HAPLOIDISASI MEL DAN GINOGENESIS PA

Download Androgenesis dan Ginogenesis pada Anyelir (Dianthus sp.) adalah karya .... androgenesis. Dari ginogenesis melalui kultur irisan multi ovul ...

0 downloads 496 Views 2MB Size
HAPLOIDISASI MELALUI ANDROGENESIS DAN GINOGENESIS PADA ANYELIR (Dianthus sp.)

SUSKANDARI KARTIKANINGRUM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Haploidisasi Melalui Androgenesis dan Ginogenesis pada Anyelir (Dianthus sp.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pusaka di bagian akhir disertasi ini

Bogor,

Desember 2012

Suskandari Kartikaningrum NRP A263080031

iv

ABSTRACT SUSKANDARI KARTIKANINGRUM. Haploidization through Androgenesis and Gynogenesis on Carnation (Dianthus sp.). Under supervisor of AGUS PURWITO, GUSTAAF ADOLF WATTIMENA, BUDI MARWOTO and DEWI SUKMA . Haploidization technology ensures important advantages in obtaining pure lines by rapid fixation of homozygosity. Anther culture, ovule culture, ovary culture and irradiated pollen technique were used in this study. The objective of the research was to develop appropriate haploid technology in order to obtain haploid plants through androgenesis, gynogenesis by ovule culture and ovary culture and pseudofertilization on Dianthus chienesis. Androgenic callus was induced in four WT basic medium inductions supplemented with 2.4D, NAA, TDZ and BA. Four explants originated from ovule and ovary cultures of six genotypes of D. chinensis (Dchi-11, Dchi-12, Dchi-13, Dchi-14, Dchi-15 and Dchi-16) were applied in five media. For the parthenogenesis induction, 100-200 Gray gamma irradiations were applied to the Dchi-14 pollens and pollinated to the Dchi-11. Pollinations were conducted on the day after irradiation. Eight media were selected to obtain regenerated plants. Results showed that androgenic callus formation needed high auxin and sitokinin ratio, while regenerated callus required lower auxin and sitokinin ratio. 2,4-D was better than NAA in callus induction. Callus originated from anther culture, multi ovule slice culture, ovule culture and ovary slice culture regenerated producing early flowering plants and expressed of abnormal flowering mutant. Regeneran from anther culture was diploid, but two putative double haploids came up from multi ovule slice culture and ovary culture. Cytology and flow cytometry observations showed that seven haploid plants were obtained from pseudofertilization. Spontaneous chromosome doubling was inferred to have occurred during the callus culture period. In conclusion, gynogenesis through multiovule culture, ovary slice culture and pseudofertilization was more effective in inducing haploid and double haploid plants than androgenesis. Key words: androgenesis, gynogenesis, pseudofertilization, haploid, Dianthus sp.

vi

RINGKASAN SUSKANDARI KARTIKANINGRUM. Haploidisasi melalui Androgenesis dan Ginogenesis pada Anyelir (Dianthus sp.) Dibimbing oleh AGUS PURWITO sebagai ketua, GUSTAAF ADOLF WATTIMENA, BUDI MARWOTO dan DEWI SUKMA sebagai anggota komisi pembimbing Tanaman homosigot dapat diperoleh secara konvensional melalui selfing secara terus menerus sampai lebih dari enam generasi. Namun cara ini memerlukan waktu lama dan pada akhir generasi selfing masih ditemukan residu heterosigositas. Androgenesis, ginogenesis dan pseudofertilisasi sudah secara luas digunakan untuk program pemuliaan sebagai metode untuk menghasilkan tanaman haploid. Melalui teknologi haploidisasi, pembuatan tanaman homosigot murni dapat diperoleh hanya dalam satu generasi. Tanaman haploid ganda dapat digunakan untuk membentuk tanaman hibrida F1. Teknologi haploidisasi pada tanaman hias yang diperbanyak secara vegetatif, menawarkan peluang perdagangan benih dalam bentuk biji (true seed), dan bukan dalam bentuk stek yang tidak dapat disimpan lama. Salah satu kendala dalam sistem usahatani anyelir domestik yaitu ketergantungan benih dari luar negeri. Untuk mengatasi masalah ketergantungan terhadap penggunaan benih impor, maka perlu upaya untuk merakit kultivar unggul yang memiliki nilai kompetisi yang tinggi di pasaran. Serangkaian penelitian dilakukan untuk mempercepat diperolehnya varietas-varietas baru anyelir, dengan menyediakan tetua-tetua yang diperoleh dari teknologi haploid. Tiga metode haploidisasi yaitu androgenesis, ginogenesis dan pseudofertilisasi diaplikasikan untuk mendapatkan tanaman haploid, yang selanjutnya dapat digandakan atau mengganda secara spontan untuk mendapatkan tanaman haploid ganda yang bersifat homosigot untuk seluruh lokus. Berdasarkan studi biologi bunga dan dikaitkan dengan studi rasio perkembangan mikrospora diketahui bahwa variabel panjang kuncup merupakan indikator penanda kapan kuncup bunga dipanen untuk sumber eksplan. Induksi kalus androgenik dicoba pada empat jenis media yang mengandung media dasar WT yang berbeda rasio auksin dan sitokinin. Delapan jenis media regenerasi diseleksi untuk mendapatkan media yang sesuai untuk regenerasi. Penelitian ginogenesis terdiri atas empat percobaan berdasarkan pada kemampuan eksplan membentuk kalus/embrio. Empat eksplan tersebut ialah irisan multi ovul, multi ovul, irisan ovari dan ovari. Percobaan pseudofertilisasi dilakukan dalam dua unit. Percobaan pertama, dosis iradiasi sinar gamma 100 Gy diaplikasikan pada serbuk sari dua genotipe Dianthus chinensis yaitu Dchi-14 dan Dchi-13. Percobaan kedua dosis iradiasi diperluas mulai 100-300 Gy yang diaplikasikan pada serbuk sari Dchi-14. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima genotipe Dianthus chinensis yang diuji memiliki kecepatan antesis yang relatif sama, yaitu berkisar 14-16 hari, memiliki ciri-ciri spesifik yaitu adanya perubahan warna pada antera sesuai dengan fase perkembangan kuncup bunga, variasi jumlah mikrospora berkisar 4000 – 64000, viabilitas mikrospora berkisar 40 – 60%. Ukuran kuncup bunga dapat dijadikan sebagai indikator kapan dilakukan pengambilaan donor eksplan. Persentase late-uninucleate tertinggi (44,64%) adalah pada saat ukuran kuncup bunga T2 dengan ukuran kuncup 1,31 – 1,51 cm (umur 5 hari), dan belum ada perubahan warna antera. Eksplan ovul yang tepat berada pada tahap perkembangan kuncup bunga T7 (umur 10 hari) yang telah terbentuk dua inti hasil mitosis di kantong embrio.

Media terbaik untuk menginduksi kalus pada androgenesis ialah medium padat AD4 (WT + 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ ). Media terbaik untuk menginduksi kalus pada ginogenesis ialah media M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa). Media untuk menginduksi embrio langsung dari kultur ovari medium M6 (WT + 0.25 mgL-1 2,4-D+ 0.01 mgL-1 NAA + 0,5 mgL-1 TDZ + 30 g L-1 sukrosa). Medium regenerasi kalus yang terbaik ialah medium R11 (WT + 0,06 µM NAA + 2,22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa). Penelitian androgenesis belum mengasilkan tanaman haploid. Sampel kalus androgenik yang dianalisis memiliki tingkat ploidi diploid, sedang dari penelitian ginogenesis telah dihasilkan tanaman putatif haploid ganda melalui kultur irisan multi ovul dan kultur ovari. Satu tanaman haploid ganda hasil kultur irisan multi ovul telah di uji melalui selfing atau sibling (penyerbukan sendiri) dan diperoleh keturunan yang seragam. Kultur irisan multi ovul menghasilkan mutanmutan abnormalitas pembungaan. Penyerbukan menggunakan serbuk sari yang diradiasi 100 – 200 Gy dapat menginduksi partenogenesis Dianthus sp. dan menghasilkan tujuh tanaman haploid (PF69.1, PF69.2; C11; D231, D9.1; D9.2 dan D19.1). Pengandaan kromosom spontan terjadi pada D9.1. Frekuensi tanaman haploid yang diperoleh pada percobaan pseudofertilisasi adalah 5,10%. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ginogenesis melalui kultur irisan multi ovul, kultur irisan ovary, kultur ovari dan pseudofertilisasi lebih efektif untuk menginduksi tanaman haploid dan haploid ganda dibandingkan androgenesis. Dari ginogenesis melalui kultur irisan multi ovul dan kultur ovari diperoleh dua putatif tanaman haploid ganda, sedang dari kultur irisan ovari diperoleh satu putatif tanaman haploid. Ginogenesis melalui pseudofertilisasi menghasilkan tujuh tanaman haploid Kata kunci: androgenesis, ginogenesis, pseudofertilisasi, haploid, Dianthus sp.

viii

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

x

HAPLOIDISASI MELALUI ANDROGENESIS DAN GINOGENESIS PADA ANYELIR (Dianthus sp.)

SUSKANDARI KARTIKANINGRUM

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Penguji Luar Komisi Penguji pada Ujian Tertutup

:

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, MS. (Staf Pengajar Departemen Biologi, Fakultas MIPA, IPB) Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc. (Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB) Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Yusdar Hilman, MS, APU (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Kementrian Pertanian) Dr. Ir Syarifah Iis Aisyah, MSi. (Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB)

xii

Judul Disertasi Nama

: Haploidisasi melalui Androgenesis dan Ginogenesis padaa Anyelir (Dianthus sp.) : Suskandari Kartikaningrum

NRP

: A 263080031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr. Ketua

Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, MSc. Dr. Ir. Budi Marwoto, MS Dr. Ir. Dewi Sukma, SP, MSi

Anggota

Anggota

Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Pemuliaan Dan Bioteknologi Tanaman

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

Tanggal Ujian: 30 Oktober 2012

Tanggal Lulus:

xiv

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan disertasi ini dengan judul Haploidisasi melalui Androgenesis dan Ginogenesis pada Anyelir (Dianthus sp.). Terima kasih yang mendalam penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc Agr, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Gustaaf Adolf Wattimena MSc., Dr. Ir Budi Marwoto, MS APU, dan Dr. Dewi Sukma, SP. MSi, selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, kritikan, saran dan masukan yang sangat berharga sejak persiapan, pelaksanaan penelitian hingga selesainya penulisan disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. (Riset) Dr. Ika Mariska, MSc dan Dr. Muhamad Syukur, SP, Msi. selaku penguji pada saat ujian pra kualifikasi, Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena MS dan Dr. Ir. Endah Retno Palupi MSc. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr. Ir. Yusdar Hilman, MSc. dan Dr. Ir. Syarifah Iis Aisyah, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian melalui Bagian Pembinaan Tenaga serta Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan dan dukungan biaya selama masa tugas belajar S3 ini berlangsung. Penghargaan dan terima kasih, penulis ucapkan kepada Kepala Balai Penelitian Tanaman Hias atas fasilitas kebun dan laboratorium serta materi yang disediakan. Kepada teman-teman peneliti Dr. Drs Budi Winarto, Ir. Minangsari Dewanti, MP, Dr. Dra. Sri Rianawati, MSi., Ir. Dedeh Siti Badriah, Msi., Ridho Kurniati, SP MSi, Dra. Dyah Widiastoety, MS dan Dr. Ir. Marcia Bunga Pabendon, MP yang telah memberikan bantuan dan dukungan yang berharga. Terima kasih juga penulis ucpakan kepada rekan-rekan peneliti dan teknisi di Segunung, Cipanas dan Pasar Minggu yang telah banyak membantu di lapang dan laboratorium, serta teman seperjuangan dari Badan Litbang Ir. Sesanti Basuki M Phil., Ir. Agus Sutanto MSc. dan Dr. Ir. Ika Roostika, MSi untuk dorongan semangat dan persahabatannya. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Pak Joko Marwanto (Faperta IPB), Pak Fajar (LIPI), Pak Ujang Hafid (LIPI), Pak Pras (PPSHB IPB), Pak Iwan (FKH IPB) dan Pak Muryanto (Ewindo, Purwakarta) yang telah membantu analisis laboratorium, serta semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terimakasih khusus atas doa, dorongan dan kasih sayang yang tiada putus dari ayahanda Wiryawan (almarhum) dan ibunda Sri Anitah serta semua keluarga, kakak dan adik yang telah mendukung dan menguatkan penulis dalam melaksanakan penelitian hingga penulisan disertasi ini. Penulis menyadari bahwa tiada yang sempurna pada karya manusia, sehingga besar harapan penulis atas saran dan kritik membangun demi penyempurnaan disertasi ini. Akhir kata penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat dan menjadi acuan dalam pengembangan teknologi haploid demi kemajuan florikultura khususnya di Indonesia. Bogor,

Desember 2012 Suskandari Kartikaningrum

xvi

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jogjakarta pada tanggal 31 Januari 1966 anak ke-2 dari tiga bersaudara pasangan suami-istri Wiryawan dan Sri Anitah. Pendidikan S1 Agronomi diselesaikannya di Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 1989. Pada tahun 1999, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S2 di Universitas Padjadjaran Bandung bidang Ilmu Tanaman, Bidang Kajian Utama Ilmu Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian yang diselesaikan pada tahun 2002. Tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi S3 di Sekolah Pasca Sarjana, Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultuas Pertanian IPB. Sejak bulan Maret 1994 penulis bekerja di Balai Penelitian Tanaman Hias, Departemen Pertanian, tergabung dalam kelompok peneliti Pemuliaan dan Plasma Nutfah Tanaman Hias. Tugas yang diemban ialah manajemen koleksi plasma nutfah anggrek dan pemulia tanaman anggrek. Sejak tahun 2003 sampai 2009 penulis telah melepas delapan varietas anggrek Spathoglottis dan Phalaenopsis serta anggota tim pelepas lima varietas anggrek Spathoglottis dan Phalaenopsis Balithi. Karya ilmiah berjudul Teknologi Haploid Anyelir: Studi Tahap Perkembangan Mikrospora dan Seleksi Tanaman Donor Anyelir, telah diterbitkan (Jurnal Hortikultura 21 (2): 101-112, 2011). Artikel berjudul: Induksi Ginogenesis Melalui Kultur Irisan Ovul dan Kultur Irisan Ovari Dianthus chinensis akan diterbitkan di Jurnal Agronomi Indonesia. Karya ilmiah berjudul Induksi Tanaman Haploid Dianthus sp, melalui Pseudofertilisasi Menggunakan Polen yang Diiradiasi dengan Sinar Gamma telah dipresentasikan pada Seminar Nasional PERHORTI di Lembang pada tanggal 23-24 Nopember 2011 dan terpilih dan dimuat pada Jurnal Hortikultura Indonesia Edisi Agustus-Desember 2011. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

xviii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI …………………………………………………………

xix

DAFTAR TABEL ……………………………………………………

xxi

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………..

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………..

xxv

PENDAHULUAN Latar Belakang ………………………………………………….. Tujuan Penelitian ……………………………………………….. Hipotesis ……………………………………………………….. Manfaat Penelitian ……………………………………………… Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………

1 5 5 6 6

TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………

9

STUDI TAHAP PERKEMBANGAN KUNCUP MIKROSPORA DAN OVUL Dianthus chinensis L.

BUNGA,

Abstrak …………………………………………………………. Abstract ………………………………………………………… Pendahuluan …………………………………………………….. Bahan dan Metode………………………………………………. Hasil …………………………………………………………..… Pembahasan……………………………………………………… Simpulan ………………………………………………………… INDUKSI HAPLOID Dianthus ANDROGENESIS SECARA IN VITRO

chinensis

17 18 19 20 24 37 39

MELALUI

Abstrak …………………………………………………………. Abstract ………………………………………………………… Pendahuluan …………………………………………………….. Bahan dan Metode………………………………………………. Hasil …………………………………………………………..… Pembahasan……………………………………………………… Simpulan …………………………………………………………

41 42 43 45 46 52 54

INDUKSI HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI GINOGENESIS SECARA IN VITRO Abstrak …………………………………………………………. Abstract ………………………………………………………… Pendahuluan …………………………………………………….. Bahan dan Metode………………………………………………. Hasil …………………………………………………………..… Pembahasan……………………………………………………… Simpulan …………………………………………………………

55 56 57 58 64 76 80

INDUKSI TANAMAN HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI PSEUDOFERTILISASI Abstrak …………………………………………………………. Abstract …………………………………………………………

81 82

Pendahuluan …………………………………………………….. Bahan dan Metode………………………………………………. Hasil …………………………………………………………..… Pembahasan……………………………………………………… Simpulan …………………………………………………………

83 84 89 106 110

PEMBAHASAN UMUM …………………………………………….

111

SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….

119

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………

121

LAMPIRAN ………………………………………………………….

131

xx

DAFTAR TABEL

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Halaman Rata-rata jumlah antera dan warna antera pada setiap fase 26 pertumbuhan lima genotipe Dianthus chinensis....................... Jumlah mikrospora per antera lima genotipe dari spesies Dianthus 28 chinensis............................................................... Frekuensi tahap perkembangan serbuk sari D. chinensis Dchi-11 29 berdasarkan ukuran kuncup bunga dan warna antera………….. Viabilitas serbuk sari pada lima genotipe dari spesies Dianthus 39 chinensis............................................................................ Respon empat tahap perkembangan mikrospora genotipe Dchi-11 31 pada berbagai media induksi embrio/kalus ..……………….. Pengaruh tahap kuncup terhadap terbentuknya kalus pada ovula 34 atau ovari Dchi-11, 8 minggu setelah tanam ..………………….. Respon dua genotipe D. chinensis (rataan persentase terbentuknya 48 kalus dan waktu terbentuknya kalus) pada media induksi kalus …… Pengaruh media terhadap persentase antera membentuk kalus dan 48 waktu terbentuknya kalus pada genotype D. chinensis ….. Jumlah massa kalus yang diregenerasi, jumlah kalus dan persen 50 kalus yang beregenerasi pada dua genotype, berdasarkan media asal dan media regenerasi ……………………….……………… Interaksi media dengan genotipe terhadap persen hasil 65 pembentukan kalus pada kultur irisan multi ovul pada umur 4 MSI (minggu setelah inisiasi)…………………………………… Regenerasi kalus empat genotipe Dianthus chinensis hasil kultur 66 irisan multi ovul Organogenesis kalus dan saat munculnya tunas genotipe D. 69 chinensis Dchi-11 pada media regenerasi R7 dan Dchi-15 pada media regenerasi R11 dari media asal M10 …………..……….. Interaksi media dengan genotipe terhadap persentase pembentukan 74 kalus pada kultur irisan ovari umur 4 minggu setelah inisiasi ………………………………………………….. Organogenesis dari kalus pada genotipe dari jenis eksplan irisan 75 ovari, genotipe dan media asal pada kultur irisan ovari …….….. Pengaruh media terhadap jumlah buah yang berhasil tumbuh dari 90 ovari hasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma …………………………………. Jumlah biji yang tumbuh setiap ovari hasil pseudofertilisasi 91 Rata-rata dan kisaran jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata 92 enam genotipe Dianthus chinensis hasil pseudofertilisasi dengan polen yang diiradiasi sinar gamma ………………………………... Jumlah dan karakteristik buah yang dipanen dan biji yang diperoleh 98 setelah penyerbukan D. chinensis Dchi-11 dengan serbuk sari D. chinensis Dchi-14 yang diradiasi dengan sinar gamma…………... Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap perkecambahan biji 99 dan kualitas planlet setelah 4 bulan dan 7 bulan hasil pseudofertilisasi …………………………………………………….. Hasil aklimatisasi 23 regeneran hasil pseudofertilisasi ………… 103

xxii

DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Halaman Bagan alir kegiatan penelitian ………………………………. 7 Morfologi bunga lima genotipe Dianthus chinensis (A) Dchi-11, 20 (B) Dchi-12, (C) Dchi-13, (D) Dchi-14 dan (E) Dchi-15 Perkembangan kuncup bunga, ovari dan antera Dianthus 25 chinensis Dchi-11. T1 sampai T10 adalah 4 sampai 13 hari setelah inisiasi bunga …………………………........................... Tahap perkembangan serbuk sari. …………………………… 27 Karakteristik kuncup bunga dan antera pada 5 tahap 28 perkembangan bunga Dianthus chinensis. …………………… Hubungan antara panjang kuncup dengan umur kuncup dan 29 tahap perkembangan serbuk sari Dianthus chinensis Dchi-11. Hasil pewarnaan serbuk sari dengan FDA Dchi-15..................... 30 Eksplan kultur antera 4 minggu setelah kultur .......................... 32 Histologi kultur antera ………………………………………. 32 Irisan melintang dan membujur kuncup bunga dan ovul .... 33 Perkembangan pembentukan kalus pada antera Dianthus 47 chinensis …………………………………………………………….. Verifikasi media AD4 kultur antera ………………………… 49 Regenerasi kalus hasil kultur antera ………..…………………. 50 Histogram DNA hasil analisis flow cytometry …………………. 52 Eksplan ovul dan ovari …………………………………..…… 59 Pembentukan kalus eksplan irisan multi ovul……………….. 64 regenerasi dari kalus yang terinduksi membentuk bunga tidak lengkap 66 Morfologi tanaman dan bunga hasil kultur irisan multi ovul …….. 67 Hasil analisis isozim dengan enzim …………………………. 68 Diagram persentase pembentukan kalus genotipe Dchi-11 dan 68 Dchi-15 pada media M10 dan M11 pada kultur multi ovul ….. Pembentukan kalus dan regenerasi kalus menjadi tunas pada 70 genotype Dchi-11 dan Dchi-15 dari media asal M10 ………. Histogram DNA hasil analisis flow cytometry ………………… 70 Kultur ovary ………………………………………………….. 71 Analisis ploidi pada regeneran Dchi-15 hasil kultur ovari …….. 72 Variasi warna dan bentuk bunga dan ketebalan warna putih pada 72 tepi bunga tanaman donor dan hasil kultur ovari Dchi-15……. Hasil analisis isozim dengan enzim ……………………………. 73 Pembentukan kalus pada eksplan irisan ovari setiap genotipe 74 pada media induksi ……………………………………………. Persentase pembentukan kalus yang berasal dari eksplan irisan 75 ovari genotipe Dchi-11dan Dchi-13 pada 3 macam media ……….. Tanaman donor dan morfologi bunga hasil kultur irisan ovari … 76 Mutan pembungaan homeotik ABC pada Dianthus chinensis 77

31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50

Pengaruh iradiasi terhadap aktifitas serbuk sari yang dikecambahkan pada larutan sukrosa 15%.…………………….. Embrio yang berhasil tumbuh dari enam ovari …………….. Kloroplas dalam sel penjaga stomata tanaman Dianthus chinensis hasil pseudofertilisasi ………………………………... Kromosom tanaman PF79 hasil pseudofertilisasi: terdapat dua sel dengan jumlah kromosom berlainan. Jumlah kromosom 30 (panah hitam), jumlah kromosom 15 (panah merah)…………… Histogram DNA hasil analisis flow cytometer pada tanaman PF69.1 dan PF69.2 hasil pseudofertilisasi …………………….. Histogram DNA hasil analisis flow cytometer pada tanaman PF89 hasil pseudofertilisasi ………………………………………… Histogram DNA hasil analisis flow cytometry pada tanaman PF35.1 hasil pseudofertilisasi ………………………………….. Pertumbuhan planlet in vitro dan tanaman hasil pseudofertilisasi Hasil analisis isozim dengan enzim …………………………. PF42 dan progeni hasil penyerbukan sendiri tanaman PF42 hasil pseudofertilisasi ……………………………………………….. Persentase perkecambahan serbuk sari D. chinensis Dchi-14, 24 jam setelah iradiasi sinar gamma ……………………………….. Persentase pembentukan buah pada D. chinensis yang diseerbuki dengan serbuk sari yang diradiasi dengan berbagai dosis sinar gamma …………………………………………….. Grafik hubungan antara dosis iradiasi sinar gama terhadap persentase abnormal planlet D. chinensis setelah 4 bulan dan 7 bulan ………………………………………………..………… Planlet hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diirradiasi dengan sinar gamma pada dosis 100-300 Gy …………….…… Pertumbuhan planlet normal dan planlet yang diduga haploid, bentuk daun variegata serta jumlah kloroplas di sel penjaga stomata ……………………………………………………….. Histogram DNA hasil analisis dengan flow cytometer pada tanaman D9.2 hasil pseudofertilisasi …………………………… Histogram DNA hasil analisis dengan flow cytometer pada tanaman C11, D9.1, D19.1, D231…………………………….. Empat genotipe haploid dan haploid ganda hasil pseudofertilisasi yang sudah berbunga ..........………………… Tanaman hasil pseudofertilisasi E30d-1, hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diirdiasi dengan sinar gamma 300 Gy. Bunga dari tanaman donor dan bunga dari tanaman hasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diradiasi dengan sinar gamma pada dosis 100-200 Gy …………………………………

xxiv

89 90 92 92 93 94 94 95 96 97 97 98 99 100 101 102 102 104 105 105

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

Rata-rata ukuran bagian-bagian bunga pada lima genotipe

130

2

Tabel komposisi media dasar yang digunakan

131

3

Komposisi dan formula media dasar untuk embriogenesis

132

xxvi

GLOSSARY Androgenesis adalah proses terbentuknya tanaman yang diinisiasi dari gamet jantan Binucleate adalah tahap mikrospora berinti dua (inti vegetatif dan generatif) Dediferensiasi adalah proses berubah kembalinya eksplan yang tadinya sudah terspesialisasi dan kembali ke kondisi meristematik. Dihaploid adalah tanaman haploid (n=2x) yang mengandung dua set kromosom yang berasal dari tanaman tetraploid (2n=4x) Diploid adalah sel yang mengandung dua set kromosom (2n = 2x) Double haploid adalah penggandaan kromosom haploid menjadi diploid yang homosigot Embryo rescue adalah penyelamatan embrio muda yang tidak dapat berkembang menjadi embrio dewasa Endoreduplikasi adalah penggandaan kromosom tanpa sitokinesis. Gametofitik adalah generasi seksual (proses pembentukan gamet) Gynogenesis adalah proses terbentuknya tanaman yang diinisiasi dari gamet betina Haploid adalah tanaman (sporofitik) yang mengandung jumlah kromosom gamet (n) Haploidisasi adalah proses mendapatkan tanaman haploid Kultur irisan multi ovul adalah kultur dengan eksplan yang berasal dari irisan poros bunga yang berisi ovul lebih dari satu Kultur irisan ovary (ovary slice) adalah kultur dengan eksplan yang berasal dari irisan ovari yang mengandung lebih dari satu ovul secara melintang Meiotic sieve adalah pengaturan kembali kromosom setelah mengalami radiasi Kultur multi ovul adalah eksplan dalam bentuk poros bunga utuh berisi banyak ovul Organogenesis adalah proses pembentukan organ-organ tanaman seperti akar, batang, daun dan bunga Kultur ovari adalah kultur dengan eksplan dalam bentuk ovari yang mengandung banyak ovul di dalamnya Partenogenesis adalah proses berkembangnya embrio haploid dari sel telur tanpa proses fertilisasi Polihaploid adalah gamet (n) yang memiliki lebih dari satu set kromosom Pseudofertilisasi adalah proses penyerbukan (polinasi) tanpa fetilisasi Regenerasi adalah proses pertumbuhan dan perkembangan sel yang bertujuan untuk mengisi ruang tertentu pada jaringan atau mempebaiki bagian yang rusak Semigami adalah inti sperma memasuki sel telur tetapi tidak berfusi dengan inti sel telur. Setiap inti masing-masing membelah membentuk embrio haploid yang mengandung sektor asal jantan dan betina Sporofitik adalah generasi aseksual Uninucleate adalah tahap mikrospora berinti tunggal

PENDAHULUAN Latar Belakang Anyelir atau carnation (Dianthus sp.) merupakan salah satu tanaman hias penting (Leshem 1990; Fisher et al. 1993). Menurut Plasmeijer & Yanai (2006) dalam laporan Market News Service di Asia dan Eropa, pasar anyelir menduduki ranking ke 4 setelah mawar, krisan dan garbera. Sementara di Indonesia menurut data Biro Pusat Statistik 2012 produksi tanaman anyelir di Indonesia masih sangat rendah, menempati urutan ke enam setelah krisan, mawar, sedap malam, gladiol dan gerbera. Salah satu kendala dalam sistem usaha tani anyelir domestik adalah ketergantungan benih dari luar negeri. Benih sangat penting dalam budidaya anyelir, karena 30-35% biaya produksi digunakan untuk pembelian benih (BI 2004). Benih anyelir didatangkan dari Belanda, Spanyol dan Vietnam (Satsijati et al. 2004). Untuk mengatasi masalah ketergantungan penggunaan benih impor, maka perlu upaya untuk merakit kultivar unggul yang memiliki nilai kompetisi yang tinggi di pasaran. Hal ini penting untuk mengoptimalkan keuntungan yang diterima petani. Optimasi keuntungan dapat diperoleh melalui peningkatan efisiensi produksi. Situasi ini akan menjadi tantangan serius bagi para pemulia untuk saling berlomba mendapatkan kultivar unggul baru, agar industri tanaman hias menjadi tangguh (Marwoto et al. 1995). Tanaman haploid menarik perhatian utama para ahli genetika dan pemulia tanaman, karena melalui penggandaan kromosom akan diperoleh tanaman haploid ganda yang homosigot. Tanaman homosigot dapat diperoleh secara konvensional, tetapi diperlukan prosedur lebih dari enam kali generasi inbreeding, sedangkan melalui teknologi haploid dapat dicapai dalam satu kali generasi. Haploid merupakan istilah umum untuk tanaman

yang mengandung

jumlah kromosom gamet (n). Pada tanaman diploid (2n), haploid dapat disebut dengan monoploid (x) karena hanya memiliki satu set kromosom. Pada tanaman poliploid, haploid (n) yang memiliki lebih dari satu set kromosom disebut dengan polihaploid. Tanaman haploid dari autotetraploid (2n=4x) memiliki empat set dari satu genom yang disebut dengan dihaploid (karena n = 2x). Jika jumlah kromosom haploid (n=x) digandakan, disebut dengan double haploid atau haploid ganda dan bukan dihaploid. Dihaploid bukan homosigus karena mewakili dua set

2 kromosom terseleksi dari empat set dalam autotetraploid, sedangkan haploid ganda dari monoploid atau suatu allohaploid pasti homosigus lengkap (Kasha 2005). Tanaman haploid ganda memiliki beberapa kegunaan dalam program pemuliaan, yaitu digunakan sebagai tetua dalam pembentukan varietas hibrida F1 dan untuk studi pewarisan karakter. Haploid ganda juga bermanfaat dalam proses seleksi, terutama untuk karakter-karakter poligenik, karena rasio genetiknya menjadi lebih sederhana. Kegunaan lain yaitu untuk

mendapatkan genotipe

tertentu dan jumlah tanaman yang ditapis lebih sedikit. Selain itu tanaman haploid ganda berguna untuk studi yang terkait dengan karakter resesif, karena sifat resesif dapat terekspresi pada fenotipe tanaman. Menurut Reinert et al. (1975) tanaman haploid berguna untuk studi mutasi dan seleksi. Proses untuk mendapatkan tanaman haploid yang biasanya berasal dari sel diploid (2n) dikenal dengan nama haploidisasi. Beberapa upaya telah dilakukan untuk memproduksi tanaman haploid, diantaranya ialah persilangan tanaman kerabat jauh, perlakuan fisik dan kimiawi, penggunaan serbuk sari yang diiradiasi dan

penundaan

penyerbukan.

Dengan

makin

banyaknya

teknik

yang

dikembangkan untuk menginduksi tanaman haploid, maka penelitian untuk mendapatkan tanaman haploid juga makin berkembang. Pengembangan teknologi haploidisasi merupakan salah satu terobosan teknologi yang dapat diharapkan untuk membangun dan mendorong kebangkitan florikultura di Indonesia. Melalui teknologi ini, tanaman homozigot murni akan dihasilkan. Persilangan antara tanaman homozigot akan dihasilkan tanaman hibrida baru dan benih berkualitas dalam jumlah yang besar, stabil dan seragam. Ini berarti keberhasilan pengembangan teknologi pada tanaman hias secara langsung akan bermanfaat dalam penyediaan benih yang berkualitas melalui persilangan konvensional sekaligus menghasilkan varietas unggul baru. Pemanfaatan teknik kultur jaringan dalam bidang pemuliaan tanaman telah banyak diaplikasikan dan memberi dampak nyata terhadap kemajuan program pemuliaan pada tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Maluszynski et al. 2003; Thomas et al. 2003). Aplikasi metode in vitro untuk mendapatkan tanaman haploid meliputi androgenesis melalui kultur antera atau kultur serbuk sari) dan ginogenesis (kultur ovul atau kultur ovari yang belum dibuahi) (Radzan, 1993; Maluszynski et al. 2003). Pada androgenesis, pertumbuhan serbuk sariataupolen, dipicu melalui induksi yang diarahkan untuk tidak membentuk serbuk sari,

3 melainkan membentuk embrio. Induksi perkembangan sel sporofitik hanya mungkin dilakukan pada tahap awal perkembangan serbuk sari, pada saat serbuk sari memperlihatkan totipotensi (Toraev et al. 2001). Aplikasi kultur antera atau serbuk sari pada tanaman hias sampai saat ini masih terbatas. Beberapa tanaman yang telah dilaporkan menggunakan teknik ini, di antaranya Lilium sp. (van den Bulk et al. 1992; Han et al. 1997), Tulipa sp. (van den Bulk et al. 1994), Helianthus sp. (Coumans & Zhon, 1995), Petunia (Mohan & Bhalla-Shari, 1997), dan Camelia japonica (Pedroso & Pai, 1997). Meskipun kultur antera di beberapa spesies telah dilakukan untuk induksi embriogenesis somatik (Achar 2002; Germanà 2003; Kikkert et al. 2005; Rimberia et al. 2005), tetapi hanya sedikit laporan hasil penelitian mengenai kultur antera anyelir (Dolcet-Sanjuan et al. 2001). Upaya untuk mendapatkan tanaman haploid pada tanaman anyelir sudah dilakukan oleh Fu et al. (2008) melalui kultur antera. Namun tidak diperoleh tanaman haploid maupun haploid ganda. Hasil analisis histologi menunjukkan bahwa tanaman berasal dari dinding sel antera, dengan konstitusi genetik diploid dan tetraploid. Ketidakberhasilan induksi tanaman haploid dari antera ini kemungkinan disebabkan oleh belum tepatnya stadia mikrospora, belum tepatnya media yang digunakan, praperlakuan dan kombinasinya yang belum sesuai atau kemungkinan penggunaan metode androgenesis tidak tepat. Untuk mendapatkan tanaman haploid, metode lain seperti ginogenesis dan penggunaan serbuk sari yang diiradiasi untuk pseudofertilisasi perlu dipelajari. Pada beberapa penelitian, ginogenesis merupakan metode alternatif lain untuk memperoleh tanaman haploid. Ginogenesis mirip dengan partenogenesis apomiktik, sehingga pemahaman proses yang mengatur embriogenesis spontan (terjadi tanpa fertilisasi),

berkontribusi terhadap perkembangan metode

ginogenesis secara in vitro. Gen-gen yang bertanggungjawab terhadap inisiasi perkembangan embrio apomiktik dari sel telur yang tidak dibuahi berperan dalam ginogenesis (Wędzony et al. 2009). Regenerasi haploid ginogenik secara luas digunakan untuk metode induksi haploid dimana megagametofit yang digunakan berasal dari sel-sel haploid, termasuk pseudofertilisasi. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa sel telur merupakan sumber dari embrio haploid pada tanaman Beta vulgaris (Ferrant & Bouharmont 1994), Allium cepa (Musial et al. 2001, 2005), Helianthus annuus (Gelebart & San 1987), Hevea brasiliensis (Guo

4 et al. 1982), Hordeum vulgare (Huang et al. 1982), Melandrium album (Mol 1992) dan Nicotiana tabacum (Wu & Chen 1982). Partenogenesis yang diinduksi dengan serbuk sari yang diiradiasi juga dapat menghasilkan tanaman haploid. Pseudofertilisasi dengan memanfaatkan serbuk sari yang diradiasi diikuti dengan penyelamatan embrio

yang

menghasilkan tanaman haploid telah banyak diterapkan pada beberapa tanaman buah-buahan yaitu plum (Peixe et al. 2000), kiwi (Chalak and Legave, 1997, Musial et al. 1998), melon ( Katoh et al. 1993), jeruk (Bermejo et al. 2011). Pada tanaman hias telah dilakukan pada primula (Carraro et al. 1990), bunga matahari (Todorova et al. 2004), mawar (Meynet et al. 1994), anyelir (Dianthus caryophillus) (Sato et al. 2000) dan tanaman lain seperti kapas (Aslam 2000; Savaskan 2002). Teknologi haploidisasi ini penting dilakukan pada anyelir karena perkembangan pemuliaan anyelir di Indonesia yang masih lambat dibandingkan dengan tanaman hias lain. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa selain benihnya yang masih impor dengan informasi tetua persilangan yang terbatas, maka hasil pemuliaan hanya tertuju pada menghasilkan varietas baru yang memiliki warna bunga yang berbeda-beda saja. Karakter-karakter penting lain seperti ketahanan simpan, ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik belum menjadi penelitian utama. Penelitian

radiasi pada anyelir juga belum dapat

meningkatkan variasi pada anyelir. Banyak pola pewarisan karakter pada anyelir yang belum terungkap karena bersifat resesif, sehingga dengan teknologi haploid ini akan diperoleh karakter-karakter lain yang selama ini tertutupi oleh karakter yang dominan. Mengingat aplikasi teknologi ini pada tanaman anyelir masih jarang, maka pengembangan penelitian ini akan dimulai dari studi tanaman donor, kajian khusus mengenai biologi bunga dan perkembangannya (morfologi, histologi maupun mikroskopi), perkembangan serbuk sari dan ovul, metode isolasi; pengembangan media inisiasi, regenerasi dan pemasakan embrio; perkecambahan embrio; analisis ploidi akan menjadi hal penting yang akan dikaji dan dipelajari dalam pengembangan teknologi haploid pada anyelir. Dari berbagai kajian mendasar tersebut diharapkan pada akhir studi dapat ditemukan teknologi haploid anyelir yang efektif, efisien, dapat diulang dengan hasil yang sama (reproducible) dan mudah diulang (repeatable).

5 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ialah mendapatkan teknologi haploidisasi yang sesuai untuk pembentukan tanaman haploid

dan mendapatkan tanaman

homozigot murni tanaman Dianthus chinensis yang dapat digunakan dalam pembentukan varietas baru dan pembuatan benih hibrida. Tujuan utama tersebut dijabarkan dalam setiap percobaan dengan tujuan khusus: 1. Menentukan indikator morfologi dari tahap perkembangan kuncup, stadia perkembangan serbuk sari late uninukleat dominan serta stadia ovul yang tepat untuk digunakan dalam kultur antera, ovul dan pseudofertilisasi. 2. Mendapatkan media yang sesuai untuk menginduksi androgenesis dan mendapatkan tanaman haploid melalui androgenesis. 3. Mendapatkan metode kultur ovul atau ovari untuk menghasilkan tanaman haploid, media yang sesuai untuk menginduksi ginogenesis, dan tanaman haploid melalui ginogenesis. 4. Mendapatkan dosis iradiasi sinar gamma yang dapat menonaktifkan serbuk sari untuk pseudofertilisasi dan mendapatkan tanaman haploid melalui penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma.

Hipotesis 1. Stadia kuncup bunga dengan serbuk sari pada stadia late uninukleat dan ovul pada stadia

setelah meiosis merupakan fase terbaik untuk menginduksi

pembentukan embrio kalus 2. Media dengan perbandingan auksin dan sitokinin yang tinggi akan menghasilkan embrio atau kalus yang dapat beregenerasi menjadi tanaman haploid. 3. Metode isolasi kultur ovul atau ovari pada media yang mampu menginduksi kalus ginogenik yang tepat akan dapat menghasilkan tanaman haploid. 4. Dosis iradiasi sinar gamma yang mampu menonaktifkan serbuk sari akan mampu menginduksi embrio partenogenik yang akan menghasilkan tanaman haploid. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini, antara lain:

6 1. Protokol

kultur

ovul

dan

pseudofertilisasi

dapat

digunakan

untuk

memproduksi tanaman haploid dan haploid ganda pada tanaman Dianthus yang lain. 2. Tanaman haploid ganda dapat langsung dimanfaatkan sebagai tetua dalam persilangan konvensional untuk menghasilkan kultivar hibrida F1. 3. Tanaman haploid yang membawa satu alel setiap gen dapat digunakan untuk mempelajari mutasi dan pewarisan karakter Ruang Lingkup Penelitian

Tanaman haploid ganda sebagian besar digunakan untuk tetua pembentuk varietas hibrida F1 dalam program pemuliaan. Tanaman haploid ganda dapat dilakukan melalui androgenesis, ginogenesis dan eliminasi kromosom. Untuk mendapatkan tanaman haploid ganda pada tanaman Dianthus sp, dapat diperoleh melalui androgenesis, ginogenesis dan pseudofertilisasi yang diikuti dengan penggandaan kromosom. Untuk itu perlu pengetahuan mengenai biologi bunga dan media untuk regenerasi tanaman haploid. Penelitian melingkupi empat aspek yaitu: (1) studi tahap perkembangan kuncup bunga serbuk sari dan ovul, (2) induksi haploid melalui androgenesis dan ginogenesis secara in vitro (3) induksi tanaman haploid melalui pseudofertilisasi.

7 Bagan alir penelitian

Gambar 1. Bagan alir kegiatan penelitian

8

TINJAUAN PUSTAKA Dianthus chinensis L. Dianthus termasuk dalam tanaman dikotil dari family Caryophyllaceae (Bunt & Cockshull 1985). Famili Caryophyllaceae terdiri atas 80 genera dan 2000 spesies baik tanaman annual ataupun perennial, sebagian besar berbentuk herba yang tumbuh di belahan bumi bagian utara.

Genus Dianthus memiliki dua

kelompok yaitu carnation dan pinks. Di Indonesia carnation dikenal dengan nama anyelir, sedangkan pinks adalah nama lain dari species chinensis. Pada penelitian ini nama anyelir digunakan untuk memberi nama Dianthus chinensis agar lebih dikenal dibandingkan dengan nama pink. Anyelir komersial yang ada sekarang merupakan turunan dari spesies nenek moyang dari Dianthus caryophyllus, yang berasal dari Eropa bagian selatan dan Asia bagian barat (Mii et al. 1990). Berdasarkan informasi dari Germplasm Resources Information Network (GRIN), Dianthus chinensis berasal dari China (Gangsu, Henan, Qinghai, Shandong) dan India (Uttar Pradesh), dan Nepal. Daerah tumbuh anyelir adalah daerah subtropik yang terletak pada 30o LU atau LS yang beriklim sejuk. Di daerah tropik anyelir dapat ditanam di daerah pegunungan. Suhu optimum untuk pertumbuhan anyelir adalah 10–22oC. Suhu udara berperan penting dalam perkembangan masa generatif tanaman anyelir. Pada suhu tinggi bakal bunga akan berkembang lebih cepat, tetapi bunga yang dihasilkan kecil serta tangkainya kurus dan lemas (Hardjoko, 1999). Di Indonesia anyelir cocok ditanam di daerah dengan ketinggian di atas 1000 m dpl, yang pada malam hari suhu udara dapat mencapai di bawah 16 oC, sedangkan suhu pada siang hari dapat mencapai di bawah 30 oC. Suhu optimal untuk produksi serbuk sari yaitu 23 oC dan suhu di bawah 17

o

C akan

menghambat pembentukan stamen (Kho & Baer 1973). Sentra produksi bunga potong anyelir di Indonesia adalah Cipanas (Jawa Barat) dan Bandungan (Jawa Tengah) (Satsijati et al. 2004). Berdasarkan manfaatnya, Dianthus dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu annual carnations (bunga semusim yang biasanya digunakan sebagai bunga potong), border carnations (dikenal sebagai Dianthus liar atau clove pinks, biasanya berbentuk semak), dan perpetual flowering carnations (berbunga terusmenerus yang merupakan hasil persilangan interspesifik antara D. caryopillus dengan D. chinensis) (Anonim 2005). Berdasarkan pada periode tumbuh, tanaman

10 dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu semusim (6-12 months) dan dua musim/tahunan (2-4 tahun) (Crockett 1972). Pada umumnya anyelir tumbuh selama dua tahun dengan periode tanam 18-20 bulan (Salinger 1985). Dianthus chinensis atau lebih dikenal dengan nama Chinese pink, Indian pink, Japanese pink, Rainbow pink merupakan kerabat Dianthus caryophyllus yang telah digunakan sebagai materi pemuliaan untuk karakter-karakter unik seperti ketahanan terhadap penyakit, laju pertumbuhan yang cepat, adaptasi luas, dan hasil yang tinggi (Tejaswini 2002). Dianthus chinensis termasuk tanaman biennial, bentuk tanaman semak, berasal dari Asia Timur. Bunga bervariasi dalam warna pink atau putih, dengan ujung zig-zag pada bagian tepi. Di Cina D. chinensis biasanya digunakan sebagai tanaman obat. Beberapa kultivar modern merupakan keturunan dari persilangan interspesifik antara D. caryophyllus dan D. chinensis atau kerabat lain (Mii et al. 1990). Menurut Sparnaaij dan Koehorst-van Putten (1990) spesies-spesies komersial seperti D. barbatus, D. japonicus, D. chienensis dan D. superbus merupakan spesies-spesies yang sering digunakan untuk transfer karakter kegenjahan ke tanaman anyelir.

Dianthus chinensis

merupakan spesies yang paling adaptif baik pada hari pendek dan hari panjang serta paling genjah di antara spesies yang lain. Persilangan antara D. caryophyllus dan D. chinensis menghasilkan varietas yang berbunga lebih awal dan terus menerus (Sparnaaij & Koehorst-van Putten 1990). Produksi Haploid dan Haploid Ganda Aspek yang penting dalam pemuliaan adalah induksi keragaman yang maksimum dari sumber plasma nutfah untuk efektifitas seleksi dan introduksi karakter yang lebih baik pada spesies tanaman yang ada. Sejak Bergener menemukan tanaman haploid pada Datura starmonium pada tahun 1921, pemulia tanaman mulai bekerja ekstensif untuk mendapatkan tanaman haploid baik secara in vivo maupun in vitro. Secara alami haploid muncul sebagai hasil dari parthenogenesis (Wedzony et al. 2009) Metode untuk mendapatkan tanaman haploid secara in vivo memiliki frekuensi keberhasilan yang rendah, sebaliknya menggunakan kultur antera atau polen secara in vitro dilaporkan telah menghasilkan tanaman haploid pada kirakira 250 spesies dan tanaman hibrid. Respon yang baik ditunjukkan pada tanaman terutama dari famili Solanaceae. Pada famili lain seperti Cruciferae, Graminae,

11 Ranunculaceae dan famili lainnya, memungkinkan untuk diinduksi juga melalui kultur antera untuk mendapatkan tanaman haploid . Teknik kultur antera pertama kali diperkenalkan oleh Guha dan Maheshwari (1964, 1966) pada Datura innoxia Mill, kemudian berkembang pesat dan diaplikasikan pada berbagai jenis tanaman (Maluszynski et al., 2003). Sifat totipotensi pada sel mikrospora berpengaruh terhadap diperolehnya tanaman haploid. Pada kondisi yang sesuai, perkembangan sel polen dapat diubah dari pembentukan polen (jalur gametofitik) ke pembentukan embrio (jalur sporofitik), tanaman haploid dan/atau haploid ganda (Supena, 2004). Tanaman haploid ganda terbentuk

akibat

terjadinya

penggandaan

spontan

atau

melalui

proses

penggandaan kromosom tanaman haploid.

Status Teknologi Haploid pada Anyelir Penelitian tentang haploidisasi tanaman anyelir (Dianthus caryophillus) masih jarang dilakukan. Penelitian androgenesis melalui kultur antera pada tanaman Dianthus sp sebagian besar melalui tahap kalus (Mosquera et al. 1999). Kultur antera pada anyelir pertama kali dilakukan oleh Mosquera et al. (1999), dan dihasilkan kalus embriogenik, tetapi hanya diperoleh satu planlet yang dapat diregenerasi dan tidak dijelaskan apakah diperoleh tanaman haploid atau haploid ganda. Perkembangan penelitian haploidisasi pada anyelir menjanjikan setelah Sato et al. (2000) mendapatkan tanaman haploid ganda melalui pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar X sebagai sumber gamet jantan. Kemudian dengan metode yang sama Dolcet-Sanjuan et al. (2001) mendapatkan haploid ganda tanaman anyelir yang tahan terhadap Fusarium oxysporum f. sp. dianthi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar Gamma. Menurut Dolcet-Sanjuan et al. (2001), protokol untuk produksi tanaman haploid dan haploid ganda anyelir belum pernah dipublikasi. Hasil penelitian kultur antera Fu et al. (2008) menggunakan spesies dari Dianthus chinensis dikombinasikan dengan beberapa macam praperlakuan juga belum diperoleh hasil yang memuaskan. Hasil pengamatan sitologi dan histologi menunjukkan bahwa planlet yang diregenerasi berasal dari dinding antera. Dari perkembangan hasilhasil penelitian haploidisasi yang telah dilakukan ini, maka percobaan penelitian

12 yang akan dilakukan yaitu dengan mengkombinasikan prosedur-prosedur dari penelitian sebelumnya. Faktor yang mempengaruhi induksi haploid/haploid ganda Menurut Wedzony et al. (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi induksi haploid/haploid ganda ialah (1) genotipe dari tanaman donor, (2) kondisi fisiologis tanaman donor (contoh pertumbuhan pada suhu lebih rendah dan pencahayaan yang tinggi), (3) tahap perkembangan serbuk sari dan ovul, (4) praperlakuan (contoh perlakuan suhu rendah pada bunga untuk dikultur, perlakuan panas pada kultur serbuk sari), (5) komposisi media kultur (termasuk perlakuan cekaman karbohidrat atau starvasi atau elemen makro diikuti dengan subkultur pada media regenerasi) dan (6) faktor fisik selama kultur (cahaya, suhu).

Induksi Haploid dan Haploid Ganda 1. Induksi in vitro haploid melalui Androgenesis Androgenesis ialah proses induksi dan regenerasi haploid dan haploid ganda yang berasal dari sel gamet jantan (Bohanec 2009, Wedzony et al. 2009). Metode ini banyak digunakan dan efektif pada beberapa spesies tanaman dan berpotensi untuk eksploitasi pada tanaman-tanaman komersial (Murovec & Bohanec 2012). Metode ini berdasar pada kemampuan serbuk sari dan serbuk sari yang belum masak mengubah lintasan perkembangannya dari gametofitik (pembentukan serbuk sari masak) ke sporofitik menghasilkan pembelahan sel pada level haploid diikuti pembentukan kalus atau embrio pada media kultur (Murovec & Bohanec 2012). Androgenesis dapat diinduksi dengan mengkultur antera yang belum masak secara in vitro. Metode yang digunakan sederhana dengan terdiri atas sterilisasi kuncup bunga diikuti dengan pemisahan antera pada kondisi aseptik. Antera diinokulasi pada media padat, semi padat atau media cair atau media dua lapis padat dan cair. Kultur antera merupakan teknik induksi haploid pertama yang ditemukan yang cukup efisien untuk tujuan pemuliaan tanaman (Maluszynski et al., 2003). Androgenesis dipengaruhi oleh faktor-faktor biotik dan abiotik. Tahap perkembangan gamet jantan pada saat antera atau mikrospora diisolasi, dikombinasikan dengan perlakuan stress yang tepat merupakan faktor utama yang menentukan respon androgenetik (Murovec & Bohanec 2012).

13

2. Induksi in vitro haploid melalui Ginogenesis Induksi secara in vitro haploid maternal yang dikenal dengan ginogenesis merupakan lintasan lain untuk memproduksi embrio haploid dari gamet betina. Metode ini dapat dilakukan melalui kultur in vitro bagian-bagian bunga yang tidak diserbuki, seperti ovul, plasenta di mana ovul melekat, ovari. Meskipun regeneran ginogenik menunjukkan stabilitas genetik yang lebih tinggi dan laju tanaman albino yang lebih rendah dibandingkan dengan regeneran androgenik, namun metode ginogenesis digunakan pada tanaman yang sulit diinduksi dengan metode lain seperti androgenesis dan metode penyerbukan lain (Bohanec 2009). Induksi ginogenesis menggunakan bagian bunga yang belum diserbuki telah berhasil pada beberapa tanaman seperti bawang, gula bit, mentimun, labu, gerbera, bunga matahari, gandum, barley dan lain-lain. Namun hanya bawang dan gula bit yang telah diaplikasikan dalam program pemuliaan (Murovec & Bohanec 2012). Kantong embrio yang masak berisi beberapa sel haploid seperti sel telur, sinergid, antipodal dan inti polar

yang tidak dibuahi,

secara teori mampu

membentuk embrio haploid. Pada kondisi optimal, sel telur di ovul pada spesies yang responsif mengalami perkembangan sporofitik dan dapat mengalami perkembangan menjadi tanaman haploid (Bohanec 2009). Pada tanaman bawang rata-rata frekuensi embrio yang dapat diinduksi bervariasi antara 0% (aksesi yang tidak respon) sampai 18,6-22% (aksesi yang sangat respon), di mana tanaman donor individu memproduksi lebih dari 51,7% embrio. Tingginya frekuensi produksi haploid diuji dalam dua tahun berturut-turut dan menunjukkan kestabilan dari tahun ke tahun (Bohanec & Jakse 1999). 3. Induksi in situ haploid melalui penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi Induksi haploid secara maternal dapat dilakukan dengan penyerbukan menggunakan serbuk sari yang diiradiasi. Kemudian penyerbukan dapat diikuti dengan pembuahan sel telur dan perkembangan embrio, namun tahap selanjutnya inti paternal tereliminasi pada tahap awal embriogenesis atau permbuahan sel telur tidak terjadi (Murovec & Bohanec 2012).

14 Penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi merupakan metode lain untuk menginduksi haploid maternal menggunakan penyerbukan intraspesifik. Namun cara ini sangat rumit karena harus mengisolasi ovul yang telah distimulasi dengan polen yang dinonaktifkan dengan iradiasi sinar x atau sinar gamma, diikuti dengan penyelamatan embrio.

Perkembangan embrio distimulasi oleh

perkecambahan serbuk sari pada stigma dan pertumbuhan dari tabung serbuk sari di dalam stilus, meskipun serbuk sari yang telah diiradiasi tidak dapat membuahi sel telur. Metode ini telah berhasil dilakukan pada spesies-spesies tanaman buahbuahan, tanaman hias dan tanaman industri seperti kapas (Aslam 2000; Savaskan 2002; Murovec dan Bohanec 2012). Produksi haploid maternal dengan penyerbukan menggunakan serbuk sari yang diiradiasi memerlukan pekerjaan emaskulasi, dan dalam kasus tertentu menunjukkan keterbatasan karena pengerjaannya yang memerlukan banyak tenaga. Selain itu dosis radiasi juga berpengaruh terhadap produksi tanaman haploid. Pada dosis yang rendah inti generatif hanya sebagian yang rusak sehingga masih mampu membuahi sel telur dan menghasilkan embrio yang banyak tetapi membawa karakter mutant. Peningkatan dosis iradiasi menyebabkan penurunan jumlah embrio, tetapi diperoleh regeneran yang sebagian besar haploid (Murovec dan Bohanec 2012). Fenomena yang muncul dalam kultur antera dan ovul secara in vitro Teknologi haploid dengan kultur antera dan kultur ovul (tanpa fertilisasi dan fertilisasi dengan serbuk sari yang dinonaktifkan) ditujukan untuk menghasilkan tanaman haploid. Mutasi mudah terjadi dalam kultur antera, dalam bentuk variasi somaklonal akibat dari aplikasi kultur jaringan secara in vitro. Keragaman somaklonal didefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan oleh sel somatik tanaman yang ditumbuhkan secara in vitro (Larkin & Scowcroft 1981) Dalam kultur antera sering timbul masalah seperti munculnya tanaman albino dan mutasi dengan frekuensi kejadian bervariasi tergantung tanaman donor dan kondisi kultur in vitro. Salah satu kejadian yang penting adalah metilasi yang tidak normal pada DNA tanaman hasil kultur jaringan. Metilasi merupakan proses penambahan group metil pada cincin sitosin oleh enzim methyltransferase (Antequera & Bird 1988). Studi pembungaan pada Arabidopsis melalui jalur vernalisasi melibatkan metilasi DNA yang mempengaruhi ekspresi gen. Gen FLC yang mengkode

15 protein MADS-box ialah gen yang berperan sebagai repressor pembungaan. Pada suhu dingin ekspresi gen sangat rendah dan terjadi demetilasi, sehingga proses pembungaan dapat berlangsung (Finnegan et al. 1998). Abormalitas juga terjadi pada penentuan identitas organ bunga yang terbentuk karena ketidakseimbangan dari kelompok gen identitas organ pembungaan yang terkait dengan model “ABC” dalam perkembangan bunga. Meristem pembungaan dibagi menjadi tiga kelompok aktivitas gen yang saling overlapping, yang setiap kelompok merupakan dua lingkaran (whorl) yang berdampingan. Kelompok gen A bekerja untuk perkembangan sepal dan petal. Ketidakhadiran APETALA1 (AP1) dan APETALA2 (AP2) menyebabkan sepal dan petal gagal berkembang, sehingga membentuk mutan ap1 dan ap2. Kelompok gen B bekerja untuk perkembangan petal dan stamen yang secara normal ditemukan pada lingkaran bunga ke 2 dan 3. Produk MADS-box gen APETALA3 (AP3), PISTILATA (PI) dan SEPALATA3 (SEP3) berinteraksi menentukan fungsi gen B dan mutan dari kedua gen ini ialah ap3, pi dan sep3. Sedangkan kelompok gen C untuk perkembangan stamen dan karpel yang ditemukan pada lingkaran bunga ke 3 dan 4. Aktivitas AGAMOUS (AG) dan SEPALATA3 (SEP3) berperan mencegah akumulasi dari RNA APETALA1 pada dua lingkaran bagian dalam (Goto 1996).

16

17

STUDI TAHAP PERKEMBANGAN KUNCUP BUNGA, MIKROSPORA DAN OVUL Dianthus chinensis L.

Abstrak

Stadia perkembangan mikrospora dan ovul yang tepat sangat menentukan keberhasilan mendapat tanaman haploid melalui androgenesis dan ginogenesis. Tujuan penelitian ialah mendapatkan penanda morfologi bunga dan stadia yang tepat dari perkembangan mikrospora dan ovu. Studi biologi bunga meliputi studi tahap perkembangan bunga, penghitungan jumlah dan ukuran mikrospora, rasio tahap perkembangan mikrospora, viabilitas mikrospora dan seleksi stadia mikrospora dan ovul yang tepat untuk inisiasi kultur mikrospora dan ovul.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran kuncup bunga dan warna antera merupakan indikator waktu dilakukan pengambilan donor eksplan. D. chinensis “Dchi-11” memiliki jumlah dan viabilitas mikrospora tertinggi (60,36%). Tahap perkembangan mikrospora dengan persentase late-uninucleate tertinggi (44,64%) pada saat ukuran kuncup bunga T2 (ukuran kuncup antara 1,31 – 1,50 cm, warna antera putih, umur 5 hari, pencoklatan antera paling rendah). Tahap perkembangan ovul T7 (ukuran kuncup antara 1,81 – 2.00 cm, panjang petal 30% lebih panjang dari panjang sepal, umur 10 hari) merupakan tahap yang tepat untuk induksi kultur ovul berdasarkan persentase pembentukan kalus (59,375%) dengan tipe kalus remah dan agak remah dan berwarna hijau. Kata kunci: indikator morfologi, viabilitas mikrospora, tahap perkembangan, mikrospora, ovul.

18

STUDY OF FLOWER BUD DEVELOPMENT, MICROSPORE AND OVULE OF Dianthus chinensis L.

Abstract The study of anther or microspore and ovule critical development were important to determine the successfull of obtaining haploid plants through androgenesis and gynogenesis. The aim of the research was to determine mophological indicator of bud, dominan uninucleate microspore and the right ovule development stage for. Flower biological study comprised study of flower development, the number and size of microspore, ratio of microspore development stage, microspore viability and selection of the right microspore and ovule stage for culture initiation of microspore and ovul. The research showed that bud size and anther color are indicators for isolating donor explants. D. chinensis “Dchi-11” has the highest microspore number and viability (60.36%). Bud size of T2 stage (44,64%, 1.31 – 1.50 cm, white anther color, 5 days old, and the lowest browning anther) produce the highest late uninucleate microspore. Ovule development of T7 (1.81 – 2,00 cm, the length of petals are 30% longer than sepals length, 10 days old) was the right stage for ovule culture based on percentage of callus formation ((59,375%) and friable green callus. Key words: morphology indicator, microspore viability, flower bud development, microspore, ovule.

19 Pendahuluan Aplikasi teknologi kultur antera dan ovul pada tanaman anyelir masih jarang, oleh karena itu pengembangan penelitian ini dimulai dari studi tanaman donor, kajian khusus mengenai biologi bunga dan perkembangannya (morfologi maupun mikroskopi), studi perkembangan mikrospora, metode kultur; pemilihan pra-perlakuan yang optimal; pengembangan media inisiasi, regenerasi dan pemasakan embrio; analisis ploidi; penggandaan kromosom yang menjadi bagian penting dalam pengembangan teknologi haploid pada anyelir. Dari berbagai kajian mendasar tersebut pada akhir studi diharapkan dapat ditemukan teknologi haploid anyelir yang efektif, efisien, mudah diproduksi (reproducible) dan mudah diulang (repeatable). Induksi tanaman haploid melalui kultur in vitro antera, ovul dan ovari yang tidak diserbuki menjadi pendekatan yang biasa dilakukan untuk mendapatkan tanaman haploid pada beberapa tanaman. Pada beberapa spesies tanaman, efisiensi induksi haploid sangat bervariasi dan terdapat banyak kendala yang dapat mengurangi keberhasilan protokol yang telah dihasilkan (Musial et al. 2005). Tahap perkembangan eksplan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi induksi haploid (Yang & Zhou 1982). Namun studi yang berkaitan dengan tahap perkembangan eksplan sedikit dipublikasi. Pada androgenesis tahap perkembangan serbuk sarinya mudah diamati, sedangkan pada ginogenik tahap perkembangan dalam kantong embrio lebih sulit diamati. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan pada umumnya tahap perkembangan megagametofit yang digunakan untuk induksi ginogenik ialah pada tahap kantong embrio masak (Musial et al. 2005). Namun menurut Bhojwani dan Thomas (2001) pada tahap kantong embrio muda lebih sesuai untuk diinduksi karena sel gamet betina melanjutkan perkembangannya sampai sel-sel yang ada dalam kantong embrio telah berdiferensiasi. Pada tahap awal studi ini diarahkan untuk mengungkap perkembangan kuncup bunga secara morfologi terkait dengan penampilan morfologi bunga (ukuran panjang, lebar diameter bunga, dan waktu bunga mekar), jumlah serbuk sari, ukuran dan viabilitas serbuk sari, rasio tahap perkembangan serbuk sari serta anatomi ovul. Aktivitas tahap ini memiliki tujuan utama untuk menyediakan data dasar terkait dengan pemanfaatannya dalam pengembangan kultur antera dan ovul anyelir.

20 Tahap perkembangan polen merupakan faktor yang penting untuk androgenesis in vitro, maka pemilihan tanaman donor untuk studi ini sangat penting. Berkenaan dengan hal tersebut korelasi antara tahap perkembangan polen dan morfologi kuncup (panjang petal, munculnya petal dari kelopak dan lain-lain), bervariasi antara spesies dan umur tanaman donor. Antera yang paling responsif biasanya pada tahap perkembangan serbuk sari uninukleat yaitu pada tahap antara tetrad dan mitosis polen pertama (Heberle-Bors 1985).

Sementara pada

ginogenesis meskipun gametofit betina melanjutkan perkembangannya selama kultur in vitro, perkembangan tahap awal kantong embrio sampai tahap masak perlu diuji untuk melihat potensi perkembangan masing-masing tahap perkembangannya. Tujuan penelitian adalah menentukan indikator morfologi dari tahap perkembangan kuncup, stadia perkembangan serbuk sari uninukleat dominan serta stadia ovul yang tepat untuk digunakan dalam kultur antera, ovul dan pseudofertilisasi Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Rumah Sere Anyelir, Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung, Laboratorium Mikroteknik, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Anatomi dan Sitologi Puslitbang Biologi LIPI, Cibonong mulai April 2009 – Maret 2010. Bahan tanaman yang digunakan ialah kuncup dari lima genotipe Dianthus chinensis Dchi-11, Dchi-12, Dchi-13, Dchi-14 dan Dchi-15 (Gambar 2).

A

B

C

D

E

Gambar 2. Morfologi bunga lima genotype Dianthus chinensis (A) Dchi-11, (B) Dchi-12, (C) Dchi-13, (D) Dchi-14 dan (E) Dchi-15 Perkembangan kuncup bunga Studi biologi ini difokuskan untuk melihat perkembangan bunga sejak kuncup bunga terlihat hingga bunga mekar sempurna. Berbagai peubah yang menyangkut ukuran kuncup bunga: panjang, lebar, diameter dan pengamatan

21 antera, serbuk sari dan ovul dari tanaman donor, diamati dan diukur. Studi biologi ini melibatkan aplikasi anatomi sederhana (baik irisan lintang maupun membujur) dan pewarnaan (haematoxilin, fuchsin, Metilen-blue, aceto-orcein

dan aceto-

carmin) untuk membantu memperjelas pengamatan. Studi ini akan dibandingkan langsung dengan studi tahap perkembangan serbuk sari dan ovul untuk menentukan tahap yang tepat untuk pengambilan tanaman donor. Perkembangan antera dan serbuk sari Penghitungan jumlah dan ukuran serbuk sari Untuk penghitungan jumlah serbuk sari, 2-3 antera dipanen, seluruh serbuk sarinya dikeluarkan dari kotak spora, kemudian dilarutkan dalam 1 ml media cair embriogenesis. Suspensi serbuk sari dibuat sehomogen mungkin melalui pengocokan menggunakan vortex. Setelah dirasa cukup homogen, sampel dipipet dan diletakkan di atas haemacytometer, dan ditutup dengan gelas penutup, diamati di bawah mikroskop. Serbuk sari dihitung menggunakan rumus A = (n x B)/N (Godini 1979), n : jumlah serbuk sari dalam setiap kotak, B = 10.000/jumlah kotak yang dihitung dan N = jumlah antera yang digunakan. Ukuran serbuk sari diukur menggunakan mikrometer okuler yang telah dikalibrasi. Pengukuran dilakukan sebanyak mungkin mewakili jumlah serbuk sari secara keseluruhan. Hasil penghitungan dan pengukuran selanjutnya ditampilkan dalam bentuk data rata-rata dan standar deviasinya untuk setiap tanaman donor. Studi rasio tahap perkembangan serbuk sari Tahap perkembangan serbuk sari diamati melalui pewarnaan inti sel menggunakan 4,6-diamidino-2-phenylindole (DAPI) (Custers et al, 2001) yang dilakukan pada Dianthus chinensis. Sebanyak 25 µl larutan serbuk sari dimasukkan dalam Eppendorf kecil kemudian disentrifugasi pada 4000 rpm selama 2-4 menit. Supernatan dipipet hingga hanya tersisa pelet dan sesedikit mungkin supernatan ditambah larutan kerja DAPI dengan konsentrasi 1 µg/ml, dan diaduk merata menggunakan ujung pipet. Campuran serbuk sari dan larutan DAPI dipipet dan letakkan di atas kaca obyek ditutup dengan gelas penutup, dan dibiarkan minimal 4 jam (1 malam) pada suhu 4ºC. Setelah inkubasi, serbuk sari diamati di bawah mikroskop UV pada perbesaran 200 dan 400x. Tahap-tahap perkembangan serbuk sari dihitung jumlahnya dan dibagi dengan jumlah seluruh

22 sel yang diamati dikalikan 100 untuk mengetahui persentasenya. Rasio perkembangan dihitung dengan membandingkan frekuensi perkembangan serbuk sari early uninucleate,mid uninucleate, late uninucleate, early binucleate dan binucleate yang ada dalam satu bidang pandang pengamatan. Frekuensi setiap tahap perkembangan serbuk sari dihitung dan dibagi total serbuk sari yang diamati pada tahap kuncup yang sama. Pengamatan dilakukan minimal pada 5 bidang pandang dan diulang minimal 5 kali untuk mendapatkan data yang valid. Uji viabilitas serbuk sari Pengujian viabilitas atau vitalitas sel serbuk sari atau polen menggunakan larutan kerja 10 µM fluorescein diacetate (FDA) (Custers et al. 2001). Larutan serbuk sari (90 µl) ditempatkan dalam Eppendorf yang telah dibungkus dengan aluminium ditambah 10 µl larutan stok FDA ke dalam larutan kultur serbuk sari dan diaduk rata, ditempatkan dalam gelap 10 menit. Sebanyak 50-100µl kultur serbuk sari yang telah diberi perlakuan FDA dipipet dan ditetes di atas kaca obyek dan ditutup dengan kaca penutup, dan segera dilakukan pengamatan di bawah mikroskop fluoresen. Jumlah serbuk sari yang memendarkan warna hijau diamati dan dihitung. Pengamatan diulang minimal pada 5 bidang pandang pengamatan. Viabilitas atau vitalitas sel (%) dihitung dengan membagi jumlah total sel yang fluoresen dengan jumlah total sel yang diamati pada satu bidang pandang dikalikan dengan 100%. Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga pada berbagai media inisiasi double layer untuk kultur antera Percobaan faktorial terdiri atas dua faktor, disusun dalam Rancangan Acak Kelompok. Faktor pertama ialah tahap perkembangan kuncup bunga dan faktor ke dua ialah media induksi. Empat tahap perkembangan kuncup bunga yang diuji dalam kegiatan ini yaitu (1) kuncup 1 (T2), dominan mikrospora berada dalam kondisi tetrad, (2) kuncup 2 (T3), dominan mikrospora berada dalam tahap early dan middle uninucleate, (3) kuncup 3 (T4), dominan mikrospora berada pada tahap late uninucleate, dan (4) kuncup 4 (T5), dominan mikrospora berada pada tahap early binucleate. Masing-masing tahap ditanam dalam lima media yang diuji responnya dalam induksi pembentukan kalus dan/atau embrio adalah (1) M1 (Winarto et al. 2011), (2) M2 (Nontaswatsri et al. 2007), (3) M3 (Mosquera et al.

23 1999), (4) M4 (Sato et al, 2000) dan (5) M5 (Fu et al. 2008). Setiap unit perlakuan diulang 10 kali. Setiap ulangan terdiri atas 1 cawan petri yang berisi 10 antera. Isolasi antera dilakukan dengan cara membersihkan kuncup bunga dengan kapas yang dibasahi alkohol 70%, kemudian dilewatkan di atas api sekilas. Antera diisolasi dengan cara membuka kuncup bunga, kemudian antera dan filament dipisahkan, dan ditanam dalam media induksi. Metode kultur sebar mikrospora antera (anther shed microspore culture) pada media double layer digunakan dalam penelitian ini. Prosedur penelitian menggunakan prosedur standard dari Dolcet-Sanjuan et al. 1997. Media embriogenesis yang digunakan disusun dengan sistem double layer yang tersusun atas dua lapisan yaitu lapisan padat di bawah dan cair di atas. Media padat ditambahkan 0,5% arang aktif , dengan pH 5,8. Pengamatan dilakukan terhadap persentase pencoklatan dan kontaminasi. Perkembangan ovari atau ovul Pembuatan sayatan kuncup bunga D. chinensis Bahan difiksasi di dalam larutan FAA (formali : asam asetat glasial : alkohol 70% (v/v) = 5 :5 :90) selama 24 jam. Selanjutnya didehidrasi secara bertahap menggunakan alkohol 50% – 100% masing-masing selama 30 menit. Kemudian dilakukan dealkoholisasi secara bertahap menggunakan campuran alkohol-xylol, dilanjutkan dengan xylol murni 1 dan 2 masing-masing 30 menit. Parafin diinfiltrasi sedikit demi sedikit sampai jenuh dan disimpan dalam oven dengan suhu 60oC selama 3 jam. Parafin diganti dengan parafin baru dan disimpan dalam oven dengan suhu 50-60oC selama 3 hari. Sampel dimasukkan dalam parafin, kemudian blok sampel disayat dengan ketebalan 15-17 µm menggunakan mikrotom putan (Yamato RV-240). Sayatan parafin yang berrbentuk pita di rekatkan pada gelas objek yang telah diolesi dengan larutan albumin-gliserin dan dikeringkan di atas hot plate dengan suhu 40oC selama 3-5 jam. Sampel diwarnai dengan safranin 2% (b/v) dan fastgreen 0,5% (b/v). Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga untuk kultur ovula tau ovari Percobaan merupakan faktor tunggal yang disusun dengan Rancangan Acak Kelompok. Tiga tahap perkembangan kuncup bunga yang diuji dalam kegiatan ini yaitu (1) kuncup bunga tahap T5, (2) kuncup bunga tahap T7, (3) kuncup bunga tahap T9. Kuncup bunga disimpan pada suhu 4 oC selama 1 hari

24 sebelum diisolasi. Masing-masing tahap tersebut ditanam dalam media MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4.44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa (Mosquera et al. 1999), yang diuji responnya dalam induksi pembentukan kalus. Setiap unit perlakuan diulang 8 kali. Setiap ulangan terdiri atas 1 cawan petri yang berisi 4 potongan ovul. Semua kultur diinkubasi pada kondisi gelap ± selama 7 hari pada suhu 4 oC dilanjutkan dengan inkubasi terang pada suhu 25 oC dengan lama penyinaran 16 jam di bawah lampu fluoresen (13 µmol.m-2.s-1) hingga kalus terbentuk. Peubah yang diamati dalam percobaan ini ialah persentase eksplan membentuk kalus (%), dan pengamatan kalus secara visual. Pengamatan dilakukan 1 bulan setelah inisiasi kultur. Analisis statistik Data pengamatan yang diperoleh dari hasil seleksi tahap perkembangan kuncup bunga untuk kultur ovul atau ovari, dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan program SAS Release window 9.1. Data dalam bentuk persen ditransformasi ke dalam Arcsin. Untuk nilai 0% sebelum ditransformasi diganti dengan 1/4n, di mana n adalah jumlah satuan percobaan dari data persentase yang diperoleh. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji jarak berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.

Hasil Perkembangan kuncup bunga Inisiasi bunga ditandai dengan munculnya daun-daun kecil pada ujung tunas. Hari ke empat setelah inisiasi bunga ditentukan sebagai tahap perkembangan kuncup bunga T1. Pada tahap tersebut mikrospora didominasi oleh pollen mother cell (PMC) dan tetrad. Hari ke lima setelah inisiasi bunga ditentukan sebagai tahap perkembangan kuncup bunga T2 yang didominasi oleh mikrospora mid uninukleat. Tahap T3 yang didominasi oleh mikrospora late uninukleat pada hari ke enam setelah inisiasi bunga dan seterusnya sampai bunga mekar sebagai tahap T10 pada hari ke 13 setelah inisiasi kuncup bunga. Hasil studi ini diketahui bahwa dari lima genotipe Dianthus chinensis yang digunakan memiliki kecepatan antesis yang. Pada tahap T3 bagian pucuk kuncup sedikit terbuka, dan pada tahap T4 ujung petal yang berwarna putih mulai

25 kelihatan, dan tahap T5 ujung petal berubah warna menjadi pink. Tahap selanjutnya warna petal berubah menjadi kemerahan (Gambar 3). Ukuran panjang kuncup bunga setiap genotipe berbeda-beda. Panjang kuncup D. chinensis merupakan ukuran panjang kelopak, dan tidak berubah sampai bunga mekar. Pada tahap T2 berkisar 1,295 cm pada Dchi-13 sampai 1,535 cm pada Dchi-15 (Lampiran 1).

Gambar 3. Perkembangan kuncup bunga, ovari dan antera Dianthus chinensis Dchi-11. T1 sampai T10 adalah 4 sampai 13 hari setelah inisiasi bunga. Bar = 0,5 cm Perkembangan antera dan serbuk Sari Pengamatan antera dan serbuk sari Masa reseptif putik dan kemasakan polen D. chinenesis tidak terjadi secara bersamaan. Serbuk sari D. chinenesis masak lebih dahulu dibandingkan putik. Antera terbuka dan mengeluarkan polen pada umur 14 – 16 hari setelah inisiasi bunga. Pengamatan antera dilakukan dari T1 sampai T7. Pengamatan tahap terakhir pada tahap T7 karena pada tahap tersebut 100% antera dalam satu kuncup sudah berwarna ungu tua. Dari hasil pengamatan pada jumlah antera diketahui bahwa lima genotipe dari kultivar yang berbeda memiliki jumlah antera yang sama yaitu 10. Jumlah antera 12 ditemukan pada genotipe Dchi-14, tetapi jumlah antera 12 ini sangat jarang ditemukan. Pada tahap perkembangan bunga T1-T2 antera berwarna putih. Kemudian pada tahap pertumbuhan lanjut warna antera berubah sesuai dengan warna petal. Perubahan warna antera dimulai pada tahap T3, 6 hari setelah munculnya kuncup bunga (Gambar 3 dan Tabel 1).

26 Tabel 1. Rata-rata jumlah antera dan warna antera pada setiap tahap pertumbuhan bunga lima genotipe Dianthus chinensis Genotipe

Dchi-11

Dchi-12

Dchi-13

Dchi-14

Dchi-15

Warna antera pada satu kuncup bunga putih Ungu muda Ungu tua putih Ungu muda Ungu ttua putih Ungu muda Ungu tua putih Ungu muda Ungu tua putih Ungu muda Ungu tua

T1 (4 hr) 10,0 0,0 0,0 10,0 0,0 0,0 10,0 0,0 0,0 10,0 0,0 0,0 10,0 0,0 0,0

Rata-rata jumlah antera per bunga pada tahap pertumbuhan T2 T3 T4 T5 T6 T7 (5 hr) (6hr) (7 hr) (8 hr) (9 hr) (10 hr) 10,0 10,0 3,9 0,9 0,0 0,0 0,0 0,0 6,1 9,0 1,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 9,0 10 10,0 10,0 10,0 5,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 4,8 2,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 7,6 10,0 10,0 10,0 8,9 4,5 0,3 0,0 0,0 0,0 1,1 5,5 8,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,7 10,0 10,0 9,6 7,25 3,2 0,0 0,0 0,0 0,4 2,75 4,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 2,7 10 10,2 10,0 10,0 9,33 5,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,67 5,0 0,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 9,5 12

Keterangan: Data dihitung dari rata-rata 10 sampel kuncup bunga yang diambil secara acak. T1, T2….T7 = tahap perkembangan kuncup bunga pertama, ke dua…..ke tujuh, 4 hari, 5 hari……10 hari setelah inisiasi bunga. Warna antera berubah dari warna putih menjadi ungu muda, dan pada saat masak menjadi berwarna ungu tua. Perubahan warna antera ini merupakan karakter yang stabil yang terjadi pada tahap pertumbuhan kuncup bunga T3 pada semua genotipe yang diamati. Perubahan warna ini dapat digunakan sebagai penanda dengan pembandingan perkembangan serbuk sari untuk mendapatkan ciri spesifik pada saat yang tepat untuk pengambilan eksplan tanaman donor. Pengamatan tahap perkembangan serbuk sari dilakukan dengan mewarnai serbuk sari dengan berbagai macam pewarnaan yaitu aceto-orcein, metilene blue, fuchsin dan campuran metilene blue dan fuchsin (1:1). Pewarnaan terbaik yang dapat mewarnai inti dalam serbuk sari adalah campuran metilene blue dan fuchsin. Hasil pewarnaan serbuk sari dengan campuran antara metilene blue dan fuchsin pada serbuk sari diperoleh bahwa tahap perkembangan T1

banyak

didominasi oleh tahap pollen mother cell (sel induk mikrospora) dan tetrad. Pada tahap perkembangan T2 didominasi oleh mid uninucleat (tahap serbuk sari berinti tunggal di tengah) dan tahap perkembangan T3 didominasi oleh late uninucleate. Sedang tahap perkembangan T4, tahap di mana terjadi perubahan warna antera menjadi ungu, bentuk binucleate (tahap inti awal tunggal membelah menjadi 2

27 yaitu inti generatif dan vegetatif) mulai muncul (Gambar 4A-D). Tahap inti binucleate ini hanya dapat dilihat dengan pewarnaan DAPI (Gambar 4F) dan tidak dapat dilihat dengan pewarnaan campuran metilene blue dan fuchsin (Gambar 4L1).

Gambar 4. Tahap perkembangan serbuk sari. Pewarnaan mikrospora dengan Fuchsin + Metilen-blue (A-D dan L) dan DAPI (E-K, M). (A) PMC (pollen mother cell); (B) tetrad; (C, G) early uninucleate; (H) mid uninucleate; (D, I) late uninucleate; (E) serbuk sari dengan dua inti identik (F) serbuk sari tahap binucleate dengan inti vegetatif (warna pudar) dan inti generatif (warna terang). (L, M) Serbuk sari dengan ukuran yang berbeda: (1) serbuk sari berinti 1, (2) serbuk sari tanpa inti, (3) serbuk sari berinti 2, (A – D) bar = 10 µm; (G-K) bar = 15 µm (L-M) bar = 25 µm Jumlah serbuk sari dan ukurannya Hasil pengamatan yang dilakukan pada lima genotipe

menunjukkan

bahwa rata-rata jumlah serbuk sari per antera berkisar 4000 – 64000 (Tabel 2). Jumlah serbuk sari yang terkandung dalam antera akan berpengaruh terhadap jumlah antera yang harus diisolasi, dan terkait dengan kepadatan antera dalam kultur. Kepadatan antera memiliki pengaruh fisik dan biokimia pada pembentukan embrio. Pada kepadatan yang rendah antera akan memisah pada media, sedangkan pada kepadatan yang tinggi akan cenderung mengelompok. Hasil pengamatan pada dua sampel genotipe (Dchi-11 dan Dchi-14) diketahui terdapat tiga macam kisaran ukuran serbuk sari yaitu besar dengan

28 ukuran >20 µm, sedang dengan ukuran 15 – 20 µm, dan ukuran kecil <15 µm. Semua genotipe yang diamati memiliki ukuran serbuk sari yang bervariasi. Tabel 2. Jumlah serbuk sari per antera lima genotipe Dianthus chinensis Genotipe

Jumlah serbuk sari per antera kisaran 10000 - 64000 4000 - 30000 4000 - 40000 4000 - 32000 6000 - 30000

Dchi-11 Dchi-12 Dchi-13 Dchi-14 Dchi-15

Rata-rata* 30400 ± 16297 21400 ± 9143 21200 ± 10840 23200 ± 10799 20400 ± 8044

Keterangan: Data dihitung dari rata-rata 10 kali isolasi pada 5 bidang pengamatan. *Rata-rata ± standard deviasi Rasio tahap perkembangan serbuk sari Seleksi tahap perkembangan serbuk sari didasarkan penanda morfologi dan antera. Panjang sepal, dan petal kuncup bunga serta morfologi kuncup sangat berguna untuk menentukan tahap awal sebagai indikator seleksi kuncup bunga yang tepat. Hasil pengamatan pada serbuk sari tahap T2 merupakan tahap dengan serbuk sari late uninukleat tertinggi (44,64%), dan tidak terjadi perubahan warna antera dari putih menjadi ungu (Tabel 3). Tahap T2 ini bentuk kuncup masih tertutup rapat, dan akan mulai terbuka pada tahap T3 (Gambar 5A). Tahap T3 mulai terjadi perubahan warna antera yang didominasi serbuk sari pada tahap early binukleat (Gambar 3, Tabel 3). Penggunaan kriteria warna pada antera merupakan kriteria yang paling efektif sebagai indikator seleksi bahan dasar yang lebih sesuai dibandingkan dengan ukuran kuncup, karena adanya keragaman yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan. A

B

C

Gambar 5. Karakteristik kuncup bunga dan antera pada 5 tahap perkembangan bunga Dianthus chinensis. (A) ujung kuncup tahap T1-T2 belum terbuka, tahap T3 mulai terbuka, tahap T4 petal terlihat 30% dan T5 terjadi perubahan warna petal (B) Kuncup tahap T1-T2 warna petal putih, T3 petal sedikit ungu (C) Warna antera dalam satu bunga putih tahap T1-T2, warna antera dalam satu bunga 30% putih, 30% ungu muda dan 40% ungu tua pada T3, warna antera dalam satu bunga > 50% ungu tua pada tahap T4, dan semua antera berwarna ungu tua pada tahap T5.

29 Tabel 3. Rasio tahap perkembangan serbuk sari D. chinensis Dchi-11 berdasarkan ukuran kuncup bunga dan warna antera Umur kuncup (hari)

Tahap antera

Karakteristik

4 5 6

T1 T2 T3

Ukuran kuncup (cm) 1,21 - 1,30 1,31 - 1,50 1,51 - 1,60

7

T4

1,61 - 1,70

8

T5

>1,71

Rasio tahap perkembangan serbuk sari

Warna antera

EU

MU

LU

EB

B

Antera putih Antera putih Antera putih 30% antera ungu muda, Ujung kuncup muncul petal warna putih > 50% ungu muda, petal berubah warna sesuai warna bunga

5,10 3,57 6,76

67,35 33,93 10,81

27,55 44,64 29,73

0,00 17,86 35,14

0,00 0,00 17,57

1,30

19,48

20,78

20,78

37,66

0,00

16,67

20,00

21,67

41,67

y = -0,020x2 + 0,376x + 0,001 R² = 0,988

2 1,5

Binucleate

Panjang kuncnup (cm)

Keterangan: Data diambil dari rata-rata minimal 3 x isolasi pada 5 bidang pengamatan. T1= 4 hari setelah inisiasi bunga, T2 = bunga mekar 5 hari setelah inisiasi bunga, dst.T= tahap perkembangan. EU=early uninucleate, MU=mid uninucleate, LU=late uninucleate, EB=early binucleate, B = binucleate

1 0,5

Uninu cleate

PMC-tetrad

0

0

2

4

6

Polen/serbuk sari

8

10

12

Umur kuncup (hari)

Gambar 6. Hubungan antara panjang kuncup dengan umur kuncup dan tahap perkembangan serbuk sari Dianthus chinensis Dchi-11. Setiap titik adalah rata-rata dari 10 pengamatan Pada tahap T2 walaupun mengandung late uninucleate tertinggi, tetapi frekuensinya termasuk rendah (< 50%). Setiap genotipe memiliki potensi yang berbeda, sehingga hasil ini perlu diuji lebih lanjut. Dari Tabel 3 didapatkan grafik hubungan antara panjang kuncup bunga dengan tahap perkembangan serbuk sari. Gambar 6 memperlihatkan bahwa serbuk sari pada tahap meiosis merupakan proses tahap pembentukan dari sel induk mikrospora sampai tetrad. Tahap meiosis ini kuncup berukuran kurang dari 1,2 cm berumur kurang dari 4 hari setelah inisiasi bunga. Tahap uninucleate panjang kuncup 1,21- 1,5 cm berumur 4 – 6 hari setelah insiasi bunga merupakan tahap T1 – T2. Tahap mitosis dimulai pada umur 6 hari (T3 – T4) dengan panjang kuncup antara 1,51 – 1,70 cm merupakan tahap pembelahan inti uninucleate menjadi dua inti yaitu generatif dan vegetatif. Tahap

30 binucleate (T5) panjang kuncup berukuran > 1,71 cm berumur 8 hari setelah inisiasi bunga. Dari Gambar 6 diketahui bahwa terdapat hubungan yang erat antara umur kuncup dengan ukuran kuncup dengan koefisien determinasi R 2= 98.8% pada genotipe Dchi-11. Viabilitas serbuk sari Serbuk sari yang viabel ditunjukkan oleh tingkat fluorescen yang tinggi setelah pewarnaan dengan FDA, sementara serbuk sari yang non viabel ditunjukkan oleh tingkat fluorescen yang rendah. Yang menarik di sini, serbuk sari yang memiliki ukuran yang besar tidak seperti serbuk sari pada umumnya yang memancarkan warna hijau terang, tetapi terdapat serbuk sari berwarna coklat kehitaman (anak panah kuning) (Gambar 7) walaupun tidak banyak. Namun tidak semua serbuk sari berukuran besar berwarna coklat kehitaman, serbuk sari berwarna terang (anak panah putih) juga ada. Warna coklat kehitaman ini diduga merupakan polen yang tidak memiliki inti. Hasil uji viabilitas pada tanaman uji sangat rendah (Tabel 4). Serbuk sari berwarna coklat kehitaman tidak ditemukan pada dua genotipe yaitu Dchi-12 dan Dchi-14, namun jumlah serbuk sari per antera kedua genotipe ini lebih rendah dibandingkan dengan genotipe lain.

Gambar 7. Hasil pewarnaan serbuk sari dengan FDA Dchi-15. Serbuk sari besar dengan warna terang atau viabel (anak panah putih); serbuk sari dengan warna pudar atau non viabel (anak panah hitam); serbuk sari tanpa inti (warna kuning). Bar = 50 µm Tabel 4. Viabilitas serbuk sari pada lima genotipe dari spesies Dianthus chinensis. Genotipe

Viabilitas serbuk sari (%)

Viabel Dchi-11 60,36 ± 10,73 Dchi-12 56,72 ± 36,15 Dchi-13 57,85 ± 7,93 Dchi-14 44,91 ± 21,51 Dchi-15 55,02 ± 22,26 Keterangan : Data dihitung dari rata-rata 4 kali isolasi pengamatan pada masing-masing genotipe

Non viabel 39,64 ± 10,73 43,28 ± 36,15 42,15 ± 7,93 55,09 ± 21,51 44,98 ± 22,26 pada minial 5 bidang

31 Hasil uji viabilitas serbuk sari terlihat bahwa rata-rata serbuk sari viabel berkisar 44 – 60% (Tabel 4). Persentase viabilitas tertinggi ditunjukkan oleh genotipe Dchi-11 dan Dchi-13. Uji viabilitas ini terkait dengan jumlah antera yang harus ditanam. Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga pada berbagai media inisiasi double layer untuk kultur antera Hasil seleksi tahap perkembangan kuncup bunga tidak dapat dianalisis secara statistik, karena hasil pengamatan tidak diperoleh embrio. Hasil yang disajikan bersifat observatif dengan mengamati pencoklatan dan kontaminasi. Hasil observasi peroleh bahwa pada tahap T2 yang memiliki antera dengan pencoklatan terkecil (Tabel 5) dan pencoklatan tertinggi yaitu tahap T4. Makin lanjut tahap kuncup bunga, makin tinggi pencoklatan. Tabel 5. Respon empat tahap perkembangan mikrospora genotipe Dchi-11 pada berbagai media induksi embrio/kalus. Tahap kuncup Media Rata-rata bunga Pencoklatan (%) M1 M2 M3 M4 M5 T2 10 0 20 20 0 10 T3 50 30 20 50 30 36 T4 70 70 70 70 50 66 T5 60 50 40 70 50 54 rata-rata 47.5 37.5 37.5 52.5 32.5 Tahap kuncup Media Rata-rata bunga Kontaminasi (%) M1 M2 M3 M4 M5 T2 10 40 20 10 40 24 T3 90 70 60 60 60 68 T4 70 70 60 60 40 60 T5 50 50 40 70 50 52 rata-rata 55 57.5 45 50 47.5 Keterangan: data merupakan rata-rata dari 10 ulangan. T1= 4 hari setelah inisiasi bunga, T2 = bunga mekar 5 hari setelah inisiasi bunga, dst. T= tahap perkembangan. Komposisi media di lampiran 3. Kontaminasi disebabkan oleh munculnya bakteri pada minggu ke dua setelah tanam. Pencoklatan terjadi mulai minggu ke dua terutama pada tahap T4 dan T5. Tahap T4 dan T5 mengandung antera dengan warna ungu, yang pada umumnya paling cepat mengalami degenerasi. Dari 5 macam media yang diuji, tidak ada satu media yang sesuai. Pada media yang mengalami kontaminasi, menyebabkan pencoklatan pada eksplan (Gambar 8A), sehingga kondisi ini dapat mengaburkan hasil, apakah pencoklatan terjadi karena media yang tidak sesuai atau karena pengaruh kontaminasi.

32

A

B

Gambar 8. Eksplan kultur antera 4 minggu setelah kultur; (A) Pencoklatan pada antera yang banyak terjadi pada tahap T3-T5; (B) antera tahap T2 yang sedikit terjadi pencoklatan. Bar 1 mm Dari hasil pengamatan, tahap perkembangan mikrospora T2 dengan inti dominan mid-late uninucleate memiliki potensi untuk diuji lebih lanjut, karena memiliki persentase pencoklatan yang paling rendah. Selanjutnya tahap T2 ini yang digunakan untuk penelitian selanjutnya, sementara media lain perlu diuji lagi karena dengan sistem kultur sebar menggunakan media double layer (dua lapis padat cair) tidak berhasil. Untuk mengetahui tidak responnya antera atau mikrospora terhadap media induksi, maka dilakukan pemeriksaan sampel kultur antera setiap minggu kemudian dianalisis histologi pada eksplan antera. Hasil yang diperoleh disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Histologi kultur antera. (A-C) 2 minggu setelah kultur; (D-F) 3 minggu setelah kultur; (B) pembelahan sel dari jaringan penghubung ke dalam lokus dalam antera (tanda panah), (C) sel jaringan penghubung yang meristimatik dan (F) Sel-sel dinding antera yang meristematik. M= mikrospora, Ld=lokus dalam antera, Tp=tapetum Hasil histologi pada kultur antera pada media double layer terlihat bahwa pada 2 minggu setelah kultur, serbuk sari masih terlihat ada di dalam lokus dalam antera, tetapi tidak mengalami pertumbuhan (Gambar 9A dan B). Sel yang

33 tumbuh dan berkembang adalah jaringan penghubung (Gambar 9B dan C, anak panah putih). Hasil ini memberikan indikasi bahwa pertumbuhan lanjut pada kultur antera tidak melalui embriogenesis, tetapi melalui pendekatan kalus. Srbuk sari cepat mengalami degenerasi pada minggu ke 3 (Gambar 9D dan E).

Perkembangan ovari atau ovul Anatomi kuncup bunga, ovari dan ovul D. chinensis Setelah periode viabilitas polen berakhir, diikuti dengan masa reseptif putik 18-20 hari setelah inisiasi bunga yang ditandai dengan keluarnya bulu-bulu pada tangkai putik. Hasil pengamatan anatomi kuncup bunga, ovul dan ovari menunjukkan bahwa pada tahap T5 ovari dan ovul belum terbentuk secara maksimal (Gambar 10A, B dan C), sedangkan pada tahap T7 ovul telah membentuk dua inti di dalam kantong embrio (Gambar 10F).

Gambar 10. Irisan melintang dan membujur kuncup bunga dan ovul (A) irisan melintang kuncup bunga pada tahap T5, (B) irisan membujur kucup bunga pada tahap T5, (C) irisan membujur ovul pada tahap T5(Bar = 20 µm), (D) irisan melintang kuncup bunga pada tahap T7, (E) irisan membujur ovari pada tahap T7 dan (F) irisan membujur ovul pada tahap T7. at=antera, c=poros bunga, pt=petal, sp=sepal, fl=filamen, ov=ovul, panah merah=megaspore mother cell (sel induk megaspora), panah putih=2 inti hasil pembelahan mitosis. Penentuan tahap pembentukan inti dalam kantong embrio ini penting, karena dalam kantong embrio yang diinginkan ialah kantong embrio yang berisi

34 sel tunggal yang merupakan hasil pembelahan mitosis sel induk megaspora pada tahap T7. Sel induk megaspora yang lengkap ada delapan inti yang terdiri atas dua inti polar, tiga inti sel antipodal, satu inti sel telur dan dua inti sel sinergid. Jaringan-jaringan lain selain 8 inti tersebut merupakan jaringan dengan level ploidi 2n yaitu jaringan nuselus, integumen, dan funikulus. Pada tahap T5 didominasi oleh sel nuselus (Gambar 9C). Pada tahap T7 di dalam ovul telah terbentuk dua inti (Gambar 9F). Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga untuk kultur ovul/ovari Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap perkembangan kuncup bunga mempengaruhi terbentuknya kalus pada eksplan. Tahap kuncup T5 memiliki ratarata persentase terbentuknya kalus terendah dan lebih rendah dari pada tahap kuncup T7 dan T9 (Tabel 6). Tahap kuncup T7 merupakan tahap kuncup yang paling banyak membentuk kalus, tetapi tidak berbeda dengan tahap kuncup T9. Tabel 6. Pengaruh tahap kuncup terhadap terbentuknya kalus pada ovula atau ovari Dchi-11, 8 minggu setelah tanam. Perlakuan

Umur kuncup bunga (hari sejak inisiasi bunga)

Rata-rata persentase terbentuknya kalus* (%)

Warna dan tipe kalus

Tahap kuncup T5

8

9,375 b

kalus hijau agak remah

Tahap kuncup T7

10

59,375 a

kalus hijau remah dan kalus hijau agak remah

Tahap kuncup T9

12

46,875 ab

kalus hijau agak remah

Keterangan : * rata-rata persentase terbentuknya kalus dihitung dari rata-rata setiap unit perlakuan. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%. T5= 8 hari setelah inisiasi bunga, T7 = 10 hari setelah inisiasi bunga, T9 = bunga mekar 12 hari setelah inisiasi bunga. Pembahasan Perkembangan kuncup bunga Hasi penelitian menunjukkan bahwa setiap tahap perkembangan bunga terdapat variasi ukuran kuncup bunga antar genotipe yang kemungkinan disebabkan oleh faktor internal (genotipe) tanaman dan faktor eksternal (lingkungan). Variasi ukuran kuncup bunga ini akan menyulitkan penetapan

35 stándar untuk seleksi tanaman donor. Panjang kuncup bunga Dianthus chinensis untuk donor antera menurut Fu et al. (2008) adalah antara 7,5 - 8 mm. Pada ukuran

kuncup bunga tersebut, tahap serbuk sari adalah uninukleat. Hasil

penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Fu et al. (2008). Apabila dikaitkan dengan pengamatan serbuk sari setiap tahap pada penelitian ini, tahap uninukleat dominan dicapai pada ukuran kuncup bunga 1,31-1,5 cm. Hasil ini menunjukkan bahwa ukuran kuncup bunga kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan genotipe, umur kuncup, lingkungan tempat tumbuh dan iklim, serta budidaya tanaman, sehingga ukuran kuncup bunga pada penelitian ini hanya berlaku untuk genotipe yang sedang diamati.

Perkembangan antera dan serbuk sari Pengamatan antera dan serbuk sari Penanda lain yang dapat diamati dan dijadikan sebagai standar adalah mulai sedikit terbukanya kelopak di bagian ujung kuncup (tahap T3), di mana pada kondisi itu mulai terjadi perubahan warna antera dari putih menjadi ungu, dan pada tahap ini, kuncup bunga tidak dapat dijadikan sebagai donor antera, karena pada tahap ini serbuk sari berada pada tahap dominan binukleat. Pengamatan ini tidak dilakukan Fu et al. (2000), sehingga hasil penelitian Fu et al. (2000) berdasarkan ukuran bunga tidak dapat dijadikan acuan. Seleksi tanaman donor didasarkan pada perubahan warna antera juga dilakukan pada tanaman cabe yang merupakan penanda morfologi yang penting (Supena 2004). Penghitungan jumlah serbuk sari dan ukurannya Penghitungan jumlah serbuk sari dilakukan untuk menentukan kepadatan antera atau serbuk sari yang harus dikultur. Kepadatan antera dalam kultur akan menentukan keberhasilan. Antera cenderung untuk melekat satu sama lain sehingga kepadatan tertentu akan melindungi antera menempel pada dinding cawan petri pada kultur media cair (Keller 1984; Hoekstra et al. 1993 dan Arnison et al. 1990). Setiap tanaman akan memiliki kepadatan antera atau serbuk sari yang berbeda-beda. Pada tanaman Brassica jumlah 6 antera

per ml media

merupakan kepadatan yang optimal (Keller 1984), sedang pada tanaman padi kepadatan antera yang diperlukan adalah 3 antera per ml media. Menurut Huang et al. (1990) kepadatan kultur serbuk sari pada Brassica napus adalah 3-4 x 104

36 mikrospora per ml dan pada jagung 6-8 x 104 mikrospora per ml (Gaillard et al. 1991). Kepadatan antera yang sesuai untuk kultur juga tergantung pada kualitas materi yaitu persentase serbuk sari yang viabel. Rasio tahap perkembangan serbuk sari Tahap uninucleate sampai tahap early binucleate pada banyak kasus merupakan tahap paling responsif untuk menginduksi perubahan serbuk sari dari perkembangan gametofit (membentuk polen) ke perkembangan sporofit (membentuk embrio atau kalus) akibat stres lingkungan pada beberapa perlakuan yang diberikan (Palmer & Keller 2005). Penelitian androgénesis pada tanaman Dianthus sp sebagian besar regeneran yang diperoleh melalui tahap kalus yang diaplikasikan pada tahap late uninucleate sampai tahap early binucleate (Mosquera et al. 1999; Nontaswatsri et al. 2008; Fu et al. 2008). Tahap ini dikatakan merupakan tahap yang kompeten di mana sel-sel serbuk sari memiliki respon yang tinggi terhadap induksi stres yang diberikan. Karena pada tahap uninucleate ini sel serbuk sari mengalami peningkatan síntesis protein dan berkurangnya laju síntesis DNA serta RNA (Cordewener et al. 1995; Saunders & Saunders 1988) yang berkorelasi dengan perkembangan embriogenik. Pada tahap uninucleate akhir sampai tahap awal binucleate perkembangan embriogenik dimulai dengan pembelahan asimetris pertama yang dengan adanya sinyal yang berasal dari induksi stres yang diberikan, dirubah menjadi pembelahan simetris. Jika tahap induksi awal menggunakan tahap biselular sebagai donor awal perkembangan embriogenik dimulai dengan masuknya kembali ke siklus sel G1 dari vegetatif sel. Pembelahan sporofitik berlanjut untuk membentuk embrio (Binarova et al. 1997). Hasil

pengamatan

antara

morfologi

kuncup

bunga

dan

tahap

perkembangan serbuk sari dapat digambarkan dalam bentuk grafik hubungan antara panjang kuncup bunga dengan tahap perkembangan serbuk sari (Sunderland & Wick 1971). Studi mengenai hubungan antara panjang kuncup dengan tahap perkembangan serbuk sari sangat penting untuk menentukan tahap perkembangan polen pada saat akan dilakukan isolasi, karena tidak mungkin semua antera satu persatu dianalisis sitologis (Sopory & Maheswari 1976). Walaupun penentuan morfologi kuncup bunga ini bukan merupakan kriteria utama penentuan materi donor, tetapi kuncup bunga mewakili tahap seleksi awal tanaman donor.

37

Uji viabilitas serbuk sari Viabilitas serbuk sari Dianthus sp pada umumnya rendah. Menurut Galbally & Galbally (1997) anyelir memiliki viabilitas yang sangat rendah dengan persentase perkecambahan kurang dari 10%. Pengamatan viabilitas serbuk sari diperlukan untuk menentukan kepadatan antera dalam kultur. Kepadatan suatu kultur tergantung dari kualitas materi yaitu persentase serbuk sari yang embriogenik (Sopory & Munshi 1996). Apabila rata-rata viabilitas 50%, maka jumlah antera yang harus di tanam dua kali jumlah prediksi optimalnya. Mengacu pada kepadatan serbuk sari Brassica optimal yaitu 30000 – 40000 per ml (Sopory & Munshi 1996), maka dengan jumlah serbuk sari per antera rata-rata Dchi-11 ± 30000 (Tabel 2), viabilitas serbuk sari Dchi-11 50%, maka dengan cawan petri berdiameter 6 cm berisi 5 ml media, jumlah antera Dianthus yang harus ditanam adalah 10 – 13 antera. Selain itu dengan melihat morfologi atau ciri unik dari Dianthus chinensis yang memiliki dua inti identik yang diduga merupakan gamet 2n menurut Fu et al. (2008), maka penentuan donor polen untuk kultur antera atau serbuk sari sangat menentukan karena apabila serbuk sari ini yang berkembang maka dipastikan tanaman tersebut adalah heterosigot. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa genotipe

Dchi-11, Dchi-13 dan Dchi-15 memiliki serbuk

sari berukuran besar, sehingga apabila genotipe ini disertakan, kemungkinankemungkinan di atas harus diantisipasi. Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga pada berbagai media inisiasi padat cair untuk kultur antera Tahap perkembangan mikrospora sejalan dengan perubahan warna antera. Pada tahap perkembangan T3 (30% antera ungu muda) pencoklatan mulai meningkat sejalan dengan makin lanjutnya tahap perkembangan mikrospora. Pencoklatan kemungkinan terjadi karena adanya akumulasi komponen fenolik pada eksplan dimana terjadi proses perubahan adaptif bagian tanaman akibat adanya pengaruh fisik dan biokimia (memar, pengupasan, pemotongan, serangan penyakit, atau kondisi yang tidak normal), bisa juga merupakan gejala alamiah dari proses penuaan yang terjadi pada antera. Menurut Sheeler dan Bianchi (1987), bagian sel tanaman yaitu vakuola sebagai tempat untuk penyimpanan air dan produk-produk sel khususnya metabolit sekunder termasuk fenol. Didalam pemotongan jaringan, vakuola

38 terpotong dan mengeluarkan fenol yang akan bereaksi dengan enzim fenol oksidase di dalam sitosol sehingga terbentuk kuinon yang menyebabkan warna coklat dan beracun. Eksplan pada penelitian ini tidak dilakukan pemotongan, sehingga apabila terjadi pencoklatan kemungkinan berkaitan dengan penggunaan eksplan tahap perkembangan kuncup yang makin lanjut. Makin lanjut tahap perkembangan kuncup bunga, pencoklatan makin tinggi. Apabila pencoklatan bersumber dari hasil pemotongan eksplan, kemungkinan bersumber dari pemotongan fillamen dari antera. Perkembangan ovari atau ovul Anatomi kuncup bunga, ovari dan ovul D. chinensis Tanaman D. chinensis memiliki ovul yang terbentuk dari satu poros bunga. Poros bunga menyatu membentuk satu ruangan (loculus) (Gambar 10E). Ovul melekat pada plasenta yang dihubungkan oleh funikulus. Sel induk mikrospora dalam ovul akan membelah secara meiosis menghasilkan empat megaspora yang masing-masing mempunyai set kromosom haploid. Hanya satu megaspora yang bertahan dan berkembang menjadi kantong embrio, sedangkan tiga yang lain gugur. Inti dalam kantong embrio mengalami pembelahan tiga kali membentuk satu inti sel telur, dua inti sel sinergid, tiga inti antipodal dan dua inti polar. Pola perkembangan megasporogenesis D. chinensis termasuk tipe polygonum (Sniezko 2006). Dua inti pada tahap perkembangan T7 pada Gambar 10F diduga merupakan hasil pembelahan pertama yang berasal dari satu inti hasil meiosis yang masih bertahan. Seleksi tahap perkembangan kuncup bunga untuk kultur ovul atau ovari Biasanya tahap serbuk sari late-uninucleate merupakan target yang responsif untuk mengubah gametofitik menjadi sporofitik. Pada ginogenesis kisaran tahap perkembangan ovul untuk diinduksi sangat lebar. Gametofit jantan dan betina tanaman Dianthus chinensis tidak masak bersamaan. Pada tanaman bit gula kuncup bunga diisolasi pada umur 1-3 hari sebelum antesis (Ferrant & Bouharmont 1994), tanaman bawang merah 3-5 hari sebelum antesis (Martinez et al. 2000). Pada penelitian ini donor ovul terbaik berasal dari kuncup bunga pada tahap T7 (umur 10 hari setelah munculnya bunga).

39 Simpulan 1. Ukuran, bentuk kuncup bunga dan warna antera merupakan indikator waktu dilakukan pengambilaan donor eksplan. 2. Tahap perkembangan kuncup T2 (LU tertinggi (44,64%), ukuran kuncup antara 1,31 – 1,50 cm, warna antera putih, umur 5 hari, pencoklatan terendah) merupakan tahap yang tepat untuk kultur antera. 3. Tahap perkembangan kuncup T7 (ukuran kuncup antara 1,81 – 2.00 cm, panjang petal 30% lebih panjang dari panjang sepal, umur 10 hari) merupakan tahap yang tepat untuk kultur ovul dan ovari berdasarkan persentase terbentuknya kalus dan tipe kalus.

40

41

INDUKSI HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI ANDROGENESIS SECARA IN VITRO

Abstrak Komposisi media mempengaruhi kemampuan antera membentuk kalus dan/atau embrio serta regenerasi tanaman. Pada tanaman Dianthus sp. media padat lebih sesuai untuk induksi kalus antera dibandingkan dengan media cair. Tujuan penelitian ialah mendapatkan media yang sesuai untuk pembentukan kalus dan mendapatkan media regenerasi yang sesuai untuk pertumbuhan kalus androgenik serta mendapatkan tanaman haploid melalui androgenesis. Induksi kalus androgenik dilakukan pada empat jenis media yang mengandung media dasar WT yang berbeda rasio auksin:sitokinin. Delapan jenis media regenerasi diseleksi untuk mendapatkan media yang sesuai untuk regenerasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media padat AD4 (WT + 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ) merupakan media yang paling baik untuk induksi kalus pada kultur antera, dengan persentase pembentukan kalus 17,5 %. Media R7 (WT + 2,22 µM BAP) merupakan media yang sesuai untuk regenerasi kalus hasil kultur antera Dchi-13 (37,5%) sedang media R11 (WT + 2,22 µM BA + 0,285 µM NAA) merupakan media yang sesuai untuk regenerasi kalus hasil kultur antera Dchi-11 (66,6%). Analisis ploidi hasil kultur antera menunjukkan bahwa regeneran adalah diploid. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembentukan kalus pada kultur antera memerlukan auksin (2,4-D) yang lebih tinggi dibanding sitokinin, sebaliknya regenerasi kalus hasil kultur antera memerlukan sitokinin (BAP) yang lebih tinggi dibanding auksin. Kata kunci: kultur antera, auksin, sitokinin, induksi kalus, regenerasi

42

HAPLOID INDUCTION OF Dianthus chinensis BY IN VITRO ANDROGENESIS

Abstract Induction of anther callus and regeneration depend on media composition and physical state. Solid media was preferred for induction anther callus of Dianthus sp. than liquid medium. The aim of ther research was to obtain suitable media for callus induction and to obtain suitable regeneration media for androgenic callus growth and to obtain haploid plants by androgenesis. Androgenic callus induction was observed in four medium containing WT basic media supplemented with different auxin : cytokinin ratio. Eight regeneration media was selected to obtain appropriate medium for regeneration. The result showed that solid media of AD4 (WT + 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ) was the best medium for callusing in anther culture, with 17,5% callus formation. R7 media (WT + 2,22 µM BAP) was suitable media for callus regeneration (37,5%) resulted from Dchi-13 anther culture. R11 media (WT + 2,22 µM BAP + 0,285 µM NAA) was suitable media for callus regeneration (66,6%) resulted from Dchi-11 anther culture. Ploidy analysis of anther culture showed that regenerant was diploid. In conclusion, callus formation of anther culture need auxin (2,4-D) higher than cytokinin, on the contrary callus regeneration need cytokinin (BAP) higher than auxin. Key words: anther culture, auxin, cytokinin, callus induction, regeneration.

43 Pendahuluan Dianthus chinensis atau lebih dikenal dengan nama Chinese pink, Indian pink, Japanese pink, Rainbow pink merupakan kerabat Dianthus caryophyllus yang telah digunakan sebagai materi pemuliaan untuk karakter-karakter unik seperti ketahanan terhadap penyakit, laju pertumbuhan yang cepat, adaptasi luas, dan hasil yang tinggi (Tejaswini 2002). Kondisi tanaman hias yang pada umumnya diperbanyak secara vegetatif dengan konstitusi genetik yang heterosigot menyulitkan untuk memprediksi hasil persilangan dengan karakter yang diinginkan. Pembentukan tanaman homosigot pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif memiliki keuntungan dari segi pemuliaan dan perbenihan. Dari segi pemuliaan, diperoleh hibrida F1 dengan karakter sesuai dengan yang diinginkan dan dapat juga diperbanyak secara vegetatif. Dari segi perbenihan, perdagangan benih dalam bentuk biji hibrida F1 lebih efisien dibandingkan bentuk stek. Untuk mendapatkan tanaman homosigot dapat diperoleh melalui kultur antera yang dikenal dengan androgenesis. Androgenesis merupakan pertumbuhan sporofitik sel gamet jantan yang terinduksi untuk membentuk embrio. Perkembangan sel gamet jantan yang normal menghasilkan serbuk sari (gametofitik) yang mengandung dua sel yaitu sel generatif dan sel vegetatif. Selanjutnya sel generatif menghasilkan dua sel gamet selama pemasakan serbuk sari atau selama perkecambahan serbuk sari dalam stigma. Induksi perkembangan sporofitik hanya mungkin terjadi pada tahap awal perkembangan ketika sel gamet menunjukkan totipotensinya (Touraev et al. 2001). Androgenesis terjadi jika serbuk sari atau polen diinduksi untuk mengubah dari lintasan gametofitik menjadi lintasan sporofitik sehingga membentuk embrio. Perubahan yang terjadi ditujukan pada pembelahan mikrospora (premitotik) yang membentuk binukleat atau setelah mitosis mikospora (postmitotik), di mana sel vegetatif atau generatif (atau keduanya) membelah untuk melakukan androgenesis (Jacquard et al. 2003; Custers et al. 1994). Banyak faktor mempengaruhi respon androgenik tanaman. Di antara faktor endogen yang mempengaruhi embriogenesis, selain genotipe ialah tahap perkembangan serbuk sari yang menentukan keberhasilan androgenesis. Faktor lain adalah berkaitan dengan kondisi fisiologis selama perkembangan tanaman donor maupun kondisi pertumbuhan in vitro setiap tahap proses.

44 Respon androgenik dapat dimodifikasi melalui perlakuan pada tanaman donor. Praperlakuan pada antera merupakan tahap yang penting. Praperlakuan ini diberikan dengan menciptakan kondisi stress. Kondisi stress diperlukan untuk mengubah program gametofitik serbuk sari ke lintasan perkembangan sporofitik, melalui suatu sinyal, menghasilkan embrio haploid. Reorientasi serbuk sari ini sering dihasilkan dengan memberikan sinyal dalam bentuk stress seperti suhu rendah, stress osmotik, pengurangan nutrient (pelaparan atau starvasi), heat-shock, kombinasi dari berbagai macam stres ini (Asakaviciute 2008). Suhu rendah merupakan praperlakuan yang paling sering digunakan untuk androgenesis. Inkubasi suhu rendah pada donor antera dalam kultur menghasilkan efek rangkap dengan memberikan gangguan mitosis pada serbuk sari untuk membentuk embrio dan memberikan waktu yang cukup untuk serbuk sari dapat dilepaskan oleh antera (Mejza et al. 1993). Pada tanaman barley perlakuan yang umum diberikan ialah penyimpanan tangkai bunga pada 4 oC selama 28 hari, pada kelembaban relatif yang tinggi dalam kondisi gelap (Huang dan Sunderland 1982). Namun menurut Powel (1988) durasi optimum untuk perlakuan suhu rendah tergantung pada genotipe. Hasil penelitian Fu et al. (2008) pada Dianthus chinensis perlakuan suhu rendah memberikan hasil terbentuknya kalus tertinggi untuk kultivar “Splendor”. Dari beberapa media yang digunakan media MS dengan rasio auksin : sitokinin tinggi mampu menginduksi kalus androgenik dan media regenerasi dengan rasio auksin:sitokinin rendah dapat meningkatkan regenerasi kalus. Media yang dengan penambahan 2,4-Dmenghambat diferensiasi tunas, sedang penambahan TDZ menyebabkan tunas mengalami vitrifikasi. Media dengan penambahan BA dan NAA merupakan media terbaik untuk regenerasi kalus menjadi tunas. Tujuan penelitian adalah mendapatkan media yang sesuai untuk pembentukan kalus dan mendapatkan media regenerasi yang sesuai untuk pertumbuhan kalus androgenik serta mendapatkan tanaman haploid melalui androgenesis.

Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Hias dan Laboratorium terkait, pada bulan Maret 2011 - Maret 2012. Bahan yang digunakan Dianthus chinensis “Dchi-11” dan “Dchi-13” pada tahap perkembangan kuncup bunga T2 (ukuran 1,31 cm -1,5 cm, warna antera putih, umur 5 hari setelah inisiasi kuncup) koleksi Balai Penelitian Tanaman Hias.

45 Dianthus chinensis “Dchi-11” dan “Dchi-13” dipilih karena memiliki viabilitas serbuk sari tertinggi dari lima tanaman donor lain. Tiga genotipe lain seperti D. barbatus, D. chinensis “Dchi-12 dan Dchi-15 digunakan untuk verifikasi media yang telah dihasilkan. Tanaman ditanam di pot ukuran 17 cm dengan media tanaman campuran humus daun bambu:arang sekam: pupuk kandang = 2:1:1. Penelitian dibagi dalam dua seri percobaan yaitu (1) induksi kalus androgenik dan (2) pertumbuhan dan regenerasi kalus.

Prosedur Pelaksanaan Percobaan 1. Induksi Kalus Androgenik Dianthus chinensis Media yang digunakan ialah media dasar WT (Winarto et al. 2009, Winarto et al. 2011) (Lampiran 2). Komposisi media tersebut ialah AD1 = WT + 1,13 µM 2,4-D+ 2,85 µM NAA + 4,54 µM TDZ + 2,22 µM BAP, AD2 = WT + 2,26 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 4,54 µM TDZ + 2,22 µM BAP, AD3 = WT + 4,52 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 2,22 µM BAP dan AD4 = WT + 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ Bahan pemadat menggunakan Phytagel sebanyak 2,8 g L-1 dan sukrosa 30 g/l dengan pH 5,8. Percobaan disusun secara faktorial diulang 3 kali. Faktor pertama ialah dua genotipe Dchi-11 dan Dchi-13, dan faktor kedua ialah komposisi media. Sebelum ditanam kuncup bunga disimpan pada suhu 4 oC selama 1 hari. Jumlah antera setiap botol kultur adalah 5. Kultur diinkubasi pada kondisi gelap suhu 4 oC selama 7 hari dilanjutkan dengan suhu 25 oC selama 4 minggu. Setelah itu kultur dipindahkan pada inkubasi terang dengan lama penyinaran 16 jam di bawah lampu fluoresen (13 µmol.m-2.s-1) hingga kalus terbentuk. Pembentukan kalus diamati setelah 1 – 2 bulan. Peubah yang diamati ialah (1) jumlah antera membentuk kalus atau embrio dan (2) tipe kalus. Media yang terbaik kemudian dilakukan verifikasi menggunakan genotipe lain yaitu Dianthus barbatus, Dianthus chinensis Dchi-12 dan Dianthus chinensis Dchi-15.

Analisis data Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA) dengan program SAS Release window 9.1. Jika terdapat pengaruh nyata dari perlakuan maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji jarak berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.

46 Percobaan 2. Pertumbuhan dan regenerasi kalus hasil kultur antera Dianthus chinensis Penggunaan berbagai media regenerasi yang diaplikasikan pada kalus hasil percobaan 1. Media regenerasi yang diaplikasikan menggunakan media dasar WT dengan 8 macam kombinasi, yaitu: R6 = WT + 1,11 µM BAP; R7 = WT + 2,22 µM BAP; R8 = WT + 0,444 µM BAP; R9 = WT + 0,222 µM BAP; R10 = WT + 1,11 µM BAP + 0,285 µM NAA; R11 = WT + 2,22 µM BAP + 0,285 µM NAA; R12 = WT + 0,444 µM BAP + 0,285 µM NAA dan R13 = WT + 0,222 µM BAP + 0,285 µM NAA dengan penambahan 30 g L-1 sukrosa pada pH 5,8. Peubah yang diamati ialah (1) jumlah kalus yang beregenerasi, dan (2) saat/lama regenerasi. Analisis ploidi Bahan yang digunakan dalam analisis ploidi adalah hasil regenerasi percobaan 2. Analisis ini dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong menggunakan alat

CyFlow® space (Partec GmbH) yang dilengkapi dengan

diode pumped solid-state laser (20 mW) pada panjang gelombang 488 nm and laser diode pada panjang gelombang 638 nm (25 mW). Potongan daun (0.5 cm2) dicacah menggunakan silet di dalam cawan petri yang berisi 500 µl buffer ekstraksi. Setelah 30 – 90 detik buffer ekstraksi disaring menggunakan Partec 50 µl CellTrics filter. Pewarnaan menggunakan PI (Propidium Iodide) dan Rnase (2 ml), selanjutnya diinkubasi selama 30 – 60 menit sebelum dianalisis dalam flow cytometry. Sebagai kontrol (diploid) digunakan daun muda dari Dianthus chinensis Dchi-11.

Hasil Percobaan 1. Induksi kalus androgenik Dianthus chinensis Pembentukan kalus pada antera dimulai dengan membesarnya ukuran antera, diikuti dengan pecahnya kotak antera di daerah stomium (Gambar 11). Selain itu juga terjadi perubahan warna antera menjadi coklat (Gambar 11A) atau ungu (Gambar 11B). Pada kondisi antera berada pada jalur terbentuknya polen yang masak, pada umumnya berubah menjadi warna ungu. Perubahan warna antera diduga karena aktifitas etilen. Selanjutnya pada stomium akan terjadi

47 diferensiasi akibat respon terhadap komponen media dan hormon (Gambar 11C). Sel kompeten ini akan berubah menjadi meristematik yang aktif membelah. Antera yang tidak mampu membelah akan berwarna coklat tua sampai kehitaman (Gambar 11D).

A

B

E

F

C

D

G

Gambar 11. Perkembangan pembentukan kalus pada antera Dianthus chinensis. (A) Antera membesar dan dinding antera merekah, (B) dinding antera warna ungu yang merekah, (C) rekahan dinding antera mulai membentuk kalus pada minggu ke 3, (D) antera yang tidak responsif akan kisut berwarna coklat kehitaman, (E) kalus 30 hari setelah inisiasi, (F) kalus 45 hari setelah inisiasi, (G) kalus 3 bulan setelah inisiasi. Panah merah = antera yang tidak respon, panah putih = antera yang merekah, panah hijau = antera mati berwarna coklat kehitaman. Bar = 1 mm Komposisi media dan genotipe memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan antera, namun interaksi antara media dan genotipe tidak berpengaruh nyata. Respon pertumbuhan yang baik umumnya ditandai dengan kondisi antera yang tetap segar dan inisiasi kalus pada daerah belahan antera, meskipun sebagian besar mati akibat pencoklatan (Gambar 10D). Antera yang tetap segar memiliki peluang terinduksi membentuk kalus, meskipun tidak setiap antera yang segar dapat membentuk kalus. Kalus terus tumbuh dan berkembang dan terlihat jelas 1 bulan setelah inisiasi (Gambar 10E) dan 3 bulan setelah inisiasi (Gambar 10G). Hasil analisis data tidak terdapat interaksi antara genotipe dengan media. Persentase pembentukan kalus genotipe Dchi-13 lebih tinggi, tetapi lebih lambat dalam membentuk kalus dibandingkan genotipe Dchi-11 (Tabel 6). Dchi-13

48 menghasilkan kalus lebih banyak dan berbeda secara signifikan (P<0.05) dibandingkan dengan Dchi-11. Dari Tabel 7 tersebut jelas terlihat bahwa genotipe donor merupakan faktor kunci keberhasilan pembentukan kalus. Table 7. Respon dua genotipe D. chinensis (rataan persentase terbentuknya kalus dan waktu terbentuknya kalus) pada media induksi kalus Genotipe Dchi-11 Dchi-13

Persentase antera membentuk kalus (%) 2,50 b 18,75 a

Waktu terbentuknya kalus (hari) 19,50 31,88

Keterangan: Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%. Media AD4 merupakan media dasar yang paling potensial untuk kultur antera Dianthus chinensis. Komposisi media tersebut mampu menginduksi persentase antera tertinggi membentuk kalus (17,50%) dibandingkan media yang lain walaupun dengan media AD1 dan AD3 tidak berbeda nyata (Tabel 8). Kesesuaian kombinasi dan konsentrasi hormon diduga juga mempengaruhi komposisi media dasar dalam pembentukan kalus. Kombinasi antara 9,04 µM 2,4D+ 2,27 µM TDZ + 5,71 µM NAA pada media dasar WT (AD4) sesuai untuk pembentukan kalus D. chinensis. Kombinasi antara 2,26 µM 2,4-D+ 4,54 µM TDZ + 2,22 µM BAP + 5,71 µM NAA pada media dasar WT (AD2) paling sedikit membentuk kalus. Tabel 8. Pengaruh media terhadap persentase antera membentuk kalus dan waktu terbentuknya kalus pada genotype D. chinensis Media AD1 AD2 AD3 AD4

Persentase antera membentuk kalus (%) 10,0 ab 5,0 b 10,0 ab 17,5 a

Waktu mulai terbentuknya kalus (hari) 36,0 38,0 25,0 28,5

Keterangan: Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%. AD1 = WT + 1,13 µM 2,4-D+ 2,85 µM NAA + 4,54 µM TDZ + 2,22 µM BAP, AD2 = WT + 2,26 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 4,54 µM TDZ + 2,22 µM BAP, AD3 = WT + 4,52 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 2,22 µM BAP dan AD4 = WT + 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ Waktu mulai terbentuknya kalus pada semua media berkisar antara 25 sampai 38 hari setelah induksi (Tabel 7). Waktu terbentuknya kalus tercepat adalah genotipe yang di tanaman pada media AD4 yaitu 25 hari setelah induksi.

49 Media AD4 yang merupakan media terbaik selanjutnya digunakan untuk verifikasi dan diaplikasikan pada genotipe lain (Dianthus barbatus, Dianthus chinensis Dchi-12 dan Dchi-15).

Verifikasi media dilakukan pada genotipe-

genotipe ini karena pada saat perlakuan genotipe-genotipe ini belum berbunga. Hasil yang diperoleh hanya genotipe Dchi-12 dan Dchi-15 yang dapat membentuk kalus (Gambar 12). Hasil ini menunjukkan bahwa setiap genotipe membutuhkan media yang spesifik. Pada umumnya kalus terbentuk 3 - 4 minggu setelah kultur.

A

B

C

Gambar 12. Verifikasi media AD4 kultur antera (A) Dianthus barbatus, (B) Dianthus chinensis Dchi-12 dan (C) Dianthus chinensis Dchi-15. Bar = 1 mm Percobaan 2. Pertumbuhan dan regenerasi kalus hasil kultur antera Dianthus sp. Regenerasi kalus menggunakan media dasar yang sama dengan media induksi kalus, tetapi dengan mengurangi konsentrasi auksin dan sitokinin. Dari delapan media regenerasi yang diuji hanya media R7 dan R11 yang sesuai untuk regenerasi (Tabel 9). Eksplan Dchi-13-148-3 dengan media induksi awal AD3 (Gambar 13A), eksplan mampu beregenerasi pada media R7, sedangkan eksplan Dchi-11-171-4 dengan media induksi awal AD4 (Gambar 13B), eksplan mampu beregenerasi pada media R11. Pada pembentukan kalus dan regenerasi genotipe Dchi-13 lebih tinggi dibandingkan dengan Dchi-11. Media regenerasi lain seperti R6, R8, R9, R10, R12 dan R13 menghambat diferensiasi tunas (Gambar 13C). Pemberian 0,285 µM NAA dan 2,22 µM BAP pada media R11 mampu meningkatkan persentase kalus yang beregenerasi dibandingkan media R7 yang hanya berisi 2,22 µM BAP. Kalus yang mampu beregenerasi, satu bulan berikutnya disubkultur ke media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Pertumbuhan selanjutnya regeneran mampu memperbanyak diri pada media tersebut, tetapi semua kalus terinduksi bunga prematur. Bentuk kuncup

bunga juga tidak normal, petal tidak

berkembang, tanpa daun, dan ukuran kecil (1 – 1,5 cm) (Gambar 13D dan E).

50 Tabel 9. Jumlah massa kalus yang diregenerasi, jumlah kalus dan persen kalus yang beregenerasi pada dua genotype, berdasarkan media asal dan media regenerasi Genotipe Dchi-13 Dchi-11 Dchi-11 Dchi-11 Dchi-13 Dchi-13 Dchi-13 Dchi-13 Dchi-13 Dchi-13 Dchi-13 Dchi-11 Dchi-13 Dchi-13 Dchi-11 Dchi-13 Dchi-13 Dchi-11 Dchi-13 Dchi-13 Dchi-13 Dchi-13

Media Media asal regenerasi AD3 AD3 AD4 AD4 AD1 AD3 AD4 AD1 AD4 AD1 AD4 AD4 AD3 AD4 AD4 AD3 AD4 AD1 AD3 AD4 AD3 AD4

jumlah massa kalus yang diregenerasi 3 2 3 2 2 3 3 2 2 5 2 3 7 3 3 2 3 2 2 3 2 2

R6 R6 R6 R7 R7 R7 R7 R8 R8 R9 R9 R10 R10 R10 R11 R11 R11 R12 R12 R12 R13 R13

Jumlah kalus yang % kalus beregenerasi beregenerasi* 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 37.5 0 0 0 0 0 0 0 0 66.6 0 0 0 0 0 0 0

Keterangan: *) Dihitung dari jumlah kalus yang beregenerasi per jumlah total kalus yang diregenerasikan pada media regenerasi yang sama, dan genotipe yang sama. AD1 = WT + 1,13 µM 2,4-D+ 2,85 µM NAA + 4,54 µM TDZ + 2,22 µM BAP, AD3 = WT + 4,52 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 2,22 µM BAP dan AD4 = WT + 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ.

A

A

D

B

C

E

Gambar 13. Regenerasi kalus hasil kultur antera. (A) Genotipe Dchi-13-148-3, (B) Genotipe Dchi-11-171-4, (C) Genotipe Dchi-13-186-3, (D dan E) Regenerasi kalus menjadi kuncup bunga prematur (tanda panah). Bar = 0,5 cm

51 Analisis ploidi Analisis ploidi dilakukan pada sampel kalus yang telah beregenerasi, karena kondisi regeneran tidak mampu untuk mendapatkan planlet normal. Tanaman kontrol diploid untuk analisis ploidi dengan flow cytometer berasal dari Dchi-11. Sebagian kalus dari tanaman donor dan daun dari tanaman kontrol diploid diambil sampelnya kemudian dianalisis dengan flow cytometer. Hasil analisis dengan flow cytometer diperoleh bahwa dua regeneran (Dchi-13-148-3 dan Dchi-11-171-4) tersebut memiliki level ploidi sama dengan tanaman kontrol (Gambar 14). Kalus dari tanaman donor disajikan dalam bentuk puncak DNA G1 pada channel 200 (Gambar 14A), yang ditetapkan sebagai standar 2C untuk sel diploid bersama dengan puncak kecil pada channel 400 sebagai karakteristik dari puncak G2. File: Anyelir Kontrol Date: 17-02-2012 Time: 09:12:43

partec CyFlow

Particles: 7401 Acq.-Time: 254 s

200

A

160

2C

counts

120

80

4C

40

0

0

200

File: Anyelir 148 Date: 17-02-2012 Time: 10:25:55

400

FL1 -

600

800

1000 partec CyFlow

Particles: 8528 Acq.-Time: 84 s

400

B 320

counts

240

160

2C 4C

80

0

0

200

File: Anyelir 171 Date: 17-02-2012 Time: 10:01:05

400 FL1 Particles: 25621 Acq.-Time: 251 s

600

800

1000 partec CyFlow

800

C 640

counts

480

2C

320

4C

160

0

0

200

400

8C FL1 -

600

800

1000

Gambar 14. Histogram DNA hasil analisis flow cytometer: (A) Tanaman kontrol diploid D-chi11/Dchi-11; (B) Regeneran hasil kultur antera Dchi-13148-3 dan (C) Regeneran hasil kultur antera Dchi-11-171-4.

52 Analisis ploidi tanaman donor ini hanya dilakukan satu sampel saja. Sampel yang akurat biasanya menggunakan daun. Pada umumnya apabila kalus digunakan sebagai sampel, akan terdapat kemungkinan bentuk mixoploid akan muncul. Walaupun terdapat kemungkinan mixoploid (Gambar 14C), tetapi pada umumnya sampel kalus akan berada pada channel 200 (fase G1) dan 400 (fase G2) atau bentuk diploid. Analisis ploidi dilakukan menggunakan sampel kalus karena eksplan mengalami perubahan fase generatif prematur. Analisis sitologi dengan melihat jumlah kromosom sulit dilakukan karena sel terlalu kecil untuk dideteksi jumlah kromosomnya. Pembahasan Percobaan 1. Induksi kalus androgenik Dianthus chinensis Penggunaan media dasar WT dipilih berdasarkan hasil uji pendahuluan setelah penggunaan media dasar MS tidak menghasilkan kalus. Media dasar WT yang merupakan modifikasi media MMS yang memiliki komposisi elemen makro dan mikro yang lebih kecil konsentrasinya dibandingkan media dasar MS. Media ini merupakan media kultur antera Anthurium sp. yang paling baik untuk pembentukan kalus (Winarto 2009). Komposisi media dasar WT terdapat penambahan unsur NaH2PO4.H2O dan rasio NH4+: NO3- = 1: 2,21. Vitamin hanya terdiri atas myo-inositol dan thiamin, di mana myo-inositol lebih tinggi dari MS dan thiamin setengah dari media MS. Kombinasi komposisi media dan konsentrasi hormon yang sesuai diduga juga mempengaruhi komposisi media dasar dalam pembentukan kalus antera Dianthus chinensis. Media AD1 memiliki rasio auksin:sitokinin 0,6:1, AD2 memiliki rasio auksin:sitokinin 1,18:1 lebih tinggi dari AD1. Media AD3 memiliki rasio auksin:sitokinin 2,28:1 dan AD4 memiliki rasio auksin:sitokinin tertinggi yaitu 6,5:1. Media AD4 menambah konsentrasi 2,4-D dua kali lipat, tetapi mengurangi hormon BAP. Ekplan yang ditanam pada media dasar WT yang mengandung 9,04 µM 2,4-D, 5,71 µM NAA, dan

2,27 µM TDZ (media AD4) menghasilkan

persentase terbentuknya kalus tertinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa induksi kalus Dianthus chinensis memerlukan rasio auksin:sitokinin yang tinggi. Hasil yang sama juga terjadi pada penelitian Fu et al. (2008) dan Pareek dan Kothari (2003) pada 3 species Dianthus sp. yaitu D. caryophyllus, barbatus dan chienesis, di mana rasio auksin:sitokinin yang tinggi (10,3:1) diperlukan dalam

53 pembentukan kalus yang embriogenik. Hasil yang sama juga diperoleh Ammirato (1997) dan Frey et al. (1992), yang menggunakan 2,4-D untuk menginduksi kalus embriogenik pada anyelir. 2,4-D merupakan zat pengatur tumbuh kelompok auksin yang umum digunakan untuk menginduksi kalus dalam kondisi gelap. 2,4D mudah diserap sel tanaman, tidak mudah terurai, berfungsi sebagai auksin yang kuat dan mampu mendorong aktivitas morfogenesis (Terzi &Loschiavo 1990). Percobaan 2. Pertumbuhan dan regenerasi kalus hasil kultur antera Dianthus chinensis. Dchi-13 dapat membentuk kalus pada media WT + 4,52 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 2,22 µM BAP dan beregenerasi pada media WT + 2,22 µM BAP, sedangkan Dchi-11 dapat membentuk kalus pada media WT + 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,27 µM TDZ dan beregenerasi pada media WT + 2,22 µM BAP + 0,285 µM NAA. Aplikasi ZPT ke dalam media kultur berperan dalam pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus. Pemberian konsentrasi ZPT yang tinggi umumnya diperlukan untuk proses morfogenesis awal dan digunakan untuk dediferensiasi serta pembentukan sel-sel meristematik. Peran ZPT akan menurun setelah sel aktif membelah. Pada tahap ini kalus akan teregenerasi menjadi dua kelompok sel yaitu sel meristematik dan non meristematik sel (George et al. 2007). Waktu regenerasi dua kalus Dchi-13-148-3 dan Dchi-11-171-4 sama yaitu 8 minggu setelah sub kultur pada media regenerasi. Saat pembentukan kalus rasio auksin lebih tinggi (>2,28:1 ) pada media induksi kalus AD3 dan AD4, sebaliknya pada saat regenerasi, media regenerasi yang memiliki rasio auksin:sitokinin rendah (0,13:1) pada media regenerasi R11 memberikan respon yang positif. Rasio auksin:sitokinin rendah inilah yang diduga berpengaruh terhadap aktivitas pembelahan sel, pertumbuhan dan perkembangan tunas. Media regenerasi R11 menghasilkan persen regenerasi kalus yang lebih tinggi dibandingkan dengan R7 pada genotipe yang sama (Tabel 8). Media regenerasi R11 sesuai untuk genotipe Dchi-11 dan media regenerasi R7 sesuai untuk genotipe Dchi-13. Media regenerasi R7 hanya mengandung zat pengatur tumbuh sitokinin saja yaitu 22,2 µM BAP, sementara media regenerasi R11 mengandung sitokinin 22,2 µM BAP dan auksin 0,285 µM NAA. Ini berarti kehadiran sedikit auksin dalam media akan memberikan hasil yang maksimal. Hasil ini sama dengan yang diperoleh Fu et al. (2008) yang hanya menggunakan BAP dan NAA untuk diferensiasi menjadi

54 tunas. Penggunaan 2,4-Datau TDZ pada kalus hasil kultur antera Dianthus chinensis akan menghambat diferensiasi kalus menjadi tunas. Analisis ploidi Analisis ploidi menggunakan flow cytometer merupakan metode yang sesuai apabila analisis ploidi dengan penghitungan kromosom sulit dilakukan. Pada penelitian ini masing-masing regeneran hanya diambil satu sampel kultur untuk analisis, sehingga hasil akhir yang diperoleh belum mewakili kondisi keseluruhan yang sebenarnya. Sampai saat ini regenerasi kalus menjadi tanaman normal belum dapat diperoleh, karena kalus beregenerasi menjadi bunga prematur. Simpulan Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembentukan kalus pada kultur antera memerlukan auksin (2.4-D) yang lebih tinggi dari sitokinin, sebaliknya regenerasi kalus hasil kultur antera memerlukan sitokinin (BAP) yang lebih tinggi dari auksin. Saran Pada penelitian selanjutnya perlu dicari perlakuan cekaman yang mampu memecah kotak antera pada minggu ke 2 sampai ke 4 (sebelum antera mengalami degenerasi).

55

INDUKSI HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI GINOGENESIS SECARA IN VITRO

Abstrak Tanaman haaploid ginogenik dapat diproduksi dari hasil pembelahan dan regenerasi sel telur yang tidak dibuahi, atau sel haploid lain dalam kantong embrio. Tujuan penelitian ialah mendapatkan metode isolasi kultur ovul atau ovari dalam mendapatkan tanaman haploid, mendapatkan media yang sesuai untuk menginduksi ginogenesis, dan mendapatkan tanaman haploid melalui ginogenesis. Genotipe yang digunakan ialah Dchi-11, Dchi-13, Dchi-14, Dchi-15 dan Dchi-16 dari spesies Dianthus chinensis. Penelitian terdiri atas empat percobaan berdasarkan asal eksplan. Empat eksplan tersebut adalah potongan multi ovul, multi ovul, potongan ovari dan ovari. Masing-masing percobaan disusun secara faktorial terdiri atas dua faktor yaitu faktor genotipe dan faktor media. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa) media yang baik untuk menginduksi kalus ginogenik dari eksplan irisan multi ovul, multi ovul dan irisan ovari, sedang media M6 (WT + 1,13 µM 2,4-D + 0,06 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa) media untuk menginduksi embrio langsung dari kultur ovari. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa media dasar WT sesuai untuk pembentukan embrio langsung dari kultur ovari, sedangkan media dasar MS sesuai unutk membentuk kalus pada kultur multi ovul, ovul dan irisan ovari. Auksin dalam bentuk 2,4-D lebih baik untuk menginduksi kalus ginogenik dibanding NAA. Kalus yang berasal dari kultur multi ovul, ovul dan irisan ovari terinduksi bunga secara in vitro dan diduga menghasilkan mutan abnormalitas pembungaan. Kultur irisan multi ovul dan kultur ovari diduga menghasilkan masing-masing satu tanaman haploid ganda, dan kultur irisan ovari diduga menghasilkan tanaman haploid yang membawa gen dwarf. Kata Kunci: kultur ovul, kultur ovari, media, ginogenesis, haploid ganda

56

HAPLOID INDUCTION OF Dianthus chinensis THROUH IN VITRO GYNOGENESIS

Abstrak Haploid plants can be produced from devision and regeneration of unfertilized egg cell or other cell in embryo sac. The aim of the research were to obtain isolation method of ovule atau ovari culture in obtaining haploid plant, suitable media for gynogenesis induction, and haploid plants by gynogenesis. Dchi-11, Dchi-13, Dchi-14, Dchi-15 and Dchi-16 of Dianthus chinensis species were used in this research. The research consist of four experiment based on explants sources. These four explants were multy ovul slice, multy ovul, ovary and ovary slice. The factorial design included genotipes factor and media factor. The result showed that M10 media (MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sucrose) was the best media in inducing gynogenic callus from multy ovul slice, multy ovul, and ovary slice explants, while M6 media (WT + 1,13 µM 2,4D+ 0,06 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sucrose) for inducing direct embryo from ovary culture. In conclusion, WT basic media was suitable for inducing direct embryo from ovary culture, while MS basic media was suitable for callus formation on culture of multiovule, ovule and ovary slice. Auxin (2,4D) was better than NAA in inducing gynogenic callus. Callus from multy ovul slice, multy ovul, and ovary slice explants produce putative mutant with abnormal flower. Two putative double haploid plants came up from multy ovule and ovary culture, and one haploid plant bringing dwarf gen was obtained. Key words: ovule culture, ovary culture, media, gynogenesis

57 Pendahuluan Pengembangan teknologi haploidisasi merupakan salah satu terobosan teknologi yang dapat diharapkan untuk membangun dan mendorong kebangkitan florikultura di Indonesia. Melalui teknologi ini, tanaman homozigot dapat dihasilkan. Persilangan antara tanaman homozigot akan menghasilkan tanaman hibrida baru yang diperbanyak melalui biji. Keberhasilan pengembangan teknologi ini pada tanaman hias akan bermanfaat dalam penyediaan benih yang berkualitas melalui persilangan konvensional sekaligus menghasilkan varietas unggul baru. Pengembangan teknologi haploid memiliki beberapa keuntungan dan sangat bermanfaat dalam program pemuliaan dan penelitian dasar pada tanaman. Tanaman haploid ganda sebagian besar digunakan untuk galur tetua dalam pembentukan varietas hibrida F1 dalam program pemuliaan. Haploid ganda juga bermanfaat dalam proses seleksi terutama untuk karakter-karakter poligenik, karena rasio genetiknya menjadi lebih sederhana dan jumlah tanaman yang ditapis lebih sedikit untuk mendapatkan genotipe tertentu. Selain itu tanaman haploid ganda berguna untuk studi yang terkait dengan karakter resesif, karena efek dominan tidak menutupi fenotipe resesif dari tanaman. Akhir-akhir ini tanaman haploid ganda banyak dimanfaatkan dalam pemetaan gen dan MAS (markerassisted selection) secara molekuler (Gonzalo et al. 2011). Tanaman haploid yang memiliki jumlah kromosom gametofitik menyediakan sistem yang penting untuk studi mutasi dan seleksi (Reinert et al. 1975, Liu et al. 2005, Suprasanna et al. 2009). Ginogenesis merupakan perkembangan embrio yang berasal dari jaringan embrio maternal atau karena aktivasi sel telur oleh sel sperma yang mengalami degenerasi tanpa bersatu dengan inti sel telur. Ginogenesis dapat dilakukan melalui kultur in vitro, di antaranya ialah kultur ovul dan ovari. Dalam terminologi tanaman, regenerasi haploid ginogenik secara luas digunakan untuk semua metode induksi haploid yang menggunakan gametofit betina sebagai sumber sel haploid, tanpa memperhatikan prosesnya dari pseudofertilisasi atau tidak (Bohanec 2009). Haploid ginogenik dapat diinduksi dari hasil isolasi ovul, ovari atau bahkan kuncup bunga (Keller 1990, Bohanec et al. 1995, Jakse et al.1996).

58 Kultur ovul dan kultur ovari untuk mendapatkan tanaman haploid telah banyak dimanfaatkan pada tanaman bawang merah (Martinez et al, 2000, Alan et al. 2004, Musial et al. 2005), Cucurbita sp. (Shalaby 2007), Gerbera jamesonii (Meynet and Sibi, 1984; Miyoshi dan Asakura 1996), Solanum tuberosum (Tao et al. 1985) dan Lycopersicon esculentum Mill. (Bal and Abak 2003). Produksi tanaman haploid melalui ginogenesis dilakukan hanya pada tanaman yang sulit diperoleh melalui androgenesis yang tidak dapat diperoleh regeneran yang viabel (Obert et al. 2009). Haploid ginogenik dapat diproduksi dari hasil pembelahan sel telur yang tidak dibuahi, atau sel haploid lain dalam kantong embrio seperti sel sinergid atau sel antipodal (Shivanna 2003). Pada tanaman bawang merah ginogenesis melalui kultur ovul dan ovari sudah banyak diaplikasikan. Embrio haploid bawang merah (77,6%) dihasilkan melalui ginogenesis

32 klon (Cohat 1994). Keller (1990) memperoleh tiga tanaman

haploid bawang merah dari 287 tanaman (1,05%), sedangkan Geoffriau et al. (1997) dan Alan et al. (2004) memperoleh tanaman haploid berturut-turut 0 – 17% dari 22 varietas dan 1100 tanaman ginogenik Allium cepa L. dari 47000 yang diinduksi (2,34%). Pada tanaman Cucurbitaa pepo L. diperoleh 0 – 48% pada tanaman (Shalaby 2007). Induksi ginogenesis pada tanaman Flax (Linum usitatissimum L.) memerlukan pra perlakuan pada suhu 8 oC selama 72 jam dilanjutkan dengan pra perlakuan suhu 32 oC selama 8 jam untuk menginduksi kalogenesis kultur ovari (Obert et al. 2009). Tanaman Allium cepa dan Lycopersicon esculentum Mill. memerlukan pra perlakuan berbeda yaitu suhu 10 ◦C selama 4–23 hari (Alan et al. 2004; Bal % Abak 2003). Sementara pada beberapa tanaman seperti Nicotiana rustica (Katoh & Iwai 1993) dan Cucurbita pepo L. (Shalaby 2007) tidak memerlukan praperlakuan. Tujuan penelitan ini ialah mendapatkan metode isolasi kultur ovul atau ovari dalam mendapatkan tanaman haploid, mendapatkan media yang sesuai untuk menginduksi ginogenesis, dan mendapatkan tanaman haploid melalui ginogenesis. Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Rumah Sere Balai Penelitian Tanaman Hias, Segunung dan Puslitbang Biologi LIPI untuk analisis histologi dan flow cytometri, dari Januari 2011 – Mei 2012. Penelitian menggunakan Dianthus chinensis koleksi Balai Penelitian Tanaman Hias, berasal

59 dari stek pucuk berumur 6 bulan yang ditanam di pot berukuran 17 cm di Kebun Percobaan Cipanas, pada ketinggian tempat 1100 m di atas permukaan laut.

Gambar 15. Morfologi dan irisan mikroskopis eksplan untuk kultur ovul dan ovari. (A) kuncup bunga tahap T7 (Bar = 5 mm), (B) kantong embrio ovul pada tahap T7 berisi dua inti (Bar = 20 µm), (C) multi ovul (Bar = 1 mm), (D) irisan multi ovul ((E) ovari (Bar = 2 mm), (F) irisan ovari (Bar = 1 mm), (G) cara tanam kultur ovari (Bar = 2mm). Percobaan 1. Induksi Ginogenesis melalui Kultur Irisan Multi Ovul Kultur irisan multi ovul (Gambar 14D) berasal dari poros bunga berisi multi ovul (Gambar 14C) yang dipotong menjadi empat bagian. Percobaan faktorial menggunakan lima genotipe yaitu Dchi-11, Dchi-13, Dchi-14, Dchi-15, dan Dchi-16 dan lima macam media yaitu M6 = WT + 1,13 µM 2,4-D+ 0,06 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa (Winarto 2009), M7 = MS + 9,04 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa (Fu et al. 2008), M8 = MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1 sukrosa (Sato et al, 2000), M9 = MS + 0,57 µM NAA + 4,54 µM TDZ + 20 g L-1 sukrosa (Nontaswatsri et al. 2007) dan M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa (Mosquera et al. 1999).. Eksplan yang digunakan ialah ovul pada kuncup bunga tahap T7 (Gambar 15A) yang telah terbentuk kantong embrio (Gambar 15B). Kuncup bunga diberi pra perlakuan penyimpanan pada suhu 4 oC selama 1 hari. Ovari disterilisasi dan dibuka, multi ovul dipotong menjadi empat bagian. Selanjutnya irisan ovul ditanam pada lima macam media induksi. Semua media yang dicobakan ditambah 2,7 mM L-glutamin dan 0,9 mM L-prolin. Kultur diinkubasi dalam kondisi gelap

60 pada suhu 4 oC selama 1 minggu, kemudian dilanjutkan pada suhu inkubasi 25 oC pada kondisi terang. Percobaan faktorial disusun dalam rancangan acak kelompok 3 ulangan. Faktor pertama ialah genotipe dan faktor kedua ialah media induksi. Setiap unit percobaan terdiri atas satu cawan petri berisi 4 potongan eksplan yang berasal dari satu ovari. Pengamatan kalus dilakukan pada 1 bulan setelah tanam. Data yang diperoleh dalam bentuk persen ditransformasi ke dalam Arcsin. Untuk nilai 0% sebelum ditransformasi diganti dengan 1/4n, di mana n ialah jumlah satuan percobaan dari data persentase diperoleh. Ekaplan yang tumbuh diisolasi dan disubkultur pada media WT + 2,22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa. Analisis ragam dilakukan menggunakan program SAS Release window 9.1 untuk melihat pengaruh nyata/tidak nyata dari perlakuan. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji wilayah berganda Duncan 5%. Percobaan 2. Induksi Ginogenesis melalui Kultur Multi Ovul Percobaan menggunakan eksplan kultur multi ovul (Gambar 14C). Genotipe D. chinensis yang digunakan yaitu Dchi-11 dan Dchi-15. Kuncup bunga diberi pra perlakuan penyimpanan pada suhu 4 oC selama 1 hari, kemudian disterilisasi menggunakan alkohol 70%, dan dibakar sebentar. Lapisan luar ovari dibuka, selanjutnya multi ovul ditanam pada dua macam media induksi yaitu M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa (Mosquera et al. 1999) dan M11 =WT + 9,04 µM 2,4-D + 5,71 µM NAA + 2,22 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa. Kultur diinkubasi dalam kondisi gelap pada suhu 4oC selama 1 minggu dilanjutkan dengan inkubasi terang pada suhu 25 oC. Percobaan faktorial disusun dalam rancangan acak kelompok dengan ulangan 5 kali. Faktor pertama ialah media induksi, dan faktor kedua ialah genotipe. Setiap ulangan terdiri atas satu cawan petri berisi dua multi ovul. Pengamatan dilakukan pada persentase terbentuknya kalus atau embrio 1 bulan setelah tanam. Data yang diperoleh dalam bentuk persen ditransformasi ke dalam Arcsin. Untuk nilai 0% sebelum ditransfromasi diganti dengan 1/4n, di mana n ialah jumlah satuan percobaan. Kultur multi ovul yang menghasilkan kalus pada jaringan ovul dilanjutkan untuk diregenerasikan pada media WT + 2.22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa. Analisis ragam dilakukan menggunakan program SAS Release window 9.1 untuk melihat pengaruh nyata/tidak nyata dari perlakuan. Jika terdapat

61 perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji wilayah berganda Duncan 5%. Percobaan 3. Induksi Ginogenesisi melalui Kultur Ovari Penelitian menggunakan empat genotipe D. chinensis yaitu Dchi-11, Dchi13, Dchi-14 dan Dchi-15 untuk induksi kalus. Eksplan yang digunakan untuk menginduksi kalus atau embrio ialah ovari dari kuncup bunga pada tahap T7 (Gambar 15E). Kuncup bunga diberi praperlakuan penyimpanan pada suhu 4oC selama 1 hari, kemudian disterilisasi menggunakan alkohol 70%, dilewatkan di atas lampu spirtus dan ditanam pada dua media induksi M6 = WT + 1,13 µM 2,4D + 0,06 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa dan M8 = MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1 sukrosa. Kultur diinkubasi dalam kondisi gelap pada suhu 4 oC selama 1 minggu, dilanjutkan dengan inkubasi terang pada suhu 25 oC. Percobaan faktorial disusun dalam rancangan acak kelompok dengan 5 ulangan. Faktor pertama ialah genotipe dan faktor kedua ialah media induksi. Setiap unit percobaan terdiri atas satu cawan petri berisi 5 ovari. Pengamatan persentase terbentuknya kalus dari jaringan ovari, poros bunga dan ovul dilakukan pada 1 bulan setelah tanam. Data yang diperoleh dalam bentuk persen ditransformasi ke dalam Arcsin. Untuk nilai 0% sebelum ditransfromasi diganti dengan 1/4n, di mana n ialah jumlah satuan percobaan. Kalus yang tumbuh langsung diisolasi dan disubkultur pada media regenerasi WT + 2,22 µM BAP + 0,285 mgL-1 NAA + 30 gL-1 sukrosa. Media WT (Winarto et al. 2011) merupakan modifikasi media MS hasil penelitian Winarto (2009). Analisis ragam dilakukan menggunakan program SAS Release Window 9.1 untuk melihat pengaruh nyata/tidak nyata dari perlakuan. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji wilayah berganda Duncan 5%. Percobaan 4. Induksi Ginogenesis melalui Kultur Irisan Ovari Kultur irisan ovari diaplikasikan pada dua genotipe yaitu Dchi-11 dan Dchi-13 pada tahap T7 (Gambar 14F). Kuncup bunga diberi perlakuan penyimpanan pada suhu 4 oC selama 1 hari, kemudian ovari dipotong menjadi empat bagian dan di tanam pada 3 macam media induksi M6 =1,13 µM 2,4-D + 0,06 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa (Winarto, 2009), M7= MS +

62 9,04 µM 2,4-D + 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa (Fu et al. 2008) dan M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa (Mosquera et al. 1999). Kultur diinkubasi dalam kondisi gelap pada suhu 4 oC selama 1 minggu kemudian dilanjutkan pada dengan inkubasi terang pada suhu 25 oC. Percobaan faktorial disusun dalam rancangan acak kelompok 4 ulangan. Faktor pertama ialah genotipe dan faktor kedua ialah media induksi. Setiap unit percobaan terdiri atas satu cawan petri berisi 4 potongan eksplan. Pengamatan kalus dilakukan pada 1 bulan setelah tanam. Pengamatan dilakukan pada persentase terbentuknya kalus. Data yang diperoleh dalam bentuk persen ditransformasi ke dalam Arcsin. Untuk nilai 0% sebelum ditransformasi diganti dengan 1/4n, di mana n ialah jumlah satuan percobaan dari data persentase diperoleh. Regenerasi eksplan yang membentuk kalus diseleksi kemudian disubkultur pada media WT + 0,06 µM NAA + 2,22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa. Setelah planlet terbentuk, planlet dipindahkan ke media MS tanpa ZPT. Analisis ragam dilakukan menggunakan program SAS Release Window 9.1 untuk melihat pengaruh nyata/tidak nyata dari perlakuan. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji wilayah berganda Duncan 5%. Analisis ploidi Evaluasi awal level ploidi planlet dilakukan pada planlet dengan mengamati jumlah kloroplas dalam sel penjaga stomata pada daun ke 3-4. Hasil analisis jumlah kloroplas dalam sel penjaga stomata di verifikasi melalui pengamatan langsung pada kromosom yang dilakukan di Puslitbang Biologi LIPI menggunakan potongan meristem pucuk berdasarkan metode Darnaedi (1991). Potongan tersebut direndam dalam larutan 0,002 M 8-Hydroxyquinolin selama 3-5 jam pada suhu 4 oC, kemudian dibilas dengan akuades, dan difiksasi dalam 45% asam asetat selama 10 menit. Potongan pucuk (meristem) dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi campuran larutan1 N HCl dan 45% asam asetat dengan perbandingan 1:3, kemudian diinkubasi ke dalam air dengan suhu 60 oC selama 15 menit, dan diwarnai dengan aceto-orcein 2%. Setelah itu potongan meristem ditekan pada object glass, kemudian diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 1000 x untuk perhitungan jumlah kromosom. Selain mengamati jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata dan jumlah kromosom, juga dilakukan anaisis ploidi dengan flow cytometer. Analisis ploidi

63 ini dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong menggunakan alat CyFlow® space (Partec GmbH) yang dilengkapi dengan diode pumped solidstate laser 920 mW) pada panjang gelombang 488 nm and laser diode pada panjang gelombang 638 nm (25 mW). Potongan daun (0.5 cm2) dicacah menggunakan silet di dalam cawan petri yang berisi 250 µl buffer ekstraksi. Setelah 30 – 90 detik buffer ekstraksi disaring menggunakan Partec 30 µl CellTrics filter. Pewarnaan menggunakan PI (Propidium Iodide) dan Rnase (1 ml), selanjutunya diinkubasi selama 30 menit sebelum dianalisis dalam flow cytometer. Sebagai kontrol digunakan tanaman yang telah diketahui ploidinya. Analisis isozim Bahan tanaman menggunakan daun yang masih segar (1 g). Daun tersebut digunting halus dimasukkan ke dalam mortar yang telah diberi pasir kuarsa dengan menambahkan buffer pengekstrak sebanyak 0,5 ml, kemudian digerus sampai halus. Selanjutnya kertas saring yang ukurannya disesuaikan dengan kebutuhan dimasukkan dalam mortar untuk menyerap cairan sel daun yang telah hancur. Kertas saring yang telah menyerap cairan sel dari setiap sampel dibersihkan untuk kemudian disisipkan pada gel yang telah dilubangi. Elektroforesis dilakukan dalam ruangan atau lemari es pada suhu antara 5 – 10 oC. Elektroforesis awal selama 30 menit pada 100 volt dan dielektroforesis tetap pada 150 atau 200 watt selama 3 sampai 4 jam. Setelah selesai elektroforesis gel dibelah menjadi dua atau tiga (sesuai ketebalan) pada posisi horizontal. Kertas saring sebelumnya dikeluarkan dari lubang-lubang. Lembaran gel dimasukkan dalam nampan, kemudian diberi pewarna esterase (EST) dan peroksidase (PER). Nampan selanjutnya ditutup dengan aluminium foil diinkubasi pada suhu ruang sampai muncul pita-pita pada gel yang cukup jelas. Pewarna esterase (EST) mengandung 100 m Sodium fosfat pH 7 (100 ml), 1-Naftil asetat (50 mg), 2-Naftil asetat (5 mg), dan Aseton (100 mg). Pewarna peroksidase (PER) mengandung 50 mM Natrium asetat pH 5(100 ml), CaCl2 (50 mg), H2O2 3% (0,5 ml), 3-Amino-9etilkarbason(50 mg), Aseton/N,NDimethylformamid (5 ml). Setelah pewarnaan gel dicuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian difiksasi dengan 50% gliserol ; 50% etanol. Kemudian gel didokumentasi.

64 Hasil Percobaan 1. Induksi Ginogenesis melalui Kultur Irisan Multi Ovul Eksplan irisan multi ovul ialah poros bunga yang berisi ovul, yang dipotong menjadi empat bagian. Eksplan yang berwarna putih tersebut langsung ditanam dalam media inisiasi. Tahap inisiasi awal, ovul akan membesar dan sampai pada minggu ke dua inisiasi, bila ovul dan poros bunga berubah menjadi berwarna hijau menunjukkan bahwa eksplan tersebut berespon terhadap komponen media dan hormon. Kemudian setelah tiga minggu ovul atau poros bunga akan mengalami dediferensiasi membentuk kalus. Persentase kalus dihitung berdasarkan banyaknya kalus yang terbentuk pada setiap eksplan. Eksplan yang tidak berespon terhadap media induksi, maka jaringan ovul akan mati dan berwarna coklat kehitaman (Gambar 16A dan B). Eksplan yang responsif pada media, ovul maupun poros bunga akan tetap berwarna hijau dan terlihat adanya inisiasi kalus (Gambar 16C dan D).

Gambar 16. Pembentukan kalus pada eksplan irisan multi ovul A. ovul dan poros bunga tidak membentuk kalus, poros bunga dan ovul mati, B. kalus terbentuk pada poros bunga, ovul mati C. kalus terbentuk pada ovul. D kalus pada poros bunga dan ovul. Hasil penelitian pada kultur irisan multi ovul menunjukkan bahwa setiap genotipe memberikan respon yang berbeda. Persentase rata-rata terbentuknya kalus pada irisan multi ovul berkisar 0 – 29,17% (Tabel 10). Hasil analisis varians diperoleh bahwa interaksi antara media induksi dengan genotipe berpengaruh nyata. Pengaruh interaksi media dengan genotipe ini menunjukkan bahwa genotipe berespon spesifik terhadap media tertentu (Tabel 10). Genotipe Dchi-11 membentuk kalus pada media M6 (WT + 1,13 µM 2,4-D + 0,06 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa), Dchi-13 dan Dchi-16 pada media M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa), serta Dchi-14 dan Dchi-15 pada M7 (MS + 9,04 µM 2,4-D + 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa). Semua genotipe tidak memberi respon yang baik terhadap media M8 dan M9.

65 Berbeda dengan media M6, M7 dan M10, kedua media tersebut tidak mengandung auksin dalam bentuk 2,4-D. Hasil ini sama dengan kultur antera pada media padat, dimana kalus terbentuk pada antera yang ditanam pada media inisiasi kalus yang mengandung 2,4-D. Persentase terbentuknya kalus tertinggi dicapai oleh genotipe Dchi-11 pada media M6. Media M6 terdiri atas media dasar WT dengan penambahan 1,13 µm 2,4-D+ 0.06 µm NAA + 2,27 µm TDZ. Tabel 10. Interaksi media dengan genotipe terhadap persen hasil pembentukan kalus pada kultur irisan multi ovul pada umur 4 MSI (minggu setelah inisiasi). Media M6 M7 M8 M9 M10 Rata-rata

Persen terbentuknya kalus pada berbagai genotipe Dchi-11 29,17 D d 14,58 C b 0,00 A a 2,08 AB a 8,33 BC a 10.83 a

Dchi-13 Dchi-14 16,67 B 4,17 A c ab 12,50 B 27,08 C a c 0,00 A 10,42 AB a b 6,25 B 4,17 A ab ab 25,00 C 12,5 B bc a 12.08 a 11.67 a

Dchi-15 4,17 A b 25,69 d cd 4,17 A ab 12,5 BC b 18,75 C ab 13.06 a

Dchi-16 0,00 A a 12,5 B a 2,08 A a 2,08 A a 27,08 C c 8.75 a

Rata-rata 10.83 A 18.47 B 3.33 A 5.42 A 18.33 B

Keterangan: Angka rataan yang diikuti oleh huruf latin yang sama dalam baris yang sama, huruf kapital pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata menurut uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%. M6 = WT + 1,13 µM 2,4-D+ 0,06 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa, M7 = MS + 9,04 µM 2,4D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa, M8 = MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1 sukrosa, M9 = MS + 0,57 µM NAA + 4,54 µM TDZ + 20 g L-1 sukrosa dan M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa Regenerasi Kalus hasil kultur irisan multi ovul diseleksi dan dipilih kalus yang dominan berasal dari bagian ovul. Bagian dan diregenerasikan pada dua media regenerasi (Tabel 11). Media R11 (WT + 0,06 µM NAA + 2,22 µM BAP) lebih baik dibandingkan dengan media R7 (WT + 2.22 µM BAP) untuk regenerasi kalus ginogenik. Sebagian besar kalus dari semua jenis eksplan beregenerasi menghasilkan pembungaan lebih awal yang langsung keluar dari kalus atau melalui terbentuknya daun dengan batang atau internode yang pendek, dan bunga keluar setelah buku ke 1 – 3. Kuncup bunga dan organ-organ lain keluar tidak bersamaan, sedangkan kalus genotipe Dchi-14 tidak mampu beregenerasi.

66 Hasil pengamatan menunjukkan bahwa saat munculnya tunas dari eksplan yang berasal dari irisan multi ovul beragam. Apabila bunga muncul langsung dari kalus menghasilkan bunga yang abnormal yang memiliki variasi susunan bagianbagian bunga yaitu mahkota bunga + kelopak (Gambar 17A); Kelopak + antera (Gambar 17B); Kelopak saja (Gambar 17C) dan kelopak + putik (Gambar 17D).

Tabel 11. Regenerasi kalus empat genotipe hasil kultur irisan multi ovul Jenis eksplan

Genotipe

Media asal (inisiasi kalus)

Media regenerasi

Jumlah kalus yang ber organogenesis

R7 R11

Jumlah massa kalus/ embrio 6 7

Irisan multi ovul

Dchi-11 Dchi-11 Dchi-13 Dchi-13 Dchi-14 Dchi-14 Dchi-15 Dchi-15 Dchi-15 Dchi-15

M10 M10 M10

R7

3

0

M10 M10 M7 M7

R11 R7 R11 R7

3 1 1 2

1 0 0 0

11 -

M7 M10 M10

R11 R7 R11

1 3 4

1 0 3

28 14 - 28

2 4

Saat muncul tunas (MSI) 12 - 32

Keterangan: MSI = minggu setelah inisiasi. R7 (WT + 2,22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa); R8 (WT + 0,44 µM BAP + 30 gL-1 sukrosa) dan R11 (WT + 0,06 µM NAA + 2,22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa)

Gambar 17. Hasil regenerasi dari kalus yang terinduksi membentuk bunga tidak lengkap (A) petal dan kelopak saja, (B) antera dan kelopak saja, (C) kelopak saja dan (D) kelopak dan putik saja. (E dan F) pemanjangan batang genotipe Dchi11-42 pada media WT + 0,5 mg L-1 Gibberelin + 15 g L-1 sukrosa, bunga masih keluar dari ujung tunas, (G) hasil aklimatisasi regeneran dengan bagian bunga sepal dan petal, (H) sepal dan antera, (I) sepal saja.

Upaya untuk mendapatkan regeneran yang tumbuh menjadi planlet yang normal dilakukan dengan menambahkan 0,5 mg L-1 Gibberelin pada media dasar

67 WT + 15 g L-1 sukrosa. Sampai saat ini upaya ini berhasil hanya pada Dchi-11 hasil kultur irisan multi ovul (Dchi-11-42 dan Dchi-11-134) tetapi bunga masih tetap muncul pada tunas baru (Gambar 17E dan F) bahkan bunga masih keluar setelah aklimatisasi (Gambar 17G, H dan I). Aklimatisasi Hasil aklimatisasi regeneran Dchi-11-42 dan Dchi-11-134 hasil kultur irisan multi ovul yang terinduksi bunga prematur mampu tumbuh di lapang dan regeneran tetap memiliki bagian-bagian bunga yang sama seperti pada saat in vitro. Hasil kultur irisan multi ovul hanya satu regeneran yang tumbuh menjadi tanaman normal yaitu Dchi-11-34. Dchi-11-34 berjumlah 13 tanaman yang bervariasi pada bentuk dan ukuran tanaman serta bentuk petal (Gambar 18A). Untuk melihat regeneran tersebut apakah berasal dari jaringan vegetatif atau generatif dari maternal maka sampel Dchi-11-34-1 dilakukan selfing (Gambar 18C) dan di analisis dengan isozim (Gambar 19).

Gambar 18. Morfologi tanaman dan bunga hasil kultur irisan multi ovul. (A) variasi

bentuk petal diantara Dchi-11-34, (B) tanaman Dchi-11-34-1, (C) keseragaman tanaman hasil selfing Dchi-11-34-1.

A

B

Gambar 19. Hasil analisis isozim dengan enzim (A) peroksidase,(B) esterase pada tanaman hasil kultur irisan multi ovul. 11 = tanaman donor Dchi-11; 34 = regeneran hasil kultur irisan multi ovul Dchi-11-34.

68 Hasil analisis isozim diperoleh bahwa sampel tanaman Dchi-11-34-1 memiliki jumlah pita berbeda satu pita dibanding kontrol (tanaman donor Dchi11)

berdasarkan

enzim

peroksidase,

sedangkan

sistem

enzim

esterase

memperlihatkan posisi pita yang sama dengan tanaman donor, namun memiliki ketebalan yang berbeda. Hasil sellfing Dchi-11-34-1 dan diperoleh progeni yang seragam pada fase generatif (Gambar 19C) sehingga terdapat indikasi kemungkinan Dchi-34-1 adalah haploid ganda. Percobaan 2. Induksi Ginogenesis melalui Kultur Multi Ovul Multi ovul ialah eksplan yang terdiri atas poros bunga yang berisi ovul utuh tanpa dipotong-potong. Media untuk kultur multi ovul yang digunakan ialah M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa) dengan media dasar MS yang merupakan media rata-rata terbaik yang diperoleh pada faktor tunggal kultur irisan multi ovul. Media yang lain yaitu M11 (WT + 9,04 µM 2,4D + 5,71 µM NAA + 2,22 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa) merupakan modifikasi dari media M6 dengan media dasar WT pada percobaan kultur irisan multi ovul namun tanpa asam amino L-glutamin dan L-prolin serta perubahan konsentrasi pada ZPT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media M10 mampu menginduksi kalus pada jaringan ovul baik genotipe Dchi-11 maupun Dchi-15. Namun kalus yang terbentuk pada jaringan poros bunga lebih tinggi dari pada jaringan ovul (Gambar 20). Pada media M11 kedua genotipe tidak mampu membentuk kalus pada jaringan ovul. Pengurangan asam amino menyebabkan terhambatnya pembentukan kalus pada jaringan ovul.

Pembentuka kalus (%)

%kalus pada ovul

%kalus pada poros bunga

100 80 60 40 20 0 M10Dchi-11

M10Dchi-15

M11Dchi-11

M11Dchi-15

Kombinasi media dan genotipe

Gambar 20. Diagram persentase pembentukan kalus genotipe Dchi-11 dan Dchi15 pada media M10 dan M11 pada kultur multi ovul. M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa, M11 = WT + 9,04 µM 2,4-D+ 5,71 µM NAA + 2,22 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa.

69 Hasil analisis pembentukan kalus pada jaringan poros bunga dan ovul menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengaruh faktor media dan genotipe. Perbandingan pembentukan kalus pada jaringan ovul disajikan dalam bentuk diagram batang (Gambar 21). Perkembangan kalus pada jaringan somatis hanya dapat dihitung untuk mengukur kemampuan media pada perkembangan jaringan somatis yang bukan merupakan tujuan dari penelitian ini. Regenerasi Hasil regenerasi eksplan multi ovul Dchi-11 dan Dchi-15 pada media regenerasi R7 dan R11 diperoleh pada genotipe Dchi-11 dari media asal M10 yang terbentuk tunas pada minggu ke 16 setelah inisiasi (Gambar 20A, C, E). Genotipe Dchi-15 membentuk tunas pada minggu ke 32 setelah inisiasi (Tabel 12). Kalus pada genotipe Dchi-11 merupakan kalus yang remah, sedang kalus pada genotipe Dchi-15 kalus kompak yang tumbuh tunasnya lambat (Gambar 20B, D, F). Tabel 12. Organogenesis kalus dan saat munculnya tunas genotipe D. chinensis Dchi-11 pada media regenerasi R7 dan Dchi-15 pada media regenerasi R11 dari media asal M10 Genotipe Dchi-11 Dchi-15

Media asal (inisiasi kalus) M10 M10

Media regenerasi R7 R11

Jumlah Jumlah kalus massa kalus/ yang ber embrio organogenesis 2 1 4 1

Saat muncul tunas (MSI) 16 32

Keterangan: MSI = minggu setelah inisiasi. R7 (WT + 2,22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa); R8 (WT + 0,44 µM BAP + 30 gL-1 sukrosa) dan R11 (WT + 0,06 µM NAA + 2,22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa) Perbedaan waktu regenerasi kemungkinan terjadi karena perbedaan genotipe dan perbedaan media regenerasi. Dari hasil percobaan 1 genotipe Dchi11 respon pada kedua media regenerasi R7 dan R11, sedangkan genotipe Dchi-15 hanya respon pada media R11.

70

B

A

C

E

D

F

Gambar 21. Pembentukan kalus dan regenerasi kalus menjadi tunas pada genotype Dchi-11 dan Dchi-15 dari media asal M10. (A, C, E) kalus dan tunas hasil regenerasi kalus Dchi-11-16, (B, D, F) kalus dan tunas hasil regenerasi kalus Dchi-15-19, (E) bunga yang muncul prematur dari kalus (anak panah putih), (F) tunas Dchi-15 yang tumbuh lambat. (A– E) Bar = 1 cm, (F) Bar = 5 mm Analisis ploidi dapat dilakukan pada tahap awal dengan flow cytometer. Sampel Dchi-11-16 diambil dari kalus yang telah beregenerasi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa regeneran memiliki ploidi yang sama dengan tanaman kontrol yaitu diploid (Gambar 22). File: Anyelir Kontrol Date: 17-02-2012 Time: 09:12:43

partec CyFlow

Particles: 7401 Acq.-Time: 254 s

200

160

A

2C

counts

120

80

4C

40

0

0

200

File: Anyelir 16 Date: 17-02-2012 Time: 10:35:33

400

FL1 -

600

800

1000 partec CyFlow

Particles: 14471 Acq.-Time: 179 s

800

B

640

counts

480

320

2C 160

0

0

200

4C 400

FL1 -

600

800

1000

Gambar 22. Histogram DNA hasil analisis flow cytometer: (A) tanaman kontrol, (B) planlet hasil kultur multi ovul Dchi-11-16.

71 Percobaan 3. Induksi Ginogenesis melalui Kultur Ovari Percobaan kultur ovari dilakukan dengan membandingkan dua media yang memiliki komponen bahan kimia makro dan mikro, zat pengatur tumbuh dan kandungan sukrosa yang berbeda yaitu media MS dan WT. Kedua media tersebut memiliki rasio sitokinin lebih tinggi dari auksin. Media M8 yang berisi media dasar MS tidak ada ovari yang respon, yang ditunjukkan dengan terjadinya degenerasi pada ovari yang lama kelamaan mengecil dan mengalami vitrifikasi (Gambar 22A). Media M8 ini merupakan media yang digunakan untuk kultur ovul dalam bentuk penyelamatan embrio Dianthus caryophyllus (Sato et al. 2000) yang dimodifikasi dengan penambahan 2,7 mM L- glutamin. Media M6 merupakan media yang digunakan untuk kultur antera tanaman Anthurium (Winarto 2009) yang juga dimodifikasi dengan penambahan 2,7 mM L-Glutamin. Media M6 menghasilkan 1 ovari Dchi-15 yang respon dari total 25 ovari yang ditanam (Gambar 22B). Satu ovari tersebut menghasilkan embrio yang langsung beregenerasi membentuk tanaman lengkap. Ovari yang menghasilkan embrio berwarna hijau, membesar dan tidak mengalami vitrifikasi. Perkembangan ukuran ovari ini diharapkan dapat menjadi ukuran keberhasilan penggunaan media. Pada akhirnya perkembangan ovari tersebut mampu menginduksi perkembangan embrio, sehingga embrio tumbuh menembus melalui pangkal dinding ovari (Gambar 22B), dan akhirnya beregenerasi (Gambar 22C).

Gambar 23. Kultur ovari (A) Genotipe Dchi-15pada media M6 yang tidak berespon, (B) terbentuknya embrio langsung genotipe Dchi-15 pada media M6, (C) regenerasi embrio membentuk planlet pada genotype Dchi-15. Bar = 1 mm Berdasarkan hasil analisis ploidi regeneran hasil kultur ovari Dchi-15-3 dengan mengamati jumlah kloroplas dan kromosom pada sel meristem tunas apikal diperoleh regeneran yang diduga haploid dengan variasi jumlah kloroplas berkisar antara 10 – 20 dan jumlah kromosom yang dapat diamati dengan jelas ialah 17 dan 18 (Gambar 24D dan E). Dari hasil pengamatan kromosom terlihat

72 adanya penggandaan komplemen kromosom yang tidak diikuti dengan pembentukan dinding sel kromosom (Gambar 24F).

Gambar 24 Analisis ploidi pada regeneran Dchi-15 hasil kultur ovari. (A) planlet untuk analisis jumlah kloroplas dan jumlah kromosom, (B) kloropas pada ke dua sel penjaga regeneran Dchi-15, (C) kloroplas pada ke dua sel penjaga tanaman kontrol diploid (D) jumlah kromosom regeneran (n=17), (E) jumlah kromosom regeneran (n=18) (F) endopoliploidi pada sel meristem (panah hitam) Hasil analisis dengan flow cytometer diperoleh bahwa ploidi regeneran Dchi-15-3 sama dengan tanaman kontrol yaitu diploid. Diduga tanaman telah mengalami penggandaan. Untuk membuktikan bahwa regeneran tersebut ialah haploid ganda, regeneran tersebut dilakukan selfing. Hasil kultur ovari diperoleh bunga yang bervariasi pada bentuk dan warna petal. Variasi bunga ini memberikan indikasi kemungkinan karena variasi dari embrio yang tumbuh langsung dari kultur ovari (Gambar 25).

Gambar 25. Variasi warna dan bentuk bunga dan ketebalan warna putih pada tepi bunga tanaman donor dan hasil kultur ovari Dchi-15. (A) bunga dari tanaman donor Dchi-15-3, (B-H) bunga dari tanaman hasil kultur ovari Dchi-15-3

73 Hasil isozim pada sampel Dchi-15-3 dengan enzim peroksidase dan esterase menunjukkan bahwa regeneran Dchi-15-3

memiliki pola pita yang

berbeda dibandingkan tetua donornya Dchi-15 (Gambar 26). Hasil ini menunjukkan bahwa kemungkinan Dchi-15-3 berasal dari

jaringan generatif

tanaman donor maternal. Kemungkinan lain adalah terjadinya variasi somaklonal.

A

B

Gambar 26. Hasil analisis isozim dengan enzim (A) esterase dan (B) peroksidase pada tanaman hasil kultur ovari. 15 = tanaman donor Dchi-15, 3 = regeneran Dchi-15-3 Tanaman donor Dchi-15 memiliki tipe bunga picotee (bunga dengan tepi petal berbeda warna). Tanaman donor ini dikenal dengan nama komersial seri “Telstar”.

Telstar merupakan hasil persilangan antara Dianthus chinensis x

Dianthus barbatus (Strope & Trees 2003). Percobaan 4. Induksi ginogenesis melalui kultur irisan ovari Penelitian irisan kultur ovari dilakukan karena persentase pembentukan embrio dari eksplan kultur ovari sangat rendah (4%). Lapisan luar ovari/dinding ovari pada kultur ovari (Percobaan 3) kemungkinan menjadi penghalang transfer nutrisi dalam media yang diperlukan untuk pertumbuhan embrio, sehingga ovari yang dipotong-potong memberi peluang eksplan menerima asupan unsur hara dan hormon. Hasil yang diperoleh berbeda dengan percobaan 3, karena genotipe yang digunakan berbeda. Pada percobaan 3, ekplan kultur ovari membentuk embrio yang langsung beregenerasi, sedangkan pada penelitian ini eksplan irisan ovari membentuk kalus (Gambar 27). Hasil penelitian pada kultur irisan ovari menunjukkan persentase terbentuknya kalus berkisar antara 0% sampai 68,75% (Tabel 13). Dengan eksplan kultur irisan ovari, ovul masih terbungkus oleh lapisan luar ovari (dinding ovari), maka tingkat kematian ovul dapat dikurangi.

74 Hasil analisis varians diperoleh bahwa interaksi antara media dengan genotipe berpengaruh nyata. Dari tiga media yang dicobakan, Dchi-11 responsif pada media M7 (MS + 9,04 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa) dan dan M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa), sedang genotipe Dchi-13 hanya responsif pada media M10 (Tabel 11). Genotipe Dchi11 dan Dchi-13 tidak responsif pada media M6 (Gambar 28).

Gambar 27. Pembentukan kalus pada eksplan irisan ovari dari setiap genotipe pada media induksi. (A) kalus Dchi-13 pada media M10, (B) kalus Dchi-11 pada media M10, (C) kalus Dchi-11 pada media M7 dan (D) kalus pada Dchi-11 yang tidak respon pada media M6. Anak panah kuning lapisan luar ovari, anak panah merah ovul tidak berkalus. Tabel 13. Interaksi media dengan genotipe terhadap persentase pembentukan kalus pada kultur irisan ovari umur 4 minggu setelah inisiasi Media M6 M7 M10 Rata-rata

Persentase pembentukan kalus pada genotipe Dchi-11

Dchi-13

0,00 a A 25,00 a B 18,75a A 14,58 A

0,00 a A 0,00 a A 68,75 b B 22,92 A

Rata-rata 0,00 b 12,50 ab 43,75 a

Keterangan: Angka rataan yang diikuti oleh huruf latin yang sama dalam kolom yang sama, huruf kapital pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata menurut uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%. M6 = WT + 1,13 µM 2,4-D+ 0,06 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa, M7 = MS + 9,04 µM 2,4D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa, dan M10 = MS + 4,52 µM 2,4D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa

Pembentukan kalus (%)

75 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 M10V11 M10V13 M7V11

M7V13

M6V11

M6V13

Kombinasi media dan genotipe Gambar 28. Persentase pembentukan kalus yang berasal dari eksplan irisan ovari genotipe Dchi-11dan Dchi-13 pada 3 macam media. M6 = WT + 1,13 µM 2,4-D+ 0,06 µM NAA + 2,27 µM TDZ + 30 g L-1 sukrosa, M7 = MS + 9,04 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa dan M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP+ 20 g L-1 sukrosa. Regenerasi Hasil kultur irisan ovari hanya empat kalus yang dilanjutkan untuk diregenerasi (Tabel 14). Hasil regenerasi hanya kalus Dchi-11-125 yang dapat tumbuh. Dua tanaman dapat diaklimatisasi dan menghasilkan tanaman yang berbeda morfologinya satu sama lain dan berbeda dengan tanaman donornya. Satu tanaman tumbuh normal, berbunga dan memiliki antera, sedang satu tanaman menghasilkan pertumbuhan abnormal pendek (dwarf), berbunga tetapi tidak menghasilkan antera (Gambar 29), sehingga diduga tanaman ini adalah haploid. Tabel 14. Organogenesis dari kalus pada genotipe dari jenis eksplan irisan ovari, genotipe dan media asal pada kultur irisan ovari Genotipe Dchi-11 Dchi-13 Dchi-13

Media asal (inisiasi kalus) M7 M10 M10

Media regenerasi R11 R7 R11

Jumlah massa kalus/ embrio 1 2 1

Jumlah kalus yang ber organogenesis 1 0 0

Saat muncul tunas (MSI) 18 -

Keterangan: MSI = minggu setelah inisiasi. R7 (WT + 2,22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa); R8 (WT + 0,44 µM BAP + 30 gL-1 sukrosa) dan R11 (WT + 0,06 µM NAA + 2,22 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa)

76

A

B

D

E

C

F

Gambar 29. Tanaman donor dan morfologi bunga hasil kultur irisan ovari. (A,D) tanaman dan bunga donor Dchi-11, (B, E) tanaman dan bunga hasil kultur irisan ovari Dchi-11-123-1. (C, F) tanaman dan bunga hasil kultur irisan ovari Dchi-11-125-2. Pembahasan Ginogenesis merupakan upaya lain pembentukan kalus atau embrio yang tidak berhasil/sulit dilakukan dengan menggunakan antera (androgenesis). Pada androgenesis perkembangan serbuk sari merupakan faktor yang penting. Biasanya tahap serbuk sari late-uninucleate merupakan target yang responsif untuk mengubah gametofitik menjadi sporofitik. Sebaliknya pada ginogenesis kisaran tahap perkembangan ovul untuk diinduksi sangat lebar. Pada tanaman gula bit kuncup bunga untuk kultur ovul diisolasi pada umur 1-3 hari sebelum antesis (Ferrant & bouharmont 1994). Sedangkan pada tanaman Dianthus chinensis hasil yang terbaik ialah umur 10 hari (tahap T7). Induksi Ginogenesis melalui kultur irisan multi ovul Media M8 dan M9 mengandung auksin dalam bentuk NAA dan media M6, M7 dan M10 mengandung auksin dalam bentuk 2,4-D. Jenis auksin yang berbeda ini yang menyebabkan perbedaan pembentukan kalus. Pada penelitian ini penggunaan 2,4-Dlebih baik dibandingkan NAA untuk menginduksi kalus Dianthus chinensis. Menurut Komatsuda (1992) NAA yang diaplikasikan pada tanaman kedelai hanya mampu membentuk embriosomatik pada jaringan epidermis eksplan, sementara 2,4-D mampu menjangkau jaringan eksplan yang

77 lebih luas. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Komatsuda (1992), bahwa eksplan yang ditanaman pada media yang mengandung 2,4-Dmampu membentuk kalus pada seluruh permukaan eksplan (Gambar 15D). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat 2,4-Dyang mudah diserap sel tanaman, tidak mudah terurai, berfungsi sebagai auksin yang kuat dan mampu mendorong aktivitas morfogenetik (Terzi & Loschiavo 1990). Media M8 merupakan media yang digunakan oleh Sato et al. (2000) untuk menumbuhkan embrio hasil pseudofertilisasi, sedangkan media M9 digunakan Nontawatsri et al. (2007) untuk kultur antera Dianthus chinensis. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara respon kultur ovul dan antera pada spesies yang sama. Hal yang sama juga terjadi pada tanaman Cucurbita sp. (Shalaby 2007), bawang (Alan et al. 2004), serta pada gula bit (Lux & Wetzel 1990). Bahkan pada gula bit terjadi perbedaan respon antar kultur ovul dan antera pada genotipe yang sama.

Induksi kalus dan embrio melalui kultur multi ovul Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asam amino diperlukan untuk induksi kalus pada jaringan ovul. Sesuai dengan penelitian Bal dan Abak (2003) bahwa pada kultur ovari tanaman tomat, kultur ovul memerlukan asam amino yang lengkap, seperti asam amino glutamin, prolin, serin, alanin, arginin dan glisin. Komposisi media bervariasi sangat luas di antara spesies-spesies tanaman, Komponen media in vitro yang paling penting ialah fitohormon yang digolongkan sebagai faktor induksi, tetapi pada perbanyakan kultur in vitro, jumlah fitohormon yang digunakan (auksin dan sitokinin) untuk embriogenesis ginogenik juga bervariasi. Hal yang sama juga berlaku untuk penggunaan sukrosa. Sukrosa yang tinggi menguntungkan untuk ginogenesis terutama spesies monokotil, sedangkan spesies lain, misal garbera kebutuhan karbohidrat lebih rendah (Bohanec 2009). Induksi Ginogenesisi melalui kultur ovari Media M6 yang mengandung media dasar WT merupakan media yang potensial untuk menginduksi embrio pada kultur ovari walaupun persentase terbentuknya embrio masih rendah. Media dasar WT memiliki komposisi unsur

78 makro dan mikro yang lebih dibandingkan dengan media M8 yang mengandung media dasar MS. Perbedaan lain antara media M6 dan M8 adalah penggunaan sumber N M6 memiliki rasio NH4:NO3 yang lebih rendah dari M8. M8 memiliki rasio NH4:NO3 = 1:2, sedangkan M6 1:2,16. Rendahnya respon masing-masing genotipe diduga karena belum optimalnya media induksi yang digunakan. Kemungkinan lain ialah posisi persentuhan ovari dengan media yang menyebabkan pangkal dari ovari tidak mampu mengabsorbsi unsur-unsur yang diperlukan embrio untuk tumbuh. Hal ini terjadi karena sulitnya mempertahankan ovari pada posisi vertikal, sehingga bagian pangkal tidak masuk ke dalam media. Sebagian besar ovari berubah dengan posisi horizontal, karena ovari menjadi licin. Lapisan luar ovari ini menjadi penghalang transfer unsur-unsur media yang diperlukan untuk pertumbuhan embrio. Selain media untuk pertumbuhan embrio, faktor lain yang mungkin berpengaruh ialah genotipe tanaman donor, umur fisiologis tanaman donor, tahap perkembangan ovul, pra perlakuan dan lingkungan kultur (suhu, kelembaban, dan cahaya) (Sopori & Munshi 1996). Alan et al. (2003) dan Alan et al. (2004) mengkombinasikan praperlakuan suhu rendah 4oC inkubasi, inkubasi gelap dan terang untuk menginduksi embriogenesis langsung dari ovari. Sedangkan menurut Shalaby (2007) pada tanaman Cucurbita pepo L. praperlakuan pada suhu 32 oC menghasilkan jumlah ovul yang ginogenik yang tinggi dibandingkan dengan suhu 4oC. Induksi ginogenesis melalui kultur irisan ovari Pada beberapa penelitian ginogenesis formula media banyak digunakan untuk mendukung pertumbuhan embrio haploid dari pada untuk pengubahan lintasan gametofitik ke sporofitik. Komposisi media bervariasi sangat luas di antara spesies-spesies tanaman, meskipun fitohormon digolongkan sebagai faktor induksi. tetapi pada perbanyakan in vitro, jumlah fitohormon yang digunakan (auksin dan sitokinin) untuk embriogenesis ginogenik juga bervariasi. Hal yang sama juga berlaku untuk penggunaan karbohidrat. Konsentrasi yang tinggi (biasanya

sukrosa)

menguntungkan

untuk

ginogenesis

terutama

spesies

monokotil, sedangkan pada spesies dikotil (misal garbera) kebutuhan karbohidrat rendah (Bohanec 2009). Hasil penelitian ini ditemukan pula fenomena kondisi abnormalitas pembungaan. Regenerasi kalus pada kultur ovul dan ovari hampir semua membentuk bunga yang langsung keluar tanpa melalui fase vegetatif. Tanaman

79 Dianthus sp. merupakan tanaman hari panjang yang akan berbunga pada kondisi penyinaran hari panjang. Abnormalitas pembungaan terjadi kemungkinan karena adanya mutasi hasil kultur in vitro. Kemungkinan lain pemicu pembungaan premature adalah melalui jalur fotoperiodisitas, yang mengaktifkan

gen waktu pembungaan yaitu gen CO

(constant) yang menginduksi pembungaan. Gen CO yang berada di dalam daun mengaktifkan ekspresi gen LEAFY dan APETALA1 pada meristem reproduktif yang langsung mengontrol inisiasi pembungaan. Pengaruh selanjutnya adalah terjadinya perubahan atau mutasi yang terjadi pada gen-gen yang mengatur organorgan pembungaan. Pada penelitian ini perubahan tersebut terjadi dalam bentuk abormalitas pembungaan yang digambarkan dalam model ABC (Gambar 30).

A

B

C

D

E

F

G

Gambar 30. Mutan pembungaan homeotik ABC model pada Dianthus chinensis. (A) wild type Dianthus chinensis, (B) mutan pembungaan tersusun atas sepal dan petal, (C ) mutan pembungaan tersusun atas sepal petal dan karpel, (D) mutan pembungaan tersusun atas sepal, stamen, karpel, (E) mutan pembungaan tersusun atas karpel dan sepal, (F) mutan pembungaan tersusun atas sepal dan stamen, (G) mutan pembungaan tersusun atas sepal. A (kotak merah)=kelompok gen A yang mengatur perkembangan sepal dan petal, B (kotak kuning)=kelompok gen B yang mengatur perkembangan petal dan stamen, C (kotak hijau)=kelompok gen C yang mengatur perkembangan stamen dan karpel. Tanaman normal (wild type) memiliki gen-gen A, B dan C yang bekerja menghasilkan bagian-bagian bunga seperti sepal, petal, antera dan karpel (Gambar 29A). Apabila hanya gen A dan B yang bekerja, akan menghasilkan sepal dan petal (Gambar 30B dan C). Jika hanya gen B dan C yang bekerja menghasilkan stamen dan karpel saja (Gambar 29D). Jika hanya gen C saja yang bekerja menghasilkan pistil saja (Gambar 29E). Jika hanya gen B saja yang bekerja menghasilkan kelopak dan antera (Gambar 30F). jika hanya gen A yang bekerja menghasilkan kelopak saja (Gambar 29G). Tipe-tipe mutasi ini berbeda dengan tipe mutasi yang ada di Arabidopsis.

80 Selain mutasi pembungaan yang muncul, pada penelitian ini tanaman yang membawa gen dwarf terekspresi pada Dchi-11-125-2.

Simpulan 1. Media dasar WT sesuai untuk pembentukan embrio langsung dari kultur ovari, sedangkan media dasar MS sesuai unutk membentuk kalus pada kultur multi ovul, ovul dan irisan ovari. 2. Auksin dalam bentuk 2,4-D lebih baik untuk menginduksi kalus ginogenik dibanding NAA. 3. Kalus yang berasal dari kultur multi ovul, ovul dan irisan ovari terinduksi bunga secara in vitro dan diduga menghasilkan mutan abnormalitas pembungaan. 4. Kultur irisan multi ovul dan kultur ovari diduga menghasilkan masing-masing satu tanaman haploid ganda, dan kultur irisan ovari diduga menghasilkan tanaman haploid yang membawa gen dwarf.

81

INDUKSI TANAMAN HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI PSEUDOFERTILISASI Abstrak Induksi partenogenesis menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma telah dilakukan pada tanaman Dianthus chinensis. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan tanaman haploid melalui pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma. Percobaan pseudofertilisasi dilakukan dua kali. Pada percobaan pertama, dosis iradiasi sinar gamma 100 Gy diaplikasikan pada serbuk sari dua genotipe dari spesies Dianthus chinensis Dchi-11 dan D.chi-13. Ovari hasil pseudofertilisasi dipanen pada umur 10-14 hari. Penyelamatan embrio hasil pseudofertilisasi ditanam di dua media uji yaitu media M8 (MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BA + 2,7 mM glutamin + 0,9 mM prolin + 60 g L-1 sukrosa) dan media M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µM BA + 2,7 mM glutamin + 0,9 mM prolin + 20 g L-1 sukrosa). Pada percobaan kedua, tiga level dosis iradiasi sinar gamma 100, 200 dan 300 Gy diaplikasikan pada serbuk sari genotipe Dchi-11. Penyelamatan embrio menggunakan media MS + 0.057 µM NAA + 2,22 µM BA + 2,7 mM glutamin + 0,9 mM prolin + 30% sukrosa. Embrio yang berhasil tumbuh disubkultur di media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis 100 Gy merupakan dosis minimum untuk menonaktifkan serbuk sari dan menginduksi partenogenesis. Semua media uji untuk penyelamatan embrio dapat digunakan untuk membantu pertumbuhan embrio. Penyerbukan menggunakan serbuk sari yang diradiasi 100 – 200 Gy dapat menginduksi partenogenesis Dianthus sp. menghasilkan tujuh tanaman haploid (PF69.1; PF69.2; C11; D231; D9.1; D9.2 dan D19.1). Frekuensi tanaman haploid yang diperoleh adalah 5,1 tanaman haploid dari 100 persilangan. Pseudofertilisasi menghasilkan putatif mutan dwarf pada D9.1 dan D231 serta mutan abnormalitas pembungaan. Tanaman haploid ganda langsung dapat digunakan sebagai tetua persilangan untuk mendapatkan tanaman hibrida F1. Kata kunci: Dianthus chinensis, tanaman haploid, partenogenesis, iradiasi serbuk sari

82

HAPLOID PLANTS INDUCTION OF Dianthus chinensis TROUGH PSEUDOFERTILIZATION Abstract Parthenogenesis induce by irradiated pollen was ivestigated for the Dianthus chinensis. The objective of this study was to obtain haploid plants through pseudofertilization with irradiated pollen. Pseudofertilization consists of two unit experiment. The first experiment was 100 Gy gamma ray dose applicated on two genotipes (Dchi-11 and D.chi-13) of Dianthus chinensis pollen. Ovari obtained from pseudofertilization were harvested 10-14 days after pseudofertilization. Embryos were rescued on two medium of M8 (MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BA + 2,7 mM glutamine + 0,9 mM proline + 60 g L-1 sucrose) and M10 (MS + 4,52 µM 2,4-D + 4,44 µM BA + 2,7 mM glutamine + 0,9 mM proline + 20 g L-1 sucrose). The second experiment was three level dose of gamma irradiated pollen (100, 200 and 300 Gy) applicated on Dchi-11 pollen. Embryos rescued on MS medium supplemented with 0.057 µM NAA + 2,22 µM BA + 2,7 mM glutamine + 0,9 mM proline + 30% sucrose. Enlarged embryos were subcultured in free MS medium. Result showed that 100 Gy dose was minimum dose to inactivate pollen inducing artificial parthenognetic. All medium tested could be used to emerged embryo growth. Pollination using 100-200 Gy gamma irradiated pollen dose can induce Dianthus chinensis parthenogenesis produce five haploid plants (PF69.1; PF69.2; C11; D231; D9.1; D9.2 dan D19.1). Frequency haploid plant as 5,1 haploid plants from 100 crossing. Putative mutant dwarf of D9.1 and D231 were obtained from pseudofertilization. Haploid plant could be used for parent to obtain hybrid F1. Key words: Dianthus chinensis, haploid plant, parthenogenesis, irradiated pollen

83 Pendahuluan Spesies-spesies tanaman Dianthus yang lebih dikenal dengan tanaman anyelir (carnation) beradaptasi di daerah pegunungan Alpine di Eropa dan Asia, serta ditemukan pula di daerah Mideterranean. Tanaman ini pada umumnya adalah tanaman diploid (2n = 2x = 30). Bentuk tetraploidnya juga telah ditemukan, sedang tanaman triploidnya diproduksi untuk tujuan komersial, tetapi sebagian besar tanaman ini adalah aneuploid

(Brooks, 1960). Ketersediaan

kultivar anyelir di pasar pada umumnya adalah tanaman diploid (Galbally & Galbally, 1997). Menurut Sparnaaij dan Koehorst-van Putten (1990) spesiesspesies komersial seperti D. barbatus, D. japonicus, D. chienensis dan D. superbus merupakan spesies-spesies yang sering digunakan untuk transfer karakter kegenjahan ke tanaman anyelir. Dianthus chinensis merupakan spesies yang paling adaptif baik pada hari pendek dan hari panjang serta paling genjah diantara spesies yang lain. Potensi untuk mendapatkan tanaman haploid dengan frekuensi yang tinggi dari kultur serbuk sari yang belum masak dan kultur ovul yang tidak diserbuk telah banyak diteliti. Teknik lain untuk mendapatkan tanaman haploid adalah parthenogenesis. Partenogenesis merupakan sel telur yang berkembang menjadi embrio tanpa fertilisasi (Kasha dan Maluczynski 2003). Partenogenesis dapat dilakukan melalui pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dan digunakan untuk penyerbukan. Pseudofertilisasi dengan memanfaatkan serbuk sari yang diradiasi diikuti dengan penyelamatan embrio telah banyak diterapkan pada beberapa tanaman buah-buahan yaitu plum (Peixe et al. 2000), kiwi (Chalak and Legave, 1997), Melon (Katoh et al. 1993), jeruk (Bermejo et al. 2011), sedangkan pada tanaman hias telah dilakukan pada primula (Carraro et al. 1990), bunga matahari (Todorova et al. 2004), mawar (Meynet et al. 1994), anyelir (Dianthus caryophillus) (Sato et al. 2000; Dolcet-Sanjuan et al. 2001) dan tanaman lain seperti kapas (Aslam, 2000; Savaskan, 2002). Pada buah-buahan banyak menghasilkan buah tanpa biji (partenokarpi) yang disebabkan oleh embrio yang mengalami degenerasi (Sugiyama et al. 2002). Pada tanaman apel tanaman haploid berhasil diregenerasi setelah diserbuk dengan polen yang diiradiasi sinar gamma pada level dosis 200 – 500 Gy diikuti dengan penyelamatan embrio pada umur 2-3 bulan setelah penyerbukan dengan media MS (Zhang et al. 1991).

84 Sementara pada tanaman mawar dosis 500 Gy merupakan dosis yang minimum untuk menginduksi parthenogenesis (Meynet et al. 1994). Pada tanaman melon dosis yang diperlukan adalah 300 Gy sinar Gamma. Pada tanaman anyelir, Sato et al. (2000) menggunakan dosis iradiasi 100 Krad sinar X. Sementara DolcetSanjuan et al. (2001) menggunakan dosis iradiasi 1000 Gy sinar gamma untuk mendapatkan tanaman yang tahan Fusarium oxysporum. Penelitian Sato et al (2000) dengan perlakuan iradiasi sinar X 100 kRad pada serbuk sari sebagai donor polen menghasilkan 300 ovari yang berhasil ditanam, tetapi hanya 55 ovari yang berhasil tumbuh dan beregenerasi. Dari 55 ovari yang beregenerasi tersebut, 1 regeneran adalah haploid, sementara 54 regeneran lainnya bersegregasi pada generasi selfing selanjutnya. Sementara dosis iradiasi sinar X 200 Gy diperoleh 100 ovari, tetapi hanya 1 ovari saja yang tumbuh, dan tidak bersegregasi pada generasi selfing selanjutnya. Dari hasil penelitian Sato et a.l (2000) ini, menunjukkan bahwa penggunaan sinar X kurang efektif untuk menonaktifkan perkecambahan serbuk sari, sehingga pada percobaan 1 ini digunakan sinar gamma untuk menggantikan sinar X. Tujuan penelitian adalah mendapatkan dosis iradiasi sinar gamma yang dapat menonaktifkan serbuk sari untuk pseudofertilisasi dan mendapatkan tanaman haploid melalui penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma. Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan tanaman hias, Cipanas dan Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Hias, Segunung dengan ketinggian tempat 1100 m dpl mulai April 2011 sampai Juli 2012. Penelitian terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama bertujuan untuk mendapatkan media yang sesuai untuk penyelamatan embrio. Percobaan ke dua merupakan pengembangan hasil percobaan pertama dengan meningkatkan dosis perlakuan iradiasi.

Penelitian

terdiri atas dua percobaan (1) Pseudofertilisasi dengan dosis 100 Gy (2) Pseudofertilisasi dengan dosis 0, 50, 100, 200, 300 Gy Percobaan 1. Pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis 100 Gy Pada percobaan ini dicari donor ovul dan serbuk sari yang sesuai untuk mendapatkan tanaman haploid. Bahan tanaman untuk donor ovul menggunakan

85 spesies Dianthus chinensis D-chi11, Dchi-14 dan D-chi15 koleksi Balai Penelitian Tanaman Hias. Donor serbuk sari diambil dari spesies Dianthus chinensis D.chi13 dan D.chi14 yang telah berumur 6 bulan. Tanaman ditanam di pot ukuran 17 cm dengan media tanaman campuran humus daun bambu:arang sekam: pupuk kandang = 2:1:1. Prosedur Pelaksanaan Koleksi serbuk sari, iradiasi dan penyerbukan Serbuk sari diambil dari kuncup bunga berukuran 1,8 cm pada tahap T8 (umur 11 hari) dikumpulkan dalam cawan petri dan diiradiasi menggunakan sinar gamma pada alat Gamma chamber 4000 A (CAIRT-BATAN, Indonesia) dengan laju dosis 80 kRad/jam per April 2011. Dosis yang digunakan adalah dosis tunggal 100 Gy. Setelah diiradiasi, sampel serbuk sari diuji aktivitasnya dengan menumbuhkannya pada larutan sukrosa 15% pada suhu inkubasi 25 oC, selama 24 jam serta dengan pewarnaan aceto-orcein. Kemudian diamati di bawah mikroskop untuk memastikan bahwa serbuk sari tidak aktif. Serbuk sari yang tidak aktif dilihat dari ketidak mampuannya berkecambah setelah 24 jam. Satu hari sebelum penyerbukan, bunga betina reseptif diemaskulasi kemudian ditutup dengan kertas untuk menghindari penyerbukan dari serbuk sari yang tidak diinginkan. Penyerbukan dilakukan dengan menempelkan serbuk sari yang telah diradiasi pada kepala putik dan ditutup kembali dengan kantong kertas. Penyelamatan embrio Buah dipetik pada umur 10 hari sampai 14 hari setelah penyerbukan. Buah dibersihkan dengan akuades steril, kemudian diikuti sterilisasi alkohol 96% selama 10 detik kemudian dilewatkan di atas api sekilas. Buah yang telah steril dibelah dan embrio muda yang membengkak ditanam pada media. Media yang diuji ialah media M8 = MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1 sukrosa (Sato et al. 2000), dan M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 20 g L-1 sukrosa (Mosquera et al. 1999). Dua media tersebut dimodifikasi dengan penambahan 2,7 mM L-glutamin + 0,9 mM L-prolin. Kultur embrio muda diinkubasi dalam ruang dengan suhu 25 oC dengan penyinaran 16 jam tiap hari dengan intensitas cahaya 1000 – 1700 lux. Embrio yang tumbuh menjadi tanaman kemudian disubkultur pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Pengamatan

86 dilakukan terhadap jumlah persilangan, jumlah ovari yang dipanen, jumlah ovari gugur, jumlah ovari yang diselamatkan, jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata, dan jumlah kromosom yang diambil pada meristem pucuk. Evaluasi Ploidi Evaluasi tingkat ploidi awal tanaman dilakukan dengan menghitung jumlah kloroplas dalam sel penjaga stomata pada daun yang telah membuka sempurna (daun ke 3 – 5). Lapisan daun bagian bawah dikupas dan ditempatkan pada gelas preparat, ditambah beberapa tetes aquades, dan ditutup dengan gelas penutup, kemudian diperiksa di bawah mikroskop pada perbesaran 10 x 10 dan 10 x 40. Penghitungan jumlah kromosom dilakukan di Puslitbang Biologi LIPI menggunakan potongan meristem. Potongan tersebut direndam dalam larutan 0,002 M 8-Hydroxyquinolin selama 3-5 jam pada suhu 4 oC, kemudian dibilas dengan akuades, dan difiksasi dalam 45% asam asetat selama 10 menit. Potongan pucuk (meristem) dimasukkan pada campuran larutan1 N HCl dan 45% asam asetat dengan perbandingan 1:3 pada air dengan suhu 60 oC selama 1-5 menit, dan diwarnai dengan aceto-orcein 2%, dilakukan squashing kemudian di amati di bawah mikroskop. Verifikasi tingkat ploidi dilakukan dengan menggunakan alat flow cytometer PARTEC CCA untuk PF35.1, PF42, dan PF79 yang dilakukan di Balai Besar Biogen dengan membuat suspensi dari potongan daun muda sekitar 1 cm2 yang dilarutkan dengan 1 ml buffer ekstraksi. Suspensi disaring menggunakan mikrofilter 0.2 µm, dimasukkan dalam Cuvet dan diwarnai dengan 4,6-diamidino2-phenylindole (DAPI). Cuvet dimasukkan pada alat flow cytometer yang telah dioptimasi menggunakan suspensi kontrol diploid Dianthus chinensis Dchi-11. Penentuan ploidi juga dilakukan dengan alat flow cytometer CyFlow® space di Pusat Penelitian Biologi LIPI, menggunakan buffer PI, untuk PF35.1 dan PF89. Penentuan plodi PF69.1 dan PF69.2 dilakukan di East West Seed Indonesia menggunakan buffer Ewindo. Analisis isozim Analisis dengan isozim dilakukan untuk melihat adanya keragaman hasil pseudofertilisasi. Bahan tanaman menggunakan daun yang masih segar (100 – 200 g). Daun tersebut digunting halus dimasukkan ke dalam mortar yang telah diberi pasir kuarsa, dengan menambahkan buffer pengekstrak sebanyak 0,5 ml,

87 kemudian digerus sampai halus. Selanjutnya kertas saring yang ukurannya disesuaikan dengan kebutuhan dimasukkan dalam mortar untuk menyerap cairan sel daun yang telah hancur. Kertas saring yang telah menyerap cairan sel dari setiap sampel dibersihkan untuk kemudian disisipkan pada gel yang telah dilubangi. Elektroforesis dilakukan dalam ruangan atau lemari es pada suhu antara 5 – 10 oC. Elektroforesis awal selama 30 menit pada 100 volt dan dielektroforesis tetap pada 150 atau 200 watt selama 3 sampai 4 jam. Setelah selesai elektroforesis gel dibelah menjadi dua atau tiga (sesuai ketebalan) pada posisi horizontal. Kertas saring sebelumnya dikeluarkan dari lubang-lubang. Lembaran gel dimasukkan dalam nampan, kemudian diberi pewarna esterase (EST) dan peroksidase (PER). Nampan selanjutnya ditutup dengan aluminium foil diinkubasi pada suhu ruang sampai muncul pita-pita pada gel yang cukup jelas. Pewarna esterase (EST) mengandung 100 m Sodium fosfat pH 7 (100 ml), 1-Naftil asetat

(50 mg), 2-

Naftil asetat (5 mg), dan Aseton (100 mg). Pewarna peroksidase (PER) mengandung 50 mM Natrium asetat pH 5 (0,5 ml), 3-Amino-9etilkarbason

(100 ml), CaCl2 (50 mg), H2O2 3%

(50 mg), Aseton/N,N-Dimethylformamid (5

ml). Setelah pewarnaan gel dicuci dengan air mengalir sampai bersih, kemudian difiksasi dengan 50% gliserol ; 50% etanol. Kemudian gel didokumentasi. Percobaan 2. Pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan berbagai macam dosis sinar gamma 0, 50, 100, 200 dan 300 Gy Bahan tanaman menggunakan Dianthus chinensis D.chi-11 (hasil terbaik pada percobaan 1 koleksi Balai Penelitian Tanaman Hias sebagai donor ovul. Serbuk sari dambil dari Dianthus chinensis D.chi-14 yang banyak menghasilkan serbuk sari. Prosedur Pelaksanaan Koleksi serbuk sari, iradiasi dan penyerbukan Kuncup bunga dari serbuk sari Dchi-14 pada tahap T8 (11 hari setelah inisiasi bunga) dikumpulkan dalam cawan petri dan diiradiasi menggunakan sinar gamma pada dosis 50, 100, 200, dan 300 Gy pada alat Gamma chamber 4000 A (CAIRT-BATAN, Indonesia) dengan laju dosis 1 kRad/48 detik pada tanggal 23 Agustus 2011. Sebagai kontrol adalah serbuk sari tanpa diiradiasi. Sampel dari serbuk

sari

yang

diiradiasi

setiap

dosis

diamati

aktivitasnya

setelah

dikecambahkan pada larutan sukrosa 15% pada suhu inkubasi 25 oC, selama 24

88 jam. Kemudian dihitung persentase serbuk sari yang berkecambah dalam satu bidang pandang. Penghitungan dilakukan pada enam bidang pandang sebagai ulangan. Kuncup bunga dari donor ovul di emaskulasi satu hari sebelum penyerbukan dan disungkup dengan kandung kertas untuk menghindari serbuk sari dari bunga lain. Penyerbukan dilakukan dengan menempelkan serbuk sari yang telah diradiasi pada kepala putik dan ditutup kembali dengan kantong kertas. Penyerbukan dengan serbuk sari tanpa diiradiasi digunakan sebagai kontrol. Penyelamatan embrio Buah dipanen pada umur dua minggu setelah penyerbukan.

Buah

dibersihkan dengan akuades steril, kemudian diikuti sterilisasi dengan alkohol 96% selama 2 detik kemudian dilewatkan di atas api sekilas. Buah yang telah steril dibelah dan embrio muda ditanam pada media.

Buah yang telah steril

dikultur pada media MS + 0.057 µM NAA + 2,22 µM BA + 2,7 mM glutamin + 0,9 mM prolin and 30% sukrosa. Kultur embrio muda diinkubasi dalam ruang dengan suhu 25 oC dengan penyinaran 16 jam tiap hari dengan intensitas cahaya 1000 – 1700 lux. Embrio yang tumbuh menjadi tanaman kemudian disubkultur pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh. Plantlet yang telah berakar kemudian diaklimatisasi pada kondisi luar dengan media coco peat steril. Evaluasi Ploidi Pemeriksaan

ploidi

awal

secara

tidak

langsung

menggunakan

penghitungan jumlah kloropas pada sel penjaga stomata dengan analisis flow cytometry.

Analisis ploidi ini dilakukan di Pusat Penelitian Biologi LIPI,

Cibinong menggunakan alat

CyFlow® space (Partec GmbH yang dilengkapi

dengan diode pumped solid-state laser 920 mW) pada panjang gelombang 488 nm and laser diode pada panjang gelombang 638 nm (25 mW). Potongan daun (0.5 cm2) dicacah menggunakan silet di dalam Petri discs yang berisi 500 µl buffer ekstraksi. Setelah 30 – 90 detik buffer ekstraksi disaring menggunakan Partec 50 µl CellTrics filter. Pewarnaan menggunakan PI (Propidium Iodide) dan Rnase (2 ml), selanjutnya diinkubasi selama 30 – 60 menit sebelum dianalisis dalam flow cytometry. Sebagai kontrol (diploid) digunakan daun muda dari Dianthus chinensis D.chi-11.

89 Hasil Percobaan 1. Pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gaam pada dosis 100 Gy Efek iradiasi pada perkecambahan serbuk sari terlihat bahwa serbuk sari yang diiradiasi pada dosis iradiasi 100 Gy menghambat perkecambahan serbuk sari (Gambar 31C) dibandingkan dengan serbuk sari yang tidak di iradiasi. Serbuk sari yang tidak diiradiasi mampu berkecambah sempurna (Gambar 31A,B). Selain itu pada dosis 100 Gy kemampuan menyerap pewarna aceto-orcein berkurang (Gambar 31E) dibandingkan dengan kontrol yang mampu menyerap pewarna aceto-orcein secara intensif (Gambar 31D). Hasil ini menunjukkan bahwa serbuk sari non aktif pada dosis iradiasi 100 Gy.

A

B

C

D

E

Gambar 31. Pengaruh iradiasi terhadap aktifitas serbuk sari yang dikecambahkan pada larutan sukrosa 15%. (A dan B) serbuk sari tanpa diiradiasi, berkecambah (C) serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 100 Gy (D) penyerapan pewarna aceto-orcein yang kuat dari serbuk sari kontrol, (E) penyerapan warna aceto-orcein yang lemah dari sebuk sari yang diradiasi pada dosis 100 Gy, Bar = 10 µM. Buah hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi, dipanen mulai umur 10 sampai 21 hari. Buah yang dipanen adalah buah yang berwarna hijau, sedangkan buah berwarna coklat menandakan buah tersebut telah gugur. Dari hasil observasi diperoleh bahwa umur 14 hari merupakan umur maksimal buah dapat dipanen, selebihnya buah akan gugur. Dari sebanyak 123 persilangan yang telah dilakukan, 77 buah (62 %) dapat dipanen, 46 buah (38%) buah gugur (berwarna coklat). Dari 77 buah yang dipanen hanya 41 buah diteruskan untuk di kultur. Perlakuan iradiasi pada serbuk sari untuk penyerbukan mampu menginduksi partenogenesis dan diperoleh tujuh poros bunga (karpel) yang membawa biji belum masak yang selanjutnya ditanam di media penyelamatan embrio. Biji Dianthus chinensis dalam kondisi masak berwarna hitam. Jumlah poros bunga yang membawa biji yang ditanam di media M8 sebanyak 21 dan di

90 media M10 sebanyak

20. Hasil penyelamatan embrio ini diperoleh 7 karpel

(0,13%) yang berisi 10 biji belum masak dan berhasil ditanam (Tabel 15). Tabel 15. Pengaruh media terhadap jumlah buah yang berhasil tumbuh dari ovari hasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma Media

Jumlah karpel yang ditanam

Jumlah ovari yang tumbuh pada berbagai pseudofertilisasi ♂Serbuk sari Dchi-14 ♂Serbuk sari Dchi-13

♀Dchi-11 ♀Dchi-15 ♀Dchi-15 ♀Dchi-14 M8 21 16 (4)* 1 (1)* 1 3 M10 20 17 (2)* 3 0 0 Keterangan : *) angka di dalam kurung adalah embrio yang berhasil tumbuh

M8=MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1 sukrosa M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa

Embrio mulai tumbuh menjadi tunas pada minggu ke 4 setelah kultur. Selanjutnya ovari yang ditanam diberi kode PF03, PF35, PF42, PF69, PF74, PF79, dan PF89. PF 35, PF69 dan PF74 menghasilkan dua embrio, sedangkan yang lain hanya satu embrio. Pada pertumbuhan selanjutnya PF03 mati dan PF74 terkontaminasi. Enam embrio yang tersisa dapat tumbuh langsung menjadi tunas, sedangkan embrio dari PF89 yang dipanen umur 10 hari terinduksi menjadi kalus. (Gambar 32).

A

D

B

E

C

F

G

Gambar 32. Embrio yang berhasil tumbuh dari enam ovari hasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma. (A) PF35.1 (B) PF42 (C) PF69.1 (D) PF69.2 (E) PF74 (F) PF79 dan (G) PF89. Bar = 0,5 cm

91 Dari Tabel 15 menunjukkan bahwa kedua media perkecambahan M8 dan M10 dapat digunakan sebagai media penyelamatan embrio. Namun M8 menghasilkan persentase tumbuh embrio yang lebih tinggi dibanding M10. Jumlah sukrosa M8 lebih tinggi dan menggunakan auksin NAA sedang media M10 menggunakan auksin 2,4-D. Hal yang sama juga terjadi pada mawar (Meynet et al. 1994) bahwa embrio dapat berkecambah di semua media uji dan tidak ada pengaruh penggunaan hormon yang berbeda-beda. Namun sebagian besar regeneran mengalami vitrifikasi. Embrio yang berhasil tumbuh pada media M8 dan M10 pada umumnya berasal dari pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari Dchi-14 (Tabel 16). Tidak ada satupun donor serbuk sari berasal dari Dchi-13 yang berhasil mendorong pembentukan embrio pada Dchi-14 dan Dchi-15. Tabel 16. Jumlah embrio yang tumbuh dari setiap ovari hasil pseudofertilisasi Kode ovari PF03 PF35 PF42 PF69 PF74 PF79 PF89

Betina Dchi-11 Dchi-11 Dchi-11 Dchi-11 Dchi-11 Dchi-11 Dchi-15

Donor polen Dchi-14 Dchi-14 Dchi-14 Dchi-14 Dchi-14 Dchi-14 Dchi-14

Media M8 M8 M8 M8 M8 M10 M10

Jumlah embrio tumbuh 1+ 2# 1 2 2* 1 1

Keterangan: *) terkontaminasi +) planlet mati #) 1 embrio mati M8=MS + 1,9 µM NAA + 4,44 µM BAP + 60 g L-1 sukrosa M10 = MS + 4,52 µM 2,4-D+ 4,44 µM BAP + 30 g L-1 sukrosa

Evaluasi tingkat ploidy Dari total 10 embrio yang telah tumbuh terdapat 4 embrio terkontaminasi dan mati yaitu 1 embrio dari PF03, 1 embrio dari PF35 dan 2 embrio dari PF74. Genotipe PF35-1, PF42, PF69-1, PF69-2, PF79 dan PF89 dilanjutkan untuk evaluasi ploidi. Berdasarkan analisis jumlah kandungan kloropas pada sel penjaga stomata diperoleh 4 genotipe yang diduga haploid yaitu PF035-1, PF42, PF 69-1 dan PF79, sedang dua genotipe yaitu PF69-2 dan PF89 belum dapat dianalisis, karena belum membentuk daun (Tabel 17). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Yuan et al. (2009) bahwa jumlah kloroplas bervariasi pada genotipe yang sama dengan kisaran jumlah kloropas antara 9-24 pada genotipe yang diduga haploid (Gambar 33A-E) dan 19-36 pada genotipe diploid (kontrol) (Gambar 33F). Empat genotipe yang diduga haploid dilanjutkan dengan analisis jumlah kromosom.

92 Tabel 17. Rata-rata dan kisaran jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata enam genotipe Dianthus chinensis hasil pseudofertilisasi dengan polen yang diiradiasi sinar gamma Genotipe PF035.1 PF042 PF069.1 PF079 Kontrol 1 Kontrol 2

Jumlah stomata yang diamati 77 144 47 21 116 34

Rata-rata jumlah kloroplas 15,88 ± 2,47 14,42 ± 1,79 13,51 ± 2,45 15,57 ± 2,18 26,00 ± 3,08 25,00 ± 2,19

Kisaran jumlah kloroplas 17 - 24 9 - 18 9 - 18 10 - 18 19 - 36 21 - 31

Gambar 33. Kloroplas dalam sel penjaga stomata tanaman Dianthus chinensis hasil pseudofertilisasi: (A) PF035.1, (B) PF042, (C) PF069.1, (D) PF69.2, (E) PF79, dan (F) diploid (kontrol) Bar =10 µm; Kromosom (G) PF35.1, (H) PF 42, (I) PF69.1, (J) PF79, (K) kontrol. Bar = 1 µm Analisis kromosom sangat sulit dilakukan pada akar yang berasal dari planlet in vitro, sehingga analisis jumlah kromosom menggunakan jaringan meristem pada planlet. Berdasarkan analisis jumlah kromosom menggunakan meristem pucuk planlet diketahui bahwa empat genotipe memiliki jumlah kromosom 15 (PF35.1, PF69.1, PF69.1 dan PF79) dan jumlah kromosom 30 (PF42 dan kontrol) (Gambar 33G-K). Pada PF79 terdapat kemungkinan telah terjadi penggandaan kromosom secara spontan. (Gambar 34). Namun hasil analisis kromosom ini juga masih meragukan. Untuk memperjelas analisis ploidi ini dilakukan analisis flow cytometri.

93

Gambar 34. Kromosom tanaman PF79 hasil pseudofertilisasi: terdapat dua sel dengan jumlah kromosom berlainan. Jumlah kromosom 30 (panah hitam), jumlah kromosom 15 (panah merah) Analisis dengan Flow cytometer diperoleh bahwa PF69.1 dan PF69.2 adalah haploid (Gambar 35). Pada histogram itu pula dapat dibuktikan adanya kemungkinan penggandaan spontan, terlihat adanya peak (puncak) 4C. Analisis dengan flow cytometer pada PF 35.1, PF42, PF79 dan PF89 menunjukkan bahwa tanaman-tanaman tersebut adalah diploid (Gambar 36 dan 37). A

B

C

Gambar 35. Histogram DNA hasil analisis flow cytometer pada tanaman PF69.1 dan PF69.2 hasil pseudofertilisasi: (A) Kontrol diploid, (B) PF69-1 dan (C) PF69-2

94

File: Anyelir Kontrol

Date: 17-02-2012 Time: 09:12:43

Particles: 7401

Acq.-Time: 254 s

partec CyFlow

200

A Kontrol diploid

160

2C

counts

120

80

4C

40

0

0

200

File: Anyelir PF89 Date: 17-02-2012 Time: 09:22:58

400

FL1 -326 s Particles: 8452 Acq.-Time:

600

800

1000 partec CyFlow

200

B PF89

160

2C counts

120

80

4C

40

0

0

200

400

FL1 -

600

800

1000

Gambar 36. Histogram DNA hasil analisis flow cytometer pada tanaman PF89 hasil pseudofertilisasi: (A) kontrol diploid, (B) PF89 diploid

A Kontrol

B PF35.1

Gambar 37. Histogram DNA hasil analisis flow cytometry pada tanaman PF35.1 hasil pseudofertilisasi: (A) kontrol; (B) PF 35.1 Setelah aklimatisasi, dari enam genotipe hasil pseudofertilisasi hanya 3 genotipe (PF42, PF69.1 dan PF69.2) yang berbunga (Gambar 38). Genotipe PF42 morfologi daun dan bunga yang sangat berbeda dengan donor ovul dan serbuk

95 sarinya. PF42 memiliki corak berbintik putih yang merata pada petal dengan warna petal sama dengan donor ovul. Perbedaan juga terjadi pada bentuk dan ukuran daun, tipe batang yang lebih roset dibanding dua sumber atau donor ovul dan serbuk sari. PF42 kemungkinan mengalami mutasi selama proses penyelamatan embrio secara in vitro. PF69.1 memiliki warna daun kekuningan, kemungkinan karena terjadi gangguan pada klorofil. Waktu berbunga tanaman ini sangat lama (11 bulan), dan bunga tidak memiliki antera. PF69.2 memiliki pertumbuhan vegetatif normal, tetapi bunga tidak memiliki antera. Dari hasil ini terlihat bahwa perbedaan antara diploid dengan haploid yang utama adalah bagian bunga. Tanaman diploid memiliki antera, sedangkan tanaman haploid tidak memiliki antera (Gambar 38L, M). .

Gambar 38. Pertumbuhan planlet in vitro dan tanaman hasil pseudofertilisasi. (A) kontrol, (B) PF35-1, (C) PF42, (D) PF69-1 (E) PF69-2, (F) PF79 (G) Tanaman hasil pseudofertilisasi umur 3 bulan setelah aklimatisasi, (H) tanaman PF42, (I) tanaman PF69.1, (J) tanaman PF69.2, (K) bunga PF42, (L) bunga PF69.1, (M) bunga PF69.2

PF35.1, PF79, PF89 memiliki pertumbuhan vegetatif roset dan tidak berbunga. PF79 dan PF89 memiliki daun yang tipis, dan peka terhadap busuk akar. Untuk mengetahui asal-usul dari PF35.1, PF42, PF79, dan PF89, maka dilakukan analisis isoenzim dan hasilnya disajikan pada Gambar 39. Analisis isozim Analisis isozim dilakukan dengan mengambil sampel daun PF35.1, PF 42, PF79, dan PF89. Tanaman donor ovul Dchi-11, donor serbuk sari Dchi-14 dan

96 salah satu keturunan hasil persilangan kedua donor tersebut (151) digunakan sebagai kontrol.

Tanaman haploid akan memiliki pita yang sama atau lebih

sedikit dibandingkan dengan tanaman donor betina dan tidak ada pita yang berasal dari donor serbuk sari. Pita yang terbentuk pada isozim merupakan hasil reaksi enzimatik dari substrat dengan enzim yang diamati. Hasil analisis isozim dengan sistem enzim esterase (EST) diperoleh bahwa PF35.1 dan PF89 memiliki pita yang sama dengan induk betina Dchi-11. Hasil ini menunjukkan bahwa kemungkinan PF35.1 dan PF89 berasal dari perkembangan bagian dari sel donor betina, namun dua pita yang sama ini juga dimiliki oleh donor jantan Dchi-14. PF 79 berbeda satu pita dari donor ovulnya (pita tidak ada). Dua pita yang lain memiliki pita sama dengan donor ovul dan donor serbuk sari, namun dengan sistem enzim peroksidase (PER) PF79 memiliki pita sama dengan donor betina, dan tidak memiliki satu pita (Gambar 39, tanda anak panah). Hasil ini masih meragukan sehingga perlu diuji melalui segregasi turuannya melalui selfing. Namun karena tanaman ini berbentuk roset dan tidak berbunga, sehingga tidak dapat diuji segregasinya. PF42 memiliki satu pita yang sama sekali berbeda dari Dchi-11 dan Dchi-14 baik pada sistem enzim esterase dan peroksidase, menunjukkan bahwa PF42 mengalami mutasi. Hasil selfing dari PF42 memiliki keragaman yang tinggi pada bentuk daun, warna daun, dan bunga (40), sehingga memberikan indikasi PF42 adalah diploid.

A B Gambar 39. Hasil analisis isozim dengan enzim (A) esterase (EST) dan (B) peroksidase (PER) pada tanaman hasil pseudofertilisasi PF35.1, PF42, PF79 dan PF89 menggunakan serbuk sari yang diiradiasi sinar gamma 100 Gy Dari sistem enzim peroksidase terdapat satu pita spesifik yang hanya dimiliki oleh donor jantan dan tanaman F1 (Gambar 39B, tanda panah) dan tidak

97 dimiliki PF35.1, PF79 dan PF79. Hasil sistem enzim peroksidase ini menunjukkan bahwa kemungkinan PF35.1, PF79 dan PF89 berasal dari donor betina Dchi11.

Gambar 40. PF42 dan progeni hasil penyerbukan sendiri tanaman PF42 hasil pseudofertilisasi. (A) bunga PF42, (B-L) bunga progeni hasil selfing PF42. (M) keragaman pertumbuhan PF42 Percobaan 2. Pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi dengan berbagai macam dosis sinar gamma 0, 50, 100, 200 dan 300 Gy Pengujian aktivitas serbuk sari Viabilitas serbuk sari dipengaruhi oleh dosis iradiasi. Makin meningkat dosis irradiasi sinar gamma, perkecambahan serbuk sari semakin menurun dibandingkan dengan serbuk sari yang tidak diiradiasi (Gambar 41). Laju perkecambahan serbuk sari kontrol (serbuk sari tidak diiradiasi) rata-rata adalah 79,28%.

laju perkecambahan rata-rata yang diamati pada serbuk sari yang

Persentase perkecambahan

diiradiasi dengan dosis 50 Gy adalah 10,34%. 100 79,28 80 60 40 10,34 20 0 -20 0 100 200 dosis iradiasi(Gy)

300

Gambar 41. Persentase perkecambahan serbuk sari D. chinensis Dchi-14, 24 jam setelah iradiasi sinar gamma. Hasil ini menunjukkan bahwa pada dosis 50 Gy serbuk sari tidak dapat digunakan sebagai donor, karena masih terdapat peluang serbuk sari untuk menyerbuki sel telur. Tingkat dosis iradiasi 100 – 300 Gy mampu menonaktifkan serbuk sari, sehingga dapat digunakan sebagai donor serbuk sari.

98 Pemanenan buah Semua buah dipanen pada umur dua minggu setelah penyerbukan. Dari 104 buah yang diserbuki, hanya dapat dipanen 53 buah. Buah gugur pada perlakuan serbuk sari yang diiradiasi lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (tanpa iradiasi) (Gambar 42). Keguguran buah kemungkinan disebabkan oleh ketidakmampuan tabung polen mencapai kantong embrio. Pengaruh serbuk sari yang diiradiasi pada gugurnya buah secara morfologi terlihat dari keringnya buah

pembentukan buah (5)

yang dimulai pada satu minggu setelah penyerbukan. 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00

100,00 66,67

0,00

100,00

43,24

40,54

200,00

300,00

Dosis iradiasi (Gy)

Gambar 42. Persentase pembentukan buah pada D. chinensis yang diserbuki dengan serbuk sari yang diradiasi dengan berbagai dosis sinar gamma. Buah gugur terjadi setelah dua minggu perlakuan pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 100 – 300 Gy. Jumlah total embrio yang membesar tidak dipengaruhi oleh dosis iradiasi. Pada Tabel 18 terlihat bahwa pada dosis 200 Gy memiliki rata-rata jumlah embrio yang terbentuk per buah yang tertinggi. Namun jumlah embrio yang membesar tidak selalu mampu untuk tumbuh dan berkecambah (Tabel 19). Tabel 18. Jumlah dan karakteristik buah yang dipanen dan biji yang diperoleh setelah penyerbukan D. chinensis Dchi-11 dengan serbuk sari D. chinensis Dchi-14 yang diradiasi dengan sinar gamma. Dosis iradiasi (Gy) 0 100 200 300 Jumlah

Jumlah bunga yang diserbuki 6 24 37 37 104

Jumlah buah yang dipanen 6 16 16 15 53

Rata-rata panjang buah (cm) 1,45 ± 0,28 1,28 ± 0,05 1,33 ± 0,06 1,25 ± 0,11

Rata-rata diameter buah (cm) 0,45 ± 0,14 0,29 ± 0,10 0,37 ± 0,06 0,43 ± 0,04

Total embrio 60 55 89 74

Rata-rata embrio yang terbentuk/buah 10,0 3,4 5,6 4,9

278 Keterangan: rata-rata embrio yang terbentuk dihitung dari total embrio/jumlah jumlah buah yang dipanen

99 Tabel 19. Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap perkecambahan biji dan kualitas planlet setelah 4 bulan dan 7 bulan hasil pseudofertilisasi Dosis (Gy)

Jumlah embrio

0 100 200 300 Jumlah

60 55 89 74 278

Embrio berkecambah jumlah % 15 14 22 7 58

25,00 23,64 23,60 9,46

Setelah 4 bulan Planlet normal 15 8 13 3 39

Setelah 7 bulan

Planlet abnormal 0 6 9 4 19

Planlet normal 15 5 13 2 35

Planlet abnormal 0 9 9 5 23

Keterangan: plantlet normal dan abnormal dihitung dari jumlah embrio yang berkecambah Rata-rata embrio yang terbentuk dari hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma 100 – 300 Gy menurun dibandingkan dengan kontrol (Tabel 18). Pengaruh lain akibat irradiasi ialah menurunnya persentase perkecambahan pada dosis 100 - 300 Gy, tetapi tidak ada perbedaan antara dosis 100 dan 200 Gy (Tabel 19). Persentase planlet normal dengan perlakuan pada dosis 100 (57%) dan 200 (59%) mendekati setengah dari kontrol (50%). Dari hasil ini, maka dapat digunakan untuk menentukan dosis 50%

planlet abnorma (%)l

(Gambar 43). 120

y = 0,267x + 17,18 R² = 0,762

100 80

7 bulan 4 bulan

60 40

y = 0,168x + 11,31 R² = 0,747

20 0 0

100

200

300

400

Dosis iradiasi (Gy)

Gambar 43.

Grafik hubungan antara dosis iradiasi sinar gamma terhadap persentase abnormal planlet D. chinensis setelah 4 bulan dan 7 bulan.

Abnormalitas dosis 50 mirip dengan penentuan LD50 (Lethal dosis 50) yang digunakan untuk menentukan batas maksimum dosis iradiasi yang untuk mendapatkan mutan maksimum. Kemudian kisaran dosis ini dikaitkan dengan dosis irradiasi yang menghasilkan tanaman haploid yang maksimal, sehingga dari dua waktu penentuan dosis abnormalitas dosis 50% dapat ditentukan waktu penghitungan abnormalitas dosis 50% yang tepat. Pada penelitian ini diduga

100 bahwa tanaman haploid mendekati tanaman abnormal, sehingga dosis untuk mendapatkan tanaman haploid yang maksimal berada dibawah AD50. AD50 Dianthus chinensis hasil penelitian ini adalah 230,30 Gy (setelah 4 bulan) dan 122,92 Gy (setelah 7 bulan). Pengaruh serbuk sari yang diiradiasi terhadap plantlet in vitro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tunas langsung keluar dari ovul, dan hanya satu embrio yang membentuk kalus yaitu pada dosis irradiasi 100 Gy (C5). Pembentukan tunas yang terjadi adalah 1 tunas per ovul. Beberapa plantlet yang dihasilkan dari penyerbukan dengan polen yang diiradiasi menunjukkan fenotipe abnormal. Bentuk-bentuk abnormal pada umumnya yaitu pada bagian daun dan batang (Gambar 44).

Gambar 44. Planlet hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diirradiasi dengan sinar gamma pada dosis 100-300 Gy. (A-C) planlet abnormal hasil pseudofertilisasi dengan iradiasi sinar gamma pada dosis 300 Gy (DG) planlet normal hasil pseudofertilisasi dengan iradiasi sinar gamma pada dosis 100-200 Gy. Planlet normal hasil dari penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan dosis 100 – 300 Gy pertumbuhannya sama dengan kontrol tetapi laju pertumbuhannya agak lambat. Beberapa planlet ini memiliki fenotipe yang

101 berbeda dengan kontrol. Pada saat daun pertama muncul, semua organ, daun tangkai daun dan cabang memiliki ukuran yang lebih kecil (Gambar 44B) dibandingkan dengan kontrol (Gambar 44A). Tiga planlet C18.2, C21.4 dan E30C memiliki daun variegata (Gambar 44C). Pengaruh serbuk sari yang diiradiasi terhadap tingkat ploidi Dari hasil percobaan 1 diketahui bahwa, pertumbuhan planlet yang kecil dan lambat merupakan karakteristik tanaman haploid. Maka untuk planlet-plantlet dengan pertumbuhan lambat ini, sebelum dilakukan multiplikasi, planlet diamati jumlah kloroplasnya.

Jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata tanaman yang

diduga haploid kurang lebih setengah dari tanaman diploid. (Gambar 45D-G).

B

A

D

E

F

C

G

H

Gambar 45. Pertumbuhan planlet normal dan planlet yang diduga haploid, bentuk daun variegata serta jumlah kloroplas di sel penjaga stomata. (A) tanaman kontrol diploid, (B) plantlet yang diduga haploid, (C) daun variegata E30C, (D) jumlah kloroplas sel penjaga stomata C11, (E) D9.1, (F) D9.2, (G) D19.1 dan (H) kontrol Kloroplas pada sel penjaga stomata

lima sampel planlet dihitung

jumlahnya dan diperoleh rata-rata memiliki jumlah kloroplas berkisar antara 10 – 20.

Analisis flowcytometer menggunakan tanaman standar atau kontrol D.

chinensis “D-chi11” (tanaman donor) yang memiliki tingkat ploidi diploid. Hasil analisis menunjukkan bahwa planlet yang diduga haploid berdasarkan jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata sejalan dengan analisis flow cytometer. Lima sampel haploid yang diuji semuanya haploid (Gambar 46, 47). Hasil ini sama dengan perbobaan 1. Dari hasil ini dapat dibuktikan bahwa jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata dapat digunakan untuk menduga tingkat ploidi D. chinensis.

102

Gambar 46. Histogram DNA hasil analisis dengan flow cytometer pada tanaman D9.2 hasil pseudofertilisasi: (A) kontrol diploid Dchi-11; (B) haploid D9.2 dari serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 200 Gy.

Gambar 47. Histogram DNA hasil analisis dengan flow cytometer pada tanaman C11, D9.1, D19.1, D231: (A) kontrol diploid Dchi-11; (B) C11 hasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 100 Gy; (C-E) berturut-turut haploid D9.1, D9.2, D19.1 dan D231 hasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diiradiasi pada dosis 200 Gy

103 Hasil analisis dengan Flow cytometer diketahui bahwa 5 genotipe haploid tersebut mengandung campuran ploidi haploid dan diploid yang ditunjukkan adanya peak atau puncak 4C pada tanaman haploid. Dosis iradiasi 200 Gy menghasilkan jumlah tanaman haploid yang lebih banyak dibandingkan dengan polen yang diiradiasi sinar gamma. Aklimatisasi hasil pseudofertilisasi Hasil pseudofertilisasi sebagian besar sudah dapat diaklimatisasi dan hasilnya disajikan pada Tabel 20. Dari pseudofertilisasi menggunakan serbuk sari yang diradiasi dengan dosis sinar Gamma 100 Gy diperoleh 7 tanaman, dosis 200 Gy 13 tanaman dan 300 Gy diperoleh 3 tanaman yang normal. Dari total 23 tanaman hasil pseudofertilisasi 16 tanaman sudah berbunga, 7 tanaman belum/tidak berbunga. Dari 23 tanaman yang dapat diaklimatisasi, empat sampel haploid (hasil analisis dengan flow cytometer) semua sudah berbunga (Gambar 48). Tabel 20. Hasil aklimatisasi 23 regeneran hasil pseudofertilisasi No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Kode genotipe C7.1 C7.2 C11 C13.1 C18.1 C18.2 C21.4# D231 D7.1 D7.2 D6.2 D9.1 D9.2 D13.1 D14.1 D15.1 D15.2 D19.1 D37B.2# D37B.5# E30C# E37B.6# E30d.1

Tanaman berbunga/tidak berbunga berbunga berbunga berbunga berbunga berbunga berbunga berbunga berbunga tidak berbunga tidak berbunga tidak berbunga berbunga berbunga berbunga tidak berbunga berbunga berbunga berbunga tidak berbunga tidak berbunga tidak berbunga berbunga berbunga

Jumlah tanaman 1 1 1 6 2 1 4 2 1 3 1 1 1 3 2 4 3 3 1 1 1 1 1

Keterangan

Haploid ganda* ** Daun variegata Daun variegata Haploid*

Haploid ganda* ** Haploid*

Haploid Ganda** Daun variegata

Keterangan: * hasil analisis dengan flow cytometer ** terjadi penggandaan spontan secara in vivo # pseudofertilisasi dilakukan 2 hari setelah iradiasi dengan sinar Gamma

104 Bunga berukuran kecil tidak memiliki serbuk sari yang merupakan salah satu ciri tanaman haploid. Haploid ganda terjadi pada D19.1 yang menghasilkan bunga yang normal dan warna bunga yang (mendekati warna donor betina). Untuk membuktikan bahwa D19.1 merupakan haploid ganda dilakukan penyerbukan sendiri D19.1, dan hasilnya dapat diperoleh biji normal tetapi mengalami depresi inbreeding.

Biji-biji tersebut hanya tumbuh 30% dengan

pertumbuhan yang sangat lambat. Jumlah kloroplas D19.1 pada saat kondisi haploid berkisar antara 10-14, sedang setelah terjadi penggandaan spontan berkisar 20-22.

A

B

E

F

C

G

D

H

Gambar 48. Empat genotipe haploid dan haploid ganda hasil pseudofertilisasi yang sudah berbunga (A,E) C11, hasil pseudofertilisasi dengan dosis sinar gamma 100 Gy, (B,F) D9.1 hasil pseudofertilisasi dengan dosis sinar gamma 200 Gy, (C,G) D9.2 hasil pseudofertilisasi dengan dosis sinar gamma 200 Gy, (D,H) D19.1 hasil pseudofertilisasi dengan dosis sinar gamma 200 Gy Pada percobaan pseudofertilisasi ke 2 ini juga ditemukan abnormalitas pembungaan. Mutan tersebut memiliki struktur seperti daun di tempat organorgan pembungaan menghasilkan kelopak ganda (Gambar 49A). Pada perkembangan selanjutnya terjadi pertumbuhan bunga yang normal, dan kasus ini semua terjadi pada satu tanaman yaitu E30d-1. Diduga tanaman berada pada kondisi peralihan dari tanaman haploid menjadi tanaman haploid ganda.

105

Gambar 49. Tanaman hasil pseudofertilisasi E30d-1, hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diirdiasi dengan sinar gamma 300 Gy. (A) mutan yang memiliki struktur seperti daun di tempat organ-organ pembungaan. (B) abnormalitas dalam bentuk chimera terdiri atas bunga normal dan tidak normal. Anak panah merah = bunga tanpa antera, anak panah kuning = bunga normal, anak panah putih = bunga transisi dengan antera tidak lengkap. Hasil pseudofertilisasi masih terdapat tanaman-tanaman putatif haploid dan haploid ganda yang belum dianalisis ploidinya seperti, C18.1, D15.2, E37B.6 dan lainnya (Gambar 50). Warna bunga tanaman tersebut berkisar dari warna putih sampai pink kemerahan.

Gambar 50. Bunga dari tanaman donor dan bunga dari tanaman hasil pseudofertilisasi dengan serbuk sari yang diradiasi dengan sinar gamma pada dosis 100-200 Gy. (A) bunga tanaman donor ♀, (B) bunga tanaman donor ♂, (C-G) bunga dari tanaman yang diserbuki dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis 100 Gy, (I-L) bunga dari tanaman yang diserbuki dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis 100 Gy .

106 Pembahasan Percobaan 1. Pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi dengan dosis 100 Gy Hasil penelitian pseudofertilisasi Dianthus chinensis menggunakan sinar gamma pada dosis 100 Gy dapat menonaktifkan serbuk sari. Akibat dari serbuk sari yang non aktif menyebabkan buah gugur setelah 2 minggu, ditandai dengan berubahnya warna ovari dari warna hijau menjadi coklat. Buah harus dipanen sebelum umur 2 minggu. Hasil penelitian Sato et al. (2000), menggunakan donor betina Dianthus caryophyllus yang diiradiasi dengan sinar X pada level dosis 100 kRad, serbuk sari mampu berkecambah di dalam tabung polen dan dapat mencapai stilus. Pembengkakan buah terjadi satu minggu setelah penyerbukan, tetapi ovari akan mengalami aborsi pada umur 4 minggu, sehingga harus dikultur pada umur 2- 3 minggu setelah penyerbukan. Pada percobaan ini dari 123 persilangan semu (pseudofertilisasi) yang dilakukan

diperoleh

dua

tanaman

haploid

yaitu

PF69.1

dan

PF69.2.

Pseudofertilisasi PF 69.1 memiliki daun berwarna kekuningan, dengan umur berbunga yang lambat. Persentase tanaman haploid yang diperoleh pada penelitian ini lebih banyak jika dibandingkan dengan yang diperoleh Sato et al (2000) dengan hasil 1 tanaman haploid ganda dari 300 pseudofertilisasi dan Dolcetsanjuan et al. (2001) dengan hasil 3 tanaman haploid dari 1650 pseudofertilisasi. Tanaman yang dihasilkan dari biji hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi merupakan hasil dari tidak lengkapnya transmisi genom jantan (Peixe et al. 2000). Menurut Sestili dan Ficcadenti (1996), iradiasi pada tingkat yang rendah hanya merusak sebagian inti sel generatif serbuk sari saja, sehingga masih mampu berfusi dengan sel telur. Pada tanaman apel setelah penyerbukan dengan serbuk sari yang diiradiasi menghasilkan biji yang mengandung endosperm saja atau endosperm dan embrio. Pada dosis tertentu ada kemungkinan inti sperma tunggal masih ada dalam tabung sari sehingga mampu membuahi sel telur atau berfusi dengan inti polar (Nicoll et al. 1987). Jika hanya menghasilkan endosperm saja dipastikan tanaman adalah triploid, sedang jika menghasilkan embrio dan endosperm dipastikan diploid, tetapi dapat memunculkan mutan karena adanya transmisi gen dari tetua paternal. Hal ini terjadi pada hasil penelitian ini (PF42 dan PF89) yang level ploidinya adalah diploid.

107 Persentase terbentuknya embrio tertinggi menjadi tanaman adalah pada umur embrio 14 HSP (24%). Hasil penelitian Sato et al. (2000) umur 3 minggu merupakan umur maksimal ovari yang dapat dipanen, selebihnya buah akan gugur. Pada penelitian ini hasil yang diperoleh berbeda. Pada persilangan normal, 3 minggu setelah penyerbukan buah telah masak ditandai dengan berubahnya warna embrio dari putih menjadi hitam, sehingga panen buah dilakukan maksimal umur dua minggu untuk menghindari kehilangan materi. Perbedaan ini disebabkan oleh penggunaan materi induk betina yang digunakan. Pada penelitian Sato et al. (2000) yang menggunakan Dianthus caryophyllus sebagai penerima serbuk sari, memiliki umur berbunga yang lebih lama. Tanaman kontrol yang dipanen satu minggu HSP hanya satu ovul yang mampu tumbuh. Hasil ini menunjukkan bahwa umur satu minggu buah masih terlalu muda untuk berkembang menjadi tanaman. Buah umur satu minggu biji belum masak dan berwarna putih, pada akhirnya embrio berubah menjadi coklat seperti biji masak. Sejalan dengan pendapat Bohanec (2009) dan Musial et al. (2005) bahwa proses pemasakan kantong embrio berlanjut selama kultur in vitro. Perlakuan iradiasi pada serbuk sari menyebabkan DNA kromosom rusak, sehingga embrio yang dihasilkan dari serbuk sari ini hanya mengandung kromosom dari sel telur. Pada saat terbentuk embrio, kromosom dari serbuk sari yang diiradiasi ada kemungkinan dapat bergabung dengan kromosom dari sel telur, tetapi pada perkembangan embrio selanjutnya, kromosom ini dapat hilang selama proses mitosis (Suharsono et al., 2009). Percobaan 2. Pseudofertilisasi menggunakan polen yang diiradiasi dengan berbagai macam dosis sinar gamma 0 Gy, 50 Gy, 100 Gy, 200 Gy dan 300 Gy Haploid pada Dianthus chinensis telah diperoleh melalui induksi partenogenesis melalui persilangan dengan serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma. Dibandingkan dengan percobaan 1 dengan menggunakan spesies genotipe yang sama, pada percobaan kedua ini menggunakan metode yang sama, tetapi menggunakan laju dosis yang diperlebar sampai 300 Gy untuk mengetahui batas atas dari perlakuan dosis iradiasi. Pada percobaan 1 serbuk sari yang diiradiasi dengan sinar gamma 100 Gy hanya menonaktifkan perkecambahan serbuk sari saja, tetapi kemungkinan serbuk sari pulih dari paparan sinar radiasi gamma masih ada. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya tanaman variegata

108 (PF42), dan dua tanaman lain yaitu PF35.1 dan PF79 tidak berbunga. Hasil konfirmasi ploidi tanaman-tanaman ini adalah diploid. Hasil ini memberikan indikasi bahwa pada dosis 100 Gy walaupun seluruh serbuk sari telah non aktif, tetapi terdapat kemungkinan serbuk sari pulih kembali. Maka percobaan ke 2 ini dilakukan dengan meningkatkan dosis iradiasinya. Pada semua dosis 100 – 300 Gy dapat diperoleh tanaman, tetapi peningkatan laju dosis akan menurunkan persentase perkembangan genotipe normal dan meningkatkan genotipe yang abnormal. Meskipun pada dosis iradiasi 300 Gy diperoleh tanaman, tetapi tanaman haploid tidak diperoleh. Genotipe pada dosis 300 Gy ini tumbuh abnormal dan mati pada tahap perkembangan selanjutnya. Menurut Vassileva-Dryanovska (1966), embrio haploid dapat dihasilkan melalui dua cara berbeda. Pertama terkait dengan stimulasi inti induk betina untuk membelah melalui piknotisasi dari kromatin induk jantan. Kedua fertilisasi dari inti sel telur dirusak oleh sperma, kromatid sesudah itu tereliminasi dalam sitoplasma. Tabung serbuk sari memiliki kemampuan untuk tumbuh ke dalam kantong embrio meskipun pada level dosis yang tinggi. Fenomena ini secara teori dapat diinterpretasikan sebagai RNA dan protein RNA (banyak terdapat dalam sitoplasma serbuk sari) yang lebih tahan terhadap paparan iradiasi dari pada DNA (banyak terdapat pada inti generatif). Perlakuan dengan dosis iradiasi tinggi (300 Gy) menghasilkan abnormalitas tanaman yang tinggi, laju kematian yang tinggi serta lambatnya pertumbuhan tanaman. Pada percobaan ke dua ini ditemukan dua tanaman haploid (D231 dan D9.1) yang memiliki tipe pertumbuhan abnormal yang kerdil (dwarf). Dosis sinar gamma 200 Gy pada penelitian ini diperoleh jumlah tanaman hidup dan tanaman haploid yang lebih banyak dibandingkan dengan dosis 100 Gy. Fenomena ini dikenal dengan nama “Hertwig effect” (Pandey and Phung 1982). Rendahnya pembentukan biji biasa terjadi setelah iradiasi serbuk sari dan mencerminkan

kegagalan

fertilisasi

(Nicoll

et

al.

1987).

Rendahnya

perkecambahan biji terjadi karena aborsi pada kantong embrio (Chalak and Legave 1997). Fenomena yang terjadi pada pseudofertilisasi Menurut Sato et al. (2000) studi pseudofertilisasi tanaman asal kultur ovul memiliki tiga potensi sumber atau asal usul hasil pseudofertilisasi disamping fertilisasi ovul yang sebenarnya. Potensi pertama adalah dari sel somatik tanaman

109 induk betina, yang berarti tanaman yang telah beregenerasi pasti identik dengan tanaman induk betina. Pada penelitian pseudofertilisasi ini tujuh tanaman haploid hasil percobaan 1 dan 2 secara morfologi berbeda dengan tanaman induk (donor ovul dan serbuk sari) dan tanaman kontrol (persilangan normal). Potensi kedua adalah fertilisasi ovul dengan serbuk sari yang aktif terhindar dari iradiasi sinar Gamma sehingga karakter dominan dari donor serbuk sari pasti terekspresi dalam tanaman. Pada penelitian ini warna bunga dari donor serbuk sari Dchi-14 adalah ungu dengan warna merah melingkar dan tanaman induk betina Dchi-11 adalah pink. Hasil persilangan keduanya memiliki karakter warna bunga yang dominan dari tetua jantan. Hasil percobaan 1 kedua tanaman haploid masing-masing berwarna pink keputihan dan salmon, sedangkan percobaan ke 2 diperoleh lima tanaman haploid dengan kisaran warna putih sampai pink dan tidak ada cirri-ciri warna bunga dari tanaman donor serbuk sari (Dchi-14). Karena warna dasar bunga tanaman haploid tidak sama dengan tetua jantan, maka pada percobaan ini bukan mengikuti potensi kedua. Potensi ketiga adalah ovul yang di serbuki sendiri dengan serbuk sari tanaman akan bervariasi karena materi tanaman sangat heterosigus dan turunan S1 akan bersegregasi dengan banyak karakter. Untuk membuktikan potensi ketiga ini, dicontohkan PF42 hasil percobaan 1. Penyerbukan sendiri yang dilakukan pada PF42 (berdaun variegata) menghasilkan keturunan normal yang bersegrasi baik bentuk daun maupun bentuk dan corak bunga. Daun variegata juga bersegrasi antara variegata dan daun normal. Secara teori daun variegata terkait dengan perkembangan klorofil pada tanaman yang dikendalikan secara maternal, karena klorofil terdapat dalam plastida. Daun variegata juga ditemukan lagi pada percobaan 2 yaitu C18.2, C21.4, dan E30C . Pada percobaan ke 2 ditemukan genotipe hasil pseudofertilisasi dengan bunga yang berwarna putih, menunjukkan bahwa warna putih merupakan warna dengan kendali resesif, karena warna putih selalu tertutupi dan jarang muncul dalam persilangan kecuali dua gamet jantan dan betina yang membawa karakter resesif ada bersama-sama. Pada percobaan 1 dan 2, hasil pemeriksaan kromosom, sel-sel haploid ada bersama-sama dengan sel-sel diploid dalam meristerm tanaman diploid. Hasil ini memberikan indikasi adanya penggandaan kromosom spontan dapat terjadi. Hasil ini dibuktikan dari analisis flow cytometer yang terdeteksi adanya dua ploidi yaitu haploid dan haploid ganda dalam satu tanaman, sehingga hasil ini menjelaskan

110 adanya penggandaan kromosom spontan pada tanaman haploid Dianthus chinensis. Hasil penelitian ini sama dengan yang terjadi pada penelitian Sato et al (2000)

di

mana

terjadi

penggandaan

kromosom

spontan

pada

hasil

pseudofertilisasi, Fu et al. (2008) juga menemukan adanya penggandaan spontan pada tanaman D. chinensis hasil kultur antera. Meskipun tanaman haploid diperoleh dari kultur ovul pseudofertilisasi tidak terlalu tinggi, tetapi metode pseudofertilisasi ini menawarkan potensi parthenogenesis in vitro yang potensial pada tanaman D. chinensis. Simpulan 1. Penyerbukan menggunakan serbuk sari yang diradiasi 100 – 200 Gy dapat menginduksi partenogenesis Dianthus sp. menghasilkan tujuh tanaman haploid (PF69.1, PF69.2, C11, D9.1, D9.2, D19.1 dan D231). 2. Frekuensi tanaman haploid yang diperoleh pada percobaan ke dua adalah 5,1%. 3. Diperoleh putative mutan abnormalitas pembungaan

dwarf pada D9.1 dan D231 serta mutan

111

PEMBAHASAN UMUM Dianthus chinensis sebagai tanaman model Teknologi haploid yang berkembang saat ini, berasal dari tanaman model, yang dapat dikembangkan pada tanaman komersial lain. Pola pengembangan teknologi tersebut dilakukan pada tanaman Brassica napus cv “Topaz” yang menjadi tanaman model untuk penelitian androgenesis dikotil, terutama untuk mengetahui biologi dasar pembelahan sel dan tahap awal embriogenesis (Custers et al. 2001). Pada penelitian ini pemilihan tanaman donor Dianthus chinensis untuk pengembangan teknologi haploid di antara tanaman Dianthus sp yang lain, didasarkan pada (1) budidaya tanamannya mudah, (2) produksi bunga setiap saat, (3) memiliki karakter sebagai penanda yang stabil, dan (4) berumur lebih pendek dibandingkan spesies-spesies lain seperti D. caryophillus dan D. barbatus (Sparnaaij & Koehorst-van Putten 1990). Studi awal yang meliputi studi tahap perkembangan bunga, rasio tahap perkembangan serbuk sari, viabilitas serbuk sari, dan seleksi tanaman donor dan media dasar memberi informasi yang penting untuk pengembangan teknologi haploid pada Dianthus chinensis. Selanjutnya kemampuan tanaman donor diuji untuk pengembangan teknologi. Apabila memiliki peluang keberhasilan yang tinggi serta respon terhadap perlakuan yang diaplikasikan, tanaman tersebut dapat menjadi tanaman model untuk pengembangan teknologi haploid. Dianthus chinensis Dchi-11 berwarna pink, memiliki potensi sebagai model, karena memenuhi persyaratan tersebut. Dchi-11 memiliki jumlah serbuk sari dan viabilitas mikrospora tertinggi di antara genotipe yang diuji, sehingga selalu diikutsertakan pada pengujian-pengujian seleksi tahap perkembangan serbuk sari dan ovul. Walaupun persentase terbentuknya kalus lebih rendah dibandingkan dengan Dchi-13, tetapi Dchi-11 cepat membentuk kalus dan memiliki kemampuan beregenerasi yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya. Selain itu Dchi-11 berespon positif terhadap semua aplikasi metode androgénesis, ginogenesis dan pseudofertilisasi. Di antara faktor endogenus, tahap perkembangan serbuk sari dan genotipe memiliki keterkaitan. Genotipe yang berbeda menunjukkan respon yang berbeda terhadap pembentukan kalus. Kompetensi ginogenik tampaknya memiliki dasar genetik, karena dapat diwariskan pada keturunannya (Rudolf et al. 1999).

112 Keberhasilan induksi haploid pada Dianthus chinensis ditentukan oleh sistem kultur yang digunakan. Tanaman haploid atau haploid ganda dapat diinduksi dengan mengkulturkan ovul atau ovari dan ovul tanpa difertilisasi. Metode lain seperti persilangan jarak jauh, tidak diterapkan untuk Dianthus chinensis, karena persilangan interspesifik Dianthus chinensis mudah dilakukan. Dengan mengacu pada hasil penelitian Fu et al. (2008) yang menguji penggunaan media padat untuk kultur antera, penelitian pendahuluan dicoba menggunakan metode kultur sebar dengan aplikasi perlakuan berbagai macam media dan praperlakuan suhu randah, heat shock, manitol dan penempatan tanaman pada ruangan dengan suhu 14-20 oC. Namun semua aplikasi tersebut tidak memberikan respon yang signifikan. Kemudian metode diubah dengan menggantinya dengan kultur antera pada media padat. Hasil yang diperoleh sama dengan yang dilakukan Fu et al. (2008). Androgenesis Hasil penelitian kultur antera pada media padat menunjukkan bahwa media yang terbaik ialah media yang mengandung 2,4-D sebagai auksin untuk induksi kalus. 2,4-D memiliki sifat yang lebih baik dibandingkan dengan auksin lainnya, karena lebih mudah diserap sel tanaman, tidak mudah terurai dan berfungsi mendorong aktifitas morfogenetik (Shoemaker et al. 1991; Widoretno et al. 2003). Keseimbangan antara konsentrasi auksin dan sitokinin yang tepat dapat mempercepat waktu inisiasi kalus. Pembentukan kalus tidak hanya dipengaruhi 2,4-D saja. Penambahan sitokinin dikombinasikan dengan auksin memacu pembentukan kalus. Kombinasi hormon sangat berpengaruh terhadap perbedaan waktu inisiasi kalus. Dalam penelitian ini penambahan TDZ atau BAP dalam konsentrasi yang rendah ke dalam media yang mengandung 2,4-Ddiperlukan untuk induksi kalus. Pemberian auksin dan sitokinin sangat menentukan bentuk dan struktur kalus. Kombinasi konsentrasi auksin dan sitokinin yang tepat akan menghasilkan kalus yang berstruktur remah (Wattimena, 1988). Pembentukan kalus juga tergantung dari sumber eksplan maupun genotipe. Genotipe tanaman donor sangat menentukan keberhasilan pembentukan kalus dari kultur antera. Begitu pula pada kultur antera tanaman lain, seperti flax (Linum usitatissimum L.) (Chen & Dribnenki 2002). Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa genotipe memiliki kapasitas embriogenik yang bervariasi (Merkele et al. 1995; Kallak et al. 1997; Yantcheva et al. 1998). Perbedaan

113 genotipe dalam kapasitas embriogenik mencerminkan perbedaan kemampuan mengaktifkan elemen kunci dalam lintasan embriogenik. Studi yang dilakukan pada Dianthus sp terdapat perbedaan genotipik yang signifikan untuk induksi kalus embriogenik dan embrio somatik (Kallak et al.1997, Pareek dan Kothari 2003, Fu et al. 2008). Regenerasi kalus Dianthus chinenesis dilakukan pada media dasar yang sama. Pada umumnya media regenerasi ditentukan dengan menurunkan kandungan garam mineral media. Penurunan kandungan garam mineral media dasar ternyata juga dilaporkan oleh Nichterlein (2003) pada kultur antera tanaman flax (Linum usitatissimum). Pada studi lain, penurunan kandungan bahan media MS hingga ½ bagian menjadi kunci keberhasilan pada regenerasi dan perbanyakan tunas dengan variasi ZPT yang digunakannya pada Prunus domestica (Nowak et al., 2007). Pada studi ini tidak dilakukan penurunan kandungan media dasar, tetapi dengan mengurangi auksin dan sitokinin.

Ginogenesis Secara umum ginognenesis serupa dengan parthenogenesis di alam. Ginogenesis biasanya

memiliki efisiensi

yang rendah karena tanaman

memproduksi sel telur lebih sedikit dibandingkan serbuk sari, tetapi ginogenesis sangat berguna untuk diterapkan pada spesies yang tidak efektif menerapkan androgenesis (Wędzony et al. 2009). Perkembangan sporofitik ginogenesis diinduksi dari sel telur yang tidak difertilisasi (gamet betina). Tahap perkembangan ovul pada saat inokulasi sering tidak ditentukan. Beberapa peneliti lebih suka melakukan inokulasi pada tahap kuncup bunga atau tahap perkembangan serbuk sari. Beberapa spesies seperti juga Dianthus chinensis memiliki tingkat kemasakan gametofit yang tidak simultan antara jantan dan betina. Dianthus chinensis memiliki sifat protandry (antera masak lebih dulu sebelum putik), sehingga bila menggunakan perbandingan dengan perkembangan serbuk sari akan menjadi masalah. Tahap terbaik isolasi eksplan Dianthus chinensis adalah pada tahap T7 (10 hari setelah munculnya primordia bunga/3-4 hari sebelum bunga mekar). Pada tahap ini kantong embrio telah mengalami mitosis.

Pada tanaman bunga

matahari, bunga memiliki kantong embrio muda tetapi sudah berkembang lengkap 2- 3 hari sebelum bunga mekar (Yang et al. 1986). Kantong embrio satu inti

114 sampai empat inti berkaitan dengan tahap uninukleat akhir atau binukleat awal pada serbuk sari padi (Zhou et al 1986) merupakan tahap masak. Hasil serupa juga diperoleh pada bawang (Musial et al. 2005) dimana kuncup bunga berukuran kecil yang mengandung sel induk megaspora dan yang mengandung kandung embrio yang masak kurang responsif dibandingkan dengan bunga yang berukuran medium yang mengandung 2-4 inti hasil mitosis di kantong embrio. Kebalikan dari serbuk sari bahwa kultur ovul tanpa penyerbukan mampu melanjutkan proses masaknya kantong embrio selama tahap inokulasi (Bohanec 2009). Kantong embrio memiliki sel telur haploid, secara teori juga mampu membentuk embrio haploid lain dari sel sinergid, sel antipodal dan dua inti polar yang tidak berfusi. Namun pada umumnya sel telur merupakan sumber utama dari embrio haploid (Huang & Sunderland. 1982, Ferrant & Bouharmont 1994; Musial et al. 2001, 2005). Hasil penelitian tentang peranan praperlakuan pada induksi ginogenesis masih terbatas, sehingga pada penelitian ini tidak dilakukan pengujian praperlakuan. Namun praperlakuan diaplikasikan pada semua eksplan, karena beberapa penelitian seperti perlakuan suhu dingin pada gandum (Sibi et al. 2001), gula bit (Lux & Wetzel. 1990) dapat menginduksi embriogenesis. Selain itu kultur in vitro juga merupakan faktor yang menunjang keberhasilan ginogenesis. Komposisi media dasar yang digunakan dalam androgenesis berbeda dengan ginogenesis. Pada ginogenesis penggunaan media dasar MS lebih baik dibandingkan dengan media dasar WT. Hasil ini menunjukkan bahwa formulasi media yang digunakan dalam ginogenesis lebih banyak untuk pertumbuhan embrio haploid dari pada re-programming lintasan gametofitik ke sporofitik. Sedangkan zat pengatur tubuh yang digunakan untuk ginogenesis merupakan faktor induksi yang pasti akan berbeda untuk setiap genotipe. Perbandingan auksin dan sitokinin lebih banyak digunakan untuk menginduksi kalus atau embrio (Bohanec 2009). Begitu pula penggunaan sumber karbohidrat (sukrosa), pada konsentrasi yang tinggi menguntungkan untuk ginogenesis terutama spesies monokotil. Sedangkan untuk tanaman dikotil kebutuhan karbohidrat rendah. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilan ginogenesis di antaranya adalah penggunaan genotipe, media dasar, pemilihan dan perbandingan zat pengatur tumbuh (dalam hal ini adalah auksin

115 dan sitokinin). Dari penelitian ini pula diketahui bahwa pemilihan eksplan dan metode isolasi ovul juga menentukan keberhasilan ginogenesis. Keberhasilan pembentukan embrio langsung dari kultur ovari, masih memerlukan pengujian lebih lanjut, yaitu dengan melakukan selfing untuk melihat segregasi keturunanya. Walaupun pada tahap awal pemeriksaan ploidi dengan mengamati jumlah kloroplas regeneran adalah haploid dan pengujian selanjutnya regeneran adalah diploid, terdapat kemungkinan terjadi penggandaan kromosom spontan atau kemungkinan lain embrio berkembang dari jaringan nuselus.

Pseudofertilisasi Percobaan 1 menghasilkan

dua tanaman yang bersifat haploid yaitu

PF69.1 dan PF69.2 yang tetap dalam kondisi haploid setelah diaklimatisasi. Kedua tanaman haploid ini berasal dari ovari yang sama, tetapi masing-masing memiliki karakter yang berbeda. Hasil ini menunjukkan adanya variasi gametoklonal yang berasal dari gamet betina bervariasi. Hasil pseudofertilisasi lain yaitu PF35.1, PF79, PF42 dan PF89 adalah diploid. PF35.1 dan PF79 pada awal pengamatan memiliki jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata haploid, namun hasil

flow cytometer adalah diploid

berbunga, sedang

dan kedua tanaman ini tidak

PF89 adalah diploid berdasarkan analisis flow cytometer,

sampai saat ini masih di dalam botol kultur. PF42 terjadi mutasi pada progeninya, memiliki daun lebar, variegata, yang berbeda dengan daun kedua tetuanya. Penelitian pseudofertilisasi ke dua dengan meningkatkan dosis iradiasi sampai pada dosis 300 Gy diperoleh lima tanaman haploid yang dapat berbunga yaitu C11, D231, D9.1, D9.2 dan D19.1. Penelitian pseudofertilisasi ke dua, planlet tidak dilakukan perbanyakan in vitro untuk mendeteksi terjadinya penggandaan spontan. Serbuk sari yang lolos dari iradiasi, akan mentrasfer fragment DNA paternal yang mungkin mengalami mutasi ke progeninya. Transmisi gen dari paternal yang diiradiasi ini serupa dengan fertilisasi normal, dan bukan parthenogenesis (Borrino et al. 1985). Kemungkinan yang terjadi adalah adanya pengaturan kembali kromosom dan aneuploid. Menurut Snape et al. (1983) peristiwa ini disebut dengan “meiotic sieve” yang terjadi setelah meiosis M1 yang membatasi transmisi gen paternal. Pengaruhnya adalah hilangnya segmen kromosom (delesi) yang berakibat perubahan beberapa karakter. Pada tanaman

116 Nicotiana sp (Warner et al. 1984) dan gandum (Snape et al. 1983) ditemukan tingginya tingkat aneuploid (50%). Mutasi atau perubahan hasil dari lolosnya inaktivasi serbuk sari akibat irradiasi sinar Gamma yang dapat dilihat dari penelitian ini adalah terjadinya sterilitas dari tanaman M1 dalam bentuk tidak berkembangnya polen. Ciri adanya transmisi gen dari paternal adalah warna melingkar merah yang diwariskan dari tetua paternal seperti pada genotipe D13.1, D15.1. Sementara mutasi warna terjadi pada genotipe C21-4 yang menghasilkan warna bunga dan warna antera beserta serbuk sari berbeda dengan ke dua tetuanya, bentuk daun yang juga berbeda dari ke dua tetuanya. Warna tetua betina adalah pink dan tetua jantan adalah merah dengan warna merak tua yang melingkat di petal. Beberapa genotipe generasi M1 memiliki warna daun variegata yaitu C18.1, C21.4 dan E30C. dari ke tiga tanaman variegata ini hanya E30C yang bersifat variegata sejak berada dalam kultur in vitro. Secara teori warna daun variegata merupakan karakter yang dibawa oleh genom maternal. Terjadinya perubahan pada daun kemungkinan disebabkan oleh terjadinya mutasi pada inti. Kultur in vitro mewakili suatu kombinasi faktor stres yang dihadapi tanaman (misalnya stres oksidatif akibat pelukaan atau pemotongan jaringan, zat pengatur tumbuh, tinggi rendahnya konsentrasi garam, tinggi rendahnya intensitas cahaya) (Zavlatteri et al. 2010). Geissman & Mehlquist (1947) mengidentifikasi 6 gen untuk warna dasar anyelir. Enam gen tersebut adalah Y, I, A, S, R dan M. Pada penelitian ini diduga tanaman haploid PF69.1, PF69.2 dan D9.1 yang berwarna salmon dan warna pucat adalah merupakan ekspresi dari dominansi gen Y, I dan A menghasilkan antosianin dalam jumlah terbatas karena kehadiran gen I yang epistatik terhadap Y dengan jenis antosianin pelargonidin.

Tanaman haploid D19.1 dan C11 yang

berwarna pink tua terkait dengan hadirnya M dengan r yang mengubah warna dari merah cerah menjadi warna pink tua. Tanaman haploid D9.2 yang berwarna dasar putih merupakan ekspresi kehadiran gen I yang mengontrol produksi anthoxantin ivory-white. Gen-gen lain yang mungkin terekspresi adalah perbedaan vigor. Mehlquist menghadirkan bukti genetik terhadap pewarisan tipe abnormal pada anyelir (Post 1955). Setiap tipe berbeda dari bentuk normal, berada dalam faktor resesif, seperti albino, kuning, lutescent seedling yang bersifat lethal yaitu : club-neck (hampir selalu lethal), Virescent (tipe kekurangan klorofil) dan Sub lethal yaitu: Lazy-

117 virescent (tipe kekurangan klorofil lemah), dwarf, (ekstrim pendek, kurang viabel dibanding tipe normal, sangat steril), stocky (tanaman gemuk pendek, kurang viabel dibanding tanaman normal, sangat steril), thin (tipe annual, kurang tegar dibanding tipe normal tetapi sangat fertil). Semua tipe ini tertutupi karena resesif, tetapi bertanggungjawab terhadap kematian banyak seedling pada persilangan tanaman anyelir. Berdasarkan gen-gen yang ada pada anyelir ini, hasil penelitian ini diperoleh satu tipe abnormal yang diduga merupakan tipe lazy-virescent pada PF 69.1 hasil pseudofertilisasi (warna daun hijau keputihan, tanaman lama berbunga), dan tipe dwarf pada D231, D9.1 hasil pseudofertilisasi, dan Dchi-11125 hasil kultur irisan multi ovul. .

118

119 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Ginogenesis melalui kultur irisan multi ovul, kultur irisan ovary, kultur ovari dan pseudofertilisasi lebih efektif menginduksi tanaman haploid dan haploid ganda

dibandingkan

androgenesis

dengan

frekuensi

keberhasilan

pembentukan haploid 5,1 tanaman haploid per 100 pseudofertilisasi. 2. Ginogenesis melalui kultur irisan multi ovul dan kultur ovari diperoleh dua putatif tanaman haploid ganda, sedang kultur irisan ovari diperoleh satu putatif tanaman haploid. 3. Ginogenesis melalui pseudofertilisasi menghasilkan tujuh tanaman haploid

Saran Dalam menerapkan teknologi untuk mendapatkan tanaman haploid atau haploid ganda yang cepat melalui pseudofertilisasi, sebaiknya serbuk sari yang diiradiasi sinar gamma, diaplikasikan tidak lebih dari satu hari setelah perlakuan iradiasi. Munculnya abnormalitas pembungaan awal pada kultur in vitro, mengganggu upaya untuk mendapatkan tanaman haploid, namun di sisi lain dapat untuk mempelajari mutan-mutan abnormalitas perkembangan bunga yang mengikuti model ABC. Oleh karena itu beberapa hal penting disarankan untuk penelitian berikutnya untuk menghindari terjadinya pembungaan prematur, penelitian diarahkan ke penggunaan prekusor untuk mencegah pembungaan in vitro yang prematur, sehingga penelitian mencari prekusor yang mampu mencegah pembungaan in vitro yang prematur perlu dilakukan.

120

121

DAFTAR PUSTAKA Achar PN. 2002. A study of factors affecting embryo yields from anther culture of cabbage. Plant Cell Tiss Org Cult. 69: 183–188. Alan AR, Brants A, Cobb E, Goldschmied PA, Mutschler MA, Erle ED. 2004. Fecund gynogenic lines from onion (Allium cepa L) breeding materials. Plant Sci. 167: 1055-1066. Ammirato PV. 1987. Organizational Events during Somatic Embryogenesis. In: Green CE, Somers DA, Hacket WP, Biesboer DD (Eds.) Plant Tissue and Cell Culture Plant Biology. Alan R. L, New York, USA. hlm: 57-81. Anonim 2005. The Biology and Ecology of Dianthus caryophyllus L. (Carnation). Office of The Gene Technology Regulator. Department of Health & Ageing. Australian Government. 16 p. Antequera F, Bird A. 1999. CpG islands as genomic footprints of promoters that are associated with replication origins. Current Biology, 9 (17): 661-667 Arnison PG, Donaldson P, Jackson A, Semple C, Keller W. 1990. Genotypespecific response of cultured broccoli (Brassica oleracea var. italica) anthers to cytokinins. Plant Cell Tissue Organ Cult. 20: 217-228. Asakaviciute R. 2008. Androgenesis in anther culture of Lithuanian spring barley (Hordeum vulgare L.) and potato (Solanum tuberosum L.) Cultivars. Turk J Biol 32 : 155-160. Aslam, M. 2000. Utilization of pollen irradiation technique for the improvement of G. Hirsutum L. Pak J of Biol. Sci. 3 (11): 1814-1816. Bal U, Abak K. 2003. Attempts of haploidy induction in tomato (Lycopersicon esculentum Mill) via gynogenesis I. Pollination with Solanum sisymbriifolium Lam. Pollen. Pak. J. Biol. Sci. 6 (8) 745 – 749. Benarova P, Hause G, Cenclova V, Cordewener Jan HG, Lookeren Campagne MM. 1997. A short severe heat shock is required to induce embryogenesis in late bicellular pollen of Brassica napus L. Sex Plant Reprod. 10:200208. Bermejo, Pardo AJ, Cano A. 2011. Influence of gamma irradiation on seedless citrus production: pollen germination and fruit quality. Food and Nutrition Science 2: 169-180. BI. 2004. Bunga Potong. SI-LMUK (Sistem-Informasi-Lending Model Usaha Kecil) Bank Indonesia. www.bi.go.id (diakses 8 Mei 2004). Bohanec B, Jakse M, Ihan A, Javornik B. 1995. Studies on gynogenesis in onion (Alium cepa L.) induction procedures and genetic analysis of regenerants. Plant Sci: 104: 215–24. Bohanec B, Jakse M. 1999. Variations in gynogenic respons among long day onion (Allium cepa L.) accessions. Plant Cell Rep. 18:737-742 Bohanec B. 2009. Doubled Haploid via Gynofenesis. In A. Touraev et al. (Eds). Advances in Haploid production in Higher Plants. Springer Science + Business Media B.V. hlm 35-46.

122 Brooks T. 1960. Cytological and genetical studies of the carnation, Dianthus caryophyllus, with special reference to the production of triploids. (thesis), University of Connecticut. Bunt AC, Cockshull KE. 1985. Dianthus caryophyllus. In: Halevy AH (Ed.) Handbook of Flowering. Boca Raton, Florida: CRC Press. hlm 433-440. Carraro L, Gerola PD, Lombardo G, Gerola FM. 1990. Pseudo-self-compatibility in ultraviolet_irradiated plants of Primula acaulis (’pin’ morph). J of Cell sci. 95: 659-665. Chalak L, Legave JM. 1997. Effect of pollination by irradiated pollen in Hayward kiwifruit and spontaneous doubling of induced parthenogenetic trihaploids. Scientia Hortic. 68: 83-93. Chen Y, Dribnenki P. 2002. Effect of genotype and medium composition on flax Linum usitatissimum L. anther culture. Plant Cell Rep. 21: 204–207. Cohat J. 1994. Obtention chez l’´echalote (Allium cepa L. var. agregatum ) de plantes haploıdes gynogenetiques par culture in vitro de boutons floraux. Agronomie 14: 299–304 Cordewener JHG, Hause G, Görgen E, Busink R, Hause B, Dons HJM, Van Lammeren AAM, Van Lookeren Campagne MM, Pechan P. 1995. Changes in synthesis and localization of members of the 70-kDa class of heat-shock proteins accompany the induction of embryogenesis in Brassica napus L. microspores. Planta 196:747–755 Coumans MP, Zhong D. 1995. Doubled haploid sunflower (Helianthus annuus L.) plant production by androgenesis: fact or artifact? 1. In vitro isolated microspore culture. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 41: 203-209. Crockett JU. 1972. Perennials. Time-Life Books. Alexandria. Virginia. hlm: 112113 Custers JBM, Cordewener JHG, Nöllen Y, Dons HJM, Van Lookeren Campagne MM. 1994. Temperature controls both gametophytic and sporophytic development in microspore cultures of Brassica napus. Plant Cell Rep. 13: 267-271. Custers JBM, Cordewener JHG, Fiers MA, Maassen BTH, van Lookeren Campagne MM, Liu CM. 2001. Androgenesis in Brassica: a model sistem to study the initiation of plant embryogenesis. In: Bhojwani SS, Soh WY (Eds.). Current Trends in The Embryology of Angiosperms. Kluwer Academic Publications. Dordrecht. Hlm 451-470. Darnaedi D. 1991. Informasi tentang kromosom. Pelatihan Sitogenetika tumbuhan PAU Ilmu Hayat IPB. 5 Nopember Desember 1991. IPB Bogor. Dolcet-Sanjuan R, Clavería E, Llauradó, Ortigosa A, Arús P. 2001. Carnation (Dianthus caryophyllus L.) dihaploid lines resistant to Fusarium oxysporum f.sp. dianthi. Acta Hortic. 560:141–144. Dore C. 1989. Obtention de plantes haploõÈdes de chou cabus (Brassica oleracea L. spp. capitata) apreas culture in vitro d'ovules polliniseas par du pollen irradiea. C.R. Acad. Sci. Paris, ser. III: 729-734. Ferrant V, Bouharmont L. 1994. Origin of gynogenic embryos of Beta vulgaris L. Sex. Plant Reprod. 7: 12-16

123 Finnegan EJ, Genger RK, Ovac KK, Peacock WJ, Dennis ES. 1998. DNA methylation and the promotion of flowering by vernalization. Proc. Natl. Acad. Sci. 95:5824-5829. Fisher MZ, Vainstien A. 1993. An efficient method for adventitious shoot regeneration from cultured carnation petals. Scientia Horticulturae. 53: 231-237. Frey L, Saranga Y, Janik J. 1992. Somatic embryogenesis in carnation. Hort. Sci. 27: 63-65 Fu XP, Yang SH, Bao MZ. 2008. Factors affecting somatic embryogenesis in anther culturesof Chinese pink (Dianthus chinensis L). In Vitro Cell.Dev.Biol.-Plant 44:194–202 Gaillard A, Vergne P, Beckert M. 1991. Optimization of maize microspore isolation and culture conditions for reliable plant regeneration. Plant Cell Reports. 10 (2): 55-58 Galbally J, Galbally E. 1997. Carnation and Pinks for Gardens and Greenhouse. Timber Press, Portland, Oregon. USA. 310 hlm. Geissman TA, Mehlquist GAL. 1947. Inheritance in the carnation, Dianthus caryophyllus . IV. The chemistry of flower color variation, I. Genetic 32: 410-433 Gelebart P, San LH. 1987. Production of haploid plants of sunflower (Helianthus annuus L.) by in vitro culture of non-fertilized ovaries and ovules. Agronomie 7: 81–86. Geoffriau E, Kahane R, Rancillac M. 1997. Variation of gynogenesis ability in onion (Allium cepa L.). Euphytica 94: 37–44 George EF, Hall MA, De Klerk GJ. 2007. Plant Propagation by Tissue Culture. 3rd Edition: Volume 1. The Background. Exegetic Basingstone. UK. 508 hlm. Germanà, MA. 2003. Somatic embryogenesis and plant regeneration from anther culture of Citrus aurantium and C. reticulata. Biologia. 58: 843–850 Godini A. 1979. Couting pollen grains of some Almond cultivars by means of an haemocytometer. Paper of the Progetto Finalizzato C.N.R. "Miglioramento delle produzioni vegetali per fini alimentari e industriali mediante interventi genetici", Sottoprogetto "Frutta secca". No 153 : 83 – 86. Goto K. 1996. Molecular and genetic analyses of flower homeotic genes of Arabidopsis. J. Biosci. 21:369-378 Guha S, Maheshwari SC. 1964. In vitro production of embryos from anthers of Datura. Nature. 204: 496. ___________________. 1966. Cell division and differentiation of embryos in the pollen grains of Datura innoxia. Nature 212: 97-98. Guo F, Jia Xj, Chen LX. 1982. Induction of plantlets from isolated ovules of Hevea brasiliensis. Hereditas 4: 27–28. Han, DS, Y Niimi, Nakano M. 1997. Regeneratiom of haploid plants from anther cultures of the Asiatic hybrid lily ‘Connecticut King’. Plant Cell, Tiss. and Org. Cult. 47: 153-158.

124 Hardjoko B. 1999. Anyelir. In Supari Dh. (Ed.) Seri Praktek Ciputri Hijau : Tuntunan Membangun Agribisnis. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. p. 219-234. Heberle-Bors E. 1985. In vitro haploid formation from pollen: a critical review. Theor. Appl. Genet. 71: 361-374. Hoekstra S. van Zijderworld MH, Heidekamap FL, Roue C. 1993. Microspore culture of Hordeum vulgare L: the influence of density and osmolality. Plant Cell Rep. 12: 661-665 Huang B, N Sunderland. 1982. Temperature-stress pretreatment in barley anther culture. Ann. Bot., 49: 77-88. Jacquard C, Wojnarowiez G, Clément C. 2003. Anther Culture in Barley. In Maluszynski, M., K.J. Kasha, B.P. Forster and I Szarejsko (eds). Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston/London. 428 hlm. Jakse M, Bohanec B, Ihan A. 1996. Effect of media components on the gynogenic regeneration of onion (Alium cepa L.) cultivars and analysis of regenerants. Plant Cell Rep 15: 934–8. Kallak H, Reidla M, Hilpus I. 1997. Effect of genotype, explant source and growth regulators on organogenesis in carnation callus. Plant Cell Tiss. Organ Cult., 51: 127-135. Kasha KJ. 2005. Chromosome Doubling and Recovery of Doubled Haploid Plants. In: CE Palmer, WA Keller, and KJ Kasha (Eds.). Haploid in Crop Improvement II, Volume 2. Springer Verlag, Berlin Heildelberg Germany. hlm 123 - 124 Kasha KJ, Simion E, Oro R, Shim YS. 2003. Barley isolated microspore culture protocol. In: Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejko I (eds) Doubled Haploid Production in Crop Plants: a Manual. Kluwer, Dordrecht, hlm 43–47 Kasha K J and M Maluszynzki. 2003. Production of doubled haploids in crop plants . in: Maluszynski M, Kasha KJ, Foster BP, Szarejko I (Eds). Doubled Haploid Production in Crop Plants A Manual. Kluwer Academic Publishers, The Netherlands. 428 hlm. Katoh N, Iwai S. 1993. Induction of haploid plants from unpollinated ovules in Nicotiana tustica. Plant Tiss. Cult. Lett 10 (2): 123-129 Katoh N, Hagimori M, Iwai S. 1993. Production of haploid plants of melon by pseudofertilized ovule culture. Plant Tiss. Cult. Lett. 10: 60-66. Keller J. 1990. Culture of unpollinated ovules, ovaries, and flower buds in some species of the genus Allium and haploid induction via gynogenesis in onion (Allium cepa L.). Euphytica 47: 241–247. Keller WA. 1984. Anther culture of Brassic. In Cell Culture and Somatic Cell Genetics of Plants, vol. 1. Vasil IK (ed). Academic Press, New York. hlm. 302-10. Kho YO, Baer J. 1973. The effect of temperature on pollen production in carnations. Euphytica 22: 467-470. Kikkert J, Striem M, Vidal J, P Wallace ,Barnard J, Reisch B. 2005. Long-term study of somatic embryogenesis from anthers and ovaries of 12 grapevine (Vitis sp.) genotypes. In Vitro Cell Dev Biol Plant. 41: 1475–2689

125 Komatsuda T. 1992. Research on somatic embryogenesis and plant regeneration in soybean. Bull Nat Inst Agrobiol Res 7: 1-7 Larkin PJ and Scowcroft WR. 1981. Somaclonal variation—a novel source of variability from cell cultures for plant improvement. Theor. Appi. Genet. 60:197-214, 1981 Leshem B. 1990. Somaclonal variation in carnation. In: Bajaj YPS (Ed). Biotechnology in Agriculture and Forestry. Vol. 11. Somaclonal Variation in Crop Improvement. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag. hlm 573-585, Lux HH, Wetzel C. 1990. Production of haploid sugar beet (Beta vulgaris L) by culturing unpollinated ovules. Plant Breed. 104: 177-183 Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejko I. 2003. Doubled haploid production in crop plants: A Manual. Kluwer Academic Publ., Dordrecht, Boston , London. 428 hlm. Martınez LE, Aguero CB, Lopez ME, Galmarini CR. 2000. Improvement of in vitro gynogenesis induction in onion (Allium cepa L.) using polyamines. Plant Sci. 156: 221–226 Marwoto B, Sanjaya L, Setyawati E. 1995. Characterization and Selection of Chrysanthemum resulted in crosses of selected cultivars. Progress report I. Program Biobress. Balai Penelitian Tanaman Hias. Badan Litbang Pertanian, Kementan. Mejza SJ, Morgan V, Dibona DE, Wong JK. 1993. Plant regeneration from isolated microspore of Triticum aesticum. Plant Cell Rep. 12: 149-153 Mehlquist GAL, Ober D, Sagawa Y. 1957. Somatic mutations in the carnation, Dianthus caryophyllus L. Genetic 40: 432-436. Merkele SA, Parrott W, Flin BS. 1995. Morphogenic Aspect of Somatic Embryogenesis. In: Torpedoed in vitro Embryogenesis in Plant. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht Bosta London, hlm. 155-203. Meynet J, Sibi M, 1984. Haploid plants from in vitro culture of unfertilized ovules in Gerbera jamesonii. Z. Pfanzenzuchtg 93: 78-85. Meynet J, Barrade R, Duclos A, Siadous R. 1994. Dihaploid plants of roses (Rosa x hybrid, cv “Sonia) obtained by parthenogenesis induced using irradiated pollen and in vitro culture of immature seeds. Agronomie 2: 169-175. Michalik B, Adamus A, Nowak E. 2000. Gynogenesis in Polish onion cultivars. J. Plant Physiol. 156, 211–216. Mii M, Buiatti M, Gimelli F. 1990. Carnation. In: Ammirato P., Evans DA, Sharp WR, Bajaj YPS (Eds.). Handbook of Plant Cell Culture V.5. Ornamental Spesies, New York: McGraw-Hill Publishing Company. hlm 284-318. Miyoshi K, Asakura N. 1996. Callus induction, regeneration of haploid plants and chromosome doubling in ovule culture of pot gerbera (Gerbera jemrsonii). Plant Cell Report 16:1-5. Mohan JS, Bhalla-Sarin N. 1997. Haploidy in Petunia. In: In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Mohan JS, Sopory SK, Veileux RE (Eds.) Volume 5. p: 53-71. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht/Boston/London.

126 Mol R. 1992. In vitro gynogenesis in Melandrium album – from partenogenetic embryos to mixoploid plants. Plant Sci 8: 261–269. Murovec J, Bohanec B. 2012. Haploid and Double Haploid Plant Breeding. University of Ljubljana, Biotechnical Faculty Slovenia. http://www.intechopen.com/books/ Plant Breeding. (diakses 17 Mei 2012). Mosquera T, Rodríguez LE, Parra A, Rodríguez M. 1999. In vitro adventive regeneration from Carnation (Dianthus caryophyllus) anther. International Symposium on Cut Flowers in the Tropics. Acta Hort. (ISHS) 482:305308. Musial K, Przywara L. 1998. Infuence of Irradiated Pollen on Embryo and Endosperm Development in Kiwifruit. Annals of Bot. 82: 747-756. Musial K, Bohanec B, Przywara L. 2001. Embryological study on gynogenesis in onion (Allium cepa L.). Sex Plant Reprod. 13: 335–341. Musial KB, Bohanec B, Jakse M, Przywara L. 2005. The development of onion (Allium cepa L.) embryo sac in vitro and gynogenesis induction in relation to flower size. In vitro Cell Dev Biol-Plant 41: 446-452. Nicoll MF, Chapman GP, James DJ. 1987. Endosperm responses to irradiated pollen in apples. Theor. Appl. Genet 74: 508-515. Nichterlein K . 2003. Anther culture of linseed (Linum usitatissimum L.). In: Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I (Eds.) Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston/London. hlm 249-254. Nontaswatsri C, Uchiyama, Fukai S. 2007. Shoot regeneration and genetic transformation of regenetaive callus culture in Dianthus hybrid ‘Telstar Scarlet’. Acta Horti. (ISHS) 764: 165-168. Nontaswatsri C, Ruamrungsri S, Fukai S. 2008. Callus induction and plant regeneration of Dianthus chinensis L. and Dianthus barbatus L. via anther culture. Acta hort. (ISHS) 788: 109-114 Nowak BKK, Miczyński, Hudy L. 2007. The effect of total inorganic nitrogen and the balance between its ionic forms on adventitious bud formation and callus growth of `Węgierka Zwykła' plum (Prunus domestica L.) Acta Physiol. Plant. 29(5): 479-484. Obert B, Žáčková Z, Šamaj J, Preťová A. 2009. Doubled haploid production in Flax (Linum usitatissimum L.). Biotechnol. Adv. 27: 371–375. Plasmeijer J, Yanai C. 2006. Cut Flowers and Ornamental Plants report. Market News Service. Report No. M2. 46 hlm. Palmer C, Keller W. 2005. Overview of haploidy: Haploids in crop improvement II. Biotech. Agric. Forest 56 :1–7. Pandey KK, Phung M. 1982. ``Hertwig effect'' in plants: induced parthenogenesis through the use of irradiated pollen. Theo. Appl. Genet. 62, 295-300. Pareek A, Kothari SL. 2003. Direct somatic embryogenesis and plant regeneration from leaf cultures of ornamental species of Dianthus. Scientia Hortic. 98 : 449–459. Pedroso MC, Pais MS. 1997. Anther and microspore culture in Camellia japonica. In: In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Mohan JS, Sopory SK,

127 Veileux RE (Eds.) Volume 5. Kluwer Dordrecht/Boston/London. Hlm. 89-108.

Academic

Publishers.

Peixe A, Campos MD, Cavaleiro C, Barroso J, Pais MS. (2000). Gammairradiated pollen induce the formation of 2n endosperm and abnormal embryo development in European plum (Prunus demestica L., cv “Rainha Claudia Verde”). Scientia Hortic. 86: 267-278. Post K.1955. Florist Crop Production and Marketing. Orange Judd publishing Company, inc. hlm 451-484. Powel W. 1988. The influence of genotype and terperaturepre-treatment on anther culture response in barley (Hordeum vulgare L.). Plant Cell Tisse Org cult, 12: 291-297. Radzan MK. 1993. An Introduction to Plant Tissue Culture. Intercept. Andover, Hampshire, UK. 398 hlm. Raquin C. 1985. Induction of haploid plants by in vitro culture of petunia ovaries pollinated with irradiated pollen. Z. P¯anzenzucht 94, 166-169. Reinert J, Bajaj YPS, Heberle E.1975. Induction of haploid tobacco plants from solated pollen, Brief report. Protoplasma 84: 191-196. Rimberia FK, Sunagawa H, Urasaki N, Ishimine Y Adaniya S.2005. Embryo induction via anther culture in papaya and sex analysis of the derived plantlets. Scientia Hort. 103: 199–208. Robinson KEP, Firoozabady E. 1993. Transformation of floriculture crops. Scientia Horticulturae. 55: 83-99. Rudolf K, Bohanec B, Hansen M. 1999. Microspore culture of white cabbage, Brassica oleracea var. capitata L.: genetic improvement of non-responsive cultivars and effect of genome doubling agents. Plant Breed 118: 237–241 Salinger JP. 1985. Commercial Flower Growing. Butterworths Horticultural Books. New Zealand. p: 151-161. San Noeum LH. 1976. Haploides d’Hordeum vulgare par culture in vitro d’ovaires non fe´condes. Ann. Ame´liar. Plantes 26, 751–754. Sato S, Katoh N, Yoshida H, Iwai S, Hagimori M. 2000. Production of doubled haploid plants of carnation (Dianthus caryophyllus L.) by pseudofertilized ovule culture. Scientia Hortic 83: 301-310. Satsijati, Nurmalinda, Ridwan H, Herlina D, Herman, Rahardjo IB, Effendie K, Marwoto B. 2004. Profil Komoditas Tanaman Hias Menunjang Strategi Penelitian untuk Pengembangan Agribisnis Florikultura. Laporan akhir. Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif, The Participatory Development of Agriculture Technology Project (PAATP). Balai Penelitian Tanaman Hias. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian (tidak dipublikasikan). Saunders JR, Saunders VA. 1988. Bacterial Transformatiion with Plasmid DNA. In Grinsted J. (Ed). Method in Microbiology. Vol 21. Academic Press. London. Hlm 79-122 Sauton A, Dumas VR. 1987. Obtention de plantes haploõedes chez melon (Cucumis melo L.) par gynogenease induite par du pollen irradie. Agronomie 7, 141-148.

128 Savaskan C. 2002. The effect of gamma irradiation on the pollen size of Gossipyium hirsutum L. Turk J Bot 26 : 477-480. Sestili S, Ficcadenti N. 1996. Irradiated pollen for haploid producton. In. Jain S et al. (Eds). In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Vol. I. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht. hlm. 263-274. Shalaby TA. 2007. Factors affecting haploid induction through in vitro gynogenesis in summer squash (Cucurbita pepo L). Sci. Hort. 115: 1-6. Shivanna KR. 2003. Pollen biology and biotechnology. Science Publishers 978-157808-241-4. p. 316. Shoemaker RC, Amberger LA, Palmer RG, Oglesby L, Ranch JP. 1991. Effects of 2.4-Dichlorophenoxy acetic acid concentration on somatic embryogenesis and heritable variation in soybean (Glycine max (L.) Merr.). In vitro Cell Dev Biol 27: 84-88. Sheeler P, Bianchi DE. 1987. Cell and Molecular Biology. John Wiley and Sons, Inc Canada. New York. 704 hlm. Sibi ML, Kobaissi A, Shekafandeh A. 2001. Green haploid plants from unpollinated ovary culture in tetraploid wheat (Triticum durum Defs.). Euphytica 122: 351–359. Simpson GG. 2004. The autonomous pathway: epigenetic and post-transcriptional gene regulation in the control of Arabidopsis flowering time. Curr. Opinion in Plant Biol. 7: 1-5. Snape JW, Parker BB, Simpson E, Ainsworth CC, Payne PI, Law CN. 1983. The use of irradiated pollen for differential gene transfer in wheat (Triticum aestivum). Theor. and Appl. Genet. 65:103-111. Sniezko R. 2006. Introduction: Meiosis in life Cycle Plant with different Phylogenetic Positions. In Dashek WV, Harisson M (Eds). Plant Cell Biology. Science Publisher. United States of Amerika. 494 hlm. Sopory SK, Maheswari. 1976. Development of pollen embryoids in anther culture of Datura innoxia. J. Exp. Bot 27 (1): 58-68. Sopory SK, M Munshi. 1996. Anther culture. In: Mohan JS, Sopory SK, Veileux RE (Eds.). In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht/Boston/London. 1: hlm145-176. Sparnaaij LD, Koehorst-van Putten HJJ . 1990. Selection for early flowering in progenies of interspecific crosses of ten species in the genus Dianthus. Euphytica 50 : 21 1-220. Strope K, Trees. 2003 S. Interspesific Dianthus Plants. Pub date March, 13, 2003. Plant Patent Application Publication. www.freepatentonlines.com/ 0051276. 7 hlm. Sugiyama K, Morishita M, Nishino E. 2002. Seedless watermelon produced via soft X-irradiated pollen. HortScience 37:251-419. Suharsono, Alwi M, Purwito A. 2009. Pembentukan tanaman cabai haploid melalui induksi ginogenesis dengan menggunakan serbuk sari yang diradiasi sinar gamma. J. Agron. Indoensia 37 (2): 123-129. Sunderland N, Wicks FM. 1971. Embryoid formation in pollen grain of Nicotiana tabacum. J. Exp. Bot. 22: 213-216.

129 Supena EDJ. 2004. Innovation in Microspora Embryogenesis in Indonesian Hot Pepper (Capsicum annuum L.) and Brassica napus L. Ph.D. Thesis. Wageningen University. Netherlands. 131 hlm. Tao ZR, Liau MS, Zhu ZC. 1985. In vitro induction of haploid planlets from the unpollinated ovaries of potato. Hereditas (Beijing) 7: 24. Tejaswini. 2002. Male gametophytic generation and possible approach for selective pollination in carnation (Dianthus) breeding programme. Rostlinna Vyroba 48 (8): 368-375. Terzi M, Loschiavo F. 1990. Somatic embryogenesis. In Bhojwani SS (Ed). Development in Crop Science 10. Plant Tissue Culture: application and limitation. Elsevier, New York. hlm 54-55. Thomas WTB, Forster BP, Gertsson B. 2003. Doubled haploids in breeding. In: Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I (Eds.) Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual.. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht/Boston/London. hlm 337-350. Todorova M, Ivanov P, Nenova N, Encheva J. 2004. Effect of female genotype on the efficiency of -inducedd parthenogenesis in sunflower (Helianthus annuus L.). Helia 27 (41): 67-74. Touraev A, Pfosser M, Heberle-Bors E. 2001. The microspore: a haploid multipurpose cell. Adv Bot Res 35:53–109. van den Bulk RW, de Vries-van Hulten HPJ, Dons JJM. 1992. Formation of multinucleate lily microspores in culture. Acta Horticulturae. 325: 649-654. van den Bulk RW, de Vries-van Hulten HPJ, Custers JBM, Dons JJM. 1994. Induction of embryogenesis in isolated microspores of tulip. Plant Sci. 104: 101-111. Vassileva-Dryanovska OA. 1966. Development of embryo and endosperm produced after irradiated of pollen in Tradescantia. Hereditas 55: 129148. Warner CP, Dunkin I, Cornish MA, Jones GH. 1984. Gene transfer in Nicotiana rustica by means of irradiated pollen. II. Cytogenetical consequences. Heredity 52: 113-119. Wattimena GA. 1988. Zat Pengaatur tumbuh Tanaman. PAU IPB. 145 hlm. Wedzony M, Forster BP, Zur I, Golemiec E, Szechynska-Hebda M, Dubas E, Gotebiowska G. 2009. Progress in Doubled Haploid Technology in Higher Plants. In Touraev A, Forster BP, Jain SM (Eds.). Advances in Haploid Production in Higher Plants. www.springer .com. (9 Oktober 2011). Widoretno W, Arumningtyas EL, Sudarsono. 2003. In vitro methods for inducing somatic embryos of soybean and plant regeneration. Hayati 10 (1):19-24. Winarto B, Rachmawati F, Teixeira da Silva JA. 2011. New basal media for halfanther culture of Anthurium andreanum Linden ex André cv. Tropical. Plant Growth Regul. 65 (3): 513-529. Winarto, B.2009. Androgenesis: Upaya terobosan untuk penyediaan tanaman haploid atau haploid ganda pada Anthurium (disertasi). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

130 Wu BJ, Chen KC. 1982. Cytological and embryological studies on haploid plant production from cultured unpollinated ovaries of Nicotiana tabacum L. Acta Bot Sin 24: 125–129. Yang HY, Zhou C. 1982. In vitro induction of haploid plants from unpollinated ovaries and ovules. Theor. Appl. Genet. 63, 97–104. Yang H, Zhou C, Cai D, Yan H, Wu Y, Chen X. 1986. In vitro culture of unfertilized ovules in Helianthus annuus L. In: Hu H, Yang H (Eds) Haploids of higher plants in vitro. Springer, Berlin, hlm 182–191. Yantcheva A, Vlahova M, Antanassov A. 1998. Direct somatic embryogenesis and plant regeneration of carnation (Dianthos caryophyllus L.). Plant Cell Rep. 18: 148-153. Yu Q, H Ma. 1998. The flowering transition and florigen. Curr. Biol. 8: 815. Yuan Su-xia, Mei LY, Yuan FZ, Mei YL, Mu Z, Yong ZY, Tian SP. 2009. Study on the relationship between the ploidy level of microspore-derived plants and the number of chloroplast in stomatal guard cells in Brassica oleracea. Agric. Sci.- China 8 (8): 939-946. Zavlatteri MA, Frederico AM, Lima M, Sabino R, Schmitt BA. 2010. Induction of somatic embryogenesis as an example of stress-related plant reactions. http://www.ejbiotechnology.info/content/vol13/issue1/full/4. (diakses 17 Mei 2012). Zhang YX, Lespinasse Y. 1991. Pollination with gamma-irradiated pollen and development of fruits, seeds and parthenogenic plants in apple. Euphytica 54: 101-109. Zhang YX, Lespinasse Y, Chevreau E. 1988. Obtention de plantes haploõedes de pommier (Malus domestica Borich) issues de parthenogenese induite in situ par du pollen irradietet culture in vitro des pepins immatures. C. R. Acad. Sci. Paris, ser. III. hlm 451-457. Zhou C, Yang H, Tian H, Liu Z, Yan H. 1986. In vitro culture of unpollinated ovaries in Oryza sativa L. In: Hu H, Yang H (Eds) Haploids of higher plants in vitro. Springer, Berlin. hlm 167–181.

131 Lampiran 1. Rata-rata ukuran bagian-bagian bunga pada lima genotipe Genotipe

fase

Panjang kuncup/ kelopak (cm)

Diamete r (cm)

Braktea (cm)

panjang petal (cm)

panjang stamen (cm)

jumlah antera

panjang ovari (cm)

panjang stilus (cm)

Dchi-11

1

1,115

0,240

1,095

0,410

0,160

10

0,155

0,145

2

1,500

0,370

1,435

0,805

0,310

10

0,295

0,230

3

1,510

0,400

1,350

1,030

0,370

10

0,345

0,300

4

1,580

0,385

1,130

1,580

0,560

10

0,485

0,475

5

1,715

0,390

1,390

1,590

0,640

10

0,490

0,490

6

1,700

0,395

1,180

1,760

0,760

10

0,560

0,540

7

1,755

0,430

1,360

1,840

0,840

10

0,595

0,570

1

1,110

0,200

1,480

0,305

0,100

10

0,150

0,100

2

1,310

0,230

1,380

0,465

0,215

10

0,200

0,160

3

1,510

0,250

1,540

0,710

0,320

10

0,225

0,175

4

1,640

0,290

1,480

0,900

0,355

10

0,290

0,260

5

1,700

0,300

1,440

1,100

0,495

10

0,405

0,315

6

1,770

0,350

1,440

1,660

0,675

10

0,500

0,445

7

1,750

0,400

1,283

2,075

1,108

10

0,558

0,508

1

1,105

0,260

1,045

0,495

0,215

10

0,190

0,150

2

1,295

0,315

1,130

0,815

0,295

10

0,275

0,230

3

1,380

0,335

1,105

1,060

0,370

10

0,315

0,300

4

1,420

0,350

1,120

1,090

0,375

10

0,330

0,330

5

1,420

0,335

1,065

1,120

0,465

10

0,365

0,360

6

1,470

0,340

0,985

1,500

0,610

10

0,460

0,485

7

1,550

0,350

1,130

1,680

0,780

10

0,500

0,500

1

1,285

0,265

1,325

0,505

0,275

10

0,210

0,160

2

1,535

0,295

1,510

0,915

0,380

10

0,285

0,240

3

1,530

0,295

1,445

1,115

0,420

10

0,360

0,310

4

1,650

0,350

1,600

1,500

0,500

10

0,363

0,363

5

1,655

0,385

1,430

1,345

0,550

10

0,420

0,400

6

1,715

0,360

1,460

1,550

0,745

10

0,515

0,510

7

1,665

0,395

1,295

1,710

0,890

10

0,580

0,555

1

1,356

0,295

1,296

0,481

0,280

10

0,285

0,200

2

1,400

0,300

1,300

0,500

0,300

10

0,300

0,200

3

1,533

0,333

1,100

0,483

0,283

10

0,250

0,200

4

1,733

0,383

1,317

1,267

0,483

10

0,367

0,350

5

1,650

0,400

1,233

1,333

0,567

10

0,483

0,483

6

1,950

0,400

1,250

1,900

0,800

10

0,500

0,500

7

1,900

0,500

1,500

2,200

1,000

12

0,600

0,500

Dchi-V12

Dchi-13

Dchi-V14

Dchi-V15

132 Lampiran 2. Tabel komposisi media dasar yang digunakan WT MS Komposisi bahan kimia -1 ------- mg L ---Elemen makro NH4NO3 550 1650 KNO3 1250 1900 Ca(NO3)2.4H2O 250 MgSO4 180 370 CaCl2 300 440 NaH2PO4.H2O 200 KH2PO4 150 170 Elemen mikro H3BO3 5,7 6,2 KI 0,65 0,83 MnSO4.H2O 15,5 22,3 ZnSO4.7H2O 7,5 8,6 Na2MoO4.2H2O 0.2 0,25 CuSO4.5H2O 0,02 0,025 CoCl2.6H2O 0,02 0,025 Na2EDTA.2H2O 37,3 37,3 FeSO4.7H2O 27,5 27,8 Myo-inositol 110 100 Thiamin-HCl 0,5 0,1 Piridoxin 0,5 Niacin 0,5 Glisin 2 Keterangan: Medium WT (Winarto et al. 2011)

133 Lampiran 3. Komposisi dan formula media dasar untuk embriogenesis Komponen media

M1

Formulasi media dasar (mg/l) M2 M3

M4

M5

Elemen makro NH4NO3 KNO3

550 1250

1650 1900

1650 1900

1650 1900

1650 1900

Ca(NO3)2.4H2O

250

-

-

-

-

MgSO4

180

370

370

370

370

CaCl2

300

440

440

440

440

NaH2PO4.H2O

200

-

-

-

-

KH2PO4 Elemen mikro

150

170

170

170

170

H3BO3 KJ

5,7 0,65

6,2 0,83

6,2 0,83

6,2 0,83

6,2 0,83

MnSO4.H2O

15,5

22,3

22,3

22,3

22,3

ZnSO4.7H2O

7,5

8,6

8,6

8,6

8,6

Na2MoO4.2H2O

0.2

0.25

0.25

0.25

0.25

CuSO4.5H2O

0.02

0.025

0.025

0.025

0.025

CoCl2.6H2O

0.02

0.025

0.025

0.025

0.025

Na2EDTA.2H2O

37.3

37.3

37.3

37.3

37.3

FeSO4.7H2O As.amino L glutamin casein hidrolisat Vitamin Myo-inositol Thiamin-HCl Piridoxin Niacin L-Prolin Glisin ZPT 2,4-D NAA TDZ BAP BA Sukrosa/maltosa

27.5

27.8

27.8

27.8

27.8

-

-

-

-

400 400

110 0,5

100 0.1 0.5 0.5 2

100 0.1 0.5 0.5 2

100 0.1 0.5 0.5 2

100 0.1 0.5 0.5 103,77 2

0,10 1,00 20.000

1,00 1,00 20.000

0,35 1,00 60.000

2,00 1.00 30.000

-

0,01 0,50 1,00 30.000