ARTIKEL ASLI MEDICINA 2017, Volume 48, Number 2: 123-127 P-ISSN.2540-8313, E-ISSN.2540-8321
Karakteristik glomerulonefritis akut pasca-streptokokus pada anak di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2012-2015 Reddy Lufyan,1 I Ketut Suarta,2 Gusti Ayu Putu Nilawati2
CrossMark
ABSTRAK Glomerulonefritis akut pasca-streptokokus (GNAPS) masih menjadi permasalahan global terutama di negara berkembang. Pemahaman mengenai karakteristik GNAPS pada anak penting untuk meningkatkan kewaspadaan klinis dan sebagai data dasar untuk penelitian lanjutan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui data karakteristik pasien GNAPS pada anak di RSUP Sanglah selama periode 2012-2015. Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif retrospektif dengan subyek pasien anak yang didiagnosis dan mendapatkan terapi GNAPS selama periode 2012-2015. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Penelitian ini melibatkan 30 subyek dengan 21 subyek adalah lelaki. Sebagian besar subyek berusia 5-9 tahun (16/30), dan dengan status gizi baik (20/30).
Data klinis dan laboratorium menunjukkan hematuria makroskopik (29/30), edema (23/30), hipertensi (26/30), hematuria mikroskopik (30/30), torak eritrosit (16/30), proteinuria (29/30), penurunan laju filtrasi glomerulus (13/30), peningkatan titer Anti-streptolysin titer O (ASTO) (26/30), dan penurunan C3 pada 22 dari 30 pasien. Komplikasi acute kidney injury didapatkan pada 13 dari 30 kasus. Lelaki dengan kelompok usia 5-9 tahun tersering mengalami GNAPS. Hematuria makroskopik, edema, hipertensi merupakan gejala klinis yang sering ditemui ditunjang dengan data laboratorium berupa hematuria mikroskopik, torak eritrosit, proteinuria, penurunan laju filtrasi glomerulus, peningkatan titer ASTO, dan penurunan C3. Acute kidney injury merupakan komplikasi GNAPS yang sering terjadi.
Kata kunci : glomerulonefritis akut pasca-streptokokus, karakteristik, anak Cite Pasal Ini: Lufyan, R., Suarta, I.K., Nilawati, S.A.P. 2017. Karakteristik glomerulonefritis akut pasca-streptokokus pada anak di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2012-2015. Medicina 48(2): 123-127. DOI:10.15562/medi.v48i2.40
ABSTRACT Post-streptococcal acute glomerulonephritis (PSAGN) is still a global burden, especially in developing countries. The understanding of pediatric PSAGN characteristics is important in order to increase the clinical awareness and as a database for further study. This study aimed to determine the characteristics of pediatric PSAGN in Sanglah Hospital within period of 2012 to 2015. This study was a retrospective descriptive study performed in Sanglah Hospital. Subjects were pediatric patients with PSAGN that diagnosed and treated from 2012 to 2015. Data analysis was performed using the descriptive statistic method. This study involved 30 subjects. Twenty one of 30 subjects were boys. Most subjects were belong to 5 to 9 years old group (16/30), and with good nutritional
Residen Ilmu Kesehatan Anak dan 2Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Nonveteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar 1
Coresspondence to:
[email protected] *
Diterima: 2 april 2017 Disetujui: 22 april 2017 Diterbitkan: 1 mei 2017
status (20/30). Clinical and laboratory findings consisted of macroscopic hematuria (29/30), edema (23/30), hypertension (26/30), microscopic hematuria (30/30), erythrocyte cast (16/30), proteinuria (29/30), decreased glomerulus filtration rate (13/30), increased Anti-streptolysin O (ASO) titer (26/30), and decreased C3 in 22 out of 30 subjects. Acute kidney injury occurred in 13 of 30 cases as complication. In conclusion, Boys with age 5 to 9 years old were more frequent to PSAGN. Macroscopic hematuria, edema, and hypertension were frequent clinical findings and laboratory showed microscopic hematuria, erythrocyte cast, and proteinuria in urinalysis, increased ASO titer, and decreased C3. Complication related to PSAGN was acute kidney injury.
Keywords : acute post-streptococcal glomerulonephritis, characteristic, pediatric Cite This Article: Lufyan, R., Suarta, I.K., Nilawati, S.A.P. 2017. Karakteristik glomerulonefritis akut pasca-streptokokus pada anak di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2012-2015. Medicina 48(2): 123-127. DOI:10.15562/medi.v48i2.40
PENDAHULUAN Glomerulonefritis akut pasca-streptokokus (GNAPS) masih menjadi permasalahan global terutama di negara berkembang, dengan insidens, karakteristik populasi, faktor risiko, manifestasi klinis, dan komplikasi yang sangat bervariasi antar daerah maupun negara.1-3 Sampai saat ini hanya
didapatkan satu data karakteristik pasien GNAPS pada anak di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, yaitu tahun 2001-2003, maka penulis melakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik GNAPS pada pasien anak di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah. Hasil penelitian ini 123
ARTIKEL ASLI
124
diharapkan dapat menjadi data dasar untuk mempelajari karakteristik pasien yang ada di Bali, terutama yang berobat ke RSUP Sanglah, dan memberi masukan dalam meningkatkan kewaspadaan klinis dalam tata laksana GNAPS pada anak. Insidens GNAPS bervariasi antara 9,3-93 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun dan dapat terjadi pada semua usia, tersering pada usia 6-7 tahun.2,3 Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia pada kasus GNAPS adalah 2,5-15 tahun, tertinggi pada rerata usia 8,46 tahun, dan rasio lelaki lebih tinggi dibandingkan perempuan (rasio 1,34:1).4,5 Penelitian di Polinesia, Australia, dan Denpasar menunjukkan rerata usia penderita GNAPS adalah 6,7 tahun, 7 tahun, dan 8,7 tahun, dengan rasio penderita lelaki dan perempuan 1,17:1, 1,06:1, dan 2,3:1.6-8 Manifestasi nefritik dan hasil positif biakan kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHA) merupakan diagnosis pasti GNAPS. Pemeriksaan biakan SBHA sering menunjukkan hasil negatif sehingga pemeriksaan penunjang seperti: hematuria mikroskopik, torak eritrosit, proteinuria pada urinalisis, peningkatan titer antistreptolysin O (ASTO), dan penurunan kadar komplemen C3 bermanfaat dalam membantu menegakkan diagnosis GNAPS.2,3,9,10 Penelitian Suarta menunjukkan bukti infeksi streptokokus melalui peningkatan titer ASTO (rerata 1103,3; SB 686,1) dan penurunan kadar komplemen C3 (rerata 42,2; SB 15,5) pada seluruh kasus GNAPS.8 Komplikasi GNAPS yang dapat terjadi antara lain ensefalopati hipertensi, gangguan ginjal akut, edema paru, dan efusi pleura.2,3,11-3
Kedokteran Universitas Udayana (FK UNUD) No : 809/UN.14.2/Litbang/2016. Penelitian dikerjakan di bawah pengawasan Subbagian Nefrologi Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD. Data karakteristik yang dicatat berupa jenis kelamin, usia, status gizi, dan klinis hematuria makroskopik, edema, dan tekanan darah. Selain itu dicatat pula data pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan urinalisis berupa adanya hematuria mikroskopik, torak eritrosit, dan proteinuria, serta pemeriksaan darah yang mencakup kadar ASTO, C3, dan menghitung laju filtrasi glomerulus berdasarkan nilai kreatinin serum. Data lain yang dicatat pada penelitian ini adalah komplikasi Acute Kidney Injury (AKI) yang terjadi mencakup stadium risk, injury, failure, loss, dan endstage. Penelitian ini mengelompokkan penderita menjadi 3 kelompok usia yaitu usia kurang dari 5 tahun, 5-9 tahun dan lebih dari 9 tahun. Pemeriksaan antropometri, berdasarkan formula Waterlow, sedangkan status gizi dikelompokkan menjadi gizi buruk, kurang, baik, lebih, dan obesitas. Sementara data laboratorium yang dicatat berupa data pemeriksaan laboratorium awal saat penderita dirawat inap.
BAHAN DAN METODE
DISKUSI
Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif, retrospektif yang mendata karakteristik GNAPS pada anak di Subbagian Nefrologi Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah. Populasi target adalah pasien anak yang menderita GNAPS. Populasi terjangkau adalah pasien anak dengan GNAPS yang terdaftar di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah selama tahun 2012-2015. Penelitian dilakukan dengan mengambil rekam medis dan register pasien anak dengan diagnosis GNAPS yang terdaftar di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah selama tahun 20122015. Kriteria inklusi adalah pasien anak dengan GNAPS yang dirawat di ruang perawatan anak dan poliklinik anak RSUP Sanglah Denpasar selama periode 2012-2015. Subyek dengan data yang tidak lengkap dieksklusi dari penelitian. Penelitian ini sudah mendapat ijin dari komite etik Fakultas
Data epidemiologi menunjukkan insidens GNAPS terjadi pada anak lelaki dua kali lebih tinggi dibandingkan perempuan.14 Penelitian deskriptif ini menunjukkan presentase jumlah kasus GNAPS lebih tinggi pada anak berjenis kelamin lelaki dibandingkan perempuan dengan rasio 2,3:1. Hasil penelitian ini konsisten dengan epidemiologi GNAPS pada anak secara internasional dan nasional, serta penelitian di beberapa daerah di Indonesia.2,4,8,14 Penelitian ini mendukung hasil penelitian Suarta di Bali yang menunjukkan 21 dari 30 kasus GNAPS terjadi pada anak lelaki dengan rasio 2,3:1.13 Hal ini bisa saja disebabkan karena anak lelaki lebih sering berada di luar rumah, sehingga kemungkinan untuk terpapar infeksi juga lebih besar.15 Glomerulonefritis akut pasca-streptokokus dapat terjadi pada semua usia. Pengelompokan berdasarkan usia menunjukkan usia terbanyak
HASIL Dari 38 data pasien yang berhasil dikumpulkan sejak tahun 2012 hingga tahun 2015, sebanyak 30 pasien memenuhi kriteria inklusi. Delapan pasien dieksklusi karena data tidak lengkap. Data karakteristik subyek selengkapnya disajikan pada Tabel 1.
Medicina; 48(2): 123-127 | doi: 10.15562/Medicina.v48i2.40
ARTIKEL ASLI
Tabel 1 Karakteristik subyek Karakteristik
n = 30
Lelaki, n
21
Age (years), n <5 5-9 ≥9
6 16 8
Status Gizi, n Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih Obesitas
0 4 20 3 3
Hematuria makroskopik, n
29
Edema, n Tekanan darah Normal Prehipertension Hipertensi Derajat I Hipertensi Derajat II Hematuria mikroskopis, n Torak eritrosit, n Proteinuria, n Negatif < +2 ≥ +2 Penurunan LFG, n ASTO >200 Penurunan Komplemen C3, n Acute Kidney Injury, n Risk Injury Failure Loss End Stage
23 1 3 10 16 30 16 1 14 15 13 26 22 5 4 4 0 0
GNAPS pada penelitian ini adalah 5-9 tahun. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian multisenter yang dilakukan di Indonesia bahwa GNAPS lebih sering terjadi pada anak berusia 6-15 tahun dan jarang pada usia di bawah 2 tahun dengan insidens tertinggi pada usia 6-7 tahun.2,8,13 Infeksi streptokokus pada GNAPS memicu pembentukan kompleks antigen-antibodi yang akan bersirkulasi ke dalam glomerulus dan secara mekanis terperangkap di dalam membran basalis yang akan menarik leukosit polimorfonuklear dan trombosit menuju ke tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom berdampak pada kerusakan endotel dan membran basalis glomerulus sehingga terjadi peningkatan permeabilitas membran basalis. Laju filtrasi glomerulus akan menurun karena adanya oklusi pada kapiler glomerulus, dan vasospasme ventriole, sehingga menyebabkan retensi air dan natrium yang berdampak pada munculnya klinis edema dan Medicina 2017; 48(2): 123-127 | doi: 10.15562/Medicina.v48i2.40
hipertensi, serta kebocoran kapiler glomerulus yang memungkinkan eritrosit dan protein keluar ke dalam urin.9,14 Hematuria makroskopik, edema, dan hipertensi merupakan manifestasi klinis yang sering ditemukan pada penderita GNAPS. Penelitian ini menunjukkan hematuria makroskopik sebagai tanda klinis terbanyak, diikuti dengan hipertensi, dan edema. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian multisenter di Indonesia yang mendapatkan hematuria makroskopik pada GNAPS berkisar 46 sampai 100%.4 Hematuria makroskopik terjadi pada minggu pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat juga berlangsung sampai beberapa minggu.1,2,9 Tinjauan American Academy of Pediatrics (AAP) pada tahun 2015 menunjukkan hasil berbeda bahwa hematuria dapat terjadi pada hampir seluruh kasus GNAPS, tetapi hanya sepertiganya yang menunjukkan tanda sebagai hematuria makroskopik.3 Tinjauan Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indoensia (IDAI) juga menjelaskan bahwa pada hematuria makroskopik terjadi pada 30-70% kasus GNAPS.2 Konsensus Glomerulonefritis Akut PascaStreptokokus UKK Nefrologi IDAI tahun 2012 menyatakan edema merupakan tanda klinis tersering yang muncul pada GNAPS dibandingkan dengan hematuria makroskopik dan hipertensi.2 Edema merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, bersifat pitting akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan interstisial, dan menghilang pada akhir minggu pertama.2,9 Hipertensi merupakan salah satu dari trias manifestasi klinis pada GNAPS yang sering terjadi. Hasil penelitian ini menunjukkan hipertensi terjadi pada sebagian besar kasus dengan 61% diantaranya adalah hipertensi derajat 2. Penelitian Takeno dkk10 menunjukkan hasil serupa bahwa manifestasi klinis tersering pada GNAPS adalah hipertensi berat (51,4%). Pemeriksaan penunjang yang terdiri dari urinalisis, fungsi ginjal, dan serologi memegang peranan penting dalam diagnosis GNAPS. Pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya hematuria mikroskopik pada seluruh kasus GNAPS dan 16 dari 30 subyek terdapat torak eritrosit. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian multisenter di Indonesia yang menunjukkan adanya hematuria mikroskopik berkisar 84 sampai 100%.4 Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu ada karena merupakan tanda yang paling penting untuk melacak lebih lanjut kemungkinan suatu glomerulonefritis dan torak eritrosit merupakan temuan yang sangat penting, terutama pada kasus GNAPS yang meragukan, karena menggambarkan adanya peradangan pada glomerulus 125
ARTIKEL ASLI
walaupun dapat juga dijumpai pada penyakit ginjal lainnya.2,16 Hasil pemeriksaan torak eritrosit lebih rendah dibandingkan penelitian multisenter di Indonesia yang mencapai pada 60 sampai 85% dari seluruh kasus GNAPS. Hal ini dapat disebabkan oleh karena sampel urin yang ada harus segera diperiksa dan membutuhkan analis yang teliti dan berpengalaman.14 Proteinuria merupakan temuan penting pada penelitian ini. Penelitian Becquet dkk.6 dan Takeno dkk10 menunjukkan hasil serupa yaitu adanya proteinuria pada 98% dan 82,9% kasus GNAPS. Hasil proteinuria dapat bervariasi dari antara negatif sampai positif 2, jarang sampai mencapai positif 3.2 Proteinuria berat yang terjadi pada kasus GNAPS merupakan salah satu faktor risiko progresivitas penyakit ginjal kronis.2,3 Sepertiga dari total subyek menunjukkan penurunan fungsi ginjal berdasarkan perhitungan LFG. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Ali dkk17 yang menunjukkan 85% penderita memiliki laju filtrasi glomerulus normal. Acute kidney injury merupakan komplikasi yang berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal. Komplikasi AKI dalam penelitian ini dengan menggunakan kriteria pRIFLE, yang terdiri dari : Risk (5/13), Injury (4/13), dan Failure (4/13). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Gunasekaran dkk. yang menunjukkan komplikasi tersering adalah AKI yang mencapai 20,8% dari seluruh GNAPS.12 Pemeriksaan ASTO dan komplemen C3 merupakan penunjang diagnostik yang penting dalam membantu menegakkan diagnosis GNAPS walaupun baku emas adalah bukti infeksi SBHA melalui pemeriksaan biakan kuman streptokokus. Infeksi streptokokus akan menyebabkan reaksi serologis terhadap produk-produk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi yang titernya dapat diukur, seperti ASTO. Konsensus GNAPS UKK Nefrologi tahun 2012 menjelaskan bahwa titer ASTO meningkat 70-80%. Peningkatan titer ASTO meningkat pada >90% infeksi saluran napas dan 80% infeksi kulit oleh streptokokus, serta dapat menurun atau normal bila dipengaruhi oleh antibiotik, kortikosteroid, atau pemeriksaan dini titer ASTO.2 Titer serum ASTO yang melebihi 160-200 unit dianggap abnormal dan menunjukkan adanya infeksi streptokokus yang baru saja terjadi atau adanya kadar antibodi yang tetap tinggi setelah serangan infeksi pada orang yang hipersensitivitas.9 Hasil penelitian ini menunjukkan titer ASTO meningkat (≥200) pada sebagian besar subyek. Hasil penelitian ini serupa
126
dengan penelitian Suarta yang menunjukkan peningkatan titer ASTO dengan rerata mencapai 1103,1 (SB 686,1) pada semua kasus GNAPS yang diteliti.8 Reaksi hipersentivitas tipe III mendasari proses imunologi pada GNAPS dengan membentuk kompleks imun terhadap antigen nefritogenik steptokokus yang mengendap di membran basalis glomerulus dan proses ini melibatkan aktivasi komplemen yang menyebabkan destruksi pada membran basalis glomerulus. Deposit kompleks imun terjadi di kapiler glomerulus karena tekanan darah di daerah tersebut hampir empat kali lebih tinggi daripada tekanan darah kapiler di tempat lain dan deposit lebih banyak di daerah percabangan tempat terjadinya turbulensi aliran darah.3,14 Komplemen C3 merupakan modalitas diagnostik yang bermakna karena merupakan komponen aktual patogenesis penyakit GNAPS. Penurunan kadar C3 sudah berlangsung sebelum gejala nefritik muncul dan menandakan awal awitan proses nefritik.3 Pemeriksaan kadar komplemen C3 serum merupakan tanda penting untuk membedakan glomerulonefritis akut pasca-streptokokus dengan glomerulonefritis kronis yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal dalam waktu 6-8 minggu pada glomerulonefritis akut pasca-streptokokus sedangkan pada glomerulonefritis yang lain jauh lebih lama.2 Konsensus GNAPS UKK Nefrologi tahun 2012 menjelaskan kadar komplemen C3 menurun pada 80-92% kasus GNAPS.2 Penurunan kadar komplemen C3 pada penelitian ini serupa dengan penelitian di luar dan dalam negeri. Penelitian Suarta yang menunjukkan penurunan kadar komplemen C3 dengan rerata 42.2 (SB 15,5) pada semua kasus GNAPS yang diteliti.8 Penelitian Luo dkk.18 juga menunjukkan penurunan komplemen C3 pada 78,3% kasus GNAPS. Penelitian multisenter di Indonesia pada tahun 2005 terdapat 60,4% penderita GNAPS dengan penurunan komplemen C3.4 Keterbatasan penelitian ini adalah jumlah subyek dan variabel yang terbatas selama periode penelitian. Kami menyarankan penelitian lanjutan yang menggunakan jumlah subyek dan variabel yang lebih banyak sehingga mampu memberikan pemahaman dan penjelasan mengenai karakteristik dan faktor risiko yang berhubungan dengan GNAPS, serta analisis statistik dengan metode yang lebih baik.
SIMPULAN Glomerulonefritis akut pasca-streptokokus paling sering terjadi pada anak lelaki pada rentang usia
Medicina; 48(2): 123-127 | doi: 10.15562/Medicina.v48i2.40
ARTIKEL ASLI
5-9 tahun. Trias manifestasi klinis GNAPS terdiri dari hematuria makroskopik, edema, dan hipertensi. Hasil pemeriksaan yang menunjang diagnosis adalah hematuria mikroskopik, torak eritrosit, dan proteinuria pada urinalisis, penurunan laju filtrasi glomerulus yang bisa memburuk sampai tahap AKI, dan titer ASTO yang meningkat serta kadar komplemen C3 yang menurun walaupun baku emas diagnosis adalah bukti infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A melalui hasil biakan yang positif.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Eison TM, Ault BH, Jones DP, Chesney RW, Wyatt RJ. Poststreptococcal acute glomerulonephritis in children: clinical features and pathogenesis. Pediatr Nephrol. 2011;26:165–80. 2. Rauf S, Albar H, Aras J. Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca-Streptokokus. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2012. 3. VanDe Voorde III, RG. Acute post-streptococcal glomerulonephritis: the most common acute glomerulonephritis. Pediatrics in Review. 2015;36:3. 4. Albar H, Rauf S. The profile of acute glomerulonephritis among Indonesian children. Paediatrica Indonesiana. 2005;45:264–9. 5. Carapetis JR, Steer AC, Mullolans EK. The Global burden of group A streptococcal diseases. The Lancet Infectious Diseases. 2005;5:685–94. 6. Becquet O, Pasche J, Gatti H, Chenel C, Abely M, Morville, dkk. Acute post-streptococcal glomerulonephritis in children of French Polynesia: a 3-year retrospective study. Pediatr Nephrol. 2010;25:275-80. 7. Marshall CS, Cheng AL, Markey PG, Towers RJ, Richardson LJ, Fagan PK, dkk. Acute post-streptococcal glomerulonephritis in the Northern Territory of Australia: a review of 16 years data and comparison with the literature. Am J Trop Med Hyg. 2011:703-10.
Medicina 2017; 48(2): 123-127 | doi: 10.15562/Medicina.v48i2.40
8.
Suarta K. Erythrocyturia and proteinuria conversion in post-streptococcal acute glomerulonephritis. Pediatr Indones 2006;46:71-6. 9. Iturbe BR, Mezzano S. Acute post infectious glomerulonephritis. Dalam : Pediatric Nephrology, Sixth Completely Review . Penyunting : Avner ED, Hormon WE, Niaudet P, Yoshikawa N. Updated and Enlarged Edition. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag. 2008:743–55. 10. Takeno S, Wisanuyotin S, Jiravuttipong A, Sirivichayakul C, Limkittikul K. Risk factors and outcome of atypical acute post-streptococcal glomerulonephritis in pediatrics. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2013;44:281-8. 11. Roy RR, Laila K. Acute post-streptococcal glomerulonephritis in children-a review. Bangladesh J Child Health. 2014;38:32-9. 12. Gunasekaran K, Krsihnamurthy S, Mahadevan S, Harish BN, Kumar AP. Clinical characteristic and outcome of post-infectious glomerulonephritis in children in Southern India: a prospective study. Indian J Pediatr. 2015;82:896-903 13. Nur S, Albar H, Daud D. Identifikasi faktor prognostik glomerulonefritis pasca-streptokokus pada anak. JST Kesehatan. 2015;5:82-9. 14. Geetha D, Nzerue CM. Poststreptococcal Glomerulonephritis (diakses 10 Juni 2016). Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/240337-overview 15. Ahnsy, Ingulli E. Acute poststreptococcal glomerlonephritis : an update Curr Opin. Pediatric. 2008;20:157–62. 16. Pan CG., Evaluation of Gross Hematuria. Pediatric Clinics of North America, 2006;53;401–12. 17. Ali EMA, Babikir AMTA, Assad S, Abdelrahim MB. Prognosis of Acute Post-streptococcal Glomerulonephritis in Sudanese Children. AJNT. 2014;7:103-7. 18. Luo CL, Chen DM, Tang Z, Zhou Y,Wang JQ, Liu ZH, dkk. Clinicopathological features and prognosis of Chinese patients with acute post-streptococcal glomerulonephritis. Nephrology. 2010;15:625-31.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution
127