LAPORAN PENELITIAN KORELASI SKOR GLASGOW COMA SCALE (GCS) PADA

Download Penelitian ini untuk mengetahui korelasi skor GCS pada cedera otak traumatik berat dengan kejadian dan derajat .... foto toraks, diagnosis ...

0 downloads 706 Views 2MB Size
Daftar Isi

Laporan Penelitian Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik Berat dengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Agus Junaidi, Suwarman, Tatang Bisri ...............................................................................

87–93

Laporan Kasus Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase RR Sinta Irina, Nazaruddin Umar, Hasanul Arifin, Margaritta Rehatta, Siti Chasnak Saleh.....

94–103

Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive Neurosurgery: Kasus Perdarahan Intraserebral Traumatika Buyung Hartiyo Laksono, I Putu Pramana Suarjaya, Sri Rahardjo, Tatang Bisri ...................

104–12

Penanganan Perioperatif Pasien Pediatrik dengan Cedera Kepala Berat Radian Ahmad Halimi, Nazaruddin Umar, Margaritta Rehata, Siti Chasnak Saleh ...............

Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Wanita dengan Kehamilan 22–24 Minggu Fitri Sepviyanti Sumardi, Nazaruddin Umar, Margaritta Rehatta, Siti Chasnak Saleh ...........

Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Imam Hidayat, Rahadian Indarto Susilo, Zafrullah Khany Jasa ............................................

113–18

119–29

130–37

Tinjauan Pustaka Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi Rebecca Sidhapramudita Mangastuti, Sri Rahardjo, Himendra Wargahadibrata ...................

138–54

Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik Berat dengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Agus Junaidi, Suwarman, Tatang Bisri Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Abstrak Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan salah satu komplikasi dari cedera otak traumatik (COT) berat, dapat disebabkan karena neurogenic pulmonary edema (NPE), pneumonia, aspirasi, dan emboli paru. Penelitian ini untuk mengetahui korelasi skor GCS pada cedera otak traumatik berat dengan kejadian dan derajat ARDS. Penelitian observasional prospektif cross sectional pada 32 orang pasien COT derajat berat di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung sejak Mei 2015 sampai September 2015. Pengambilan data dilakukan secara consecutive sampling. Parameter yang dicatat dalam penelitian ini antara lain usia, jenis kelamin, berat badan, GCS, rentang waktu, diagnosis, kejadian ARDS, dan derajat ARDS. Analisis korelasi linear dua variabel dihitung berdasarkan analisis korelasi Spearman dan korelasi ETA. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara skor GCS pada COT berat dengan kejadian ARDS dengan kekuatan korelasi searah, moderat, (r=0,402), bermakna (p<0.05) dan derajat beratnya ARDS dengan kekuatan korelasi searah, kecil (r=0,389), bermakna (p<0,05). Simpulan dari penelitian ini adalah semakin rendah skor GCS pada COT berat maka akan semakin besar kejadian ARDS dan semakin berat derajat ARDS. Kata kunci: Acute respiratory distress syndrome, cedera otak traumatik, glasgow coma scale JNI 2016;5(2): 87–93

Correlation Glasgow Coma Scale (GCS) Score on Severe Head Injury with the Insidence and Degree of Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Abstract Acute respiratory distress syndrome (ARDS) is one of the complications of severe traumatic brain injury (TBI), it can be caused by neurogenic pulmonary edema (NPE), pneumonia, aspiration, and pulmonary embolism. This study was determine the correlation glasgow coma scale score on severe head injury with insidence and degree of acute respiratory distress syndrome. This study was using prospective observational cross-sectional method in 32 patients with severe TBI at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung on May 2015 untill September 2015. Data collection was performed by consecutive sampling. Parameters were recorded in this study include age, gender, weight, GCS, time scales, diagnosis, incidence and degrees of ARDS. Linear correlation analysis was calculated based on two variables Spearman correlation analysis and correlation ETA. The results showed a correlation between GCS score on severe COT with the incidence of ARDS with the strength of the correlation moderate (r=0.402), significantly (p<0.05), one direction and degrees of ARDS with the strength of the correlation small (r=0.389), significantly (p<0.05), one direction. The conclusions of this study is the lower the GCS score on severe COT will lead to greater the incidence and the degree of ARDS. Key words: Acute respiratory distress syndrome, traumatic brain injury, glasgow coma scale JNI 2016;5(2): 87–93

87

88

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan Acute respiratory distress syndrome (ARDS) muncul pada 20–25% pasien dengan cedera otak traumatik (COT) dan berhubungan dengan hasil luaran yang buruk.1 Acute repiratory distress syndrome akibat COT dapat disebabkan oleh pneumonia, aspirasi, emboli pulmonal, atau neurogenic pulmonary edema (NPE).2 Gejala yang terjadi dapat berupa hipoksia ringan hingga berat.3 Acute respiratory distress syndrome adalah gangguan terhadap paru-paru ditandai peradangan parenkim paru-paru sehingga mengakibatkan gangguan pertukaran gas, hipoksemia, dan fisiologi paru yang tidak normal. Penelitian awal menunjukkan ARDS pada pasien COT berhubungan dengan NPE.4 Mekanisme pembentukan NPE merupakan kombinasi dari mekanisme hidrostatik dan permeabilitas tinggi, hal ini dikenal dengan teori blast injury.1 Respons inflamasi sistemik menjadi peran utama dalam perkembangan gangguan fungsi paru akibat trauma otak. Trauma otak menimbulkan reaksi inflamasi sistemik yang mengakibatkan perubahan permeabilitas sawar darah otak sehingga mengakibatkan infiltrasi neutrofil aktif ke dalam paru.1 Sejak tahun 1974, glasgow coma scale (GCS) telah digunakan sebagai salah satu prediktor penting untuk menentukan tingkat kesadaran dan prognosis pada pasien yang mengalami COT. Skor 13–15 menunjukkan cedera kepala ringan, 9–12 menunjukkan cedera kepala sedang, dan ≤ 8 menunjukkan cedera kepala berat.5 Penelitian patologi melaporkan bahwa ditemukan edema paru pada 85% tentara yang meninggal di Vietnam akibat COT tunggal. Penelitian lain menjelaskan bahwa 75% pasien yang meninggal akibat intracerebral hemorrhage (ICH) traumatik mengalami edema paru. Terdapat dua penelitian lain yang menyebutkan bahwa 20 – 25% pasien dengan COT mengalami insufisiensi respirasi yang ditandai dengan peningkatan kebutuhan oksigen inspirasi atau ratio PaO2/FiO2 kurang dari 300.1 Penelitian sebelumnya banyak menggunakan konsensus ARDS dari American European Consensus Committe (AECC).6 Sejak Juni 2012

terdapat konsensus terbaru mengenai ARDS dikenal dengan The Berlin Definition, merupakan hasil kolaborasi antara American Thoracic Society (ATS) dan European Society of Intensive Care Medicine (ESICM). Secara terminologi istilah acute lung injury (ALI) sudah tidak ada di dalam konsensus The Berlin Definition. Konsensus ini hanya mengenal 3 subkategori; ringan, sedang, dan berat. Salah satu faktor risiko terjadinya ARDS didalam konsensus ini adalah trauma mayor.7 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji korelasi antara skor GCS pada COT berat dengan kejadian dan beratnya ARDS dengan menggunakan pendekatan berdasarkan konsensus ARDS terbaru yaitu The Berlin Definition. II. Subjek dan Metode

Penelitian ini adalah penelitian observasional cross section prospektif yang dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin atau Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Penelitian dilakukan pada bulan Mei–September 2015 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan kriteria inklusi adalah pasien pria dan wanita dengan cedera kepala derajat berat, dan usia pasien 18 hingga 60 tahun. Kriteria eksklusi adalah pasien memiliki cedera di daerah toraks, riwayat penyakit paru paru, pasien sedang dalam pengaruh alkohol atau intoksikasi obat-obatan, riwayat penyakit gagal jantung, transfusi masif, acute kidney injury, dan kadar gula ≤ 50 mg/ dl. Pasien akan dikeluarkan dari penelitian bila pasien yang mendapatkan diagnosis tambahan penyakit gagal jantung. Penentuan jumlah sampel berdasarkan rumus sampel besar korelasi didapatkan sebanyak 32 sampel. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dicatat usia, jenis kelamin, rentang waktu kejadian sampai mendapat perawatan di rumah sakit, diagnosis awal, GCS, analisis gas darah dan foto radiologi toraks. Selama 7 hari pasien dinilai dan dicatat GCS, analisis gas darah, foto toraks, diagnosis tambahan dan ARDS berdasarkan konsensus Berlin. Selama perawatan pasien menggunakan kateter vena sentral. Analisis data menggunakan uji data chi-kuadrat

Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik Beratdengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

atau uji kolmogorv smirnov untuk mencari kekuatan hubungan dan uji analisis korelasi untuk mencari kekuatan dan arah korelasi. Kriteria Gullford digunakan sebagai penentu kekuatan korelasi penelitian ini. III. Hasil Usia termuda adalah 18 tahun dan tertua 59 tahun. Rentang waktu pasien dari kejadian COT hingga mendapatkan tindakan medik adalah 1–13 Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Variabel Usia (tahun)

n (%)

pasien

Berat badan (Kg)

R a t a - r a t a Median (SD) 31,37 (12,94)

25,50

56,59 (6,81)

56,00

Jenis kelamin Laki-laki

19 (59,4%)

Perempuan

13 (40,6%)

Rentang (jam)

waktu

89

Tabel 2. Perbandingan Proporsi Kejadian ARDS berdasarkan GCS GCS 3 4

Kejadian Ya 3 (42,9%) 3 (60,0%)

ARDS Tidak 4 (57,1%) 2 (40,0%)

5 6 7 8

0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (11,1%)

3 (100,0%) 4 (100,0%) 4 (100,0%) 8 (88,9%)

Nilai p 0,022**

Keterangan: Nilai p pada variabel kategorik dengan uji chikuadrat. Dengan alternatif uji kolmogorov smirnov apabila syarat dari chi-kuadrat tidak terpenuhi. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda ** menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistik; GCS glasgow coma scale; ARDS acute respiratory distress syndrome Tabel 4. Analisis Kolerasi antara GCS dan Kejadian ARDS Angka Kejadian

6,26 (3,34)

5,50

Variabel

Ya

Tidak

R

GCS

Diagnosis

Mean±STD 4,14±1,77

6,04±1,85

SDH

3 (9,4%)

Median

6,0

EDH

9 (28,1%)

Range

ICH

4 (12,5%)

EDH + ICH

4 (12,5%)

SDH+ICH

6 (18,8%)

EDH+SDH+ICH

6 (18,8%)

CVP 1,000 (1,00) 1,00 Singkatan: SDH subdural hematoma; EDH epidural hematoma; ICH intracerebral hematoma

Nilai p

0,402 4,0

0,402 0,022**

3,00 – 3,00 – 8,00 8,00 Keterangan: Analisis korelasi antara data numerik dengan nominal maka digunakan Korelasi Eta; nilai kemaknaan p<0,05.Tanda ** menunjukkan signifikan atau bermakna secara statistika. r: koefisien korelasi; GCS: glasgow coma scale; ARDS: acute respiratory distress syndrome

Tabel 5. Analisis Kolerasi antara GCS dan Derajat Berat ARDS Derajat ARDS Variabel Sedang Berat Negatif r GCS 3,50±0,70 4,40±2,07 6,04±1,85 0,389 Mean±STD 3,50 4,0 6,0 Median 3,00 – 4,00 3,00 – 3,00 – 8,00 Range 8,00

Nilai p 0,028**

Keterangan: Analisis korelasi antara data numerik dengan ordinal maka digunakan Korelasi Spearman; nilai kemaknaan p<0,05.Tanda ** menunjukkan signifikan atau bermakna secara statistika. r : koefisien korelasi; GCS: glasgow coma scale; ARDS: acute respiratory distress syndrome

90

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

jam. Rentang GCS skor adalah pasien dengan COT derajat berat atau GCS 3–8 (Tabel 1). Angka kejadian ARDS paling tinggi terjadi pada GCS 3 dan 4. Hanya seorang pasien dengan GCS 8 yang mengalami ARDS. Berdasarkan hasil uji kolmogorov smirnov menunjukkan bahwa hasil tersebut bermakna secara statistika (p<0,05; Tabel 2). Pasien dengan GCS 3 dan 4 mengalami ARDS derajat berat terbanyak sedangkan GCS 8 hanya 1 orang. Berdasarkan uji kolmogorov smirnov menunjukkan bahwa hasil tersebut bermakna secara statistika (p<0,05; Tabel 3). Menggunakan uji korelasi ETA diperoleh nilai r sebesar 0,402. Mengacu pada kriteria Gullford korelasi ini menunjukkan korelasi yang cukup kuat antara GCS dan kejadian ARDS (Tabel 4). Menggunakan uji korelasi rank spearman diperoleh nilai r sebesar 0,389. Mengacu pada kriteria Gullford korelasi ini menunjukkan korelasi yang kecil atau tidak erat antara GCS dan derajat ARDS (Tabel 5).

III. Pembahasan Acute respiratory distress syndrome adalah suatu sindrom dengan berbagai faktor risiko yang memicu terjadinya kejadian akut insufisiensi sistem respirasi. Saat ini definisi ARDS yang digunakan adalah definisi Berlin. Terdapat tiga kategori eksklusif ARDS yaitu ringan, sedang, dan berat.8 Penggunaan istilah ALI dihilangkan didalam konsensus ini.9 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin rendah skor GCS pada cedera otak traumatik maka kejadian ARDS semakin tinggi dan meningkatkan derajat beratnya ARDS (Tabel 2 dan Tabel 3). Konsep utama pengaturan fungsi otak normal adalah mengatur tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/CPP) yang adekuat. Tekanan perfusi serebral adalah tekanan arteri rata-rata dikurangi dengan tekanan intrakranial (intracranial pressure/ICP). Pada otak normal aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF) diatur konstan pada tekanan arteri ratarata (mean arterial pressure/MAP) antara 60– 150 mmHg, yang dikenal sebagai autoregulasi

otak. Ketika COT terjadi, autoregulasi akan menjadi terganggu sehingga menyebabkan peningkatan CBF, dan menyebabkan peningkatan ICP.10 Peningkatan ICP akan mengakibatkan berkurangnya perfusi dan aliran darah ke otak sehingga dapat menyebabkan iskemia yang akan mengakibatkan cedera otak iskemik sekunder.11 Tekanan intrakranial yang meningkat di luar batas dari mekanisme kompensasi menyebabkan CPP terganggu, iskemia jaringan otak, refleks cushing, penurunan CBF, dan peningkatan CO2 sehingga dapat menimbulkan efek vasodilatasi di pusat vasomotor. Pusat vasomotor memulai respons sistem saraf simpatik yang menyebabkan peningkatan MAP sebagai respons kompensasi tubuh untuk meningkatkan CPP.12 Berdasarkan penyebabnya COT terbagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Cedera otak traumatik primer terjadi langsung sebagai akibat mekanik pada saat kecelakaan sedangkan COT sekunder muncul selama beberapa menit hingga beberapa hari yang disebabkan kombinasi oleh kerusakan ekstrakranial secara sistemik dan perubahan secara fisika dan biokimia intrakranial.12 Cedera otak primer melibatkan gangguan fisik struktur intrakranial. Cedera tersebut meliputi kerusakan parenkim otak seperti memar, hematoma, laserasi, dan cedera aksonal difus. Cedera otak traumatik mengaktivasi beberapa jalur biokimia yang saling berhubungan, yang berperan terhadap kerusakan jaringan otak lebih lanjut. Cedera intrakranial sekunder sebagian besar dimediasi melalui peningkatan aktivitas rangsangan neurotransmiter, pembentukan anti oksidan, dan produksi pro-inflamasi sitokin, yang berkontribusi terhadap kerusakan sel saraf dan kematian sel. Pembentukan edema serebral, peningkatan ICP, gangguan terhadap sawar darah otak (blood brain barrier/BBB) dan perubahan dalam reaktivitas serebrovaskular yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sekunder jaringan saraf.12 Setelah terjadi COT, neurotransmiter dilepaskan dalam jumlah besar oleh tubuh yang mengakibatkan peningkatan aktivas metabolik dan deplesi adenosin tri phosfat (ATP). Kegagalan energi menyebabkan gangguan homeostasis ion dan masuknya natrium dan kalsium yang tidak terkendali ke dalam neuron,

Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik Beratdengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

yang kemudian terjadi edema sitotoksik dan depolarisasi sel. Depolarisasi sel mengakibatkan pelepasan neurotransmiter seperti glutamat. Glutamat memperantarai peningkatan kalsium dalam intraselular. Akumulasi kalsium dalam sel mengaktifkan beberapa enzim intraselular menyebabkan kerusakan intraselular yang lebih parah dan kematian sel.12 Cedera otak traumatik berhubungan dengan pelepasan inflamasi sitokin diikuti oleh infiltrasi dan akumulasi sel inflamasi. Mediator- mediator inflamasi ini mengakibatkan cedera otak sekunder dengan menon-aktifkan asam arakidonat, jalur koagulasi, mengganggu BBB, dan menginduksi produksi nitrat oksida (NO). Nitrat oksida menyebabkan vasodilatasi yang berlebihan, yang menyebabkan gangguan autoregulasi. Selain itu, NO berkontribusi untuk pembentukan anti oksidan dan glutamat.12 Pada sebuah penelitian yang dilakukan pada 102 tikus ditemukan bahwa pada kasus dengan COT berat atau fatal didapatkan migrasi besar-besaran sel-sel inflamasi khususnya neutrofil dan makrofag pada alveoli. Hal ini disebabkan teraktivasinya mediatormediator inflamasi yang telah disebutkan diatas.13 Tingkat kesadaran adalah hal empiris yang paling dapat diandalkan dalam mengukur gangguan fungsi otak setelah COT. Memberikan informasi tentang kemampuan fungsional dari korteks serebral, beserta jaras naik pada reticular activating system (RAS) di batang otak. Menurunnya tingkat kesadaran menunjukkan adanya gangguan fungsi korteks serebral, gangguan transmisi rangsangan sensorik oleh batang otak atau RAS. Pasien yang koma umumnya terjadi kerusakan pada batang otak, kerusakan korteks serebral bilateral atau global yang berat.12 Cedera otak langsung, penekanan terhadap tingkat kesadaran, ketidakmampuan dalam proteksi jalan napas, gangguan sistem pertahanan tubuh, mobilitas berkurang, dan cedera sekunder fisiopatologis adalah penyebab utama komplikasi paru.14 Pneumonia adalah komplikasi yang umum terjadi pada COT berat. Pneumonia terjadi pada 60% pasien. Pasien dengan COT berat beresiko mengalami aspirasi isi lambung. Pneumonia sering terjadi pada 5 hari pertama setelah COT.

91

Kuman-kuman penyebab terseringnya adalah kuman yang berada pada saluran napas atas yang berkolonisasi. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa terjadi 40–64% pasien COT berat mengalami pneumonia dan pasien dengan GCS skor terendah memiliki risiko lebih tinggi mengalami pneumonia.15 Pasien dengan COT berat juga berhubungan dengan ventilator acquired pneumonia (VAP) sebagai akibat sekunder penggunaan lama intubasi dan ventilasi mekanis. VAP umumnya berkembang setelah 5 hari. Umumnya kuman-kuman penyebabnya adalah bakteri gram negatif dan multiresisten.15 Pasien dengan COT berat yang menggunakan ventilasi mekanis berisiko VAP dikarenakan beberapa faktor sebagai berikut seperti tingkat penurunan kesadaran, mulut yang kering dan terbuka, mikroaspirasi akibat sekresi. Pasien dengan COT berat cenderung menggunakan ventilasi mekanik.14 Penyebab ARDS lainya yaitu NPE. Patogenesis NPE tidak sepenuhnya dipahami. Neurogenic pulmonary edema berkaitan dengan stimulasi berlebihan pada sistem saraf otak (central nerves system/CNS) pada aktivitas sympathoadrenal yang menyebabkan vasokonstriksi perifer, peningkatan aliran balik vena, menimbulkan hipertensi sistemik, peningkatan afterload ventrikel kiri dan berkurangnya stroke volume ventrikel kiri, dan kemudian darah akan terakumulasi dalam sirkulasi paru yang mengakibatkan hipertensi kapiler paru dan edema.12 Mediator utama dalam stress response pada sistem saraf simpatis adalah katekolamin. Sebuah penelitian menyebutkan terdapat korelasi antara GCS dengan katekolamin plasma dimana terdapat peningkatan 4 sampai 5 kali pada GCS 3 dan 4.15 Katekolamin endogen menyebabkan penekanan selektif terhadap imunitas seluler melalui imunoinhibitor sitokin, yang kemudian menyebabkan adanya keadaan immunocompromised setelah COT. Secara keseluruhan efek dari beragam mekanisme yang terjadi menyebabkan penurunan terhadap sistem imun tubuh. Penekanan sel T-helper terjadi dalam waktu 24 jam setelah COT dan penekanan imunitas selular ini berkorelasi dengan tingkat infeksi yang tinggi pada minggu pertama setelah

92

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

COT. Pada penelitian sebelumnya mengatakan bahwa infeksi merupakan komplikasi yang sering terjadi yaitu 50–65% pada pasien COT, dimana hampir setengahnya terjadi pada saluran napas bawah.15 Dengan demikian, berdasarkan mekanisme-mekanisme yang disebutkan diatas. Kombinasi dari mekanisme-mekanisme tersebut mengakibatkan adanya peningkatan kejadian dan beratnya ARDS pada pasien dengan COT berat. Terutama pada kasus pasien skor GCS yang rendah. Walaupun korelasi yang diperoleh secara statistik hanya kecil. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa semua pasien yang mengalami ARDS mendapatkan diagnosis tambahan pneumonia. Ditemukan keunikan pada 1 kasus pasien GCS 8 mengalami ARDS, sebagai catatan pasien ini adalah pasien yang paling lama mendapatkan tindakan medik yaitu 13 jam. Sehingga perlu dipelajari lebih lanjut bagaimana hubungannya antara pneumonia dan lama mendapatkan tindakan medik pada kasus cedera otak traumatik. IV. Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara skor GCS pada COT berat dan ARDS. Membuktikan kepada kita bahwa diperlukan tindakan dan perlakuan khusus dalam penanganan pasien COT berat, terutama untuk kasus skor GCS rendah. Pemberian antibiotik profilaksis direkomendasikan dan keterlambatan tindakan medik pada kasus COT berat memberikan hasil akhir yang buruk. Karenanya diperlukan penelitian selanjutnya untuk mencari hubungan dan korelasi yang lebih kuat agar tercapai tujuan dari penelitian yaitu, mencegah dan mengurangi risiko ARDS dan akhirnya tercapai hasil luaran yang baik. Daftar Pustaka

injury in patients with traumatic injrys: utility of a panel of biomarkers for diagnosis and pathogenesis: J Trauma. 2010;68(5):1121–7. 3. Salim A, Martin M, Brown C, Inaba K, Browder T, Rhee P, dkk. The presence of the adult respiratory distress syndrome does not worsen mortality or discharge disabilty in blunt trauama patients with severe traumatic brain injury. Care Injured. 2008;39:30–5. 4. Oddo M, Ndoum M, Frangos S, Mackenzie L, Chen I, Kofke Wa, dkk. Acute lung injury is an independent risk factor for brain hipoxia after severe traumatic brain injury. Neurosurgery. 2010;67:338–44. 5. Chung P, Khan F. Traumatic brain injury (TBI): overview of diagnosis and treatment. J Neurol Neurophysiol. 2013;5(1):182–92. 6. Rubenfeld GD. Acute respiratory distress syndrome: the Berlin definiton. J Am Med Associat. (Online Journal) 2012 (diundah tanggal 10 Maret 2015). Tersedia dari:http :// jama.jamanetwork.com. 7. Pneumatikos I, Papaionnou VE. Editorial. The new Berlin definition: What is, finally, the ARDS ?. Pneumon. 2012;25(4):365–8. 8. Ferguson ND, Fan E, Camporota L, Antonelli M, Anzueto A, dkk. The Berlin definition of ARDS: an expanded rationale, justification, and supplementary material. Intens Care Med. 2012;38:1573–82. 9. Fanelli V, Vlachou A, Ghannadian S, Simonetti U, Slutsky AS, Zhang H. Review article. Acute respiratory distress syndrome: new definition, current and future therapeutic options. J Thorac Dis. 2013;5(3):326–34.

1. Mascia L. Acute lung injury in patients with severe brain injury: a double hit model. Neurocritical Care. 2009;11(3):417–26.

10. Heegaar W, Biros M. Traumatic brain injury. Emerg Med Clin N Am. 2007;25:655–78.

2. Fremont RD, Koyama T, Calfee CS, Wu W, Dossett LA, Bossert FR, dkk. Acute lung

11. Smith M. Monitoring intracranial pressure in traumatic brain injury. Anesth Analg 2008;106:240–8.

Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik Beratdengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

12. Sande A, West C. Traumatic brain injury:a review of pathophysiology and management. J Veterinary Emerg Crit Care. 2010;20(2):177–90. 13. Kalsotra A, Zhao J, Anakk S, Dash PK, Strobel HW. Brain trauma leads to enhanced lung inflammation and injury: evidence for role of P4504Fs in resolution. J Cereb Blood Flow Metabol. 2007;27:963–74.

93

14. Lee K, Rincon F. Review article. Pulmonary complication in patients with severe brain injury. Crit Care Res Prac. 2012;10:1–8. 15. Lim HB, Smith M. Systemic complications after head injury: a clinical review. Anaesthesia. 2007;62:474–82.

Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase RR Sinta Irina*), Nazaruddin Umar*), Hasanul Arifin*), Margaritta Rehatta, Siti Chasnak Saleh**) *)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Universitas Sumatera Utara-RSUP H.Adam Malik Medan, **) Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya Abstrak Perdarahan intrakranial spontan pada terapi antikoagulan rivaroxaban mulai sering ditemukan, apalagi bila dikombinasi dengan antiplatelet clopidogrel maupun fibrinolitik lumbrokinase merupakan hal yang sering ditemukan pada penderita trombosis. Perdarahan intrakranial spontan terbanyak adalah perdarahan intracerebral. Perdarahan spontan epidural (EDH) akut merupakan hal yang jarang ditemukan, biasanya terjadi karena ada penyakit yang mendasarinya. Penatalaksanaan pada kasus ini berdasarkan patofisiologinya dan melibatkan multidisiplin ilmu lainnya. Seorang laki-laki, 26 tahun berat badan 80 kg yang didiagnosa deep vein thrombosis (DVT) mengalami penurunan kesadaran mendadak, pupil anisokor 4 mm/1mm ketika sedang beraktivitas. Tidak dijumpai riwayat cedera kepala. Setelah diresusitasi didapatkan hasil head CT-scan dengan EDH temporoparietal dextra 50 cc, dilakukan dekompresi craniektomi dan evakuasi EDH. Setelah 10 jam pasca operasi terjadi gejolak hemodinamik dan dilakukan head CT-scan ulang dan didapatkan EDH 80 cc dan minimal perdarahan intracerebral. Dilakukan redo craniektomi. Pasca operasi dirawat di ICU dengan koreksi faktor koagulasi. Pasien kembali komposmentis GCS 15 dengan gejala sisa hemiparese sinistra sementara. Kata Kunci: terapi kombinasi rivaroxaban, clopidogrel dan lumbrokinase, perdarahan EDH spontan, koreksi faktor koagulasi JNI 2016;5(2): 94–103

Acute Spontaneus Epidural Hemorrhage due to Combination Therapy Rivaroxaban, Clopidogrel and Lumbrokinase Abstract Spontaneous intracranial hemorrhage on anticoagulant therapy rivaroxaban lately often found, especially when combined with clopidogrel antiplatelet or fibrinolytic lumbrokinase is often found in patients with thrombosis. Spontaneous intracranial hemorrhage is most widely occured is intracerebral hemmorrhage. Spontaneous epidural hemorrhage (EDH) acute is a uncommon, usually occur because there is an underlying disease. Treatment on the case based on patophysiology and involves a multidisciplinary peer other sciences. A young man, 26 years old weight 80 kg which was diagnosed with deep vein thrombosis (DVT) awareness of sudden decline, the pupil anisokor 4 mm/1mm while activity. No head trauma history. After resuscitation, head Ct-scan with EDH temporoparietal dextra 50 cc, carried out the evacuation EDH and decompression craniektomi. After 10 hours of post-operative haemodynamic turmoil happened and done a head ct-scan and obtained EDH 80 cc and minimal intracerebral hemorrhage. Do redo craniektomi. Post-operative hospitalized in ICU with correction factor for coagulation. The patient recovers conciousness into composmentis GCS 15 with sequelae hemiparese sinistra temporary. Key words: combination therapy rivaroxaban, clopidogrel and lumbrokinase, spontaneus EDH acute, treatment coagulation factor JNI 2016;5(2): 94–103

94

Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase

I. Pendahuluan Perdarahan spontan sering terjadi pada pemakaian obat oral antikoagulan dan antiplatelet seperti rivaroxaban dan clopidogrel, apalagi dengan pemakaian kombinasi dua obat tersebut.1 Lokasi perdarahan sering tidak dapat diduga. Angka kejadian terjadi perdarahan spontan di saluran cerna 100-200 per 100.000 kasus.2 Pasien dengan perdarahan intrakranial akut didapatkan 20% memakai antikoagulan oral, dan 30% terapi antiplatelet oral.3 Kasus perdarahan epidural spontan non trauma sangat jarang ditemukan. Laporan kasus yang ditemukan sampai dengan tahun 2010 hanya 19 kasus.4 Penatalaksanaan anestesi dengan pasien perdarahan intrakranial akut oleh karena pemakaian antikoagulan dan antiplatelet memerlukan penanganan perioperatif menyeluruh sehingga penyebab perdarahan bisa diatasi segera. Preoperatif dengan resusitasi yang benar, intraoperatif dan perawatan pascaoperatif baik akan menghasilkan outcome yang baik untuk mencegah terjadinya cedera otak sekunder. II. Kasus Seorang laki-laki berusia 26 tahun, berat badan 80 kg dengan diagnosis deep vein thrombosis (DVT) pada kedua tungkai bawah di RSUP H. Adam Malik Medan tiba-tiba terjadi penurunan kesadaran ketika sedang beraktivitas lima belas menit sebeumnya. Pasien mengeluh nyeri kepala hebat, pusing, mual dan muntah dan terjadi kejang. Ditemukan lucid interval. Pasien terjatuh di kamar mandi oleh karena pingsan, dan sempat sadar 5 menit setelah itu. Tidak dijumpai adanya riwayat cedera kepala. Segera dilakukan resusitasi ABCDE neuronestesi dan dilakukan pemeriksaan head CT-scan didapatkan gambaran epidural hemorrhage (EDH) temporoparietal dextra sebesar lebih kurang 50 cc dan midline shift lebih dari 5 mm. Kemudian dilakukan kraniektomi evakuasi EDH cito. Beberapa jam setelah kraniektomi terjadi gejolak hemodinamik dan segera dilakukan head CT-scan ulang. Didapatkan gambaran epidural hemorrhage temporoparietal dextra dan segera dilakukan redo kraniektomi.

95

Anamnesa Pasien mengeluh nyeri pada kedua tungkai bila beraktivitas sejak 2 minggu terakhir dan memberat sejak kedua tungkainya membengkak 10 hari terakhir sebelum terjadi penurunan kesadaran. Dari bagian Penyakit Dalam pasien didiagnosa dengan DVT dan vaskulitis vena saphena magna dextra dan sinistra dan diterapi dengan obat metilprednisolon 1 mg/kg BB, antikoagulan rivaroxaban 2x15 mg (sudah dimakan selama 3 hari), fibrinolitik lumbrokinase dan antiplatelet clopidogrel 75 mg masing-masing baru satu kali dimakan. Walaupun terasa nyeri pada kedua tungkai pasien masih bisa beraktivitas seperti biasa. Penyakit penyerta lainnya disangkal oleh pasien. Riwayat cedera kepala tidak dijumpai. Ditengah sedang beraktivitas pasien mengeluh nyeri kepala hebat secara tiba-tiba, pusing, mual, muntah dan kejang kemudian penurunan kesadaran mendadak. Pemeriksaan Fisik Kesadaran awal komposmentis, mengeluh nyeri kepala hebat, pusing, mual dan muntah sebanyak 5 kali, tekanan darah 200/100 mmHg, laju nadi 120 x/menit, berangsur-angsur turun tekanan darah 180/100 mmHg, dan pada 5 menit kemudian tekanan darah 160/90 mmHg pasien kejang dan kesadaran menurun menjadi GCS 9 (E2M5V2). Pupil anisokor 4 mm/1mm. Reflek cahaya melambat. Kedua tungkai bawah terlihat bengkak dan adanya banyak petechie. Setelah terjadi penurunan kesadaran tekanan darah 200/100 mmHg, laju nadi 130 x /menit. Kemudian dilakukan resusitasi sesuai ABCDE neuroanestesi dan tekanan darah 130/70 mmHg. Laju nadi 100 x/menit suhu 360C, saturasi oksigen 99%. Pengelolaan Anestesi Penatalaksanaan preoperatif dengan melakukan resusitasi segera ketika terjadi kegawatan kenaikan tekanan intrakranial secara tibatiba. Ketika pasien mulai mengeluh sakit kepala, pusing, mual dan muntah pasien segera dibaringkan dengan posisi head up 30o dan diberi oksigen nasal kanul 2 liter per menit dan dipasang infus. Tekanan darah awal didapatkan 200/100 mmHg dan laju nadi 120 x/menit, dan berangsur menurun tekanan darah menjadi

96

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium prabedah Hb 12.30 g/dL Ht 36.90% Leukosit 18.020/mm3 Trombosit 330.000/mm3 PT 20,3’’ (14.00’’) INR 1,48 apTT 31,5 detik (34,0’’) Waktu trombin fibrinogen D-dimer KGD adrandom ureum creatinin Na K Cl

16,2 (17,4’’) 121.0 mg/dL (150-400) 1500 ng/mL (<500) 156 mg/dL 156 mg/dL 0,56 mg/dl 130 mEq/L 3,5 mEq/L 99 mEq/L

Pemeriksaan Radiologik

Gambar 1 foto thorax

180/100 mmHg dan turun kembali menjadi 160/90 mmHg setelah dibaringkan dengan posisi head up 30o. Setelah sekitar 15 menit kemudian pasien kejang dan terjadi penurunan kesadaran secara mendadak menjadi GCS 5 E1M3V1 dan pupil anisokor 4 mm/1 mm dengan reflek cahaya lambat. Kemudian dilakukan resusitasi ABCDE secara neuroanestesi. Intubasi dengan midazolam 5 mg, fentanyl 100 mikrogram, propofol 80 mg dan rocuronium 50 mg. Setelah intubasi keadaan

hemodinamik stabil tekanan darah 130/90 mm Hg (heart rate/HR) laju nadi 100 x/menit dan dilakukan pemeriksaan head CT-scan. Dari hasil head CT-scan didapatkan EDH temporoparietal dextra sebanyak lebih kurang 50 cc dengan midline shift lebih dari 5 mm. Kemudian segera dilakukan kraniektomi evakuasi EDH. Pasien dimasukkan ke kamar operasi dengan tetap terintubasi dan kontrol pernafasan dan sedasi adekuat. Sebelum dihubungkan dengan mesin anestesi pasien diberi sedasi kembali dengan propofol 40 mg, fentanyl 50 mikrogram dan rocuronium 15 mg. Rumatan anestesi dengan oksigen dan udara 4 L/menit dan anestetika volatil sevofluran 0,5–0,8 vol%, dikombinasi dengan dexmetomidine 6 cc (0,3 μg/ kg/per jam) dan fentanyl 300 mikrogram dalam 50 cc dijalankan 3 cc per jam (syringe pump) serta relaksan rocuronium 4 cc per jam (syringe pump). Hemodinamik selama operasi stabil dengan tekanan darah sistolik 150–120 mmHg dan diastolik 100-80 mmHg. Denyut jantung berkisar antara 100–80 x/menit. etCO2 32–35. Operasi dekompresi dan evakuasi EDH berlangsung selama 1 jam 45 menit, total perdarahan kurang lebih 400 cc dengan diuresis 800 ml per jam. Total cairan intraoperatif kristaloid 1000 cc, PRC 250 cc, FFP 500 cc, cryo 500 cc. Setelah selesai operasi pasien dipindahkan ke ICU dengan perawatan bantuan ventilator modus kontrol tidal volume 460 ml, RR 15 x/menit, PEEP 5 dan FiO2 30%; dan disedasi adekuat dengan dexmetomidine 6 cc/jam (syringe pump), atracurium 30 mg /jam (syringe pump), fentanyl 300 mikrogram dalam 50 ml diberikan 3 cc/ jam (syringe pump). Selama di ICU pascabedah dimonitor hemodinamik. Tekanan darah sistolik 170–140 mmHg, diastolik 90–80 mmHg dan HR 80–95 x/menit, etCO2 30–35 mmHg. Pupil isokor 3 mm/3mm dengan reflek cahaya positip. Terapi medikamentosa di ICU diberikan antibiotik meropenem 1 gr/8 jam, omeprazole 40 mg/12 jam, phenytoin 100 mg/ 8 jam, transamin 1 gr/8 jam dan obat semax 6 gtt/4 jam. Delapan jam post operasi terjadi gejolak hemodinamik, HR meningkat menjadi 130 x/menit, dan tekanan darah meningkat hingga sistolik 200 mmHg dan pupil menjadi anisokor 2 mm/1 mm dan otak terkesan membengkak. Kemudian diputuskan

Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase

97

Pemeriksaan Head CT scan

Gambar 2. EDH Temporoparietal Dextra

Gambar 3. Pre Redo Craniotomi

untuk head CT-scan ulang dan didapatkan EDH temporopariteal dextra sebanyak 80 cc dan minimal ICH, dan segera dilakukan redo craniectomy evakuasi EDH. Pada operasi redo kraniektomi tehnik anestesi dilakukan sama dengan operasi kraniektomi sebelumnya. Dipakai kombinasi obat anestesi intravena dan volatil sevoflurane. Hemodinamik stabil selama operasi. Tekanan darah sistolik antara 150–120 mmHg, diastolik 70–60 mmHg. Pada intraoperatif terjadi rembesan perdarahan aktif, dan sejawat bedah syaraf memberikan Cofact (antitrombin III) 1000 IU. Operasi redo craniectomy berjalan selama 2,5 jam dengan perdarahan sekitar 700 cc. Total cairan yang diberikan WB 350 cc, PRC 200 cc, kristaloid 1500 cc. Total diuresis 400 cc.

Pengelolaan Pascaoperasi Pasien dirawat di ruang perawatan intensif dengan keadaan masih dalam sedasi adekuat dan dengan bantuan ventilator modus kontrol tidal volume 460 ml, RR 15 x/menit, PEEP 5 dan FiO2 30%; dan disedasi adekuat dengan dexmetomidine 6 cc/jam, atracurium 30 mg /jam, fentanyl 300 mikrogram dalam 50 ml diberikan 3 cc/jam. Cairan rumatan R Sol diberikan sebanyak 3000 ml per 24 jam, serta dipantau balans cairan. Selama di ICU pascabedah dimonitor hemodinamik. Tekanan darah sistolik 140–120 mmHg, diastolik 70–60 mmHg dan HR 70-60 x/menit. etCO2 30–35 mmHg. Pupil isokor 3 mm/3mm dengan reflek cahaya positip. Suhu 36 0C afebris. Kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium: Hb 7,70 g/dL, Ht 23,50%, Leukosit 11.000/mm3, trombosit 278.000/mm3, PT 16,7’’

98

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Hasil Laboratorium post op craniektomy 1 Hb 10,20 gr/dL Ht 31.30%, Leukosit 22.950/mm3 Trombosit 308/mm3 Protrombin Time 19,3 (14.00’’) INR 1,40 apTT 24,3 (34,0’’) TT 14,7 (17,4’’) Na 134 mEq/L K 4,2 mEq/L Cl 104 mEq/L KGD adrandom 132.50 mg/dL AGDA dengan ventilator modus kontrol CMV Tidal Volume 460 ml RR 15x per menit PEEP 4 FiO2 40% pH 7,450; pCO2 36,0 mm Hg;; pO2 179 mm Hg; bikarbonat (HCO3) 25 mmol/L; total CO2 26,1 mmol/L; BE 1,2 mmol/L dan saturasi O2 100%. (14,00’’), INR 1,2, APTT 31,5’’(34,0’’), TT 15,6’’(17,4’’). AGDA dengan ventilator modus kontrol pH 7,500 pCO2 34,0 mmHg pO2 187.0 mmHg bikarbonat (HCO3) 26,5 mmol/L total CO2 27,5 mmol/L BE 3,5 mmol/L dan saturasi O2 100%. Perawatan Hari Pertama Keadaan hemodinamik stabil tekanan darah rerata sistolik 130–110 mmHg dan diastolik 90– 70 mmHg dan HR 70–60 x/menit, SpO2 99%, dan suhu 36,5 0C. Keadaan pasien masih dalam sedasi adekuat dan bantuan ventilator. Dengan diberikan tambahan Cofact (antitrombin III) 1000 IU per hari. Dan diberikan transfusi FFP 500 cc dan PRC 250 cc. Diperiksa secara serial darah rutin, untuk mendapatkan hematokrit sekitar 35% dan diperiksa faal hemostasis sampai mencapai nilai normal. Hasil laboratorium didapatkan Hb 9,60 g/ dL, Ht 28,40%, leukosit 13.420/mm3, trombosit 183.000/mm3, Na 135 mEq/L, K 3,7 mEq/L, Cl 106 mEq/L, protrombin 12,5’’ (13,5’’), INR 0,92, antitrombin III 130,5% (normal 75–125).

Diperiksa thromboelastography (TEG), agregasi trombosit dan didapatkan hasil akhirnya normal aktivitas pembekuan, normal aktivitas fibrinogen, normal fungsi platelet. Terapi di perawatan intensif hampir sama dengan sebelumnya. Analgetik diberikan dengan paracetamol 1 gr/8 jam, terapi antibiotik diberikan tambahan mikasin 1 gr/24 jam, dan semax 6 gtt/4 jam. Dari sejawat internist hematologist diberikan terapi heparinisasi 500 IU per hari dijalankan secara kontinyu 6 cc per jam, dan dari sejawat bedah saraf diberikan terapi Cofact 1000 IU. Pasien disedasi dengan bantuan ventilator selama masa pemulihan faktor pembekuan darah dan hemoglobin normal. Dilakukan pemeriksaan ulangan laboratorium kembali, dan pada pemeriksaan kelima (H-I): Hb 9,90 g/dL, Ht 30,30%, leukosit 14.42 /mm3, Plt 197.000/mm3. Analisa gas darah dengan ventilator modus spontan pH 7,310, pCO2 33,0 mmHg, pO2 131.0 mmHg bikarbonat (HCO3) 16,6 mmol/L, total CO2 17,6 mmol/L BE -8.7 mmol/L dan saturasi O2 99%. Kadar gula darah ad random 141,80 mg/dL. Na 135 mEq/L, kalium 4,1 mEq/L, klorida 105 mEq/L. Protrombin time 12,5 detik INR 0,92. Pada H-1 pasien mulai disapih dari ventilator secara bertahap dan dikurangi obat sedasinya, sambil dipastikan semua faktor-faktor ekstrakranial memenuhi syarat untuk ekstubasi. Perawatan Hari Kedua Pasien masih di perawatan intensif. Status generalisata keadaan umum baik dengan tensi 120/80 mmHg, nadi 65 x/menit, SpO2 99%. Frekuensi nafas 14–16 x/menit dengan O2 t-piece 5 liter permenit. Status neurologik pasien sudah sadar penuh GCS 15 pupil isokor 3 mm/3mm, dan dilakukan ekstubasi dan diberi O2 nasal kanul 2 liter permenit. Laboratorium pada keadaan nafas spontan nasal kanul 2 liter per menit didapatkan analisa gas darah pH 7,410, pCO2 33,0 mmHg, pO2 197.0 mmHg, bikarbonat (HCO3) 20,9 mmol/L, total CO2 21,9 mmol/L, BE -3.3 mmol/L dan saturasi O2 100%. Asam laktat arteri 0,9 mmol/L, procalcitonin 0,08 ng/mL. Faal hemostasis masih terus dipantau dan diperiksa ulang didapatkan hasil Protrombin Time 12,9 detik (kontrol 14.00 detik); INR 0,92; apTT 41,5 detik (kontrol 34,0 detik); waktu trombin 13,6 (kontrol 16,7 detik).

Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase

Perawatan Hari Ketiga Keadaan umum pasien baik, sadar baik, nafas spontan dan sudah mulai asupan nutrisi oral. Pasien dialih rawat ke ruangan rawat inap biasa. Pascabedah pasien ditemukan adanya hemiparese sinistra. Hal ini dialami selama kurang lebih 1,5 bulan, dan berangsur membaik dengan fisiotherapi rutin, dan pasien mengaku masih mengingat seluruh kejadian sebelum terjadinya penurunan kesadaran. Di bulan ke-2 pasca pembedahan kekuatan motorik pasien telah kembali normal dan sudah dapat mengemudi mobil manual sendiri dan hidup secara mandiri. Di bulan ke-4 pasien telah dilakukan kranioplasti. Pada bulan ke-5 pascabedah didapatkan penilaian Glasgow Outcome Scale (GOS) skor 5 (interpretasi Good Recovery), dan penilaian Extended Glasgow Outcome Scale (GOSE) skor 8 (interpretasi Upper Good Recovery) dan pada penilaian Mini Mental State Exam (MMSE) skor 29 (interpretasi tidak ada gangguan kognitif). Gejala sisa yang masih ada hingga saat ini (bulan ke-5 pascabedah) terkadang masih ada klonus sesekali pada kaki kiri dan tremor halus di tangan kiri. Pasien masih merasakan kelemahan tangan kiri bila memegang sesuatu barang dalam jangka waktu lama lebih dari 30 menit. Namun hingga saat ini pasien masih melakukan fisioterapi rutin. III. Pembahasan Angka kejadian perdarahan intrakranial spontan pada terapi antikoagulan dan antiplatelet oral sangat tinggi yaitu 70%, dan umumnya 60% nya adalah perdarahan intracerebral.5 Perdarahan EDH spontan suatu hal yang tidak umum dijumpai. Pada kasus ini terjadi perdarahan EDH spontan non trauma. Dilaporkan hanya 19 kasus ditemukan sampai dengan tahun 2010 adanya perdarahan EDH spontan non trauma. Berdasarkan penyakit yang mendasarinya kasus tersebut dibagi menjadi tiga kategori yaitu pertama karena adanya lokal infeksi pada daerah kepala seperti sinusitis, infeksi telinga dan hidung. Infeksi tersebut dapat merusak dinding pembuluh darah meningen dan membentuk inflamasi, kedua karena adanya keganasan pada ekstraduramater sehingga merusak pembuluh darah meningen itu sendiri, dan ketiga karena adanya kelainan

99

kolagen pembuluh darah misalnya penyakit systemic lupus erythematosus (SLE) atau pasien dengan kelainan koagulopati.4 Adanya keluhan dan gejala kenaikan tekanan intrakranial secara cepat perlu penanganan resusitasi ABCDE neuroanestesi segera. Tujuan resusitasi sesegera mungkin dilakukan untuk menjaga tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure/CPP) tetap baik sehingga mencegah terjadinya cedera otak sekunder.6,7,15 Keadaan hipoksia, hiperkarbia, hipertensi, hipotensi, hiperthermia, hiperglikemia, hipoglikemia, mual, muntah, kejang semuanya harus dicegah dan diterapi segera karena dapat menyebabkan cedera otak sekunder. Pada pasien ini awalnya terjadi gejolak hemodinamik, tekanan darah meningkat (200/100 mmHg) yang merupakan kompensasi tubuh dalam mempertahankan CPP. Setelah diresusitasi pasien diintubasi, posisi head up 300 dan disedasi maka hemodinamik relatif normal. Namun penyebab tekanan intrakranial yang meningkat ini adalah EDH spontan akut terjadi karena terapi antikoagulan, fibrinolitik dan antiplatelet yang mempunyai waktu paruh 12–17 jam maka reaksi obat tersebut masih menimbulkan efek sehingga terjadi perdarahan EDH spontan kembali pada daerah yang sama dan minimal intracerebral hemmorrhage. Banyak laporan kasus menyatakan bahwa adanya komplikasi perdarahan spontan berulang pada bedah saraf meningkat dengan adanya terapi antikoagulan misalnya rivaroxaban.8 Terapi antikoagulan oral tunggal saja bisa menyebabkan perdarahan spontan, dan resiko perdarahan meningkat bila dikombinasi dengan antiplatelet oral walaupun dalam dosis yang lebih kecil. Rivaroxaban lebih sensitif terhadap perubahan pemanjangan masa protrombin (PT) dibanding dabigartan dan tidak mmpunyai efek pemanjangan waktu trombin.9 Pemberian kombinasi terapi rivaroxaban yang merupakan inhibitor faktor Xa bersama dengan clopidogel akan meningkatkan resiko perdarahan pada orang yang sehat tanpa menganggu farmakokinetik dan farmakodinamik masing-masing obat tersebut.10 Pada intraoperatif dan postoperatif redo craniotomi diberikan cofact 1000 IU untuk mencegah terjadinya perdarahan

100

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

kembali. Cofact yang merupakan prothrombin complex mempunyai efek menurunkan nilai INR.11 Pasien juga ditransfusi fresh frozen plasma dan Cryopresipitate untuk mengatasi gangguan koagulasi darah. Direkomendasikan pada Guideline Blood Transfusion untuk mengatasi perdarahan yang mengancam jiwa untuk memberikan (prothrombin Complex/PCC) 50–100% faktor prothrombin complex dengan 1–2 ml/ kg BB. Tujuan terapi di ICU untuk pasien dengan serebral akut adalah untuk memberikan kondisi yang baik bagi pemulihan otak primer seraya mencegah setiap kerusakan otak sekunder yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial, hipotensi atau hipertensi, hipoksemia dan hiperkarbia. 6,12 Pascaoperasi pasien dirawat di ICU dengan bantuan ventilator, posisi head up 300 dan sedasi adekuat untuk menjamin pasokan oksigen ke otak dan mencegah terjadinya agitasi yang bisa menyebabkan tekanan intrakranial semakin meningkat. Posisi kepala netral dan head up 15–300 dilakukan sebagai usaha untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan memperbaiki drainase vena serebral. Posisi ini dapat memicu terjadinya hipotensi yang akan dapat memperburuk perfusi yang sudah terganggu. Melakukan ventilasi kendali mencegah hipoksia dan mempertahankan keadaan normokapnea bertujuan untuk megendalikan sementara aliran darah otak sehingga dapat menurunkan TIK.

Sedasi adalah suatu bagian penting dari terapi pasien dengan gangguan serebral, terutama yang memerlukan ventilasi mekanis. Tujuan utama sedasi adalah untuk fasilitasi pengobatan intensif, terutama ventilasi mekanis; untuk kenyamanan pasien dan mencegah peningkatan tekanan intrakranial. Sedasi digunakan dexmedetomidine 6 cc/jam (0,3 mikro/kgBB/jam) yang mempunyai efek menurunkan aliran darah otak dengan vasokonstriksi otak dan menurunkan metabolisme otak.11,13 Dexmedetomidine merupakan suatu superselektif alpha2 adrenergik. Obat tersebut mempunyai efek sedatif dan analgesia, dan anesthesia sparing effect, menurunkan kebutuhan obat anestesi intravena, anestetika inhalasi dan narkotik analgetik. Dexmedetomidine dapat menurunkan tekanan darah dan denyut jantung. Efek sedasi tidak disertai dengan efek depresi nafas oleh karena itulah dexmedetomidine sangat berguna untuk sedasi analgesi pascabedah dan pasien dirawat di ICU. Setelah beberapa penelitian, dexmedetomidine telah disetujui di Amerika pada tahun 1999 dan telah digunakan untuk analgesia dan sedasi di ICU. Dexmedetomidine juga mempunyai efek proteksi otak.12 Efek neuroproteksi otak disebabkan karena menghambat iskemia yang diakibatkan pelepasan norepinefrin karena dexmedetomidine menurunkan level norepinefrin saat bangun dari anestesi. Dexmedetomidine mencegah kematian sel neuron setelah iskemia fokal dan daerah yang mengalami iskemik turun 40% dibandingkan

Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase

101

Target Kerja Berbagai Antikoagulan

dengan plasebo. Dexmedetomidine mempertinggi pembuangan glutamin melalui metabolisme oksidatif pada astrosit. Alpha 2 agonists menurunkan konsumsi oksigen perioperatif.19,20 Pada pasien ini analgetik diberikan fentanyl secara kontinyu 0,2 mikro/kgBB/jam dikombinasi dengan dexmedetomidine sehingga menghasilkan sedasi adekuat.11 Analisa gas darah pasien diperiksa secara berkala untuk mencegah terjadinya hipoksemia dan hiperkarbia.13 Pasien ditransfusi dengan PRC dan WB sampai mencapai Hb sekitar 10 gr/dL. Hemoglobin dipertahankan sekitar 10 g/dL untuk menjamin hematokrit minimal 35% oleh karena hematokrit mempengaruhi aliran darah otak secara nyata. Nilai hematokrit 35%–50% akan menjamin pasokan oksigen. Pada nilai yang lebih tinggi akan menaikkan kapasitas oksigen dengan kenaikan kekentalan darah dan menurunkan aliran darah ke otak. Pada hematokrit di bawah 35% akan menurunkan kapasitas pengangkutan oksigen dan terjadi penurunan kekentalan darah

dan menaikkan aliran darah ke otak.14 Isovolemik atau hemodilusi hipervolemia (hematokrit 33%) menunjukkan aliran darah otak tanpa ada gangguan penghantaran oksigen.15 Pasien diberikan paracetamol 1 gr/8jam sebagai analgetik dan juga untuk menjaga suhu normal. Suhu juga dipertahankan tetap normal bahkan lebih baik di bawah normal. Penurunan temperatur tubuh akan memperlambat metabolisme serebral. Hal ini berarti menurunkan aliran darah otak.14 Sejak pascaoperasi (H–0) pada pasien ini diberikan juga semax nasal drops 6 gtt/4 jam sebagai neuroprotektif. Semax (H-Met-Glu-His-PhePro-Gly-Pro-OH) adalah sintetis analog dari adrenocorticotropic hormone 4-10 fragmen (ACTH4-10). Salah satu komponen penting dalam cedera kepala adalah kematian sel saraf akibat apoptosis. Peranan semax sebagai ACTH 4–10Pro8Gly9Pro10 merupakan salah satu neuroprotektor diketahui menghambat jalur apoptosis. Semax tersebut mempunyai efek neuroprotectif dan nootropic sehingga banyak dipakai di klinis untuk terapi penyakit-

102

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

penyakit sistem syaraf pusat (stroke iskemik, dyscirculatory encephalopathy, atrophi nervus opticus dan lain-lain). Banyak penelitian yang menyatakan keberhasilan dari pemberian semax ini.16 Setelah 12 jam pasca operasi redo craniotomi oleh sejawat internist hematologi diberikan terapi heparin dengan dosis kecil 500 IU per hari diberikan secara kontinyu untuk penanganan DVT dengan monitoring ketat agar tidak terjadi komplikasi perdarahan pascaoperasi.18 Setelah faktor-faktor yang mengancam telah teratasi dengan baik maka segera dilakukan penyapihan dari ventilator. Pada pasien ini faktorfaktor tersebut adanya ancaman perdarahan kembali karena terganggunya koagulasi darah. Pasien dilakukan proses penyapihan pada hari H-1 post operasi redo craniotomi dan diekstubasi pada H-II pagi hari setelah pasien sadar baik. Namun pasien mendapatkan sequele hemiparese sinistra akibat perdarahan intraserebral minimal dan bersifat sementara, dan kembali berangsur pulih dengan resorbsi perdarahan intraserebral dan fisioterapi rutin juga relatif tidak didapatkan gangguan kognitif yang dinilai secara GOS, GOSE, dan MMSE pada bulan ke-5 pasca pembedahan. IV. Simpulan Penatalaksanaan pasien dengan perdarahan intrakranial spontan akibat komplikasi terapi antikoagulan rivaroxaban, lumbrokinase dan antiplatelet clopidogrel meliputi preoperasi, intraoperasi dan pascaoperasi. Preoperasi dengan penanganan resusitasi segera akan mendapatkan outcome yang baik. Penanganan di ICU juga dengan pendekatan multidisiplin ilmu. Good team, good work. Daftar Pustaka 1. Mark l, Gary R. Hemmorrhagic complications of anticoagulant treatment. CHEST 2001,119:1088. 2. Athanios P, Stamatis M. Gastrointestinal bleeding in patients receiving antiplatelet and anticoagulant therapy. Hellenic J. Cardiology 2014,55:499.

3. Arne L, Waltrand P. Intracerebral hemorrhage associated with antithrombotic treatment. Lancet Neurology 2013 April, 12(4):394. 4. Rajput D, Kamboj R. Is management of spontaneus intracranial extradural hematoma in chronic renal failure is different with traumatic extradural hematoma. Indian Journal Neurotrauma 2010,7 (1):81–4. 5. Robert G, Bradley S. Oral anticoagulant and intracranial hemorrhages. Stroke AHA Journal 1995;26:1471 6. Stutz H, Charchaflieh J. Postoperative and intensive care including head injury and multisystem sequelae. Dalam: Cotrell J, Young W, eds. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, 410–12. 7. Murthy T, Bhatia P. Secondary brain injury prevention and intensive care management. Indian Journal of Neurotrauma; 2005,2 (1),7–12. 8. Garber S, Sivakumar W. Neurosurgical complications of direct thrombin inhibitor catastrophic hemmorrhage after mild traumatic brain injury in a patient receiving dabigatran. J. Neurosurgery 2012, 1–4 9. Kaatz, Kaudes PA, Garca DA, Spyropolous AC, Crowther M, Doukteis JD, et al. Guidance of the emergent reversal of oral thrombin and factor Xa inhibitors. Am J Hematology 2012; 87: S 141–2145 10. Dagmar K, Michael B. Effect coadministration of rivaroxaban and clopidogrel on bleeding time, pharmacodynamics and pharmacokinetics, a phase 1 study, Pharmaceuticals 2012, 5, 279–96 11. Roodhevel F, Ligtenberg. INR reduction after prothrombin complex concentrate (Cofact) administration comparison of INR outcomes in different patient categories at the emergency department. Internasional Journal

Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase

of Emergency Medicine 2013, 6:14,1–4. 12. Bisri T. Penanganan Neuroanestesia dan Critical Care: Cedera Otak Traumatik. edisi 1, Bandung: Fakultas Kedokteran Unversitas Padjadjaran; 2012, 242–53. 13. Layon J, Gabrielli A. Elevated intracranial pressure. Dalam: Textbook of Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders; 2004, 715–19. 14. Petrozza P, Prough D. Postoperative and intensive care. Dalam: Cotrell JE, Smith D, eds. Anesthesia and Neurosurgery. Philadelphia: Mosby; 2001, 624–41. 15. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi, edisi 2, Bandung: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unpad; 2011, 8-9. 16. Kolomin T, Shadrina M. A new generation of drugs syntetic peptides based on naturally regulatory peptides. Neuroscience and Medicine Journal 2013;4: 223–52.

103

17. Lam A, Winn H. Management of acute head injury. Dalam: Albin M, eds Textbook of Neuroanesthesia with Neurosurgical and Neuroscience Perspectives, USA: McGraw Hill;1997, 1138–40. 18. Scales D, Cambrin J. Prophylactic anticoagulati on to prevent venous thromboembolism in traumatic intracranial hemmorrhage, a decision analysis. Biomed Central: Critical Care 2010, 2–10 19. Bloor BC, Ward DS, Belleville JP, Maze M. Effect of intravenous dexmedetomidine in humans, hemodynamics changes. Anesthesiology 1992; 77: 1134–42 20. Villela NR, Nascimento P. Dexmedetomidine in anesthesioloy. Rev Bras Anesthesiology 2003;53(1):97–113

Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive Neurosurgery: Kasus Perdarahan Intraserebral Traumatika Buyung Hartiyo Laksono*), I Putu Pramana Suarjaya**), Sri Rahardjo***), Tatang Bisri****) *)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya – RSUD. Dr Saiful Anwar Malang, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – RSUP. Sanglah Denpasar, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada – RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta, ****)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran – RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung Abstrak Traumatic brain injury (TBI) menyumbang 70% kematian akibat trauma. Penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu lintas 49%. Tehnik minimal invasif cukup berkembang pada beberapa dekade ini, demikian juga pada bidang bedah saraf. Tujuan utama tatalaksana anestesia adalah immobilisasi intraoperatif, stabilitas kardiovaskuler, minimal komplikasi pascaoperasi, fasilitasi intraoperatif neurologi monitoring, kolaborasi tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan rapid emergence untuk pemeriksaan neurologis dini. Kasus laki-laki 50 tahun dengan perdarahan intraserebral (ICH) direncanakan operasi minimal invasive neuroendoscopy evakuasi hematom. Posisi selama operasi adalah true lateral yang juga menjadi perhatian tersendiri. Komplikasi akibat posisi harus dihindari karena rentan mempengaruhi luaran operasi. Operasi berjalan selama 3 jam dengan luaran optimal. Beberapa masalah penting menjadi perhatian khusus selama operasi dan pascaoperasi. Prinsip tatalaksana anestesi pada minimal invasif yang harus dicapai adalah pemeriksaan dan perencanaan preoperatif yang baik, kontrol hemodinamik serebral untuk menjamin tekanan perfusi otak (cerebral perfusion presure/CPP) optimal, immobilisasi penuh, dan dapat dilakukan rapid emergence untuk menilai status neurologis. Komunikasi antara operator dan ahli anestesi penting untuk keberhasilan kasus ini. Kata kunci: perdarahan intraserebral traumatik, minimal invasif neurosurgery, posisi true lateral JNI 2016;5(2): 104–12

Anesthesia Management in Minimally Invasive Neurosurgery Procedure: Traumatic Intracerebral Hemorrhage Case Abstract Traumatic brain injury (TBI) accounted for 70% of deaths from trauma. The most common causes of traffic accidents is 49%. Minimally invasive techniques sufficiently developed in the past few decades, as well as in the field of neurosurgery. The main objective is the treatment of immobilization intraoperative anesthesia, cardiovascular stability, minimal postoperative complications, facilitating intraoperative neurological monitoring, collaborative management of an increase in intracranial pressure (ICP) and the rapid emergence of early neurological examination. The case of a man 50 years with intracerebral hemorrhage (ICH) minimally invasive surgery neuroendoscopy planned evacuation of hematoma. Position during operation is true lateral is also a concern in itself. Complications due to the position should be avoided because it is vulnerable affect the outcome of the operation. Operations run for 3 hours with optimal outcomes. Some important issue is of particular concern during surgery and postoperatively. Procedural principle in minimally invasive anesthesia to be achieved is the examination and good preoperative planning, cerebral hemodynamic control to ensure optimal cerebral perfussion pressure (CPP), full immobilization, and can do rapid emergence to assess the neurological status. Communication between the operator and the anesthetist is important to the success of this case. Keywords: traumatic intracerebral hemorrhage, minimally invasive neurosurgery, true lateral position. JNI 2016;5(2): 104–12

104

Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive Neurosurgery: Kasus Perdarahan Intraserebral Traumatika

I. Pendahuluan Trauma merupakan penyebab kematian terbesar pada individu dengan usia dibawah 45 tahun di negara kawasan Eropa. Cedera otak traumatik atau traumatic brain injury (TBI) menyumbang 70% kematian akibat trauma dan kecacatan pada korban yang selamat. Penyebab komplikasi utama dari TBI adalah terbentuknya hematoma intrakranial. Frekuensi terjadinya hematoma intrakranial sebesar 25–45% pada cedera otak berat, 3–12% pada cedera otak sedang dan pada kasus cedera otak ringan sebesar 1 dari 500 pasien.1 Di Amerika, TBI merupakan penyebab kematian terbanyak usia 15–44 tahun dan merupakan penyebab kematian ketiga untuk keseluruhan kasus. Di negara berkembang seperti Indonesia, TBI berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. Distribusi kasus TBI terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15 sampai 44 tahun, dengan usia rata–rata sekitar 30 tahun, dan lebih didominasi oleh kaum laki–laki dibandingkan kaum perempuan. Adapun penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu lintas (49%) dan kemudian disusul dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak – anak).2 Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tengkorak, durameter, vaskuler otak, sampai jaringan otak. Baik berupa luka tertutup, maupun trauma tembus. Dengan pemahaman landasan biomekanisme-patofisiologi terperinci dari masing-masing proses di atas, didukung dengan prosedur penanganan cepat dan akurat, maka angka morbiditas dan mortalitas diharapkan dapat ditekan. Hal ini disebabkan karena semakin bertambahnya pemahahaman tentang patofisiologi terjadinya cedera kepala sekunder setelah cedera kepala primer, juga berkembangnya tehnik dan tatalaksana perawatan pada pasien kritis.3 Tehnik minimal invasif cukup berkembang pada beberapa dekade ini, demikian juga pada bidang bedah saraf. Selain digunakan sebagai prosedur

105

diagnosis, berkembang juga sebagai prosedur terapi definitif. Tehnik tersebut mempunyai beberapa perhatian khusus yang harus diketahui oleh seorang ahli anestesi. Minimal invasif mempunyai tujuan meningkatkan patient safety, menurunkan lama rawat inap, menurunkan komplikasi invasif dan morbiditas pascaoperasi. Penggunaan pada pasien trauma masih terbatas dan literatur yang menjelaskan tehnik tersebut juga belum banyak. Tantangan terhadap ahli anestesi untuk dapat menyesuaikan dengan perkembangan tehnik minimal invasif.4 Pada makalah ini akan kami bahas tentang tatalaksana anestesi pada kasus trauma yang dilakukan tindakan minimal invasif. Frekuensi penggunaan tehnik ini pada kasus trauma jarang sekali dan pada kondisi tertentu, lebih banyak digunakan pada operasi bedah saraf elektif non trauma. Beberapa permasalahan akan menjadi bahan diskusi pada makalah ini dengan harapan pengelolaan pasien cedera kepala yang dilakukan tehnik minimal invasif lebih baik. II. Kasus Anamnesa Laki-laki 50 tahun dengan berat badan 60 kg. Pasien datang dengan keluhan sakit di kepala dan bahu. Riwayat kecelakaan 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien pengendara sepeda motor, menghindari pejalan kaki, jatuh sendiri, kepala pasien terbentur trotoar, riwayat pasien pingsan dan muntah 1 kali. Pasien masih ingat kejadian. Oleh penolong dibawa ke RSUD Kepanjen, dilakukan pertolongan pertama di unit gawat darurat (UGD) dan dilakukan pemeriksaan CT Scan. Nilai GCS dari rujukan tertulis 4–5–6. Keluhan nyeri kepala terus memberat dan pasien sering mengantuk. Dari hasil pemeriksaan didapatkan gambaran perdarahan intraserebral (ICH), kemudian pasien di rujuk ke RS Saiful Anwar Malang dengan alasan fasilitas lebih lengkap. Riwayat penyakit yang lain sebelumnya disangkal. Pemeriksaan Fisik Dari pemeriksaan fisik didapatkan jalan nafas dalam kondisi bebas. Pernafasan spontan dengan laju nafas 14 x/menit, tidak didapatkan suara nafas

106

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

tambahan, gerak dada simetris, tidak ada tandatanda pneumothoraks. Jejas pada daerah bahu kanan, dengan nyeri tekan dan kemerahan pada kulit. Sirkulasi hangat, kering, merah. capilarry refill test (CRT) <2 detik. Laju nadi: 70x/menit. Tekanan darah 130/80 mmHg dengan mean arterial pressure (MAP) 96 mmHg. Auskultasi suara jantung S12 single, murmur (–), gallop (–). Pemeriksaan neurologis derajat kesadaran GCS 3–5–6 pupil bulat isokor, refleks cahaya +/+ normal, sensorik dan motorik dalam batas normal. Jejas lecet pada bahu kanan, jejas di tempat lain tidak didapatkan. Nyeri tekan tidak didapatkan. Terpasang kateter urin produksi 1cc/kgbb/ jam jernih. Temperatur aksila terpantau 37 0C. Status Preoperatif Pasien didiagnosa status fisik ASA 3 dengan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) hari ke 2 karena perdarahan intraserebral (ICH) regio temporooccipital sinistra dan fraktur tertutup calvicula 1/3 lateral dextra. Pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan endoscopic neurosurgery evakuasi ICH dan platting clavicula. Persiapan preoperatif pasien dipuasakan dan premedikasi dengan pemberian ranitidin dan ondancentron sebelum pembedahan. Pengelolaan Anestesi Pasien masuk kedalam kamar operasi pukul 08.00. Pasien dilakukan induksi dengan prinsip proteksi otak melalui kombinasi pemberian midazolam

2,5 mg, fentanyl 100 µg titrasi, lidokain 80 mg, propofol 100 mg titrasi, rocuronium 60 mg, satu menit sebelum tindakan intubasi diberikan tambahan propofol 30 mg. Preoksigenasi selama 5 menit sebelum intubasi. Intubasi sleep apneu dilakukan menggunakan laryngoscope macintosh dengan pipa endotrakhea (endotracheal tube/ ETT) non kinking nomor 7.5, kedalaman ETT 20 cm pada tepi bibir. Dilakukan fiksasi yang baik. Monitor diposisikan stat selama induksi. Anestesi pemeliharaan diberikan sevoflurane dengan aliran oksigen dan N2O (3:1) kombinasi syringe kontinyu propofol (2–10mg/KgBB/jam), ditambahkan suplemen fentanyl intermitten dan vecuronium kontinyu 0,06 mg/KgBB/jam. Setelah intubasi dilakukan pemasangan tambahan jalur intravena. Ventilasi kontrol dengan mesin anestesi monitoring EtCO2 target PaCO2 normocapnea dengan konfirmasi analisa gas darah. Setelah dilakukan penilaian hemodinamik telah stabil, maka dipersiapkan pasien diposisikan miring kiri atas (true lateral). Pada posisi miring diberikan pading axillary roll pada ketiak, dan beberapa titik tumpu lainnya. Posisi kepala difiksasi dengan bantal donut yang sesuai. Pada sela kaki kanan dan kiri diberi bantal. Dipastikan tidak terjadi bendungan vena jugularis, perfusi perifer ekstremitas dan pengembangan pernafasan baik. Monitoring selama operasi dilakukan evaluasi terhadap tekanan darah sistolik, diastolik, arteri rerata, laju nadi, end tidal CO2, saturasi oksigen,

Pemeriksaan penunjang laboratoium:

Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit Natrium Kalium Clorida Ureum Kreatinin SGOT SGPT

Keterangan 9,9 g/dl 30,3% 12,91/mm3 322,000/mm3 136 mEq/L 4,08 mEq/L 100 mEq/L 35,4 mg/dl 0,70 mg/dl 21 u/L 19 u/L

Pemeriksaan PT APTT INR Albumin GDS

Keterangan 10,3 (9,3–11,4) detik 31,1(24,8–4,4) detik 0,99 3,82 u/L 113 u/L

Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive Neurosurgery: Kasus Perdarahan Intraserebral Traumatika

gelombang EKG, temperatur aksila pemasangan stetoskop prekordial, produksi urine melalui kateter urine dan balans cairan. Dilakukan join operasi antara sejawat bedah saraf dan bedah orthopedi. Operasi berjalan pararel dengan bedah saraf dimainkan terlebih dahulu. Dilakukan minimal invasive endoscopic evakuasi dari ICH. Boor hole dilakukan tepat diatas lokasi ICH, yang kemudian diperlebar dan diperdalam sesuai ukuran alat scope 6 mm untuk mencapai lokasi ICH. Dilakukan evakuasi hematoma dan rawat perdarahan dengan bantuan kamera video. Secara langsung dipastikan lokasi sudah bersih dari perdarahan kemudian ditutup. Irigasi memakai normal salin dengan ketinggian level irigasi kurang dari 1 meter. Setiap tahap operasi dilihat dan dikomunikasikan bersama. Foto thoraks: Cor dan pulmo dalam normal, tidak tampak pneumo ataupun hemato thorak, fraktur clavicula 1/3 lateral dextra.

107

Dilanjutkan operasi platting clavicula oleh bedah orthopedi dengan merubah posisi pasien kembali supine. Sebelum posisi dipastikan keamanan dan stabilitas jalan nafas, pernafasan dan hemodinamik. Operasi berjalan total 2 jam untuk minimal invasive evakuasi ICH dan 1 jam untuk platting clavicula. Perdarahan total 200 cc. Selama operasi tekanan darah relatif stabil dengan sistolik antara 100-130 mmHg dan diastolik 62– 90 mmHg. Frekuensi nadi antara 55–70 x/menit. Temperatur terjaga rentang 36–35 0C. Cairan masuk sebanyak ± 1700cc terdiri dari NaCl 0,9% 1000cc, ringerfundin 500cc dan mannitol 200cc. Cairan keluar dari perdarahan sebanyak 200cc dan urin 1500 cc. Pascaoperasi Pascaoperasi dilakukan evaluasi ulang perdarahan, adekuat pada pernafasan dan kondisi hemodinamik. Setelah evaluasi dalam batas normal maka dilakukan rapid emergence pada pasien setelah pemberian reversal. Evaluasi GCS pascaoperasi kembali ke GCS awal sebelum operasi. Pasien dirawat di ICU. Perawatan dan observasi pascaoperasi di ICU selama 1 hari, kondisi stabil dan CT Scan kontrol tidak didapatkan perdarahan ulang. Tanda-tanda komplikasi dini juga tidak didapatkan. Pasien pindah ke ruangan dengan GCS 4–5–6 tanpa defisit neurologis. III. Pembahasan

Gambar 1. Rӧ Thorak pasien.

Cedera otak traumatik (Traumatic brain injury/ TBI) merupakan salah satu kondisi yang

Foto cervical: Tidak tampak fraktur atau deviasi jalan nafas

Gambar 2. CT Scan sebelum Dirujuk.

Gambar 3. CT Scan Evaluasi setelah masuk Rumah Sakit.

108

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Gambar 4. Posisi Pasien selama Operasi

Grafik 1. Profil Tanda Vital dan Monitoring selama Operasi

lesi intrakranial dengan cedera fokal berupa intraserebral hemorrhage (ICH).

Gambar 5. Visualisasi scope pada monitor

mengancam jiwa yang serius pada korban kecelakaan, dan merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian pada dewasa dan anakanak. Diperkirakan 1,5 juta orang mengalami TBI setiap tahunnya di USA dan 50.000 diantaranya meninggal. TBI memberikan akibat yang besar bagi kehidupan individual dan keluarganya termasuk biaya rumah sakit, rehabilitasi sosial serta perawatan jangka panjang. Penanganan yang tepat dan tepat diperlukan untuk mencapai keluaran yang baik.5 TBI diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder. Cedera otak primer adalah ireversibel, yang terjadi pada saat benturan, aselerasi-deselerasi dan menimbulkan kerusakan pada struktur otak. Setelah kejadian cedera primer, cedera sekunder muncul karena hipoksia, hiperkapnea, hipotensi, gangguan biokimiawi dan hipertensi intrakranial, dimana semuanya akan menyebabkan iskemik serebral.6 Untuk itu diperlukan pengelolaan yang cepat dan tepat sehingga hasil yang tercapai luaran optimal. Pada kasus ini, pasien mengalami cedera otak primer yang terjadi akibat benturan langsung pada kepalanya saat jatuh terbentur trotoar jalan. Akibat mekanisme diatas maka terjadi

ICH pascatraumatik merupakan kumpulan darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan terhadap pembuluh darah intraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penestrasi. Ukuran bisa bervariasi, mengacu perdarahan >5cc dalam substansi otak, bila lebih kecil berupa punctate atau bercak.7 Dari hasil CT Scan pasien didapatkan ICH didaerah temporooccipital Sinistra dari literatur dijelaskan bahwa hematoma intraserebral biasanya 80–90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia basalis, dan sering disertai lesi neuronal lain seperti fraktur kalvaria. Klinis penderita tidak khas dan sering (30–50%) tetap sadar. Manifestasi klinis pada puncaknya 2–4 hari pascatrauma.6,7,8 Lama perawatan preoperatif pasien sudah berjalan 2 hari, sehingga manifestasi klinis dapat terdeteksi untuk dilakukan tindakan. Pada saat sebelum dirujuk hasil CT Scan terbaca volume perdarahan 42 cc, kemudian evaluasi 1 hari ditempat rujukan CT Scan menunjukkan peningkatan volume menjadi 58,75 cc dan midline shift bertambah. Keluhan sakit kepala bertambah dan GCS turun 3–5–6 dari 4–5–6. Dari pertimbangan tersebut pasien direncanakan dilakukan tindakan evakuasi. Hal ini juga dijelaskan dalam literatur bahwa indikasi pembedahan adalah perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan efek massa atau perdarahan cerebellar lebih dari 15 cc dengan efek massa.6-8 Operator memutuskan tindakan

Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive Neurosurgery: Kasus Perdarahan Intraserebral Traumatika

evakuasi dengan tehnik minimal invasif, hal ini yang harus menjadi perhatian khusus bagi seorang ahli anestesi. Pembedahan kasus neurologi secara endoskopik telah memiliki sejarah yang panjang hingga melewati satu abad. Pada periode tersebut, berbagai prosedur neuroendoskopik telah ditemukan, namun meskipun terus dilakukan pengembangan tehnik endoskopik baik dalam hal fungsi dan indikasinya, illuminasi dan magnifikasi yang rendah membuat neuroendoskopi tetap sulit dan tidak mungkin dikerjakan dalam praktek rutin hingga akhir tahun 1980. Akan tetapi, setelah ditemukannya teknologi lensa, elektronik dan fiber optik yang baru, dimana menghasilkan endoskopi generasi baru yang mempunyai illuminasi dan resolusi yang lebih jelas, neuroendoskopi mengalami kemajuan menjadi terapi rutin dalam bidang bedah saraf.9 Pada awalnya, neuroendoskopi hanya dikerjakan pada endoscopic third ventriculostomy (ETV) untuk terapi hidrocephalus obstruktif dan masih merupakan prosedur neuroendoskopik terbanyak. Saat ini penggunaan neuroendoskopi meningkat untuk semua tipe penyakit yang diterapi secara bedah saaraf, baik sebagai pendekatan bedah primer atau sebagai tambahan misalnya prosedurprosedur endoskopik yang sering digunakan di departemen bedah saraf. Perkembangan tehnologi lebih lanjut, misalnya tehnologi robotik, endoskopik yang terkendali dan penemuan tehnik bedah saraf baru, diharapkan untuk meningkatkan penggunaan tehnik tersebut di kemudian hari.1,9 Implementasi tehnik bedah baru tersebut akan memperbaiki pilihan terapi, yang umumnya disebut sebagai bedah invasif minimal. Oleh karena tehnik endoskopi dalam intervensi intrakranial hanya menyebabkan kerusakan minimal pada jaringan otak yang sehat, tehnik tersebut mempunyai keuntungan besar. Selain itu, beberapa intervensi mempunyai hasil yang lebih baik bila dikerjakan dengan tehnik endoskopi. Akan tetapi, beberapa dari intervensi tersebut, manipulasi bedah secara langsung pada struktur cerebral dengan tehnik endoskopi mempunyai resiko karena dapat mengganggu tekanan intrakranial, perfusi cerebral dan oksigenasi secara bermakna. Gangguan pada

109

homeostasis cerebral tersebut dapat beresiko menyebabkan kerusakan otak irreversibel dan gangguan hemodinamik berat yang bila tidak diatasi dengan baik akan menyebabkan tehnik bedah tersebut tidak lagi seperti minimal invasif yang diharapkan. Pemahaman tentang perubahan fisiologis yang disebabkan oleh prosedur tersebut berperan penting dalam penanganan pasien yang optimal.9,10 Neuroendoskopi berhasil digunakan untuk ventriculostomy, biopsi atau reseksi tumor, penestrasi atau evakuasi kista, evakuasi perdarahan intraventrikel dan koagulasi plexus. Tehnik tersebut sangat bermanfaat pada terapi hidrocephalus non communican dengan cara ventriculostomy.1,9,10 Untuk kasus-kasus trauma masih jarang kecuali ada pertimbangan khusus. Literatur pada penggunaan kasus trauma juga minimal. Kemungkinan pada kasus ini operator juga ragu apakah ICH yang terjadi murni akibat primer trauma atau spontan karena kelainan pada pembuluh darah otak contohnya AVM pecah. Idealnya adalah dilakukan CT angiografi sebelum penentuan tehnik operasi. Tujuan utama tatalaksana anestesia adalah immobilisasi intraoperatif, stabilitas kardiovaskuler, minimal komplikasi pascaoperasi, fasilitasi intraoperatif neurologi monitoring, kolaborasi tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan rapid emergence untuk pemeriksaan neurologis dini. Peningkatan tekanan intrakranial harus dideteksi dan diterapi sedini mungkin. Monitoring dan komunikasi yang baik merupakan hal yang penting.1,9,10 Target ini yang harus dicapai oleh ahli anestesi agar luaran operasi optimal. Tatalaksana pada kasus ini dicapai dengan adekuat anestesi dan pemberian pelumpuh otot kontinyu. Selama operasi hemodinamik dijaga stabil dan pemberian obat-obatan secara titrasi. Peningkatan TIK dikelola sejak awal dengan pemilihan obat-obatan yang mempunyai sifat proteksi otak, mannitol dan posisi kepala head up 300. Target tatalaksana dikombinasikan dengan tatalaksana anestesi pada pasien trauma kepala yaitu meningkatkan perfusi serebral dan oksigenasi, mencegah kerusakan otak sekunder dan memberikan kondisi optimal selama operasi.5 Hipnotik intravena dan inhalasi rutin digunakan dalam bedah saraf. Pada kasus

110

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Gambar 6. Posisi True Lateral dengan Ganjalan Bantal

Gambar 7. Posisi True Lateral dengan Pemasangan Axillary Roll

Dikutip dari: Schubert A.12

Dikutip dari: Schubert A.12

ini digunakan kombinasi penggunaan inhalasi dan intravena. Pertimbangan biaya juga menjadi perhatian karena batasan cakupan klaim. N2O sebaiknya tidak digunakan untuk menghindari peningkatan tekanan intrakranial karena resiko emboli udara vena (venous air embolism/VAE) dan resiko difusi gelembung udara ventrikel. Hiperventilasi ringan dapat dilakukan untuk menurunkan volume intrakranial.9

menimbulkan kondisi imbalance elektrolit yaitu hiperkalemia. Anandh dkk dalam penelitiannya pada 20 pasien terjadi peningkatan kalium serum 0.82±0.55 mmol/L.10 Pada prosedur kasus ini digunakan normal salin sehingga kejadian post operatif hiperkalemia tidak terjadi. Tetapi dari litertur penggunaan normal salin mempunyai efek merusak komposisi liquor serebrospinal pada penggunaan lama. Tinggi cairan yang menggunakan passive gravity diusahakan kurang dari 1 meter seperti pada operasi ini, karena penelitian menunjukkan diatas 1 meter dapat menyebabkan kenaikan TIK.9

Pemberian mannitol juga mempunyai tujuan yang sama. Tatalaksana kasus ini diberikan mannitol untuk menurunkan volume intrakranial. Oleh karena rapid emergence merupakan salah satu tujuan utama, direkomendasikan penggunaan remifentanyl selama prosedur yang dikombinasi dengan hipnotik intravena atau inhalasi. Permasalahan di Indonesia preparat remifentanyl masih terbatas. Fentanyl kontinyu menjadi pilihan. Perhatian pada termoregulasi harus selalu dilakukan terutama pada pasien anakanak yang beresiko mengalami hipotermi selama neuroendoskopi karena besarnya pertukaran cairan irigasi dengan cairan cerebrospinal ventrikel dan karena lokasi operasi yang basah. Sehingga pemantauan temperatur kotinyu ideal untuk dilakukan. Karena keterbatasan probe temperatur core maka kami lakukan pemantauan temperatur perifer kontinyu aksila. Selain termoregulasi, yang berhubungan dengan irigasi adalah jenis cairan yang digunakan. Ahli anestesi harus tahu jenis cairan yang digunakan. Penggunaan ringer lactat (RL)

Monitoring TIK selama tindakan dari literatur dianjurkan kontinyu, baik memakai insersi kateter atau ultrasonografi. Jika tidak ada maka hemodinamik beat to beat bisa digunakan sebagai alternatif. Perhatian khusus lain adalah terjadi masif bradikardi sampai henti jantung akibat manipulasi yang merangsang posterior hipothalamus. Kejadian ini terutama endoskopi pada kasus ventriculostomi. Pada evakuasi hematoma seperti kasus ini perhatian khusus lebih kepada terjadinya perdarahan pada vassa intraserebral, sehingga pandangan operator terganggu. Regulasi tensi dan komunikasi antara operator dan ahli anestesi penting. Persiapan emergency open craniotomy tetap harus diantisipasi jika minimal invasif gagal.5,9,10 Defisit neurologis sementara, contohnya pada pasien yang terlambat bangun, kebingungan, kehilangan ingatan, disfungsi papil sementara, atau hemiplegia

Tatalaksana Anestesi pada Prosedur Minimal Invasive Neurosurgery: Kasus Perdarahan Intraserebral Traumatika

sementara, merupakan komplikasi post operatif yang paling sering terjadi (8–38%). Meta analisis luas pada 2985 kasus ETV, Bouras dan Sqouros melaporkan bahwa pada periode postoperatif awal, infeksi CNS (meningitis, ventrikulitis) ditemukan pada 1,81%. Pada 2 kasus, infeksi cairan cerebrospinalis berlanjut menjadi sepsis. Kebocoran cairan cerebrospinalis ditemukan pada 1,61% kasus. Komplikasi perdarahan postoperatif ditemukan pada 0,81% pasien yang meliputi subdural hematoma, perdarahan intraventrikuler, hematoma intracerebral dan hematoma epidural. Higroma subdural ditemukan pada 0,27% pasien.9 Dari pertimbangan tersebut maka pasien kami observasi di ruangan intensif setelah tindakan. Pantauan pascaoperasi tidak didapatkan tanda-tanda komplikasi diatas. Posisi operasi menggunakan posisi true lateral karena area operasi pada satu sisi temporal. Kerugian posisi ini adalah kemungkinan terjadi kelumpuhan saraf popliteal akibat bantalan yang kurang adekuat pada daerah fibula. Selain itu penggunaan axillary roll harus tepat agar dapat melindungi struktur saraf dan vaskuler pada bagian axillar. Axillary roll sebaiknya tidak diletakkan terlalu dalam pada axillar karena posisi yang tepat dapat sedikit mengangkat toraks dan dekompresi pada ipsilateral aksila. Pada posisi lateral, lengan seringkali diposisikan pada double armboard, papan atau bantalan yang terbuat dari logam yang dikaitkan pada meja pembedahan setelah memposisikan pasien. Kelumpuhan saraf radialis bisa terjadi karena penempatan posisi pasien yang kurang tepat dan terjadi penekanan nervus radialis yang terus menerus akibat tekanan bagian tepi armboard. Pada sistem kardiovascular posisi tersebut mempengaruhi penurunan volume ventilasi pada dependent lung jika pasien teranestesi. Curah jantung tidak berubah selama tidak ada obstruksi. Setiap perpindahan posisi harus dimonitoring patensi jalan nafas, pernafasan dan hemodinamik.11,12 Posisi ini menjadi perhatian khusus pada operasi kasus ini, pemberian pading aksila dan bantal disesuaikan dengan ukuran badan pasien. Komplikasi akibat posisi harus dihindari karena rentan mempengaruhi luaran operasi.

111

IV. Simpulan Tehnik minimal invasif neuroendoskopi bukannya tanpa resiko, dari penyajian diatas maka beberapa permasalahan yang harus mendapat perhatian khusus oleh seorang ahli anestesi untuk mendapatkan keberhasilan operasi. Beberapa literatur mendukung tehnik tersebut lebih unggul dibandingkan konvensional, tapi hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu. Penggunaan dalam bidang trauma masih sedikit, baik laporan kasus tertulis ataupun studi literatur. Diperlukan komunikasi yang baik antara ahli bedah dan ahli anestesi. Pemilihan tehnik anestesi antara lokal dan general juga belum didapatkan data penelitian keunggulan masing-masing tehnik. Prinsip tatalaksana anestesi pada minimal invasif yang harus dicapai adalah pemeriksaan dan perencanaan preoperatif yang baik, kontrol hemodinamik serebral untuk menjamin CPP optimal, immobilisasi penuh, dan dapat dilakukan rapid emergence untuk menilai status neurologis. Daftar Pustaka 1. Taussky P, Widmer HR, Takala J, Fandino J. Outcome after acute traumatic subdural and epidural hematoma in Switzerland: a single center experience. SWISS MED WKLY 2008; 138(19-20): 281–5. 2. Povlishock JT, Bullock MR. Guidelines for management of severe traumatic brain injury. Journal of Neurotrauma. 2007; 24(1): 100–6. 3. Marik PE, Varon J, Trask T. Management of head trauma. CHEST. 2002; 122:699–711. 4. Schubert A, Deogaonkar A, Lotto M, Niezgoda J, Luciano M. Anesthesia for minimally invasive cranial and spinal surgery. J Neurosurg Anesthesiol. 2006; 18(1):47–59. 5. Gopinath SP, Robertson CS. Management of severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgey. Edisi 4. USA: Mosby;2001, 663–91. 6. Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative

112

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

management of traumatic brain injury. Int J Crit Illn Inj Sci 2011; 1(1):27–35.

Explicative Cases of Controversial Issues in Neurosurgery. INTECH Pub. 2012. 35–42.

7. Martiniuc C, Dorobat GH. Polytrauma with severe traumatic brain injury. Romanian Neurosurgery. 2010;17(1):108–13.

10. Fabregas N, Craen RA. Endoscopic and stereotactic neurosurgery. Current Opinion in Anaesthesiology. 2004;17:377–82.

8. Lovell MR, Echemendia RJ, Barth JT, Collins MU. Traumatic brain injury in sports: an international neuropsychological perspective reviews. The NSZ J Head Trauma Rehabil. 2005;20(1):110–3.

11. Patel SJ, Wen DY, Haines SJ. Posterior fossa: surgical consideration. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery, edisi-4, Missouri; Mosby, Inc; 2001, 319–33.

9. Kalmar AF, Dewaele F. Anaesthetic management of patients undergoing intraventricular neuro-endoscopic procedures. Dalam: Signorelli F, ed.

12. Schubert A. Positioning injuries in anesthesia: an update. Advances in Anesthesia. 2008; 26,:31–65.

Penanganan Perioperatif Pasien Pediatrik dengan Cedera Kepala Berat Radian Ahmad Halimi*), Nazaruddin Umar**), Margaritta Rehata ***), Siti Chasnak Saleh***) *) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RS Melinda-2 Bandung, **) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Suamtra Utara/RS Adam Malik Medan, ***) Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS. Dr. Soetomo Surabaya Abstrak Cedera otak traumatika (COT) merupakan penyebab kematian dan kecacatan terbesar di Amerika dan negara industri lainnya di dunia. Anak dari usia balita hingga remaja yang mengalami cedera otak berat biasanya akan dapat menghadapi kecacatan yang signifikan selama beberapa dekade. Seorang anak laki-laki berumur 3 tahun dengan diagnosa cedera kepala berat akibat perdarahan subdural di temporo occipital kiri dan fraktur terdepresi yang disebabkan karena jatuh dari ketinggian tiga meter, direncanakan dilakukan kraniektomi dekompresi karena terjadi penurunan kesadaran signifikan. Berbagai komplikasi dan permasalahan terjadi yakni perdarahan masif intraoperatif, edema otak kongestif disertai demam pascaoperasi di ruang perawatan intensif, hingga akhirnya pasien dapat pindah ke ruang perawatan biasa dan dilakukan rawat jalan. Penanganan COT berat memerlukan kemampuan seorang ahli anestesi dalam melakukan resusitasi otak dengan ABCDE neuroanestesi, kontrol terhadap hipertensi intrakranial, neuroproteksi dan neurorestorasi. Kata kunci: Cedera kepala berat, neuro resusitasi, komplikasi pascaoperasi JNI 2016;5(2): 113–18

Perioperative Treatment Pediatric Patients with Head Injuries Abstract Traumatic brain injury (TBI) is the largest cause of death and disability in the United States and other industrialized countries in the world. Young age patient who suffered severe TBI typically face significant disability for decades. A 3 years old boy with diagnosis of severe TBI as a result of subdural hemorrhage in the left temporo occipital and fracture depressed due to fall from a height of three meters, was planed to perform decompresive craniectomy because decreased conciouseness significantly.Various complications and problems occur, intraoperative masive bleeding, postoperative diffuse brain edema with persistent hyperthermia on the intensive care unit, until the patient can be moved to a regular ward and can be done outpatient. The management of severe head injury requires the ability of an anesthesiologist in performing brain resuscitation with ABCDE neuroanesthesia, control of intracranial hypertension and neurorestoration. Key words: Neuro resuscitation, postoperative complications, severe head injury.



JNI 2016;5(2): 113–18

113

114

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Cedera otak traumatika (COT) merupakan penyebab kematian dan kecacatan terbesar di Amerika dan negara industri lainnya di dunia. Insidensi kejadian COT secara keseluruhan di Amerika adalah 200 per 100.000 orang per tahunnya dan COT derajat berat adalah 20 per 100.000 orang per tahunnya. Anak dari usia balita hingga remaja yang mengalami cedera otak berat biasanya akan dapat menghadapi kecacatan yang signifikan selama beberapa dekade. Pada kenyataan yang terjadi, permasalahan sulit yang akan terjadi pada pasien-pasien dengan COT berat adalah gangguan fungsi perilaku, walaupun fungsi motorik dan koordinasi telah membaik, namun gangguan fungsi kognitif dan emosional dapat tetap menahun.1 Penyebab utama COT pada anak-anak dan remaja adalah akibat trauma tumpul. Kejadian kecelakaan akibat kendaraan bermotor, baik sebagai penumpang atau korban kecelakaan lalulintas merupakan penyebab tersering COT pada semua grup umur lebih dari satu tahun. Jatuh dari ketinggian merupakan salah satu mekanisme penyebab COT paling sering yang terjadi pada anak balita dan remaja, biasanya terjadi hampir pada seluruh grup usia pediatrik, namun insidensinya paling sering terjadi pada anak dengan interval usia 5 hingga 9 tahun. Sekitar 170 per 100.000 anak dirawat di rumah sakit karena COT dengan mekanisme trauma jatuh dari ketinggian.1 Pemahaman mengenai mekanisme kejadian COT dari tempat kejadian trauma hingga perawatan secara komprehensif di rumah sakit merupakan hal penting yang dapat menurunkan tingkat mortalitas dan morbiditas yang dapat diukur dengan menggunakan skala Glasgow Outcome Scale (GOSE).2 Tujuan laporan kasus ini adalah untuk membahas mengenai permasalahan dan komplikasi-komplikasi perioperatif yang terjadi pada pasien pediatrik dengan cedera kepala berat. II. Kasus Anamnesa Seorang anak usia 3 tahun mengalami trauma

kepala karena jatuh dari ketinggian 3 meter sejak 12 jam sebelum masuk ke rumah sakit, saat masuk ke rumah sakit pasien masih dalam kondisi sadar penuh namun terjadi penurunan kesadaran yang signifikan sehingga direncanakan untuk dilakukan tindakan operasi kraniotomi dekompresi. Berdasarkan anamnesis didapatkan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK) berupa muntah, nyeri kepala hebat dan penurunan kesadaran. Didapatkan pula riwayat kejang dan diberikan obat diazepam per rectal. Terdapat kelemahan pada anggota gerak badan sebelah kanan. Tiga puluh menit sebelum dilakukannya tindakan operasi terjadi penurunan kesadaran yang signifikan sehingga diputuskan untuk dilakukan tindakan operasi setelah dilakukannya resusitasi terlebih dahulu. Evaluasi Preoperatif Pemeriksaan fisik Tekanan darah: 130/70 mmHg, laju nadi; 113/ menit, laju nafas: 26x/menit, SpO2: 99% (dengan 3lt O2 melalui kanula binasal) and S: 37,8 oC, BB:13 kg. Status neurologis Kesadaran: GCS – E2M4V2, pupil isokor dengan reflex pupil yang positif. Didapatkan kondisi hemiparese pada tubuh bagian kiri. Pemeriksaan laboratorium Empat jam sebelum operasi: Hemoglobin 11,2, Hematokrit 31,6, Leukosit 26.500, Trombosit 295.000. Satu jam sebelum operasi Hemoglobin 9,2, Hematokrit 27, Leukosit 32300, Trombosit 201.000, Natrium, 138, Kalium 4,6, PT 15,0, INR 1,04, APTT 22,5. Pengelolaan Anestesi Induksi anestesia dilakukan dengan thiopental 3mg/kgBB, fentanil 3ug/kgBB, dan vecuronium 0,1 mg/kgBB. Rumatan anestesia dilakukan dengan total intravenous anesthesia (TIVA) dengan thiopental, fentanil dan vecuronium. Saat operasi terjadi perdarahan sebanyak 1,3 liter karena fraktura terdepresi memotong pembuluh darah vena besar hingga terjadi periode syok perdarahan berat, namun setelah dilakukan

Penanganan Perioperatif Pasien Pediatrik dengan Cedera Kepala Berat

115

Pemeriksaan CT Scan

Pemeriksaan 8 jam Preoperasi

resusitasi dan pemberian darah serta plasma hemodinamik dapat kembali stabil walau telah terjadi periode syok yang cukup lama kurang lebih 1 jam hingga dokter bedah saraf dapat mengontrol perdarahan tersebut. Setelah terjadi syok, terjadi pembengkakkan otak akibat sempat terjadinya fase hipotensi yang cukup lama hingga diputuskan untuk dilakukan kraniektomi (tulang tengkorak tetap dibiarkan terbuka) untuk dekompresi. Pengelolaan Pascabedah Pasien dipindahkan ke ruang perawatan ICU dan dilakukan kontrol terhadap fungsi pernafasan menggunakan ventilasi mekanik dengan obat pelumpuh otot sampai kadar hemoglobin terkoreksi dengan pemberian produk darah. Dilakukan pemberian manitol ulangan, dilakukan hiperventilasi dengan EtCO2 30–35 mmHg. Dilakukan strategi perlindungan otak dengan sedasi menggunakan thiopental. Diberikan proton pump inhibitor, dilakukan head up 300 dan diberikan obat analgetika parasetamol intravena serta dilakukan monitoring tanda-tanda vital ketat. Pada hari perawatan ke-3 di ICU kesadaran pasien membaik hingga GCS 7t namun masih belum dapat dilakukan penyapihan ventilasi mekanik karena mulai terjadi peningkatan suhu hingga 38,50C dan laju nafas pasien meningkat. Pada hari perawatan ke-4 di ICU terjadi penurunan kesadaran dengan peningkatan suhu tubuh hingga 400 Celcius dan tidak

Pemeriksaan 4 Hari Pascaoperasi

menurun walau telah diberikan parasetamol intravena. Saat dilakukan pemeriksaan pupil mata ditemukan tanda-tanda lateralisasi berupa pupil anisokor dan keluarnya jaringan otak dari bekas jahitan operasi serta permukaan kulit yang distensi akibat peningkatan massa volume otak pada daerah bekas dilakukannya kraniektomi sehingga diputuskan untuk dilakukan second tier therapy dengan coma barbiturate, pemberian manitol ulangan, kortikosteroid dan dilakukan pemeriksaan CT-scan ulang. Pada pemeriksaan CT-scan ulang didapatkan peningkatan pembengkakkan pada otak. Pada hari perawatan ke-7 di ICU terjadi penurunan suhu yang disertai mengecilnya volume otak yang terlihat dari permukaan kulit yang meregang serta hilangnya tanda-tanda lateralisasi (pupil kembali isokor), dan kemudian dilakukan penyapihan alat bantu nafas. Pada hari perawatan ke-10 di ICU kesadaran pasien meningkat hingga GCS 9t dan dilakukan ekstubasi karena telah memenuhi kriteria untuk ekstubasi. Pada hari perawatan ke12 pasien pindah ke ruangan dengan kondisi GCS 12 disertai kelemahan pada anggota gerak badan bagian kiri, namun pasien telah mendapat nutrisi melalui oral. Pada hari perawatan ke-18 pasien dipulangkan dari rumah sakit dan direncanakan rawat jalan. Pasien juga direncanakan untuk dilakukan fisioterapi rutin. III. Pembahasan Trauma kepala pediatrik memerlukan pendekatan

116

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 1. Penyebab Terjadinya Cedera Otak Sekunder

Penyebab sekunder yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan otak hipoksik dan/atau iskemik Sistemik Hipoksemia Hipotensi Anemia Hipo/hiperkarbia Pireksia Hiponatremia Hipo/hiperglikemia Intrakranial Hematoma Peningkatan Tekanan Intrakranial Kejang Infeksi Vasospasme

Tabel 2. Penatalaksanaan Hipertensi Intrakranial Pasien Cedera Otak Berat Penatalaksanaan Hipertensi Intrakranial pada Pasien Cedera Otak Traumatika Berat 1. Melakukan pemasangan monitor intrakranial 2. Menjaga cerebral perfusion pressure antara 50 dan 70 mmHg Terapi First-Tier - Drainase Ventrikular (apabila tersedia) - Manitol 0.25–1g/kg IV (dapat diulang bila serum osmolaritas <320 mOsm/L dan pasien dalam kondisi euvolemik) Terapi Second-Tier -Hiperventilasi hingga PaCO2 <30 mmHg (direkomendasikan untuk monitoring SjO2,AVDO2 atau Cerebral Blood Flow (CBF) -Terapi barbiturat dosis tinggi -Dipertimbangkan dilakukan terapi hipertensi -Dipertimbangkan dekompresi

dilakukan

kraniektomi

Dikutip: Cotrell and Young’s Neuroanesthesia 5th edition.3

Dikutip: Cotrell and Young’s Neuroanesthesia 5th edition.3

terhadap organ-organ tubuh lainnya untuk meminimalisir morbiditas dan mortalitas. Ukuran kepala anak yang kecil merupakan daerah yang paling sering mengalami kerusakan saat terjadinya trauma, dan organ-organ lain dapat terkena dampaknya. Algoritma bantuan hidup dasar harus segera dilakukan untuk memastikan jalan nafas yang aman, dan fungsi respirasi sirkulasi yang adekuat. Pada anak kecil memiliki rasio kepala dan badan yang lebih besar dibandingkan dewasa maka mekanisme cedera primer akibat trauma yang terjadi dapat menyebabkan kerusakan yang luas.3

(barbiturat) karena dapat menurunkan cerebral blood flow (CBF) dan cerebral metabolic rate (CMRO2) yang sesuai dengan dosis yang diberikan. Pemberian barbiturat dalam dosis yang tinggi akan menurunkan CBF dan CMRO2 hingga 40% (penurunan maksimal) dari kondisi bangun. Efek barbiturat menurunkan CBF dan CMRO2 akan menyebabkan penurunan TIK. Menurut beberapa penelitian, barbiturat memberikan efek proteksi otak yang disebabkan karena selain efek depresi metaboliknya. Thiopental bekerja dengan memblokade flux Na, K, dan kalsium, membuang radikal bebas, memblokade terjadinya kejang, meningkatkan aliran darah regional.4 Pada kasus ini trauma yang hebat akibat jatuh dari ketinggian menyebabkan terjadinya kerusakan otak yang luas diantaranya perdarahan subdural, kontusio otak, dan fraktura terdepresi yang mengenai pembuluh darah yang berada dibawahnya, sehingga saat dilakukan pengangkatan tulang tengkorak terjadi perdarahan hebat akibat terkenanya pembuluh darah vena besar dan akibat hilangnya efek tamponade dari tulang tengkorak. Perdarahan masif mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan darah sistemik, sehingga

Terapi yang dilakukan adalah melakukan ABCDE neuroanestesi dengan menjaga jalan nafas, menjaga sistem pernafasan pasien dengan melakukan ventilasi mekanik, melakukan resusitasi cairan untuk menjaga tekanan darah agar CPP terjaga dalam batas autoregulasi dan memberikan obat-obatan vasoaktif apabila diperlukan. Terapi lainnya adalah menurunkan TIK yang terjadi dengan melakukan terapi first tier dan second tier.3 Obat induksi yang digunakan pada pasien ini adalah thiopental

Penanganan Perioperatif Pasien Pediatrik dengan Cedera Kepala Berat

Tabel 3. Glasgow Outcome Scale Exended (GOSE)

The Extended Glasgow Outcome Scale (GOSE) S k o r Tingkat aktifitas GOSE 1 Mati batang otak 2 Kondisi vegetatif 3 Kelumpuhan ekstremitas bawah berat: bergantung sepenuhnya pada orang lain 4 Kelumpuhan ekstremitas atas berat: beberapa aktifitas tertentu bergantung pada orang lain 5 Kelumpuhan ekstremitas bawah sedang: tidak dapat kembali bekerja atau kembali pada aktifitas sosial 6 Kelumpuhan ekstremitas atas sedang: dapat kembali bekerja walau menurun pada kinerjanya, dan aktifitas sosialnya pun menurun 7 Kelumpuhan ekstremitas bawah yang membaik: penyembuhan yang baik dengan defisit aktifitas sosial yang minimal 8 Kelumpuhan ekstremitas atas yang kembali membaik sepenuhnya

Dikutip: www.tbi-impact.org

menyebabkan terjadinya pembengkakkan otak akibat vasodilatasi pembuluh darah. Mekanisme vasodilatasi pembuluh darah otak terjadi karena menurunnya cerebral perfusion pressure (CPP) hingga dibawah batas autoregulasi tubuh, hal ini merupakan mekanisme kompensasi tubuh apabila terjadi penurunan tekanan darah sistemik untuk mempertahankan perfusi otak tetap adekuat. Pada perawatan pascaoperasi, pasien perlu dilakukan penilaian pemeriksaan fisik dan neurologis secara rutin untuk melihat perkembangan dan memastikan bahwa pasien tersebut telah pulih dari efek obat anestesi. Meskipun ekstubasi endotrakheal dan pemeriksaan kesadaran pertama kali sebaiknya dilakukan di ruang operasi, namun pada pasien dengan kondisi yang tidak stabil (pasien yang kembali pulih dari obat anestesi yang lambat, terjadi pemberian cairan atau darah yang banyak

117

saat operasi, atau faktor komorbid lainnya) sebaiknya dilakukan penyapihan dan penilaian apabila kondisi pasien tersebut telah stabil. Pada pasien ini terjadi pembengkakkan otak yang kongestif disertai suhu yang meningkat yang diakibatkan oleh kerusakan pada daerah thalamus.5 Berbagai permasalah timbul saat terjadinya peningkatan suhu karena peningkatan suhu akan menyebabkan hasil luaran yang buruk karena dapat menyebabkan terjadinya cedera otak sekunder pada pasien dengan COT.6 Sehingga perlu dilakukan normalisasi terhadap suhu dengan menggunakan obat-obat antidemam atau dapat juga dilakukan dengan pendinginan eksternal. Pada penanganan pascaoperasi trauma kepala juga diperlukan terapi nutrisi yang adekuat dan sesuai dengan kebutuhan metaboliknya, karena kondisi nutrisi yang baik dapat meningkatkan hasil luaran pada pasien dengan COT. Nutrisi sebaiknya dilakukan secepat mungkin apabila pasien telah memenuhi syarat untuk diberikannya nutrisi.9 Berbagai komplikasi lain pada perawatan pascaoperasi diantaranya adalah terjadinya pneumonia akibat penggunaan ventilator (ventilatory associated pneumonia/ VAP), pembengkakkan otak menahun yang menyebabkan sulitnya untuk dilakukannya penyapihan dari ventilasi mekanik dan kondisi vegetatif pada pasien cedera otak traumatik berat. Pada pasien dengan COT berat yang telah melewati fase kritis biasanya terdapat kerusakan otak menahun dan menyebabkan kondisi kecacatan. Hasil luaran dari pasien COT berat dapat diklasifikasikan dengan menggunakan suatu skala yang dinamakan glasgow outcome scale (GOSE), dimana semakin rendah nilai GOSE seseorang maka angka mortalitas 2 hingga 5 tahun kedepannya akan meningkat.10 Pasien-pasien yang melakukan rawat jalan sebaiknya dilakukan fisioterapi agar dapat menghasilkan hasil luaran yang lebih baik dengan mengoptimalkan fungsi-fungsi tubuh yang telah rusak. Proses yang dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi tubuh yang telah rusak disebut juga dengan neurorestorasi.11 IV. Simpulan Penanganan trauma kepala berat pada anak

118

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

memerlukan pemahaman ilmu mengenai fisiologi anak yang berbeda dengan orang dewasa serta patofisiologi trauma kepala yang terjadi. Pada penanganan cedera otak traumatika memerlukan intervensi seorang dokter dari tempat kejadian hingga rawat jalan pasien. Perencanaan dan penanganan pasien cedera otak traumatika secara komprehensif bertujuan untuk meningkatkan hasil luaran pasien tersebut yang dinilai dengan GOSE, sehingga dengan penanangan yang tepat dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas hingga 5 tahun mendatang.

Anesthesiology.1996;84:1475–84 5. Kmyron D, Ginsberg, Busto R. Combating hyperthermia in acute stroke. Stroke.1998;29:529–34

Daftar Pustaka

8. Grover VK, Babu R, Bedi SPS. Steroid therapy-current indication in practice. Indian Journal of Anesthesia.2007;51(5):389–93

1. Murgio A. Epidemiology of traumatic brain injury in children. Revista Espanola de Neuropsicologia.2003;5(2):137–61 2. Galanaud D, Stevens RD, Champfleur NM, Ares GS, Masson F, Audibert G, dkk. Assessment of white matter injury and outcome in severe brain trauma: a prospective multicenter cohort. Anesthesiology.2012;117(6):1300–10. 3. Soriano SG, Mcmanus ML. Pediatric neuroanesthesia and critical care. Dalam: Cotrell J, Young J, editors. Cotrell and Young’s Neuroanesthesia. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2010, 327–42 4. Warner DS, Takaoka S, Wu B. Electroencephalographic burst supression is not required to elicit maximal neuroprotection from pentobarbital model in a model of focal cerebral ischemia.

6. Haddad SH, Arabi YM. Critical management of severe traumatic brain injury in adults. Emergency Medicine.2012;20(12):1–15 7. Bullock R. Guidelines for the management of severe traumatic brain injury. J Neurotrauma.2007;24(supp 1):s1–06

9. Campos BBNS, Machado FS. Nutrition therapy in severe head trauma patients. Rev Bras Ter Intensiva.2012;24(1):97–105 10. Townend WJ, Guy MJ, Pani MA, Martin B, Yates DW. Head injury outcome prediction in the emergency department: a role for protein s-100b. J Neural Neurosurg Psychiatry.2002;73:542–6 11. Sadowsky CL, Becker D, Bosques G, Dean JM, John W, Recio A, dkk. Rehabilitation in transverse myelitis. Continuum Lifelong Learning Neurol.2017;17(4):816–30

Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Wanita dengan Kehamilan 22–24 Minggu Fitri Sepviyanti Sumardi*), Nazaruddin Umar**), Margaritta Rehatta***), Siti Chasnak Saleh***) *)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Bayukarta Karawang, **) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara/RS Adam Malik Medan, ***) Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS. Dr. Soetomo Surabaya Abstrak Tujuh sampai 8% dari seluruh wanita hamil pernah mengalami trauma yang dapat menyebabkan kematian ibu akibat traumanya, bukan akibat kehamilannya. Pengelolaan anestesi pada wanita hamil yang akan menjalani operasi dengan anestesi umum di luar seksio sesarea, terutama operasi bedah kepala, memberikan tantangan tersendiri kepada para ahli anestesi, karena terdapat 2 orang pasien yang harus dikelola agar menghasilkan nilai luaran klinis yang baik untuk keduanya. Kami akan melaporkan seorang wanita 22 tahun G1P0A0 dengan kehamilan 22–24 minggu, yang akan menjalani operasi evakuasi hematoma epidural akibat kecelakaan motor yang terjadi sebelumnya, tanpa dilakukan seksio sesarea, mengingatkan usia kehamilan masih dalam trimester kedua. Pertimbangan perubahan anatomi dan fisologis pada kehamilan, upaya agar aliran darah uteroplasenta adekuat serta efek teknik dan obat anestesi terhadap otak dan aliran darah uteroplasenta harus dipikirkan secara matang, karena faktor-faktor kritis akan menunjukkan derajat cedera kepala yang lebih berat, sehingga hasil nilai luaran klinis ibu dan janin buruk. Pada kasus ini ini ibu dapat pulang dengan kehamilan yang baik. Kata kunci: Cedera kepala, operasi bedah kepala, perubahan sistem tubuh selama kehamilan JNI 2016;5(2): 119–29

Management of Anesthesia in Epidural Hematoma Evacuation with Pregnancy 22-24 Weeks Abstract Seven to 8% of pregnant women had experienced trauma that can lead to maternal deaths due to trauma not as result of her pregnancy. Management of anesthesia in pregnant women who will undergo surgery with general anesthesia outside caesarean section, especially neurosurgery, providing a challenge to the anesthesiologist, because there are two patients who must be managed in order to have good clinical score outcomes for both patients. We will report a 22-year-old woman who will undergo surgery epidural hematoma evacuation due to a motorcycle accident that occurred previously, without performed caesarean section, reminiscent of gestation is still in the second trimester. Consideration of anatomical and physiological changes in pregnancy and effort that uteroplacental blood flow should be considered carefully, because critical factors will indicate the degree of head injury more severe, so that the results of the clinical outcomes of mother and fetus is bad. In this case mother and her pregnancy can discharge from hospital with good condition. Key words: head injury, craniotomy, the body system changes during pregnancy JNI 2016;5(2): 119–29

119

120

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan Trauma kepala merupakan trauma yang paling banyak disebabkan karena kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala traumatik merupakan salah satu dari masalah utama di bidang kesehatan karena dapat meningkatkan angka kematian dan kecacatan pada usia dewasa dan anak. Cedera kepala merupakan kedaruratan neurologik yang memiliki akibat yang kompleks, karena otak merupakan salah satu organ utama pusat kehidupan manusia.1 Tujuh sampai 8% dari seluruh wanita hamil pernah mengalami trauma yang dapat menyebabkan kematian ibu akibat traumanya, bukan akibat kehamilannya. Pengelolaan anestesi pada wanita hamil yang akan menjalani operasi di luar seksio sesarea, dan dilakukan dengan anestesi umum, terutama operasi bedah kepala, memberikan tantangan tersendiri kepada para ahli anestesi, karena terdapat 2 orang pasien yang harus dikelola agar menghasilkan nilai luaran klinis yang baik untuk keduanya.2 Pasien dengan kehamilan mulai trimester 2 mengalami perubahan-perubahan anatomi dan fisiologik luar biasa selama kehamilan, persalinan dan beberapa waktu pascasalin, dimana hal-hal tersebut dapat mempengaruhi tehnik anestesi serta pemilihan obat-obat anestesi, karena itu bagi para ahli anestesi sangat penting pengetahuan secara detail mengenai perubahan anatomi dan fisiologi tubuh wanita hamil, terutama perubahan sistem susunan saraf pusat, pernapasan dan kardiovaskular untuk dapat mengelola pasien dengan tepat.1,3 Pemeliharaan aliran darah uteroplasenta (uteroplacental blood flow/UBF) sangat penting untuk kelangsungan hidup janin yang baik. UBF dipengaruhi oleh tekanan arteri uterina (uterine arterial pressure/UAP), tekanan vena uterin a(uterine venous pressure/UVP) dan resistensi pembuluh darah uterus (uterine vascular resistence /UVR). Maka semua keadaan yang menurunkan tekanan darah rerata ibu atau meningkatkan UVR akan menurunkan UBF dan akhirnya akan terjadi penurunan umbilical blood flow (UmBF) yang dapat mengganggu kesejahteraan janin.3,4,5 UBF dipengaruhi PaCO2. Hiperventilasi yang mungkin dilakukan pada pasien-pasien cedera kepala traumatik (COT)

dengan tujuan menurunkan tekanan intrakranial akan menyebabkan vasokontriksi umbilikus, sehingga UBF akan menurun. Pasien dengan COT dapat mengalami hiperkapnia akibat adanya obstruksi jalan nafas. Pada pasien hamil yang mengalami cedera kepala, hiperkapnia akan menyebabkan terjadinya perubahan pada UBF juga, karena semua perubahan yang terjadi pada ibu secara automatis akan mempengaruhi janin melalui plasenta.1,4,6 Tindakan intubasi yang dilakukan saat pemberian anestesi umum dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, peningkatan aliran darah otak dan volume darah otak serta meningkatkan tekanan intrakranial. Pada pasien cedera kepala dengan kehamilan yang dilakukan operasi otak tanpa disertai dengan seksio sesarea, peningkatan tekanan darah mengakibatkan UBF meningkat, tetapi, karena UVR meningkat juga, maka peningkatan UBF tidak terpengaruh. Pemberian obat-obatan anestesi dalam tatalaksana pun perlu pertimbangan

Gambar 1. Foto Ct-Scan Kepala

lebih cermat pada pasien cedera kepala dengan kehamilan. Banyak faktor yang menyebabkan obat-obatan tersebut berbahaya bagi janin. Perkiraan waktu yang paling berbahaya adalah 15 hari trimester pertama kehamilan, karena pada saat ini waktu penentuan embrio dapat terbentuk sempurna atau tidak.7 Hal inilah yang membuat penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan kehamilan merupakan tantangan bagi para ahli anestesi, karena menyangkut kehidupan ibu dan bayinya

Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Wanita dengan Kehamilan 22–24 Minggu

121

Gambar 4. Foto Pasien saat tiba di ICU dan Dilakukan Penilaian Laju Nadi Janin.

Gambar 2. Keadaan Hemodinamik Ibu dan Janin selama Operasi.

II. Kasus Anamnesis Seorang perempuan 22 tahun dengan kehamilan 22–24 minggu, berat 56 kg, dan tinggi badan 155 cm dibawa ke unit gawat darurat Rumah Ssakit Bayukarta Karawang. Pasien 4 jam sebelum masuk rumah sakit mengalami kecelakaan lalulintas dan terjatuh saat pasien dibonceng menggunakan sepeda motor, tanpa menggunakan helm. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum GCS 12, pupil bulat isokor refleks cahaya +/+, tekanan darah 110/50 mmHg, laju nadi 100 x/menit, laju nafas 14 x/menit, SaO2 99% dengan nasal kanul 3 L/menit. Denyut jantung bayi 130 x/menit. Pemeriksaan Laboratorium dan CT-Scan Pemerikasaan laboratorium darah menunjukkan Hb 9,4 g/dL, Ht 38%, Lekosit 10600, trombosit 265 ribu/µL, bleeding time (BT) 2 menit, clotting time (CT) 6 menit. Pada pemeriksaan Ct-Scan: tampak perdarahan epidural di daerah temporoparietal kiri dengan edema lokal, tidak tampak fraktur, tidak terdapat midline shift. Penatalaksanaan Anestesi Pasien dibawa ke kamar operasi, pasien diposisikan head up 300 dan miring ke kiri

150. Berhubung fasilitas yang sangat terbatas, monitor yang dipasang hanya tensimeter, dan pulse oxymetri. Dilakukan anestesi umum dengan memberikan fentanyl 75 µg, midazolam 2 mg, propofol 100 mg dan rokuronium 30 mg. O2 dibuka 100%, sevoflurane 2%. Dilakukan intubasi dengan menggunakan pipa endotrakheal (endotracheal tube/ETT) no 6.5 dengan kedalaman 19 cm. Untuk dosis pemeliharaan selama operasi diberikan O2:N2O 50:50 dan sevoflurane 1%. rocuronium diberikan 5 mg setiap 30 menit selama operasi. Dexketoprofen 50 mg diberikan sebagai analgesia pascaoperasi. Cairan selama operasi NaCl 0,9%: RL 2:1, total 2500 cc, perdarahan ± 500 cc, jumlah urin 100 cc. Operasi berlangsung selama 1 jam 30 menit dan lama pasien dianestesi 2 jam. Tekanan darah ibu 89/50–110/50 mmHg, Laju nadi ibu 95–110 x/menit dan laju nadi janin 130-158 x/menit. Penatalaksanaan Pascabedah di ICU Pasien dipindahkan ke ruangan intensive care unit (ICU), setelah dilakukan ekstubasi dan diberikan O2 10 L/menit menggunakan simple mask non-rebreathing (SMRN). Skor Glasglow Coma Scale (GCS) 14, tekanan darah 124/68 mmHg, laju nadi 98 x/menit, laju napas 20–24 x/menit, SaO2 100% dan laju nadi janin 158 x/ menit. Pasien menjalani perawatan di ICU selama 3 hari. Diberikan transfusi packed red cell (PRC) sebanyak 2 labu, karena hasil pemeriksaan laboratorium pascaoperasi menunjukkan Hb 7 gr/ dL dan Ht 24%. Analgesia dexketoprofen 50 mg dan tramadol 200 mg dalam 500 mL NaCL 0,9% untuk 12 jam. Pasien kemudian dipindahkan ke ruangan rawat inap dengan GCS 15 dan pulang

122

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

ke rumah pada hari ke-7 sejak masuk rumah sakit. dengan keadaan ibu dan janin yang baik. III. Pembahasan Tujuan utama dari pengelolaan pasien hamil dengan cedera kepala adalah resusitasi ibu secara optimal dan penilaian keadaan janin secara dini. Resusitasi pasien hamil dengan cedera kepala sama seperti pengelolaan pasien cedera kepala pada umumnya, hanya perlu pertimbangan lebih matang mengenai isu-isu perubahan anatomi dan fisiologis selama kehamilan, obat-obatan anestesi dan pemeriksaan radiologik terhadap janin.3 Penilaian keadaan janin dilakukan sesegera mungkin setelah keadaan ibu stabil, dan tetap dilakukan pemantauan secara ketat selama pengelolaan anestesi.4,7 Pengelolaan anestesi pada cedera kepala dilakukan berdasarkan pedoman yang dikeluarkan Brain Trauma Foundation Guideline 2007 yang dapat dimodifikasi pada pasien hamil.3 Pengelolaan melibatkan semua bidang keilmuan yang terkait, team dokter yang menangani meliputi ahli bedah saraf, ahli anestesi, ahli kandungan, ahli radiologi dan ahli kesehatan anak.4,7 Pengelolaan ini tergantung dari derajat cedera kepala, keadaan ibu, umur kehamilan dan keadaan janin.4,7 Umur kehamilan pada pasien ini adalah 22– 24 minggu, sedangkan batas terminasi umur kehamilan untuk melahirkan bayi adalah umur kehamilan 32 minggu.4 Hal ini yang menjadi pertimbangan untuk tetap mempertahankan kehamilan, sehingga tidak dilakukan terminasi kehamilan pada pasien ini. Target utama anestesi pada pasien ini adalah mempertahankan haemodinamik ibu dan kesejahteraan janin dalam kandungan, jangan sampai terjadi asfiksia intrauterin. Asfiksia janin (fetal asfiksia) adalah suatu keadaan dimana terjadi hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis repiratorik serta metabolik. Kondisi ini bisa terjadi selama janin masih dalam kandungan. Kemungkinan terjadinya asfiksia janin adalah insufisiensi uteroplacental, abruptio placental, plasenta previa, tetani uterin, hipotensi maternal dan kompresi tali pusat yang disebabkan karena penurunan UBF.2,6,7 Oleh karena itu, untuk memelihara kesejahteraan janin harus dijaga agar tidak terjadi penurunan

UBF, yang disebabkan karena hipotensi maternal dan perdarahan. Tehnik anestesi pada pasien ini dilakukan dengan prinsip airway, breathing, circulation, drugs, environment (ABCDE) neuroanestesi yang mencegah terjadinya obstruksi jalan napas, hipoksemia, hiperkarbia dan hipotensi yang dapat menyebabkan asfiksia janin.1-3,4 Wanita hamil mengalami perubahan anatomi dan fisiologi tubuh agar dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi selama kehamilan, sehingga kesehatan ibu dan janin tetap terjaga. Perubahan awal yang terjadi dipengaruhi secara hormonal, selanjutnya perubahan yang terjadi dihubungkan dengan efek mekanik karena pembesaran uterus, kebutuhan metabolik janin yang meningkat dan penurunan resistensi plasenta.4,7 Perubahan pada sistem saraf pusat adalah adanya penurunan minimum alveolar concentration (MAC) menurun akibat dari adanya perubahan fisiologik ibu hamil, terjadi karena peningkatan kadar plasma endorphins dan peningkatan kadar dari progesteron (10–20 selama kehamilan), dimana progesteron mempunyai efek mendepresi susunan saraf pusat. Efek yang signifikan terlihat pada pemberian obat-obat anestesi inhalasi. Peningkatan terhadap obat-obat anestesi intravena pun terjadi, terutama pada pemberian pentotal dan benzodiazepine.7-11 Pada umumnya pemilihan obat-obatan anestesi berdasarkan efeknya pada sistem kardiovaskular, akan tetapi pada pasien-pasien bedah saraf harus dipikirkan efeknya terhadap aliran darah otak, laju metabolisme oksigen otak (CMRO2), autoregulasi, tekanan intrakranial dan lain-lain. Secara umum obat-obatan anestesi intravena menyebabkan penurunan aliran darah otak dan CMRO2. Penurunan aliran darah otak yang dipicu oleh sebagian besar obat anestesi intravena merupakan hasil dari penurunan laju metabolisme sekunder karena depresi fungsi otak. Satu-satunya obat anestesi intravena yang meningkatkan aliran darah otak dan CMRO2 adalah ketamin.1,12 Pemberian obat-obatan anestesi intravena perlu pertimbangan dalam pengertian tentang transportasi obat melalui plasenta dan seberapa aman obat itu mempengaruhi kehamilan. Transportasi obat-obatan dari ibu ke janin tergantung dari konsentrasi obat dalam darah ibu,

Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Wanita dengan Kehamilan 22–24 Minggu

perfusi plasenta, struktur plasenta dan solubilitas serta konsentrasi obat tersebut dalam darah janin.6 Efek teratogenik pada beberapa literatur menyatakan bahwa waktu paling berbahaya adalah 15 hari trimester pertama kehamilan, karena pada saat ini embrio dapat terbentuk sempurna atau tidak. Pada penelitian tahun 1960 menemukan bahwa kelainan kongenital utama terjadi pada janin yang terpapar obat-obatan antara hari ke 13 sampai 60 usia kehamilan. Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa wanita hamil yang menjalani operasi selain seksio sesarea tidak menunjukkan kelainan kongenital pada bayi, meskipun sebagian dari mereka lahir prematur.6,7 Pada kasus ini induksi dilakukan dengan menggunakan fentanyl 75 µg, midazolam 2 mg, propofol 100 mg dan rokuronium 30 mg. Pemberian fentanyl pada aliran darah otak sulit dijelaskan dengan tepat kerena data eksperimen yang berbeda. Akan tetapi, dosis kecil narkotik memberikan sedikit pengaruh pada aliran darah otak dan CMRO2, sedangkan dosis besar menurunkan aliran darah otak dan CMRO2.1,12 Walaupun propofol mempunyai efek terhadap tekanan perfusi otak disebabkan oleh menurunnya tekanan darah, efek hemodinamik yang tidak menguntungkan ini dapat dicegah dengan menghindari efek konsentrasi puncak, hal ini yang menjadi pertimbangan kami untuk menggunakan midazolam.1,12 Midazolam menyebabkan penurunan aliran darah otak dan CMRO2 secara paralel sampai 40%. Dibandingkan dengan pentotal, efek penekanan metabolisme otak lebih sedikit. Pemberian midazolam dosis kecil pun tidak terlalu mempengaruhi tekanan intrakranial. Midazolam juga memberikan hemodinamik yang lebih stabil.1,12 Rokuronium dipilih karena mempunyai onset cepat dan lama kerja pendek dibandingkan dengan obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang lain.12 Sebagai obat anestesi pemeliharaan kami memilih sevofluran, dengan pertimbangan sevofluran mempunyai kelarutan yang rendah sehingga onsetnya cepat, mudah mengatur kedalaman anestesi, efek proteksi otak dan paling kecil menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah

123

otak dibandingkan dengan obat anestesi inhalasi lainnya.1 Obat-obatan anestesi tersebut tidak mempunyai pengaruh efek yang besar terhadap kesejahteraan janin dalam kandungan pasien, karena usia kehamilan pasien kami trimester ke-2, sehingga masa organogenesis sudah selesai, selain itu, dosis obat yang kami gunakan merupakan dosis kecil dan konsentrasi obat yang digunakan hanya cukup dalam konsentrasi darah ibu. Pada sistem jalan napas, terjadi edema jalan napas sejak usia kehamilan 12 minggu menyebabkan kemungkinan sulit intubasi, sehingga dibutuhkan ETT yang lebih kecil, biasanya nomer 6.5. Peningkatan kebutuhan oksigen ibu dan janin yang meningkat selama kehamilan, ditambahan dengan penurunan FRC serta pembesaran uterus menyebabkan pasien dengan kehamilan mudah terjadi hipoksia. Padahal untuk operasi bedah kepala diperlukan ukuran ETT sebesar mungkin yang dapat digunakan. Hal ini dikarenakan aliran darah otak berubah kira-kira 4% (0,95–1,75 ml/100 gr/menit) setiap mmHg perubahan PaCO2 antara 25–80 mmHg. Jadi, jika dibandingkan dengan normokapni, aliran darah otak dua kali lipat pada PaCO2 80 mmHg dan setengahnya pada PaCO2 20 mmHg. Bila PaO2 < 50 mmHg, akan terjadi serebral vasodilatasi dan aliran darah otak akan meningkat. Suatu peningkatan PaO2 hanya sedikit pengaruhnya terhadap resistensi pembuluh darah serebral. Pada manusia selama operasi otak PaO2 jangan melebihi 200 mmHg. Pengaruh PaCO2 dan PaO2 ini juga terjadi pada UBF.1,3,4,7 Curah jantung yang menurun karena posisi terlentang pun menyebabkan penurunan dari saturasi vena, hal ini mengakibatkan penurunan dari saturasi O2 arteri.4,7 Pada pasien ini, karena fasilitas monitor yang terbatas kami hanya dapat menjaga agar saturasi pasien tidak turun. Hiperventilasi juga merupakan suatu dasar tatalaksana neuroanestesi, hal ini ditujukan untuk menurunkan PaCO2 dan aliran darah otak.4,7 Keadaan sedikit hiperventilasi dan hipokapnia adalah faktor yang wajar pada kehamilan, sehingga penurunan kadar PaCO2 yang berlebihan merupakan seuatu yang tidak baik pada pasien hamil yang menjalani operasi bedah otak.3,4 Penurunan kadar PaCO2 yang terlalu

124

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

rendah akan menyebabkan transfer penurunan transpor oksigen ke janin melalui plasenta, akibat dari vasokonstriksi dari plasenta, sehingga menyebabkan hipoksia dan iskemia pada otak janin, ditandai dengan nilai luaran bayi yang buruk.4,7,8,13-17Kadar hemoglobin yang rendah berpengaruh juga terhadap penyampaian oksigen ke janin, sehingga secara alamiah hemoglobin janin mempunyai kemampuan lebih tinggi dalam mengikat oksigen sebesar 50–80 mmHg daripada hemoglobin ibu, karena peningkatan laju napas ibu bukan merupakan solusinya.4,7 Penggunaan O2 sampai ke jaringan perifer (VO2) digambarkan dengan menggunakan persamaan yang dipengaruhi oleh curah jantung (Q), kadar haemoglobin dan perbedaan antara saturasi arteriovenous oxyhemoglobin, sebagai berikut: VO2= Q x 13,4 x Hb x (SaO2–SvO2) Pada pasien dengan sakit kritis, batas dilakukan tranfusi darah adalah Hb <7 gr/dL, karena beberapa literatur menyatakan dengan kadar Hb 7 gr/dL masih dapat menjaga transportasi O2 sampai ke jaringan perifer.18 Hematokrit mempengaruhi aliran darah otak secara nyata. Bila hematokrit meningkat di atas normal, aliran darah otak akan menurun karena ada peningkatan viskositas darah, sehingga pasien dengan pascabedah operasi kepala diharapkan Ht 32–33%, atau kadar Hb 9–10 gr/dL.1,3 Hal ini yang menjadi pertimbangan kami tetap melakukan tranfusi pada pasien ini,

karena diharapkan Hb >9 gr/dL, sehingga aliran darah otak dan transportasi O2 ke jarigan perifer tetap terjaga dan tidak mempengaruhi UBF. Penekanan vena cava inferior yang disebabkan pembesaran uterus pada posisi terlentang, sehingga terjadi penurunan aliran balik vena ke jantung, menimbulkan keadaan yang disebut supine hypotensive syndrome. Sepuluh persen dari wanita hamil mengalami hal ini dan bila tidak dikoreksi dengan cepat, dapat menyebabkan asfiksia janin. Memiringkan pasien 150 ke arah kiri dapat membantu mengurangi terjadinya hal tersebut.6,7 Pada saluran pencernaan, akibat pembesaran dari uterus menyebabkan sehingga lambung berputar dan spinter lambung membuka, serta terjadi waktu pengosongan lambung yang lebih lama. Hal ini mengakibatkan pasien hamil mudah terjadi aspirasi, walaupun tidak terbukti terjadinya peningkatan kadar keasaman lambung pada wanita hamil. Pemberian obat anti muntah sebelum dimulai induksi sangat membantu sebagai pencegahan.2,4 Pasien dengan kehamilan atau trauma biasa dilakukan tehnik rapid sequence induction (RSI). Tujuan dari RSI adalah mencegah terjadinya aspirasi pada pasien yang tidak sadar dengan kemungkinan lambung penuh. Pada RSI intubasi dilakukan tanpa menggunakan bag-valve-mask (BVM) dan hanya memberikan obat-obatan sedasi (seperti: midazolam, propofol) dengan obat pelemas otot yang mempunyai masa kerja cepat (seperti:

Sebelum dilakukan ekstubasi perlu dilakukan penilaian sebagai berikut: Tabel 2. Kriteria ekstubasi pada pasien pascaoperasi bedah saraf Homeostatis Sistemik Normotermia (>360C)

Homeostatis Otak Metabolisme otak dan aliran darah otak normal Normovolemia, normotensi (70 mmHg < Tekanan intrakranial normal diakhir operasi MAP < 120 mmHg) Hipokapnia ringan/normokapnia (PaCO2 35 Profilaksis antiepilepsi mmHg) Tidak ada hiperosmolar (285±5 mOsm/kg) Posisi kepala head up adekuat Hematokrit > 25% Tidak ada gangguan koagulasi

Saraf kranial untuk proteksi jalan napas intact

Dikutip dari: Penanganan neuroanesthesia dan critical care: cedera otak traumatik1

Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Wanita dengan Kehamilan 22–24 Minggu

125

Tabel 3. Penyebab Penurunan Aliran Darah Uterus Penurunan Tekanan Perfusi Peningkatan resistensi vaskuler uterus Penurunan Tekanan Arteri Uterus Vasokonstriktor endogen Posisi Supine (kompresi aortocaval) Kathekolamin (stress) Perdarahan/hipovolemia Obat yang menyebabkan hipertensi Vasopressin (dalam respons terhadap hipovolemia) Peningkatan Tekanan Vena Uterus Kompresi vena cava Kontraksi uterus Akibat yang menyebabkan hipertonus uterus (oksitosin, anestetika lokal)

Vasokontriktor exogen Epinephrine Vasopressors (fenilefrin>efedrin) Anestetika lokal (dalam konsentrasi tinggi)

Hipertonus otot skelet (kejang, Valsava) Dikutip dari: Anestesi Obstetri5

succynilcholine, rocuronium). Kekurangan dari RSI adalah dapat terjadi peningkatan tekanan darah dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakranial, sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut pada pasien dengan cedera kepala jarang dilakukan RSI.6,7 Pada pasien ini juga tidak dilakukan induksi dengan tehnik RSI, karena pertimbangan tersebut dan diperkirakan lama puasa pasien cukup. Keputusan untuk dilakukan ekstubasi atau tidak pada periode pascabedah kadang-kadang sulit. Pada saat ekstubasi bisa terjadi kenaikan tekanan darah yang berbahaya karena dapat menimbulkan hiperemia otak, edema otak bertambah, perdarahan kembali dan kenaikan tekanan intrakranial.1,3 Selain itu, pertimbangan kesadaran prabedah adekuat, operasi otak terbatas, tidak terjadi laserasi otak yang luas, temperatur normal dan haemodinamik pasien stabil.1,3 Berdasarkan hal-hal inilah, maka kami melakukan ekstubasi di dalam kamar operasi. Aturan umum yang harus diikuti pada pemberian cairan rumatan selama pembedahan adalah menghindari penggunaan cairan yang hiperosmolar dan cairan yang mengandung glukosa. Cairan kristaloid yang mendekati isoosmolar diberikan dengan kecepatan cukup untuk mengganti urin yang keluar dan insensible loss dengan jumlah setiap

millitilter diganti dengan jumlah yang sama. Bergantung pada kondisi pasien, perdarahan sebagian dapat diganti dengan cairan kristaloid atau koloid untuk mempertahankan hematokrit ± 32–33%. Pemeliharaan cairan 1–1,5 ml/KgBB/ jam atau diganti 2/3 dari jumlah diuresis.1,19 Data yang ada menunjukkan bahwa penggantian volume atau ekspansi tidak mempunyai efek terhadap edema otak selama osmolalitas serum dan tekanan onkotik dipertahankan, dan selama tekanan hidrostastik otak tidak sangat meningkat (misalnya karena pemberian cairan yang berlebihan atau meningkatnya tekanan jantung kanan). Keadaan tersebut tidak berbeda baik dicapai dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid. Osmolalitas serum harus diperiksa berulang, dengan tujuan agar osmolalitas dalam batas normal atau sedikit meningkat. Berbagai jenis cairan akan menyebabkan ekspansi volume intravaskular yang berbeda, misalnya pemberian 1 L cairan kristaloid isotonik meningkatkan volume ± 200 ml, sedangkan 1 L cairan koloid meningkatkan volume ±750 ml.12 Penggunaan cairan yang dapat menurunkan osmolalitas harus dihindari. Lebih disukai NaCL 0,9%, daripada Ringer Laktat (RL), karena NaCL 0,9% osmolalitasnya 308 mOsm/L, sedangkan RL 273 mOsm/L, jadi NaCL 0,9% sedikit hiperosmolar (osmolalitas tubuh manusia 290 mOsm/L).

126

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pemberian RL dalam jumlah sedikit masih aman. Jika diperlukan jumlah cairan yang lebih banyak, RL dapat diganti dengan cairan yang lebih isotonik atau cairan koloid. NaCL 0,9% bila diberikan dalam jumlah besar dan cepat dapat menimbulkan asidosis metabolik hiperchloremik yang bergantung dosis. Bahaya keadaan tersebut belum jelas, namun pada binatang percobaan diperkirakan dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah ginjal. Untuk menghindari hal tersebut dapat dilakukan dengan mengatur pemberian NaCL 0,9% : RL, setiap pemberian NaCL 0,9% sebanyak 3 botol, diberikan RL 1 botol (3:1).1,12 Dextrose hanya diberikan untuk terapi hipoglikemia (bila kadar gula darah <60 mg%) agar kadar gula darah dapat dipertahankan <150 mg%, karena adanya hiperglikemia bisa menyebabkan eksaserbasi edema otak, iskemia dan nekrosis serebral.1 Semua keadaan yang menurunkan tekanan darah rerata ibu atau meningkatkan UVR akan menurunkan UBF dan akhirnya akan terjadi penurunan umbilical blood flow (UmBF). Nilai normal UBF adalah 2% dari curah jantung, dalam kehamilan dapat meningkat sampai 20%. Pada kehamilan aterm, 10% dari curah jantung atau ±500–700 ml/menit akan memasok uterus dimana 80%-nya akan memasuki plasenta.3,19 Hipotensi sistemik ibu mengakibatkan tekanan perfusi melalui ruangan intervilli menurun, yaitu bila tekanan darah sistolik < 100 mmHg atau turun 30 mmHg dari tekanan sistolik semula. Pengetahuan tentang keberadaan autoregulasi masih dalam penelitian pada berbagai spesies. Pada domba, UBF turun linier dengan turunnya tekanan darah yang menunjukkan tidak adanya autoregulasi, akan tetapi pada kelinci UBF dipertahankan konstan pada rentang yang lebar dari tekanan darah.5,8,9 Tingkat dan lamanya hipotensi terjadi dapat mengakibatkan gangguan pada janin. Sirkulasi uteroplasenta yang terganggu akan mempercepat terjadinya asfiksia bayi, kondisi ini diperberat oleh kondisi penyakit penyerta ibu sebelumnya, seperti diabetes melitus, hipertensi kronis, atau preeklampsi.5,8,9 Tekanan darah sistolik < 100 mmHg harus dihindari, untuk memastikan perfusi plasenta dan tekanan perfusi otak tetap terjaga, tetapi darah sistolik yang terlalu tinggi juga tidak

diperbolehkan, karena dapat mengakibatkan resiko perdarahan selama operasi.5-6 Tekanan perfusi otak dipengaruhi oleh tekanan arteri rerata dan peningkatan tekanan intrakranial, sehingga tekanan arteri rerata harus tetap dipertahankan antara 50–70 mmHg selama pengelolaan anestesi. Tekanan perfusi plasenta juga sangat dipengaruhi oleh tekanan arteri rerata ibu, walaupun pada beberapa penelitian berbagai spesies memberikan simpulan bahwa terdapat autoregulasi plasenta, tetapi sampai saat ini belum ada nilai pasti yang dapat menunjukkan untuk luaran bayi yang bagus.4,5 Beberapa teori yang berhubungan dengan perfusi plasenta dan transportnya, dan dalam beberapa penelitian klinik menunjukkan hasil yang signifikan. Pada satu penelitian klinik berupa observasi pada kehamilan lanjut, dimana uterus mengalami dilatasi maksimal. Hal ini mengakibatkan otot-otot uterus tidak dapat menjepit pembuluh darah yang terbuka secara tiba-tiba. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang mengalami hipotensi merupakan penyebab utama terjadinya penurunan aliran darah dari uterus dan plasenta. Pada karakteristik yang lain pembuluh darah uterus tidak dapat melakukan respon O2 dan CO2, maka dari itu terapi dengan memberikan oksigen pada ibu dengan resiko terjadinya asfiksia janin sangat diperlukan. Hubungan antara oksigenasi ibu dan janin sangat komplek karena beberapa faktor ikut menentukan tekanan O2 dalam vena plasenta janin normal atau tidak.5,8,9 Beberapa faktor yang mempengaruhinya: 1. Asupan oksigen ke plasenta 2. Peredaran darah uterus dan plasenta 3. Permeabilitas plasenta 4. Pola perfusi plasenta 5. Tekanan O2 dalam arteri ibu dan konsentrasi hemoglobin 6. Bentuk kurva oksigen ibu dan janin Pada manusia, tekanan O2 pada vena umbilikalis cenderung seimbang dengan vena uterus, tidak pada tekanan O2 arteri. Tekanan O2 pada umbilikal menstimulasi pertukaran O2. Tekanan O2 pada vena umbilikal manusia meningkat pada pertengahan kehamilan dan menurun pada

Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Wanita dengan Kehamilan 22–24 Minggu

akhir kehamilan. Perubahan PO2 pada kehamilan lanjut tidak meningkatkan hipoksia janin, hal ini berhubungan dengan peningkatan konsentrasi hemoglobin pada perkembangan kehamilan. Hal ini mempertahankan kandungan oksigen dalam vena umbilikal di sepanjang kehamilan.5,6,8,9,19 Prinsip pengelolaan neuroanestesi yang lain, seperti kontrol kadar gula darah, suhu, hiperventilasi dan diuresis pun harus diperhatikan pada pasien hamil.3 Kadar gula darah ibu juga harus dijaga, tidak boleh terlalu tinggi atau rendah, karena dapat berpengaruh terhadap kadar insulin janin, yang mengakibatkan nilai luaran janin yang buruk. Kadar gula darah dikontrol antara 100–150 mg/dL.7 Hipotermia merupakan salah satu tatalaksana yang biasa yang dilakukan pada pasien-pasien yang menjalani operasi bedah kepala. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menurunkan kebutuhan metabolik otak dan organ tubuh lain, sehingga aliran darah ke otak tetap terjaga.3 Suhu dapat diturunkan sampai 30 0 C, tetapi hal ini dapat memberikan pengaruh yang buruk terhadap janin, ditandai dengan peningkatan atau penurunan denyut jantung janin.2,4,7 Pada kasus ini suhu ibu dipertahankan normotermi. Perubahan pada denyut jantung janin merupakan suatu tanda buruk kelangsungan hidupnya, karena menandakan telah tejadi hipoksia dan iskemia otak janin, dimana dapat berakibat kematian janin.4,5,8-11,13-17 Pengelolaan diuresis dengan pemberian obatobat diuretika pada operasi bedah kepala, dapat menyebabkan perubahan fisiologis pada janin juga, terjadinya penurunan produksi cairan paru-paru, aliran darah-ginjal yang menurun dan peningkatan kadar natrium plasma janin.3 Pada penelitian hewan percobaan, hal-hal ini menyebabkan dehidrasi pada janin, walaupun pada manusia, pemberian manitol dosis kecil 0,25–0,5 mg/KgBB dinilai masih dalam batas aman untuk ibu dan janin.4,7,8-11,13-17 Pemantauan secara ketat terhadap ibu dan janin tetap harus dilakukan. Pada kasus yang kami tulis ini melibatkan team dari berbagai bidang ilmu, informed consent, pengelolaan dasar-dasar neuroanestesi dilakukan dengan pertimbangan perubahan-perubahan anatomi dan fisiologis tersebut. Tidak dilakukan terminasi kehamilan, dengan pertimbangan bahwa usia kehamilan

127

masih dalam trimester kedua, janin dinilai belum mampu bertahan hidup sendiri dan kondisi janin dinilai dari perubahan denyut jantungnya masih dalam batas normal, walaupun hampir mencapai batas tertinggi, 158 x/menit. Pemberian obat antiuterotonika dan menghindari obat-obat yang dapat menyebabkan terjadi relaksasi dari uterus. Pemantauan secara ketat terhadap ibu dan janin tetap dilakukan dengan alat-alat yang tersedia, walaupun tidak dapat memberikan hasil nilai yang pasti. Hal-hal yang dapat kami lakukan dengan menjaga hemodinamik ibu, sehingga diharapkan perfusi plasenta tetap terjaga. Tekanan darah ibu sempat menurun sesaat pada menit ke15, pemberian efedrin 5 mg dilakukan sebagai upaya untuk menjaga agar tekanan darah ibu tetap stabil, tekanan arteri rerata ibu dijaga antara 50–70 mmHg. Pemilihan analgesia yang adekuat dilakukan untuk mengurangi efek vasodilatasi yang berlebihan akibat pemberian obat-obat anestesi, tetapi tetap tercapai balance anesthesia dan hemodinamik ibu serta relaksasi uterus tetap terjaga. IV. Simpulan Prinsip pengelolaan pasien hamil yang menjalani operasi bedah kepala mempunyai pertimbangan yang sama dengan prinsip pengelolaan pasien hamil yang mejalani operasi di luar seksio sesarea pada umumnya. Pengelolaan pasien hamil yang dilakukan tindakan pembedahan diluar seksio sesarea harus melibatkan team dokter ahli dari berbagai disiplin ilmu dan mempertimbangkan perubahan anatomi dan fisiologi pada kehamilan, agar hasil nilai luaran ibu dan janin bagus. Hemodinamik yang stabil dan keadaan sefisiologis mungkin pada kehamilan merupakan kunci utama dalam mengelola pasien hamil. Tekanan darah rerata antara 50–70 mmHg dinilai dapat menjaga tekanan perfusi ke otak dan perfusi plasenta. Sedikit hiperventilasi dan hipokapni merupakan fisiologis yang normal pada kehamilan, sehingga penurunan PaCO2 tidak kurang dari 25 mmHg, karena dapat menyebabkan hipoksia dan iskemia otak janin. Nilai luaran janin juga dapat tetap bagus, karena menurut beberapa penelitian menyatakan bahwa plasenta mempunyai autoregulasi tersendiri,

128

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

walaupun tidak ada nilai pasti, karena semua penelitian mengenai hal ini terbentur masalah etika kedokteran. Daftar Pustaka 1. Bisri T. Penanganan neuroanesthesia dan critical care: cedera otak traumatik. Bandung: Universitas Padjadjaran; 2012. 2. Tawfik MM, Badran BA, Eisa AA, Barakat RJ. Simultaneous caesarean delivery and craniotomy in a term pregnant patient with traumatic brain injury. Saudi J Anesth 2015; 9(2): 207–10 3. Bendo AA. Perioperatif management of adult patients with severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Young WL, editor. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, edisi ke-5, Philadelphia: Mosby; 2010, 317–26

9. Tomimatsu T, Kakigano A, Mimura K, Kanayama T, Koyama S, Fujita S, et al. Maternal carbondioxide level during labor and its possible effect on fetal cerebal oxygenation: mini review. J Obstet Gynaecol Res. 2013; 39: 1–6. 10. Sharma D, Vavilala MS. Perioperative management of adult traumatic brain injury. Anesthesiol Clin. 2012; 30: 333–46 11. Graham EM, Ruis KA, Hartman AL, Norhington FJ, Harold EF. A systematic review of the role of intrapartum hypoxiaischemia in the causation of neonatal encephalopathy. AJOG 2008; 94(6): 585–95. 12. Saleh SC. Cairan untuk tindakan bedah otak. Dalam: Saleh SC, editor. Sinopsis Neuroanestesia Klinik, edisi ke-2, Surabaya: Zifatama; 2013, 49–60

4. Wlody DJ, Weems L. Anesthesia for neurosurgery in the pregnant patient. Dalam: Cottrell JE, Young WL, editor. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, edisi ke-5, Philadelphia: Mosby; 2010, 416–24

13. Elliot C, Warrick PA, Graham E, Hamilton EF. Graded classification of fetal heart rate tracing: association with neonatal metabolic asidosis and neurologic morbidity. AJOG 2010; 26(6): 317–25.

5. Bisri DY, Bisri T. Anatomi dan fisiologi wanita hamil. Dalam: Bisri T, Wahjoeningsih S, Suwondo BS, editor. Anestesi Obstetri, edisi ke-1, Bandung: Saga Olah Citra; 2013, 1–14.

14. Furuya A, Matsukawa T, Ozaki M, Kumazawa T. Propofol anesthesia for cesarean section successfully managed in patient with moyamoya disease. J Clin Anesh. 1998;10: 242–45.

6. Gambling DR, Bucklin BA. Physiologic changes of pregnancy. Dalam: Gravalee GP, editor. A Practical Approach to Obstetric Anesthesia, edisi ke-1, Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2009, 3–25. 7. Reitman E, Flood P. Anaesthetic considerations for non-obstetric surgery during pregnancy. Br. J Anaesth 2011; 107(51): 172–78. 8. Musin C, Marwoto. Aliran darah uteroplasenta. Dalam: Bisri T, Wahjoeningsih S, Suwondo BS, editor. Anestesi Obstetri, Edisi ke-1, Bandung: Saga Olah Citra; 2013, 41–5.

15. Unterrainer AF, Steiner H, Kundt MJ. Caesarean section and brain tumor resection. Br J Anaesth. 2011; 107: 111–12 16. Dyer RA, van Dyk D, Dresner A. The use of uterotonic drugs during caesarean section. Int J Obstet Anesth. 2010; 19: 313–19. 17. Bateman BT, Berman MF, Riley LE, Leffert LR. The epidemiology of postpartum hemorrhage in large, nationwade sample delivery. Anesth Analg 2011; 110:1368–73 18. Morino DJ, Anemia and red blood cell transfusions in the ICU. Dalam: Brown

Pengelolaan Anestesi untuk Evakuasi Hematoma Epidural pada Wanita dengan Kehamilan 22–24 Minggu

B, editor. The ICU Book, edisi ke-3, Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2007, 659–80 19. Rahardjo S, Uyun Y. Trauma pada kehamilan. Dalam: Bisri T, Wahjoeningsih S, Suwondo

129

BS, editor. Anestesi Obstetri, edisi ke-1, Bandung: Saga Olah Citra; 2013, 223–38

Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Imam Hidayat*), Rahadian Indarto Susilo**), Zafrullah Khany Jasa***) *)Bagian Bedah Divisi Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, **)Bagian Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, ***)Bagian Anestesi dan Perawatan Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Abstrak Kraniofaringioma merupakan tumor intrakranial yang terdapat pada fosa hipofisis dan sepanjang sisterna suprasellar hingga hipotalamus. Defenisi kraniofaringioma menurut WHO adalah tumor jinak pada daerah sella yang berasal dari kantong ratkhe epithelial yang mana insidensinya 1,34 pasien per 1 juta penduduk. Usia rata-rata pasien adalah 0 – 14 tahun dimana usia puncak terjadinya tumor ini berada diantara 5 hingga 14 tahun. Dilaporkan seorang laki-laki 22 tahun datang ke Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dengan keluhan nyeri kepala, mual, muntah, penurunan tajam penglihatan dan jika berjalan sering menabrak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan penurunan tajam penglihatan dan defek lapangan pandang lateral serta ditemukan pupil anisokor 4 cm/ 2 cm. Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan nilai yang normal, thyroid stimulating hormon (TSH) normal, dan prolaktin serum normal. Pada pemeriksaan MRI kepala dengan kontras ditemukan massa berukuran 5,12cm x 2,63 cm menonjol dari sella tursika berbatas tegas dan terisi kontras. Terhadap pasien dilakukan prosedur operasi kombinasi frontolateral dan pterional serta dilakukan total removal tumor. Hasil histopatologi pascaoperasi menunjukkan suatu adamantinomatous kraniofaringioma. Komplikasi yang muncul pasca pembedahan pada pasien ini adalah terjadinya diabetes insipidus. Kata kunci: Kraniofaringioma, prosedur pembedahan frontolateral dan pterional, diabetes insipidus JNI 2016;5(2): 130–37

Combination Frontotemporal and Pterional Operative Approach in Craniopharyngioma in dr. Zainoel Abidin General Hospital Banda Aceh Abstract Craniopharyngioma is an intracranial tumor that occurs in the region of the pituitary fossa and suprasellar cisterns along to the hypothalamus. Craniopharyngioma is brain tumor which is defined by WHO as a benign tumor in the sella region derived from Ratkhe pouch epithelium in which the incidence is 1.34 patients per 1 million population. The average age of patients was 0-14 years of age peaks where the tumor is located between 5 and 14 years. Reported a man 22 years old came to the General Hospital dr. Zainoel Abidin Banda Aceh with symptoms of headache, nausea, vomiting, decreased vision acuity. On physical examination found a decrease in visual acuity, lateral visual field defects, and found the anisokor pupil 4 cm / 2 cm. In routine blood tests found normal value, normal Thyroid Stimulating Hormon (TSH) and normal serum prolactin. MRI head with contrast was found mass measuring 5,12cm x 2.63 cm protruding from the sella tursika demarcated and filled with contrasts. Currently treated by surgical total removal tumor with combination of frontolateral and pterional surgery approach. Postoperative histopathologic results showed a adamantinomatous craniopharyngioma. In this case, complication that occur after surgery procedure is diabetes insipidus. Key words: craniopharyngioma, surgical frontolateral approach, diabetes insipidus JNI 2016;5(2): 130–37

130

Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

1. Pendahuluan Kraniofaringioma merupakan tumor intrakranial yang terdapat pada fosa hipofisis dan sepanjang sisterna suprasellar hingga hipotalamus. Salah satu ciri khas utama tumor ini adalah timbul dari sella baik intrasella, suprasella dan ekspansi dari sella ke lokasi hingga thalamus. Formasi dari tumor ini adalah massa kistik, dan cairan yang sering kuning dan berkilau membentuk kristal kolesterol. Terkadang massa kista mungkin lebih besar dari komponen padat, yang sering pucat dan rapuh disertai sisa epitel.1, 2 Insidensi tumor kraniofaringioma adalah 5–10% dari semua jenis tumor intrakranial, serta paling sering terjadi pada awal 20 tahun kehidupan. Laporan studi juga menunjukkan kraniofaringioma merupakan tumor otak anak dengan insiden mencapai 50% dari seluruh tumor intrak ranial pada anak. Secara histopatologi jenis kraniofaringioma menyerupai adamantinoma rahang serta jenis ini ditemui di hampir semua tumor anak. Sementara itu jenis papiler, yang disebut kraniopharyngioma dewasa, terjadi pada sekitar sepertiga dari orang dewasa dan jarang pada anak-anak.3,4 Kraniofaringioma biasanya menimbulkan gejala peningkatan tekanan intrakranial, penurunan penglihatan dan disfungsi endokrin. Seperti tumor di otak lainnya pasien akan mengalami nyeri kepala hebat, muntah dan papiloedema. Kelainan endokrin yang mungkin terjadi adalah hipogonadisme, pertumbuhan yang terlambat pada anak (stunting) serta adanya diabetes insipidus yang terjadi akibat perkembangan tumor yang mirip pada tumor pituary.4 Tatalaksana umum pada pasien dengan kraniofaringioma meliputi evaluasi preoperatif penting untuk mendeteksi adanya gangguan penglihatan dan endokrin. Tindakan operasi standar yang harus dilakukan untuk kraniofaringioma adalah operasi dengan upaya reseksi maksimal tumor melalui pendekatan pterional kraniotomi atau bifrontal kraniotomi. Tindakan operasi dengan pendekatan transpenoidal terkadang juga dilakukan saat penyebaran tumor mencapai dinding fossa pituiatry. Selain tatalaksana kelainan endokrin dan operatif, radioterapi pasca operasi reseksi

131

tumor memiliki manfaat dalam menekan produksi cairan kista dan kekambuhan tumor. Pendekatan operasi kraniofaringioma melalui prosedur minimal invasif dengan harapan dapat dilakukan reseksi maksimal dari tumor akan memberikan hasil yang baik pada pasien.4-5 II. Kasus Anamnesa Seorang laki-laki 22 tahun datang ke Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dengan keluhan nyeri kepala yang dirasakan terus menerus sejak satu tahun yang lalu dan dirasakan memberat sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Keluhan nyeri kepala disertai dengan adanya pandangan yang kabur secara perlahanlahan. Selain itu pasien juga mengeluhkan mual dan muntah sejak 2 bulan yang lalu, lapang pandangan semakin menyempit terutama bagian luar, riwayat trauma disangkal. Pemeriksaan Fisik Pada tanda vital ditemukan tekanan darah 120/70 mmHg, laju nadi 70 kali per menit, pernapasan 19 kali per menit spontan, suhu 37,8 ˚C, kesadaran kompos mentis GCS 15. Pada pemeriksaan status neurologis sensoris terdapat penurunan tajam penglihatan dan lapangan pandang lateral, pupil ansiokor 4 cm/2 cm. Kekuatan otot 4444/4444. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan pemeriksaan darah rutin didapatkan hemoglobin 14,3 g/dl, hematokrit 43%, eritrosit 5,2x106 mm3, trombosit 286x103 mm3, leukosit 6,9 x 103 mm3, eosinofil 6 %, basofil 1 %, netrofil batang 0 %, netrofil segmen 46 %, limfosit 37%. Elektrolit dalam batas normal, natrium 144 mmol/L, kalium 4,0 mmol/L, klorida 107 mmol/L. Kadar ureum sereum 13 mg/dl, kreatinin 0,90 mg/dl. Pada pemeriksaan prolaktin serum didapatkan kadar yang normal yaitu 8,91 ng/ml dengan nilai rujukan 3,46–19,40 ng/ml. Pada pemeriksaan MRI kepala didapatkan massa berukuran 5,12x2,63 cm yang menonjol dari cela tursica berbatas tegas, tepi rata serta disimpulkan sebagai tumor supra sella dengan diferensial diagnosis dengan kraniopharingioma dan adenoma hipofisis.

132

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pengelolaan Anestesi Sebelum dilakukan tindakan pembedahan, diperlukan persiapan preoperatif dalam hal ini dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan evaluasi penyakit metabolik lainnya. Khususnya pada operasi pasien ini, perlu dilakukan evaluasi endokrinologi seperti thyroid stimulating hormon (TSH) dan prolaktin. Kadar TSH dan prolaktin pasien dalam kasus ini bernilai normal. Tehnik anestesi dan obat anestesi yang digunakan pada pasien ini sama dengan yang digunakan dengan prosedur anestesi intrakranial lainnya. Pemilihan anestetika bergantung pada faktor penyulit pasien, kelainan neurologi, riwayat alergi serta riwayat anestesi sebelumnya. Jenis anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah dengan total intravenous anesthesia dikombinasikan dengan anestetika inhalasi, penggunaan muscle relaxant dan opioid. Selama operasi, dilakukan monitoring EKG, tekanan darah, saturasi oksigen. Pasca tindakan operatif, dilakukan perawatan di ruang rawat intensif. Fokus utama perawatan pasca operasi adalah melakukan skrining dan observasi kelainan neuroendokrin seperti gangguan keseimbangan cairan, diabetes insipidus, dan syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH).6 Prosedur Pembedahan Tindakan operasi yang dilakukan adalah dengan

tehnik pembedahan kombinasi subfrontal dan pterional. Pasien dalam keadaan supine dilakukan tindakan asepsis pada lapangan operasi. Penyempitan lapangan operasi dengan pemasangan dook steril. Dilakukan insisi frontotemporal sisi kanan lapis demi lapis. Tulang calvaria dibuka secara bertahap, diawali tahap pertama dengan kraniotomi tulang frontal dan temporal dan drilling pada tulang sphenoid sampai tampak fissure otbitalis superior. Tahap kedua dilakukan pemotongan rima orbitalis superior. Duramater dibuka semilunar. Untuk mencapai jaringan tumor dilakukan diseksi arachnoid subfrontal dan transilvian. Tahap awal penting untuk menemukan sisterna prechiasma sehingga dapat segera dilakukan pengaliran CSF yang akan sangat membantu relaksasi otak. Sebagai landmark anatomi adalah identifikasi clinoid anterior, arteri karotis interna dan saraf optikus Didapatkan tumor kistik berkapsul lobutated yang diselimuti lapisan membran arachnoid. Secara perlahan tumor dipisahkan dari jaringan sekitar dengan tetap mempertahankan batas membran arachnoid normal. Bagian kistik tumor dialirkan dan selanjutnya kapsul tumor diangkat piece meal dan contoh jaringan dikirim untuk dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi. Kapsul tumor yang menempel pada saraf optikus dan internal carotis dapat dipisahkan dengan baik. Kapsul tumor sisi posterior melekat erat pada

Gambar 1. MRI tampak massa berukuran 5,12cm x 2,63 cm menonjol dari sella tursica dengan batas tegas, massa tampak terisi kontras.

Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

pituitary stalk sehingga terpaksa sebagian kapsul yang melekat ditinggalkan. Kami melakukan identifikasi dan kontrol pada pendarahan. Intraoperasi otak tidak tampak edema, selanjutnya dilakukan penutupan area operasi. Dura mater ditutup kedap air. Tulang calvaria dan rima orbitalis dikembalikan dengan fiksasi miniplate. Setelah tumor berhasil diangkat, spesimen tumor dikirim ke laboratorium patologi anatomi untuk diidentifikasi tipe kraniofaringioma. Hasil pemeriksaan patologi anatomi menunjukkan suatu kraniofaringioma tipe adamantinomatous. IV. Pembahasan Kraniofaringioma adalah tumor otak yang didefinisikan oleh WHO sebagai tumor jinak

133

pada daerah sella yang berasal dari kantong ratkhe epitelial. Walaupun merupakan tumor jinak, proses pengobatan kraniofaringioma dapat menyebabkan kerusakan pada struktur sella dan presella, sehingga beberapa klinisi menyebutnya tumor jinak pada lokasi maligna “benign tumor in malignant location”.7 Kraniofaringioma merupakan tumor yang jarang sekali terjadi, dimana insidensinya hanya 1,34 pasien per 1 juta penduduk. Di Amerika, sekitar 2680 kasus dilaporkan sejak tahun 2005 hingga 2009, dimana angka tersebut representatif dari 0,9% kasus tumor sistem saraf pusat. Sejumlah pasien berusia 0–14 tahun dimana usia puncak terjadinya tumor ini berada diantara 5 hingga 14 tahun.7 Insidensi kraniofaringioma di negara Asia lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika, dimana

Gambar 3. Post operatif (a) Gambaran Klinis Pasien (b) Gambaran CT Scan Pasca Operasi Kraniofaringioma Frontotemporal

Gambar 2. Prosedur Operasi (a) Site Marking (b) Pasien dalam Keadaan Supine dan Dilakukan Fiksasi dengan Pendulum Dilanjutkan Insisi dan Burhole pada Orbita

134

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

laporan studi di negara Jepang adalah 5,8% dari seluruh kasus baru tumor sistem saraf pusat yang mana 12,5% terjadi pada anak. Laporan kraniofaringioma di Cina adalah 6,5% dari 12.785 kasus tumor sistem saraf pusat termasuk proses metastasis.7,8 Secara histologi terdapat dua tipe kraniofaringioma, yaitu adamantinomatous dan papillari. Keduanya berasal dari kantong Ratkhe epitelial. Kranifaringioma pada kasus ini merupakan jenis adamantinomatous, yang mana tipe ini merupakan jenis yang paling umum terjadi pada anak serta seringkali berupa kalsifikasi dan kistik. Bentuk kistik dapat berkembang menjadi sangat besar dan mangandung cairan yang kaya kolesterol yang akan berbahaya jika kontak dengan jaringan otak normal. Tumor solid terdiri atas lapisan sel columnar pallisading tanpa epitelial stelata dan sel deskuamasi yang disebut “wet keratin” Kraniofaringioma tipe adamantinomatous terjadi oleh karena perubahan sel epitelial neoplastik berasal dari stomodeum yang terjebak pada duktus kraniofaringeal saat perkembangan pituitari yang dikenal sebagai teori embriogenetik.7,9 Berbeda halnya dengan tipe adamantinomatous, kraniofaringioma tipe papillari merupakan tumor primer yang terjadi pada usia dewasa, yang mana secara histologi terdiri atas “wet keratin”, namun dengan epitel squamous yang berdiferensiasi dengan baik serta tumor lebih solid dan uniformis. Kraniofaringioma tipe ini terjadi secara sekunder akibat metaplasia sel adenohipofisis pada pars tuberalis yang kemudian disebut sebagai teori metaplastik. Namun demikian, pada sebuah studi dilaporkan kedua tipe ini dapat terjadi secara bersamaan dimana telah dilakukan evaluasi terhadap 131 spesimen kraniofaringioma, 20 (15%) diantaranya terdiri atas sel epitel squamous dan adamantinomatous.7,9 Keterlibatan neuro-oftalmika merupakan keluhan yang paling umum dikeluhkan oleh pasien dengan kraniofaringioma. Seperti halnya pada kasus ini, pasien mengeluhkan tidak dapat melihat sama sekali pada mata kanan serta mata kiri hanya dapat melihat pada bagian sentral (penurunan lapangan pandang). Penurunan tajam

penglihatan, pengenalan warna, serta lapangan pandang lebih sering dilaporkan dibandingkan penglihatan ganda. Penilaian lapangan pandang perlu dilakukan perlu dilakukan sebagai landasan untuk menentukan lokasi penekanan baik di nervus optikus intrakranial, kiasma optikus dan traktus optikus. Metode pencitraan modern memungkinkan diagnosis yang lebih cepat, tanpa rasa sakit, serta dapat dijadikan sebagai monitor untuk berbagai tindakan tatalaksana yang akan dilakukan.10 Pasien dengan kraniofaringioma umumnya memiliki satu atau beberapa difisiensi hormon pituitari dan/atau disfungsi hipotalamus, yang mana terjadi akibat tumor, prosedur operasi, dan radioterapi. Sehingga dengan demikian, perlu dilakukan evaluasi secara periodik termasuk memeriksan untuk deteksi dan tatalaksana disfungsi neuroendokrin.11 Hipopituitarisme merupakan kelainan hormonal yang prevalensinya paling tinggi pada kraniofaringioma, dimana terjadi sekitar 85% pada saat awal diagnosis. Defisiensi hormon pertumbuhan dilaporkan terjadi sekitar 35– 100% kasus, defisiensi hormon gonadotropin luteimizing hormon (LH) dan folicle stimulating hormon (FSH) terjadi pada 38–91% kasus, defisiensi hormon kortikotropin (ACTH) 21– 68% kasus, defisiensi hormon tirotropin (TSH) 20– 42% kasus. Hiperprolaktinemia ringan (<150 ng/ml) juga dilaporkan pada 55% kasus yang terjadi akibat “stalk effect” (kerusakan proses penghambatan aliran dopamin dari hipotalamus ke laktotrop pituitari). Berdasarkan evaluasi kadar TSH dan prolaktin pada kasus ini, ditemukan kadar yang normal untuk keduanya atau dengan kata lain tidak ditemukan adanya kelainan pada hormon tersebut.11 Jika pasien mengalami defisiensi hormon tirotropin hormon sebagai akibat hipotiroidisme sentral, secara klinis tidak dapat dibedakan dengan hipotiroidisme akibat sebab yang lain. Pasien akan mengalami gejala hipotiroidisme seperti lemah, peningkatan berat badan, pertumbuhan terhambat, konstipasi, kulit kering, myxedema, distimia serta hiponatremia dan dislipidemia juga terjadi. Hiperprolaktinemia dapat menyebabkan infertilitas pada laki-laki ataupun perempuan, diamana perempuan akan mengalami galactorrhea

Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Gambar 4. Posisi pasien intraoperatif.15

dan ginekomastia pada laki-laki.11Pembedahan merupakan tatalaksana utama kraniofaringioma. Berbagai studi preoperatif perlu dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, evaluasi endokrin, evaluasi neuro-oftalmologi. Selain itu perlu dilakukan juga evaluasi neurobehavioral, dimana dilakukan terhadap aktivitas fisik, pengontrolan nafsu makan, obesitas yang mana berkaitan dengan kerusakan hipotalamus.12-14 Tujuan utama dilakukan metode pembedahan pada kraniofaringioma adalah untuk mengontrol pertumbuhan tumor, pemeliharaan atau memperbaiki fungsi penglihatan, dan memelihara pituitari/hipotalamus. Pendekatan pembedahan frontolateral merupakan prosedur yang paling umum dilakukan dalam sebuah serial kasus, yaitu pada 14 pasien (56%). Pada kasus ini dilakukan tehnik pembedahan kombinasi frontolateral dan pterional.12-14 Pasien ditempatkan dalam posisi terlentang

135

dan kepala tetap dalam ekstensi, diputar 30˚ ke sisi berlawanan dari kraniotomi menggunakan dudukan kepala Mayfield. Selanjutnya sayatan kulit bicoronal dibuat. Flap dibuat di depan depan sepanjang perikranium. Flap perikranium harus dipertahankan untuk rekonstruksi dasar tengkorak. Setelah mengangkat otot temporalis dan memisahkan duramater di daerah frontal, kraniotomi frontal dan temporal yang kraniotomi kecil dilakukan. Dengan mempertimbangkan penglihatan yang kurang baik pada sisi kiri, pendekatan sisi kanan biasanya lebih disukai, kecuali perpanjangan lateral tumor terutama di sisi kiri. Selanjutnya dilakukan osteotomi orbital pada sisi kraniotomi.12-14 Duramater frontal dan temporal secara hati-hati dipisahkan dari atas dan lateral dinding orbita. Dilakukan pemisahan saraf periorbita, dan saraf supraorbital yang dilindungi. Osteotomi dari atas dan dinding lateral orbita dilakukan. Di bawah mikroskop bedah, fisura orbital superior pertama dipisahkan, dengan memotong sayap tulang lasser dan greater sphenoid.12-14 Selanjutnya dura frontotemporal dibuka dengan pola C “C-Shaped” untuk melihat struktur anatomi sylvian. Nervus optikus dan sisterna karotis berada pada bagian media dari fissura sylvian dibuka. Selanjutnya tumor pada kasus ini tampak berkapsul. Dilakukan debulking tumor melalui celah subchismatic dengan, dan bekerja pada 3 jalur dengan memisahkan struktur neurovaskular

Gambar 4. Jalur Reseksi Tumor melalui Interoptik, Carotid-Aculomotor, dan Celah Carotid Tentorial dengan secara Hati-Hati Melindungi Arteri Hipofisis Superior.15

136

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

secara bertahap khususnya yang menjadi perhatian besar adalah arteri hipofisis superior.12-14 Komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat proses pembedahan adalah berupa diabetes insipidus, hipopituitarisme, cedera arteri karotis internal, cedera nervus optikus dan kiasma optikus serta vasospasme yang terjadi hingga 4 minggu pasca pembedahan.12-14 Pada kasus ini, komplikasi yang timbul pasca tidakan pembedahan adalah diabetes insipidus. Diabetes insipidus merupakan salah satu komplikasi yang umum terjadi pasca tindakan pembedahan kraniofaringioma, dimana dilaporkan insidensi post operatif mencapai 100% kasus. Insidensi terjadinya diabetes insipidus dengan prosedur pembedahan transspenoid lebih rendah (36%) dibandingkan dengan prosedur operasi transkranial (69%). Diabetes insipidus terjadi akibat manipulasi bedah pada pituitary stalk. Jika pituitary stalk rusak atau terpotong, maka pasien akan mengalami diabetes insipidus secara permanen. Namun, pada beberapa kasus dilaporkan diabetes insipidus terjadi pada pituitary stalk yang intak yang mana hal tersebut terjadi akibat disfungsi hipotalamus.12 Prosedur pembedahan kraniofaringioma merupakan tantang besar dimana prosesnya melibatkan berbagai struktur penting seperti nervus optikus, sirkulus willisi, hipotalamus dan batang otak yang membutuhkan tehnik khusus dan pengalaman. Dengan tehnik dan teknologi yang baik, angka kematian dan kesakitan jauh menurun setiap tahunnya. Selain itu juga diperlukan kerjasama berbagai multidisiplin ilmu untuk menurunkan resiko bahaya dan memperbaiki hasil saat pembedahan.15 IV. Simpulan Kraniofaringioma adalah tumor otak yang didefinisikan oleh WHO sebagai tumor jinak pada daerah sella yang berasal dari kantong Ratkhe epithelial. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang terhadap pasien pada kasus ini, disimpulkan diagnosis pasien adalaha Kranifaringioma tipe adamantinomatous yang mana telah dilakukan prosedur tehnik pembedahan kombinasi frontolateral dan pterional. Komplikasi pasca pembedahan yang

terjadi pada pasien adalah diabetes insipidus yang terjadi akibat kerusakan pituitary stalk atau disfungsi hipotalamus. Daftar Pustaka 1. Singh P, Sarkari A, Sarat Chandra P, Mahapatra A, Sharma B, Gurjar H. Giant craniopharyngioma presenting as a cerebellopontine angle tumour. Pediatric neurosurgery. 2012;48(2):131–2. 2. Müller HL. Craniopharyngioma. Endocrine reviews. 2014;35(3):513-43. 3. Pouchieu C, Baldi I, Gruber A, Berteaud E, Carles C, Loiseau H. Descriptive epidemiology and risk factors of primary central nervous system tumors: Current knowledge. Revue neurologique. 2015. 4. Zada G, Lopes MBS, Mukundan Jr S, Laws Jr E. Craniopharyngiomas. Atlas of Sellar and Parasellar Lesions: Springer; 2016, 197–210. 5. Yomo S, Hayashi M. A minimally invasive treatment option for large metastatic brain tumors: long-term results of two-session Gamma Knife stereotactic radiosurgery. Radiation Oncology. 2014;9(1):1. 6. Horvat A, Kolak J, Gopcevic A, Ilej M, Gnjidic Z. Anesthetic management of patients undergoing pituitary surgey. Acta Clin Croat. 2011;50:209–16. 7. Gooch MR, Evans JJ, Kenning TJ. Inrtroduction. Dalam: Evas JJ, Kenning TJ, editors. Craniopharyngiomas: comprehensive diagnosis, treatment and outcome. Oxford: Academic Press; 2014, 3–13. 8. Nielsen E, Jørgensen J, Bjerre P, Andersen M, Andersen C, Feldt-Rasmussen U, et al. Acute presentation of craniopharyngioma in children and adults in a Danish national cohort. Pituitary. 2013;16(4):528–35. 9. Prabhu VC, Brown HG. The pathogenesis

Prosedur Operasi Kombinasi Frontolateral dan Pterional pada Kraniofaringioma di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

of craniopharyngiomas. Child's Nervous System. 2005;21(8-9):622–7. 10. Sergott RC. Introduction. Dalam: Evas JJ, Kenning TJ, editors. Neuro-Ophthalmic Manifestations of Craniopharyngiomas. Oxford: Academic Press; 2014, 121–33. 11. Tritos NA, Klibanski A. Introduction. Dalam: Evas JJ, Kenning TJ, editors. Craniopharyngioma: neuroendocrine evaluation and management. Oxford: Academic Press; 2014, 109–18. 12. Mantovani A, Ferreira M, Sekhar LN. Introduction. Dalam: Evas JJ, Kenning TJ, editors. The frontolateral approach to adult craniopharyngiomas. Oxford: Academic Press; 2014,193–206.

137

13. Niranjan A, Kano H, Mathieu D, Kondziolka D, Flickinger JC, Lunsford LD. Radiosurgery for craniopharyngioma. International Journal of Radiation Oncology Biology Physics. 2010;78(1):64–71. 14. Gerganov V, Metwali H, Samii A, Fahlbusch R, Samii M. Microsurgical resection of extensive craniopharyngiomas using a frontolateral approach: operative technique and outcome: Clinical article. Journal of neurosurgery. 2014;120(2):559–70. 15. Louis RG, Barkhoudarian G, Kelly DF. Inrtroduction. Dalam: Evas JJ, Kenning TJ, editors. Surgical approaches: complications of surgical management. Oxford: Academic Press; 2014, 281–99.

Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi Rebecca Sidhapramudita Mangastuti*), Sri Rahardjo*), Himendra Wargahadibrata***) *)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Lebak Bulus, Jakarta Selatan, **) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta ***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Abstrak Kejang adalah perubahan fungsi otak secara mendadak dan sementara akibat aktifitas nueron yang abnormal sehingga terjadi pelepasan listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini dapat bersifat parsial atau general, berasal dari daerah spesifik korteks serebri atau melibatkan kedua hemisfer otak. Kejang disebabkan oleh banyak faktor, yaitu penyakit serebrovaskuler (stroke iskemik, stroke hemoragik), gangguan neurodegeneratif, tumor, trauma kepala, gangguan metabolik, infeksi susunan saraf pusat (SSP) seperti ensefalitis, meningitis. Penyebab lain adalah gangguan tidur, stimulasi sensori atau emosi, perubahan hormon, kehamilan, penggunaan obat-obatan yang menginduksi kejang (teofilin dosis tinggi, fenotiazin dosis tinggi), antidepresan (maprotilin atau bupropion), kebiasaan minum alkohol. Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 1981, epilepsi adalah suatu kelainan otak yang ditandai adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Diagnosa epilepsi ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik dan electroencephalography (EEG). Umumnya, epilepsi diterapi dengan obat antiepilepsi atau anti konvulsan. Apabila kejang tidak teratasi dengan obat oral, dapat dilakukan terapi invasif atau pembedahan, berupa non brain epilepsy surgery atau brain epilepsy surgery. Di Inggris, diperkirakan 0,5–2% total penduduk, menderita epilepsi, dimana 13% memerlukan terapi invasif atau pembedahan. Studi retrospektif, membuktikan, pengobatan invasif atau pembedahan pada epilepsi yang tidak respons terhadap obat oral, telah berhasil mengurangi serangan kejang. Penatalaksanaan anestesi pada epilepsi merupakan tantangan tersendiri bagi dokter anestesi. Diperlukan pemilihan gas, anestetika intravena dan teknik anestesi yang tidak memicu serangan kejang selama operasi. Interaksi dan efek samping obat anti epilepsi harus diperhitungkan saat anestesi. Kata kunci: anestesi, epilepsi, kejang

Anesthesia Management on Epilepsy Surgey

JNI 2016;5(2): 138–54

Abstract Seizures are sudden changes in brain function and activity of abnormal neuron activity causing cerebral excessive electrical discharges. May be partial or general, comes from a spesific region of the cerebral cortex or both hemispheres. Caused by cerebrovascular disease (ischemic stroke, hemorrhagic stroke), neurodegenerative disorders, tumors, head trauma, metabolic disorder, central nervous system infection (encephalitis, meningitis). Another factor are sleep disorder, sensory of emotional stimulation, hormonal changes, pregnancy, use of drugs induce seizures (theophyline high-dose, phenothiazine high-dose), antidepresants (maprotilin or bupropion), drinking alkohol. International League Against Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE) in 1981, epilepsy is a brain disorder that can trigger epileptic seizures, neurological changes, cognitive, psychological and social consequences resulting. Diagnose is anamnesa, physical examnination and electroencephalography. Treated with antiepileptic drugs or anticonvulsant. If the seizures are not resolved, can be invasive or surgical therapy (non brain epilepsy surgery or brain surgery). In UK, 0,5 - 2% suffer from epilesy, 13% require surgical therapy. A retrospective study, prove that invasive treatment has succeeded. Management of anesthesia is a challenge for anesthesiology. Election necessary gas, intravenous and anesthesia techniques that do not trigger a seizure. Interaction and side effects of anti epileptic drugs should be calculated. Key words: anesthesia, epilepsy, seizures

JNI 2016;5(2): 138–54

138

Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi

139

I. Pendahuluan

pseudoseizures

Kejang adalah gerakan tonik, klonik atau tonik-klonik yang involuntar yang merupakan serangan berkala, yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. Kejang disebabkan oleh banyak faktor, yaitu penyakit serebrovaskuler (stroke iskemik, stroke hemoragik), gangguan neurodegeneratif, tumor, trauma kepala, gangguan metabolik, infeksi susunan saraf pusat (SSP) seperti ensefalitis, meningitis. Faktor lain penyebab kejang adalah gangguan tidur, stimulasi sensori atau emosi, perubahan hormon, kehamilan, penggunaan obatobatan yang menginduksi kejang seperti teofilin dosis tinggi, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan (maprotilin atau bupropion), kebiasaan minum alkohol.1,2 Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005, epilepsi adalah suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan / atau gejala yang timbul sepintas (transient) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak. Apabila serangan kejang pada epilepsi terjadi terus menerus tanpa adanya periode pemulihan kesadaran diantara periode kejang, disebut status epileptikus.3,4 Penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan riwayat kejang / epilepsi merupakan tantangan tersendiri bagi dokter anestesi. Diperlukan pemilihan gas, obat anestesi dan teknik anestesi yang tidak memicu kejang, pre operasi, intra operasi dan pasca operasi. Harus dipertimbangkan pula Interaksi dan efek samping obat anti epilepsi harus diperhitungkan saat anestesi dilakukan.

1.1 Partial Seizures Kejang parsial (partial seizures) bermula dari area fokus tertentu (silent areas) di kortek serebri, umumnya tidak memiliki manifestasi klinis dan tidak dapat didiagnosa tanpa bantuan pemeriksaan EEG intrakranial. Pada tipe simple partial seizures, kejang dipicu oleh aura (contoh: cahaya), tidak didapatkan penurunan kesadaran pada pasien. Kejang tipe complex partial seizures, umumnya terjadi pada lobus temporal, terjadi penurunan kesadaran, reaksi yang nonresponsif dan amnesia pasca kejang. Jika kejang dipicu pada satu area yang kemudian menyebar ke otak dan batang otak, sehingga menimbulkan kejang konvulsif (kejang tonik atau kejang klonik), dikategorikan tipe partial onset with generalization seizures.1,2 1.2 Generalized Seizures Kejang generalisata (generalized seizures) berawal dari kedua hemisfer serebri. Dapat bermula dari thalamus dan struktur subkortikal lainnya. Pada EEG, ditemukan kelainan secara serentak pada kedua hemisfer. Kejang generalisata, memberikan manifestasi bilateral pada tubuh dan terdapat gejala penurunan



II. Tinjauan Pustaka 1 Klasifikasi kejang epilepsi Pada tahun 1981, ILAE, mengklasifikasikan kejang epilepsi atas partial seizures, generalized seizures,



dan

unclassified

epilepsy.1,2

Tabel 1. Klasifikasi kejang epilepsi1,2 Klasifikasi Seizure I Partial seizures A. Simple B. Complex C. Partial onset generalization II Generalized seizures A. Inhibitor 1. Absence 2. Atonic B. Excitatory 1. Myoclonic 2. Clonic 3. Tonic III Pseudoseizures V Unclassified

with

140

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

kesadaran.1,2 1.3 Pseudoseizures Umumnya, pasien dengan kejang tipe pseudoseizures memiliki riwayat penyalahgunaan obat/zat terlarang (narkoba), kepribadian yang depresi dan pernah mencoba usaha bunuh diri. Kejang pseudoseizures bermanifestasi menyerupai partial seizures atau generalized seizure, namun tidak khas.1,2 1.4 Unclassified Seizures Unclassified seizures adalah kejang yang tidak dapat digolongkan partial atau general, contohnya kejang demam, kejang mioklonik berat pada bayi, kejang pada imbalance electrolit, kejang eklampsi, kejang akibat pemakaian obat/zat tertentu.1,2 2. Patofisiologi Epilepsi Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter eksitatori dan inhibitori. Definisi neurotransmiter inhibitori seperti Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter eksitatori seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak normal. Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu glutamat, aspartat, asetilkolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida, sitokin dan hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat neuron) yaitu dopamin dan GABA.1,2 Serangan kejang juga diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi ATP ase yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidakstabilan membran neuron. Aktifitas glutamat pada reseptor alpha amino 3 hidroksi 5 methylosoxazole-4propionic acid (AMPA) dan N-methyl D-aspartat (NMDA) dapat memicu pembukaan kanal Na+. Pembukaan kanal Na+ ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca 2+, sehingga ion-ion Na+ dan Ca 2+ banyak masuk ke intrasel. Akibatnya terjadinya pengurangan perbedaan polaritas pada membran sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam penerusan potensial aksi sepanjang sel saraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan glutamat pada pasien epilepsi menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan memicu

aktivitas sel-sel saraf. Beberapa obat antiepilepsi, bekerja dengan cara memblokade atau menghambat reseptor AMPA dan menghambat reseptor NMDA. Interaksi antara glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ionion Na+ dan Ca 2+ yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi. Namun felbamat (antagonis NMDA) dan topiramat (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan pada reseptor glutamat, sehingga glutamat tidak bisa berikatan dengan reseptornya. Efek dari kerja kedua obat ini adalah menghambat penerusan potensial aksi dan menghambat penerusan potensial aksi dan menghambat aktivitas sel-sel saraf yang teraktivasi. Patofisiologi epilepsi yang meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini akan menyebabkan instabilitas pada sel-sel saraf tersebut.1-5 3 Terapi Kejang Obat yang umum digunakan untuk mengatasi serangan kejang pada epilepsi antara lain, carbamazepine, clonazepam, diazepam, clorazepate, phenytoin, gabapentin, primidone, tiagabine, valproic acid. Efek samping obat tersebut, dapat berupa sedasi, ataksia, dyskinesia, sensori neuropati, gangguan fungsi hepar, aplastic anemia, leukopenia, trombositopenia, kulit kemerahan (rashes), systemic lupus erythematosus (SLE), scleroderma, hiponatermi, gangguan fungsi tiroid. Antikonvulsan/ antiepilespi umumnya memiliki efek resisten terhadap pelumpuh otot dan opioid, diduga obat tersebut akan meningkatkan klirens dan menurunkan waktu paruh obat-obat anestesi. Sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi, agar pelumpuh otot dan opioid tersebut dapat berfungsi. Namun hingga kini, belum diketahui secara pasti, apa yang menyebabkan hal tersebut. Selain itu, antikonvulsan/anti epilepsi juga memiliki efek kardiak disaritmia, yang beresiko terjadinya sudden death syndrom. Efek samping lain adalah angina, neurogenic pulmonary edema, pheochromocytoma syndrom.6-9 Bila kejang tidak teratasi dengan medikamentosa, umumnya dilakukan terapi invasif atau pembedahan (surgical therapy), dapat berupa nonbrain epilepsy surgery atau brain epilepsy surgery. Nonbrain epilepsy surgery adalah

Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi

tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kejang pada epilepsi dengan cara stimulasi elektrik pada nervus vagal dengan cyberonics NCP vagal nerve stimulator (VNS) system, atau stimulasi elektrik pada nukleus centromedian thalamic. Brain epilepsi surgery adalah tindakan pembedahan reseksi pada fokus epilepsi diotak, seperti temporal lobectomi, amydalohippocampectomy, extratemporal/extrafrontal cortical excision, hemispherectomy, corpus callosotomy atau stereotactic excision. Didapatkan 50%–90% serangan kejang akan berkurang setelah tindakan pembedahan. Didapatkan tingkat morbiditas dan mortalitas 5% pada operasi epilectogenic focus resection, 20% pada operasi corpus callosotomy dan 50% pada operasi hemispherectomy. 10–12 4 Teknik anestesi Teknik anestesi yang digunakan pada operasi epilepsi, dapat berupa: awake craniotomy atau general anestesi dengan total intravenous anesthesia (TIVA) atau kombinasi gas anestesi dengan obat anestesi intravena. 4. 1 Awake craniotomy Pada awake craniotomy, pasien tidak terjaga (sadar) sepanjang operasi, ada periode tidur -bangun – tidur. Umumnya teknik ini digunakan untuk tindakan intractable epilepsy atau cortical mapping dengan stimuluasi elektrik pada korteks Tabel 6. Skala Sedasi Ramsay (Ramsay Sedation Scale /RSS).1,2 Tingkat aktivitas

Nilai

Pasien sadar, cemas, gelisah 1 Pasien sadar, kooperatif, tenang 2 Pasien tidur, respon hanya terhadap 3 perintah lisan Pasien tidur, respon cepat terhadap ketukan 4 ringan di glabella atau stimulus suara yang keras Pasien tidur, respon yang lamban terhadap 5 ketukan ringan di glabella atau stimulus suara yang keras Pasien tidur, tidak respon terhadap ketukan 6 ringan di glabella atau stimulus suara keras

141

serebri. Dengan teknik ini, operator dapat menentukan dengan tepat, area operasi pada kortek yang akan direseksi sehingga diharapkan morbiditas neurologi minimal. Keuntungan lain, insidens post operaative nausea and vomiting (PONV) minimal dibanding dengan general anestesi, rawat inap juga akan lebih singkat.16-20 Selama awake craniotomy, pasien diharapkan dapat bekerja sama baik dengan operator maupun dokter anestesi. Pasien harus terasa nyaman saat terbaring di meja operasi dan kooperatif saat cortical mapping dilakukan. Untuk itu diperlukan persiapan adekuat terhadap pasien dengan menjelaskan metode awake craniotomy yang akan dilakukan, saat kunjungan anestesi sebelum operasi. Intraoperasi, ruangan operasi harus nyaman, obat analgetik dan sedasi adekuat, tersedianya obat-obatan apabila terjadi komplikasi selama tindakan. Obat antihipertensi, steroid, antikonvulsan yang rutin digunakan untuk mengatasi kejang/epilepsi, tetap diberikan sebelum operasi dimulai. Sesaat sebelum dimulai operasi, dapat dilakuak scalp bolk, untuk mengurangi nyeri. Induksi anestesi dilakukan dengan dexmedetomidine dan propofol. Saat stimulasi test oleh operator, pasien sadar penuh dengan skala Ramsay derajat 2. Hatihati terjadi komplikasi intraoperasi seperti obstuksi jalan nafas, kejang, mual, muntah. Obat-obat untuk general anestesi harus siap sedia apabila diperlukan. Apabila tidak tersedia dexmedetomidin, dapat digunakan neurolept analgesia droperidol dan fentanyl. Komplikasi yang mungkin ditimbulkan obat dropridol dan fentanyl adalah agitasi, drowsiness, nyeri, kejang dan depresi pernafasan. 4. 2 Anestesi umum (General Anesthesia) Selain awake craniotomy, dapat pula digunakan anestesi umum untuk operasi pasien dengan riwayat kejang/epilepsi. Pada anestesi umum, dapat digunakan TIVA atau kombinasi obat anestesi intravena dengan gas anestesi.16-17 Teknik total intravenous anesthesia (TIVA), yaitu tehnik anestesi umum dengan menggunakan obat anestesi secara intravena yang dilakukan saat induksi maupun rumatan anestesi tanpa menggunakan gas anestesi. Keuntungan TIVA adalah hemodinamik lebih stabil, kedalaman

142

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

anestesi lebih stabil, lebih dapat diprediksi, pemulihan lebih cepat, mual muntah pasca operasi menurun, tidak ada polusi di kamar operasi, tidak toksis terhadap organ, tidak iritasi pada jalan nafas, tidak delirium pascabedah, laju jantung lebih rendah, menurunkan tingkat stres. Obat yang digunakan umumnya propofol, fentanyl, vecuronium. Dexmedetomidin dapat ditambahkan jika perlu.18-20 Pada anestesi umum dengan kombinasi obat intravena dan gas anestesi, harus dihindari pemakaian N2O, halotan dan enfluran karena dapat memicu timbulnya serangan kejang intraoperasi. Gas N2O diganti dengan compress air, dengan perbandingan oksigen : compress air = 1 : 1.18-20 5 Gas dan Anestetika Intravena Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan anestesi pada pasien epilepsi yang akan menjalani operasi bedah saraf adalah memfasilitasi tidak timbul kejang selama preoperasi, intraoperasi dan pasca operasi dan memahami interaksi obat anestesi dengan obat antiepilepsi yang digunakan pasien.1,2 5.1. Gas anestesi 5.1.1. Nitrous oksida (N2O) Penggunaan N2O untuk neuroanestesi masih tetap menjadi perdebatan, karena efeknya terhadap aliran darah otak (cerebral blood flow /CBF), cerebral metabolic rate for oxygen (CMRO2) dan tekanan intrakranial (TIK). N2O 60% akan meningkatkan aliran darah otak 100% dan meningkatkan CMRO2 kurang lebih 20%. Peningkataan aliran darah otak ini, dapat dikurangi dengan pemberian barbiturat, opioid atau hipokapnia. Efek pada aliran darah otak dan tekanan intrakranial lebih lemah dibandingkan efek halotan, karena efek ini mudah dilawan dengan hipokarbia dan vasokonstriksi pada pemberian barbiturat.18-20 Pada tikus percobaan, didapatkan serangan kejang saat diinduksi dengan N2O. Namun belum didapatkan laporan terjadinya kejang saat induksi dengan N2O pada manusia. N2O akan memiliki pengaruh yang minimal apabila dikombinasi dengan obat anestesi intravena.18-20 Karena efek N2O yang cenderung negatif pada neuroanestesi, maka gas ini tidak direkomendasikan pada operasi bedah saraf, dan pasien dengan riwayat kejang/epilepsi.18-20

5.1.2 Halotan

Halotan akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak dan meningkatkan aliran darah otak, dengan mempertahankan tekanan darah sistemik. Didapatkan peningkatan aliran darah otak dua kali lebih besar dibandingkan dengan enflurane dan isoflurane. Pada manusia maupun pada binatang, halotan akan meningkatkan TIK yang bergantung pada dosis, dimana peningkatan TIK akan sejajar dengan peningkatan aliran darah otak.18-20 Pada kadar 0,5 MAC atau kurang, efek terhadap TIK minimal. Dosis lebih dari 1 MAC akan menyebabkan hilangnya autoregulasi otak, yang akan menetap sampai periode pascabedah. Peningkatan TIK yang disebabkan oleh halotan seringkali berkaitan dengan hipotensi sistemik, sehingga terjadi penurunan tekanan perfusi otak. Respon ini akan meningkatkan resiko terjadinya iskemia otak. Peningkatan TIK, dapat dihilangkan dengan hiperventilasi sebelum diberikan halotan atau dengan pemberian barbiturat.18-20 Efek lain adalah peningkatan volume darah otak 12%, pembentukan cerebro spinal fluid (CSF) menurun dan absorbsi CSF akan dihambat. Halotan akan meningkatkan air dalam jaringan otak, sehingga dapat memperburuk edema otak yang telah ada. Selain itu, permeabilitas sawar darah otak (Blood Brain Barier/BBB) akan meningkat pada pemberian halotan. Rusaknya sawar darah liquor dan sawar darah otak oleh halotan, akan menyebabkan terjadinya hipertensi intrakranial. Kombinasi halotan dan N2O akan meningkatkan CBF 300%. Halotan dapat memicu serangan kejang pada pasien dengan riwayat kejang/ epilepsi.18-20 Berdasarkan data-data diatas, halotan tidak direkomendasikan pada operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang/epilepsi. 5.1.3 Enfluran

Enfluran menurunkan CMRO2 lebih besar daripada halotan, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan isofluran. CMRO2 akan menurun 30% pada dosis 1 MAC dan menurun 50% pada dosis 2 MAC. Volume darah otak akan meningkat 15% pada konsentrasi klinis pemakaian enflurane. Enfluran dapat meningkatkan pembentukan dan resistensi terhadap absorbsi cairan serebrospinal (CSF), sehingga pada operasi yang lama, jumlah

Penatalaksanaan Anestesi Pada Operasi Epilepsi

CSF akan meningkat. Autoregulasi otak akan hilang pada dosis >1 MAC. Pada dosis 1,5–2 MAC, terutama saat hipokapni (PaCO2 < 30 mmHg), enfluran akan menyebabkan kejang, yang akan meningkatkan CMRO2 400%. Gas ini tidak direkomendasikan pada operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang / epilepsi. 5.1.4 Isofluran

Dahulu isofluran merupakan obat anestesi inhalasi pilihan untuk bedah saraf, karena dapat menurunkan CMRO2 sampai 50%. Pada dosis 0,6–1,1 MAC, isofluran tidak berpengaruh terhadap aliran darah otak dan volume darah otak, tetapi pada dosis 1,6 MAC dapat menyebabkan peningkatan aliran darah otak 200%. Dosis kurang dari 1 MAC, tidak akan berpengaruh terhadap TIK, kecepatan produksi dan reabsorbsi CSF. Reaktivitas CO2 terhadap pembuluh darah otak meningkat dan dipertahankan meskipun pada kadar yang tinggi.18-20 Dosis lebih dari 1,5 MAC, autoregulasi akan terganggu dan terjadi peningkatan aliran

143

darah otak dan TIK. Peningkatan TIK karena isofluran akan berakhir 30 menit setelah gas anestesi dihentikan. Peningkatan TIK dapat dihilangkan dengan melakukan hiperventilasi untuk mendapatkan hipokapni. Respon terhadap hipokapni masih baik sampai dosis 2,8 MAC, tetapi pada dosis ini kenaikan PaCO2 gagal untuk mempengaruhi aliran darah otak, karena pembuluh darah otak sudah tidak berdilatasi maksimal.18-20 Aliran darah otak akan meningkat, tetapi resistensi absorbsi cairan serebrospinal menurun. Depresi terhadap metabolisme lebih besar pada isofluran dibandingkan halotan. Depresi progresif terjadi pada dosis 1 MAC. Pada dosis lebih atau sama dengan 2 MAC, tampak gambaran EEG isoelektrik dengan penurunan CMRO2 50%. Isofluran dapat menimbulkan hipotensi, namun aliran darah otak tidak berubah tetapi CMRO2 akan menurun, sehingga terjadi supresi lonjakan EEG (mensupresi kejang), dan mengurangi hipermetabolisme yang disebabkan oleh katekolamin. Berdasarkan data diatas, isofluran dapat direkomendasi untuk anestesi

Tabel 2. Pengaruh gas anestesi inhalasi pada CBF, CMRO2 dan ICP 1,2, 18-20 Gas anestesi inhalasi N2O Halotan Enfluran Isofluran Desfluran

CBF meningkat meningkat meningkat meningkat meningkat

CMRO2 meningkat menurun menurun menurun menurun

TIK meningkat meningkat meningkat meningkat meningkat

Sevofluran

meningkat

menurun

meningkat

Tabel 3. Pengaruh gas anestesi inhalasi pada laju pembentukan CSF, resistensi reabsorpsi CSF dan TIK 1,2, 18-20 Gas anestesi inhalasi N2O Isofluran dosis rendah dosis tinggi Desfluran Sevofluran

K e c e p a t a n Resitensi terhadap Prediksi efek pada TIK pembentukan CSF absorpsi CSF Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan

Tidak ada perubahan, efek tergantung dosis Tidak ada perubahan menurun Tidak ada perubahan, Tidak ada perubahan efek tergantung dosis Menurun Meningkat

Tidak ada perubahan, efek tergantung dosis Menurun Tidak ada perubahan, efek tergantung dosis Tidak tentu, efek terjadi hanya selama hipokapni

144

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pada operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang/epilepsi. 5.1.5 Sevofluran Merupakan derivat methyl isoprophylether dengan kelarutan dalam darah yang rendah, uptake dan eliminasi cepat, induksi inhalasi cepat tanpa iritasi jalan nafas, batuk dan spasme laring. Autoregulasi tetap intak sampai dosis 1,5 MAC, berbeda dengan isofluran dan desfluran yang akan terganggu autoregulalsi otak pada dosis 1,5 MAC. Efek vasodilasi sevofluran lebih kurang dari isoflurane, enfluran dan halotan (sevofluran < isofluran < enfluran < halotan). Sevofluran akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak yang lebih rendah dibandingkan gas anestesi lainnya dan menurunkan CMRO2. Efek akhir dari aliran darah otak bergantung pada keseimbangan efek langsung vasodilatasi dan efek tidak langsung akibat penurunan metabolisme otak. Sevofluran tidak menyebabkan aktivitas epileptiform seperti enfluran. Tidak didapatkan peningkatan denyut jantung seperti pada isofluran. Sensitifitas terhadap katekolamin tidak meningkat. Onset cepat, pemulihan cepat serta mudah mengatur kedalaman anestesi. Berdasarkan data tersebut diatas, maka sevofluran merupakan gas anestesi pilihan terbaik untuk operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang/epilepsi.18-20 5.1.6 Desfluran Desfluran akan menurunkan CMRO2, vasodilasi pembuluh darah otak, dan penurunan resistensi pembuluh darah serebral yang tergantung pada dosis yang diberikan. Pada dosis 1 MAC, aliran darah otak akan meningkat. Efek vasodilatasi serebral pada desfluran lebih besar dibandingkan pada sevofluran dan isofluran. Peningkatan TIK desflurane juga lebih tinggi dibandingkan dengan sevofluran dan isofluran. Pada dosis 1 MAC, peningkatan CBF dengan desfluran 16% lebih tinggi daripada isofluran dan 24% lebih tinggi daripada sevofluran. Penurunan CMRO2 terbatas sampai 20% mungkin akibat depresi metabolik maksimal yang dicapai pada konsentrasi >2 MAC. Perubahan aliran darah otak akibat desfluran sebanding dengan yang diakibatkan oleh isofluran. Desfluran mempunyai kelarutan yang sangat rendah sehingga uptake

dan eliminasi terjadi sangat cepat. Bau gas desfluran sangat merangsang saluran pernafasan, sehingga beresiko tinggi terjadinya batuk, tahan nafas dan spasme laring saat induksi. Desfluran akan meningkatkan denyut jantung dan menekan kontraksi jantung, namun lebih ringan bila dibanding dengan halotan. Curah jantung akan dipertahankan. Sensitivitas desfluran terhadap katekolamin masih kontroversial, ada yang menyatakan meningkatkan, tetapi ada pula yang mengatakan tidak ada pengaruhnya. Peningkatan produksi serebrospinal pada desfluran, tanpa disertai peningkatan kecepatan absorbsi cairan serebrospinal. Belum ada laporan yang menuliskan bahwa desfluran dapat memicu serangan kejang (aktifasi epileptiform) seperti enfluran. Berdasarkan data tersebut diatas, desfluran masih dapat direkomendasi pada operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang/epilepsi.18-20 5.2 Non opioid intravena 5.2.1 Barbiturat

Barbiturat telah digunakan sejak tahun 1937 untuk menurunkan tekanan intrakranial. Barbiturat akan menurunkan aktivitas neuron yang akan mengakibatkan terjadinya penurunan CMRO2. Penurunan CMRO2 akan menyebabkan pengurangan aliran darah otak, sehingga TIK akan menurun. Penurunan aliran darah otak ini bersifat sekunder oleh karena vasokonstriksi pembuluh darah otak. Vasokonstriksi ini hanya terjadi di daerah jaringan otak yang normal, sementara di daerah yang mengalami iskemia atau kerusakan tetap mengalami dilatasi maksimal. Keadaan ini memberikan efek positif berupa shunting dari daerah yang normal ke daerah yang iskemia, yang dinamakan fenomena Robinhood atau inverse steal. Depresi metabolisme yang terjadi bergantung pada dosis. Penurunan aliran darah otak dan CMRO2 dapat terjadi sampai gambaran EEG datar. Pada keadaan ini, peningkatan dosis barbiturat tidak akan menurunkan CMRO2 lebih lanjut. Barbiturat dengan mudah dapat menembus BBB dan memasuki SSP. Mudahnya obat menembus sawar darah otak ditentukan oleh daya kelarutan yang tinggi dalam lemak, ikatan dengan protein, sehingga pada keadaan kadar protein plasma rendah, kadar barbiturat yang

Penatalaksanaan Anestesi Pada Operasi Epilepsi

tidak terikat protein meningkat.18-20 Efek negatif dari penggunaan barbiturat berupa depresi kardiovaskular, respirasi, dan dilatasi perifer melalui tonus simpatis yang bergantung pada dosis. Depresi kardiovaskular dapat menurunkan tekanan darah sampai terjadinya penurunan tekanan perfusi. Sedangkan depresi respirasi dapat menyebabkan terjadinya hipoksia dan hiperkarbia yang berakibat peningkatan aliran darah otak dan TIK. Penurunan TIK mungkin disebabkan karena penurunan aliran darah otak dan volume darah otak. Penurunan volume darah otak oleh barbiturat lebih besar dibanding yang disebabkan oleh obat anestesi inhalasi. Barbiturat dapat menghilangkan efek vasodilatasi yang disebabkan oleh N2O. Barbiturat juga bekerja sebagai antikonvulsan.18-20 Thiopental, merupakan barbiturat yang sering digunakan dalam neuroanestesi. Thiopental dimetabolisme di hepar 10–25% perjam. Lambatnya eliminasi thiopental menyebabkan terjadinya akumulasi obat bila diberikan dalam dosis besar. Thiopental menurunkan tekanan intrakranial hanya jika telah ada kenaikan tekanan intrakranial, tetapi pada bedah saraf, penting untuk mengurangi tekanan intrakranial akibat tehnik anestesi, misalnya pada saat laringoskopi-intubasi. Dosis induksi 4-6 mg/ kg BB (rata-rata 5 mg/kg BB). Dosis proteksi otak 1–3 mg/kg BB/jam. Thiopental bekerja menurunkan CMRO2, memperbaiki distribusi aliran darah otak, menekan terjadinya kejang, menekan katekolamin (yang menyebabkan reaktivitas, anestesia, imobilisasi), menurunkan TIK, menurunkan edema serebri, menurunkan sekresi serebrospinal, stabilisasi membran sel, blokade calcium channel, merubah metabolisme asam lemak.18-20 Pada operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang / epilepsi, thiopental merupakan barbiturat yang direkomendasikan. Methohexital, merupakan barbiturat yang sudah ditinggalkan pemakaiannya, karena memiliki efek samping yang dapat memicu terjadinya serangan kejang.1,2 5.2.2 Propofol

Propofol memiliki struktur kimia C12H18O yang terdiri dari cinsin fenol dengan dua ikatan

145

kompleks isopropil, mempunyai stabilitas kimiawi yang tinggi dengan biotoksisitas yang rendah. Propofol akan menurunkan aliran darah otak dan CMRO2 yang tergantung dosis, dengan penurunan minimum CMRO2 40–60% nilai kontrol. Penurunan aliran darah otak yang disebabkan oleh propofol tampaknya tidak disebabkan oleh adanya efek langsung terhadap pembuluh darah, tetapi oleh penurunan laju metabolisme oksigen otak. Meskipun pengaruhnya bergantung pada dosis, tetapi tidak identik dengan penurunan tekanan darah rerata dan TIK. Reaktivitas terhadap CO2 tetap dipertahankan. Hampir pada semua keadaan propofol menyebabkan penurunan tekanan darah rerata sehingga dapat menurunkan tekanan perfusi otak. Oleh karena itu, apabila digunakan untuk menurunkan hipertensi intrakranial, harus dijaga agar tekanan darah rerata tetap dipertahankan.18-20 Propofol mendepresi jantung lebih kuat daripada thiopental. Tekanan darah turun 15–30%, yang disertai atau tidak refleks peningkatan denyut nadi. Propofol lebih efektif daripada thiopental dan etomidat dalam mencegah respon hemodinamik pada saat intubasi. Propofol dapat digunakan pada awake craniotomy dan sebagai substitusi anestesi inhalasi pada akhir anestesi umum untuk mempercepat bangun dari anestesi.18-20 Efek propofol dalam menurunkan TIK, menyebabkan propofol digunakan di ICU untuk sedasi pasien dengan kenaikan TIK. Propofol mempunyai keuntungan pasien cepat bangun sehingga memungkinkan dilakukan evaluasi neurologis. Sedasi sedang dengan propofol tidak akan meningkatkan TIK dibandingkan dengan tanpa sedasi pada pasien dengan biopsi stereotatik untuk tumor otak. Selama kraniotomi untuk reseksi tumor otak, TIK lebih rendah pada pasien yang menerima propofol–fentanyl dibandingkan pasien yang dianestesi dengan isofluran–fentanyl atau sevofluran–fentanyl. Efek anti nausea propofol juga menguntungkan pada operasi bedah saraf, sebab intraoperasi, diberikan narkotika dosis besar yang dapat menimbulkan efek samping mual, muntah pascaoperasi. Mual, muntah harus dihindari pada neuroanestesi karena dapat meningkatkan TIK pasien. Pada metabolisme medula spinalis, propofol akan menurunkan metabolisme medula spinalis lokal

146

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 4. Benzodiazepine1,2, 18-20 Benzodiazepin

Induksi

Medikasi Pre operasi

Sedasi Intraoperasi

Amnesia

Night Hypnotic

Midazolam Diazepam Lorazepam Triazolalm Chlordiazopexide Flurazepam

++ + -

+++ +++ +++ +++ + -

+++ + -

++ ++ ++ + ++

+++ ++ +++ ++ -

Oxazepam

-

+

-

+

-

Prazepam

-

-

-

-

-

Tabel 5. Efek anestetik pada aliran darah otak (CBF) dan CMRO2 1,2, 18-20 Gas /obat anestesi CBF Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran N2O

↑↑↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑ ↓

↓ ↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↑

Va s o d i l a t a s i serebral langsung Ya Ya Ya Ya Ya -

Thiopental

↓↓↓

↓↓↓

Tidak

Etomidat Propofol Midazolam Ketamin Fentanyl

↓↓

↓↓

↓↓ ↓ ↑↑ ↓ atau tidak ada efek

↓↓ ↓ ↑ ↓ atau tidak ada efek

Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak

pada substansia alba dan substansia grisea. Propofol juga mempunyai efek anti konvulsan. Efek samping yang tidak menyenangkan dari propofol adalah rasa sakit pada suntikan intravena. Rasa sakit ini dapat dikurangi dengan pemberian lidokain 2% intravena. Dosis induksi propofol 2–2,5 mg/kg BB intravena.18-20 Berdasarkan data diatas, maka propofol direkomendasikan pada operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang / epilepsi. 5.2.3 Etomidat

Etomidat merupakan senyawa imidazole non barbiturat. Pada anjing percobaan, etomidat

CMRO2

menunjukkan penurunan CMRO2 secara progresif sampai EEG isoelektrik, setelah EEG datar, penambahan dosis tidak menimbulkan penurunan CMRO2 lebih lanjut dan energi metabolisme otak tetap normal.18-20 Pada manusia, etomidat menyebabkan penurunan aliran darah otak dan CMRO2 sebesar 30–50%. Penurunan aliran darah otak berawal saat infus dimulai, dan penurunan maksimum aliran darah otak dicapai sebelum penurunan CMRO2 mencapai maksimum. Reaktivitas terhadap CO2 dipertahankan selama anestesi dengan etomidat. Etomidat efektif menurunkan TIK tanpa menurunkan perfusi otak. Dosis induksi 0,2 – 0,4

Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi

mg/kgBB, mula kerja segera dan lama kerja 5-10 menit. Etomidat mengalami metabolisme di hepar (98%) dan dieksresi melalui ginjal, sehingga efeknya memanjang pada gangguan fungsi ginjal Beberapa penyulit yang dapat timbul pada penggunaan etomidat adalah:18-20 1. Timbulnya mioklonus yang terjadi hingga 80% pasien 2. Supresi respon adrenokorteks terhadap stress yang berlangsung sampai beberapa jam pasca induksi 3. PONV, terjadi pada 30-40% pasien 4. Nyeri pada penyuntikan karena osmolalitas yang tinggi Pada operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang / epilepsi, etomidat tidak direkomendasikan, karena efek mioklonus dan penekanan adrenokortikal. 5.2.4 Ketamin

Ketamin memiliki rumus bangun dengan nama 2–(0–chlorophenyl)–2– (methylamino)–cyclohexanonehydrochloride. Ketamin hidroklorid adalah molekul yang larut dalam air, dengan berat molekul 238 dan pKa 7,5. Ketamin larut dalam lemak, dengan kelarutan sepuluh kali lipat dibandingkan thiopental, sehingga dengan cepat didistribusikan ke organ yang banyak vaskularisasinya, termasuk otak dan jantung, dan selanjutnya diredistribusikan ke organ-organ yang perfusinya lebih sedikit. Keberadaan atom karbon asimetris menghasilkan dua isomer optik dari kemain yaitu S(+) ketamin dan R(-) ketamin. Sediaan komersil ketamin berupa bentuk rasemik yang mengandung kedua enantiomer dalam konsentrasi sama. Masingmasing enantiomer mempunyai potensi. S(+) ketamin menghasilkan analgesia yang lebih kuat, metabolisme dan pemulihan lebih cepat, sekresi saliva lebih rendah dan emergence reation atau mimpi buruk/halusinasi lebih rendah dibanding R(+) ketamin. 1,2 Ketamin akan meningkatkan aliran darah otak 60-80% sehingga menyebabkan TIK meningkat. Efek peningkatan TIK dapat diatasi dengan hipokapnia, pentotal atau benzodiazepin. Namun beberapa penelitian menunjukkan adanya kegagalan sekobarbital, droperidol, diazepam dan midazolam dalam mengatasi kenaikan TIK akibat ketamin. Ketamin

147

juga akan meningkatkan resistensi absorbsi cairan serebrospinal, yang akan meningkatkan TIK. Akibat hal tersebut, maka ketamin tidak direkomendasikan pada operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang/epilepsi. 18-20 5.2.5 Benzodiazepin

Benzodiazepin yang lazim digunakan dalam anestesi adalah diazepam dan midazolam. 5.2.5.1 Diazepam

Efek diazepam pada pasien cedera kepala, adalah menurunkan aliran darah otak dan CMRO2 sebanyak 25%. Level puncak dalam darah, dicapai setelah 1 jam pada dewasa atau 15–30 menit pada anak-anak. Diazepam merupakan antikonvulsan dan merupakan drug of choice untuk status epilepsi. Efek terhadap kardiovaskular minimal. Metabolisme di hepar, hasil metabolit bersifat long acting, yang menyebabkan panjangnya lama kerja diazepam. Waktu paruh memanjang pada usia lanjut, gangguan fungsi hepar dan pemakaian cimetidine. Efek depresi nafas minimal, namun bila dikombinasi dengan narkotik, dapat menimbulkan apnoe. Tidak dianjurkan pemberian secara intramuskular, sebab absorbsi obat akan menurun. Kombinasi diazepam dengan fentanil atau diazepam dengan N2O dapat menurunkan aliran darah otak dan CMRO2. Pemberian diazepam akan menimbulkan nyeri pada pasien. Obat ini dapat direkomendasikan pada operasi bedah saraf atau pasien dengan riwayat kejang/ epilepsi.1,2, 18-20 5.2.5.2 Midazolam

Midazolam memiliki potensi 3–4 kali lipat dari diazepam, dengan mula kerja dan pemulihan cepat. Tekanan darah akan menurun, terutama bila ada hipovolemia akibat turunnya resistensi perifer dan curah jantung. Midazolam akan menurunkan aliran darah otak dan CMRO2 sebanyak 40% dan lebih protektif terhadap otak dibandingkan dengan diazepam, tetapi masih kurang bila dibandingkan dengan thiopental. Sebagai antikonvulsi, midazolam lebih baik daripada diazepam, karena tingginya penetrasi dalam SSP. Depresi nafas lebih minimal dibandingkan dengan diazepam, walaupun diberikan dalam dosis besar atau bila dikombinasi dengan narkotika. Anterograde amnesia pada pemberian midazolam akan berakhir 1 jam setelah intramuskular dan 2

148

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 6. Klasifikasi Opioid1,2 Golongan Nama opioid morphin Naturally occuring (opioid murni) codein papaverine thebaine Opioid semisintetik heroin dihydromorphone / morphinone thebaine derivatives (etorphine, buprenorphine) Opioid sintetik morphinan series (levorphanol, butorphanol) diphenylpropylamine series (methadone bezomorphan series (pentazocine) phenylpiperidine series (meperidine, fentanyl, sufentanil, alfetanil, remifentanil)

jam pasca intravena. Metabolisme di hepar tanpa dibentuk metabolit aktif. Berdasarkan hal itu, maka dibandingkan dengan diazepam, midazolam lebih direkomendasikan untuk operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang/epilepsi.18-20 5.3 Opioid intravena Opioid adalah golongan obat yang memiliki sifat seperti opium atau morfin dan digunakan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri. Opioid terbagi menjadi opioid murni (naturally occurring), opioid semisintetik dan opioid sintetik. Opioid murni berasal dari opium-morfin Opioid semisintetik adalah turunan modifikasi morphin yang sederhana. Opioid sintetik adalah modifikasi morphin dengan penambahan bangun phenantrene pada rumus bangun morphin.1,2 Obat Golongan opioid akan berefek sentral dan perifer. Efek sentral yaitu analgesia, sedatif, tranquelizer, euphoria, disforia, depresi respirasi, antitusif, antiemetik, miotik, antidiuretika, ketergantungan obat. Efek perifer yaitu menunda pengosongan lambung dengan konstriksi pilorus, konstipasi spastik, kontraksi sfingter saluran empedu, menaikkan tonus otot kandung kemih,

menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan reaksi ortostatik, menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, memicu bronkospasme pada pasien asma. 5.3.1 Opioid Sintetik

Efek opioid sintetik terhadap aliran darah otak, laju metabolisme dan TIK bervariasi, yang tampaknyai bergantung pada obat anestesi yang melandasi. Jika obat anestesi yang digunakan bersifat vasodilatasi, opioid secara konsisten bersifat vasokonstriktor serebral. Sebaliknya bila obat anestesi yang melandasi bersifat vasokonstriktor atau tanpa obat anestesi, maka opioid tidak memberi efek atau bahkan menyebabkan peningkatan aliran darah otak. Terhadap penggunaan N2O, hampir semua opioid menurunkan laju metabolisme oksigen otak. Efek terhadap TIK bervariasi tergantung pada apakah obat anestesi yang mendasari mempunyai efek terhadap kondisi tekanan darah sistemik atau autoregulasi.1,2, 18-20 5.3.2 Fentanyl dan Sufentanyl

Pemberian kombinasi fentanyl 5 ug/kg BB dan droperidol 0,25 mg/kg BB tidak memberi efek yang nyata terhadap aliran darah otak dan laju metabolisme oksigen otak. Bila fentanyl atau sufentanyl digunakan pada pasien yang tidak diberi premedikasi sebelumnya, akan terjadi peningkatan kecepatan aliran darah otak di arteri serebri media. Ini membuktikan bahwa obat anestesi berpengaruh terhadap respon fentanyl terhadap aliran darah otak. Sufentanyl bersifat menurunkan kecepatan aliran darah otak di arteri serebri media pada pasien dengan TIK yang meningkat.1,2, 18-20 Pemberian fentanyl atau sufentanyl pada pasien yang mendapat anestesi N2O dan isofluran selama kraniotomi, menghasilkan relaksasi otak yang lebih baik. Diperkirakan hal ini disebabkan karena fentanyl dan sufentanyl mempunyai aktivitas vasokonstriksi pembuluh darah otak. Pemberian fentanyl atau sufentanyl pada pasien dengan cedera otak traumatik berat dapat meningkatkan TIK. Apabila tekanan darah rerata dipertahankan, maka sufentanyl dengan dosis 3 ug/kg BB tidak mempunyai efek terhadap TIK. Tetapi apabila

Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi

149

Tabel 7. Efek narkotik pada laju pembentukan aliran darah otak, resistensi reabsorpsi aliran darah otak dan TIK 1,2, 18-20 Narkotik K e c e p a t a n Resistensi terhadap Prediksi efek pada TIK pembentukan aliran absorpsi aliran darah darah otak otak Fentanyl, Alfentanyl Tidak ada perubahan Menurun Menurun Sufentanyl (dosis rendah) Fentanyl (dosis tinggi)

Menurun

Tidak ada perubahan Efek tergantung dosis

Menurun, tidak tentu, efek tergantung dosis

Alfentanyl (dosis tinggi)

Tidak ada perubahan

Tidak ada perubahan

Tidak ada perubahan

Sufentanyl (dosis tinggi)

Tidak ada perubahan

Meningkat, Tidak ada perubahan Efek tergantung dosis

Meningkat, Tidak ada perubahan Efek tergantung dosis

TIK meningkat disertai penurunan tekanan darah rerata, dosis yang sama dapat menyebabkan peningkatan TIK sementara.1,2, 18-20 Semua opioid intravenous anestesi diduga memiliki efek terhadap interneuron di hippocampus yang dapat menekan timbulnya kejang pada pasien. Sehingga dapat dikatakan, semua opioid aman digunakan pada pasien dengan riwayat kejang/epilepsi, karena tidak memicu timbulnya kejang.1,2,18-20Antagonis narkotik yaitu naloxon, bila diberikan secara titrasi mempunyai efek yang kecil terhadap aliran darah otak dan TIK. Bila naloxon diberikan dengan dosis besar untuk menghilangkan efek narkotik, dapat menimbulkan hipertensi, aritmia jantung dan perdarahan intrakranial.18-20 5.4 Pelumpuh otot 5.4.1 Suksinilkolin

Berbagai penelitian pada manusia maupun hewan coba, menyatakan bahwa suksinilkolin dapat meningkatkan TIK yang tidak tergantung dari ada/tidaknya lesi di otak. Peningkatan TIK ini disertai dengan fasikulasi dan peningkatan aliran darah otak. Fasikulasi yang terjadi pada otototot leher dapat menyebabkan hambatan pada vena jugularis, sehingga TIK dapat meningkat.

Pencegahan peningkatan TIK ini dapat dicegah dengan pemberian dosis kecil obat pelumpuh otot non depolarisasi sebelumnya, atau lidokain intravena. Obat ini tidak direkomendasikan pada operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang/epilepsi.18-20 5.5 Pelumpuh otot non depolarisasi Pelumpuh otot non depolarisasi bekerja sebagai antagonis kompetitif pada post sinap dan pre sinap reserptor kolinergik pada neuromuscular junction.1,2 5.5.1 Atrakurium Atrakurium tidak mempunyai efek terhadap TIK. Penggunaan dosis besar yang diberikan secara cepat dapat menurunkan tekanan darah, yang dapat dicegah dengan memberikan secara lambat dan dengan dosis yang lebih kecil. Metabolisme terjadi di jaringan dan di plasma, dua per tiga dengan cara hidrolisis ester sedangkan sepertiganya dengan degradasi Hofmann. Waktu kerjanya relatif singkat meskipun dengan dosis besar sehingga sangat berguna untuk intubasi cepat. Dosis induksi 0,3 – 0,5 mg/kg BB. Tidak didapatkan efek akumulasi dan fasikulasi otot seperti suksinilkolin, Sehingga obat ini dapat direkomendasikan untuk operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang / epilepsi.18-20

150

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Tabel 7. Efek pelumpuh otot terhadap hemodinamik dan TIK 1,2, 18-20 Obat

Tekanan darah rerata

Nadi

TIK

Suksinilkolin

-





Atrakurium





-

Vekuronium

-

-

-

Pankuronium



↑↑

-

Rokuronium

-

-

-

5.5.2 Pankuronium Pankuronium tidak mempunyai efek langsung terhadap TIK. Memiliki efek otonom yang menonjol, berupa vagolitik, simpatomimetik tidak langsung dan mengubah konduksi SA node dan AV node jantung, sehingga berefek takikardi dan peningkatan ringan pada curah jantung. Metabolisme di hepar. Ekresi di ginjal. Tidak didapatkan fasikulasi otot seperti suksinilkolin. Obat ini tidak direkomendasikan untuk operasi bedah saraf karena efek vagolitik dan takikardi. 18-20

5.5.3 Vekuronium

Vekuronium tidak mempunyai efek terhadap dinamika cairan serebro spinal maupun TIK. Stabilitas kardiovaskuler dipertahankan meskipun pada dosis besar. Vekuronium dapat menyebabkan bradikardi terutama bila digunakan bersama narkotika, sebagai pencegahan dapat diberikan atropin. Metabolisme vekuronium terjadi di hepar. Vekuronium dapat digunakan untuk intubasi cepat, karena waktu kerjanya yang relatif singkat. Dosis syringe pump (infusion) 0,05 – 0,1 mg/ kg BB/jam. Tidak didapatkan fasikulasi otot seperti suksinilkolin, Sehingga obat ini dapat direkomendasikan untuk operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang / epilepsi.18-20 5.5.4 Rokuronium

Rokuronium mempunyai onset cepat dan lama kerja pendek dibandingkan dengan pelumpuh otot non depol yang lain, sehingga merupakan pilihan pengganti suksinilkolin untuk induksi dan intubasi cepat. Tidak didapatkan fasikulasi otot seperti suksinilkolin, Sehingga obat ini dapat direkomendasikan untuk operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang/epilepsi.18-20

5.6 Obat lain 5.6.1 Lidokain 2% intravena

Dosis 1–1,5 mg/kg BB digunakan untuk menumpulkan respon simpatis pada saat laringoskopi dan intubasi. Lidokain mencegah peningkatan TIK pada pasien dengan tumor/ masa di otak, saat intubasi. Dosis rendah lidokain berefek sedasi, sedang dosis tinggi dapat menimbulkan serangan kejang. Pada dosis yang tidak menimbulkan kejang, lidaokain dapat menurunkan laju metabolisme otak (CMRO2) dan aliran darah otak. Dosis besar (maksimum) dapat menurunkan laju metabolisme 30%, tetapi bila timbul kejang maka laju metabolisme akan meningkat, bersamaan dengan peningkatan aliran darah otak. Dosis kecil lidokain, dapat direkomendasikan untuk operasi bedah saraf dan pasien. Namun harus dipertimbangkan pemakaiannya pada pasien dengan riwayat kejang / epilepsi.18-20 5.6.2 Klonidin/Catapres (alfa 2 aderenergik agonis)

Klonidin bersifat vasokonstriktor pembuluh darah otak yang kuat. Pemberian klonidin pada volunter sehat dengan dosis 5 ug/ kgBB ternyata menurunkan kecepatan aliran darah di arteri serebri media ± 20%, disertai reaktivitas terhadap CO2 sedikit dihilangkan. Pemberian klonidin dosis tunggal 2,5 ug/kg BB intravena, untuk pasien cedera otak traumatik berat tidak jelas memberi pengaruh terhadap TIK dan jelas menyebabkan penurunan tekanan darah rerata (MAP) dan tekanan perfusi otak (CPP). Beberapa pasien menunjukkan peningkatan TIK >10 mmHg sehubungan dengan penurunan tekanan darah rerata tersebut. Diperkirakan hal tersebut akibat dari mekanisme vasodilatasi autoregulasi.18-20

Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Epilepsi

Nama Generik Carbamazepine

Clonazepam Clarazepate Gabapentin

151

Tabel 8. Efek samping obat anti epilepsi1,2 Nama dagang Efek samping Tegretol anorexia, anemia aplastik, gangguan kognitif, diplopia, pusing, hiponatremia, impoten, letargi, leukopeni, nausea, rash Tegretol XR Klonopin depresi, letargi Tranxene depresi, letargi Neurontin gangguan kognitif, pusing, edema, letargi, nausea, rash

Lamotrigine

Lamictal

Phenobarbital

-

Phenytoin

Dilantin

Primidone

Mysoline

Topiramate

Topamax

Valproic acid

Depakote

5.6.3 Dexmedetomidin Dexmedetomidin menunjukkan efek sedasi dan ansiolitik melalui aktivitas reseptor alfa 2 adrenergik di locus ceruleus (LC). Sedasi yang dihasilkan tidak sama dengan benzodiazepin atau propofol, karena primer tidak tergantung pada sistem γ-aminobutyric acid (GABA). Titik tangkap dexmedetomidin tidak di kortek serebri. Hal ini menyebabkan sedasi yang kooperatif, yaitu pasien dengan mudah dapat berubah dari keadaan tidur ke kondisi bangun penuh, dan kemudian tidur lagi bila tidak ada rangsangan. Memiliki pula efek analgetik. Pemberian dexmedetomidin dapat mengurangi kebutuhan opioid 30–50%, namun kekuatan analgetik tidak sekuat opioid. Mekanisme kerja analgetik dexmedetomidin belum diketahui secara pasti, diperkirakan titik tangkap pada korda spinalis.1,2,18-20 Respon vasoaktif pembuluh darah otak dipengaruhi oleh obat anestesi yang

anorexia, gangguan kognitif, pusing, letargi, nausea, rash gangguan kognitif, depresi, pusing, impoten, letargi, tremor, rash anorexia, gangguan kognitif, diplopia, pusings, gingival hipertrophi, hirsutisme, impoten, letargi, lupuslike syndrome, rash anorexia, gangguan kognitif, depresi, pusing, impotence, letargi, nausea, rash anorexia, gangguan kognitif, pusing, batu ginjal, letargi, tremor pusing, edema, rambut rontok, letargi, nausea, teratogenik, trombositopeni, tremor, berat badan turun

digunakan. Vasodilatasi otak yang disebabkan oleh isofluran atau sevofluran dapat dikurangi, bila sebelumnya diberikan dexmedetomidin. Hal ini dapat digunakan untuk menghindari peningkatan aliran darah otak pada pasien dengan trauma kepala atau tumor otak besar.18-20 Dexmetomidin memiliki efek neuroprotektif. Pada iskemi otak, dexmedetomidin mengurangi pelepasan noradrenalin, sehingga memberi proteksi terhadap kerusakan otak. Pada binatang percobaan, dexmedetomidin dapat memperbaiki kelangsungan hidup neuron setelah mengalami iskemi lokal atau global sementara. Belum didapatkan laporan, timbulnya serangan kejang pada pemakaian dexmedetomidin pada pasien. Berdasarkan data diatas, maka dexmedetomidin dapat direkomendasikan untuk operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang / epilepsi.

152

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

6. Premedikasi Umumnya, premedikasi yang diberikan antasida dan atau antiemetik. Obat antiepilepsi tetap dilanjutkan. Hindari terjadinya gangguan elektrolit preoperasi, yang dapat memicu timbulnya kejang.1-2 7. Intraoperasi Monitoring intra operasi epilepsi, umumnya sama seperti operasi bedah saraf lainnya. Dapat digunakan electrocorticography (EcoG) yang akan memonitor gelombang otak selama operasi berlangsung untuk mendeteksi timbulnya kejang intra operasi. Pada awake craniotomy, harus dipastikan posisi pasien terasa nyaman selama operasi berlangsung, suhu tidak terlalu dingin, dipastikan jalan nafas aman dan pasien kooperatif saat cortical mapping dilakukan. Pada anestesi umum, hindari gas dan obat anestesi intravena yang dapat memicu timbulnya kejang intraoperasi. Sebelum induksi, diberikan midazolam 0,15– 0,25 mg/kg BB iv, dilanjutkan oksigen 100%, fentanyl 1–3 ug/kgBB iv, bolus lambat dalam waktu 1 menit. Berikan 1/10 dosis pelumpuh otot non depolarisasi, dilanjutkan propofol 2–2,5 mg/ kg BB iv atau penthotal 5 mg/kgBB iv. Setelah refleks bulu mata negatif, dicoba ventilasi, bila ventilasi adekuat, berikan sisa pelumpuh otot (vecuronium 0,15 mg/kgBB iv, atau rocuronium 0,6 mg/kgBB iv, atau atracurium 0,5 mg/kg BB iv). Berikan lidokain 2% 1–1,5 mg/kgBB iv, 3 menit sebelum laringoskopi–intubasi. Propofol atau pentotal ulangan dapat diberikan 30 detik sebelum laringooskopi–intubasi. Intubasi dilakukan setelah tekanan darah menurun kira-kira 20% dari tekanan awa dan relaksasi otot adekuat. Untuk mencegah kenaikan tekanan darah saat laringoskopi dan intubasi, dalamkan anestesi dengan pentotal atau propofol, fentanyl, lidokain. Jangan dalamkan anestesi dengan gas anestesi karena akan meningkatkan aliran darah otak. Pemeliharaan anestesi dapat digunakan kombinasi gas O2 dan sevoflurane atau kombinasi gas O2 dengan compress air

(pada TIVA). Intraoperasi epilepsi dipertahankan tekanan darah sistolik 90–100 mmHg, end tidal CO2 25–30 mmHg yang setara dengan PaCO2 29– 34 mmHg, PaO2 100–200 mmHg dan hematokrit (Ht) 35%. Cegah terjadinya hipovolemia, hipervolemia, hipoosmoler, hiperglikemia intra operasi. Pemeliharaan cairan 1–1,5 mg/kgBB/ jam atau ganti 2/3 dari jumlah diuresis. Hindari larutan hipotonik (dextrose 5%). Lebih disukai NaCl 0,9% daripada RL karena osmolaritas NaCl 0,9% 300 mOsm/L, sedangkan RL 273 mOsm/L, jadi NaCl 0,9% sedikit hiperosmoler (osmolaritas tubuh kita 290 mOsm/L). Dextrose hanya diberikan untuk terapi hipoglikemia (gula darah <60 mg%), untuk mempertahankan kadar gula darah <150 mg%, karena hiperglikemia dapat menyebabkan edema otak, iskemia dan nekrosis serebral. Terapi dengan insulin bila gula darah >200mg%. Bila perdarahan >20% atau hematokrit (Ht) <30%, berikan darah untuk mencapai Ht 35%.18-20 Interaksi antiepilepsi/ antikonvulsan yang rutin digunakan pasien, harus diperhitungkan saat anestesi umum. Seperti lamotrigine dan oxcarbamezepine, berefek sedasi dan letargi bila berinteraksi dengan obat anestesi intravena. Carbamezepine berefek depresi terhadap sistem hemopoetik dan toksisitas kardiak pada beberapa pasien. Pemakaian topiramate jangka lama beresiko terjadinya asidosis metabolik. Perhatikan pula efek samping obat anti epilepsi yang rutin digunakan pasien.1,2 Efek lain pemakaian obat antiepilepsi jangka lama adalah meningkatkan dosis obat pelumpuh otot non depolarisasi dan opioid.1,2 8. Pasca operasi Pada awake craniotomy, pasien tidak diintubasi, ventilasi oksigen menggunakan nasal canul. Pasien diobservasi 1x24 jam pascaoperasi. Di USA, pada awake craniotomy, pasien diperbolehkan pulang 6 jam pasca tindakan bila tidak terjadi perdarahan atau komplikasi pascaoperasi. Pasien dengan anestesi umum, dapat dilakukan ekstubasi apabila kesadaran prabedah adekuat (GCS >9), tidak ada laserasi otak yang luas intra operasi, perdarahan minimal, temperatur pasien normal, oksigenasi normal, kardiovaskular stabil, homeostatis sistemik dan

Penatalaksanaan Anestesi Pada Operasi Epilepsi

153

Tabel 9. Kondisi Homeostatis Sistemik dan Homeostatis Otak untuk early Emergence Homeostatis sistemik

Homeostatis otak

Normotermi (>36 C) Normovolemia, normotensi (MAP 70–120 mmHg) Hipokapnia ringan / normokapnia (PaCO2 35 mmHg) Normoglikemia (glukosa <150 mg% atau 4-8 mmol/ltr) Tidak ada hiperosmolar (285 ± 5 >25% mOsm/ kg) Hematokrit >25% Tidak ada gangguan koagulasi

Metabolisme otak dan aliran darah otak normal Tekanan intrakranial normal diakhir operasi

0

homeostatis otak adekuat. Pascaoperasi, tekanan arteri rerata harus dipertahankan > 90 mmHg untuk mempertahankan tekanan perfusi otak 5070 mmHg.18-20 III. Simpulan Penatalaksanaan anestesi pada pesien dengan riwayat kejang/epilepsi memerlukan pemilihan obat dan gas anestesi yang tidak memicu serangan kejang. Gas yang tidak direkomendasikan, karena memiliki efek menstimulasi aktivitas epileptiform adalah N2O, halotan, enfluran. Gas anestesi yang dapat direkomendasikan adalah isofluran, sevofluran dan desfluran. Tidak adanya iritasi saluran pernafasan saat induksi dengan sevofluran, menyebabkan gas ini menjadi pilihan dalam operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang/epilepsi. Obat anestesi intravena non opioid yang tidak direkomendasikan, karena dapat menstimulasi terjadinya kejang adalah etomidat, ketamin dan methohexital. Obat yang direkomendasikan, karena memiliki efek antikonvulasan dan sedasi adalah thiopental, propofol, midazolam, diazepam. Semua opioid dapat direkomendasikan dalam operasi bedah saraf dan pasien dengan riwayat kejang/epilepsi, karena tidak menstimulasi kejang. Pelumpuh otot yang tidak direkomendasikan, karena dapat menstimulasi terjadinya kejang adalah suksinil kolin. Pankuronium juga tidak direkomendasikan karena memiliki efek vagolitik dan takikardi. Obat yang direkomendasikan adalah atrakurium, vekuronium dan rocuronium. Obat lain yang

Profilaksis antiepilepsi Posisi kepala head up adekuat Saraf kranial untuk proteksi jalan nafas intact

direkomendasikan adalah lidokain 2% dan dexmedetomidin. Teknik anestesi yang digunakan dapat awake craniotomy atau anestesi umum dengan TIVA atau kombinasi gas anestesi dengan obat anestesi intravena. Gas N2O diganti dengan compress air, dengan perbandingan oksigen : compress air = 1 : 1. Penatalaksanaan preoperasi, intraoperasi dan pascaoperasi, tidak berbeda seperti operasi bedah saraf lainnya. Interaksi obat antiepilepsi dan efek samping anti epilepsi yang rutin digunakan pasien, harus dipertimbangkan supaya tidak terjadi masalah intraoperasi dan pascaoperasi. Daftar Pustaka 1. Kofke WA, Tempelhoff R, Dasheiff RM. Anesthesia for epileptic patients and for epilepsy surgery. Dalam: Cottrell JE, Smith DS. Anesthesia and Neurosurgery, 4th.ed, St. Louis, Missouri, USA : Mosby; 2001, 473-90 2. Schubert A, Lotto M. Awake craniotomy, epilepsy, minimal invasive, and robotic surgery. Dalam: Cotrell JE, Young WL. Cottrell and Young’s: Neuroanesthesia, 5th. ed, Philadelphia : Mosby; 2001, 296-316 3. Nguyen DH, Mbacfou MT. Prevalence of nonlesional focal epilepsy in an adult epilepsy clinic. Can. J. Neourol.Sci. 2014; 40: 198–202 4. Bjellvi J, Flink R. Complications of

154

Jurnal Neuroanestesi Indonesia

epilepsy surgery in Sweden 1996–201 : a prospective, population-based study. Journal of Neurosurgery. 2015; 122: 519–525

13. Sander JW. The epidemiology of epilepsy revisited. Neurosurgery Journal. April 2003; 16: 165–70

5. Sastri BVS, Sinha AS. Clinico-pathological factors influencing surgical outcome in drug resistant epilepsy secondary to mesial temporal sclerosis. J. Neurol. Sci. 2014; 340: 183–90

14. George MS, Sackeim HA. Vagus nerve stimulation: a new tool for brain research and therapy. Elseiver Journal. 2000; 47: 287–95

6. Elliot RE, Bolio RJ. Anterior temporal lobectomy with amygdalohippocampectomy for mesial temporal scleroris: predictor of long-term seizure control. Journal of Neurosurgery. 2013; 119: 261–72 7. Friedman D, Devinsky O. Cannabinoids in the treatment of epilepsy. N. Engl. J. Med. 2015; 373: 1048–58 8. Egley CE, Famulari M, Annegers JF, et al. The Cost of epilepsy in the United State: an estimate from population-based clinical and survey data. Epilepsia Journal, 2000; 41: 342–51 9. Devinsky O. Current concepts: Sudeen, unexpected death in epilepsy. N. Engl. J. Med. 2011; 365: 1801–11 10. Rhio JM. Inhibition of lactate dehydrogenase to treat epilepsy. N. Engl. J. Med. 2015; 373: 187–9 11. Cash SS, Karvie MD. Case 34-2011 : A 75 year old man with memory loss and partial seizures. N. Engl. J. Med. 2011; 365: 1825–33 12. Kwan PS, Brodie MJ. Current concepts: drug resistant epilepsy. N. Engl. J. Med. 2011; 365: 919–26

15. Kwan P, Brodie MJ. Early identification of refractory epilepsy. N. Engl. J. M. 2000; 342: 314–9 16. Kwan P, Brodie MJ. Refractory epilepsy: a progressive, intractable but preventable condition? Elseiver Journal. 2002; 11: 77–84 17. Benabid AL, Minotti L, Koudsie A. Antiepileptic effect of high-frequency stimulation of the subthalamic nucleus (corpus Luysi) in a case of medically intractable epilepsy caused by focal dysplasia: A 30-month follow-up: Technical case report. Neurosurgery Journal, June 2002; 50(6): 1385–92 18. Bisri T. Anestesi pada pasien dengan cedera kepala akut. Dalam: Penangganan Neuroanestesia dan Critical Care Cedera Otak Traumatik. Edisi 1, Bandung, Indonesia: Saga Olahcitra; 2012; 83–122 19. Bisri T. Dasar-dasar neuroanestesi. Edisi 2, Bandung, Indonesia : Saga Olahcitra; 2011; 21–44 20. Saleh, SC. Neurofarmakologi. Dalam: Sinopsis Neuroanestesi Klinik. Edisi 2, Surabaya, Indonesia : Zifatama; 2013; 19–38.

Indeks Penulis

A Agus Junaedi, 87

P I Putu Pramana Suarjaya, 13, 24, 44

B Buyung Hartiyo L, 104

R Radian Ahmad Halimi, 113 Rahadian Indarto Susilo, 130 RR Sinta Irina, 94 Rebecca Sidhapramudita Mangastuti, 138

F Fitri Sepviyanti Sumardi, 119 H Hasanul Arifin, 94 Himendra Wargahadibrata, 138 I Imam Hidayat, 130 I Putu Pramana Suarjaya, 104 N Nancy Margarita Rehatta, 94, 113, 119 Nazaruddin Umar, 94, 113, 119

S Siti Chasnak Saleh, 94, 113, 119 Sri Rahardjo, 104 Suwarman, 87 T Tatang Bisri, 87, 104 Z Zafrullah Arifin Kany Jasa, 130

Indeks Subjek

A Anestesi, 138 Acute respiratory distress syndrome, 87 C Cedera otak traumatik, 87 Clopidogrel dan lumbrokinase, 94 Cedera kepala berat, 113 Cedera kepala, 119

M Minimal invasif neurosurgery, 104 N Neuro resusitasi, 113 O Operasi bedah kepala, 119

E Epilepsi, 138

P Perdarahan EDH spontan, 94 Perdarahan intraserebral traumatik, 104 Posisi true lateral, 104 Prosedur pembedahan frontolateral dan pterional, 130

G Glasgow coma scale, 87

T Terapi kombinasi rivaroxaban, 94

D Diabetes insipidus, 130

K Komplikasi pascaoperasi, 113 Kraniofaringioma, 130 Kejang, 138

Pedoman Bagi Penulis 1.

Ketentuan Umum

Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesia Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah naskah lengkap yang belum dipublikasikan dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang telah dimuat dalam proceeding pertemuan ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat izin tertulis dari panitia penyelenggara. 2.

Judul

Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata, judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata. 3. Abstrak Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata. Abstrak Penelitian: Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method, Result, and Discussion). Dalam introduction mengandung latar belakang dan tujuan penelitian. Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan. Contoh Penulisan Abstrak Penelitian: Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi dan menjadi masalah serius karena dapat menurunkan kualitas hidup pasien yang menjalani pembedahan dan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan 50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan lebih dari dua jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi.

Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan memori. Faktor yang diduga mempengaruhi kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi. Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52% sampel mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi. Pemeriksaan kognitif yang mengalami penurunan bermakna adalah digit repetition test, immediate recall, dan paired associate learning. Analisa logistik regresi variabel usia (p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian DKPO menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Namun bila dianalisa pada masing masing kelompok usia tampak bahwa persentase pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan ≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menit Simpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO meskipun secara statistik tidak signifikan. Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif pascaoperasi, memori Abstrak Laporan Kasus: Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan, simpulan Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus: Abstrack Meningoencephaloceles are very rare congenital malformations in the world that have a high incidence in the population of Southeast Asia, include in Indonesia. Children with anterior meningoencephaloceles should have surgical correction as early as possible because of the facial dysmorphia, impairment of binocular vision,

increasing size of the meningoencephalocele caused by increasing brainprolapse, and risk of infection of the central nervous system. In the report, we presented a case of a 9 monthsold baby girl with naso-frontal encephalocele and hydrocepahalus non communicant, posted for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) and cele excision. Becaused of the mass, nasofrontal or frontoethmoidal and occipital meningoencephalocele leads the anaesthetist to problems since the anaesthesia during the operation until post operative care. Anaesthetic challenges in management of meningoencephalocele, which most of the patients are children, include securing the airway with intubation with the mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its associated complications and accurate assessment of blood loss and prevention of hypothermia

pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial atau drainase ventrikel atau keduanya.

Key words: Anaesthesia, difficult ventilation, difficult intubation, naso-frontal, meningoencephalocele, padiatrics

Contoh cara penulisannya:

Abstrak Tinjauan Pustaka: Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan Abstrak Stroke hemoragik merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma, atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala, mual muntah, kejang dan defisit neurologic fokal yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1)

Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke perdarahan Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah. 4.

Cara Penulisan Makalah Penulisan Daftar Pustaka:



Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan datang” di dalam teks, Vancouver style. Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal 20 buah.



Dari Jurnal: 1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and head trauma. Common effect and common mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl 1):S107–S110. 2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus intracerebral haemorrhage. N Engl J Med 2001,344(19):1450–58. Dari Buku: 1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial hemorrhage: Intensive care management. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229– 36. 2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care. New York: Cambridge University Press;2010,143–56. Materi Elektronik Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B, Fosha D. Attachment as a transformative process in AEDP: operationalizing the intersection of

Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus kepada mitra bebestari: Dr. Sri Rahardjo, dr., SpAnKNA, KAO (Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta) Dr. Bambang J. Oetoro, dr., SpAnKNA (Universitas Atmajaya Khatolik‒ Jakarta) Dr. I Putu Pramana Suarjaya, dr., SpAnKMN, KNA (Universitas Udayana – Denpasar) Dr. M.M. Rudi Prihatno, dr., SpAnKNA, M.Si Universitas Jenderal Soedirman – Purwokerto) Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan datang Redaksi

FORMULIR PESANAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Lengkap : ………………………………………………………………... Alamat Rumah : ………………………………………………………………... ………………………………………………………………... ……………….. Kode pos…………………………................. Telepon …………………………Faks …………………......... HP ………………………………E-mail…………................... Alamat Praktik : ………………………………………………………………... Telepon …………………………Faks ………………............. Alamat Kantor : ………………………………………………………................ ……………………….. Kode pos…………………………….. Telepon …………………………Faks ……………………...... Mulai berlangganan : ………………………………. s.d ……………………………...

Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan sebesar Rp. 250.000,00 per tahun**

Pembayaran melalui : □

Langsung ke Sekretariat Redaksi Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161 Mobile : 087722631615

JNI dikirimkan ke* :

Alamat Rumah Alamat praktik Alamat Kantor

□ □ □

Bandung, ………………………………… Hormat Saya ( * pilih salah satu ** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi *** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten

)