HUBUNGAN PERILAKU IBU TENTANG 1000 HARI PERTAMA KEHIDUPAN

Download PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI. SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*. Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Per...

2 downloads 830 Views 20MB Size
i

HUBUNGAN PERILAKU IBU TENTANG 1000 HARI PERTAMA KEHIDUPAN DENGAN STATUS GIZI BADUTA DI WILAYAH PEDESAAN

N.A. SHOFIYYATUNNISAAK

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Perilaku Ibu Tentang 1000 Hari Pertama Kehidupan dengan Status Gizi Baduta di Wilayah Pedesaan adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang beasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di begian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 N.A. Shofiyyatunnisaak NIM I14120101

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

iv

v

ABSTRAK N.A. SHOFIYYATUNNISAAK. Hubungan Perilaku Ibu tentang 1000 Hari Pertama Kehidupan dengan Status Gizi Baduta di Wilayah Pedesaan. Dibimbing oleh FAISAL ANWAR dan SITI MADANIJAH. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perilaku ibu tentang 1000 hari pertama kehidupan dan kaitannya dengan status gizi baduta. Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Responden diambil dengan cara pusposive, yaitu 53 ibu yang mempunyai anak berusia 0-23 bulan di Desa Gunung Geulis, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan pengukuran langsung. Uji Pearson menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara sikap dan praktik responden tentang masa perawatan bayi 0-6 bulan dengan status gizi baduta BB/TB (p<0.05). Ada kecenderungan hubungan antara pengetahuan pada masa kehamilan dengan status gizi BB/TB (p=0.075; r=-0.247). Hubungan yang signifikan juga didapatkan antara pengetahuan dengan sikap responden tentang gizi dan 1000 HPK (p=0.043; r=0.279), sedangkan antara pengetahuan dengan praktik responden tentang gizi dan 1000 HPK tidak ada hubungan yang signifikan (p=0.758; r=0.043), demikian pula antara sikap dengan praktik responden tentang gizi dan 1000 HPK (p=0.364; r=0.127). Kata kunci: 1000 hari pertama kehidupan, perilaku ibu, status gizi baduta ABSTRACT N.A. SHOFIYYATUNNISAAK. The Correlation of Mother’s Behavior about First 1000 Days of Life with Nutritional Status of Children Under Two Years in Rural Area. Supervised by FAISAL ANWAR and SITI MADANIJAH. The aims of this study to review mother’s behavior about first thousand days of life and the correlation with nutritional status of children under two years. Design of this study was cross sectional. The subjects were selected purposively, with total number of subjects were 53 mothers who has children age 0-23 month at Gunung Geulis village, Sukaraja subdistrict, Bogor. Data collected by interview and direct measurement. Pearson correlation test showed that there was a significant correlation between mother’s attitude and practice of subject about 0-6 month period with nutritional status WHZ (p<0.05). There was a tendency of correlation between mother’s knowledge about pregnant period and nutritional status WHZ (p=0.075; r=-0.247). There was a significant correlation between mother’s knowledge with attitude about nutrition and first thousand days of life (p=0.043; r=0.279), but there was no correlation between mother’s knowledge with practice about nutrition and first thousand days of life (p=0.758; r=0.043) and also between mother’s attitude with practice about nutrition and first thousand days of life (p=0.364; r=0.127). Keywords: First thousand days of life, mother’s behavior, nutritional status of children under two years

vi

vii

HUBUNGAN PERILAKU IBU TENTANG 1000 HARI PERTAMA KEHIDUPAN DENGAN STATUS GIZI BADUTA DI WILAYAH PEDESAAN

N.A. SHOFIYYATUNNISAAK

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

viii

ix

Judul Skripsi Nama NIM

: Hubungan Perilaku Ibu tentang 1000 Hari Pertama Kehidupan dengan Status Gizi Baduta di Wilayah Pedesaan : NA. Shofiyyatunnisaak : I14120101

Disetujui oleh,

Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS Pembimbing I

Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS Pembimbing II

Diketahui oleh,

Dr. Rimbawan Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

x

iii

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Mei 2016 ini adalah 1000 Hari Pertama Kehidupan, dengan judul Hubungan Perilaku Ibu tentang 1000 Hari Pertama Kehidupan dengan Status Gizi Baduta di Wilayah Pedesaan. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS dan Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama penyusunan karya ilmiah ini 2. Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji skripsi atas seluruh masukan, arahan, dan saran yang diberikan kepada penulis 3. Tim Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Peduli Amanah Bersama yang telah memberikan izin penelitian dan membantu kelancaran pengambilan data 4. Ayah (Badrul Anam), ibu (B. Yusabbihatin AZ), adik (Nts. Moh Yazid Al Fauzie dan Muhimmuts Tsaalits Al Amin) dan seluruh keluarga tercinta atas doa, kasih sayang, dukungan, dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. 5. Aulia Damayanti, Ulva Prabawati, Dian Anggraini, SE., Evi Ambarsari, Dyah Rini P, Aldiza Intan Randani, Wittresna Julianty S, S.Gz., Dwikani Oklita A., S.Gz., Eka Hijriyanti Nur Qolbi, Dewi Hapsari Ratna M, Utari Yunitaningrum, Rahmita Utami, Alberigo Pranajaya, Fika Rafika Nur Halimah, S.Gz., Diva Ayu Rivyana, S.Gz dan teman teman yang telah membantu dalam pengambilan data, serta menjadi teman diskusi selama penulisan karya ilmiah ini 6. Seluruh staff Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB yang telah membantu penyelesaian karya ilmiah ini 7. Mahasiswa Ilmu Gizi Angkatan 49 dan Keluarga Mahasiswa Jayabaya serta pihak-pihak terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas dukungannya. Penulis mohon maaf atas segala kekurangan ataupun kekhilafan yang penulis lakukan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Agustus 2016

N.A. Shofiyyatunnisaak

iv

v

DAFTAR ISI

PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Hipotesis Manfaat KERANGKA PEMIKIRAN METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Responden Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Keluarga Sumber Informasi Perilaku tentang 1000 HPK Perilaku tentang Gizi Karakteristik Baduta Asupan dan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Status Gizi Baduta Riwayat Penyakit Baduta Hubungan antar Variabel SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP

iii v vi vi 1 1 2 2 3 3 3 5 5 5 5 6 8 10 10 12 12 19 22 22 24 25 27 31 31 31 33 36

vi

DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Jenis dan cara pengumpulan data Pengkategorian variabel penelitian Sebaran responden dan suami berdasarkan karakteristik Sebaran responden berdasarkan besar keluarga Sebaran responden berdasarkan pendapatan per kapita Sebaran responden berdasarkan sumber informasi Sebaran responden berdasarkan persentase jawaban benar tentang pengetahuan 1000 HPK Sebaran responden berdasarkan sikap tentang 1000 HPK Sebaran responden berdasarkan praktik 1000 HPK Sebaran responden berdasarkan kategori nilai pada masing-masing aspek Rata-rata nilai pengetahuan, sikap, dan praktik pada masing-masing aspek Sebaran responden berdasarkan pengetahuan, sikap dan praktik Sebaran responden berdasarkan persentase jawaban benar tentang pengetahuan gizi seimbang dan PHBS Sebaran responden berdasarkan sikap tentang gizi seimbang dan PHBS Sebaran responden berdasarkan praktik tentang gizi seimbang dan PHBS Sebaran responden berdasarkan pengetahuan, sikap, dan praktik tentang gizi seimbang dan PHBS Sebaran baduta berdasarkan usia dan jenis kelamin Rata-rata asupan energi dan protein baduta Sebaran baduta berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein Sebaran baduta berdasarkan status gizi dan usia Sebaran baduta berdasarkan riwayat penyakit dalam tiga bulan terakhir Sebaran baduta berdasarkan status gizi dan penyakit diare Hubungan perilaku responden dengan status gizi baduta Hubungan status gizi BB/TB dengan pengetahuan, sikap, dan praktik berdasarkan masing-masing aspek

6 7 10 11 11 12 13 16 18 19 19 20 20 21 21 22 22 23 23 25 26 26 29 30

DAFTAR GAMBAR 1

Kerangka model hubungan perilaku ibu tentang 1000 HPK dengan status gizi baduta

4 izi

1

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah gizi di Indonesia masih menjadi masalah yang serius dan membutuhkan perhatian yang lebih. Menurut Riskesdas (2013), balita usia 0-59 bulan yang mengalami status gizi pendek-kurus sebesar 5.1%, pendek-normal 27.4%, pendek gemuk 6.8%, normal-kurus 9.6%, normal-normal 48.6%, dan normal-gemuk 2.5%. Hasil ini menunjukkan bahwa rata-rata status gizi balita masih kurang. Semua keadaan ini berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan, dan kemiskinan. Akar masalah gizi adalah terjadinya krisis ekonomi, politik, dan sosial termasuk kejadian bencana alam yang akan mempengaruhi ketidakseimbangan antara asupan makanan dan adanya penyakit infeksi yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita. Gerakan perbaikan gizi perlu dilakukan sebagai aksi nyata dalam tingkat global disebut Scalling Up Nutrition (SUN Movement) dibawah koordinasi Sekretaris Jenderal PBB. Gerakan ini telah dicanangkan sejak September 2010 oleh negara-negara yang menghadapi masalah gizi. USA dan Irlandia adalah negara yang mempelopori gerakan ini. Indonesia mulai berkomitmen terhadap SUN Movement sejak tanggal 22 Desember 2011. Tujuan dari SUN Movement ini adalah menurunkan masalah gizi dengan berfokus pada gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Indikator global SUN Movement adalah penurunan proporsi ibu usia subur yang menderita anemia, peningkatan presentase ibu yang memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama, penurunan persentase Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), anak balita pendek (stunting), kurus (wasting), gizi kurang (underweight), dan gizi lebih (overweight) (Bappenas 2012). Perilaku gizi sangat penting karena hal ini merupakan penyebab langsung dari masalah gizi di Indonesia. Pada umumnya gizi kurang disebabkan oleh kemiskinan, pangan yang kurang tersedia, perilaku gizi yang rendah, kebiasaan makan, dan faktor lainnya. Begitu juga dengan gizi lebih disebabkan oleh perilaku gizi yang salah. Perilaku gizi menentukan perilaku seseorang atau kelompok untuk berperilaku sehat dan tidak sehat (Agus 2008). Gizi pada 1000 HPK ini penting karena jika tidak dipantau dengan baik akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak nantinya. Dampak yang ditimbulkan adalah dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang. Dampak jangka pendek, yaitu perkembangan otak, pertumbuhan massa tubuh dan komposisi badan, metabolisme glukosa, lipid, protein, hormon/reseptor/gen. Dampak jangka panjang, yaitu kognitif dan prestasi belajar, kekebalan, kapasitas kerja, berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes, obesitas, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas lansia (James et al 2000). Gerakan 1000 HPK berfokus pada intervensi gizi sejak masa konsepsi hingga anak berusia dua tahun. Hal ini disebabkan karena masa ini adalah periode emas bagi anak. Perilaku tentang 1000 HPK ini harus dimiliki oleh ibu karena berpengaruh terhadap status gizi balita, terutama balita pada usia di bawah 2 tahun. Mengingat pentingnya masa 1000 HPK maka salah satu cara yang dapat

2

dilakukan adalah dengan mensosialisasikan perilaku ini kepada ibu rumah tangga yang anaknya sedang dalam masa 1000 HPK. Program yang dilakukan pada gerakan 1000 HPK terdiri dari program spesifik dan sensitif. Program spesifik dilakukan langsung pada kelompok sasaran 1000 HPK, yaitu ibu hamil yang meliputi pemeliharaan kehamilan, bayi 0-6 bulan khususnya tentang pemberian ASI eksklusif, dan bayi 7-24 bulan khususnya mengenai Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Sasaran sensitif merupakan kegiatan yang mempengaruhi kelompok sasaran secara tidak langsung, antara lain sanitasi lingkungan. Penelitian yang dilakukan oleh Khotimah et al. (2010) di Kecamatan Gandus Palembang menunjukkan terdapat 30% balita berstatus gizi kurang dan 70% gizi buruk. Jika dilihat dari hasil pengisian kuesioner perilaku gizi ibu balita terlihat bahwa memang masih banyak ibu balita yang belum memiliki perilaku gizi yang baik, yaitu hanya 37.5% ibu balita yang memiliki perilaku gizi baik. Kurangnya perilaku gizi ibu mempunyai dampak yang nyata terhadap status gizi balita. Menurut Abuya et al (2012) terdapat hubungan yang kuat antara perilaku gizi ibu dengan status gizi dan kesehatan balita. Balita tumbuh dan berkembang dengan bimbingan orang tua, terutama ibu. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengkaji pengaruh perilaku gizi ibu tentang 1000 HPK dengan status gizi balita khususnya pada usia 0-2 tahun. Perumusan Masalah Banyaknya masalah gizi di Indonesia seperti yang diulas di atas tentunya menjadi penting untuk mengkaji lebih lanjut dan melaksanakan program 1000 HPK secara efektif. Berikut beberapa perumusan masalah yang ingin dicari jawabannya dan dikaji lebih dalam. 1. Apa manfaat perilaku ibu tentang 1000 HPK? 2. Bagaimana perilaku ibu tentang gizi seimbang, kehamilan, bayi baru lahir, dan bayi dan anak? 3. Bagaimana status gizi balita usia di bawah 2 tahun di Desa Gunung Geulis Kecamatan Sukaraja Bogor? 4. Bagaimana hubungan perilaku ibu tentang 1000 HPK dengan status gizi balita usia di bawah 2 tahun? Tujuan Tujuan Umum Mengkaji perilaku gizi ibu tentang 1000 HPK dan kaitannya dengan status gizi baduta. Tujuan Khusus 1. Menganalisis karakteristik ibu, perilaku gizi, dan perilaku tentang 1000 HPK. 2. Mengidentifikasi sumber informasi ibu tentang 1000 HPK. 3. Menganalisis status gizi baduta berdasarkan TB/U, BB/U dan BB/TB. 4. Menganalisis hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktik ibu.

3

5. Menganalisis hubungan perilaku tentang 1000 HPK dengan status gizi baduta. Hipotesis Berikut hipotesis atau dugaan sementara yang diperkirakan oleh peneliti. 1. Ibu rumah tangga mempunyai perilaku gizi dan perilaku tentang 1000 HPK yang cukup baik. 2. Ibu dengan pengetahuan yang baik akan berpengaruh terhadap sikap dan praktiknya. 3. Perilaku ibu tentang 1000 HPK mempengaruhi status gizi baduta. 4. Ibu dengan perilaku gizi dan perilaku tentang 1000 HPK yang baik akan mempengaruhi status gizi baduta. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang terlibat, yaitu bagi peneliti, subyek/ sasaran, pembaca, dan masyarakat. Manfaat bagi peneliti adalah dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta dapat mengaplikasikan teori yang telah diperoleh selama perkuliahan. Bagi subyek/ sasaran diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang pentingnya 1000 HPK dan mengetahui status gizi balita usia di bawah 2 tahun. Bagi pembaca diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh perilaku ibu tentang 1000 HPK terhadap status gizi balita di bawah 2 tahun. Bagi masyarakat diharapkan mereka dapat mengetahui status gizi balita di bawah 2 tahun.

KERANGKA PEMIKIRAN Indonesia saat ini sedang mengalami double burden nutrition yaitu masalah gizi ganda (gizi kurang dan gizi lebih). Baduta di Indonesia masih banyak yang berstatus gizi buruk seperti stunting,wasting, underweight, dan overweight. Penyebab utama masalah ini adalah perilaku ibu, karena hal ini akan mempengaruhi sikap dan praktik ibu. Masalah ini membutuhkan perhatian yang serius, terutama untuk gizi anak pada usia 0-2 tahun yang disebut juga periode emas. Pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan otak anak mencapai puncaknya. Baduta pada masa ini masih perlu perhatian yang lebih terutama dari ibu. Peran ibu sangat dibutuhkan pada masa-masa ini karena akan berpengaruh kepada status gizi baduta. Pengetahuan, sikap, dan praktik 1000 HPK menjadi hal penting terutama bagi ibu untuk masa pertumbuhan dan perkembangan baduta yang terhitung mulai dari 0 hari kehamilan sampai balita berusia 2 tahun. Pengetahuan ini akan bertimbal balik dengan sikap dan praktik ibu terkait gizi seimbang. Pengetahuan bisa berasal dari berbagai informasi diantaranya posyandu, televisi, dan buku. Ibu yang menerapkan perilaku 1000 HPK dengan baik diharapkan mampu menjadi ibu yang baik sehingga dapat meningkatkan status gizi baduta dan dalam pada

4

jangka panjang dapat mengurangi kemungkinan terjadinya gizi kurang maupun gizi lebih (Abuya et al 2012). Penyebab langsung yang mempengaruhi status gizi baduta adalah konsumsi pangan dan status kesehatan baduta. Status kesehatan dipengaruhi oleh kejadian penyakit infeksi. Infeksi yang biasanya diderita oleh baduta adalah diare yang menjadi penyebab utama rendahnya nafsu makan pada anak. Faktor lain yang mempengaruhi status gizi baduta adalah karakteristik keluarga dan karakteristik baduta itu sendiri. Karakteristik keluarga meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, besar keluarga, dan pendapatan orang tua. Karakteristik baduta meliputi usia dan jenis kelamin. Berikut kerangka pemikiran berdasarkan uraian diatas yang disajikan pada Gambar 1. Karakteristik keluarga: -Pendidikan orang tua -Pekerjaan orang tua -Besar keluarga -Pendapatan

Sumber informasi: -Posyandu -Televisi -Buku

Karakteristik baduta: -Usia -Jenis Kelamin

Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu tentang 1000 HPK

Konsumsi Pangan Baduta

Status Kesehatan Baduta

Status Gizi Baduta (BB/U, TB/U. BB/TB)

Keterangan: Variabel yang dianalisis Variabel yang tidak dianalisis Hubungan yang akan dianalisis Hubungan yang tidak dianalisis Gambar 1 Kerangka model hubungan perilaku ibu tentang 1000 HPK dengan status gizi baduta

5

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di Desa Gunung Geulis Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor. Desa Gunung Geulis dipilih karena prevalensi gizi buruk yang cukup tinggi, sebesar 25.58% dan keberagaman masyarakatmya. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2016. Jumlah dan Cara Penarikan Responden Pemilihan desa yang menjadi responden dalam penelitian ini dilakukan secara purposive dengan pertimbangan, yaitu belum pernah dilakukan penelitian serupa dengan perilaku ibu tentang 1000 HPK sebelumnya dan kemudahan untuk diakses baik dari segi lokasi maupun perizinan. Penarikan responden dari masing-masing rumah tangga dilakukan pada saat ibu-ibu sedang membawa anak badutanya ke posyandu. Kriteria responden yaitu 1) tercatat sebagai warga desa yang dipilih; 2) ibu rumah tangga yang memiliki anak usia 0-23 bulan; 3) bersedia mengikuti kegiatan penelitian dan mengisi kuesioner. Cara penarikan responden adalah ibu dengan anak berusia 023 bulan yang datang ke posyandu pada hari itu dijadikan responden dan diwawancara serta diukur antropometri anaknya secara langsung. Jumlah minimal sampel dalam penelitian ini adalah 42 yang dihitung menggunakan rumus populasi kecil dan terbatas. Dengan adanya non response rate 15% maka didapatkan: n= N 1+ N(0.152) n=

769 1 + 769 (0.15)2 n = 42

Keterangan : n = jumlah sampel N= besar populasi (jumlah balita di Desa Gunung Geulis) d= presisi/ penyimpangan sampel terhadap populasi (15%) Jumlah sampel yang didapatkan selama penelitian sebanyak 56, akan tetapi setelah dilakukan proses cleaning data didapatkan jumlah sampel sebanyak 53 untuk dianalisis. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara menggunakan kuesioner kepada ibu baduta. Kuesioner yang digunakan berasal dari kuesioner Riskesdas 2013 yang

6

sudah dimodifikasi dengan penambahan beberapa pertanyaan terkait pengetahuan ibu tentang gizi spesifik dan sensitif. Kuesioner telah diuji coba terlebih dahulu kepada 5 ibu baduta sebelum digunakan. Tabel 1 menyajikan jenis data dan cara pengumpulan data. Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data No

Variabel

Jenis Data

Cara Pengumpulan Data

Instrumen

1

Karakteristik keluarga (usia, pendidikan, pekerjaan, besar keluarga dan pendapatan per kapita)

Primer

Pengisian kuesioner

Kuesioner

2

Sumber informasi (posyandu, televisi dan buku)

Primer

Pengisian kuesioner

Kuesioner

3

Perilaku responden (pengetahuan, sikap, praktik 1000 HPK dan Gizi Seimbang)

Primer

Pengisian kuesioner

Kuesioner

4

Karakteristik baduta (usia dan jenis kelamin)

Primer

Pengisian kuesioner

Kuesioner

5

Antropometri baduta (berat badan dan tinggi badan)

Primer

Pengukuran secara langsung

Timbangan injak dan microtoise

6

Konsumsi pangan baduta

Primer

Recall 1x24 jam

Form Recall

7

Jumlah baduta di seluruh posyandu

Sekunder

Menanyakan ke kantor Desa

Formulir

Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu coding, entry, editing/ cleaning, dan analisis data. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS for window 16.0 dan Microsoft Excell. Uji statistik deskriptif dilakukan pada beberapa variabel diantaranya yaitu karakteristik keluarga, sumber informasi, dan pengetahuan, sikap dan praktik responden tentang 1000 HPK dan gizi seimbang, karakteristik baduta, status gizi baduta, dan tingkat kecukupan energi dan protein baduta. Analisis data antropometri dan status gizi baduta menggunakan software WHO AnthroPlus 2007. Hasil perhitungan z-skor diklasifikasikan ke dalam baku WHO NCHS. Status kesehatan diamati dari kejadian sakit diare pada tiga bulan terakhir dan frekuensi sakit. Uji korelasi Pearson dilakukan pada variabel pendidikan dengan pengetahuan, sikap dan praktik 1000 HPK; pendapatan dengan konsumsi baduta; pengetahuan, sikap, dan praktik dengan asupan baduta; asupan dengan status gizi baduta; pengetahuan, sikap, dan praktik dengan status gizi baduta, dan hubungan antar variabel pengetahuan, sikap, dan praktik serta tingkat kecukupan energi dan protein. Semua variabel terlebih dahulu diuji normalitasnya, setelah diketahui

7

semua data tersebar normal baru dilakukan uji korelasi Pearson. Tabel 2 menunjukkan pengkategorian berbagai variabel penelitian secara lebih rinci. Tabel 2 Pengkategorian variabel penelitian Jenis variabel Kategori umur

Kategori Remaja akhir (17-25 th) Dewasa awal (26-35 th) Dewasa akhir (36-45 th)

Pendidikan

SD/ sederajat SMP/ sederajat SMA/ sederajat Perguruan Tinggi

Pekerjaan responden

Besar keluarga

Sumber Depkes RI 2009

-

Tidak bekerja BUMN/ Swasta Wiraswasta Petani Buruh

Riskesdas 2013

Keluarga kecil (≤ 4 orang) Keluarga sedang (5-6 orang) Keluarga besar (≥ 7 orang)

BKKBN 1998

Pendapatan per kapita

Miskin (<241 132) Hampir miskin (241 132-482 264) Menengah ke atas (>482 264)

BPS Provinsi Jawa barat 2015

Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan

Riskesdas 2013

Tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik

Baik (> 80%) Sedang (60-80%) Kurang (<60%)

Khomsan 2000

Tingkat kecukupan zat gizi -Energi

Defisit berat (<70%) Defisit sedang (70-79%) Defisit ringan (80-89%) Normal (90-119%) Lebih (≥120%)

-Protein

Defisit berat (<70%) Defisit sedang (70-79%) Defisit ringan (80-89%) Normal (90-119%) Lebih (≥120%)

Status gizi -BB/U

Gizi buruk (<-3 SD) Gizi kurang (≥-3 s/d <-2 SD) Gizi Baik (≥ - 2 s/d ≤ 2 SD) Gizi Lebih (>2 SD) Sangat pendek (<-3 SD)

-TB/U

Pendek (≥-3 s/d <-2SD); Normal (≥ - 2 SD) Sangat kurus (<-3 SD)

-BB/TB

Kurus (≥-3 s/d <-2 SD); Normal (≥ - 2 s/d ≤ 2 SD); Gemuk (>2 SD)

Kemenkes 2010

Riskesdas 2013

8

Data konsumsi pangan baduta dihitung jumlah jenis konsumsi pangan, jumlah kelompok konsumsi pangan, frekuensi makan, dan asupan energi dan protein. Berat ASI yang dikonsumsi anak menggunakan faktor konversi dari Soetjiningsih (1997) sebagai berikut: 5 menit pertama mendapat : 60% total volume ASI 60% total pritein ASI 60% total karbohidrat ASI 40% total lemak ASI 50% total energi ASI 5 menit kedua mendapat : 25% total volume ASI 25% total pritein ASI 25% total karbohidrat ASI 33% total lemak ASI 25% total energi ASI 5 menit terakhir adalah sisa dari keduanya Volume ASI menurut Bailey K.V. (Setio et al. 1977) dengan kenaikan jumlah paritas ada sedikit perubahan, yaitusebagai berikut: Anak pertama : jumlah ASI 580 ml/ hari Anak kedua : jumlah ASI 654 ml/ hari Anak ketiga : jumlah ASI 602 ml/ hari Data konsumsi pangan dihitung dihitung secara kuantitatif menggunakan metode recall 24-hour. Zat gizi yang terkandung dalam pangan yang dikonsumsi dihitung sebagai berikut (Hardinsyah dan Briawan 1994): Kgij = (Bj /100) X Gij X (BDD/100)

Keterangan: Kgij = Energi dan zat gizi yang terkandung dalam pangan yang dikonsumsi Bj = Berat pangan yang dikonsumsi Gij = Energi atau zat gizi per 100 g bagian pangan yang dapat dimakan BDD = Bagian pangan yang dapat dimakan (%BDD) Definisi Operasional Responden adalah ibu yang mempunyai anak berusia 0-23 bulan. Baduta adalah anak laki-laki dan perempuan berusia di bawah dua tahun atau 023 bulan. Karakteristik keluarga adalah ciri yang dimiliki oleh keluarga baduta, yang terdiri dari pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, besar keluarga, dan pendapatan orang tua. Pendidikan orang tua adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh orang tua baduta. Pekerjaan orang tua adalah mata pencaharian orang tua baduta. Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan responden Pendapatan adalah penerimaan orang tua per bulan dalam rupiah.

9

Karakteristik baduta adalah ciri yang dimiliki oleh baduta, yang terdiri dari usia, jenis kelamin, dan urutan anak keberapa dalam keluarga. Usia adalah umur anak terhitung dari mulai dilahirkan sampai saat pengamatan (dalam bulan). Jenis kelamin adalah jenis kelamin anak antara laki-laki atau perempuan. Urutan anak adalah urutan anak baduta yang diamati dalam dalam keluarga tersebut (anak pertama, kedua, ketiga, dst). Sumber informasi adalah dari mana responden mendapatkan informasi tentang 1000 HPK (keluarga, tenaga kesehatan, buku atau media masa). Perilaku adalah tanggapan atau reaksi ibu terhadap rangsangan atau lingkungan. Perilaku dijabarkan menjadi pengetahuan, sikap, dan praktik gizi seimbang dan 1000 HPK. Pengetahuan spesifik adalah pengetahuan tentang sasaran langsung dari 1000 HPK yaitu ibu hamil, bayi baru lahir, serta bayi dan anak yang berhubungan dengan sektor kesehatan. Pengetahuan sensitif adalah pengetahuan tentang akar masalah gizi diluar sektor kesehatan dengan sasaran tidak hanya kelompok 1000 HPK tetapi juga masyarakat umum. Sikap adalah perbuatan yang dilakukan oleh ibu dalam mengasuh anak baduta. Sikap dalam penelitian ini adalah sikap gizi dan sikap tentang 1000 HPK. Praktik adalah pelaksanaan secara nyata tentang perilaku hidup bersih dan sehat serta 1000 HPK. ASI Eksklusif adalah Air Susu Ibu yang diberikan kepada bayi sampai usia 6 bulan tanpa ditambahkan apapun. Gerakan 1000 HPK upaya perbaikan gizi yang dilakukan dari awal kehamilan sampai anak berusia dua tahun. Inisiasi menyusui dini adalah proses mendekapkan bayi kepada ibunya segera setelah bayi lahir dalam waktu maksimal 1 jam. Status gizi adalah keadaan tubuh yang secara langsung dipengaruhi oleh konsumsi pangan dan infeksi penyakit. Status gizi dihitung melalui pengukuran antropometri dan diklasifikasikan ke dalam indikator BB/U, BB/TB, dan TB/U Status kesehatan adalah keadaan tubuh seseorang berdasarkan riwayat penyakit yang pernah diderita. Konsumsi pangan adalah jumlah jenis pangan yang dikonsumsi, jumlah kelompok pangan yang dikonsumsi, dan frekuensi konsumsi jenis pangan. Asupan zat gizi adalah jumlah total zat gizi yang bersumber dari makanan dan minuman yang diperoleh dari survei konsumsi menggunakan metode recall 24 jam dan dibandingkan dengan daftar komposisi bahan makanan.

10

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi usia, pendidikan, dan pekerjaan responden dan suami; besar keluarga responden; dan pendapatan per kapita. Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak dengan umur 0-23 bulan di lokasi penelitian. Jumlah keseluruhan responden sebanyak 53 orang. Tabel 3 menunjukkan sebaran karakteristik responden dan suami responden. Tabel 3 Sebaran responden dan suami berdasarkan karakteristik Karakteristik

Responden n

%

Suami Responden n %

Usia (tahun) Remaja Akhir (17-25) Dewasa Awal (26-35) Dewasa Akhir (36-45)

32 16 5

60.4 30.2 9.4

12 23 18

22.6 43.4 33.9

Pendidikan SD/ sederajat SMP/ sederajat SMA/ sederajat

6 44 3

11.3 83.0 5.7

1 42 10

1.9 79.3 18.9

Pekerjaan Tidak bekerja BUMN/ Swasta Wiraswasta Petani Buruh Lainnya

53 0 0 0 0 0

100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

0 16 8 2 26 1

0.0 30.2 15.1 3.8 49.1 1.9

Kategori usia responden dibagi menjadi tiga, yaitu remaja akhir, dewasa awal dan dewasa akhir (Depkes RI 2009). Secara umum usia responden berada pada kategori remaja akhir sebesar 60.4%. Secara umum usia suami responden berada pada kategori dewasa awal sebesar 43.3%. Usia termuda pada responden yaitu 18 tahun dan usia tertua 49 tahun. Usia termuda suami responden yaitu 20 tahun dan usia tertua 50 tahun. Usia responden dan suami responden tidak menyebar rata, secara umum masih banyak yang berusia muda. Secara umum pendidikan responden dan suami adalah SMP/ sederajat dengan persentase masing-masing sebesar 83.0% dan 79.3%. Pendidikan yang tinggi dapat mempengaruhi perilaku ibu dalam mengasuh anak. Ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pengetahuan gizi yang lebih baik dibandingkan dengan ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah (Jayanti et al 2011). Seluruh responden adalah ibu rumah tangga yang masuk dalam kategori tidak bekerja. Hal ini berarti responden mempunyai banyak waktu untuk mempersiapkan makanan yang bergizi dan seimbang untuk anak dan keluarga. Harapannya status gizi anak secara umum baik karena makanannya diperhatikan dan disiapkan langsung oleh ibu. Suami responden kebanyakan bekerja sebagai buruh dengan persentase 49.1%.

11

Besar keluarga ditentukan berdasarkan banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Besar keluarga dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan BKKBN (1998) yaitu keluarga kecil (≤4 orang), sedang (5-6 orang), dan besar (≥7 orang). Tabel 4 menunjukkan sebaran responden berdasarkan besar keluarga. Tabel 4 Sebaran responden berdasarkan besar keluarga Besar Keluarga (orang) Kecil (≤4) Sedang (5-6) Besar (≥7) Total

n 21 28 4 53

% 39.6 52.8 7.6 100.0

Besar keluarga responden umumnya berada pada kategori sedang sebesar 52.8%, sedangkan 39.6% keluarga responden termasuk keluarga kecil, dan sisanya 7.6% keluarga responden yang masuk dalam kategori keluarga besar. Besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dalam keluarga dan pengeluaran pangan. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka pengeluaran pangannya juga akan semakin meningkat. Kualitas dan kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi anggota keluarga (Sanjur 1982). Pendapatan per kapita adalah pendapatan rata-rata penduduk suatu negara (Untoro 2010). Pendapatan per kapita menjadi tolok ukur kemajuan dan kesejahteraan daerah tersebut. Tabel 5 menunjukkan pendapatan per kapita keluarga responden. Tabel 5 Sebaran responden berdasarkan pendapatan per kapita Pendapatan per kapita/ bulan (Rp)* n Miskin (<241 132) 13 Hampir miskin (241 132 – 482 264) 20 Menengah ke atas (>482 264) 20 Total 53 *) berdasarkan garis kemiskinan daerah pedesaan Jawa Barat 2015

% 24.5 37.7 37.7 100.0

Sebanyak 24.5% keluarga responden masuk dalam kategori keluarga miskin dengan pendapatan kurang dari garis kemiskinan daerah pedesaan Provinsi Jawa Barat. Keluarga responden yang masuk dalam kategori hampir miskin sebanyak 37.7% dan sisanya masuk dalam kategori menengah ke atas sebanyak 37.7%. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan keluarga responden masuk dalam kategori hampir miskin dan menengah ke atas. Pendapatan merupakan salah satu faktor penentu kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Sebaliknya semakin rendah pendapatan maka peluang untuk memilih makanan yang baik juga semakin menurun. Secara umum pendapatan per kapita responden cukup tinggi, sehingga peluang untuk membeli pangan yang baik juga semakin besar yang kemudian diharapkan dapat mempengaruhi status gizi baduta.

12

Sumber Informasi Responden mendapatkan pengetahuan gizi seimbang dan 1000 HPK dari berbagai sumber. Sumber informasi terdiri dari posyandu, televisi, dan buku. Tabel 6 menunjukkan sumber informasi responden terkait pengetahuan gizi seimbang dan 1000 HPK. Tabel 6 Sebaran responden berdasarkan sumber informasi Sumber informasi Posyandu Televisi Buku Tidak sama sekali

n 48 37 42 32

% 90.6 69.8 79.2 60.4

Secara umum responden mendapat informasi terkait 1000 HPK dari posyandu, dengan persentase tertinggi sebesar 90.6%. Terbanyak kedua adalah buku sebesar 79.2%, kemudian televisi sebesar 69.8% dan yang tidak terpapar informasi sama sekali dari ketiga sumber tersebut sebesar 60.4%. Posyandu merupakan sumber informasi yang paling efektif karena bisa berlangsung komunikasi dua arah, sedangkan sumber yang lain hanya satu arah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gustav et al. (2014), paparan media masa memberikan peningkatan kesadaran dan pengetahuan serta perubahan sikap yang menyebabkan peningkatan derajat kesehatan, dalam hal ini media masa berperan dalam peningkatan pengetahuan ibu tentang gizi seimbang dan 1000 HPK. Zamawe et al. (2015) menyatakan bahwa media masa efektif digunakan dalam mempromosikan keterlibatan suami dalam perawatan kehamilan, persalinan, dan perawatan pasca melahirkan. Perilaku tentang 1000 HPK Pengukuran perilaku responden dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner. Perilaku gizi merupakan respon terhadap stimulus yang berkaitan dengan makanan (Munthofiah 2008). Perilaku meliputi segala sesuatu yang menjadi pengetahuannya (knowledge), yang menjadi sikapnya (attitude), dan yang bisa dikerjakannya (action). Pengetahuan adalah semua informasi yang disimpan dalam ingatan sebagai hasil belajar dan telah terakumulasi dengan pikiran seseorang. Sikap terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar. Sikap akan mengubah pola perilaku, sehingga terjadilah perilaku-perilaku yang lebih sesuai dengan yang diharapkan (Sarwono 1999). Sebaran responden pada pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap masing-masing aspek tentang 1000 HPK akan dijelaskan lebih lanjut pada sub sub bab berikut. Pengetahuan Pengetahuan adalah semua informasi yang disimpan dalam ingatan sebagai hasil belajar dan telah terakumulasi dengan pikiran seseorang, yang biasanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang (Sarwono 1999). Pengetahuan yang diukur dalam penelitian ini meliputi pengetahuan pada masa kehamilan, masa perawatan bayi 0-6 bulan, dan masa perawatan bayi 7-23 bulan.

13

Tabel 7 menunjukkan sebaran responden berdasarkan persentase jawaban benar tentang pengetahuan 1000 HPK. Tabel 7 Sebaran responden berdasarkan persentase jawaban benar tentang pengetahuan 1000 HPK No Pernyataan Masa Kehamilan 1 Kunjungan pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali 2 Tempat mendapatkan pelayanan perawatan kesehatan untuk ibu hamil adalah di puskesmas 3 Jenis pemeriksaan yang dilakukan ibu selama kehamilan adalah berat badan, perut, detak jantung 4 Zat gizi yang terkandung dalam tablet tambah darah adalah zat besi 5 Pengertian anemia adalah jumlah sel darah merah kurang 6 Penyebab anemia adalah kurang zat besi 7 Resiko yang terjadi bila ibu hamil mengalami anemia rendahnya berat badan bayi saat lahir 8 Zat gizi yang harus terkandung pada makanan ibu hamil agar tidak terkena anemia adalah folat dan zat besi Masa Bayi 0-6 Bulan 9 Usia pemberian ASI eksklusif 0-6 bulan 10 Pengertian ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi pada jangka waktu tertentu 11 Manfaat pemberian ASI eksklusif agar bayi lebih sehat dan kuat 12 Pengertian kolostrum adalah cairan kental berwarna kekuningan yang keluar pertama kali dari payudara ibu 13 Pengertian inisiasi menyusui dini adalah usaha aktif bayi untuk menyusu dalam satu jam pertama kelahiran Masa Bayi 7-23 Bulan 14 Pengertian makanan pendamping ASI (MP ASI) adalah makanan yang diberikan setelah periode pemberian ASI eksklusif 15 Usia bayi pertama diberikan MP ASI lebih dari 6 bulan 16 Contoh MP ASI yang baik untuk bayi 6-7 bulan misalnya pisang 17 Tekstur MP ASI yang baik saat pertama diberikan adalah bubur halus 18 Kandungan MP ASI yang baik terdiri dari sumber karbohidrat, protein, sayuran, dan buah 19 Usia pemberian imunisasi campak adalah 9 bulan 20 Jenis suplemen yang diberikan kepada anak berusia 6 bulan-5 tahun oleh pemerintah setiap bulan Februari dan Agustus adalah vitamin A

n

%

39 23

73.6 43.4

43

81.1

43

81.1

11 18 42

20.8 34.0 79.2

23

43.4

35 35

66.0 66.0

46 44

86.8 83.0

36

67.9

20

37.7

44 40 47

83.0 75.5 88.7

38

71.7

47 44

88.7 83.0

Aspek masa kehamilan terdiri dari 8 pertanyaan. Pengetahuan responden yang sudah baik diantaranya adalah pengetahuan tentang kunjungan pemeriksaan kehamilan, jenis pemeriksaan kehamilan, kandungan zat gizi dalam tablet tambah darah, dan resiko yang terjadi jika ibu hamil mengalami anemia dengan persentase masing-masing sebesar 73.6%, 81.1%, 81.1%, dan 79.2%. Sisanya masih masuk dalam kategori pengetahuan yang rendah, yaitu tentang tempat mendapatkan pelayanan perawatan kesehatan untuk ibu hamil, pengertian anemia, penyebab anemia, dan zat gizi yang harus terkandung pada makanan ibu hamil agar tidak

14

terkena anemia dengan persentase masing-masing sebesar 43.4%, 20.8%, 34.0%, dan 43.4%. Persentase tertinggi adalah pengetahuan tentang pemeriksaan kehamilan. Responden telah menjawab benar tentang minimal pemeriksaan kehamilan yaitu sebanyak 4 kali. Hal ini sesuai dengan Depkes RI (2009) yang menyatakan bahwa kebijakan program pelayanan antenatal menetapkan frekuensi kunjungan antenatal sebaiknya minimal 4 kali selama kehamilan dengan ketentuan: a) minimal 1 kali pada trimester pertama (KI) hingga usia kehamilan 14 minggu; b) minimal 1 kali pada trimester kedua (K2), 14-28 minggu; c) minimal 2 kali pada trimester ketiga (K3 dan K4), 28-36 minggu dan setelah 36 minggu sampai lahir. Presentase terendah adalah pertanyaan tentang pengertian anemia. Kebanyakan responden masih menjawab bahwa pengertian anemia adalah tekanan darah rendah. Menurut Arisman (2009) anemia adalah keadaan menurunnya kadar hemoglobin dan jumlah sel darah merah di bawah nilai normal yaitu 11 g/dL pada ibu hamil. Aspek kedua adalah masa bayi 0-6 bulan. Secara umum pengetahuan responden sudah cukup baik, dari kelima pertanyaan yang ditanyakan sudah lebih dari 50% responden yang menjawab benar. Persentase tertinggi adalah pengetahuan tentang manfaat pemberian ASI eksklusif, yaitu sebesar 86.8%. Mayoritas responden sudah menjawab benar yaitu agar bayi lebih sehat dan kuat. ASI merupakan makanan paling komplek yang mengandung zat gizi lengkap dan bahan bioaktif yang diperlukan untuk tumbuh kembang dan pemeliharaan kesehatan bayi (Almatsier et al. 2011). Persentase terendah adalah pengetahuan tentang usia pemberian ASI eksklusif dan pengertian ASI eksklusif, yaitu masingmasing 66.0%. Responden yang menjawab salah kebanyakan memilih jawaban usia pemberian ASI eksklusif adalah 0-2 tahun. Menurut Depkes RI (2007) ASI eksklusif diberikan kepada bayi yang berumur 0-6 bulan. Mayoritas responden yang menjawab salah pada pertanyaan tentang pengertian ASI eksklusif memilih jawaban ASI eksklusif adalah pemberian ASI dan makanan lain. ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi yang berumur 0-6 bulan. ASI merupakan makanan yang paling dianjurkan untuk bayi yang berumur di bawah 6 bulan karena sistem pencernaan bayi yang masih belum bisa menerima makanan lain (Depkes 2007). Aspek terakhir yang ditanyakan adalah tentang masa bayi 7-23 bulan yang terdiri dari 7 pertanyaan. Secara keseluruhan pengetahuan responden sudah cukup baik, dilihat dari 50% responden yang sudah menjawab pertanyaan dengan benar tentang usia bayi pertama diberikan MP ASI, contoh MP ASI yang baik untuk bayi 6-7 bulan, tekstur MP ASI yang baik saat pertama diberikan, kandungan MP ASI yang baik, usia pemberian imunisasi campak, dan jenis suplemen yang diberikan kepada anak berusia 6 bulan-5 tahun oleh pemerintah setiap bulan Februari dan Agustus. Usia pertama bayi diberikan MP ASI adalah lebih dari 6 bulan sesuai dengan anjuran WHO (2007). Contoh MP ASI yang baik untuk bayi 6-7 bulan salah satunya adalah pisang. Tekstur MP ASI yang baik saat pertama diberikan menurut WHO adalah bubur halus atau pure, tetapi semi kental. Kandungan MP ASI yang baik adalah sumber karbohidrat, protein hewani, protein nabati (kacang-kacangan), sayuran, dan buah serta sumber lemak tambahan seperti minyak, mentega, margarin, santan, dan kaldu murut WHO. Usia pemberian imunisasi campak adalah 9 bulan. Jenis suplemen yang diberikan kepada anak berusia 6 bulan – 5 tahun oleh pemerintah pada bulan Februari dan

15

Agustus adalah vitamin A. Bayi berusia 6-11 bulan diberikan kapsul vitamin A berwarna biru dengan dosis 100.000 IU. Bayi berusia 12-59 bulan diberikan kapsul vitamin A berwarna merah dengan dosis 200.000 IU (Kemenkes 2011). Aspek yang masih belum banyak dimengerti oleh ibu adalah tentang pengertian makanan pendamping ASI (MP ASI). Responden yang menjawab benar hanya 37.7%. Kebanyakan responden memilih jawaban MP ASI adalah makanan yang diberikan kepada bayi selama pemberian ASI eksklusif. Pengertian MP ASI adalah makanan pendamping yang diberikan setelah periode pemberian ASI eksklusif yaitu pada usia 7-24 bulan. Kebutuhan gizi bayi pada usia tersebut semakin meningkat sehingga ASI saja tidak cukup (WHO 2007). Sikap Sikap responden pada penelitian ini adalah kecenderungan contoh untuk menyetujui atau tidak menyetujui suatu pernyataan dalam kuesioner. Sebaran responden berdasarkan sikap tentang kehamilan, masa bayi 0-6 bulan, dan masa bayi 7-23 bulan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan sikap tentang 1000 HPK No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Penyataan ASI pertama kali keluar langsung diberikan Memberi susu tambahan menggunakan botol saat usia anak kurang dari 6 bulan Memberi makanan orang dewasa kepada bayi umur 10 bulan Masa baduta (0-2 tahun) merupakan masa paling penting untuk pertumbuhan dan perkembagan anak Berat badan anak harus ditimbang setiap bulan Pada usia baduta, pertumbuhan anak dikatakan baik jika berat badan selalu naik setiap bulan Jika berat badan anak tidak naik tidak perlu dikhawatirkan jika itu hanya terjadi satu kali Anak kurang sehat kalau bertambah umur beratnya tetap/ turun Kapsul vitamin A penting diberikan untuk anak Bagaimana pendapat ibu kalau pada anak diare dilakukan hal berikut: a.Tidak diberi minum, takut tambah mencret b.Anak segera diberi oralit c.Anak dipuasakan/ tidak diberi apa-apa d.ASI tetap diberikan e.Diberi makanan yang lebih lunak

n 50

% 94.3

27

50.9

34

64.2

53

100.0

53

100.0

52

98.1

21

39.6

26

49.1

52

98.1

37 39 36 34 25

69.8 73.6 67.9 64.2 47.2

Responden yang menyetujui pernyataan terkait 1000 HPK berarti responden sudah mempunyai sikap yang positif. Secara umum responden sudah setuju tentang pernyataan yang diberikan terkait 1000 HPK. Persentase terbesar terdapat pada pernyataan tentang masa baduta adalah masa yang paling penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak dan pentingnya memantau berat badan anak setiap bulan dengan persentase 100%. Sikap yang positif ditunjukkan

16

juga pada pernyataan ASI pertama kali keluar langsung diberikan dan pentingnya pemberian kapsul vitamin A kepada anak. Hal ini berarti responden sudah mempunyai sikap yang positif dan sadar tentang pentingnya masa baduta, memantau berat badan, pentingnya Asi, dan pemberian vitamin A. Sikap yang positif akan berpengaruh terhadap praktik. Diharapkan responden juga mempraktikkan hal tersebut, tidak hanya menyetujuinya. Masih terdapat 2 pertanyaan terkait perawatan anak dengan persentase yang rendah sebesar 39.6% dan 49.1%, masing-masing tentang berat badan anak tidak naik tidak perlu dikhawatirkan jika hanya terjadi sekali dan anak kurang sehat kalau bertambah umur beratnya tetap/ turun. Masih banyak responden yang menjawab setuju pada pernyataan pertama dan tidak setuju pada pernyataan kedua. Pernyataan terakhir adalah sikap responden apabila anaknya mengalami diare. Setengah dari responden sudah setuju dengan persentase lebih dari 50%, kecuali satu pernyataan yaitu jika anak diare diberi makanan yang lebih lunak dengan persentase sebesar 47.2%. Hal ini berarti masih banyak responden yang menjawab tidak setuju pada pernyataan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan sikap responden terkait 1000 HPK sudah cukup baik akan tetapi masih perlu ditingkatkan lagi. Menurut Suhardjo (1989) sikap banyak dipengaruhi oleh pengalaman dan respon yang diperlihatkan oleh orang lain sejak masa kanakkanak. Sikap belum merupakan suatu tindakan, akan tetapi predisposisi tindakan. Praktik Praktik 1000 HPK yang diukur dalam penelitian ini berkaitan dengan masa kehamilan, masa bayi 0-6 bulan, dan masa bayi 7-23 bulan. Seluruh responden memeriksakan kehamilan ke tenaga kesehatan seperti bidan dan dokter ketika hamil. Responden sebanyak 90.6% telah mengonsumsi tablet tambah darah selama kehamilan. Menurut Kemenkes (2014) pemberian tablet tambah darah kepada ibu hamil sangat penting karena merupakan upaya penting dalam pencegahan dan penanggulangan anemia akibat kekurangan zat besi dan atau asam folat. Sebanyak 64.2% responden mengonsumsi pil kalsium selama kehamilan. Kebutuhan kalsium ibu hamil mengalami peningkatan sebesar 50%. Kalsium diperlukan untuk pertumbuhan tulang serta gigi janin dan melindungi ibu hamil dari osteoporosis. Apabila kebutuhan ibu hamil tidak tercukupi maka kekurangan kalsium dapat diambil dari tulang ibu (Arisman 2009). Oleh karena itu penting bagi ibu hamil untuk mengonsumsi pil kalsium. Pertanyaan tentang masa perawatan bayi 0-6 bulan terdiri dari praktik pemberian inisiasi menyusui dini, pemberian kolostrum, dan ASI eksklusif. Kebanyakan responden telah melakukan ketiga praktik tersebut dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari presentase yang cukup tinggi dari ketiga praktik tersebut secara berurutan 71.7%, 86.8%, dan 83.0%. Persentase responden yang melaksanakan inisiasi menyusui dini kurang dari 1 jam sebesar 26.4% dan lebih dari sama dengan satu jam sebesar 73.6%. Mayoritas responden sudah melakukan praktik inisiasi menyusui dini dengan benar sesuai dengan Aprillia (2010) yang menyatakan bahwa inisiasi menyusui dini dapat berlangsung sekitar 1 jam sampai bayi selesai menyusu. Menurut WHO (2010) inisiasi menyusui dini pada 1 jam pertama setelah kelahiran dapat melindungi bayi baru lahir dari infeksi dan mengurangi mortalitas. Tindakan ini juga dapat memfasilitasi ikatan emosional antara ibu dan anak. Inisiasi menyusui dini juga dapat menstimulasi produksi ASI.

17

Cakupan praktik ASI eksklusif yang diberikan adalah sebesar 52.3%. Pemberian kolostrum juga penting dilakukan, karena kolostrum merupakan sumber zat gizi yang penting yang merupakan imun pelindung untuk bayi baru lahir (WHO 2010). Sebaran responden berdasarkan praktik 1000 HPK disajikan pada Tabel 9 berikut. Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan praktik 1000 HPK No Pernyataan Kehamilan 1 Pemeriksaan kehamilan ke tenaga kesehatan 2 Konsumsi pil zat besi selama kehamilan 3 Konsumsi pil kalsium selama kehamilan Masa Bayi 0-6 Bulan 4 Pemberian ASI eksklusif 5 Pemberian kolostrum 6 Pemberian inisiasi menyusui dini 7 Lama pemberian inisiasi menyusui dini a. <1 jam b. ≥1 jam 8 Umur anak mulai diberikan makanan atau minuman selain ASI a. 0-7 hari b. 8-28 hari c. 29 hari- <2 bulan d. 2-< 3 bulan e. 3-<4 bulan f. 4-<6 bulan g. ≥ 6 bulan h. Tidak tahu Masa Bayi 0-6 Bulan 9 Jenis minuman atau makanan yang diberikan pada umur tersebut a. Susu formula b. Susu non formula c. Bubur formula d. Biskuit e. Bubur tepung/ bubur saring f. Air tajin g. Pisang dihaluskan h. Bubur nasi/ nasi tim/ Nasi dihaluskan Masa Bayi 7-23 Bulan 10 Kepemilikan KMS 11 Keberadaan catatan imunisasi dalam KMS 12 Anak pernah mendapatkan imunisasi 13 Penimbangan anak dalam 6 bulan terakhir 14 Jumlah penimbangan selama 6 bulan terakhir 15 Pemberian kapsul vitamin A

n

%

53 48 34

100.0 90.6 64.2

44 46 38

83.0 86.8 71.7

14 39

26.4 73.6

3 0 7 0 2 10 28 0

5.7 0.0 13.2 0.0 3.8 18.9 52.8 0.0

21 1 15 23 13 3 22 21

39.6 1.9 28.3 43.4 24.5 5.7 41.5 39.6

48 47 52 51

90.6 88.7 98.1 96.2

47

88.7

Mayoritas responden mulai memberikan minuman atau makanan selain ASI pada saat anak berusia diatas 6 bulan dengan persentase 52.8%. Beberapa responden masih ada yang memberikan minuman atau makanan selain ASI pada anak di bawah usia 6 bulan, yaitu 0-7 hari sebesar 5.7%, 29 hari- <2 bulan sebesar

18

13.2%, 3-<4 bulan sebesar 3.8%, 4-<6 bulan sebesar 18.9%. Hal ini tidak sesuai dengan anjuran Depkes (2007) yang menyatakan bahwa bayi yang berumur di bawah 6 bulan tidak dianjurkan makan atau minum selain ASI, dikarenakan sistem pencernan bayi yang masih belum bisa menerima makanan lain yang dapat mengakibatkan diare dan gangguan pencernaan lainnya. Alasan responden memberikan minuman atau makanan lain cukup beragam, diantaranya ada responden yang ASI nya memang tidak mau keluar sehingga anak langsung diberi susu formula. Kebanyakan jenis minuman atau makanan yang diberikan oleh responden pada umur tersebut adalah biskuit dengan persentase responden sebesar 43.4%. Jenis makanan atau minuman lainnya yang cukup banyak diberikan oleh responden adalah pisang yang dihaluskan dan susu formula, masing-masing sebesar 41.5% dan 39.6%. Kebanyakan baduta telah mempunyai kartu menuju sehat (KMS), mempunyai catatan imunisasi pada KMS, pernah melakukan imunisasi, ditimbang dalam 6 bulan terakhir, dan mendapatkan kapsul vitamin A dengan persentase sebesar 90.6, 88.7, 98.1, 96.2, dan 88.7. Praktik imunisasi pada bayi sudah baik, hal ini dapat dilihat dari persentase responden yang melaksanakan imunisasi kepada bayinya cukup tinggi. Pemberian imunisasi merupakan proses menginduksi imunitas secara buatan beik dengan vaksinasi (imunisasi aktif) maupun dengan pemberian antibodi (imunisasi pasif) (Peter 2003). Kebanyakan responden juga telah menimbang bayinya selama 6 bulan terakhir, hal ini berarti mereka rutin ke posyandu untuk melakukan penimbangan. Suplementasi vitamin A penting dilakukan karena vitamin A yang tinggi dibutuhkan untuk membantu pertumbuhan dan mencegah infeksi pada bayi (WHO 2011). Pengetahuan, sikap, dan praktik tentang ketiga aspek tersebut kemudian dikategorikan menurut Khomsan (2000). Tabel 10 menunjukkan sebaran responden berdasarkan kategori nilai pada masing-masing aspek tersebut. Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan kategori nilai pada masing-masing aspek No

Aspek

1

Masa Kehamilan (%) Rendah (<60) Sedang (60-80) Baik (>80) Masa Bayi 0-6 Bulan (%) Rendah (<60) Sedang (60-80) Baik (>80) Masa Bayi 7-23 Bulan (%) Rendah (<60) Sedang (60-80) Baik (>80)

2

3

Pengetahuan n %

n

Sikap %

n

Praktik %

33 12 8

62.3 22.6 15.1

0 0 53

0.0 0.0 100.0

2 20 31

3.8 37.7 58.5

8 31 14

15.1 58.5 26.4

6 28 19

11.3 52.8 35.8

17 28 8

32.1 52.8 15.1

14 13 26

26.4 24.5 49.1

19 12 22

35.8 22.6 41.5

4 10 39

7.5 18.9 73.6

Aspek pertama adalah masa kehamilan, mayoritas responden masih mempunyai pengetahuan yang masuk dalam kategori rendah sebesar 62.3%. Pada bagian sikap dan praktik, mayoritas responden sudah masuk dalam kategori baik dengan persentase masing-masing 100% dan 58.5%. Aspek kedua tentang masa

19

perawatan bayi 0-6 bulan, mayoritas responden sudah masuk dalam kategori sedang untuk pengetahuan, sikap, dan praktik, yaitu masing-masing 58.5%, 52.8%, dan 52.8%. Aspek terakhir adalah masa perawatan bayi 7-23 bulan, mayoritas responden sudah mempunyai pengetahuan, sikap, dan praktik yang masuk dalam kategori baik dengan persentase masing-masing 49.1%, 41.5%, dan 73.6%. Kesimpulan dari tabel 10 juga bisa dilihat pada rata-rata nilai pengetahuan, sikap, dan praktik dari masing-masing aspek yang disajikan pada Tabel 11 berikut. Tabel 11 Rata-rata nilai pengetahuan, sikap, dan praktik pada masing masing aspek No 1 2 3

Aspek Masa Kehamilan Masa Bayi 0-6 Bulan Masa Bayi 7-23 Bulan Keseluruhan

Pengetahuan 51.9 74.0 75.5 67.1

Sikap 100.0 72.0 69.3 80.4

Praktik 84.9 67.0 86.6 79.5

Kedua tabel tersebut menunjukkan hasil yang sejalan, yaitu rata-rata nilai pengetahuan yang paling rendah adalah pengetahuan tentang masa kehamilan, selebihnya sudah masuk dalam kategori sedang dan baik. Kategori untuk sikap dan praktik juga sudah masuk dalam kategori sedang dan baik. Bentuk ringkas dari kedua tabel tersebut disajikan pada Tabel 12 yang menunjukkan sebaran responden berdasarkan kategori pengetahuan, sikap, dan praktik. Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan pengetahuan, sikap, dan praktik Kategori Rendah (<60%) Sedang (60-80%) Baik (>80%) Total Rata-rata ± SD

Pengetahuan n % 13 24.5 32 60.4 8 15.1 53 100.0 67.1 ± 14.9

Sikap n % 7 13.2 29 54.7 17 32.1 53 100.0 80.4 ± 12.6

Praktik n % 4 7.5 19 35.8 30 56.6 53 100.0 79.5 ± 17.5

Rata-rata pengetahuan, sikap, dan praktik responden masuk dalam kategori sedang yaitu masing-masing secara berurutan sebesar 67.1 ± 14.9, 80.4 ± 12.6, dan 79.5 ± 17.5. Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan, sikap, dan praktik responden sudah cukup baik. Perilaku tentang Gizi Perilaku tentang gizi juga diukur dalam penelitian ini, yang terdiri dari pengetahuan, sikap, dan praktik tentang gizi seimbang dan PHBS. Sebaran responden pada pengetahuan, sikap, dan praktik tentang gizi seimbang akan dijelaskan lebih lanjut pada sub sub bab berikut. Pengetahuan Sebaran responden berdasarkan pengetahuan tentang gizi seimbang dan PHBS ditunjukkan pada Tabel 13 berikut.

20

Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan persentase jawaban benar tentang pengetahuan gizi seimbang dan PHBS No 1 2 3 4 5

Pernyataan Makanan yang baik untuk dikonsumsi adalah makanan beragam Contoh makanan beragam adalah nasi, tahu/ tempe, sayur, buah Minum air putih yang disarankan sehari 8 gelas Waktu cuci tangan yang baik adalah sebelum makan dan sesudah dari kamar mandi Waktu gosok gigi yang baik adalah sesudah makan dan sebelum tidur

n 43 28 34 40

% 81.1 52.8 64.2 75.5

16

30.2

Sebanyak 81.1% responden telah menjawab benar pengetahuan tentang makanan beragam yang seharusnya dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan Kemenker RI (2014) yang telah menyempurnakan 4 sehat 5 sempurna menjadi Pedoman Gizi Seimbang (PGS) yang terdiri dari empat pilar. Salah satu pilarnya adalah mengonsumsi makanan beragam, karena tidak ada satu jenis makanan yang mempunyai kandungan gizi lengkap yang diperlukan tubuh. Sebanyak 52.8% responden sudah menjawab benar tentang contoh makanan beragam. Contoh makanan beragam adalah nasi yang merupakan sumber utama kalori, tetapi miskin vitamin dan mineral; sayuran dan buah-buahan pada umumnya kaya akan vitamin, mineral dan serat, tetapi miskin kalori dan protein; ikan merupakan sumber utama protein tetapi sedikit kalori (Kemenkes RI 2014). Sebanyak 64.2% responden menjawab benar tentang anjuran banyaknya minum air putih dalam sehari. Menurut tumpeng gizi seimbang panduan konsumsi sehari-hari yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI (2014) anjuran minum air putih minimal 8 gelas sehari. Sebanyak 75.5% responden menjawab benar tentang waktu cuci tangan yang tepat, yaitu ketika sebelum makan dan setelah dari kamar mandi. Pertanyaan terakhir yang ditanyakan pada topik ini adalah waktu menggosok gigi yang tepat. Responden yang menjawab benar hanya 30.2% yang merupakan persentase terendah dari topik pengetahuan tentang gizi seimbang dan PHBS. Sikap Tabel 14 menunjukkan sebaran responden berdasarkan sikap tentang gizi seimbang dan PHBS. Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan sikap tentang gizi seimbang dan PHBS No 1 2 3 4 5

Pertanyaan Kita dapat bekerja kalau tidak makan Agar anak dapat tumbuh sehat perlu makanan bergizi Mencuci tangan yang baik adalah menggunakan air bersih yang mengalir dan sabun Aktivitas fisik penting untuk menjaga kesehatan Setiap memasak menggunakan garam beryodium

n 40 53 53

% 75.5 100.0 100.0

53 44

100.0 83.0

Pernyataan terkait sikap gizi seimbang diantaranya adalah kita dapat bekerja kalau tidak makan, agar anak tumbuh sehat perlu makanan bergizi, aktivitas fisik penting untuk menjaga kesehatan, setiap memasak menggunakan garam beryodium dengan masing-masing persentase sebesar 75.5%, 100.0%,

21

100.0%, dan 83.0%. Pernyataan terkait PHBS diantaranya adalah sikap tentang mencuci tangan yang baik menggunakan air bersih yang menalir dan sabun dengan persentase sebesar 100.0%. Praktik Tabel 15 menunjukkan sebaran responden berdasarkan praktik gizi seimbang dan PHBS. Tabel 15 Sebaran responden berdasarkan praktik gizi seimbang dan PHBS No 1 2 3 4 5

Pertanyaan Pemberian makanan beragam dalam tiga hari terakhir Penggunaan garam beryodium Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan Kebiasaan menyikat gigi setiap hari Waktu menyikat gigi Saat mandi pagi Saat mandi sore Sesudah makan pagi Sesudah bangun pagi Sebelum tidur malan Sesudah makan siang

n 41 48 53 53

% 77.4 90.6 100.0 100.0

50 33 19 20 21 13

94.3 62.3 35.8 37.7 39.6 24.5

Praktik gizi seimbang dan PHBS responden kebanyakan belum cukup baik. Pertanyaan yang diberikan diantaranya adalah kebiasaan memberikan makanan beragam kepada anak dan keluarga dalam tiga hari terakhir, kebiasaan menggunakan garam beryodium saat memasak, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, dan kebiasan menyikat gigi dengan persentase masing-masing 77.4%, 90.6%, 100.0%, dan 100.0%. Semua responden menyatakan selalu mencuci tangan sebelum makan dan membiasakan menggosok gigi. Secara umum responden membiasakan menggosok gigi pada saat mandi pagi, yaitu sebesar 94.3%. Sebesar 35.8% dan 39.6% responden yang menggosok gigi setelah makan pagi dan sebelum tidur malam. Hal ini berarti praktik PHBS responden dinilai masih kurang, menurut Kemenkes RI (2012) untuk mendapatkan hasil yang optimal, menggososk gigi yang benar adalah menggosok gigi setiap hari pada waktu pagi hari sesudah sarapan dan malam sebelum tidur. Secara umum nilai responden untuk pengetahuan, sikap, dan praktik secara berturut-turut adalah sebesar 60.8, 91.7, dan 66.0. Tabel 16 berikut menunjukkan sebaran responden berdasarkan pengetahuan, sikap, dan praktik gizi seimbang dan PHBS. Tabel 16 Sebaran responden berdasarkan pengetahuan, sikap, dan praktik gizi seimbang Pengetahuan Sikap Praktik Kategori(%) n % n % n % Rendah (<60) 17 32.1 0 0.0 18 34.0 Sedang (60-80) 29 54.7 20 37.7 23 43.4 Baik (>80) 7 13.2 33 62.3 12 22.6

22

Mayoritas responden mempunyai pengetahuan dan praktik yang masuk dalam kategori sedang, yaitu masing-masing 54.7% dan 43.4% dan sikap yang masuk kategori baik sebesar 62.3%. Pengetahuan, sikap, dan praktik responden tentang gizi seimbang belum cukup baik sehingga masih perlu ditingkatkan. Karakteristik Baduta Karakteristik baduta yang dianalisis dalam penelitian ini adalah usia dan jenis kelamin. Jumlah baduta dalam penelitian ini sesuai dengan jumlah responden yaitu 53 baduta dengan kisaran umur antara 0-23 bulan yang terdiri dari 23 laki-laki dan 30 perempuan. Tabel 17 menunjukkan sebaran karakteristik baduta. Tabel 17 Sebaran baduta berdasarkan usia dan jenis kelamin Laki-laki Perempuan Karakteristik baduta n % n % Usia (bulan) ≤6 7 30.4 6 20.0 7-12 7 30.4 14 46.7 >12 9 39.1 10 33.3 Total 23 100.0 30 100.0 Tabel 17 menunjukkan bahwa baduta dengan jenis kelamin laki-laki secara umum mempunyai sebaran yang merata, sedangkan baduta dengan jenis kelamin perempuan mayoritas berusia 7-12 bulan dengan persentase sebesar 46.7%. Usia baduta termuda adalah 1 bulan dan usia tertua adalah 23 bulan. Asupan dan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Asupan energi dan protein baduta didapatkan dari recall 1x24 jam. Baduta dengan usia 0-6 bulan mendapatkan asupan energi dan protein dari konsumsi ASI dan ada beberapa yang sudah memberikan MP ASI seperti susu formula, sedangkan semua baduta dengan usia ≥6 bulan mendapatkan asupan energi dan protein dari konsumsi ASI dan MP ASI. Tabel 18 menunjukkan rata-rata konsumsi energi dan protein baduta. Tabel 18 Rata-rata asupan energi dan protein baduta Energi Usia (bulan) ≤6 7-12 >12

Asupan (Rata-rata ± SD) (kkal) 819.0 ± 466.3 768.0 ± 242.9 895.6 ± 360.6

Protein

AKG (kkal)

TKE (%)

560 800 1250

146.3 96.0 71.6

Asupan (Rata-rata ± SD) (g) 14.8 ± 12.0 15.3 ± 6.1 21.0 ± 14.1

AKG (g)

TKP (%)

12 15 23

123.3 102.0 91.3

Secara umum rata-rata asupan energi pada baduta berusia ≤ 6 bulan sudah diatas Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013, dengan rata-rata TKE yaitu 146.3%. Hal ini berarti asupannya sudah tercukupi. Asupan energi baduta berusia ini didapat dari konsumsi ASI dan ada beberapa yang sudah mengonsumsi MP ASI

23

seperti susu formula, bubur, pisang yang dihaluskan dan biskuit. Rata-rata asupan energi baduta berusia 7-12 bulan masih di bawah AKG, dengan rata-rata TKE 96.0%. Hal ini diduga karena masa peralihan dari ASI eksklusif ke MP ASI sehingga baduta perlu beradaptasi dengan makanan yang baru. Oleh karena itu asupan energinya belum tercukupi. Rata-rata asupan energi baduta berusia >12 bulan masih di bawah AKG untuk kecukupan anak usia 1-3 tahun dengan rata-rata TKE 71.6%. Hal ini berarti asupan energi belum tercukupi. Rata-rata asupan protein baduta berusia ≤ 6 bulan sudah diatas AKG, dengan rata-rata TKP 123.3% Asupan protein baduta 7-12 bulan sudah sesuai dengan AKG yang berarti telah tercukupi, dengan rata-rata TKP 102.0%. Ratarata asupan protein baduta berusia >12 bulan masih di bawah AKG untuk kecukupan anak usia 1-3 tahun, dengan TKP 91.3%. Hal ini berarti asupan protein belum tercukupi. Menurut Suwarti et al (2003) kadar beberapa zat gizi yang terkandung dalam MP ASI di negara berkembang seperti Indonesia masih rendah. Hal ini dipengaruhi juga oleh ketrampilan ibu dalam memberi makan anak, sehingga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya asupan gizi yang kurang dalam jangka waktu yang cukup lama. Tingkat kecukupan energi dan protein berfungsi untuk mengetahui kecukupan asupan baduta yang dikategorikan kedalam lima kategori, yaitu defisit tingkat berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan, normal, dan lebih. Sebaran baduta berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Sebaran baduta berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein Kategori Kecukupan Energi Defisit Berat Defisit Sedang Defisit Ringan Normal Lebih Total

Energi n 15 2 5 18 13 53

% 28.3 3.8 9.4 34.0 24.5 100.0

Protein n 18 5 2 12 16 53

% 34.0 9.4 3.8 22.6 30.2 100.0

Tabel 19 menunjukkan bahwa baduta yang memiliki tingkat kecukupan energi normal sebanyak 34.0%. Pangan sumber energi sebagian besar dapat dipenuhi karena harganya yang terjangkau dan mudah diakses. Makanan sumber energi yang banyak dikonsumsi baduta adalah bubur ayam. Hampir semua baduta yang berusia ≥6 bulan mengonsumsi bubur ayam. Sebanyak 28.3% baduta masih memiliki tingkat kecukupan energi defisit berat, 3.8% defisit sedang, dan 9.4% defisit ringan. Apabila dijumlahkan tingkat kecukupan energi yang defisit lebih banyak dibandingkan dengan normal. Sejalan dengan Tabel 18 kecukupan energi untuk anak usia 7-12 dan > 12 bulan masih kurang. Hal ini dikarenakan adanya peralihan konsumsi baduta dari ASI eksklusif ke MP ASI yang membutuhkan adaptasi dari baduta, sehingga konsumsi pangan sumber energi masih rendah. Mayoritas baduta memiliki tingkat kecukupan protein defisit berat, yaitu sebesar 34.0%. Hal ini dikarenakan baduta lebih banyak mengonsumsi sumber karbohidrat dibandingkan sumber protein. Diduga keluarga baduta mempunyai

24

kemampuan daya beli yang rendah terhadap pangan sumber protein. Asupan protein sangat diperlukan untuk masa pertumbuhan. Menurut Irianto (2004) anakanak dalam masa pertumbuhan memerlukan asupan protein per kilogram berat badan lebih tinggi daripada orang dewasa. Sumber pangan yang mengandung protein antara lain kacang-kacangan, ikan, telur, daging, dan susu. Status Gizi Baduta Status gizi yang optimal pada baduta merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya pada masyarakat sehingga penanganan tepat pada awal pertumbuhan akan mencegah gangguan gizi yang dapat muncul saat dewasa. Anak dengan gizi baik harus mendapatkan perhatian gizi, hal ini disebabkan pada usia ini anak rentan terkena gizi kurang sehingga bila tidak mendapat penanganan lebih lanjut dapat membuat anak mengalami status gizi buruk (Rakhmawati 2013). Status gizi baduta diukur dengan antropometri yang mencakup berat badan dan tinggi atau panjang badan. Hasil pengukuran selanjutnya dihitung dan dikategorikan menggunakan Z-score. Indikator status gizi yang digunakan dalam penelitian ini adalah berat badan menurut umur (BB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), dan tinggi badan menurut umur (TB/U) sesuai dengan WHO-NCHS. Secara umum status gizi baduta menurut BB/U masuk dalam kategori gizi baik sebesar 83.3%, akan tetapi masih ada baduta yang masuk dalam kategori gizi kurang dan gizi lebih masing-masing sebanyak 9.3% dan 1.9%. Nilai rata-rata zskor menunjukkan bahwa semakin tinggi usia baduta maka status gizi baduta cenderung semakin buruk. Apabila dibandingkan dengan data Riskesdas (2013) persentase gizi kurang ini tergolong rendah. Menurut data Riskesdas (2013) prevalensi gizi kurang secara nasional adalah 19.6% pada tahun 2013. Status gizi berdasarkan BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberi indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut, karena berat badan berkorelasi positif dengan usia dan tinggi badan. Baduta yang menurut indikator BB/TB normal tetapi menurut indikator BB/U gizi buruk dan kurang dalam penelitian ini adalah 1.9% dan 7.5%. Hasil ini menunjukkan bahwa baduta yang menurut indikator BB/TB normal padahal tinggi badannya pendek atau stunting sebenarnya memiliki berat badan yang kurang menurut BB/U. Secara umum status gizi baduta menurut BB/TB masuk dalam kategori normal sebesar 81.5%, akan tetapi masih ada baduta yang masuk dalam kategori sangat kurus dan gemuk masing-masing sebesar 1.9% dan 14.8%. Rata-rata z-skor BB/TB menurut umur tidak memperlihatkan kecenderungan status gizi semakin baik atau buruk seiring dengan pertambahan usia. Status gizi berdasarkan BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini. Indikator ini digunakan untuk menilai masalah gizi yang bersifat akut akibat peristiwa yang terjadi dalam waktu singkat tanpa harus mengetahui umur, sehingga dapat mengetahui proporsi tubuh (Supariasa et al. 2002). Hasil analisis menunjukkan bahwa baduta yang menurut indikator BB/TB normal tetapi menurut indikator TB/U pendek dan sangat pendek adalah sebesar 9.4% dan 1.9%. Hal ini menunjukkan bahwa baduta yang pendek dan sangat pendek saat ini asupan makanannya bagus sehingga menurut indikator BB/TB masuk dalam kategori normal. Sebaran baduta berdasarkan status gizi dan usia disajikan pada Tabel 20.

25

Tabel 20 Sebaran baduta berdasarkan status gizi dan usia n

%

Usia (bulan) 7-12 n %

0 0 13 0

0.0 0.0 100.0 0.0 0.25

1 4.8 4 19.0 15 71.4 1 4.8 -0.68

1 5.3 1 5.3 17 89.4 0 0.0 -0.73

2 3.8 5 9.4 45 83.9 1 1.9 -0.48

1 0 9 3

7.7 0.0 69.2 23.1 1.04

0 0.0 0 0.0 19 90.5 2 9.5 0.58

0 0.0 0 0.0 16 84.2 3 15.8 1.08

1 1.9 0 0.0 44 83.0 8 15.1 0.74

0.0 0.0 100.0 -0.47

1 4.8 4 19.0 16 76.2 -1.60

1 5.3 1 5.3 17 89.4 -2.39

2 3.8 5 9.4 46 86.8 -1.50

≤6

Status Gizi BB/U Gizi buruk Gizi kurang Gizi Baik Gizi Lebih Rata-rata z-skor BB/TB Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Rata-rata z-skor TB/U Sangat pendek Pendek Normal Rata-rata z-skor

0 0 13

>12 n

Total %

N

%

Secara umum status gizi baduta menurut TB/U masuk dalam kategori normal sebesar 85.2%, akan tetapi masih ada baduta yang masuk kategori sangat pendek dan pendek masing-masing sebesar 3.7% dan 9.3%. Nilai rata-rata z-skor menunjukkan bahwa semakin tinggi usia maka semakin buruk status gizi baduta, sejalan dengan indikator BB/U. Menurut Riskesdas (2013) angka stunting/ pendek pada balita masih cukup tinggi, yaitu mencapai 37.2%. hal ini berarti persentase pendek masih di bawah angka nasional. Status gizi berdasarkan TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya perilaku hidup tidak sehat, pola asuh/ pemberian makan yang kurang baik, dan kemiskinan. Riwayat Penyakit Baduta Riwayat penyakit baduta diperoleh dari jenis penyakit yang diderita dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Jenis penyakit yang diderita diantaranya adalah demam, batuk, flu, mencret biasa, dan diare. Tabel 21 menunjukkan sebaran baduta berdasarkan jenis penyakit yang pernah diderita dalm kurun waktu tiga bulan terakhir. Tabel 21 Sebaran baduta berdasarkan riwayat penyakit dalam tiga bulan terakhir Riwayat penyakit Demam Batuk Flu Mencret biasa Diare

Laki-laki n % 14 60.9 17 73.9 13 56.5 6 26.1 5 21.7

Perempuan n % 21 70.0 18 60.0 15 50.0 11 36.7 5 16.7

Total n 35 35 28 17 10

% 66.0 66.0 52.8 32.1 18.9

26

Baduta laki-laki kebanyakan menderita batuk selama tiga bulan terakhir sebelum penelitian sebesar 73.9%. Baduta perempuan kebanyakan menderita demam dalam tiga bulan terakhir sebesar 70.0%. Secara keseluruhan riwayat penyakit yang diderita baduta dengan persentase paling besar adalah demam dan batuk, masing-masing 66.0%. Demam, flu, dan batuk merupakan jenis penyakit yang berhubungan satu sama lain. Riwayat penyakit diare secara keseluruhan tergolong rendah, yaitu sebesar 18.9% responden yang pernah menderitanya. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (1995) diare merupakan salah satu penyakit infeksi yang menduduki tingkat teratas sebagai penyebab kematian balita. Sebaran baduta berdasarkan status gizi dan penyakit diare serta uji Fisher disajikan dalam Tabel 22 berikut. Tabel 22 Sebaran baduta berdasarkan status gizi dan penyakit diare Penyakit Diare Status Gizi BB/U Gizi buruk Gizi kurang Gizi Baik Gizi Lebih BB/TB Sangat kurus Normal Gemuk TB/U Sangat pendek Pendek Normal

Ya

Tidak

Uji

n

%

n

%

1 1 8 0

50.0 20.0 17.8 0.0

1 4 37 1

50.0 80.0 82.2 100.0

0 8 2

0.0 18.2 25.0

1 36 6

100.0 81.8 57.0

0.709

1 1 8

50.0 20.0 17.4

1 4 38

50.0 80.0 82.6

0.508

0.609

Tabel 22 menunjukkan bahwa menurut indikator BB/U semakin baik status gizi baduta maka kejadian diare semakin kecil, begitu juga dengan indikator TB/U. Kecenderungan tersebut tidak terlihat pada indikator BB/TB. Menurut indikator BB/TB semakin baik status gizi maka kejadian diare semakin besar. Hal ini terjadi karena semakin baik status gizi baduta berarti konsumsinya juga semakin baik dan kejadian penyakit infeksi seperti diare menurun. Diare mempengaruhi asupan dan penyerapan zat gizi sehingga berpengaruh terhadap status gizi anak. Hasil uji Fisher menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kejadian diare dengan status gizi menurut indikator BB/U, BB/TB, dan TB/U (p>0.05). Frekuensi diare dalam jangka waktu tiga bulan terakhir juga dihubungkan dengan status gizi menurut indikator BB/U, BB/TB, dan TB/U. Hasil uji korelasi Pearson menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi diare dengan status gizi (p>0.05). Hubungan diare dan status gizi sulit untuk dijelaskan, diare bisa disebabkan oleh gizi buruk atau diare menyebabkan gizi buruk. Menurut Fekadu et al. (2015) faktor yang mempengaruhi kejadian wasting atau kurus dan underweight atau gizi kurang adalah diare dan pemberian ASI eksklusif.

27

Hubungan antar Variabel Hubungan Pendidikan Responden dengan Pengetahuan, Sikap, dan Praktik 1000 HPK Hasil analisis menggunakan uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan responden dan pengetahuan gizi dengan nilai p=0.053 r=0.268 dan pendidikan responden dengan sikap gizi dengan nilai p=0.770 r=-0.041. Tingkat pendidikan responden mayoritas adalah SMP atau sederajat. Rata-rata pengetahuan dan sikap responden masuk dalam kategori sedang, yaitu sebesar 64.7 ± 13.9 dan 77.7 ± 11.2. Pengetahuan dan sikap responden tidak dipengaruhi oleh pendidikan formal, akan tetapi dipengaruhi juga oleh sumber informasi responden terkait gizi seimbang, PHBS, dan 1000 HPK yang berasal dari televisi, posyandu, dan buku sebesar 62.3%. Hasil analisis menggunakan uji korelasi Pearson menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dan praktik dengan nilai p=0.824 r=0.031. Hal ini sesuai dengan penelitian Rachmadewi dan Khomsan (2009) yang menyatakan bahwa praktik gizi lebih dipengaruhi oleh budaya dan kepercayaan tradisional. Responden dengan tingkat pendidikan formal yang rendah tetap akan menyusui bayinya karena sudah menjadi budaya di pedesaan bahwa ibu harus menyusui bayinya. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Rachmadewi dan Khomsan (2009) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu berhubungan positif dengan pengetahuan dan sikap ibu. Hubungan antara Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Hasil analisis menggunakan uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan sikap responden tentang gizi dan 1000 HPK dengan nilai p=0.043 r=0.279. Pengetahuan gizi yang baik akan mendorong ibu untuk mempraktikkan pemberian makan yang baik bagi anak-anaknya. Pengetahuan gizi erat kaitannya dengan sikap gizi, yaitu jika seseorang memiliki pengetahuan gizi yang baik maka cenderung memiliki sikap gizi yang baik pula. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khomsan et al. (2009) yang menyatakan bahwa pengetahuan gizi merupakan prasyarat penting untuk terjadinya perubahan sikap dan praktik gizi. Hasil analisis menggunakan uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan praktik responden tentang gizi dan 1000 HPK dengan nilai p=0.758 r=0.043. Hasil analisis menggunakan uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap dengan praktik responden tentang gizi dan 1000 HPK dengan nilai p=0.364 r=0.127. Hal ini berarti praktik gizi tidak dipengaruhi oleh sikap, karena kemungkinan ada faktor lain yang berpengaruh terhadap praktik gizi misalnya lingkungan dan kebudayaan. Hal ini dikarenakan ada faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap praktik gizi ibu diantaranya adalah daya beli (Khomsan et al. 2009). Praktik adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu (Mawaddah dan Hardinsyah 2008). Sikap adalah penilaian dari seseorang terhadap suatu objek (Schiffman & Kanuk 1997).

28

Hubungan Pendapatan dan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Baduta Pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas makanan. Hasil analisis menggunakan uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan tingkat kecukupan energi dan protein pada anak baduta dengan nilai p=0.866 r=-0.024 dan p=0.910 r=-0.016. Kecukupan energi dan protein baduta tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan namun juga kemungkinan dipengaruhi oleh pengaruh faktor sosial budaya keluarga. Keluarga dengan pendapatan yang tinggi diharapkan dapat memberikan peluang besar dalam pemilihan makanan yang baik dalam jumlah dan jenisnya (Mawaddah dan Hardinsyah 2008). Hubungan yang tidak signifikan ini sejalan dengan penelitian Sarbini dan Hidayati (2008) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat kecukupan energi dan protein baduta. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hasil yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dengan tingkat kecukupan protein dengan nilai p=0.000 dan r=0.831 yang bernilai positif dan sangat kuat. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kecukupan energi maka semakin tinggi juga tingkat kecukupan protein. Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Praktik 1000 HPK dengan Asupan Baduta Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan tingkat kecukupan energi (p=0.857 r=0.025) dan pengetahuan dengan tingkat kecukupan protein (p=0.753 r=0.044). Hasil uji korelasi Pearson juga menunjukkan tidak ada hubungan antara sikap dengan tingkat kecukupan energi dan protein dengan nilai p masing-masing adalah p=0.390 r=-0.120 dan p=0.383 r=-0.122. Hasil uji korelasi juga menunjukkan tidak ada hubungan antara praktik dengan tingkat konsumsi energi dan protein dengan nilai p masing-masing adalah p=0.968 r=-0.006 dan p=0.617 r=0.070. Asupan baduta didapatkan dari makanan yang dikonsumsi. Konsumsi baduta dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pemilihan jenis makanan dan banyaknya makanan yang dimakan. Pemilihan jenis dan banyaknya makanan ini tentunya tergantung pada orang tua, dikarenakan baduta bersifat konsumen pasif yang berarti makanan yang dikonsumsi tergantung pada apa yang disediakan ibu (Supriatin 2004). Hubungan Sebaran Kelompok Umur dan Status Gizi Baduta Hasil uji korelasi Pearson menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sebaran kelompok umur dengan status gizi baduta berdasarkan indikator BB/U (p<0.05) dan TB/U (p<0.01) dan tidak ada hubungan yang signifikan antara sebaran kelompok umur dengan status gizi berdasarkan indikator BB/TB (p>0.05). Indikator BB/U dan TB/U berhubungan langsung dengan sebaran kelompok umur baduta. Status gizi baduta usia ≤6, 7-12, dan >12 bulan menurut indikator BB/U cenderung gizi baik, menurut indikator BB/TB dan TB/U cenderung normal. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Devi (2010) yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara sebaran kelompok umur dengan status gizi baduta.

29

Hubungan Perilaku 1000 HPK dengan Status Gizi Baduta Variabel yang diuji selanjutnya adalah perilaku responden yang terdiri dari pengetahuan, praktik, sikap dengan status gizi baduta (BB/U, BB/TB, dan TB/U). Uji korelasi yang digunakan adalah korelasi Pearson, karena kedua data merupakan jenis data numerik dengan sebaran normal. Tabel 23 menunjukkan hubungan perilaku responden dengan status gizi baduta. Tabel 23 Hubungan perilaku responden dengan status gizi baduta Perilaku Pengetahuan Praktik Sikap

BB/U p r 0.435 -0.109 0.761 -0.043 0.250 0.161

BB/TB p r 0.429 -0.111 0.801 -0.035 0.545 0.085

TB/U p r 0.764 -0.042 0.829 -0.030 0.997 0.001

Hasil uji statistik menggunakan korelasi Pearson, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan status gizi baduta berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U) (p>0.05; r=-0.109), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (p>0.05; r=-0.111), dan tinggi badan menurut umur (TB/U) (p>0.05; r=-0.042). Hal ini berarti pengetahuan responden tidak memberi kontribusi terhadap status gizi baduta, diduga karena adanya faktor lain yang yang lebih mempengaruhi status gizi baduta Salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu pendapatan keluarga, walaupun ibu kurang tahu tentang pengetahuan makanan pendamping ASI namun memiliki pendapatan keluarga yang baik sehingga dapat membeli kebutuhan yang beraneka ragam untuk memenuhi gizi anaknya. Ibu dengan pengetahuan kurang mungkin kurang mengerti tentang pola pemberian makanan pendamping ASI secara baik, namun karena budaya di keluarga mereka selalu mengonsumsi makan makanan yang bergizi, misalnya sayuran dan daging maka pola perilaku keluarga tersebut akan berdampak pada status gizi anak. Pengetahuan juga berkaitan erat dengan sikap dan praktik responden. Apabila dilihat secara umum status gizi baduta mayoritas normal, sedangkan pengetahuan, sikap, dan praktik responden masuk dalam kategori sedang dengan nilai rata-rata masing-masing 64.7± 13.9, 77.7 ± 11.2, dan 71.9 ± 9.0. Sikap gizi seseorang terbentuk dari pengalaman pribadi dan pengaruh orang lain. Diduga sikap responden tidak berpengaruh langsung terhadap status gizi baduta. Sikap belum otomatis terwujud dalam bentuk praktik, untuk mewujudkan sikap agar menjadi praktik diperlukan faktor pendukung atau kondisi lain yang memungkinkan (Notoadmodjo 2007). Praktik responden juga tidak berpengaruh terhadap status gizi baduta. Hal ini sesuai dengan penelitian Rachmadewi dan Khomsan (2009) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara praktik gizi dan status gizi baduta. Perilaku orang tua menentukan terpenuhi atau tidaknya kebutuhan gizi balita (Sariningsih 2005). Uji korelasi Pearson juga dilakukan pada variabel pengetahuan, sikap, dan praktik ibu pada masing-masing aspek, yaitu gizi seimbang dan PHBS, masa kehamilan, masa perawatan bayi 0-6 bulan, dan masa perawatan bayi 7-23 bulan terhadap status gizi baduta berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Hasil uji korelasi menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan kecuali pada tiga variabel, yaitu sikap responden pada masa perawatan bayi 0-6

30

bulan dan praktik responden pada masa perawatan bayi 0-6 bulan terhadap indikator status gizi berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Tabel 24 menunjukkan hubungan status gizi BB/TB dengan pengetahuan, sikap, dan praktik pada masing-masing aspek. Tabel 24 Hubungan status gizi BB/TB dengan pengetahuan, sikap, dan praktik berdasarkan masing-masing aspek No

Aspek

1 2 3 4

Gizi Seimbang dan PHBS Masa Kehamilan Masa Bayi 0-6 Bulan Masa Bayi 7-23 Bulan

a

Pengetahuan p r 0.482 -0.099 0.075a -0.247 0.731 -0.048 0.234 0.166

Sikap p r 0.255 -0.159 0.032b 0.295 0.964 -0.006

Praktik P r 0.625 -0.009 0.912 -0.016 0.019b -0.321 0.892 -0.019

) terdapat kecenderungan hubungan (p<0.1) ) terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05)

b

Hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara sikap responden dan status gizi baduta BB/TB dengan nilai p<0.05 dan nilai r positif. Hal ini berarti semakin baik sikap responden pada masa perawatan bayi 06 bulan maka status gizi BB/TB semakin baik. Sikap terbentuk dari pengalaman pribadi dan pengaruh orang lain, dalam hal ini sikap responden pada masa perawatan bayi 0-6 bulan berpengaruh langsung terhadap status gizi baduta menurut indikator BB/TB. Hubungan yang signifikan juga diperoleh dari uji korelasi antara praktik responden dan status gizi baduta BB/TB dengan nilai p<0.05 dan nilai r negatif. Ada kecenderungan hubungan antara pengetahuan pada masa kehamilan dengan status gizi BB/TB dengan nilai p<0.1 dengan nilai r negatif. Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Gizi Baduta Hubungan yang dianalisis selanjutnya adalah tingkat kecukupan energi dan protein dan status gizi baduta yang terdiri dari BB/U, BB/TB, dan TB/U. Analisis dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Pearson. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi baduta berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U) (p>0.05; r=0.092), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (p>0.05; r=-0.029), dan tinggi badan menurut umur (TB/U) (p>0.05; r=0.080). Tingkat kecukupan protein mempunyai hubungan positif tidak signifikan (p=0.451; r=0.106) dengan status gizi baduta BB/U dan BB/TB (p=0.548; r=0.084). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Silaen et al. (2013) yang mengungkapkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi berdasarkan indikator TB/U. Tinggi badan seseorang merupakan gambaran hasil konsumsi gizi masa lalu, sehingga untuk mengetahui hasil perubahannya memerlukan waktu yang cukup lama. Sebagian besar baduta (34.0%) memiliki asupan protein pada kategori defisit tingkat berat, namun sebagian besar baduta pada penelitian ini memiliki status gizi (BB/U) dalam kategori gizi baik (83.3%) dan status gizi (BB/TB) dalam kategori normal (81.5%). Hal ini dapat diartikan bahwa asupan protein tidak memberikan kontribusi terhadap status gizi baduta. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian

31

Mariani (2002) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kecukupan konsumsi protein dan status gizi anak usia baduta, begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2012) menemukan hubungan tingkat kecukupan protein dengan status gizi baduta.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Responden penelitian ini sebanyak 53 orang ibu yang mempunyai anak berusia 0-23 bulan. Rata-rata usia responden 26.0 ± 6.6 tahun dengan kisaran usia 17-25 tahun sebesar 60.4%. Pendidikan terakhir responden mayoritas adalah SMP, yang seluruhnya sebagai ibu rumah tangga. Sumber informasi responden mayoritas berasal dari posyandu, selain itu juga televisi dan buku. Rata-rata pengetahuan, sikap, dan praktik responden adalah 64.7± 13.9, 77.7 ± 11.2, dan 71.9 ± 9.0 yang masuk dalam kategori sedang. Baduta jenis kelamin laki-laki menyebar normal menurut usia <6, 7-12, dan >12 bulan. Baduta dengan jenis kelamin perempuan mayoritas (46.7%) berusia 7-12 bulan. Status gizi baduta menurut BB/U secara umum masuk dalam kategori gizi baik (83.9%), menurut BB/TB masuk dalam kategori normal (83.0%), dan menurut TB/U masuk dalam kategori normal (86.8%). Pengetahuan tentang gizi dan 1000 HPK berhubungan positif signifikan (p<0.05) dengan sikap responden, namun tidak ada hubungan signifikan (p>0.05) antara pengetahuan dengan praktik dan sikap dengan praktik responden. Sikap dan praktik responden tentang masa perawatan bayi 0-6 bulan berhubungan signifikan (p<0.05) dengan status gizi baduta BB/TB. Ada kecenderungan hubungan antara pengetahuan pada masa kehamilan dengan status gizi BB/TB (p<0.1). Saran Perilaku ibu yang terdiri dari pengetahuan, sikap, dan praktik tentang 1000 Hari Pertama Kehidupan secara umum masuk dalam kategori sedang sehingga masih perlu ditingkatkan, salah satunya dengan adanya penyuluhan rutin di posyandu atau kegiatan lain yang berhubungan dengan gizi, sehingga diharapkan mampu meningkatkan status gizi baduta.

32

33

DAFTAR PUSTAKA Abuya et al. 2012. Effect of mother’s education on child’s nutrition status in the slums of Nairobi. Biomed Central. 12: 80. Almatsier S, Soetardjo S, Soekarti MS. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): Gramedia. Agus R. 2008. Hubungan perilaku, sikap, dan tindakan ibu tentang gizi dengan status gizi anak balita (1-5 tahun) di Jorong Surau Laut wilayah kerja puskesmas Biaro Kecamatan IV Angkek Kabupaten Agam [skripsi]. Padang (ID): Universitas Andalas. Aprillia Y. 2010. Analisis Sosialisasi Program Inisiasi Menyusui Dini dan ASI Eksklusif Kepada Bidan di Kabupaten Klaten [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro. Arisman. 2009. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): EGC. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2012a. Kerangka Kebijakan Gerakan Sadar Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Jakarta (ID): Bappenas. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Paket Pelatihan Keluarga Berencana. Jakarta (ID): BKKBN. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2007. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Lokal. Jakarta (ID): Depkes. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2009. Klasifikasi Umur Menurut Kategori. Jakarta (ID): Depkes. Devi M. 2010. Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita di pedesaan. Teknologi dan Kejuruan. 33(2): 183-192. Dewi LM. 2012. Kontribusi Kondisi Ekonomi Keluarga Terhadap Status Gizi (BB/TB Z-score) pada Anak Usia 3-5 Tahun (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Sambongpari, Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya Tahun 2012). Tasikmalaya (ID): Ilmu Kesehatan Peminatan Gizi Universitas Siliwangi. Gustav ASP, Patterson KO, Sanberg J, kabakyenga J, Agardh a. 2014. Assosiation between mass media exposure and birth preparedness among woman in Southwestern Uganda: a community based survey. Glob Health Action [Internet]. [diunduh pada 9 Juni 2016] [Tersedia pada: www.dx.doi.org/10.3402/gha.v7.22904] Irianto K. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Bandung (ID): Yrama Widya. Jayanti LD, Yekti HE, Dadang S. 2011. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta perilaku gizi seimbang ibu kaitannya dengan statsu gizi dan kesehatan balita di kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Jurnal Gizi dan Pangan. 6(3):192-199. [Kemenkes] Kementrian Kesehatan. 2014. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta (ID): Kemenkes. [Kemenkes] Kementrian Kesehatan. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2014. Jakarta (ID): Kemenkes. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Perilaku Gizi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

34

Khomsan A, Anwar F, Mudjajanto S. 2009. Pengetahuan, sikap, dan praktek gizi ibu peserta posyandu. Jurnal Gizi dan Pangan: 4(1):33-41. Khotimah NN, Rohanta S, Mardiana. 2012. Hubungan perilaku gizi ibu danpola makan balita dengan status gizi balita (12-59 bulan) di wilayah kerja puskesmas Gandus Kecamatan Gandus-Palembang. Jurnal Pembangunan Manusia. 6(2): 7. Mariani. 2002. Hubungan Pola Asuh Makan, Konsumsi Pangan dan Status Kesehatan dengan Status Gizi Balita (Studi di Desa Kecamatan Pamulang Tangerang Provinsi Banten) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Mawaddah N, Hardinsyah. 2008. Pengetahuan, sikap, dan praktek gizi serta tingkat konsumsi ibu hamil di Kelurahan Kramat Jati dan Kelurahan Ragunan Propinsi DKI Jakarta. Jurnal Gizi dan Pangan. 3(1): 30-42. Munthofiah S. 2008. Hubungan antara Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu dengan Status Gizi Anak Balita [Tesis]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Peter. 2003. Kelengkapan Imunisasi Dasar Anak Badutadan Faktor-Faktor yang Berhubungan di Rumah Sakit Mary Cileugsi Hijau Bogor [Skripsi]. Jakarta (ID): FK UI. Rachmadewi A, Ali Khomsan. 2009. Pengetahuan, sikap, dan praktek serta status gizi bayi usia 4-12 bulan di pedesaan dan perkotaan. Jurnal Gizi dan Pangan. 4(2): 83-90. Rakhmawati NZ. 2013. Hubungan perilaku dan sikap ibu dengan perilaku ibu dalam pemberian makanan anak usia 12-24 bulan [artikel penelitian]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. [Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Tahun 2013. Jakarta (ID): Riskesdas. Rohimah E, Lilik K, Neti H. 2015. Pola konsumsi, status kesehatan dan hubungannya dengan statsu gizidan perkembangan balita. Jurnal Gizi dan Pangan. 10(2): 93-100. Sarbini D, Hidayati L. 2008. Hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dan pendidikan ibu dengan pemberian ASI eksklusif di Kecamatan Jebres Kotamadya Surakarta. Jurnal Kesehatan. 1(2): 115-122. Sarwono SW. 1999. Psikologi Sosial Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Sarwon P. 1999. Ilmu Perilaku. Jakarta (ID): CV Infomedika. Schiffman LG, Kanuk. 1997. Consumer Behavior 6th Ed. New Jersey: Prentice Hall,Inc. Supariasa et al. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): EGC Sanjur. D. 1982. Social dan Cultural Perpective in Nutrition. Washington DC: Prentice-Hall, Inc. New York, USA. Sariningsih, Y. 2005. Perilaku Orang Tua Dalam Memenuhi Kebutuhan Gizi Balita ( Studi Kasus Terhadap Orang Tua Balita dari Keluarga Miskin di Kelurahan Babakan Surabaya Kecamatan Kiaracondong Kota Bandung).Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia : Jakarta

35

Setio RK, Toni S. dan M. Sulchan. 1977. Komposisi Air Susu Ibu dalam Hubungannya dengan Susu-susu Lainnya, dalam kumpulan naskah Simposium Peningkatan Penggunaan Air Susu Ibu pada Pertumbuhan dan Perkembangan Bayi-Anak. Semarang : Universitas Diponegoro. Silaen P, Zuraidah R, Larasati TA. 2013. Tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi anak balita rumah tangga miskin di Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Waykanan. Medical Journal of lamoung University. ISSN 2337-3776. Soetjiningsih. 1997. ASI, Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: EGC Supriatin A. 2014. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Makan dan Hubungannya Dengan Status Gizi Balita [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suwarti S, Amelia, S. Mulyati, E. Rustan, Reviana HH, Sihadi. 2003. Pemulihan gizi buruk rawat jalan di puskesmas. PGM. 26(1): 39-48. Untoro D. 2010. Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta (ID): Laksbang Presindo. [WHO] World Health Organization. 2011. Guidelines: Vitamin A Suplementation in Infant and Children 6-59 Months of Age. Geneva (CH): WHO. [WHO] World Health Organization. 2010. Indicators For Assessing Infant and Young Child Feeding Practice. Geneva (CH): WHO. Zamawe C. Banda M, Dube A. 2015. The Effect of Mass media campaign on men’s participations in maternal health: a cross-sectional study in Malawi. J Biomed Central [Internet] [diunduh pada 2016 Juni 9] [Tersedia pada: www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4394579]

36

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kediri, Jawa Timur pada tanggal 11 Juni 1994. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Badrul Anam dan B. Yusabbihatin AZ. Pendidikan formal yang ditempuh penulis yaitu SD Negeri Kedungmalang dari tahun 2000 hingga tahun 2006, tahun 2006 hingga tahun 2009 melanjutkan studi ke MTs Negeri 1 Pare, dan tahun 2009 hingga tahun 2012 melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Pare. Penulis diterima sebagai Mahasiswa Mayor Ilmu Gizi Angkatan 49 di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2012 melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Tulis. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam organisasi, yaitu sebagai Anggota Divisi Peduli Pangan dan Gizi HIMAGIZI periode 2013/2014 dan 2014/2015. Penulis juga mengikuti kepanitiaan lainnya di bidang gizi seperti Panitia Nutrition Fair 2015 yang diselenggarakan oleh HIMAGIZI, Panitia Musyawarah Nasional 2014 yang diselenggarakan oleh Ikatan Lembaga Mahasiswa Gizi Indonesia (ILMAGI), Volunteer dalam kegiatan Sahabat Gizi Indonesia 2016 yang diselenggarakan oleh Sobat Guru Indonesia dan International Young Food and Nutrition Leadership (iYouLead), Panitia Pekan Sarapan Nasional 2016 yang diselenggarakan oleh PERGIZI PANGAN Indonesia. Pada tahun 2013 penulis mendapatkan hibah Program Kreativitas Mahasiswa-Kewirausahaan (PKM-K) dengan judul “Biskuit Cangkang Telur Coklat Vanila Elit Kaya Kalsium Bagi Masyarakat Lansia sebagai Bisnis Pangan Fungsional yang Inovatif” dan pada tahun 2014 mendapatkan hibah PKM-P dengan judul “Analisis kandungan Logam Pada Jajanan yang Berbahan Ikan Sapu-Sapu di Daerah Sungai Ciliwung Jakarta” dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI). Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata berbasis Profesi (KKN-P) di Desa Baran, Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo dan mengikuti Praktik Kerja Lapang (PKL) di RSK Dharmais Jakarta. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Konsultasi Gizi dan Ekologi Pangan dan Gizi Tahun Ajaran 2015/2016.