HIDROLISIS PATI SAGU (METROXYLON SAGU ROTTB.) OLEH ENZIM β

Download Hidrolisis Pati Sagu Untuk Pembuatan Deskstrin – Ni'maturohmah, dkk. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 1 ... dalam aplikasi maka...

0 downloads 387 Views 465KB Size
Hidrolisis Pati Sagu Untuk Pembuatan Deskstrin – Ni’maturohmah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 1 p.292-302, Januari 2015

HIDROLISIS PATI SAGU (Metroxylon sagu Rottb.) OLEH ENZIM β-AMILASE UNTUK PEMBUATAN DEKSTRIN Hydrolysis of Sago ( Metroxylon Sago Rottb.) Starch by β-Amylase for Making Dextrin Eva Ni’maturohmah1*, Yunianta1 1) Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Brawijaya Malang Jl. Veteran, Malang 65145 *Penulis Korespondensi, Email: [email protected] ABSTRAK Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman asli dari Asia Tenggara dan produksi sagu terbesar berada di Papua. Tetapi hanya dikonsumsi sekitar 4-5 % dari total produksi. Pati sagu dapat diolah untuk menghasilkan dekstrin yang lebih bisa dialikasikan dalam aplikasi makanan. Dekstrin adalah produk dari proses hidrolisis parsial struktur pati dengan asam ataupun enzim. Dalam penelitian ini dekstrin akan diproduksi dengan menggunakan enzim β-amilase dan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor pertama yaitu konsentrasi enzim 0.06%, 0.08% dan 0.10% (w/w) dan lama inkubasi 5,10 dan 15 (jam). Hasil penelitian menunjukkan interaksi antara konsentrasi enzim β-amilase dan lama inkubasi memberikan pengaruh sangat nyata (α = 0.05) terhadap viskositas dekstrin. Perlakuan terbaik diperoleh dari perlakuan konsentrasi enzim β-amilase sebesar 0.10% dan lama inkubasi selama 15 jam. Pelakuan terbaik memiliki karakteristik fisik dan kimia : kadar abu 0.18%, gula reduksi 0.49%, dextrose equivalent 2.16, dry solid 22.69%, viskositas panas110 cps dan viskositas dingin 103.3 cps. Kata kunci : Pati Sagu, Enzim β-Amilase, Dekstrin ABSTRACT Sago (Metroxylon sago Rottb.) is a plant native to Southeast Asia and the largest sago production is in Papua, but the consumption only about 4-5% of the total production. Sago strarch can be processed to produce dextrin which much more applicable in food applications. Dextrin is partially hydrolysis of starch obtained by acid or enzyme hydrolisis. In this study dextrin produced by using the enzyme β-amylase and using completely randomized design (CRD). The first factor were the concentration of enzyme 0.06%, 0.08% and 0.10% (w / w) and incubation time 5,10 and 15 (hours). The best treatment was obtained from the treatment of β-amylase enzyme concentration of 0:10% and incubation time for 15 hours. The best treatment gave dextrin with characteristics as follows: ash content 0.18%, reducing sugar 0.49%, dextrose equivalent 2.16, dry solid 22.69%, hot viscosity 110 cps and cold viscosity of 103.3 cps. Keywords: β-Amylase, Dextrin, Sago starch PENDAHULUAN Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman asli dari Asia Tenggara. Produksi sagu pada tahun 2004 sekitar 7.140 t/tahun sedangkan konsumsi sagu untuk makanan pokok di Papua tahun 2004 mencapai 50.18 kg/kapita/tahun, lebih rendah dibanding bahan pangan lainnya yaitu padi dan ubi-ubian masing-masing 130 kg dan 75.30 kg/kapita/tahun [1]. Dalam industri pangan pemanfaatan pati sagu paling banyak berupa produk dekstrin. Dekstrin dapat dibuat dari hasil reaksi hidrolisis (tidak sempurna) terhadap 292

Hidrolisis Pati Sagu Untuk Pembuatan Deskstrin – Ni’maturohmah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 1 p.292-302, Januari 2015 pati karena pengaruh panas, asam dan enzimatis. Dalam industri pangan, pati teroksidasi (dekstrin) digunakan sebagai pengental, pengemulsi, pengikat, dan pencegah sinerisis untuk mempertahankan mutu pangan. Pembuatan dekstrin selama ini menggunakan proses konversi kering dan konversi basah menggunakan asam. Tetapi dalam perkembangannya penggunaan enzim sebagai biokatalis lebih banyak digunakan karena berbagai pertimbangan, menurut [2] adalah tidak membutuhkan alat pemroses dengan konstruksi khusus, dapat dilakukan pada pH dan suhu yang tidak ekstrim, konversi tinggi, dan pengendalian prosesnya mudah. Hidrolisis secara enzimatis lebih menguntungkan dibandingkan hidrolisis asam, karena prosesnya lebih spesifik, kondisi prosesnya dapat dikontrol, biaya pemurnian lebih murah, dan kerusakan warna dapat diminimalkan [3]. Umumnya pembuatan dekstrin menggunakan enzim α-amilase dengan memotong rantai panjang pati menjadi unit-unit rantai glukosa, molekul pati yang lebih pendek yang disebut maltodekstrin, dengan Dextrose Equivalent (DE) < 20. Sedangkan pada penelitian ini molekul pati akan dipecah secara enzimatis menggunakan enzim β-amilase dengan konsentrasi (0.06%, 0.08% dan 0.10%) dan lama inkubasi (5 jam, 10 jam dan 15 jam). Enzim β-amilase sama seperti α-amilase memotong ikatan α-1,4 glikosidik, tetapi proses pemotongannya sangat lambat dan hanya memotong 2 gugus glukosa setiap potongannya. Dan proses pemotongannya satu-persatu dari ujung terluar amilosa atau amilopektin dimulai dari gugus non-reduksi. Produk akhir berupa maltosa dan dekstrin dengan DE < 5 dan lebih dari 2. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan utama berupa pati sagu yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Papua. Enzim β-Amilase dari malt barley sigma dengan kemampuan hidrolisis sebesar 14.8 units maltosa per ml enzim diperoleh dari laboratorium Biokimia dan Anlisa Pangan. Beberapa bahan kimia yang diperoleh dari Laboratorium Biokimia dan Analisis Pangan dan beberapa toko kimia di Malang, seperti NaOH 0.1 N, HCl 0.1 N, etanol 96%, larutan iodin 5%, CaCO3 p.a, larutan DNS, kertas saring, aquades. Alat Beaker glass 250 mL, spatula besi, alumunium foil, erlenmeyer 250 mL (Herma), labu ukur 100 mL (Pyrex), pipet volume 5 mL dan 10 mL (Pyrex), tabung reaksi (Pyrex), corong kaca (Herma), gelas ukur (pyrex), vortex (Turbo Mixer), pH meter (Senz), spektrofotometer (20 D Plus), timbangan analitik (Denver Instrument M-310), waterbath, thermometer, oven listrik (WTC Binder), tanur (Thermolyne), micropipet, bola hisap (Marienfiel), cawan porselin, desikator, pipet tetes, lemari asam, penangas air dan viskosimeter. Desain penelitian Rancangan untuk penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua faktor yaitu konsentrasi enzim (E) dan lama inkubasi (T). Faktor I terdiri dari 3 level dan faktor II terdiri dari 3 level, sehingga diperoleh 9 kombinasi perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 27 satuan percobaan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan ANOVA menggunakan program Microsoft Excel. Apabila dari hasil uji terdapat beda nyata makan dilanjutkan dengan DMRT dengan taraf 5% untuk melihat perbedaan antar perlakuan.

293

Hidrolisis Pati Sagu Untuk Pembuatan Deskstrin – Ni’maturohmah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 1 p.292-302, Januari 2015 Tahapan penelitian Pembuatan dekstrin Penimbangan pati sagu sebanyak 30 g. Pelarutan pati sagu dengan aquadest sampai 100 ml. Pengaturan pH dengan NaOH 1N atau HCL 1N hingga mencapai pH 5.5 ± 0.2. Penambahan CaCO3 20ppm. Tahap gelatinisasi pada suhu 70°C selama 25 menit. Setelah tahap gelatinisasi tercapai, tahap selanjutnya adalah pengadukan sampai homogen dan sampai suhu turun mencapai ± 50°C. Penambahan enzim sebanyak 0.06%, 0.08% dan 0.10% (b/b) kemudian dilakukan pengadukan sampai homogen. Tahap selanjutnya adalah inkubasi pada shaker waterbath dengan suhu 60°C ± 3°C selama 5 jam, 10 jam dan 15 jam. Setelah tahap inkubasi selesai dilakukan inaktivasi enzim di oven listrik pada suhu 105°C selama 15 menit sehingga diperoleh dekstrin. Prosedur analisis 1. Analisis Kadar Air cara pemanasan thermogravimetri [4] Sampel ditimbang 1-2 gr dalam cawan yang sudah diketahui beratnya dan dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105°C selama 3-5 jam. Didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengurangan berat merupakan banyaknya air dalam bahan. Perhitungan kadar air berdasarkan berat kering. 2. Analisis Kadar Abu [5] Sampel ditimbang sebanyak 3-5 g, dimasukkan dalam cawan pengabuan. Pengabuan dilakukan dalam dua tahan; tahap pertama pada suhu sekitar 400 0C dan kedua pada suhu 550 oC. Didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. 3. Analisis Kadar Pati Metode Direct Acid Hydrolysis [4] Sampel ditimbang sebanyak 2-5 gr dan dimasukkan dalam erlenmeyer 250 mL. Ditambahkan 50 mL aquades dan diaduk selama ±1 jam. Suspensi disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan aquades sampai volume filtrat 250 mL. Residu dipindahkan secara kuantitatif dalam kertas saring ke dalam erlenmeyer, kemudian dicuci dengan 200 ml aquades dan ditambahkan 20 mL HCl 25%. Setelah itu ditutup dengan pendingin balik dan dipanaskan di atas penangan air mendidih selama ± 2.5 jam. Setelah dingin dinetralkan dengan larutan NaOH 45% dan diencerkan sampai volume 500 ml kemudian disaring dan diproleh filtrat akhir.Diambil 1 mL diltrat akhir, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 mL reagen nelson kemudian dipanaskan 100 oC selama 20 menit dan didinginkan pada suhu kamar. Ditambahkan 1 mL reagen arsenomolibdat dan divortex. Diencerkan dengan 7 mL aquades dan divortex. Absorbansi diukur pada = 540 nm. 4. Analisis kadar amilosa [6] Sampel ditimbang 100 mg sampel dalam bentuk tepung dimasukkan dalam tabung reaksi. Ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1N. Dipanaskan dalam air mendidih 10 menit sampai terbentuk gel dan didinginkan. Gel dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL dan volume ditepatkan dengan aquadest sampai tanda tera. Dipipet 5 mL larutan, masukkan dalam labu takar 100mL tambahkan asam asetat 1N, 2 mL larutan iod dan aquadest sampai 100 ml. Labu dikocok sampai homogen dan didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 625 nm. 5. Analisis kadar amilopektin Analisis kadar amilopektin menggunakan metode by different dari hasil analisis pati dan amilosa sebelumnya. Kadar amilopektin (%b/b) = kadar pati (%) – kadar amilosa (%) 6. Viskositas Sampel ditimbang 30 g sampel (perbandingan sampel dan aqudes 1:4). Ditambahkan 120 mL aquades dan dipanaskan sampai suhu 95oC, viskositas diukur. Pasta diukur viskositas dinginnya setelah suhu menurun menjadi 50oC. 294

Hidrolisis Pati Sagu Untuk Pembuatan Deskstrin – Ni’maturohmah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 1 p.292-302, Januari 2015

7. Persentase DE [7] a. Pengukuran gula reduksi Setiap sampel diambil sampel sebanyak 1 gr. Kemudian diencerkan sebanyak100 ml. Dari pengenceran tersebut, sampel diambil 1 ml dimasukkan kedalam tabung reaksi. Sampel tersebut ditambahkan 3 ml pereaksi DNS (5 g DNS, fenol 1 ml, natrium sulfit 0.25 g, kalium-natrium tartarat 100 g dan kristal NaOH 5 g, dilarutkan dalam labu takar 500 ml dengan aquades) dan divorteks, dipanaskan dalam air mendidih tepat 5 menit pada suhu 100 oC. Kemudian didinginkan secara cepat dengan air mengalir dan diukur absoransinya pada panjang gelombang 540 nm. b. Pengukuran Dextrose Equivalent rumus hitung DE, yaitu HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kadar air Produk dekstrin yang dihasilkan pada peneltian ini berupa pasta yang belum melaui poses pengeringan. Sehingga perlu dilakukan penentuan kadar air pada produk dekstrin ini. Gambar 1 menyajikan rerata kadar air pada dekstrin basah, 80

% kadar air

60 40 20 0 0,06

0,08 0,1 konsentrasi enzim % (b/b) inkubasi 5 jam inkubasi 10 jam inkubasi 15 jam Gambar 1. Hubungan Antara Perlakuan Konsentrasi Enzim dan Lama Inkubasi terhadap Kadar Air (%) Dextrin Sagu Gambar 1 menunjukkan kadar air tertinggi pada perlakuan konsentrasi β-amilase 0.10% dan terendah pada perlakuan konsentrasi 0.06%. Hal ini dikarenakan semakin tinggi konsentrasi enzim, maka enzim yang dapat memecah substrat semakin banyak sehingga unit – unit maltosa yang terbentuk juga meningkat. Air yang terdapat pada larutan pati akan terikat dengan molekul maltosa hasil hidrolisis enzim, dimana semakin tinggi kadar maltosa menyebabkan air yang terikat semakin banyak, sehingga kadar air akan semakin menurun. Menurut [8] penurunan kadar air yang semula bebas mengalir menjadi terikat. 2.

Kadar abu Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Tujuannya adalah untuk mengetahui bahan organik yang hilang pada saat proses pengabuan sehingga yang tertinggal hanyalah bahan anorganik. Gambar 2 menyajikan rerata kadar abu pada dekstrin. Gambar 2 menunjukkan adanya kenaikan tren kadar abu pada setiap level lama inkubasi dan konsentrasi enzim. Kadar abu terendah terjadi pada level inkubasi 5 jam dan konsentrasi enzim 0.06%, sedangkan kadar abu tertinggi pada level inkubasi 15 jam dengan konsentrasi enzim 0.10%. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh antara 2 faktor. Akan tetapi setelah dilakukan analisis ragam (ANOVA) tidak terjadi beda nyata pada kedua faktor 295

Hidrolisis Pati Sagu Untuk Pembuatan Deskstrin – Ni’maturohmah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 1 p.292-302, Januari 2015 dan interaksinya. Hal ini dikarenakan kadar abu pada dekstrin sangat rendah yaitu dibawah 0.2% dengan kisaran nilai tiap level yang tidak terlalu jauh. Jika dibandingkan dengan syarat mutu dekstrin menurut [8] maksimal kadar abu adalah sebesar 0.5% b/b. Sedangkan pada penelitian ini kadar abu maksimal tercapai pada angka 0.18% b/b, sehingga sudah sesuai dengan syarat mutu dekstrin.

% kadar abu

0,2 0,15 0,1 0,05 0 0,06

0,08 0,1 konsentrasi enzim % (b/b) inkubasi 5 jam inkubasi 10 jam inkubasi 15 jam Gambar 2. Hubungan Antara Perlakuan Konsentrasi Enzim dan Lama Inkubasi terhadap Kadar Abu (%) Dextrin Sagu 3. Total padatan Total padatan merupakan pati yang tidak terhidrolisis selama proses inkubasi. Berdasarkan hasil penelitian rerata padatan (dry solid) dari dekstrin pati sagu berkisar 22.6%- 25.2%. Grafik hubungan konsentrasi enzim terhadap dry solid dekstrin pati sagu dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan bahwa dry solid menurun seiring kenaikan konsentrasi enzim. Semakin tinggi konsentrasi enzim menyebabkan hidrolisis pati semakin banyak dan cepat sehingga menghasilkan molekul-molekul larut air seperti maltosa dan molekul yang lebih sederhana lainnya. Dengan meningkatnya molekul yang terlarut menurunkan dry solid dalam dekstrin. Dalam pembuatan dekstrin dengan DE rendah tidak diinginkan terlalu banyak padatan terlarut. 30 25 dry solid %

20 15 10 5 0 0,06

0,08 konsentrasi enzim % (b/b) inkubasi 5 jam inkubasi 10 jam

0,1 inkubasi 15 jam

Gambar 3. Hubungan Antara Perlakuan Konsentrasi Enzim dan Lama Inkubasi terhadap dry solid (%) Dextrin Sagu

296

Hidrolisis Pati Sagu Untuk Pembuatan Deskstrin – Ni’maturohmah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 1 p.292-302, Januari 2015 Hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi enzim berbanding lurus. Jadi, makin besar konsentrasi enzim makin cepat laju reaksi [9]. Dapat dikatakan pada konsentrasi enzim yang besar peluang untuk substrat diolah oleh enzim menjadi makin besar. Pada konsentrasi enzim 0.10% banyak substrat yang diolah oleh enzim. Hal ini menyebabkan total padatan berupa pati yang tersisa menjadi sedikit. 4. Gula reduksi Gula reduksi merupakan gula sederhana seperti (glukosa, maltosa, dekstrin, maltotriosa dan maltotetrosa). Berdasarkan data penelitian didapatkan kadar gula reduksi dekstrin berkisar 0.3% sampai 0.5% . Gambar 4 menunjukkan grafik rerata kadar gula reduksi akibat pengaruh konsentrasi enzim dan lama inkubasi. 0,5 % Gula Reduksi

0,4 0,3 0,2 0,1 0 0,06

0,08 0,1 konsentrasi enzim % (b/b) inkubasi 5 jam inkubasi 10 jam inkubasi 15 jam

Gambar 4. Hubungan Antara Perlakuan Konsentrasi Enzim dan Lama Inkubasi terhadap Gula Reduksi (%) Dextrin Sagu Gambar 4 menunjukkan kenaikan tren gula reduksi pada dekstrin disetiap level konsentrasi enzim. Akan tetapi pada inkubasi 5 jam dan 10 jam tidak menampakkan perbedaan kenaikan tren bahkan nilainya cenderung sama di setiap level konsentrasi enzim. Hal ini menunjukkan bahwa pemecahan pati oleh enzim antara lama inkubasi 5 jam dan 10 jam tidak jauh berbeda. Kenaikan gula reduksi baru terlihat pada inkubasi 15 jam. Seiring meningkatnya konsentrasi enzim maka semakin banyak pati yang terhidrolisis dan akan meningkatkan aktivitas enzim untuk memecah ikatan-ikatan glikosidik menjadi gula sederhana (glukosa, maltosa, dekstrin, maltosa, maltotriosa dan maltotetrosa). Semakin banyak ikatan glikosidik yang dapat dipecah akan menyebabkan jumlah gula reduksi meningkat. 5. Dextrose Equivalent DE menunjukkan banyaknya polimer pati yang telah terpotong menjadi molekul – molekul glukosa sederhana yaitu glukosa, maltosa, dan dekstrin. Secara komersial penggunaan dekstrin dipengaruhi oleh nilai DE. Nilai DE merupakan parameter utama yang menggambarkan seberapa banyak pati yang terkonversi menjadi glukosa akibat hidrolisis enzim. Dari data penelitian diperoleh nilai DE dekstrin berkisar antara 1.2% sampai 2.2%. Grafik pengaruh perlakuan konsentrasi enzim β-amilase dan lama inkubasi terhadap nilai DE dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar menunjukkan konsentrasi enzim dan lama inkubasi mempengaruhi nilai DE dari dekstrin. Semakin tinggi konsentrasienzim nilai DE dekstrin semakin meningkat. Rerata nilai DE tertinggi diperoleh pada dekstrin dengan konsentrasi enzim 0.1% dengan lama inkubasi 15 jam yaitu 2.19%, sedangkan nilai DE terendah ada pada dekstrin dengan kosentrasi enzim 0.06% dengan lama inkubasi 5 jam yaitu sebesar 1.33%. Penambahan konsentrasi enzim akan meningkatkan kecepatan reaksi bila substrat tersedia secara 297

Hidrolisis Pati Sagu Untuk Pembuatan Deskstrin – Ni’maturohmah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 1 p.292-302, Januari 2015 berlebih. Analisis DE pada penelitian ini dilakukan pada dekstrin basah. Semakin tinggi DE larutan maka semakin tinggi pula kadar maltosa dan semakin rendah kadar dekstrin [10].

Nilai DE

2 1,5 1

0,5 0 0,06

0,08 konsentrasi enzim % (b/b) inkubasi 5 jam inkubasi 10 jam

0,1 inkubasi 15 jam

Gambar 5. Hubungan Antara Perlakuan Konsentrasi Enzim dan Lama Inkubasi Terhadap Nilai Dextrose Equivalent 6. Viskositas panas Viskositas pangan merupakan parameter kemudahan pemasakan dan menunjukkan kelemahan granula dalam mengembang. Proses pengukuran viskositas dilakukan pada shu 95 oC. Hasil analisis menunjukan rerata viskositas panas dekstrin akibat lama inkubasi pada beberapa konsentrasi enzim berkisar 106.7 cps – 273.3 cps. Kecenderungan perubahan sifat viskositas panas pada dekstrin dapat dilihat pada Gambar 6,

Viskositas (cps)

300 250 200 150 100 50 0 0,06

0,08 0,1 konsentrasi enzim % (b/b) inkubasi 5 jam inkubasi 10 jam inkubasi 15 jam Gambar 6. Hubungan Antara Perlakuan Konsentrasi Enzim dan Lama Inkubasi Terhadap Nilai Viskositas Panas Dekstrin Rerata viskositas panas dekstrin cenderung menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi enzim dan lama inkubasi (Gambar 6). Hasil analisis ragam menunjukka bahwa penambahan konsentrasi enzim dan lama inkubasi berpengaruh sangat nyata terhadap viskositas panas dekstrin. 7. Viskositas dingin Viskositas pasta dingin adalah viskositas setelah pendinginan pada 50oC [11]. Kecenderungan retrogradasi dapat dilihat dari viskositas dingin. Parameter yang digunaka untuk menentukan produk berbasis pati adalah viskositas dingin yang menujukkan kemampuan pati atau tepung membentuk gel setelah pemasakan. Viskositas dingin pasta dekstrin yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 100 cps – 465 cps. Kecenderungan perubahan sifat viskositas dingin pada dekstrin dapat dilihat pada Gambar 7. 298

Hidrolisis Pati Sagu Untuk Pembuatan Deskstrin – Ni’maturohmah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 1 p.292-302, Januari 2015

Viskositas (cps)

500 400 300 200 100 0 0,06 0,08 konsentrasi enzim % (b/b) inkubasi 5 jam inkubasi 10 jam

0,1 inkubasi 15 jam

Gambar 7. Hubungan Antara Perlakuan Konsentrasi Enzim dan Lama Inkubasi Terhadap Nilai Viskositas Dingin Dekstrin Rerata viskositas dingin dekstrin cenderung menurun dengan semakin tingginya konsentrasi enzim dan semakin lama inkubasi. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi enzim dan lama inkubasi memberikan pengaruh sangat nyata pada α= 0.05 terhadap viskositas dingin pasta dekstrin. Hal ini dikarenakan semakin tinggi konsentrasi enzim yang diberikan menyebabkan peningkatan aktifitas enzim sehingga semakin banyak molekul maltosa yang dihasilkan akibat dari pemecahan pati. Selain gula yang bersifat larut, dalam hidrolisis pati juga terdapat komponen selain gula seperti komponen terlarut yang tertinggal dalam larutan yaitu pati yang belum terhidrolisis sempurna oleh enzim, sehingga akan mempengaruhi viskositas. Viskositas larutan tergantung pada viskositas zat terlarut, pelarut dan konsentrasi zat terlarut [12]. 8. Korelasi gula reduksi vs dextrose equivalent Analisis korelasi bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan keterkaitan antara dua variabel. Apabila ada hubungan, maka perlu diketahui bagaimana arah hubungan dan seberapa besar hubungan tersebut. Secara teori dua variabel bisa tidak berhubungan sama sekali (r = 0), berhubungan secara sempurna (r = 1) atau berada diantara kedua angka tersebut [13]. Arah korelasi juga dapat positif (berhubungan searah) atau negatif (berhubungan berlainan arah). Analisis regresi bertujuan utuk mengetahui pengaruh variabel sau terhadap variabel lainnya. Dalam analisis regresi, variabel yang mempengaruhi disebut variabel bebas sedangkan variabel yang dipengaruhi disebut vaiabel terikat. Dari Gambar 8 berikut ini akan dibahas hubungan korelasi dan regresi dari gula reduksi dan dextrose equivalent dekstrin sagu. Gambar 8 menunjukkan bahwa dextrose equivalent mempunyai arah hubungan positif dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0.988 atau dapat dikatakan 98.8% untuk lama inkubasi 5 jam, 0.956 atau dapat dikatakan 95.6% untuk lama inkubasi 10 jam dan sebesar 0.989 atau dapat dikatakan 98.9% untuk lama inkubasi 15 jam. Artinya sebanyak 98.8%; 95.6% dan 98.9% perubahan nilai dextrose equivalent dekstrin dipengaruhi oleh gula reduksi, sedangkan sisanya 1.2%; 4.4% dan 1.1% dipengaruhi oleh faktor lain. Nilai determinan tertinggi pada Gambar di atas terletak pada lama inkubasi 15 jam dengan persamaan y = 7.869x – 1.676, artinya kenaikan gula reduksi sebesar 1% akan meningkatkan nilai dextrose equivalent dekstrin sebesar 7.869. Dengan kata lain peningkatan DE dan gula pereduksi menunjukkan bahwa proses hidrolisis pati sagu menjadi dekstrin berjalan secara efisien.

299

Dextrose Equivalent

Hidrolisis Pati Sagu Untuk Pembuatan Deskstrin – Ni’maturohmah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 1 p.292-302, Januari 2015 2,5

y = 7,8692x - 1,6764 R² = 0,9898

2 1,5 y = 9,2301x - 1,8281 R² = 0,9883

1

y = 7,7325x - 1,5295 R² = 0,9568

0,5 0 0,32

0,34

0,36

inkubasi 5 jam

0,38 0,4 0,42 % Gula Reduksi inkubasi 10 jam

0,44

0,46

0,48

0,5

inkubasi 15 jam

Gambar 8. Grafik Korelasi - Regresi antara Gula Reduksi dengan Dextrose Equivalent 9. Perlakuan terbaik Tabel 1. Perlakuan Terbaik Dekstrin Pati Sagu Berdasarkan Parameter Sifat Fisik Dan Kimia Konsentrasi Enzim Lama Inkubasi L1 L2 L max L~ (%) (jam) 5 0.6179 0.1397 0.3179 1.0755 0.06 10 0.6092 0.1345 0.3092 1.0530 15 0.5905 0.1216 0.2905 1.0026 5 0.5744 0.1131 0.2744 0.9619 0.08 10 0.5614 0.1070 0.2614 0.9298 15 0.5452 0.1071 0.2452 0.8974 5 0.4718 0.0696 0.1718 0.7133 10

0.4379

0.0658

0.1379

0.6417

15 Keterangan : * = Perlakuan Terbaik

0.4284

0.0657

0.1284

0.6226*

0.10

Perlakuan terbaik diperoleh dari kombinasi perlakuan konsentrasi enzim 0.10% dengan lama inkubasi 15 jam. Perlakuan terbaik diperoleh dengan hasil kadar gula reduksi 0.49%, DE sebesar 2.16%, total padatan 22.69%, kadar abu 0.18%, viskositas dingin 110 cps dan viskositas panas 103.3 cps. Hal ini dikarenakan kadar gula reduksi, kadar abu, DE, viskositas panas dan viskositas dingin bila dimasukkan dalam perhitungan perlakuan terbik menjadi nilai ideal sehingga diperoleh derajat kerapatan 0.6226. SIMPULAN Faktor konsentrasi enzim β-amilase (0.06%, 0.08% dan 0.10%) dan lama inkubasi (5 jam, 10 jam dan 15 jam) memberikan pengaruh tidak nyata pada analisis ragam (α=0.05) untuk kadar air, kadar abu, gula reduksi, dextrose equivalent dan dry solid, serta memberikan pengaruh sangat nyata pada analisis ragam (α=0.05) untuk viskositas panas dan dingin. Dekstrin perlakuan terbaik dengan nilai L~ terkecil yaitu 0.6226 diperoleh dari perlakuan konsentrasi enzim β-amilase sebanyak 0.10% dan lama inkubasi selama 15 jam. Perlakuan terbaik ini memiliki karakteristik kadar gula reduksi 0.49%, DE sebesar 2.16%, total padatan 22.69%, kadar abu 0.18%, viskositas dingin 110 cps dan viskositas panas 103.3 cps.

300

Hidrolisis Pati Sagu Untuk Pembuatan Deskstrin – Ni’maturohmah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 1 p.292-302, Januari 2015 DAFTAR PUSTAKA 1) Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2004. Papua dalam Angka Tahun 2004/2005. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, Jayapura, 510 2) Aiyer, PV. 2005. Amylases and their applications. African Journal of Biotechnology Vol. 4(13), pp. 1525-1529 3) Virlandia, F. 2008. Pembuatan sirup glukosa dari pati ubi jalar (Ipomea batatas) dengan metode enzimatis. http://andyafood.Wordpress.com. Tanggal akses: 27/02/2014 4) Association of Official Analytical Chemist (AOAC). 2005. Official Methods Of Analysis 18th Edition. Washington. Vol IIA. AOAC Inc. 4: 17-19 5) Sudarmadji. 2010. Analisis Bahan Pangan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta 6) Apriyantono, dkk. 1989. Petunjuk Laboraturium Analisis Pangan . PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor 7) Satiawihardja, B. 2000. Analysis Glucose by DNS Method. Pengaruh Penambahan Antibiotika pada Biosintetis I-Lisin oleh Brevibacterium Lactoferentum BL-1M76 dalam Medium Molase. Bul. Teknol. Dan Industri Pangan, Vol. XI, No. 2 8) Winarno, FG. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 9) Standarisasi Nasional Indonesia (SNI). 1992. SNI 01-2593-1992. Dekstrin Industri Pangan . Standar Nasional Indonesia. Badan Standarisasi Nasional 10) Yunianta, Sulistyo T, Apriliastuti, Estiasih T dan SN Wulan, 2010. Hidrolisis secara sinergis pati garut (Marantha arundinaceae L.) oleh enzim amilase, glukoamilase dan pullulanase untuk produksi sirup glukosa, Jurnal Teknologi Pertanian, vol. 11, No. 2 11) Wireku-Manu FD, Ellis WO, Oduro I, Asiedu R And B Maziya-Dixon. 2011. Physicochemical and pasting Characteristics of Water Yam (D. alata) n Comparison with Pona (D. rotundata) from Ghana. Europe Journal of Food Research and Review 1(3): 149-158 12) Cho Kyun, R. 1999. Theory Determination and Control of Physical Properties of Food Material. Reided Publishing Company. Boston. USA 13) Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Bisnis. CV Alfabeta. Bandung

301