpotensi untuk menghasilkan gempa raksasa (Skala Magnitudo/Richter ≥ 9).

Alasan utamanya

adalah karena lempeng yang menunjam umurnya sangat tua dan kecepatan gerak lempengnya relatif rendah.

Karena itu kejadian Gempa raksasa Aceh-Andaman di

jalur yang sebelumnya tidak diduga telah merubah paradigma dasar dalam ilmu gempabumi dan konsep mitigasinya.

Data gempa dan tsunami Aceh yang sekarang

tersedia, baik dari peralatan modern yang terpasang ataupun dari hasil penelitian geologi lapangan, merupakan sumber data penting bagi para ahli untuk lebih mengerti proses alam yang seringkali membawa malapetaka besar ini.

2.2.2. Bagaimana para ahli meneliti gempabumi ? Salah satu obyek utama untuk mengerti gempabumi sehingga kita dapat lebih akurat memperkirakan potensi bencananya di masadepan adalah dengan meneliti dengan sebaik-baiknya fenomena dan perubahan alam yang terjadi pada waktu gempabumi. Salah satu fenomena yang terjadi adalah adanya pergerakan lempeng dan perubahan muka bumi. Dalam hal gempa megathrust Aceh-Andaman, daerah yang berada di atas blok lempeng yang bergerak akan terhentak naik ke atas dan bergeser ke barat. Perubahan muka bumi dapat diukur dengan memakai tiga metoda: (1)

metoda

mikroatol

untuk

mengukur

terumbu

karang

(koral)

yang

terangkat/tenggelam [Natawidjaja et al., 2004], (2) analisa citra satelit [Meltzner et al., 2006], dan (3) GPS.Kedua metoda pertama dapat mengukur gerak naik dan turunnya mukabumi [Segall and Davis, 1997]. Yang ketiga, GPS, mengukur baik perubahan naik-turun dan juga pergerakan horizontal. Dari pengukuran ini kemudian kita dapat memodelkan dimensi dan kekuatan sumber gempa-nya.

2.2.3. Pengukuran lapangan di Pulau Simelue Pada bulan Januari, dan kemudian bulan April 2005, tim peneliti Geoteknologi LIPI dan California Institute of Technology mengukur perubahan muka bumi di Pulau Simelue akibat gempa Aceh-Andaman dengan memanfaatkan koral mikroatol seperti yang sudah dilakukan oleh peneliti terdahulu [Natawidjaja et al., 2004; Sieh et al., 1999; Taylor et al., 1987; Zachariasen et al., 1999]. Koral Porites mikroatol banyak tumbuh berkembang di P. Simelue. Pada waktu gempa Aceh banyak pantai berikut koral-koralnya terangkat (Gbr 2.4)

Gambar 2.4. Pantai di baratlaut P. Simelue yang terangkat oleh gaya tektonik sekitar 150cm.

Koral mikroatol tumbuh dari sejenis terumbu karang, genus porites yang hidup di zona pasang-surut di tepi pantai. Porites pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh perubahan tinggi muka airlaut. Pertumbuhan koral mikroatol tidak bisa melebihi tinggi airlaut minimum (air surut). Artinya koral ini akan tumbuh ke atas sehingga mencapai

permukaan air, dan setelah itu akan tumbuh kesamping (Gbr.2.5.). Maka permukaan dari koral mikroatoll identik dengan permukaan air laut kala itu.

Apabila pantai

terangkat maka tubuh mikroatol yang tersembul ke atas air akan mati. Bagian koral yang masih berada dalam air akan tetap hidup (Gbr. 2.5 & 2.6). Batas bagian koral hidup dan yang mati ini dapat jelas diamati dilapangan.

Apabila koral terangkat

seluruhnya, maka akan mati total (Gbr. 2.5.B). Dalam hal ini kita harus mencari muka air laut setelah gempa pada koral mikroatol lain yang berada di lokasi lebih dalam sehingga ada bagian tubuhnya yang masih terendam air dan hidup. Apabila tanda muka air laut setelah gempa ini tidak dapat ditemukan pada tubuh kora maka kita dapat menghitungnya dari pengukuran lapangan dan kurva pasang-surut yang dihitung dengan metoda tertentu [Meltzner et al., 2006]. Sebaliknya apabila muka pantai turun, maka koral akan tenggelam (Gambar 2.5.C). Besarnya penenggelaman ini juga dapat diukur dari tinggi permukaan mikroatol ke tinggi air laut (surut) setelah gempabumi.

Gambar 2.5. Mempergunakan koral porites mikroatol untuk mengukur naik dan turunnya daratan/pantai. Prinsipnya: koral mati kalau berada di atas muka laut. A. Koral tidak terangkat seluruhnya sehingga hanya bagian atasnya saja yang mati. Besar naiknya pantai diukur dari bagian atas mikroatol sampai bagian koral yang masih hidup. B. Koral terangkat seluruhnya sehingga mati total. Besarnya pengangkatan diukur dari bagian atas koral mati sampai muka air-laut (surut). C. Pantai turun sehingga koral mikroatol tenggelam. Besarnya pantai turun diukur dari permukaan koral ke muka laut. (dimodifikasi dari Briggs et all [2006].

Gambar 2.6. Photo koral yang terangkat. Besarnya pengangkatan dapat diukur dari permukaan koral (=muka laut sebelum gempa) ke batas koral yang masih hidup (=muka laut setelah gempa).

Bagian utara Simelue naik sampai 150cm (Gambar 2.7).

Paparan terumbu

karang dangkal di zona-pasang surut yang tadinya terendam air sekarang berada di atas air, alias menjadi daratan (Gbr.2.4).

Dengan kata lain, garis pantai menjadi

menjauh ke laut, dan daratan bertambah beberapa puluh sampai beratus-ratus meter. Kontras dengan bagian utara, bagian selatan dari Simelue malah turun sampai beberapa puluh cm. Penenggelaman bagian Selatan Pulau Simelue yang hanya beberapa puluh sentimeter tentunya tidak se-dramatis daerah utara yang terangkat, namun hal ini banyak dirasakan oleh penduduk setempat. Mereka mengamati bahwa air laut makin menjorok kearah darat, mendekati rumah-rumah mereka.

Gambar 2.7. Peta perubahan muka bumi di Simelue dari hasil pengukuran koral mikroatol (Tim LIPI – Caltech, 2005). Garis biru (penuh dan putus-putus) adalah kontur yang menghubungkan daerah yang terangkat sama besar. Satuan dalam cm. Garis hitam tebal adalah batas selatan dari daerah yang terangkat. Di selatan garis itu, bagian selatan pulau turun.

Dari banyak pengukuran di 39 lokasi survey, kemudian dibuat peta perubahan muka bumi dari Simelue (Gbr. 2.7.). Batas antara wilayah yang naik dan turun terlihat berada di tengah-tengah Pulau Simelue.

Batas ini menandai batas selatan dari

sumber gempabumi atau bagian lempeng yang tersobek di bawah bumi takala gempa terjadi. Jadi, prinsipnya dengan mengukur deformasi yang terjadi di permukaan kita dapat mengetahui sumber patahan gempa dan besar pergerkan tektonik.

2.2.4. Analisa Citra Satelit dari Gempa Aceh Pengukuran naik dan turunnya muka bumi dengan metoda mikroatol di atas sangat akurat. Ketelitiannya antara 5 – 10 cm. namun metoda ini cukup mahal dan seringkali tidak mudah kalau untuk memetakan wilayah yang sangat luas. Untuk itu

diperlukan metoda Bantu lainnya, yang walaupun tidak begitu akurat, tapi dapat memetakan perubahan muka bumi untuk wilayah luas dengan cepat dan lebih murah. Untuk itu pengukuran dibantu dengan metoda analisa citra satelit [Meltzner et al., 2005]. Prinsipnya dari image citra satelit yang diambil sebelum dan sesudah gempa kita dapat melihat dan mengukur perubahan muka bumi yang terjadi (Gbr.2.8). Terumbu karang yang mengelilingi pulau terlihat agak buram sebelum gempabumi karena berada di bawah airlaut. Apabila pantai ini terangkat maka terumbu karang yang sekarang berada di atas air akan lebih banyak merefleksikan sinar matahari sehingga terlihat lebih terang dalam citra image yang diambil setelah gempabumi. Demikian pula sebaliknya, apabila pantai tenggelam, maka citra image setelah gempabumi akan memperlihatkan gugusan terumbu karang yang lebih buram karena berada lebih jauh di bawah air, dan air laut pun terlihat naik ke daratan (Gbr. 2.8).

Gambar 2.8. Pulau yang naik dan turun terlihat pada citra satelit. (a) Sebelum gempa Gugusan terumbu karang disekeliling pulau terlihat samar-samar. (b) Setelah gempa terumbu

karang menjadi putih berkilau karena terangkat ke atas air. (c) sebelum gempa gugusan terumbu karang terlihat lebih terang karena dekat air. (d) Setelah gempa terumbu karang menjadi lebih gelap karena tenggelam (dimodifikasi dari [Meltzner et al., 2005])

2.2.5. Pengukuran GPS (Global Positioning System) Selain dari koral mikroatol dan citra satelit, pergerakan mukabumi ini juga terekam di statsiun-statsiun GPS (kontinyu) (Gambar 2.9).

Alat GPS ini dapat

merekam pergerakan bumi dari titil lokasi antenna GPS dengan sangat akurat (ketelitian sub-mm pertahun). Prinsipnya, sejumlah satelit GPS yang mengitari bumi memancarkan gelombang yang dapat ditangkap oleh antenna GPS, sehingga alat penerima data GPS (“receiver”) mencatat jarak antara antenna dengan satelit-satelit yang tertangkap sinyalnya.

Posisi dari satelit-satelit tersebut setiap saat dapat

diketahui dengan sangat akurat, sehingga posisi dari lokasi GPS setiap saat dapat diketahui.

Dengan cara ini maka besarnya laju dan arah dari pemampatan kerak

(tekanan tektonik) pada saat sebelum gempabumi dapat dihitung. Demikian juga apabila terjadi gempa maka besarnya pergerakan dari lokasi GPS dapat diketahui.

Photo: J. Galetzka Gambar 2.9. Photo statsiun GPS LIPI-Caltech yang terdiri dari kubah berisi antena yang didirikan di atas empat kaki besi yang sangat kokoh dan tiang dengan kotak putih yang berisi alat penerima data yang tersambung kepada sel matahari sebagai sumber tenaganya. A. GPS di Aceh Jaya. B, GPS di Bandara Lasikin, Sinabang, C. GPS di Lewak, Simelue, D. GPS di Lahewa, Nias.

Orang dapat juga mengukur pergerakan dengan cara mengukur titik-titik monument geodesi yang telah dipasang di berbagai lokasi dengan peralatan mobile

GPS.

Dengan cara ini maka orang dapat menghitung besarnya pergerakan pada

waktu gempa, yaitu jarak dari titik monument sebelum dan setelah gempabumi. Data GPS yang terlihat pada Gambar 2.10 menunjukan besarnya pergerakan muka bumi dari pengukuran GPS, di wilayah bagian Barat Sumatra Utara – Aceh sampai Kep. Andaman.

Terlihat bahwa wilayah/zona mukabumi dari Aceh sampai

dengan Kep. Andaman bergerak sampai sekitar 8m (=pergerakan di permukaan) ke arah barat.

Fenomena ini adalah fakta alam dari kekuatan gempa yang luarbiasa dahsyat. Gempa tahun 2004 ini menyebabkan banyak koloni terumbu karang, termasuk di utara P. Simelue menjadi tersembul di permukaan air dan mati, pulau-pun menjadi bertambah luas karena wilayah perairan dangkal di sekitarnya sekarang sudah menjadi daratan.

Gambar 2.10. Data GPS, koral, dan citra satelit dari pergerakan bumi pada waktu gempa Aceh-Andaman. Bulatan merah dan biru adalah data lokasi yang naik dan turun dari citra satelit. Segitiga yang menunjuk ke atas dan ke bawah adalah data lokasi turun dan naik dari pengukuran koral dan GPS. Tanda panah hitam adalah data pergerakan horisontal dari pengukuran GPS. Garis oranye adalah sumbu yang memisahkan wilayah yang naik dan yang turun pada waktu gempa ( sumber: [Chlieh et al., in press] )

2.2.6. Model Sumber Gempabumi Aceh Gabungan data pergerakan bumi dari pengukuran lapangan, analisa citra satelit, dan GPS dipakai untuk membuat model (deformasi kerak bumi) dari sumber gempa bumi Aceh-Andaman.

Hasil pemodelan menunjukan bahwa bidang zona subduksi

yang pecah sewaktu gempa bumi adalah sepanjang ~1600km, lebar ~100km. Pergeseran pada bidang zona subduksi yang berkemiringan 12°-15° adalah sampai maximum 30 m ke barat (Gbr. 2.11). Kemiringan sudut zona subduksi ini dianalisa dari data seismik.

Gambar 2.11. Model gempabumi Aceh-Andaman. Memperlihatkan sumber gempabumi 26 Desember 2004 adalah pergerakan bumi pada bidang zona subduksi. Bidang sumber gempa ini berkemiringan ~12° ke timur, panjangnya sampai 1500-km lebar 150-km. Blok bumi di atasnya bergerak ke barat sampai 30 meter. Zona merah muda adalah bagian yang bergerak paling besar. Panah hitam adalah data pergerakan dari pengukuran GPS. Panah merah adalah dari model ( sumber: [Chlieh et al., in press] )

2.2.7. Apakah Tsunami Akan Terulang Lagi di Aceh? Setelah kita mengerti bahwa gempabumi adalah proses alam yang mempunyai siklus, tentunya kita tahu bahwa di masa lalu sudah berulang kali terjadi peristiwa

alam ini hanya kejadiannya sudah sangat lama sehingga tidak tercatat dalam sejarah. Lalu bagaimana kita tahu berapa sering gempa sebesar ini terjadi? Sehingga dengan mengerti hal ini kita dapat mengantisipasi kapan gempa berikutnya datang lagi. Untuk itulah salah satu gunanya penelitian pasca gempa. Perioda ulang suatu gempabumi dapat diperkirakan dengan membagi besarnya pergerakan lempeng pada waktu gempa tersebut dengan laju penunjaman lempeng. Dari pengukuran GPS regional dan tektonik lempeng kita tahu bahwa laju penunjaman lempeng di sepanjang palung Aceh-Andaman adalah umumnya tidak lebih dari 30 mm/tahun.

Jadi untuk menghasilkan maximum pergeseran lempeng sebanyak 30m

(Gbr.2.11) diperlukan waktu akumulasi tekanan sekitar 1000 tahun.

Untuk

menghasilkan pergeseran ~10m saja seperti yang di bawah Simelue diperlukan waktu akumulasi selama lebih dari 300 tahun. Dari gambaran pelepasan energi elastic gempa seperti terlihat pada Gambar 12, kita tahu bahwa sebagian besar dari energi pemampatan tektonik di sepanjang jalur subduksi Aceh-Andaman sudah dilepaskan.

Jadi, dapat dikatakan bahwa daerah

Aceh-Andaman aman dari bencana gempa dan tsunami yang sebesar tahun 2004 paling tidak untuk 300 tahun ke depan. Tapi tetap masih ada kemungkinan terjadi gempa dengan kekuatan magnitude sampai 8, khususnya untuk wilayah Kep. Andaman yang kelihatannya masih menyimpan cukup banyak energi tektonik.

2.3 Studi Kasus: Gempabumi Nias-Simelue, 28 Maret 2005 Hanya tiga bulan setelah bencana besar di bulan Desember 2004, terjadi lagi gempa besar di wilayah Simelue dan Nias, yaitu pada tanggal 28 Maret 2005. Gempabumi ini sumbernya adalah segmen zona subduksi yang persis di selatannya segmen zona subduksi yang bergerak ketika gempa 26 Desember 2004. Seperti halnya sewaktu gempa Aceh-Andaman tahun 2004, gempa tahun 2005 inipun mengangkat sebagian wilayah terutama bagian barat Pulau Nias yang terangkat sampai 3 meter, termasuk pelabuhan Sirombu di pantai Nias barat sekarang sudah

tidak berfungsi lagi.

Wilayah selatan Pulau Simelue juga terangkat 1 s/d 1.5m,

termasuk Kota Sinabang sehingga tampak air laut sepertinya menjadi susut di sepanjang pantai.

Kota Gunung Sitoli terletak di sekitar sumbu pemisah antara

wilayah yang naik di barat dan wilayah yang turun di timur sehingga kota ini posisinya tetap, alias tidak naik dan tidak turun.

Sebaliknya desa dan kota kecamatan di

wilayah timur, seperti Desa Haloban di P. Tuanku, Banyak dan Kec. Bale, turun 0.5 dan 1m. Hal ini menyebabkan banyak rumah-rumah di tepi pantai di Haloban dan Bale terendam di bawah air sehingga tidak bisa dihuni lagi. Di daerah Nias pernah terjadi gempa raksasa (M~8.5) tahun 1861. Waktu itu tsunaminya besar dan banyak memakan korban jiwa di Nias. Kemudian, tahun 1907 terjadi lagi gempa lebih kecil (M~7.6) di daerah Simelue. Namun, meskipun gempanya tidak begitu besar tapi tsunami tahun 1907 ini sangat besar dan memakan korban jiwa ribuan orang di Simelue.

Menurut kabar jumlah korban ini lebih dari 50%

populasi Pulau Simelue waktu itu. Dari pengamatan lapangan dan wawancara dengan penduduk setempat

diperkirakan tinggi gelombang tsunami pada tahun 1907 di

Simelue sekitar dua kali lebih besar dari tsunami Aceh pada bulan Desember 2004. Bencana tsunami tahun 1907 inilah yang kami duga menjadi asal-usul cerita SMONG di Simelue. Smong adalah bahasa Simelue untuk tsunami. Setelah bencana tahun 1907, para orang tua mewasiatkan pesan pada anak-anaknya bahwa “apabila nanti ada kejadian bumi bergoncang dan airlaut di pantai surut itu pertanda smong, maka cepatlah lari ke bukit, tinggalkan harta benda”.

Pesan turun-temurun ini terbukti

ampuh menyelamatkan penduduk Simelue ketika kejadian gempa dan tsunami Aceh karena penduduk berhasil menyelamatkan diri lari ke tempat yang lebih tinggi di belakang perkampungan mereka. Hanya ada beberapa orang saja yang meninggal terkena tsunami. Tapi perlu diingat bahwa tsunami Aceh tidak sebesar yang terjadi tahun 1907. Kalau saja sama besarnya mungkin ceritanya menjadi agak berbeda. Ini menjadi bukti bahwa hanya karena masyarakat berpengetahuan sedikit saja tentang bagaimana menyelamatkan diri dari tsunami sudah sangat berguna, namun tentunya hal ini perlu ditambah dengan persiapan yang lebih matang lagi agar lebih efektif.

Jadi sejak gempa raksasa tahun 1861 (M~8.5) di segmen Nias, sudah 145 tahun-an zona subduksi ini mengumpulkan energi regangan kembali akibat himpitan tektonik; artinya sudah cukup matang. Proses pergerakan lempeng yang terjadi pada suatu segmen sumber gempa pada waktu gempabumi akan melepaskan ketegangan akibat tekanan tektonik yang terkumpul selama beratus tahun sehingga segmen patahan itu menjadi rilek. Tapi sebaliknya, hentakan gempabumi dahsyat pada suatu segmen patahan akan memberikan tekanan pada segmen patahan di sekitarnya sehingga menjadi lebih tegang [Stein et al., 1997].

Jadi apabila kondisi segmen

patahan gempa di sekitar sumber gempabumi sudah cukup matang maka proses pemicuan bisa terjadi seperti halnya gempa Nias-Simelue yang terjadi hanya 3 bulan setelah gempa Aceh-Andaman [Nalbant, 2005]. Ketika gempa Nias-Simelue terjadi, tim LIPI-Caltech baru saja memasang beberapa unit statsiun GPS di wilayah ini, tepat di atas dan sekitar sumber gempa, sehingga pergerakan tektonik yang terjadi sebelum, sewaktu dan setelah gempa terekam dengan baik oleh alat pemantau ini. Selain itu di sekeliling P. Nias banyak dijumpai

populasi

koral

mikroatol

yang

dapat

digunakan

untuk

mengukur

pangangkatan dan penurunan. Kami melakukan pengukuran pada banyak lokasi yang terangkat/turun.

Gabungan hasil pengukuran GPS dan koral ini memberikan data

deformasi (perubahan) permukaan bumi dari gempa zona subduksi yang paling lengkap dan detil di dunia.

Data semacam ini sangat langka dan penting untuk

memahami proses gempabumi.

2.3.1. Perubahan mukabumi yang terjadi Perubahan mukabumi yang terjadi pada waktu gempa Nias terlihat sangat spektakuler di wilayah Nias dan selatan Simelue. Wilayah yang terangkat paling besar adalah di sepanjang tepian pantai barat Nias dan di bagian selatan P. Simelue. Pengangkatan maximum adalah 3m, yaitu di bagian baratdaya Nias (Gbr. 2.13). Wilayah Sirombu yang yang hancur terkena terjangan tsunami pada bulan Desember 2004 (Gbr.2.14a), pada waktu gempa Maret 2005 terangkat hampir 3m.

Akibat

gempa dan pengangkatan tektonik ini pelabuhan Sirombu tidak dapat dipakai lagi (Gbr.2.14b). Pengukuran besar pengangkatan tektonik dilakukan dengan mengukur besar pengangkatan pada terumbu karang dengan alat bantu geodesi (Gbr.2.14c).

Photo: D.H. Natawidjaja, April 2005

Gbr. 2.12. Koral mikroatol di pantai timur Simelue yang merekam pengangkatan dari 3 kejadian gempabumi pada tahun 2002 (Mw7.4), 2004 (Mw 9.2), dan 2005 (Mw 8.7).

Gambar 2.13. Photo pantai Nias yang terangkat 3 meter. Terumbu karang yang banyak tumbuh pada paparan pasang-surut ini kebanyakan mati karena terangkat ke atas air.

Photo: D.H. Natawidjaja, 2005 Gambar 2.14 A. Tsunami dari gempa 26 Desember 2004 di Sirombu Nias yang rusak parah, B. Setelah dihantam tsunami Pelabuhan Sirombu ini terangkat hampir 3m ketika gempa Maret 2005, C. Pantai di timurlaut P. Nias yang terangkat sekitar 1m, D. Survey dengan RTK GPS untuk mengukur besar pengangkatan terumbu karang di P. Hinako, barat Nias.

Di selatan Simelue pangangkatan maximum adalah ~150cm (Gbr. 2.15). Besarnya pengangkatan pada waktu gempa Maret 2005 ini makin mengecil ke bagian utara sampai 0cm di ujung utara pulau. Ini adalah kebalikannya dengan yang terjadi pada waktu gempa Aceh, Desember 2004 di mana bagian utara Pulau Simelue sebaliknya naik 150cm, sedangkan bagian selatan turun (Gbr 2.7).

Jadi, setelah

mengalami dua kejadian gempa raksasa secara beruntun Pulau Simelue menjadi terangkat ~150cm seluruhnya. Demikian uniknya P. Simelue yang menjadi tempat

rendevouz-nya dua gempa raksasa ini.

Gambar 2.15. Pantai di bagian selatan P. Simelue terangkat sampai 150cm pada waktu gempa Maret 2005. Photo ini memperlihatkan pembentukan tebing pantai baru yang bergeser ke arah laut setelah. Besarnya pengangkatan dapat diukur dari ketinggian tebing pantai lama ke yang baru.

Berbeda dengan wilayah di bagian barat, wilayah timur Simelue, Banyak dan Nias mengalami penurunan tektonik sampai lebih dari 1 meter. Dibeberapa tempat akibat dari penurunan muka bumi ini sangat dramatis.

Banyak rumah-rumah

perkampungan yang sekarang ini tidak dapat dihuni karena sudah berada di bawah air seperti yang terlihat di Pulau Bale (Gbr.2.16A) dan Desa Haloban (Gbr.2.16B).

Photo: D.H. Natawidjaja, 26 Mei 2005 Gambar 2.16 A. Pulau Bale yang turun 1m. Air pasang terlihat menggenangi hampir ke tengah pulau, B. Desa Haloban turun 50cm. Sebagian rumah-rumah sekarang berada di bawah air sehingga tidak dapat dihuni lagi.

Seluruh data naik/turunnya muka bumi kemudian kami plot dan lalu dibuat analisa kontur-nya, yaitu garis yang menghubungkan lokasi-lokasi yang sama nilai pengangkatan/penurunannya (Gbr. 2.17).

Gambar 2.17a. Perubahan muka bumi yang terjadi karena gempa Nias, 28 Maret 2005. P. Simelue dan bagian barat P. Banyak dan Nias naik sampai maximum 3m. Kota Sinabang naik 1 – 1.5m. Kecamatan Bale turun 1m. Kota Singkil turun 0.5 – 1.5m. Perubahan muka bumi ini mencerminkan besarnya pergerakan lempeng dan gempabumi yang terjadi (dimodifikasi dari Briggs et al, 2006).

Gambar 2.17b Ilustrasi dari data pergerakan gempabumi yang terekam oleh statsiun GPS. Alat ini dapat merekam gerak horizontal dan vertikal dari muka bumi, yaitu: 1. gerakan perlahan-lahan pada kurun waktu antar gempa dimana lempeng tertekan ke timur dan bawah, 2. gerakan tiba-tiba ke arah barat dan atas ketika gempa. Ketika gempa Nias 28 Maret 2005 bandara Sinabang (BSIM) bergerak ke barat 233cm dan naik ke atas 165cm. Lahewa (LHWA) bergerak 425cm ke barat dan naik ke atas 288cm. Telo bergerak 17cm ke barat dan turun 1cm, dst. (illustrator: Catharine Stebbins-Caltech, diambil dari Poster Caltech-LIPI: “Memahami Gempabumi Besar”).

2.3.2. Model gempabumi Nias-Simelue tahun 2005 Dari pola dan besarnya pergerakan muka bumi seperti yang terjadi (Gbr.2.17a) kita bisa menghitung berapa besarnya pergeseran lempeng pada bidang kontak zona subduksi berdasarkan model deformasi elastik (Gambar 2.18).

Terlihat bahwa

pergeseran maximum terjadi persis di bawah P. Nias bagian utara, yaitu mencapai 11 meter, sedangkan di bawah P. Simelue bagian selatan pergeseran terjadi mencapai 8 meter (Gambar 2.18). Pergeseran lempeng sampai ke bawah P. Simuk (Kep. Batu) di selatan.

Di sini pergeseran mencapai ~3 meter dan membuat P. Simuk terangkat

~25cm. Model sumber gempabumi Nias-Simelue ini menunjukkan bahwa kekuatan gempanya mencapai Mw 8.7 [Briggs et al., 2006].

Gambar 2.18. Model sumber gempabumi Nias-Simelue, 28 Maret 2005. Bayangan kuningmerah-gelap menggambarkan besar pergeseran bumi pada bidang kontak zona subduksi yang menjadi sumber gempa. Di bawah Nias maximum pergeseran 12m dan di Simelu 8m. Pergeseran ini mengecil ke barat dan timur dari sumber gempanya. Panah hitam adalah data pergerakan permukaan dari GPS. Panah merahmuda adalah pergerakan dari model sumber gempa. Titik-titik hijau adalah lokasi pengamatan koral mikroatol untuk data naik dan turun. (dimodifikasi dari Briggs et al., 2006).

2.3.3. Gempa Nias-Simelue tsunaminya tidak besar Gempa Nias-Simelue tahun 2005 ini memakan korban jiwa hampir dua ribu orang dan meluluh-lantakan banyak bangunan (rumah-rumah) di sekitar Kota Gunung Sitoli dan Sinabang, daerah dengan populasi terpadat.

Meskipun demikian, masih

beruntung bahwa tsunami yang terjadi tidak besar sehingga tidak ada korban akibat

tsunami seperti yang terjadi pada waktu gempa Aceh-Andaman tahun 2004. Setelah gempa 2005 ini, banyak orang bertanya-tanya kenapa tidak ada tsunami? Seperti yang sudah dijelaskan di atas besarnya tsunami yang terjadi tergantung dari besarnya volume air yang didorong ke atas oleh permukaan dasar laut yang terangkat.

Berikut ini kita bandingkan gempa 2004 dan 2005.

Pertama, zona

subduksi yang pecah dan bergeser pada waktu gempa 2004 adalah sepanjang 1600km sedangkan pada waktu gempa 2005 hanya 400km. Kedua, pengangkatan tektonik yang terjadi pada waktu gempa 2004 mencapai 5.4m, sedangkan gempa 2005 hanya 2.9m. Ketiga, pada waktu gempa 2004 pengangkatan maximum banyak terjadi pada bagian laut yang dalam, sedangkan pada gempa 2005 pengangkatan terfokus pada bagian daratan (P. Nias dan P. Simelue) dan laut dangkal disekitarnya. Ketiga fakta ini menunjukan bahwa volume air laut yang terdorong ke atas pada waktu gempa Nias-Simelue 2005 jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang pada waktu gempa Aceh-Andaman 2004.

Alasan yang terakhir adalah karena daratan

(P.Nias dan Simelue) sudah terangkat ketika gempa terjadi sebelum tsunaminya datang 10 menit kemudian. Hal ini tentunya membuat limpasan tsunami di sepanjang pantai menjadi lebih kecil. Misalnya, kalaupun gelombang tsunaminya mencapai tinggi 5m, tapi karena daratan naik 3m maka tsunami yang menghempas pantai terasa seperti hanya 2m. Hal lainnya yang menyebabkan kenapa tsunami yang menghempas pantai barat Sumatra juga kecil karena keberadaan P. Nias dan Simelue menjadi seperti penghalang atau dam alam bagi gelombang tsunami yang terbentuk di bagian barat pulau-pulau, seperti yang sudah kami modelkan [Natawidjaja et al., 2007].

2.3.4. Kapan gempa selanjutnya di Segmen Nias-Simelue Gempabumi adalah siklus alam. Pada perioda antar gempa pulau Nias turun perlahan-lahan dan ketika gempa Pulau naik seketika (Gbr.2.19). Nias dan Simelue dalam kurun 200 tahun terakhir ini sudah mengalami 4 kali bencana gempabumi dan tsunami, yaitu tahun 1861 (M~8.5), 1907 (M~7.4), 2004 (M9.2), dan 2005 (M8.7). Gempabumi terakhir yang memecahkan segmen (sumber gempa) yang sama dengan

gempa 2005 adalah gempabumi tahun 1861. Dengan kata lain, segmen gempa NiasSimelue ini terakhir melepaskan simpanan energi tektoniknya ~145 tahun lalu. Tentunya kita, terutama masyarakat lokal ingin mengetahui kapan gempabumi dan tsunami akan terjadi lagi di wilayah ini. Seperti halnya dengan gempa Aceh-Andaman, proses akumulasi dan pelepasan energi (tektonik) gempa di Nias-Simelue pun dapat kita hitung-hitung, sebagai berikut ini. Di atas kita sudah bahas bahwa pergeseran maximum yang terjadi pada waktu gempa 2005 adalah 9 – 11 meter; sedangkan kecepatan penunjaman (=penghimpitan Lempeng Nias-Simelue oleh lempeng Samudera Hindia) adalah ~40 mm/tahun. Jadi waktu yang diperlukan oleh proses tektonik untuk memproduksi gempabumi sebesar yang tanggal 28 Maret 2004 lagi adalah sekitar 225-275 tahun.

Kenyataannya,

gempabumi sebelumnya yang terjadi di segmen ini adalah tahun 1861. Dengan kata lain “ellapsed time” (=kurun waktu untuk meng-akumulasi tekanan tektonik kembali sejak gempa terakhir) baru 145 tahun. Dalam 145 tahun ini lempeng Nias-Simelue baru tertekan/terhimpit= 145 tahun x 4cm/tahun ~ 5.5 meter. Bagaimana ini dapat terjadi? Adanya ketidakcocokan perhitungan

waktu akumulasi tekanan tektonik dan

besarnya tekanan (=pergeseran lempeng) adalah hal yang umum diamati di banyak sumber gempa lain di dunia. Ada beberapa hal yang membuat prediksi gempabumi jadi tidak sederhana.

Pertama, perhitungan simpel di atas mengasumsikan bahwa

proses siklus gempabumi adalah proses deformasi elastik murni, artinya sama halnya dengan sistem per pegas semua energi regangan yang terkumpul setelah kita menghimpit per tersebut akan dilepaskan seluruhnya dalam hentakan balik ketika per tersebut kita lepaskan (Gambar 2.17b). Meskipun secara umum atau untuk jangka sangat panjang (meliputi sekian banyak siklus gempa) sistem dari sumber gempabumi sama seperti sistem per pegas ini, namun detil dari proses untuk 1-2 siklus gempa saja umumnya tidak murni seperti proses deformasi elastik. Dalam kasus gempa NiasSimelue, boleh jadi bahwa gempabumi tahun 1861 tidak melepaskan seluruh energi

tektonik yang terakumulasi sebelumnya.

Jadi, mungkin pada bidang kontak zona

subduksi yang pada gempa tahun 2005 bergerak sebanyak 11 meter ini sudah ada simpanan (energi pegas) sebanyak ~5.5m yang tidak dilepaskan pada waktu gempa tahun 1861, sehingga hanya diperlukan waktu 145 tahun untuk menghasilkan pergeseran sebanyak 11m.

Boleh jadi juga kenaikan tegangan tektonik akibat

tertendang oleh Gempa Aceh-Andaman membuat segmen Nias-Simelue ini meledak prematur. Menurut catatan sejarah besarnya tsunami tahun 1861 lebih besar dari tahun 2005. Kami menduga bahwa waktu itu gempabumi merobek bagian bidang kontak zona subduksi diantara pulau dan palung laut dalam, sehingga pergesean lempeng yang terjadi mengangkat bagian laut dalam dan mendorong banyak volume air ke atas.

Pada waktu gempa tahun 2005, bagian luar (=antara pulau dan palung)

umumnya tidak banyak bergeser. Fakta ini sangat penting untuk memperhitungkan potensi gempabumi dan tsunami di masa depan. Kami curiga bahwa lokasi sumber gempa tahun 1907 adalah di bagian zona subduksi di dekat palung laut ini, sehingga walaupun kekuatan (magnitudo) gempanya tidak begitu besar (M~7.6) tapi tsunaminya besar.

Kalau ini benar, maka boleh jadi masih ada energi tektonik di

bagian barat luar ini yang berpotensi untuk menjadi sumber gempa-tsunami di masa datang. Hal ini masih menjadi obyek untuk penelitian dan analisa lebih lanjut.

Gambar 2.19. A. Sebelum gempa Maret 2005, kebun pohon kelapa ini mati tenggelam di dasar laut karena pulau ini turun perlahan-lahan sejak gempa besar terakhir tahun 1861, B.

Ketika gempa terjadi pantai ini naik lebih dari 2m sehingga kebun pahon kelapa sekarang menjadi ditengah daratan.

2.4 Laporan singkat hasil survey: Gempabumi BengkuluMentawai, 12-13 September 2007 Setelah rentetan gempa-gempa besar di Aceh dan Nias pada tahun 2004 dan 2005, kekhawatiran kita akan kemungkinan gempa besar di kawasan Kep. Mentawai, tampaknya mulai terjadi. Pada waktu maghrib tanggal 12 September 2007, gempa besar berskala momen magnitudo (atau kira-kira setara dengan Skala Richter) 8.4, menurut

analisa

terakhir

dari

USGS,

mengguncang

wilayah

Sumatra

dan

mengakibatkan banyak kerusakan bangunan serta kepanikan penduduk. Gempa ini terjadi pada batas tumbukan lempeng antara lempeng lautan Hindia dan lempeng Sumatra (Gbr 2.20).

Lempeng Hindia yang terus menerus bergerak

menekan dan menyusup di bawah busur kepulauan dan Sumatra dengan kecepatan 5 – 6 cm/tahun mengakibatkan terjadinya akumulasi energi regangan pada batas lempeng.

Gempa terjadi karena daya rekat dari batas kedua lempeng yang

bertumbukan sudah terlampaui sehingga bak sistem per pegas raksasa, busur kepulauan di Barat Sumatra yang lama tertekan ke arah timur dan ke bawah selama ratusan tahun tiba-tiba melenting balik ke arah barat dan ke atas sehingga menyebabkan tanah dan dasar laut terangkat, dan bumi disekitarnya berguncang keras. Semakin besar skala gempanya semakin luas pula batas dua lempeng yang pecah dan semakin besar pula pergerakan yang terjadi. Dari praduga awal berdasarkan data seismik dan geologi, gempa berskala 8.4 tersebut diperkirakan meluluh lantakkan zona batas lempeng di bawah wilayah antara P. Enggano dan Pagai seluas ~300 x 100 km2 dan menggerakkan bumi di atasnya beberapa meter; lebih kecil dibandingkan dengan gempa Aceh-Andaman yang luas lempeng pecahnya mencapai 1600 km dan pergerakannya mencapai 30 meter. Bidang batas lempeng di sini miring landai sekitar 12˚ ke arah timur sehingga pergerakan beberapa meter ke arah barat ini hanya mengangkat

dasar laut beberapa puluh sentimeter saja. Inilah penjelasan logis mengapa tsunami yang terjadi tidak besar dan menyebabkan mengetahui keberadaannya.

orang hampir tidak

Namun, dari simulasi model tsunami yang sudah

dilakukan, kami memperkirakan tinggi gelombang tsunami di daerah Kota Bengkulu tidak lebih dari 3 (tiga) meter, sedangkan di Padang yang lebih jauh dari sumber hanya kurang dari 1 (satu) meter. Hal ini sudah dikonfirmasi oleh laporan saksi mata dan data alat pasang surut.

Gambar 2.20.Peta Potensi Akumulasi Energi Gempa di Mentawai dari analisa data GPS dan koral mikroatol. Wilayah yang dibatasi segi-empat putih adalah perkiraan bidang patahan dari gempa utama (Mw 8.4) berdasarkan data teleseismik. Wilayah Kuning adalah zona batas tumbukan dua lempeng yang terkunci lebih dari 50% dan yang kuning tua terkunci >70% dari analisa data GPS SuGAr (sebelum gempa). Makin besar kunciannya maka makin besar akumulasi strain energi-nya. Titik-titik merah dan hijau adalah episenter gempa-gempa yang terjadi pada 12 dan 13 September 2007 dari BMG dan USGS.

Gempa berskala 8.4 ini kemudian diikuti oleh banyak gempa susulan yang muncul sambung-menyambung di wilayah sekitar lempeng yang pecah (Gbr.2.20). Yang mengagetkan, sekitar 12 jam kemudian, sebuah gempa besar lagi dengan skala magnitudo 7.8 kembali menghentak wilayah ini di waktu keheningan pagi. Gempa

inilah yang banyak menimbulkan kerusakan bangunan di Kota Padang karena meskipun lebih kecil tapi letak episenternya di sekitar Pulau Pagai Selatan yang lebih dekat dengan Padang. Gempa ini sukar untuk diklasifikasikan sebagai gempa susulan karena skalanya terlalu besar. Pada umumnya gempa susulan paling besar adalah satu skala di bawah gempa utamanya, yakni 7.4, bahkan lebih umum cenderung dua skala atau lebih di bawah skala gempa utama.

Karena itu, gempa berskala 7.8

tersebut lebih cocok untuk disebut sebagai sumber gempa baru yang terpicu oleh hentakan gempa yang pertama. Efek picu-memicu dari gempa-gempa ini memang biasa terjadi. Seperti halnya gempa besar di Nias-Simelue (Maret 2005) yang juga dipicu oleh gempa Aceh-Andaman yang terjadi tiga bulan sebelumnya. Lama efek pemicuan ini bervariasi, bisa terjadi hanya beberapa jam, hari, atau bulan, bahkan beberapa puluh tahun setelahnya, tergantung dari berbagai faktor fisik lainnya.

Picu-memicu ini ternyata tidak berhenti di Pagai Selatan.

Beberapa jam

kemudian kembali terjadi gempa cukup besar berskala 7.1 di utaranya, yakni di wilayah Pulau Sipora.

2.5 Antisipasi Gempabumi yang akan datang di wilayah Mentawai, Padang, dan Bengkulu Apakah ancaman dari rentetan gempa-gempa ini sudah berakhir? Kita semua berharap demikian, tapi data dan praduga ilmiah menunjukkan sebaliknya. Gempa raksasa yang “bertapa” sejak terakhir bangun di tahun 1797 dan 1833 ternyata belum sepenuhnya terusik. Hal ini terlihat dar hasil “plotting” dari gempa-gempa yang sudah terjadi, dan tampaknya baru melepaskan akumulasi energi yang terkumpul di bagian pinggirannya saja. Gempa yang bermula dari kakinya di ujung selatan, sekarang ini terlihat menyebar dan mengepung bagian badan dan kepala “sang raksasa”, yakni di bawah Pulau Siberut, Sipora dan Pagai (lihat Gbr.2.20). Peta potensi akumulasi energi gempa ini kami dapat dari analisa rekaman data 27 statsiun GPS (Global Positioning System) dan juga data geologi dari terumbu

karang. Sekarang sudah bertambah 2 (dua) buah stasiun GPS lagi yang baru saja selesai dipasang di Pulau Sipora dan Siberut oleh tim Geoteknologi LIPI dan California Institute of Technology (CALTECH) persis ketika gempa-gempa ini terjadi.

Pada

prinsipnya statsiun GPS ini merekam pergerakan bumi dengan sangat teliti. Apabila pergerakan statsiun GPS ini makin besar dan searah dengan pergerakan tumbukan lempeng Hindia terhadap Sumatra, maka hal ini menunjukkan makin besar juga tingkat kuncian dari batas tumbukan lempeng di bawahnya, artinya makin besar akumulasi energi regangan yang terjadi. Berdasarkan data ini maka dapat dibuat model peta yang menunjukan distribusi akumulasi energi gempa ini. Terumbu karang berjenis mikroatol juga menunjukkan data serupa.

Pertumbuhan mikroatol

sensitif terhadap perubahan muka air laut

sehingga mereka merekam gerak turun-naiknya pulau-pulau sejak 30 - 70 tahun terakhir. Makin cepat gerak pulau itu turun maka artinya makin tinggi kuncian dari batas tumbukan dua lempeng di bawahnya. Daerah kuning di peta (Gbr.20) menunjukkan wilayah batas tumbukan dua lempeng yang terkunci lebih dari 50%. Yang kuning tua menunjukkan kuncian lebih dari 70%, yakni di bawah Pulau Siberut dan Pagai. Terlihat gempa-gempa merebak dari selatan ke arah utara mengitari daerah kuning ini. Mengapa terjadi demikian? Hal tersebut dapat diterang sebagai berikut: Makin rendah tingkat kunciannya, artinya batas lempeng tersebut makin mudah pecah, jadi wajar saja kalau terlepas lebih dahulu. Bisakah badan raksasa di wilayah kuning ini bertahan dari sodokan-sodokan gempa-gempa dipinggirannya? Sampai kapan? Sayang, pertanyan penting ini sukar untuk dijawab secara lugas oleh IPTEK saat ini. Walaupun banyak sudah rahasia alam yang sudah dipahami, namun masih banyak lagi ”misteri alam” yang belum terpecahkan. Di samping itu, di Indonesia, kita terbentur pada keterbatasan dana dan SDM yang ada.

Faktanya, Indonesia tidak punya grup atau riset lab yang khusus

bekerja untuk prediksi gempa bumi dan tsunami dan bertanggung jawab untuk

memberikan saran tentang bencana yang mungkin datang. Untuk sistem yang sudah lebih mapan seperti di Jepang, perubahan pola zona kuncian atau peta wilayah kuning ini bisa terus dimonitor dan dipelajari setiap saat untuk paling tidak dapat lebih mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi. Untuk saat ini, kita hanya bisa mengatakan bahwa kemungkinan terjadinya gempa dan tsunami yang lebih besar di wilayah Mentawai dan pesisir barat Sumatra ini sangat tinggi. Proses perambatan gempa-gempa ke arah dan mengelilingi sumber utamanya mengindikasikan hal ini; namun waktu lebih spesifik-nya tetap sukar untuk kita prediksi, apakah akan terjadi dalam bilangan hari, minggu, bulan, atau bahkan mungkin tahunan.

Jadi masalah selanjutnya adalah bagaimana merealisasikan

tindakan kita secara positif untuk mengantisipasi bencana ini. Seperti sudah dibahas di atas, wilayah Padang dan Bengkulu pernah mengalami gempa sangat besar pada tahun 1797 dan 1833. Walaupun demikian kerusakan dan korban jiwa yang terjadi tidak banak karena pada waktu itu infrastruktur dan populasi penduduknya masih sedikit. Kota Padang misalnya,pada tahun 1833 populasinya hanya sekitar 14.000 jiwa. Sekarang, wilayah Padang ini penduduknya mencapai lebih dri 800.000 jiwa. Kejadian gempa besar tanggal 12-13 September 2007 cukup menimbulkan banyak kerusakan dan juga memakan beberapa puluh korban jiwa. Namun yang lebih meresahkan adalah bahwa gempa-gempa ini hanya melepaskan sebagian kecil saja dari simpanan energi gempa yang tersimpan di bawah pulau-pulau Mentawai. Artinya, kemungkinan terjadi lagi gempa lebih besar di wilayah ini malah menjadi bertambah tinggi, dan kewaspadaan dan kesiapsiagan masyarakat perlu ditingkatkan. Ada beberapa hal isyu utama yang perlu segera ditangani: 1. Kepanikan masyarakat yang tidak perlu: Masyarakat wilayah Padang dan Bengkulu sekarang ini banyak yang menjadi terlalu panik dan ketkutan karena ancaman gempa dan tsunami. Sumber dari kepanikan yang sebenarnya tidak perlu terjadi ini adalah karena sangat minimnya pengetahuan tentang proses

gempa dan tsunami serta informasi berbobot yang sampai ke masyarakat luas. Yang terjadi adalah banyak informasi ramalan gempa dan tsunami yang ngawur, tidak bertangung jawab atau dari sumber yang tidak jelas. Kekurang pengetahuan dari masyarakat dan juga pejabat pemerintah di pusat dan daerah menyebabkan informasi-informasi salah kaprah ini mudah berkembang menjadi isyu keresahan yang serius. 2. Mempersiapkan masyarakat apabila terjadi gempa dan tsunami besar: Disamping kita tidak menghendaki masyarakat menjadi terlalu resah, dilain pihak informasi (yang benar) tentang ancaman gempa dan tsunami ini harus sampai dan selalu diingatkan kepada masyarakat. Karena walaubagaimanapun kita tidak menghendaki bencana itu terjadi saat masyarakat lengah dan tidak siap sehingga menimbulkan banyak korban. Usha untuk mempersiapkan masyarakat tentunya tidak hanya sebatas informasi tentang apa yang bisa terjadi tapi uga mengajarkan tip-tip mudah dan tepat untuk individu dan keluarga agar dapat menghindari bencana yang terjadi. 3. Membuat peta rawan bencana detil yang berkualitas: Peta rawan bencana yang berkualitas harus dibuat berdasarkan data sumber bencana (gempa dan tsunami) yang akurat berdasarkan penelitian yang cukup. Kemudian skala petanya harus cukup besar (memadai) agar dapat dibuat sebagai panduan untuk masukan pembuatan RT RW, membuat persiapan tanggap darurat, membuat rute evakuasi, dan sebagainya. 4. Membuat analisa resiko bencana detil: Efek bencana yang mungkin terjadi seperti yang dimuat di peta rawan bencana harus dijabarkan lebih detil lagi. Dengan kata lain harus dibuat analisa tentang berapa rupiah kerugian yang akan terjadi, berapa korban jiwa, bagaimana efeknya kepada kondisi lingkungan hidup perekonomian setempat dan regional – nasional, dan sebagainya.

5. Persiapan evakuasi, pengungsian dan kondisi darurat lainnya: Pembangunan dan perubahan infrastruktur pun harus dilakukan untuk mempersiapkan apabila bencana terjadi. 6. Membuat RT RW dan perangkat hukum untuk pembangunan tata ruang ke depan agar wilayah ini lebih aman bencana untuk jangka panjang: Untuk jangka panjang sampai puluhan tahun ke depan diharapkan bahwa pada akhirnya wilayah rawan bencana menjadi wilayah aman bencana. Hal ini dapat dilakukan apabila rencana pembangunan yang dituangkan dalam RT RW dan juga perangkat hukum untuk menyokong hal tersebut dilaksanakan, sehingga secara setahap-demi setahap populasi penduduk yang tadinya berada di wilayah rawan bencana bergeser ke wilayah aman. Demikian juga dengan kualitas bangunan, yang tadinya banyak bangunan yang tidak tahan guncangan gempa menjadi lebih tahan gempa.

3. Jalur Gempabumi di Pegunungan Bukit Barisan (Patahan Sumatra) 3.1. Potensi bencana gempabumi di jalur Patahan Sumatra Sebagian efek dari pergerakan tumbukan lempeng yang miring di sepanjang barat Sumatra diakomodasi oleh zona patahan aktif di darat yang dikenal sebagai Patahan Sumatra [Katili and Hehuwat, 1967; Sieh and Natawidjaja, 2000].

Jalur

patahan sepanjang 1900 km ini melintas disepanjang punggungan Pulau Sumatra atau Pegunungan Bukit Barisan.

Keberadaannya menjadi ancaman bencana gempa ke

wilayah di sekitarnya, terutama untuk wilayah dengan populasi yang padat [Natawidjaja and Triyoso, 2007]. Sudah banyak sekali gempa besar yang terjadi di sepanjang Patahan Sumatra yang tercatat dalam sejarah dalam kurun waktu 200 tahun terakhir. Meskipun demikian ancaman bencana yang serius dan akan terus berlangsung ini belum mendapat perhatian yang cukup dan belum diperhitungkan

dalam rencan pembangunan wilayah ataupun dalam peraturan standar bangunan (building code).

3.2. Pemetaan jalur Patahan Sumatra untuk mengantisipasi bencana gempa Meskipun keberadaan patahan Sumatra ini sudah diketahui sejak tahun 1960an, namun sebelum tahun 2000-an belum ada yang memetakannya secara detil. Padahal untuk melakukan analisa bencana gempa bumi kita perlu punya peta yang cukup detil (1:100.000 atau lebih besar).

Peta patahan ini harus dapat

memperlihatkan secara cukup akurat lokasi geografis dari garis patahannya, perubahan arah dari jalur patahan, dan diskontinuitas dari segmen patahan.

Sieh and Natawidaja [2000] adalah yang pertama memetakan Patahan Sumatra ini berdasarkan analisa geomorfologi dari peta topografi skala 1:50.000 dan foto udara stereo skala 1:100.000; juga dbantu oleh citra landsat.

Mereka memetakan jalur

patahan ini dengan bantuan GIS (Geographic Information System) sehingga analisa dan penggunaannya menjadi luwes. Ada dua bahaya utama gempa yang harus ditanggulangi. Yang pertama adalah bahaya akibat pergerakan di sepanjang jalur patahan ketika gempa bumi. Yang kedua adalah bencana akibat goncangan gempa bumi. Bencana akibat pergerakan patahan dapat dikurangi dengan memperhitungkan keberadaan jalur gempa bumi ini dalam perencanaan pembangunan dan penataan lingkungan hidup. Di California misalnya, zona 20 meter di kanan kiri jalur patahan aktif tidak boleh dipakai untuk pembangunan rumah-rumah apalagi untuk bangunan umum seperti sekolah dan rumah sakit. Bencana akibat goncangan dapat dikurangi dengan membuat peraturan tentang

keharusan

membuat

struktur

bangunan

tahan

(goncangan)

gempa.

Peraturan dan standar teknis-nya tentu harus disesuaikan berdasarkan zonasi tingkat

kerawanan gempanya. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin dekat dengan jalur patahan gempa akan semakin besar goncangan yang terjadi pada waktu gempabumi.

3.3 Tektonik dan segmentasi Patahan Sumatra Berdasarkan pemetaan detil yang dilakukan oleh Sieh and Natawidjaja [2000] Patahan Sumatra dibagi menjadi 20 segmen utama yang panjangnya 35 s/d 200 km tiap segmen (Gbr. 3.1 dan Table 3.1).

Untuk sistematika dan konsistensi, masing-

masing segmen ini diberi nama sesuai dengan nama sungai atau teluk yang dilalui oleh segmen tersebut. Segmen

patahan

ini

terpisahkan

satu

dengan

lainnya

oleh

banyak

sekali ”diskontinuitas” selebar 4 sampai dengan 12 km. Dari teori mekanika gempa, adanya diskontinuitas ini mempengaruhi/membatasi besar maksimum gempa yang dapat terjadi [Harris et al., 1991; Harris and Day, 1993].

Faktanya sumber

gempabumi yang sudah terjadi (dalam sejarah) selalu di pengaruhi atau dibatasi oleh diskontinuitas segmen ini [Natawidjaja and Triyoso, 2007]. Memahami aspek segmentasi patahan ini penting karena segmentasi ini mempengaruhi/menentukan dimensi dari sumber gempa atau membatasi besar maximum dari magnitudo gempabumi.

Catatan sejarah menunjukkan segmentasi

patahan ini membatasi besar magnitudo gempa merusak antara 6.5 s/d 7.7 skala magnitudo (atau skala Richter) [Natawidjaja and Triyoso, 2007]. Tiap patahan aktif mempunyai kecepatan gerak tertentu. Patahan aktif Sumatra mempunyai kecepatan gerak dari hanya 2.5 mm/tahun di Selatan kemudian tambah cepat ke utara menjadi sekitar 30 mm/tahun di Danau Toba. Kecepatan gerak atau sliprate ini menentukan perioda ulang gempa. Makin cepat geraknya akan makin sering gempanya.

Gambar 3.1. Peta jalur Patahan Sumatra. Patahan besar ini terbagi menjadi 20 segmen utama (sumber dari: [Natawidjaja and Triyoso, 2007]

3.4. Kecepatan gerak patahan (sliprate) Besarnya kecepatan gerakan (akibat tektonik) di jalur patahan aktif sangat penting untuk memahami tektonik dan aspek kebencanaannya. Dalam laporan ini, pembahasan akan sibatasi hanya untuk memahami potensi bencananya. Secara teoritis, akibat bentuk batas lempeng Sumatra yang melengkung, maka tumbukan lempng yang miring dari lempeng lautan Hindia-Australia terhadap lempeng Sumatra atau lempeng benua Eurasia ini akan membuat kecepatan gerak patahan menjadi semakin cepat ke utara.

Dari pengukuran yang dilakukan terbukti bahwa

hipotesa ini secara umum memang benar. Pengukuran besar kecepatan gerak patahan di sekitar Selat Sunda adalah hanya sekitar 2.5 mm/tahun [Natawidjaja and Triyoso, 2007].

Sieh et al [1994; Sieh

et al., 1991] dan Sieh and Natawidjaja et al, [2000] melakukan pengukuran kecepatan gerak berdasarkan besarnya offset endapan sediment dan sungai serta umur dari endapan/sungai tersebut.

Hasilnya kecepatan gerak patahan Sumatra di selatan

khatulistiwa adalah sekitar 10-11 mm/tahun (Gbr 3.2).

Kecepatan gerak ini

kelihatannya bertambah ke utara. Di Danau Toba (2˚LU) pengukuran menunjukkan bahwa kecepatan gerak patahan ini sekitar 27 mm/tahun.

Belum dilakukan

pengukuran (geologi) kecepatan gerak patahan di utara Danau Toba, namun ujung utara dari Patahan Sumatra di Laut Andaman diduga mempunyai kecepatan gerak sekitar 37 mm/tahun berdasarkan data geofisika (i.e. dari liniasi magnetic dari kerak dasar lautan untuk analisa kecepatan bukaan jalur pemekaran laut andaman).

Genrich at all [2000] juga melakukan studi kecepatan gerak dari Patahan Sumatra dengan memakai metoda pengukuran memakai survey GPS. Hasilnya secara umum cukup bersesuaian dengan hasil pengkuran geologi (Gambar 3.2). Namun di beberapa tempat, khusunya di Bukit Tinggi hasilnya ada perbedaan cukup tajam. Hasil pengukuran geologi hanya 11 mm/tahun sedangkan dari pengukuran GPS adalah sekitar 22 mm/tahun alias dua kali lebih cepat. Karena itu hal ini masih harus diteliti

lebih lanjut. Hal yang aneh lainnya adalah pengukuran GPS di Aceh yang menunjukan kecepatan gerak dari segmen patahan Seulimeum hanya sekitar 13 mm/tahun. Hal ini sangat rendah dibandingkan dengan analisa tektonik.

Dari tektonik seharusnya

kecepatan di sini antara 27 mm/tahun dan 37 mm/tahun. Hal inipun harus dikaji lebih lanjut.

Gambar 3.2. Peta Patahan Sumatra memperlihatkan kecepatan gerak patahan dari data pengukuran geologi dan survey GPS. Angka berwana putih adalah kecepatan gerak patahan (dalam mm/tahun) dari pengukuran geologi. Angka yang kuning adalah hasil pengukuran survey GPS. Kecepatan gerak relative lempeng adalah 57 mm/tahun, yang terbagi menjadi 45mm/tahun adalah komponen gerak yang tegak lurus batas lempeng dan 29 mm/tahun adalah komponen gerak (dekstral) yang sejajar lempeng (sumber: Natawidjaja and Triyoso [2007] ).

Sumani

Sianok

Sumpur

Barumun

Angkola

Toru

Renun

Tripa

Aceh

Seulimeum

10

11

12

13

14

15

16

18

19

20

1B

1A

1C

1D

1E

1F

1G

1H

1I

1J

1K

1L

1M

1N

1O

1P

1Q

1R

1S

#

5

4.4

3.4

2

1.2

0.3

0.3

0

-0.7

-1

-1.75

-2.25

-2.5

-3.35

-3.65

-4.35

-5.3

-5.9

-6.75

Y1

5.9

5.4

4.4

3.5

2

1.8

1.2

0.3

0.1

-0.5

-1

-1.7

-2.4

-2.75

-3.25

-3.8

-4.35

-5.25

-5.9

Y2

Location

120

200

180

220

95

160

125

35

90

60

95

70

60

85

70

85

150

65

150

(km)

Length

1964(Ms=6.5)

no record

1936 (Ms7.2); 1990(Ms=6?)

1936(Ms=7.2)

1916; 1921 (mb=6.8);

1987(Ms=6.6)

1892(Ms=7.7)

no record

no record

1926 (Ms~7)

1943(Ms=7.6); 1926(Ms~7)

1943(Ms=7.4)

1909(Ms=7.6); 1995(Mw=7.0)

no record

1943(Ms=7.3); 1952(Ms=6.8)

1979(Ms=6.6)

1893

1933(Ms=7.5); 1994(Mw=7.0)

1908

None - but many recent M4-6

Year(M)

Historical Earthquakes

stepover

Small depression on dilatational

thrusts

mountainous range, associated with

Alas Valley

Tarutung Valley

uplifted hill on the east side of the bend

the fault

mountainous ranges on both sides of

long (Sumpur) valley along the fault

normal faults

wide depression associated with

Lake Singkarak

volcano

Lake Diatas, calderas and Talang

volcanic cone

small depression, calderas and young

Lake Kerinci and Kunyit volcano

n/a

depression valley and Kaba volcano

valley, depression

fault

mountainous range on east side of the

Suoh geo thermal valley

east facing scarp

submarine graben

Geomorphic Features

7.5

7.7

7.7

7.8

7.4

7.6

7.5

6.9

7.3

7.2

7.4

7.2

7.2

7.3

7.2

7.3

7.6

7.2

7.6

M Max1

7.6

7.9

7.8

7.9

7.4

7.7

7.6

6.9

7.4

7.2

7.4

7.3

7.2

7.4

7.3

7.4

7.7

7.2

7.7

M Max2

Magnitude

n/a

n/a

n/a

n/a

27

n/a

n/a

n/a

n/a

11

11

11

11

11

11

11

n/a

n/a

n/a

13

n/a

n/a

26 ± 2

24

19 ± 4

4

n/a

23 ± 3

23

23 ± 5

23

n/a

n/a

n/a

n/a

n/a

n/a

n/a

mm/yr

by GPS

by Geol. mm/yr

Slip Rate

Slip Rate

Table 3.1 Segmen utama dari Patahan Sumatra dan karakteristiknya (Sumber: Natawidjaja and Triyoso[ 2000] )

Suliti

6

9

Ketaun

5

Dikit

Musi

4

Siulak

Manna

3

8

Kumering

2

7

Sunda

Semangko

1

Section

Index

3.5. Sejarah gempabumi di Patahan Sumatra dan potensi bencana di masa depan Dokumentasi dari sejarah gempabumi yang terjadi dari jalur patahan gempa bumi adalah sangat penting untuk evaluasi potensi bencananya. Sejarah gempa di sepanjang Patahan Sumatra relatif cukup baik untuk kurun 100 tahun terakhir. Tentunya tidakmudah untuk mengumpulkan data catatan sejarah ini karena tersebar di berbagai media. Ada kejadian gempa yang datanya cukup banyak ada juga yang datanya sangat sedikit. Di beberapa lokasi, seperti di wilayah Sumatra barat [Natawidjaja et al., 1995; Untung et al., 1985] dan daerah Danau Ranau (Sumatra Selatan) [Natawidjaja, 1994], sudah dilakukan studi lapangan dengan meneliti jejak-jejak dari gempa masa lalu ini dan mewawancara para saksi mata yang masih hidup tentang efek dan fenomena dari gempa-gempa tersebut.

Kemudian dari catatan kerusakan tiap kejadian

gempa kita dapat menganalisa di mana segmen patahan yang pecah dan bergerak ketika gempabumi tersebut.

Berdasarkan studi sejarah dan analisa

patahan ini dibuat peta sejarah kegempaan dan lokasi dari masing-masing kejadian gempanya seperti terlihat pada Gambar 3.3. Sejak tahun 1890-an sudah sebanyak 21 kali gempa besar yang terjadi di sepanjang Patahan Sumatra. Artinya patahan berpotensi mengeluarkan 1-2 kali gempa besar setiap dekade (10 tahun). Potensi ini tentunya termasuk sangat tinggi.

Gempa-gempa besar terakhir adalah gempa Liwa tahun 1994 (M6.9),

Gempa Kerinci tahun 1995 (M7.0), dan gempa di Singkarak-Solok pada tanggal 6 Maret tahun 2007. Untuk mengetahui potensi gempa dari satu egmen patahan kita harus mengetahui kapan gempa besar terjadi di segmen itu. Lamanya waktu sejak gempa terakhir biasanya dikenal di ”seismic hazard analysis” sebagai elapsed

time [e.g.Yeats et al., 1997]. Artinya dengan mengetahui perioda ulang gempa rata-rata di segmen itu dan elapsed time-nya maka kita dapat membuat

prakiraan kemungkinan terjadinya gempa di masa datang. Makin besar elapsed

time-nya maka makin besar kemungkinan terjadinya gempa di masa datang karena berarti sudah semakin besar energi elastik gempa yang sudah terkumpul di segmen patahan tersebut.

Gambar 3.3. Sumber gempabumi besar di sepanjang Patahan Sumatra yang tercatat dalam sejarah sejak tahun 1892. Tanda elipse kuning menunjukkan lokasi segmen patahan yang bergerak waktu gempa. Angka disampingnya menunjukkan tahun kejadian dan besar skala magnitudo gempa (dalam kurung).

3.5. Potensi gempa bumi dari Patahan Sumatra Untuk memetakan potensi gempa Patahan Sumatra secara regional kami mem-plot segmen-segmen patahan yang tidak mengeluarkan gempa besar dalam kurun waktu 100 tahun terakhir seperti terlihat pada Gambar 3.4

[Natawidjaja and Triyoso, 2007].

Dari peta ini kita tahu bahwa dari 1900km

patahan Sumatra, ada 1000 km total panjang segmen yang tidak mengeluarkan gempa dalam kurun 100 tahun terakhir. Atau lebih dari 50% panjang patahannya mempunyai potensi tinggi untuk memproduksi gempa besar diatas skala magnitudo 6.5.

Gambar 3.4. Peta dari segmen patahan Sumatra yang tidak mengeluarkan gempa besar pada kurun waktu 100 tahun terakhir yang ditandai oleh segmen yang berwarna merah.

Untuk lebih kuantitatif lagi dibuat analisa potensi gempabumi berdasarkan panjang-nya tiap segmen patahan dan besar kecepatan geraknya. Prinsipnya, makin panjang suatu segmen patahan makin besar maximum skala magnitude yang dapat diproduksinya; makin cepat kecepatan geraknya maka makin sering frekuensi kejadiannya. Kecepatan gerak patahan yang 10 s/d 30mm/tahun termasuk cepat (setara dengan Patahan San Andreas di California yang sangat terkenal). Artinya Patahan Sumatra termasuk patahan yang sangat aktif. Dengan memakai rumus seismic moment rate (kecepatan pengumpulan energi gempabumi) dari Hanks

dan Kanamori [1979] maka dapat dihitung berapa besar energi gempa yang terkumpul selama kurun waktu 100 tahun dan 200 tahun seperti yang terlihat dalam Tabel 3.2. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 100 tahun setiap segmen patahan Sumatra dapat mengumpulkan energi gempa yang setara dengan skala magnitude gempa M 7.2 – M 7.4. Dalam kurun waktu 200 tahun energi gempa yang terkumpul di tiap segmen rata-rata berkisar dari Mw7.4 s/d Mw7.7. Jadi, setiap 100 tahun sekali 19 atau 20 segmen patahan Sumatra masing-masing dapat me-mproduksi gempa dengan kekuatan Mw 7.2 – 7.4.

Tentunya ini kekuatan maksimum karena kita berasumsi bahwa seluruh

pergerakan tektonik (100%) disimpan menjadi energi potensial gempa. Dalam kenyataannya patahan gempa tidak pernah mempunyai efesiensi 100%. Meskipun demikian, perhitungan kasar ini menunjukkan bahwa dalam 100-200 tahun seluruh patahan Sumatra berpotensi mengeluarkan gempa besar sekitar 20 kali. Hasil perhitungan ini kurang lebih sama dengan data sejarah gempa (yaitu 21kali sejak 1890-an).

Slip Accumulation (cm) L

Sliprate

Segment

(Km)

(cm/yr)

100yr

200yr

1

Sunda

150

1

10

2

Semangko

65

1

3

Kumering

150

4

Manna

5

No

100 Yr –

200 Yr –

Return Period

Return Period

Mw-

Mw-

Mo-100

100

Mo-200

200

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

10

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

1

10

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

85

1

10

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

Musi

70

1

10

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

6

Ketaun

85

1

10

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

7

Dikit

60

1

10

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

8

Siulak

70

1

10

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

9

Suliti

95

1

10

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

10

Sumani

60

1

10

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

11

Sianok

90

1

10

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

12

Sumpur

35

1

10

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

13

Barumun

125

1

10

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

14

Angkola

160

1

10

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

15

Toru

95

2.7

27

54

1.82E+26

7.5

3.65E+26

7.7

16

Renun

220

2.7

27

54

1.82E+26

7.5

3.65E+26

7.7

17

Tripa

180

2.7

27

54

1.82E+26

7.5

3.65E+26

7.7

18

Aceh

200

1

10

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

19

Seulimeum

120

1

10

20

6.75E+25

7.2

1.35E+26

7.4

Table 3.2. Estimasi kecepatan akumulasi energi gempa ( “seismic moment”) berdasarkan rumus Hanks and Kanamori [1979] untuk kurun waktu (return period) 100 dan 200 tahun. Kedalaman zona seismik diasumsikan 15 km. Mo (seismic moment) = µ * (L*D)cm2*S cm; dimana µ = 3*10 dyne/cm2. S (akumulasi slip)=Sliprate*return period. Mw (moment magnitude) = (Log Mo – 16.05)/1.5.

3.6. Studi Kasus: Gempabumi 6 Maret 2007 di wilayah Danau Singkarak, Sumatra Barat 3.6.1. Ringkasan Pada pagi hari 6 Maret 2007, dua gempa besar (Mw 6.4 dan 6.3) terjadi pada dua buah segmen Patahan Sumatra di wilayah Danau Singkarak, Sumatra Barat. Gempa pertama terjadi ~pukul 10:50am, dan gempa kedua terjadi pukul ~12:50 siang. Dua gempa besar beruntun ini menyebabkan korban jiwa lebih

dari 70 orang dan merusakan banyak rumah dan bangunan pada dan disekitar jalur patahan.

Goncangan terasa keras di Padang, ibukota Sumatra Barat,

bahkan juga di Singapore, terutama oleh orang-orang yang berda di bangunan tingkat tinggi. Hal ini membuat orang lebih waspada tentang efek merusak dari gempa besar pada kota-kota metropolis meskipun jauh dari sumbernya. Investigasi lapangan dari jalur patahan yang pecah dan juga efek kerusakannya dilakukan seminggu setelah kejadian gempa. Jalur rekahan patahan dari gempa yang pertama (Mw6.4) ditemukan di wilayah selatan dari Danau Singkarak sepanjang 15 km. Pergerakan tanah pada patahan bervariasi dari beberapa cm sampai sekitar 24 cm dengan arah pergerakan horisontal – menganan (blok sebelah barat bergerak ke utara, blok sebelah timur ke selatan). Terjadi juga pergerakan vertikal, blok sebelah barat turun sampai 24 cm relatif terhadap yang timur. Jalur rekahan patahan dari gempa yang kedua ditemukan di wilayah sebelah utara dari Danau Singkarak. Panjang dari jalur ini sekitar 22 km, dan besarnya pergerakan maksimum hanya 12 cm sampai 30 cm. Banyak rumahrumah dan bangunan yang rusak dilokasi jalur rekahan ini. Ada juga banyak kerusakan lain yang agak jauh dari jalur rekahan disebabkan oleh amblasan tanah atau gerakan tanah yang dipicu oleh goncangan atau rusak karena mutu (konstruksi) bangunan yang jelek. Waktu dan lokasi dari gempa yang pertama dan yang kedua ini konsisten dengan besarnya intensitas goncangan yang dirasakan oleh masyarakat di utara dan selatannya Danau Singkarak. Masyarakat di selatan Danau singkarak melaporkan bahwa gempa yang paling keras dan merusak adalah yang pertama, sedangkan masyarakat di utara Danau melaporkan bahwa yang paling keras dan merusakan rumah-rumah mereka justru yang kedua. Gempa besar yang pernah terjadi di wilayah pada ahun 1926 juga merupakan dua gempa besar yang terjadi beruntun, hanya kekuatannya lebih besar. Baik gempa yang tahun 1926 dan uga yang tahun 2007 ini mempunyai

jalur rekahan dan wilayah kerusakan dari Kota Solok sampai dengan Koto Gadang. Pada tahun 1926 tidak dilaporkan adanya kerusakan serius di utara Koto Gadang. Pada gempa tahun 2007 ini juga tidak ada banyak kerusakan di utaranya Koto Gadang. Artinya, ada kemungkinan bahwa segmen patahan dari Koto Gadang sampai daerah Bonjol belum pernah bergerak, atau masih menyimpan energi gempa yang cukup besar, sehingga patut diwaspadai kemungkinannya terjadi lagi gempa besar pada segmen ini dikemudian hari.

3.6.2. Lokasi episenter gempabumi Pada tanggal 6 Maret 2007 terjadi dua gempa cukup besar dalam perioda dua jam. Gempa yang pertama terjadi pada jam 10:49:39 AM waktu setempat (atau 03:49:39 UTC).

Gempa kedua terjadi pada jam 12:49:28 PM waktu

setempat, jadi hampir tepat 2 jam setelah gempa pertama. Menurut NEIC USGS (United States Geological Survey) skala (momen) magnitude dan lokasi dari gempa yang pertama dan yang kedua adalah Mw 6.4 di 0.512°LS, 100.524°BT and Mw 6.3 at 0.49°LS, 100.52°BT (Gbr.3.5). BMG juga memberikan informasi lokasi episenter dari kedua gempa tersebut yang hampir sama dengan yang dari USGS tapi dengan skala (Richter) magnitudo yang sedikit lebih kecil. Durasi goncangan dari gempa utama yang pertama sekitar 20 detik. Dilaporkan oleh banyak orang di Padang dan Padang Panjang bahwa gempa yang pertama ini didahului oleh gempa pendahuluan yang cukup kuat beberapa puluh menit sebelum gempa utama.

Orang yang kebetulan berada di hotel

bertingkat tinggi di Padang melaporkan bahwa gempa ini goncangannya terasa sangat menakutkan. Mereka merasakan bahwa bangunan hotel berguncang dan mengeluarkan suara berderit-derit, kemudian ada terlihat beberapa retakan pada dinding. Masyarakat Sumatra barat yang diwawancarai semua memberikan kesaksian bahwa mereka merasakan goncangan yang sangat kuat dari du kali gempa besar pada sekitar pukul 20:50 dan 12:50 pagi, dan menariknya orang

yang tinggal di wilayah selatan dan utara dari D. Singkarak memberikan kesaksian yang berbeda tentang mana dari dua gempa tersebut yang terasa lebih kuat goncangannya.

Masyarakat di wilayah selatan tersebut merasakan

goncangan yang paling kuat terjadi pada gempa pertama pada pukul 10:50am, sedangkan orang yang tinggal di wilayah utara danau merasakan bahwa gempa terkuat terjadi pukul 12:50.

Jadi kesaksian masyarakat ini konsisten dengan

data ditemukannya lokasi dari rekahan gempa di permukaan dari dua sumber gempa tersebut.

Gempa yang pertama sumbernya berada di selatan danau,

yaitu pada segmen patahan Sumani, sedangkan gempa yang kedua lokasi sumbernya di utara danau atau pada segmen patahan Sianok.

Gambar 3.5. Lokasi episenter gempa 6 Maret 2007 dan lokasi patahan gempa dari sejarah gempa yang terjadi pada tahun 1926 dan 1943 di wilayah ini. Ke tiga kejadian gempa ini sama-sama mempunyai gempa yang kembar. Pada tahun 1926, gempa pertama terjadi di segmen patahan Sumani di selatan D.Singkarak, kemudian 3 jam kemudian gempa kedua terjadi di segmen patahan Sianok di utaranya D. Singkarak. Pada tahun 1943, gempa pertama terjadi pada segmen Suliti di Selatannya D. Dibawah, disusul oleh gempa kedua, 4 jam kemudian, yang terjadi pada segmen Patahan Sumani di utaranya D. Dibawah. Terlihat bahwa sumbe gempa-gempa ini dikontrol oleh segmentasi patahan. [setelah Natawidaja et al, 1995; Untung et al, 1985].

3.5.3. Data rekahan patahan gempa di permukaan Survey pemetaan dari rekahan patahan gempa di permukaan dilakukan selama seminggu, dimulai pada hari ke-7 setelah gempa. Tujuan pemetaan ini adalah untuk mendokumentasi lokasi rekahan patahan di permukaan dan juga fenomena alam ikutannya, seperti amblasan tanah, likuifaksi dan gerakan tanah yang dipicu oleh goncangan. Survey ini juga bertujuan untuk meneliti hubungan efek kerusakan yang terjadi dengan lokasi jalur patahan gempa. Rekahan patahan di permukaan dari gempa yang pertama (Mw6.4) Di selatan Danau Singkarak, rekahan tanah dari patahan gempa dapat diamati dengan jelas di beberapa tempat di sebelah barat Sungai Sumani (Gbr. 3.6). Jalur rekahan patahan ini mudah diamati karena melewati beberapa jalan aspal yang arahnya melintang jalur, yaitu barat – timur, dari jalan utama Sumani-Solok ke arah perkampungan di kaki perbukitan barat. Dengan kata lain, badan jalan aspal ini menjadi marker yang baik untuk menentukan lokasi jalur rekahan tektonik dan mengukur besar dan arah pergerakan yang terjadi. Hasil dari pemetaan jalur rekahan tektonik ini disarikan pada Gbr.3.6. Peta jalur rekahan ini memperlihatkan bahwa panjang total dari jalur adalah sekitar 15 km.

Batas selatan dari jalur ini berakhir di lokasi sekitar 3 km di

baratnya Kota Solok. Hal ini mendukung fakta bahwa rumah-rumah di wilayah di selatan lokasi ini tidak banyak yang mengalami kerusakan serius. Pada bagian utara, jalur rekahan ini ecara gradual menghilang disekitar bagian baratdaya dari Danau singkarak.

Di sini, jalur rekahan ditemukan hanya berupa rekahan-

rekahan kecil dengan indikasi pergerakan hanya beberapa centimeter. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa ada rekahan tektonik yang menuju ke dalam danau sehingga tidak dapat terlihat.

Gambar 3.6. Peta rekahan tektonik gempa di permukaan dan hasil pengukuran pergerakan patahan dari gempa yang pertama yang terjadi pukul 10:50am waktu setempat. Panjang jalur rekahan adalah 15 km. Pergerakan bervariasi dari beberapa centimeter sampai 24 cm.

Bukti fenomena bahwa rekahan tanah adalah rekahan tektonik (gempa) sangat jeals terlihat dari kenampakan moletracks, yakni berupa gundukan tanah yang memanjang seperti bekas jejak cacing (=”mole”) raksasa (Gbr.3.7). Jalur moltracks ini terlihat jelas mendeformasi, memotong dan menggeser badan jalan raya, pagar dan lainnya.

Jalur moletracks ini umumnya seperti menghilang

apabila melintas ke persawahan.

Pada umumnya arah dari jalur rekahan ini

adalah sekitar baratlaut, sesuai dengan arah utama dari Patahan Sumatra.

Kami mengukur besar dan arahnya pergerakan di tiap lokasi pengamatan, khususnya pada badan-badan jalan raya yang tergeser, pagar-pagar rumah, dan juga saluran air (Gbr.3.7). Hasilnya menunjukkan bahwa pergerakan patahan berkisar dari 3 sampai 24 cm dengan arah horisontal-menganan (dekstral). Pergerakan maksimum terjadi ditengah-tengah segmen patahan gempa. Pergerakan ini terlihat mengecil ke arah dua ujungnya. Hasil pengukuran juga menunjukkan bahwa selain pergerakan horisontal, gempa ini juga menyebabkan pergerkan vertikal, dimana bagian blok barat turun sampai 24 cm terhadap bolok timur (Gbr.3.7).

Gambar 3.7. Contoh bukti dari jalur rekahan-tektonik patahan gempa. (a). Moletracks di dekat Desa Sumani yang memotong jalan dan menggeser badan jalan sekitar 25 cm, (b) Terusan dari jalur moletrack ke arah utara di mana jalur ini melewati pagar dan terus ’menghilang’ ke persawahan, (c) jalur rekahan/moletracks yang memotong jalan aspal di antara Desa Sumani dan Kota Solok, (d) Jalur yang sama melihat ke arah selatan.

.

Hal menarik lainnya dari deformasi permukaan tanah yang terjadi, adalah kerusakan yang terjadi pada badan jalan kereta api yang terletak di sebelah timur dari jalur utama rekahan gempa. Badan jalan kereta api yang berarah utara-selatan terlihat mengalami pemampatan (”buckling”) dan eformasi menyamping (”shearing”) di beberapa tempat, terutama di sepanjang 3.5 km di dekat Desa Sumani. Penduduk setempat memberi kesaksian bahwa pada waktu gempa badan jalan kereta api ini bergerak (bergoyang) ke kanan dan kiri berulang-ulang dengan sangat kuat..

Gambar 3.8. Jalan kereta api yang berarah utara selatan di sebelah timur dari Desa Sumani terdeformasi karena digoyang gempa.

Rekahan patahan di permukaan dari gempa yang kedua (Mw6.3) Di wilayah uataranya Danau Singkarak, bukti rekahan-tektonik di permukaan ditemukan diantara wilayah di ujung utara danau sampai dengan Koto Gadang, di dekat Bukit Tinggi. Hasil pemetaan jalur rekahan tektonik ini menunjukan bahwa total panjang jalur ini adalah sekitar 22 km.

hasil

pengukuran dari pergerakan patahan menunjukkan bahwa pergeserannya juga bervariasi. Maksimum dari pergerakan diamati di Koto Gadang yaitu mencapai sekitar 25 cm. Di bagian selatannya, rata-rata pergerakannya hanya berkisar dari beberapa cm sampai 12 cm (Gbr.3.9).

Gambar 3.9. Peta jalur rekahan tektonik dari gempa kedua yang terjadi pukul 12:50 siang. Total panjang jalur rekahan ~2km. Pergerakan patahan yang terjadi dari beberapa centimeter sampai 25 cm. Blok di sebelah kanan bergerak ke arah utara (horisontal – menganan).

Dari pengamatan di ujung utara rekahan, kelihatannya zona rekahan ini berakhir di wilayah Koto Gadang.

Penelitian cukup detil dilakukan di Koto

Gadang ini. Di desa Koto Gadang ini banyak rumah-rumah dan bangunan yang rusak, termasuk mesjid besarnya yang juga pernah rusak berat ketika gempa tahun 1926.

Rusaknya mesjid ini karena lokasinya persis berada pada jalur

patahan gempa, sehingga walaupun konstruksinya cukup baik tapi tetap saja tidak akan tahan kalau fondasi-nya bergeser keras ketika gempa (Gbr.3.10). Lokasi dari Sekolah Dasar Koto Gadang yang berada di sebelah mesjid uga persis berada di jalur rekahan gempa sehingga mengalami rusak parah dan tidak bias dipaka lagi. Untungnya ketika gempabumi (12:50) anak sekolah sudah pulang sehingga tidak ada korban jiwa.

Fenomena alam dari jalur patahan Sumatra

yang melintasi desa ini dapat dengan jelas diamati yaitu berupa tebing memanjang yang membagi dua antara wilayah perumahan di bagian timurnya

dan persawahan di bagian barat-nya.

Sebagian rumah-rumah di barat dari

tebing patahan ini kebanyakan rusak berat karena di atas, dekat jalur rekahan gempa.

(a)

(b)

(c)

Gambar 3.10. (a)-(b)-(c) Rekahan-tektonik gempa yang melintas badan jalan dan menggeser badab jalan 5 – 12 cm dengan arah gerak menganan. (photo: Danny Hilman – survey Maret 2007)

Gambar 3.11a. jalur rekahan gempa yang memotong jalan dan kanal di samping mesjid Koto Gadang.

Gambar 3.11b. Jalur rekahan gempa yang melewati mesjid dan sekolah dasar di Koto Gadang. Garis putus-putus merah adalah jalur rekahan. (photo: Danny Hilman ketika survey bulan Juni 2007)

Gambar 3.11c. Jalur rekahan gempa yang memotong rumah di Koto gadang. Terlihat lantai ubinnya terbelah dan tergeser.

Gambar 3.11d. Kenampakan tebing patahan Sumatra di Desa Koto Gadang. Di depannya dibangun percontohan rumah tahan gempa (photo: Danny Hilman ketika survey bulan Juni 2007)

Di ujung utara Danau Singkarak ditemukan banyak rekahan berarah utama timurlaut dengan pergerakan vertical. Kenampakan jalur rekahan nya yang melengkung dengan arah gerak vertikal dan ke arah danau menunjukkan bahwa rekahan ini adalah gerakan tanah karena ketidak stabilan lereng sewaktu digoncang gempa.

Kemungkinan kainnya rekahan ini adalah patahan normal

(turun) sebagai mekanisme ikutan yang sering terjadi pada sistem patahan geser pada zona tarikan diantara dua segmen. Rekahan ini banyak melewati rumahrumah yang tentunya menjadi rusak berat.

Pergeraka rekahan yang terjadi

terlihat jelas pada bangunan rumah yang dilewatinya (Gbr.3.12).

(a)

(b)

Gambar 3.12. (a) Zona rekahan di ujung utara Danau singkarak. Bentuk jalur rekahannya melengkung dengan blok selatan amblas ampai 30 cmdan bergerak ke arah pingiran danau. (b). Rekahan yang melewati rumah dan mndeformasi lantainya. (photo: Danny Hilman – survey Maret 2007)

Di bagian barat danau juga ditemukan longsoran/amblasan di pingiran danau. Panjang blok yang longsor masuk ke danau sampai lebih dari 100m dan lebarnya beberapa puluh meter (Gbr.3.13). Massa tanah yang masuk ke danau ini menurut penduduk setempat menimbulkan gelombang air di danau (seperti mekanisme tsunami). danau.

Gelombang ini dapat diamati sampai tepian timur dari

Gambar 3.13. Longsoran/amblasan yang terjadi di tepi timur dari danau

Singkarak.

(photo: Danny Hilman – survey Maret 2007)

3.6.4. Hubungan antara kerusakan yang terjadi dan lokasi patahan gempa Kami tidak melakukan investigasi dari kerusakan yang terjadi secr komprhnsif dan sistmatis tapi dari pngamatan visual di lapangan terlihat bahwa kerusakan yang terjadi paling banyak ada di lokasi jalur rekahan patahan dan diskitarnya. Banyak rumah-rumah dan bangunan yan rusak berat dan ambruk bukan hanya karena efek goncangannya saja tapi terutama karena efek pergerakan disepanang rekahan patahan tersebut, seperti halnya yang terjadi pada bangunan mesjid Koto Gadang yang ambruk total.

Banyak terlihat di

lapangan bahwa rumah-rumah yang berdiri hanya belasan meter diluar jalur rekahan tidak mengalami kerusakan serius. Jadi jelas bahwa hanya dengan peraturan untuk mendirikan rumah-rumah dan bangunan yang tahan (goncangan) gempa saja tidak cukup untuk mengantisipasi bencana gempa.

Tapi kita juga mmerlukan peraturan khusus

untuk wilayah yang persis dilalui jalur rekahan gempa ini. Di California misalnya,

zona 20 meter di kanan-kiri jalur patahan aktif biasanya dilarang untuk mendirikan rumah-rumah dan bangunan,apalagi bangunan umum seperti sekolah-sekolah dan rumah sakit. Kerusakan lain yang banyak terjadi adalah akibat gerakan tanah yang terjadi yang dipicu oleh goncangan gempa. Gerakan tanah ini biasanya terjadi pada wilayah tanah yang kurang stabil, seperti pada lereng-lereng bukit dan pinggiran sungai atau danau.

Selain itu, bangunan dan rumah-rumah yang

konstruksinya kurang baik atau tidak tahan digoncang juga banyak yang rusak meskipun letaknya cukup jauh dari jalur patahan gempa (Gbr. 3.14.). Sebuah hotel paling besardi Bukit Tinggi (Novotel) dikabarkan tidak bisa beroperasi selama beberapa minggu karena goncangan gempa mengakibatkan beberapa kerusakan pada jaringan instalasi utamanya.

Gambar 3.14. Kerusakan yang terjadi pada rumah di lokasi 100 mter dari jalur rekahan gempa. Rumah hamper ambruk karena konstruksi tiangnya tidak seimbang dibandingkan dengan beban lantai 2 dan atapnya. (photo: Danny Hilman ketika survey bulan Juni 2007)

3.6.5. Antisipasi bencana gempa di masa datang Batas utara dari jalur rekahan gempa tahun 1926 dan 2007 kelihatannya berakhir di Koto Gadang (Gbr.3.15). Namun untuk gempa tahun 1926 data ini masih diragukan karena tidak adanya laporan kerusakan di utara Koto Gadang tidak berarti jalur rekahannya berhenti di sana, tapi bisa juga karena pada saat itu belum banyak populasi penduduk di utara koto Gadang seperti saat sekarang. Apabila ke dua gempa ini ujung utaranya memang benar di Koto Gadang, maka hal ini mengindikasikan bahwa segmen patahan di utara Koto Gadang sampai daerah Bonjol selama lebih dari seratus tahun belum pernah melepaskan akumulasi energi gempanya. Artinya segmen ini dapat menjadi lokasi gempa besar berikutnya di wilayah ini. Dengan panjang segmen gempa 40km, gempa yang terjadi bisa berkekuatan skala magnitudo ~7. Efek merusak dari gempa M7 terhadap Kota Bukit Tinggi dan Padang panjang tentu akan sangat besar. Penelitian lebih lanjut mengenai problem ini harus dilakukan apabila kita memag serius dalam usaha mitigasi bencana alam.

Gambar 3.15 Foto satelit resolusi 1 meter (Quickbird) memperlihatkan jalur patahan yang melintas ke Koto Gadang. (garis merah putus-putus).

4. Analisa bencana gempabumi Bencana alam akibat gempa bumi umumnya dapat diklasifikasikan menjadi dua macam: (1) Bencana primer, (2) Bencana sekunder [Yeats et al., 1997]. Bencana primer adalah efek langsung dari proses gempanya, yaitu (a) efek dari pergerakan pada rekahan patahan seperti yang diuraikan pada bab sebelumnya, (b) efek goncangan/getaran dari gelombang seismik yang menjalar dari sumber gempa ke sekitarnya, (c) tsunami apabila terjadi di bawah laut. Bencana sekunder adalah bencana ikutan atau bencana alam yang dipicu oleh kejadian gempabumi, yaitu seperti kerusakan akibat gerakan tanah, amblasan dan likuifaksi.

Sebagian ahli mengklasifikasikan tsunami sebagai bencana

sekunder karena bukan langsung karena proses gempanya tapi karena volume air yang didorong ke atas oleh proses gempa yang mengakibatkan pengangkatan dari dasar laut. Meskipun demikian yang penting adalah pengertian sekunder di sini tidak berarti bahwa bencananya lebih kecil dari yang primer tapi malah sering sebaliknya.

4.1. Latar belakang dan Metoda Efek gempa yang paling umum dikaji dan diterapkan untuk mitigasi bencana alam adalah efek goncangannya.

Hal ini memang lumrah karena

goncangan gempa efeknya luas dan merata dan secara umum adalah penyebab kerusakan terbesar disamping tsunami.

Evaluasi efek goncangan gempa ini

umumnya dikenal sebagai “seismic hazard evaluation [Lee et al., 2002]”. Efek goncangan biasanya dikuantifikasikan oleh parameter besarnya goncangan tanah, yaitu percepatan tanah (“ground acceleration’), Metoda yang digunakan dalam evaluasi bencana guncangan gempa ini ada dua macam. Yang pertama adalah metoda determinitik atau Deterministic Seismic Hazard Assesment (DSHA) dan cara kedua adalah metoda probabilistik atau probabilistic seismic hazard assesment (PSHA). Perbedaan prinsipnya, pada

DSHA dibuat skenario dari sumber-sumber gempa di wilayah studi.

Makin

banyak data dan analisanya tentunya akan makin baik model/skenarionya. Biasanya skenario gempa diambil yang kemungkinan terburuk maksimum, yang biasa disebut sebagai Maximum Credible earthquake (MCE).

Berdasarkan

skenario gempa ini kemudian dihitung berapa besarnya goncangan yang terjadi. Besar goncangan inilah yang dipakai sebagai patokan untuk desain konstruksi bangunan.

Dalam metoda probabilistik sumber gempa tidak diperhitungkan

secara individual tapi efek dari seluruh sumber gempa didalam dan disekitar wilayah studi diintegrasikan atau dijumlahkan. Dalam metoda probabilistik ini prediksi kemungkinan terjadinya gempa (dalam %probabilitas) dalam suatu kurun waktu tertentu ke depan sangat dipentingkan, sedangkan dalam metoda deterministik tidak. Dalam metoda probabilistik biasanya efek gempa ini (dalam satuan akselerasi/gal/mgal) biasanya dibuat untuk tiap tahu. Kemudian harus ditentukan berapa ”return period” yang diinginkan untuk menentukan besaran akselerasi yang akan dipakai untuk desain bangunan.

Yang umum sekarang

biasanya dipakai return period untuk 500 tahun. Secara sederhana besaran goncangan gempa dapat dihitung sebagai berikut: Akselerasi gempa ~ Besar dimensi atau magnitudo sumber gempa /jarak sumber ke lokasi * attenuasi penjalaran gelombang gempa. Jadi besar goncangan gempa berbanding lurus dengan besar sumber gempa (magnitudo) dan berbanding terbalik dengan jarak gempa (makin jauh/besar akan makin kecil). Kemudian peredaman atau amplifikasi dari gelombang gempa ditentukan oleh banyak faktor seperti kondisi geologi/tanah, konfigurasi struktur bawah permukaan dan lain lain. Besar goncangan ini bisa dihitung dengan rumus empiris, bisa juga dievaluasi secara lebih kuantitatif dengan simulasi komputer memperhitungkan banyak parameter. Pada studi ini dipakai rumus empiris dari attenuasi gempa dari Fukushima dan Tanaka [1990], sbb:

log10 A = 0.41M w - log10 (R + 0.032.10 0.41M w ) - 0.0034 R + 1.30 [Fukushima and Tanaka, 1990]

dimana, A = rata-rata ground peak acceleration-PGA (cm.sec-2); R = jarak terdekat dari lokasi ke sumber gempa (km); Mw = skala magnitudo momen. Terlihat bahwa untuk melakukan studi DSHA ataupun PSHA kita memerlukan input informasi sumber gempa (Mw dan R) yang sebaik-baiknya. Kualitas dari outputnya sangat tergantung dari inputnya ini. Untuk itu analisa penentuan sumber gempa sangat vital. Jadi walaupun sumber gempanya besar, misalnya skala magnitude 9, tapi kalau lokasinya jauh sekali, misalnya 1000 km, maka goncangan yang terjadi akan kecil.

Tapi walaupun kekuatan sumber gempa hanya M6.5 tapi kalau

sumbernya hanya10 km tentu goncangannya sangat kuat.

Dalam teknis

bangunan biasanya percepatan tanah ini biasa memakai satuan percepatan gravitasi (g).

Yang umum dipakai adalah besaran PGA (Peak Ground

Acceleration).

Selain besaran kuantitatif ini ada cara kualitatif yang dipakai

untuk menyatakan besaran gempa yakni skala intensitas. Yang paling banyak dipakai adalah skala MMI (Modified Mercali Scale). Skala ini hanya berdasarkan pengamatan visual dari efek yang terjadi pada manusia dan bangunan. Untukmemudahkan pemahaman pada Tabel 4.1 di bawah ini dibuat hubungan antara skala kualitatif MMI dan skala kuantitatif PGA.

Secara umum dapat

dikatakan bahwa kebanyakan bangunan yang tidak di-desain tahan gempa akan rusak berat pada skala MMI VIII atau skala PGA 0.3g. Untuk bangunan yang didesain tahan gempa maka meskipun goncangan sampai 0.3 g bisa tidak mengalami kerusakan atau hanya rusak ringan. Atas dasar ini peraturan umum di Japan mengharuskan rumah-rumah dan bangunan di-desain untuk tahan sampai goncangan 0.3g atau lebih.

Sebagai perbandingan, untuk Jakarta,

sekarang ini peraturan kode bangunan hanya mengharuskan bangunan untuk tahan goncangan sampai 0.1g.

MMI I

FELT INTENSITY Not felt except by a very few under especially favorable circumstances

II

Felt only by a few persons at rest, especially on upper floors of buildings. Delicately suspended objects may swing

III

Felt quite noticeably indoors, especially on upper floors of buildings, but many people do not recognize it as an earthquake. Standing automobiles may rock slightly. Vibration like passing of truck. Duration estimated

PGA (g)

V

During the day felt indoors by many, outdoors by few. At night some awakened. Dishes, windows, doors disturbed; walls make creaking sound. Sensation like heavy truck striking building. Standing automobiles rocked noticeably Felt by nearly everyone, many awakened. Some dishes, windows, and so on broken; cracked plaster in a few places; unstable objects overturned. Disturbances of trees, poles, and other tall objects sometimes noticed. Pendulum clocks may stop.

0.03 0.04

VI

Felt by all, many frightened and run outdoors. Some heavy furniture moved; a few instances of fallen plaster and damaged chimneys. Damage slight.

0.06 0.07

VII

Everybody runs outdoors. Damage negligible in buildings of good design and construction; slight to moderate in well-built ordinary structures; considerable in poorly built or badly designed structures; some chimneys broken. Noticed by persons driving cars.

0.10 0.15

IV

IX

Damage slight in specially designed structures; considerable in ordinary substantial buildings with partial collapse; great in poorly built structures. Panel walls thrown out of frame structures. Fall of chimneys, factory stack, columns, monuments, walls. Heavy furniture overturned. Sand and mud ejected in small amounts. Changes in well water. Persons driving cars disturbed. Damage considerable in specially designed structures; well-designed frame structures thrown out of plumb; great in substantial buildings, with partial collapse. Buildings shifted off foundations. Ground cracked conspicuously. Underground pipes broken.

X

Some well-built wooden structures destroyed; most masonry and frame structures destroyed with foundations; ground badly cracked. Rails bent. Landslides considerable from river banks and steep slopes. Shifted sand and mud. Water splashed, slopped over banks.

XI

Few, if any, (masonry) structures remain standing. Bridges destroyed. Broad fissures in ground. Underground pipelines completely out of service. Earth slumps and land slips in soft ground. Rails bent greatly.

XII

Damage total. Waves seen on ground surface. Lines of sight and level distorted. Objects thrown into the air.

VIII

0.15 0.02

0.25 0.30

0.50 0.55

> 0.60

Table 4.1. Skala Intensitas gempa dari Modified Mercalli Scale I – XII dan perkiraan besar akselerasi tanahnya (dalam g = kecepatan gravitasi)

4.2. Analisa bencana goncangan gempa (Seismic Hazard assesment) 4.2.1. Skenario sumber gempa Dalam membuat analisa seismic hazard (bencana goncangan gempa) dipakai sumber-sumber gempa hasil penelitian seperti sudah diuraikan di babbab sebelumnya.

Untuk Patahan Sumatra dipakai data input sumber gempa

seperti pada Table 3.1 Untuk sumber gempabumi pada zona subduksi dipakai data input seperti pada Tabel 4.2 di bawah ini.

Length Segment

Aceh-

(km)

1500

Dip(°)

12-17

Depth

Average

Effective

Rec.

Down-

displ. (m)

Conveg.

Int.

dip

rate

(yr)

(km)

(mm/yr)

30

15-25

14-34

>500

Andaman

Historical Earthquakes

2004 (Mw 9.15), 1881 (Mw..), 1941 (Mw..)

Nias-

400

12-15

35

8-12

40

Simelue Batu

65

12

30

3

15-20

200-

1861 (M 8.5), 1907(M

360

7.8), 2005(Mw 8.7)

150-

1935 (Mw 7.7)

200 Mentawai

670

12

35-50

10-12

40

200-

1833 (Mw 8.9-9.0), 1797

300

(Mw 8.4-8.7)

Table 4.2. The Sumatran megathrust’s major segments. Data are derived from Subarya et al [2006], Briggs et al [2006], Natawidjaja et al [2004], Natawidjaja et al [2006] .

4.2.2. Hasil analisa deterministic seismic hazard analysis (DSHA) Dalam DSHA factor berapa besar kemungkinan terjadinya suatu gempa besar di suatu wilayah tertentu tidak dipentingkan. Yang dihitung adalah berapa besar goncangan yang mungkin terjadi di wilayah tersebut apabila gempa besar yang terjadi pada salah satu sumber gempa disekitarnya terjadi.

Jadi besar

goncangan yang terjadi adalah akibat dari satu kejadian gempa.

Biasanya

diambil besar magnitude yang paling besar yang mungkin terjadi (worst-case). Di bawah ini adalah dihitung besarnya goncangan yang terjadi di wilayah Sumatra apabila terjadi gempa besar (maximum – MCE = maximum credible earthquake) di setiap segmen patahan di sepanjang zona subduksi di lepas pantai barat (Gbr.4.1) dan di Patahan Sumatra di daratan (Gbr. 4.2a&b). Secara umum dapat dikatakan bahwa apabila ada gempa besar dengan magnitude lebih dari 8.5 di zona subduksi maka besarnya goncangan (PGA) yang terjadi untuk wilayah sepanjang pantai barat Sumatra adalah lebih dari 0.3g. Apabila terjadi gempa besar dengan magnitude ~9 di wilayah Mentawai maka goncangan (PGA) yang terjadi di Kota Padang dan Bengkulu lebih dari 0.4g. Untuk wilayah pulau-pulau, seperti Nias, Siberut, Sipora, Pagai dan yang lainnya, goncangan yang terjadi tentu lebih besar lagi, bisa di atas 0.5g, karena lokasinya persis di atas sumber gempanya. Untuk wilayah sepanjang Patahan Sumatra, apabila terjadi gempa besar dengan magnitude ~7 maka nilai goncangan (PGA) yang terjadi di zona kurang dari 45 km dari jalur patahan utama adalah lebih besar dari 0.3g. Ini berarti bahwa gempa besar di Patahan Sumatra dapat memberikan efek goncangan ~0.3 pada kota-kota besar di pantai barat, seperti Padang dan Bengkulu. Untuk zona yang jaraknya di bawah 10 km dari jalur patahan, seperti Kota Bukit Tinggi, Padang Panjang, Solok, Liwa, dll, besarnya goncangan (PGA) ini lebih besar dari 0.5g.

Gambar 4.1. Hasil analisa DSHA dari sumber-sumber gempabumi pada zona subduksi Sumatra [Natawidjaja et al., 2007]

Gambar 4.2.a Hasil analisa DSHA dari sumber-sumber gempabumi pada Patahan Sumatra di daratan – kontinyu ke b [Natawidjaja et al., 2007]

Gambar 4.2.b Hasil analisa DSHA dari sumber-sumber gempabumi pada Patahan Sumatra di daratan [Natawidjaja et al., 2007]

4.3. Analisa Probabilistic Seismic Hazard Assesment (PSHA) Untuk melakukan analisa PSHA diperlukan data gempa yang lebih komprehensif. Kita tidak hanya harus tahu berapa besar kekuatan maksimalnya di setiap sumber gempa atau setiap segmen patahan, tapi juga mengetahui

kapan gempa yang terakhir dan berapa lama perioda/frekuensi alamiah dari kejadian gempanya. Kemudian dalam menghitung prediksi besar goncangan di satu lokasi, kita tbukan menghitung besar goncangan dari atu kejadian gempa, tapi menjumlahkan besar goncangan yang terjadi dari semua sumber gempabumi di sekitar lokasi (biasanya diambil radius ~ 500km).

Besarnya

jumlah goncangan yang terjadi juga ditentukan oleh berapa perioda ulang (return period) yang ditentukan. Ini bukan alamiah tapi hanya ditentukan secara teknis. Untuk perhitungan teknis ini kekuatan goncangan dihitung berdasarkan nilai tahunannya. Jadi prinsipnya, nilai goncangan yang didapat adalah perkalian antara nilai perioda ulang yang diambil (tahun) dengan nilai goncangan (PGA)/tahun. Di bawah ini adalah contoh hasil analisa PSHA yang sudah dilakukan oleh

Petersen et al [2004] untuk Sumatra. Perioda ulang (return period) yang diambil adalah untuk 500 tahun, atau sama dengan untuk 10% kemungkinan terlampaui nilai goncangan tersebut dalam waktu 50 tahun (artinya 90% kemungkinannya tidak terjadi)

Gambar 4.3. Peta besar goncangan gempa di Sumatra berdasarkan analisa PSHA. Diambil nilai PGA untuk “10% probability of excedance” dalam 50 tahun.(dari Petersen et al [2004] ).

4.3. Bencana alam ikutan akibat goncangan gempa Selain bencana akibat pergerakan patahan dan goncangan gempa bumi ada juga bencana alam lain yang terjadi karena dipicu oleh gempabumi. Bencana ikutan yang sangat umum adalah gerakan tanah/longsor, amblasan tanah dan proses likuifaksi. Potensi bencana ikutan ini bisa dikaji dan dipetakan sehingga dampak bencananya juga bisa dikurangi. tidak akan dibahas lebih lanjut.

Dalam studi kali ini hal ini

5. Analisa bencana akibat limpasan tsunami 5.1. Latar belakang Peristiwa tsunami Aceh tahun 2004 adalah tragedi besar yang sangat mengejutkan dunia.

Banyak orang yang tadinya tidak tahu tentang istilah

tsunami menjadi tahu. Peristiwa ini menyadarkan orang bahwa kejadian tsunami yang diakibatkan oleh gempa bisa demikian hebat dampak bencananya. Belum juga kita dapat menghirup nafas panjang, 3 bulan kemudian gempa besar NiasSimelue pada bulan Maret 2005 kembali menghentak kita. Untungnya meskipun gempa

ini

sama

jenisnya

dengan

gempa

Aceh-Andaman

yang

dapat

menimbulkan tsunami tapi pada kejadian gempa tahun 2005 tsunaminya tidak besar. Kemudian, baru saja sekitar dua setengah tahun setelah gempa 2005 kembali kita dikejutkan oleh peristiwa gempa besar di wilayah BengkuluMentawai pada tanggal 12-13 September 2007. Kita kembali masih beruntung karena tsunami dari gempa ini juga tidak besar. Kerusakan yang terjadi hanya disebabkan oleh efek goncangannya saja. Seperti yang sudah diuraikan di depan, proses gempa besar di wilayah barat Sumatra ini sudah cukup dipahami, demikian juga potensi-nya. Dari hasil penelitian kita tahu bahwa setelah gempa besar tahun 2007 ini, segmen zona subduksi Sumatra di wilayah Mentawai masih menyimpan potensi yang sangat besar untuk mengeluarkan gempa di atas skala magnitudo M8.5. Karena itu kita perlu mengantisipasi bencana yang mungkin ditimbulkan apabila gempa ini terjadi.

Di bab sebelumnya kita sudah membahas tentang berapa besar

goncangan gempa yang mungkin terjadi di masa datang. Pada bab ini kita ingin menghitung berapa besar tsunami yang bisa terjadi dan bagaimana dampaknya ke wilayah disekitarnya.

Prakiraan tinggi tsunami dipantai dan limpasan

gelombang tsunami ke daratan sangat penting untuk diketahui dengan sebaikbaiknya, karena hal ini perlu untuk masukan dalam membuat rencana dan peta evakuasi, rencana tanggap darurat, rencana pembangunan pesisir pantai dalam

jangka panjang, dan juga usaha mendidik dan mempersiapkan masyarakat untuk siaga bencana. Wilayah pesisir Sumatra barat dan Bengkulu adalah wilayah yang sangat rawan tsunami. Hal ini disebabkan karena kemungkinan atau potensi terjadinya gempa besar di zona subduksi segmen Mentawai sangat tinggi dan populasi penduduk di tepi pantai di wilayah ini dua kali lipat lebih besar dari populasi di pesisir Aceh yang terkena tsunami tahun 2004. Populasi penduduk di wilayah Kota Padang sekarang mencapai 800.000 orang, di Kota Bengkulu ada 300.000, dan di desa-desa diantaranya mencapai puluhan ribu orang.

5.2. Simulasi pemodelan gempa-tsunami 5.2.1 Metoda Pada prinsipnya besar tinggi gelombang tsunami dan limpasan tsunami di suatu lokasi tergantung pada: besarnya pengangkatan dasar laut (yang diakibatkan gempa), pola gelombang tsunami dari sumber ke lokasi, dan kondisi bathimetri dan topografi setempat. Oleh karena itu untuk membuat pemodelan tsunami yang baik ada beberapa hal yang harus dipenuhi, yaitu: 1. mengetahui dengan sebaik-baiknya tentang pola deformasi bumi dari skenario gempa yang mungkin terjadi, khususnya yang menyangkut pola pengangkatan dasar laut. 2. Mempunyai data topografi pantai dan bahimetri (terutama yang di dekat pantai) yang memadai. 3. Software atau perangkat lunak yang baik untuk pemodelan tsunami. Untuk Sumatra, kita beruntung mempunyai data yang cukup banyak tentang pola dan parameter fisik dari sumber gempa.

Demikian juga kita

mempunyai cukup catatan sejarah tentang efek dan akibat tsunami di masa lampau sehingga kita bisa membandingkannya dengan pemodelan tsunami yang dilakukan.

Misalnya untuk kejadian gempa besar tahun 1797 dan 1833 di

Sumatra barat dan Bengkulu, kita punya data cukup lengkap ( e.g. Subarya et al,

2006; Briggs et al, 2006; Chlieh et al, 2007; Natawidjaja et al., 2004, 2006, 2007; Sieh et al., 1999).) tentang deformasi kerak bumi dan pengangkatan dasar laut yan terjadi, juga ada catatan sejarah tentang besar dan efek dari tsunami pada waktu terjadi dua gempa tersebut di wilayah Padang dan Bengkulu. Dari data ini kita membuat model tsunami dari gempa tahun 1797 dan 1833 kemudian membandingkan hasil simulasinya dengan data catatan sejarah. Untuk data bathimetri kita memakai data dari ETOPO 1, yaitu data dari satelit dengan resolusi (spacing data) 1 km yang dikombinasikan dengan peta bathimetri dan data topografi pantai. Secara umum, data ini lumayan baik untuk dipakai pemodelan, tapi tentunya perlu data bathimetri yang lebih detil lagi untuk bathimtri di dekat pantai (<200 m) apabila ingin hasil yang lebih akurat lagi.

Untuk data topografi pantai digunakan data dari SRTM (data DEM dari

satelit) dengan resolusi 90-m spatial data dan dari citra landsat Qick bird resolusi 2m, kemudian ditambah juga dengan data survey lapangan (untuk kota Padang). Untuk simulasi tsunami digunakan software MOST - Method Of Splitting Tsunami (Titov and Synolakis, 1997, Titov and Gonzalez, 1997 Titov et al., 2005). MOST

membuat model tsunami berdasarkan komputasi data pengangkatan

dasar samudra dari parameter sumber gempanya (untuk inisiasi tsunami), dan juga sudah memperhitungkan semua aspek hidrodinamika dari propagasi gelombang tsunami.

MOST juga memperhitungkan efek pengangkatan dan

penurunan dari daratan. Karena efek pengangkatan daratan akan memperkecil tingi tsunami dan sebaliknya penurunan daratan akan memperbesar efek tsunami. Dengan MOST tsunami dimodelkan dengan resolusi spatial (grid) 1200 m sampai engan 600m untuk wilayah laut regional, kemudian untuk wilayah penting seperti Padang dan Bengkulu resolusi spatialnya dibuat lebih tingi, yaitu dengan resolusi 200m..

5.2.2. Skenario sumber gempa-tsunami Kami membuat model gempa-tsunami untuk wilayah Sumatra barat dan Bengkulu berdasarkan data dan model gempa tahun 1797 dan 1833 yang didapat dari hasil penelitian Geoteknologi LIPI dan Caltech [Natawidjaja et al., 2006]. Dari model gempa tahun 1797 dan 1833 ini kemudian dibuat 4 buah model scenario yang paling mungkin berdasarkan pertimbangan yang (paling) masuk akal sampai skenario kemungkinan yang terburuk. Data dan model gempa tahun 1797 memperlihatkan bahwa sumber gempanya adalah pergerakan pada zona subduksi dari 0.5˚ to 3.2˚ LS (sepanjang 300 km), dan rata-rata pergerakan yang terjadi adalah sekitar 6m. Dengan dimensi dan pergerakan ini skala magnitudo gempa tahun 1797 adalah antara 8.4 s/d 8.6 [Natawidjaja et al., 2006]. Pola deformasi kerak bumi yang terjadi pada tahun 1797 adalah seperti yang diperlihatkan oleh Gambar 5.1.A Pola pengangkatan yang didapat dari data koral mikroatoll [Natawidjaja et

al., 2006] menunjukkan bahwa gempa tahun 1833 memecahkan zona subduksi dari wilayah sekitar 2.1˚sampai paling tidakst 5˚LS (dengan jarak minimum 320

km), Pergerakan gempa 1833 mencapai 18 m dengan magnitudo antara 8.6 s/d 8.9 (Gambar 5.1B). Dari pola deforamsi dua gempa besar yang pernah terjadi tersebut kemudian dikembangkan 4 model scenario yang paling mungkin (Model 5.1 C-DE-F) yang mempunyai magnitudo dar Mw 9 s/d 9.3. Empat model scenario ini diasumsikan mempunyai sumber gempa merupakan gabungan dari sumber gempa 1797 dan 1833. Hal ini diambil berdasarkan data dari statsiun GPS SuGAr (Sumatran GPS Array), data koral mikroatol dan data seismik [Abercrombie, 2002; Chlieh et al., in press; Natawidjaja et al., 2006].

Data GPS menunjukkan

bahwa sepanjang 750 km dari zona subduksi di bawah Kep.Mentawai ini terkunci, artinya mengakumulasi pergerakan lempeng sebagai gaya potensial regangan (ibaratnya seperti per yang ditekan).

Kemudian data koral juga menunjukan

bahwa pulau-pulau di Mentawai ini turun ke bawah perlahan-lahan, artinya konsisten dengan data GPS bahwa akumulasi tekanan itu memang terjadi. Selanjutnya, data seismik menunjukkan bahwa wilayah sepanjang 750-km ini merupakan seismic gap atau wilayah yang sudah lama tidak melepaskan energi gempa. Gempa tgl 12-13 September melepaskan sebagian energi ini. Scenario 2 dan 4 mengasumsikan pergerakan lempengnya tidak sampai ke Palung atau berhenti di tengah jalan seperti kasus gempa Nias tahun 2005. Scenario 1 dan 3 mengasumsikan bahwa pergerakan lempeng sampai ke palung laut dalam, sehingga potensi tsunaminya lebih besar seperti yang terjadi pada waktu gempa Aceh tahun 2004.

Scenario 1 dan 2 mengasumsikan besar

pergerakannya 10 m, hampir sama dengan gempa Nias tahun 2005, sedangkan scenario 3 dan 4 pergerakannya 20 m, hampir sama dengan yang terjadi pada waktu gempa Aceh tahun 2004.

Jadi scenario 3 adalah yang paling ekstrim

dengan magnitudo Mw 9.3, atau scenario terburuk (”worst-case scenario”). Apabila kita beranggapan bahwa hampir seluruh energi gempa dilepaskan saat gempa tahun 1797 dan1833 maka seharusnya energi pergerakan yang terkumpul hanya sekitar 10 m, karena kita tahu kecepatan pergerakan lempeng adalah sekitar 5 cm dan ”ellapsed time” atau tenggang waktu yang sudah terjadi hanya sekitar 200 tahunan.

Gambar 5.1. Pola deformasi vertikal dari 6 buah skenario gempa besar di Mentawai. A dan B adalah pola deformasi berdasarkan data dan analisa dari hasil penelitian koral mikroatol [Natawidjaja dkk, 2006]. Scenario 1 (C) mengasumsikan sumber gempa tahun 1797 dan 1833 dilepaskan bersamaan dengan pergerakan 10 m sampai ke arah palung laut dalam. Scenario 2 (D) sama dengan C tapi pergerakannya tidak sampai ke Palung. Scenario 3 (E) dimensi sumber gempa sama dengan C tapi pergerakannya 20 m; ini adalah ”worst case”. Scenario 4 (F) pergerakannya sama dengan E tapi tidak sampai palung laut dalam. (sumber dari: Borero et al [2006]).

5.3. Hasil analisa dan peta limpasan tsunami di wilayah Kota Padang 5.3.1. Umum Hasil simulasi tsunami dari model gempa 1797 dan 1833 dan besarnya tsunami yang sampai di wilayah Padang dan Bengkulu menunjukan kesamaan dengan data catatan sejarah tentang efek tsunami pada tahun 1797 dan 1833. Hal ini berarti bahwa pemodelan yang dibuat sudah cukup baik. Hasil simulasi dari empat scenario gempa (Model C,D,E,F) memperlihatkan bahwa tsunaminya lebih besar dari tsunami tahun 1797 dan 1833.

Efek

tsunaminya sangat besar untuk wilayah pantai Sumatra Barat dan Bengkulu. Dari semua model, tsunami sampai ke pantai barat Sumatra rata-rata sekitar 30 menit setelah gempanya terjadi. Tinggi gelombang berkisar dari 2 meter sampai 10 meter tergantung dari kondisi bathimetri dan posisinya dengan sumber gempa/tsunami, dan melimpas ke darat dari beberapa ratus meter sampai beberapa kilometer tergantung dari kondisi topografi pantainya. Dari semua scenario, tinggi tsunami di wilayah Padang lebih kecil daripada di Bengkulu. Hal ini disebabkan karena di depan Kota Padang terdapat pulaupulau (Siberut, Sipora, Pagai) sedangkan di depan Bengkulu tidak ada pulaupulau besar.

Keberadaan pulau-pulau besar ini membuat volume air yang

diangkat oleh gempa lebih kecil (karena di atas pulau tidak ada air laut), juga pulau-pulau ini menjadi tameng untuk tsunami paling besar yang terbentuk di bagian barat/barat daya-nya (karena di barat pulat lautnya lebih dalam sehingga volume air yang terangkat akan lebih besar). Itulah sebabnya kenapa tsunami di Padang lebih kecil dari di Bengkulu. Efek pulau sebagai tameng tsunami juga terjadi pada waktu gempa Nias tahun 2005 (Briggs et al., 2006, Kerr, 2005, Geist

et al., 2006). Pula Nias menyebabkan tsunami yang terjadi di pantai barat Sumatranya (wilayah Sibolga) menjadi tidak besar. Dilain pihak, di Pulau Niasnya pun tinggi tsunaminya menjadi jauh lebih kecil karena pulaunya ikut

terangkat sampai 3 meter ktika gempa. Jadi kalau tinggi tsunami yang terjadi seharusnya 5 meter maka karena pulaunya terangkat 3 meter tinggi tsunami di pantai menjadi hanya 2 meter.

5.3.2. Padang Padang adalah wilayah dengan populasi terpadat di pantai barat dari Provinsi Sumatra barat dan Bengkulu. Lokasinya persis bersebrangan dengan Pulau Siberut. Catatan sejarah menunjukkan bahwa tsunami yang terjadi tahun 1797 tinggi gelombangnya mencapai 5 sampai dengan 10 meter di wilayah pelabuhan Muaro Padang [Natawidjaja et al., 2006] Hasil simulasi tsunami di Kota Padang dari model gempa tahun 1797, gempa tahun 1833, scenario 1 dan scenario 3 (worst case) dapat dilihat di Gambar 5.2. Pola tsunami dari semua model yang dibuat menunjukkan bahwa dari saat terjadi gempa bumi sampai sekitar menit ke -30 air laut di Padang surut dulu, kemudian baru setelah menit ke-30 gelombang tsunami datang di Kota Padang. Selama 3 jam sejak terjadi gempa, ada sekitar 6 kali pulsa gelombang tsunami yang datang.

Sangat penting untuk diperhatikan bahwa gelombang

kedua yang datang sekitar 1 jam setelah gempa lebih besar dari yang pertama dan tsunami yang datang sekitar 2 jam 45 menit setelah gempa bahkan lebih besar dari yang sebelumnya. Memang tinggi tsunami-nya tidak lebih dari yang pertama dan kedua tapi volume air-nya (juga momentumnya) lebih besar. Dari ke 4 simulasi yang dibuat ini hasil simulasi dari model gempa tahun 1833 adalah yang tinggi tsunaminya paling kecil dan pola gelombangnya cukup berbeda dengan yang lain. Hal ini disebabkan karena sumber gempa tahun 1833 tidak di depan kota Padang tapi lebih ke selatan. Dari simulasi tsunami yang dilakukan, terlihat bahwa tinggi maximum dari tsunami adalah sekitar 5 meter (Scenario 3). Jadi ini adalah tinggi gelombang tsunami untuk scenarion terburuk (worst-case scenario). Tapi tinggi gelombang ini belum memperhitungkan penurunan tektonik yang akan terjadi.

Karena

kemungkinanya wilayah Padang akan turun sekitar 0.5 meter, maka tinggi gelombang maksimum menjadi 5.5 meter. Untuk scenarion yang lebih masuk akal atau ”moderate-case scenario” (scenario 1) tinggi tsunaminya hanya sekitar 4 meter (Gbr 5.2).

Gambar 5.2. Hasil simulasi tsunami di Kota padang dari model gempa tahun 1797, gempa tahun 1833 dan model gempa dari scenario 1 dan 3. (sumber: J. Borrero [2007] )

Kemudian kami membuat model inundasi/limpasan tsunami untuk wilayah Kota Padang bedasarkan scenario 1 dan 3 seperti terlihat pada Gambar 5.3 dan 5.4.

Hasilnya memperlihatkan bahwa untuk scenario 1 atau model yang

moderat (lebih masuk akal), inundasi tsunami umumnya tidak mencapai lebih dari 1.5 km dari pantai dengan tinggi gelombang di tepi pantai sekitar 4 meter (Gbr 5.3). Untuk scenario terburuk (scenario 3) inundasi tsunami ke arah Kota Padang mencapai sekitar 2 km, dengan tinggi gelombang di pantai sekitar 5.5 meter (=flow depth) kemudian akan makin dangkal ke arah darat (Gbr 5.4). Terlihat bahwa pada dua buah peta simulasi inundasi tersebut di atas wilayah selatan dari Kota Padang (mulai dari mulut muara pelabuhan Padang)

inundasi tsunami tidak auh ke daratan. Hal ini disebabkan karena tepi pantainya curam. Inundasi tsunami yang besar baru terlihat lagi di wilayah Painan di ujung selatan dari cakupan peta.

Gambar 5.3. Hasil simulasi limpasan atau inundasi tsunami dari scenario 1 pada citra satelit Quickbird di wilayah Kota Padang sampai Painan. Skala bar adalah 5 km. Terlihat bahwa wilayah inundasi di Kota padang kurang dari 1.5 km dari pantai dengan tiggi gelombang di pantai (=”flow depth”) maksimum 4 meter. (sumber: J. Borrero [2007] )

5 km

Gambar 5.4. Hasil simulasi limpasan atau inundasi tsunami dari scenario 3 pada citra satelit Quickbird untuk wilayah Kota Padang sampai Painan. Skala bar adalah 5 km. Terlihat bahwa wilayah inundasi di Kota padang rata-rata tidak lebih dari 2 km dari pantai dengan tinggi gelombang di pantai (=”flow depth”) mencapai 5.5 meter (sumber: J. Borrero [2007] )

5.4. Hasil analisa dan peta limpasan tsunami di wilayah Kota Bengkulu 5.4.1. Tinggi dan pola gelombang tsunami di Bengkulu Seperti yang diuraikan di depan, lokasi geografis Kota Bengkulu berbeda dengan Kota Padang. Bengkulu berhadapan dengan lautan luas tanpa dihalangi oleh pulau-pulau besar seperti halnya Padang. Hasil simulasi tsunami untuk Kota Bengkulu menunjukkan bahwa tinggi gelombang tsunami di Bengkulu jauh lebih

besar daripada di padang, juga pola gelombangnya sangat berbeda dengan di Padang (Gbr. 5.5). Tsunami yang dihasilkan oleh model gempa tahun 1797

terlihat tidak

besar di Bengkulu (garis warna merah pada Gbr 5.5. Tidak terlihat ada susut airlaut setelah gempanya terjadi, dan tsunami yang datang setelah sekitar 1 jam 25 menit hanya kurang dari 1 meter. Hal ini disebabkan karena sumber gempa tahun 1797 tidak di depan Bengkulu, tapi agak ke utara. Untuk model gempa tahun 1833, terlihat ada susut air laut dulu yang turun sekitar 200 cm setelah lebih dari 0.5 jam.

Kemudian baru setelah satu jam setelah gempa tsunami

setinggi 3 meter datang menerjang Kota Bengkulu.

Setelah itu dua pulsa

gelombang tsunami berikutnya datang lagi setelah 1 jam 45 menit dan 2 jam 45 menit setelah gempa. Jadi hanya ada tiga buah pulsa gelombang tsunami dalam waktu tiga jam. Hasil simulasi tsunami dari scenario 1 dan 3 terlihat jauh lebih dramatis. Ini dikarenakan dalam dua model gempa hipothetic ini dasar samudra terangkat sampai wilayah P. Enggano di selatan. Senario 1 dan 3 menghasilkan dua buah pulsa besar dari gelombang tsunami selama tiga jam pertama. Yang pertama akan melanda Bengkulu pada menit ke-36.

Gelombang besar yang kedua

datang pada menit ke-140an dan gelombangnya lebih tinggi dari yang pertama. Untuk scenario 3 (worst-case) tinggi maksimum gelombang tsunami dari yang pertama adalah 6 meter,sedangkan ketika gelombang kedua mencapai 9 meter. Untuk scenario 1 (moderate case), tinggi maksimum gelombang yang pertama dan kedua masing-masing adalah 4 meter dan 6 meter. Namun, grafik simulasi tsunami ini belum dikoreksi oleh penurunan wilayah pantai yang terjadi pada waktu gempabumi. Dari Gambar 5.1 terlihat bahwa wilayah Bengkulu ini bisa turun (secara tektonik) sampai 2 meteran.

Karena itu, tinggi gelombang

maximum hasil simulasi ini harus ditambah 2 meter.

Jadi untuk scenario 3,

tinggi gelombang maksimumnya yang 9 meter menjadi 11 meter.

Untuk

scenario 1 tinggi gelombang maksimumnya yang 6 meter menjadi 8 meter.

Sebaliknya susut airlaut yang terjadi pada saat gempa bumi sampai 0.5 jam setelahnya menjadi kecil atau tidak terlihat. Soalnya, pada scenario 1, walaupun air laut sebenarnya turun sampai 2 meter, tapi karena daratannya juga turun 2 meter maka masyarakat tidak akan melihat susut air laut dulu sebelum tsunaminya datang ke Bengkulu.

Hal ini harus benar-benar dipahami oleh

masyrarakat untuk kepentingan siaga bencana tsunami, jangan sampai masyarakat menunggu-nunggu laut surut sampai tiba-tiba datang gelombang besar tsunaminya.

Gambar 5.5. Hasil simulasi tsunami di Bengkulu dari 4 buah model sumber gempa yang sama dengan yang dilakukan untuk Padang. (sumber: J. Borrero [2007] )

5.3.2. Peta simulasi inundasi tsunami untuk Kota Bengkulu Seperti halnya untuk Kota Padang, dibuat simulasi inundasi tsunami di Kota Bengkulu.

Untuk analisa ini diambil simulasi inundasi tsunami untuk

scenario 1 dan 3. Pada umumnya terlihat bahwa inundasi tsunami di Bengkulu jauh lebih besar dari di Padang karena tinggi gelombangnya dua kali lipat lebih besar.

Untuk scenario 1, tsunami membanjiri daratan sampai 3 km (Gbr 5.6),

sedangkan untuk scenario 3, tsunami membanjiri daratan sampai lebih dari 5 km untuk wilayah pantai yang datar. Meskipun demikian,patut disyukuri bahwa pusat Kota Bengkulu ada di dataran yang tinggi, sehingga relatif lebih aman dari tsunami. Terlihat bahwa tsunami membanjiri bagian utara, elatan, dan disekitar pusat Kotanya (Gbr 5.6 dan 5.7). Wilayah yang paling rawan tsunami tertama adalah dataran rendah pantai di bagian selatan.

5 km

Gambar 5.6. Peta inundasi tsunami di Kota Bengkulu hasil simulasi tsunami dari model gempa scenario 1(sumber: J. Borrero [2007] ).

5 km

Gambar 5.7. Peta inundasi tsunami di Kota Bengkulu hasil simulasi tsunami dari model gempa scenario 3. (sumber: J. Borrero [2007] ).

6. Strategi pembangunan dan pengembangan lingkungan hidup yang aman bencana alam 6.1. Dasar Pemikiran Indonesia belum memasukan faktor kerawanan bencana alam dalam rencana pembangunan dan pengembangan lingkungan hidup padahal wilayah Indonesia sarat dengan berbagai ancaman bencana alam. mitigasi bencana alam ini

Pada masa lalu

hanya sebatas himbauan dan anjuran pemerintah,

sehingga kenyataannya hal ini tidak pernah dilakukan dengan serius. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 yang dikeluarkan pada bulan April 2007 merupakan awal dari era baru dalam mitigasi bencana alam di Indonesia. Di masa sebelumnya, usaha mitigasi bencana alam belum

dilaksanakan

sepenuhnya

secara

sistematis,

terorganisasi,

dan

bertanggung jawab. Sekara mitigasi bencana alam bukan lagi sekadar anjuran dan himbauan, tapi sudah merupakan kewajiban untuk melaksanakannya. Satu falsafah dasar dalam mitigasi bencana alam adalah bahwa dengan lajunya pertumbuhan penduduk dan pembangunan maka ancaman bencana alam menjadi semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena akan semakin banyak populasi manusia menempati wilayah-wilayah rawan bencana yang tadinya tidak atau sedkit dihuni atau dikembangkan.

Jadi tujuan sangat penting dalam

mengurangi dampak bencana alam adalah dengan memasukkan faktor bencana alam dalam perencanaan pembangunan dan perluasan wilayah. Disamping itu juga membuat usaha-usaha untuk mengurangi kerawanan bencana bagi wilayah yang kadung ada di wilayah rawan bencana. Kesuksesan dalam usaha penanggulangan bencana alam nasional tergantung dari beberapa faktor di bawah ini:

1. Pengetahuan yang” up to date” tentang potensi sumber bencana alam, baik pengetahuan dasar ataupun peta potensi bencana dan detil teknis yang efektif dan efisien untuk pelaksanaan mitigasinya. Misalnya data sumber gempabumi dan tsunami untuk setiap daerah, kemudian dituangkan dalam bentuk peta bahaya goncangan, peta bahaya sesar aktif, peta bahaya longsoran, peta inundasi tsunami, dsb. 2. Program nasional jangka panjang untuk menggalakan riset dibidang kebencanaan, terus menerus meng-update database potensi sumber bencana dan juga peta-peta kebencanaan seperti yang tercantum dalam butir (1). 3. Melaksanakan pemantauan (sumber) bencana alam yang berbasis

pengetahuan kebencanaan yang memadai berdasarkan butir (1) dan (2). Pemantauan ini mencakup: jaringan seismometer & GPS pemantau proses gempabumi, jaringan pemantau cuaca, jaringan sensor pemantau gunung api, jaringan sensor pemantau gerakan tanah, jaringan sensor pemantau banjir. Usaha ini seiring dengan penyelenggaraan ”Early Warning System

(EWS)” dan ”post-disaster rapid assesments”. 4. Pendidikan untuk para pejabat pemerintahan dan petugas pelaksana penanggulangan bencana dan juga untuk masyarakat umum untuk membangun kesiapan masyarakat dan sarana-fasilitasnya dalam mengurangi efek bencana di masa datang dan menyiapkan pelaksanaan kondisi darurat apabila bencana terjadi, usaha rehabilitasi, dan rekonstruksi. Perlu diingat bahwa hal ini akan sukar dilaksanakan apabila butir (1) dan (2) tidak dilaksanakan. 5. Membangun kesiapan manajemen dan infrastruktur apabila bencana terjadi, yaitu untuk membantu pelaksanaan evakuasi, tindak tanggap darurat, rehabilitasi,dan rekonstruksi. Usaha ini meliputi misalnya: pelebaran atau pembuatan jalan-jalan untuk membantu evakuasi, membuat bangunan khusus untuk tempat berlindung bagi masyarakat dari tsunami, menyiapkan sarana-fasilitas untuk membantu korban dalam

situasi tanggap darurat, menyiapkan bahan makanan ditempat yang aman dan strategis untuk para korban, dlsb. 6. Melaksanakan rencana pembangunan dan pengembangan wilayah (i.e. RTRW) yang aman bencana alam. Artinya, kita harus mengantisipasi dimana saja daerah yang padat penduduk dan infrastruktur yang sudah kadung berada di daerah rawan bencana. Kemudian untuk selanjutnya tidak lagi mengembangkan suatu daerah tanpa memperhitungkan resiko bencana alam. 7. Good governance dalam sistem manajemen penanggulangan bencana.

6.2 Data potensi bencana alam Pada masa sebelumnya kegiatan pengkajian alam Indonesia sebagian besar untuk eksplorasi sumber daya alam, sedikit sekali yang dilakukan untuk pengkajian potensi bencana alamnya.

Dampaknya sekarang ini data potensi

bencana alam di Indonesia sangat sedikit. Maka dengan mulai maraknya usaha untuk mitigasi bencana alam hal ini menjadi kendala utama. Sayangnya banyak orang yang tidak menyadari hal ini dan malah beranggapan bahwa datanya sudah cukup banyak dan kita hanya perlu untuk menuangkannya saja dalam pelaksanaan mitigasi bencana alam. Oleh karena itu hal pertama yang perlu dilakukan pemerintah untuk memulai usaha penanggulangan dan mitigasi bencana secara nasional adalah menginventarisasi semua informasi tentang potensi kebencanaan dari semua instansi yang terkait, termasuk mengumpulkan semua peta kebencanaan yang ada.

Kemudian, dapat dibentuk satu tim ahli untuk membuat data base info

potensi bencana alam yang lebih sistematis dan terpadu.

Tim ini juga harus

memeriksa kualitas dari semua peta kebencanaan untuk menentukan mana yang dapat berguna mana yang tidak. Dari sini kita bisa mendapat gambaran yang lebih jelas tentang informasi dan peta kebencanaan yang masih diperlukan untuk rencana ke depan.

6.3. Realisasi mitigasi bencana alam di daerah Usaha untuk mengkaji potensi bencana alam tidak bisa dilakukan dalam tempo singkat tapi harus dilakukan secara komprehensif, sistematis dan terintegrasi dalam rencana jangka panjang. Sejalan dengan usaha ini maka data base informasi potensi bencan alam dan sema peta-peta rawan dan resiko bencana alam harus selalu di update dan direvisi secara berjangka. Usaha untuk mitigasi bencana alam di daerah dapat dilakukan dengan cara sbb: 1. Mempunyai peta dan informasi yang cukup mengenai potensi bencana alam.

Peta rawan bencana yang bisa dipakai untuk

input dalam

pembuatan RT RW, kontingensi plan, menyiapkan masyarakat siap bencana dan lain-lain adalah harus mempunyai ketelitian atau skala yang cukup besar. Untuk wilayah dengan populasi padat maka skalanya harus 1:10.000 atau lebih besar lagi. Peta ini juga harus mempunyai informasi yang cukup detil tentang parameter-parameter sumber bencana dan analisa potensinya. 2. Melakukan usaha-usaha untuk mengurangi rawan bencana bagi populasi penduduk yang berada di wilayah rawan bencana. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, tergantung dari jenis bencananya. Misalnya untuk bahaya goncangan gempa, maka pemerintah bisa memberikan bantuan untuk pelaksanaan teknis memberi tambahan struktur pada bangunan supaya menjadi lebih tahan gempa. Kemudian untuk rumah-rumah dan bangunan yang akan dibangun harus memenuhi persyaratan tingkat ketahanan gempa tertentu sesuai dengan tingkat kerawanannya. Untuk populasi penduduk yang berada diwilayah inundasi tsunami maka harus direncanakan bagaimana penduduk bisa menyelamatkan diri ketika tsunami datang. Hal ini bisa dilakukan,misalnya dengan membuat rute dan tempat evakuasi yang sebaik-baiknya atau membuat struktur

bangunan untuk evakuasi di dekat pemukiman apabila penduduk tidak akan sempat untuk keluar dari wilayah inundasi tsunami. 3. Memasukan faktor kerawanan bencan alam pada RT RW sehingga dalam angka panjang ke depan akan semakin sedikit pemukiman serta bangunan-bangunan umum yang berada di lokasi rawan bencana alam. Dengan kata lain, dengan RT RW yang aman bencana maka bencana alam yang terjadi di masa depan akan emakin sedikit memakan korban, bukan sebaliknya. 4. Mempersiapkan “post-disaster emergency response dan recovery” bagi wilayah yang berpotensi tinggi untuk terjadi bencana alam dalam kurun waktu dekat. 5. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan pengetahuan kebencanaan untuk para pejabat, petugas, dan masyarakat umum. Sekarang sudah saatnya juga untuk memasukan pengetahuan tentang bencana alam ini dalam pendidikan formal: SD, SMP, dan SMA.

Daftar Pustaka Abercrombie, R.E., The June 2000, Mw7.9 earthquake in south of Sumatra: deformation in the India-Australia Plate, Journal of Geophysical Research, 2002. Bock, Y., et al., Crustal motion in Indonesia from Global Positioning System measurements, Journal of Geophysical Research, 108, 2003. Boelhouwer, J.C., Herinneringen van mijn verblijf op Sumatra's westkust gedurende de jaren, 1831-1834, 's-Gravenhage: Doorman (The Hague), 1841. Borrero, J., Tsunami Modeling of the Sumatran megathrust, Tectonic Observatory, California Institute of Technology, Pasadena, 2007. Borrero, J., K.Sieh, M.Chlieh, and C.Synolakis, Tsunami inundation modeling for western Sumatra, Proc. Natl. Acad. Sci, 103, 19673-19677, 2006. Briggs, R.W., K. Sieh, A.J. Meltzner, D.H. Natawidjaja, and e. al., Deformation and slip along the Sunda megathrust in the great 2005 Nias-Simeulue earthquake, Science, 311 (5769), 1897-1901, 2006.

Chlieh, M., J.-P. Avouac, K.Sieh, and D.H.Natawidjaja, Investigation of interseismic strain accumulation along the Sunda megathrust, offshore Sumatra, Journal of Geophsical Research, in press. du Puy, J., Een aantekeningen omtrent vuurbergen en aardbevingen op Sumatra, Tijdschrift voor Neerland's Indie, 7, 1845. du Puy, J., Een paar aantekeningen omtrent vuurbergen en aardbevingen op Sumatra, Tijdschrift voor Neerland's Indie, 9, 1847. Fukushima, Y., and , and T. Tanaka, A new Attenuation Relation for Peak Horizontal Acceleration of Strong Earthquake ground motion in Japan, Seismological Society of America Bulletin, 80, 757-783, 1990. Genrich, J.F., Y. Bock, M. R, and e. al., Distribution of slip at the northern Sumatran fault system, Journal of Geophsical Research, 105 (B12), 28,327-28,341, 2000. Hanks, T.C., and H. Kanamori, A moment magnitude scale., Journal of Geophysical Research, 84, 2348-2350, 1979. Harris, R., R. Archuleta, and S. Day, Fault steps and the dynamic rupture process: 2-D numerical simulations of a spontaneously propagating shear fracture, Geophysical Research Letters, 18, 893-896, 1991. Harris, R., and S. Day, Dynamics of fault interaction: Parallel strike-slip faults, J.Geophys.Res., 98 (B3), 4461-4472, 1993. Katili, J.A., and F. Hehuwat, On the occurence of large transcurrent faults in Sumatra, Indonesia, Journal of Geoscience, Osaka City University, 10, 517, 1967. Lee, W., H.Kanamori, C.J. P, and C.Kisslinger, Earthquake & Engineering Seismology, Academic Press, 2002. Meltzner, A., K.Sieh, M.Abrams, D.C.Agnew, K.W.Hudnut, J.-P. Avouac, and D.H.Natawidjaja, Uplift and subsidence associated with the great AcehAndaman earthquake of 2004, J.Geophys. Res., 3 (B2), 10.1029, 2005. Meltzner, A., K.Sieh, M.Abrams, D.C.Agnew, K.W.Hudnut, J.-P. Avouac, and D.H.Natawidjaja, Uplift and subsidence associated with the great AcehAndaman earthquake of 2004, J.Geophys. Res., 3 (B2), 10.1029, 2006. Mueller, S., and L. Horner, Reizen en onderzoekingen in Sumatra gedaan op last der Nederlandsche regering tussen de jaren 1833 en 1838, 1855, 'sGravenhage: Furi (The Hague), 1855. Nalbant, S., S. Steacy, K. Sieh, D. Natawidjaja, J. McCloskey, Earthquake risk on the Sunda trench, Nature, 435, 756-757, 2005. Natawidjaja, D., Y. Kumoro, and J. Suprijanto, Gempa bumi tektonik di daerah Bukit tinggi - Muaralabuh: hubungan segmentasi sesar aktif dengan gempa bumi tahun 1926 & 1943, in Annual convention of GeoteknologiLIPI, LIPI, 1995. Natawidjaja, D.H., Quantitative geological assessments of Liwa earthquake 1994,

Proceeding of Annual Convention of Indonesian Association of Geophysicists (HAGI) 1994, 1994.

Natawidjaja, D.H., Neotectonics of the Sumatran Fault and paleogeodesy of the Sumatran subduction zone,, 2003. Natawidjaja, D.H., The Past, recent, and future giant earthquakes of the Sumatran megathrust, in JASS05 Great Earthquakes in the Plate Subduction, Nagoya University and the JSPS, Nagoya,Japan, 2005. Natawidjaja, D.H., K.Sieh, M.Chlieh, J.Galetzka, B.W.Suwargadi, H.Cheng, R.L. Edwards, J-P Avouac, and S.Ward, Source Parameters of the great Sumatran megathrust earthquakes of 1797 and 1833 inferred from coral microatolls, J.Geophys. Res., 111, 2006. Natawidjaja, D.H., K.Sieh, S.Ward, H.Cheng, R.L. Edwards, J.Galetzka, and B.W. Suwargadi, Paleogeodetic records of seismic and aseismic subduction from central Sumatran microatolls, Indonesia, J.Geophys. Res., 109(B4) (4306), 1-34, 2004. Natawidjaja, D.H., H. Latief, W. Triyoso, and B.W. Suwargadi, Crustal Deformations, Earthquake and Tsunami Hazards of the Sumatran Plate Margin, RUTI - Kantor Menristek, 2007. Natawidjaja, D.H., and W. Triyoso, The Sumatran fault zone: from source to hazard, 1 (No.1), 21-47, 2007. Newcomb, K.R., and W.R. McCann, Seismic history and seismotectonics of the Sunda Arc, Journal of Geophysical Research, 92, 421-439, 1987. Petersen, M.D., J. Dewey, and S. Hartzel, Probabilistic Seismic Hazard Analysis for Sumatra, Indonesia and Across the Southern Malaysian Peninsula, Tectonophysics, 390, 141-158, 2004. Prawirodirdjo, L., A geodetic study of Sumatra and the Indonesian region: Kinematics and crustal deformation from GPS and triangulation, University of California, San Diego, San Diego, 2000. Segall, P., and J.L. Davis, GPS applications for geodynamics and eathquake studies, Annu.Rev.Earth Planet.Sci, 25, 301-306, 1997. Sieh, K., Y. Bock, L. Edwards, F. Taylor, and P. Gans, Active tectonics of Sumatra, Geo. Soc. of Amer. Bull., 26, A-382, 1994. Sieh, K., Y. Bock, and J. Rais, Neotectonic and paleoseismic studies in West and North Sumatra, AGU 1991 Fall Meeting Program & Abstacts, 72 (44), 460, 1991. Sieh, K., and D. Natawidjaja, Neotectonics of the Sumatran fault, Indonesia, Journal of Geophysical Research, 105 (B12), 28,295-28,326, 2000. Sieh, K., S.N. Ward, D.H. Natawidjaja, and B.W. Suwargadi, Crustal deformation at the Sumatran subduction zone, Geophysical Research Letters, 26 (20), 3141-3144, 1999. Stein, R., A. Barka, and J. Dieterich, Progressive failure on the North Anatolian fault since 1939 by earthquake stress triggering, Geophysical Journal International, 128, 594-604, 1997. Subarya, C., M. Chlieh, L. Prawirodirdjo, J.-P. Avouac, Y. Bock, K. Sieh, A. Meltzner, D.H. Natawidjaja, and M. R, Plate-boundary deformation

associated with the great Sumatra–Andaman earthquake, Science, 440, 46-51, 2006. Taylor, F.W., J. Frohlich, J. Lecolle, and M. Strecker, Analysis of partially emerged corals and reef terraces in the central vanuatu arc-comparison of contemporary coseismic and nonseismic with quaternary vertical movements, Journal of Geophysical Research, 92, 4905-4933, 1987. Untung, M., N. Buyung, E. Kertapati, Undang, and C.R. Allen, Rupture Along the Great Sumatran Fault, Indonesia, During the Earthquakes of 1926 and 1943, Bull. Seismol. Soc. Am., 75 (1), 313-317, 1985. Verkerk, P., A.W.P., Palembangsche schetsen I, De Gids, 8 (Derde Serie (3rd series)), 1870. Wichmann, A., Die Edbeben des Indischen Archipels bis zum Jahre 1857, Verhandlingen der Koninklijke Akademie van Wetenschappen te Amsterdam (Tweede Sectie), Amsterdam, 1918a. Wichmann, A., Die Edbeben des Indischen Archipels bis zum Jahre 1857. Verhandlingen der Koninklijke Akademie van Wetenschappen te Amsterdam (Tweede Sectie). Deel XX. No. 4. Johannes Müller, Amsterdam. [In German.], 1918b. Yeats, R.S., K.E. Sieh, and C.R. Allen, The geology of earthquakes, vi, 568 pp., Oxford University Press, New York, 1997. Zachariasen, J., K. Sieh, F.W. Taylor, R.L. Edwards, and W.S. Hantoro, Submergence and uplift associated with the giant 1833 Sumatran subduction earthquake: Evidence from coral microatolls, Journal of Geophysical Research, 104, 895-919, 1999.