Hukum dan Pembangunan
268
KONVERSI BANK UMUM KONVENSIONAL MENJADI BANK UMUM SYARIAH BERDASARKAN UU NO. 10 TAHUN 1998 Wati Rahmi Ria
Banking is as finance institution that put strategic significance to economic development of state. It reflected on banking roles as intermediary fo r the fund holders with the other party who needs financial facility. In Indonesia the advancement to the new banking system has been introduced by promulgation of Law number 10 year 1998 as revision of law number 7 years 1992 regarding Banking. The newly banking system that recognized as Syariah Banking. Implication through the fresh banking system has aroused many bankers and banking corporation to adjust their conventional system to the syariah banking system that commonly noted as conversion. The progress are both central or representative office conversions .
I. Pendahuluan Perkembangan industri perbankan yang sangat pesat setelah adanya program deregulasi perbankan sejak tahun 1983 ditandai dengan banyaknya bank baru hingga mencapai sekitar dua ratus lima puluh buah bank yang beroperasi pada tahun 1997. Sayangnya perkembangan yang sangat pesat itu tidak diimbangi dengan operasionalisasi perbankan yang sehat sehingga pad a akhirnya berujung pad a terpuruknya industri perbankan Indonesia sejak tahun 1998. Laporan Econit Advisory Group dalam Economic Outlook tahun 1998/1999 telah memberikan gambaran kondisi dan prospek ekonomi Indonesia yang cukup menyeramkan. Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak Juli tahun 1997 itu telah dengan cepat mengakibatkan terpuruknya ekonomi dan hingga kini telah menjelma menjadi krisis yang bersifat multidimensi, karena merupakan kombinasi dari krisis ekonomi, finansial, politik dan sosial. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai ratarata 7 % per-tahun tiba-tiba menjadi anjlok secara spektakuler menjadi
Juli - September 2004
Konversi Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Syariah
269
minus 15 % ditahun 1998 atau turun sebesar 22 %. Intlasi yang terjadi sebesar 78 %, jumlah PHK meningkat, penurunan daya beli dan kebangkrutan sebagian besar dunia usaha telah mewarnai krisis ini. (Media Indonesia , 30/ 12/2001) Gejolak krisis ini merupakan konsekuensi logis dari lepasnya keterkaitan sektor moneter dengan sektor riil. Sektor moneter yang menjadikan uang sebagai barang komoditas, telah berkembang melampaui batas-batas negara , sedangkan sektor riil selalu tertinggal di belakang karena adanya kebutuhan waktu untuk memproses barang dari input menjadi output. Harga-harga sahampun terus menerus menggelembung yang disebut dengan istilah "Bubble Economic " karena harga-harga saham sarna sekali tidak mencerminkan kinerja perusahaan emiten sebenarnya. Sistem perbankan dewasa 1m mulai terlihat tanda-tanda keterpurukan sebagai akibat liberalisasi yang terlalu cepat, ditambah dengan melemahnya enforcement of prudencial regulation. Lalu timbulah kebutuhan akan adanya lembaga keuangan alternatif yang dapat menerobos kendala yang diakibatkan tingginya tingkat suku bunga. Menghadapi gejolak moneter yang diwarnai oleh tingkat suku bunga yang tinggi, perbankan syariah justru terbebas dari negative spread karena perbankan syariah tidak berbasis pada sistem konvensional. Hal ini dikarenakan dalam konsep syariah keseimbangan antara sektor riil dan moneter dijaga, sehingga pertumbuhan pembiayaannya tidak akan lepas dari pertumbuhan sektor riil yang dibiayainya. Keberadaan perbankan syariah pertama kali diatur dalam UndangUndang No.7 Tahun 1992 dan Peratran Pemerintah No. 72 Tahun 1992. Pengaturan Bank Syariah dalam UU dan PP ini terkesan kurang tegas, sempit dan lidak rinci . Dalam undang-undang dan peraturan pemerintah kala "Bank Syariah" belum disebut yang ada adalah bank atau pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasi l (Pasal 6 butir m dan Pasal 13 butir c Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan). Disamping itu undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut tidak memberi peluang kepada bank umum yang menjalankan operasinya secara konvensional untuk beroperasi juga berdasarkan prinsip bagi hasil. beserta peraturan-peraturan Sebaliknya undang-undang terse but pendukungnya yang merupakan kelanjutan dari proses deregulasi perbankan, lebih memberikan peluang bagi perbankan konvensional. Sehingga selama kurun waktu 1992 sampai 1998 perkembangan perbankan berdasarkan prinsip bagi hasil tidak sepesat perbankan konvensional.
Nomor 3 Tahun XXXIV
270
Hukum dan Pembangunan
Di tengah kondisi perbankan yang terjadi saat ini pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Dengan beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan dengan prinsip syariah. Seperti diketahui bahwa ketentuan tentang kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil yang terdapat dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, sangat terbatas maka diatur kembali dalam undang-undang yang baru secara lebih jelas, lengkap dan eksplisit. Dalam undang-undang yang baru dimungkinkan bank konvensional mengkonversi diri menjadi bank syariah atau membuka cabang syariah. Dengan kata lain bank umum berdasarkan undang-undang baru ini diperbolehkan menjalankan Dual Banking System yaitu operasi secara konvensional dan secara syariah sekal igus sepanjang sistem operasi itu dilakukan secara terpisah dengan membentuk cabang-cabang dan unit khusus syariah di kantor pusatnya. Saat ini perkembangan bank syariah baik yang merupakan hasil konversi atau bukan mengalami perkembangan yang signifikan dibandingkan dengan sebelum dikeluarkannya peraturan mengenai landasan operasional bank syariah dan mengenai proses pelaksanaan konversi bank. Hingga saat ini jumlah kantor cabang bank umum yang beroperasi dengan prinsip syariah meningkat sebanyak 11 (sebelas) kantor cabang, sehingga menjadi 130 kantor bank. Rinciannya adalah 37 kantor cabang Bank Muammalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri, 12 kantor cabang syariah dari 3 Bank Umum Konvensional yaitu Bank IFI, Bank BNI 46 dan Bank Jabar serta 81 Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Akhirr Februari tahun 2002 telah tercatat 2 Bank Umum Syariah penuh dan 4 Bank Umum Konvensional yang membuka 49 kantor cabang syariah serta 82 Bank Perkreditan Rakyat Syariah yang tersebar di 18 propinsi di Indonesia. Konversi bank umum konvensional menjadi bank umum syariah mempunyai syarat dan prosedur tersendiri karena memiliki perbedaan yang cukup mendasar khususnya pada karekteristik antara perhitungan bunga dengan bagi hasil. Begitu pula mengenai akibat hukum yang timbul setelah bank umum konvensional dikonversi menjadi bank umum syariah tentu juga memiliki ciri khas tersendiri. Selain itu juga mengenai kedudukan kedua bank umum tadi dalam sistem perbankan di Indonesia serta mengenai kebijakan Bank Indonesia dalam mengembangkan kegiatan
futi - September 2004
Konversi Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Syariah
271
perbankan khususnya dalam kontribusinya terhadap proses konversi tersebut, karena saat ini konversi bank konvensional menjadi bank syariah dapat dijadikan sebuah sebuah alternatif pilihan bagi bank-bank yang ingin merubah kegiatan usahanya dari konvensional menjadi sistem operasional syariah.
II. Pembahasan A. Syarat Konversi Bank Umum Konvensional Konversi bank umum konvensional menjadi bank umum syariah harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang termaktub dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 Tentang Bank Umum, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Akta Perubahan Anggaran Dasar Yang Telah Disahkan Oleh Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia. Pasal 1 ayat (2) Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M-Ol.HT. Ol. OI Tahun 2001 Tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Dan Pengesahan Akta Pend irian Dan Persetujuan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas menyatakan bahwa akta perubahan anggaran dasar yang harus memperoleh persetujuan dari Menteri Kehakiman dan HAM adalah akta perubahan yang dibuat dihadapan Notaris berdasarkan RUPS yang berisi perubahan ketentuan mengenai nama , tempat kedudukan dan alamat lengkap Perseroan Terbatas , jangka waktu , maksud dan tujuan serta kegiatan usaha, peningkatan modal perseroan dan perubahan status perseroan tertutup menjadi perseroan terbuka atau sebaliknya. Dalam melalukan konversi Akta Perubahan Anggaran Dasar harus secara tegas mencantumkan bahwa bank melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah serta penempatan dan tug as Dewan Pengawas Syariah yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang.
Nomor 3 Tahun XXXIV
Hukum dan Pembangunan
272
b. Memperoleh Izin Dari Bank Indonesia Dalam Pasal 43 ayat (1) SK. Direksi Bank Indonesia No . 32/33/KEP/DIR Tahun 1999 Tentang Bank Umum menyatakan bahwa bank hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dengan izin dari Direksi Bank Indonesia. c. AnaIisis Tingkat Kemampuan Bank. Dalam SK Direksi Bank Indonesia No.32/33/KEP/DIR Tahun 1999 Tentang Bank Umum menyatakan bahwa dalam rangka memperoleh izin maka Bank Indonesia melakukan analisis yang mencakup antara lain kemampuan bank termasuk tingkat kesehatan, tingkat persaingan yang sehat antar bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan peluang pasar.
B. Prosedur Konversi Bank Umurn Konvensional Bank umum konvensional dapat mengubah kegiatan usahanya menjadi bank yang melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin dari Direksi Bank Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat(2) UU No. 10 Tahun 1988 Tentang Perbankan menyatakan bahwa setiap permohonan izin usaha perbankan wajib memenuhi persyaratan yang menyangkut; susunan organisasi dan kepengurusan; permodalam; kepemilikan; keahlian dan kelayakan rencana kerja. Menurut ketentuan Psal 43 ayat(3) SK Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR Tahun 1999 Tentang Bank Umum jo Pasal 2 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia No. 4/11PBII2002 Tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional. Pemberian izin dilakukan dalam dua tahap yaitu : 1.
Tahapan Persetujuan Prinsip yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan perubahan kegiatan usaha.
luli - September 2004
Konversi Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Syariah
273
2. Tahapan Izin Perubahan Kegiatan Usaha yaitu izin untuk melakukan Kegiatan Usaha Bank berdasarkan Prinsip Syariah setelah persiapan selesai dilakukan. Pasal 46 ayat (2) SK Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR 1999 Tentang Bank Umum menyatakan bahwa selama belum mendapat Persetujuan Prinsip dilarang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebelum mendapat izin perubahan kegiatan usaha.
C. Tahapan Konversi Umnm Setelah Bank Konvensional melakukan konversi menjadi Bank Berdasarkan Prinsip Syariah maka semua produk yang dihasilkan atan yang digunakan selama menjadi Bank Konvensional harus dikonversi menjadi produk dengan sistem syariah , ini merupakan konsekuensi log is yang harus dilakukan agar produk yang diberikan sesuai dengan sistem operasional bank yang telah dikonversi. Bank syariah saat ini cenderung mengadopsi produk-produk perbankan konvensional yang disyariahkan dengan variasi produk yang terbatas . Dalam melakukan konversi ada dua alternatif yang dapat ditempuh: Pertama, adalah mengeliminasi konsep bunga dari setiap bentuk pendapatan atas simpanan dan pinjaman dan hanya mengizinkan bank untuk mengenakan beban biaya pelayanan untuk menutup pengeluaran bank. Tetapi hal ini mengakibaikan bank menjadi tidak profitable dan akan dianggap sebagai lembaga pelayanan so sial yang dijalankan oleh pemerintah yang tidak bermanfaat karena tanpa hasil dan orang tidak akan menyimpan dananya di bank sehingga akan menurunkan sumber dana serta akan berakibat terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Kedua, perbankan syariah yang merupakan hasil konversi terutama produk yang dihasilkan harus segera dijalankan dengan prinsip bagi hasil dan berbagi resiko. Konversi dilakukan dengan melakukan Konversi Pasiva dan Konversi Aktiva.
Nomor 3 Tahun XXX/V
Hukum dan Pembangunan
274
D. Konversi Pasiva Pasiva bank komersial terdiri dari setoran modal, cadangan, giro , tabungan, deposito berjangka, penempatan dana pada bank lain, pinjaman antar bank dan pinjaman dari bank sentral tidak mengalami perubahan produk jika bank melakukan konversi dari sistem konvensional menjadi bank syariah. Namun ada perubahan dalam cara penentuan bagi hasil untuk para pemegang saham. Pada Bank Konvensional bagi hasil para pemegang saham adalah sisa laba setelah bunga bagi semua jenis simpanan dan pinjaman dibayarkan sedangkan pad a sistem bagi hasil, tidak satupun item pasiva berhak menerima hasil yang ditentukan lebih dahulu. Pemegang saham memperoleh bagian dari keuntungan yang benar-benar diperoJeh bank.
E. Konversi Aktiva
Sisi aktiva dari Bank Konvensional berisi : a. b. c. d. e.
III.
Saldo pada bank sentral dan bank lain. Simpanan pad a bank lain. Discounting bills, dilarang dalam Islam karena berbasis bunga. Surat-surat berharga pemerintah dan Debentures. Kredit yang diberikan.
Akibat Hukum Setelah Bank Umum Konvensional dikonversi Menjadi Bank Umum Syariah
Setelah terjadinya konversi bank umum konvensional menjadi bank umum syariah maka menimbulkan akibat hukum berupa perubahanperubahan atau keadaan setelah menjadi bank umum syariah yang meliputi :
1. Kegiatan usaha 2. Struktur organisasi bank Ketentuan pasal 19 SK Direksi Bank Umum Indonesia No. 32/34/KEP/DIR Tahun 1999 menyatakan bahwa bank syariah memiliki struktur organisasi yang sedikit berbeda yaitu :
Juli - September 2004
Konversi Bank Umum KonvensioTUli menjadi Bank Umum Syariah
275
Dewan Komisaris Direksi Bank Dewan pengawas Syariah Dewan syariah nasional 3. Pengawasan bank Sebagai akibat dirai proses konversi maka pengawasan terhadap bank hasil konversi oleh Bank Indonesia dilakukan berdasarkan sistem pengawasan rangkap yaitu : a. Pengawasan umum b. Pengawasan syariah 4. Pendistribusian keuntungan
IV. Analisis Kebijakan Yang Telah Dilaksanakan Tentang Perbankan Syariah Kebijakan peraturan pendukung operasionalisasi perbankan syariah yang telah dilaksanakan oleh Bank Indonesia mengenai kelengkapan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dalam mengakomodasi peraturan di bawahnya yang mengatur tentang perbankan. Pertama, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prins ip Bagi Hasil terhadap UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Jika diperhatikan Pasal 6 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 menyatakan bahwa Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil . Sementara Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa Bank Umum atau Bank Prekreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil . Sedangkan jika dibandingkan dengan Pasal 6 huruf m UU No. 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa usaha bank umum meliputi menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketetapan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. PerUelasan pasal ini sangat bahwa Bank umum konbensional dapat pula melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah, hal ini dapat dilihat dari kata "dan
Nomor 3 Tahun XXXIV
276
Hukum dan Pembangunan
atau" yang secara jelas tercantum dalam Pasal 6 huruf m yang merupakan landasan hukum dari Dual Banking System. Dimana Bank umum konvensional dapat melakukannya dengan membentuk Unit Usaha Syariah di kantor pusatnya atau melakukan konversi cabang. Hal ini sangat bertentangan dengan pasal 6 ayat (2) dari PP No. n Tahun 1992 yang secara tegas melarang Dual Banking System. Hal ini jelas sangat kontras dengan teori tata urutan peraturan perundangundangan yang menjelaskan bahwa peraturan yang di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya. Saat ini UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah diperbaiki dengall UU No. 10 Tahun 1998. Sementara mengenai Peraturan Pelaksana yang sampai saat ini masih mellgacu kepada Peraturan Pemerintah No. 72 TallUn 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasi l, realita ini menjadi tallggung jawab pengambil kebijakan dalam hal ini instansi terkait untuk segera membuat PP pengganti dari PP No. 72 Tahun 1992, agar pelaksanaan operasi Perbankan Syariah lebih leluasa sehingga dapat mengakomodasi setiap infrastruktur operasional perbankan syariah. Kedua, Apabila ditinjau dari hirarki atau tata urutan perundangundangan yang berlaku di Indonesia maka kedudukan PBI lebih tinggi dari SK Direksi Bank Indonesia . Tetapi kenyataall PBI hanya mengatur secara khusus mengenai Konversi Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Syariah yang dijadikan petunjuk pelaksanaan dari Pasal 42 sampai Pasal 48 SK Direksi Bank Indonesia No. 32/33 /KEP/DIR Tahun 1999 Tentang Bank Umum. Hal ini jelas bertentangan dengan kedudukan dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena PBI kedudukannya lebih tinggi dari SK Direksi Bank Indonesia. Seharusnya PBI mengatur lebih luas dibandingkan dengan SK Direksi yang cakupannya lebih khusus. Sementara jika PBI dijadikan Peraturan Pelaksana maka hal ini juga bertentangan dengan Tata Urutan Peraruran Perundang-undangan karena di atas PBI ada peraturan yang lebih tinggi lagi yaitu Peraturan Pemerintah. Walaupun independensi Bank Indonesia sudah dibakukan dalam peraturan, tetapi Bank Indonesia dalam pembuatan kebijakan juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya dalam hal ini Peraturan Pemerintah.
Juli - September 2004
Konversi Bank Umum Konvensional melljadi Bank Umum Syariah
277
V. Penutup I. Ada tiga syarat bagi Bank Umum Konvensional yang melakukan konversi rnenjadi Bank Umum Syariah Yakni pertama, akta perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; kedua, harus memperoleh izin dari Bank Indonesia yang rneliputi izin persetujuan prinsip dan izin perubahan kegiatan usaha; dan ketiga, analisis tingkat kesehatan bank. 2. Prosedur konversi Bank Umum Konvensional menjadi Bank Urnurn Syariah pada dasarnya rneliputi dua tahap untuk rnernperoleh izin dari Bank Indonesia; pertama, tahapan persetujuan prinsip yang rnerupakan persetujuan untuk rnelakukan persiapan perubahan kegiatan usaha; kedua, tahapan izin perubahan kegiatan usaha yang rnerupakan izin untuk rnelakukan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah setelah persiapan selesai dilakukan. Tahapan konversi urnum yang rneliputi konversi pas iva dan konversi aktiva hanya rnerupakan konversi produk dari sistern bunga rnenjadi sis tern bagi hasil dan resiko, yang merupakan tahapan lanjutan setelah Bank Indonesia rnernberikan izin konversi. 3. Setelah Bank Urnum dikonversi rnenjadi Bank Urnurn Syariah rnaka rnenirnbulkan beberapa akibat hukum yaitu terjadinya perubahan; pertama, perubahan kegiatan usaha; kedua, perubahan struktur organisasi ; ketiga , perubahan pengawasan bank oleh Bank Indonesia yaitu rnenjadi pengawasan rangkap; dan keernpat, perubahan dalarn pendistribusian keuntungan. 4. Pengembangan kebijakan yang telah dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas perbankan dalam rnengernbangkan perbankan syariah yaitu telah dilengkapinya berbagai peraturan pendukung yang secara hirarki disusun sebagai berikut: a. Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. b. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992. c. Peraturan Pernerintah No. 72 Tahun 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Nomor 3 Tahun XXXIV
278
Hukum dan Pembangunan
d. Peraturan Bank Indonesia No. 217/PBII2000 Tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Us aha Berdasarkan Prinsip Syariah. e . Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBII2000 Tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah. f. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBlI2000 Tentang Sertifikat Wadi'ah Bank Indonesia. g. Peraturan Bank Indonesia No. 2127/PBII2000 Tentang Bank Umum. h. Peraturan Bank Indonesia No. 4/11PBII2002 Tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah Dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional. i. SK Direksi Bank Indonesia No. 32/34IKEPIDIR Tahun 1999 Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. J. SK Direksi Bank Indonesia No. 32/36IKEPIDIR Tahun 1999 Tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Juti - September 2004
J