MAKALAH CALL PAPER

Download Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers. ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII” 17-18. November 2...

0 downloads 729 Views 404KB Size
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers

”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII” 17-18 November 2017 Purwokerto

Tema: 4 (energi baru dan terbarukan)

PERTUMBUHAN MIKROALGA HASIL BUDIDAYA SKALA LABORATORIUM DENGAN MEDIA KULTUR LIMBAH CAIR TAPIOKA Oleh Christiani, H. A. Ilalqisny Insan, Hexa Apriliana Hidayah Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Jl. Dr Soepano, Purwokerto 53122 E-mail: [email protected], [email protected], [email protected] ABSTRAK Mikroalga Navicula sp., Spirulina platensis, dan Chlorella vulgaris mempunyai prospek sebagai sumber penghasil biofuel yang dapat diproduksi secara berkesinambungan. Budidaya mikroalga dapat memanfaatkan limbah cair tapioka dengan menambahkan NaCl pada media kultur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi NaCl pada llimbah cair tapioka terhadap pertumbuhan mikroalga pada kultur skala laboratorium, sehingga dapat ditentukan konsentrasi NaCl pada media kultur yang mampu menghasilkan biomassa sel mikroalga tertinggi. Penelitian ini menggunakan metode ekspesimen dengan rancangan acak lengkap pola faktorial. Faktor I yang diujikan species mikroalga, yaitu Navicula sp., Spirulina platensis, dan Chlorella vulgaris. Faktor II konsentrasi NaCl pada media limbah cair tapioka, yaitu 20; 22.5; 25; 27.5; 30; 32.5 dan 35 %. Ulangan sebanyak 3 kali. Variabel yang diamati variabel bebas yaitu penambahan NaCl pada media limbah cair tapioka dan spesies mikroalga, sedangkan variabel terikat yaitu kepadatan mikroalga. Parameter pendukung kandungan N, P, cahaya, pH dan kecerahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi NaCl pada llimbah cair tapioka mampu menghasilkan pertumbuhan mikroalga Navicula sp., Spirulina platensis, dan Chlorella vulgaris yang berbeda pada kultur skala laboratorium. Konsentrasi NaCl 35 % pada media kultur limbah cair tapioka mampu menghasilkan biomassa sel mikroalga Chlorella vulgaris paling tinggi. Kata kunci: limbah cair tapioka; mikroalga; NaCl; pertumbuhan; skala laboratorium

ABSTRACT Microalgae Navicula sp., Spirulina platensis, and Chlorella vulgaris have prospects as sources of biofuel producers that can be produced on an ongoing basis. Microalgae cultivation can utilize tapioca liquid waste by adding NaCl to the culture medium making it more efficient. This research aims to determine the effect of NaCl concentration on tapioca liquid waste on growth of microalgae in laboratory scale culture, so it can be determined the concentration of NaCl in the culture medium that can produce highest biomass of microalgae cell. This study will use an experimental method with a completely randomized design of factorial patterns. Factor I tested species of microalgae, namely Navicula sp., Spirulina platensis, and Chlorella vulgaris. Factor II NaCl concentration on tapioca liquid waste media, that is 20; 22.5; 25; 27.5; 30; 32.5 and 35%. Repeated 3 times. The variables observed by the independent variables are the addition of NaCl to the liquid waste medium tapioca and microalgae species, while the dependent variable is microalgae density and lipid content. Parameters supporting the content of N, P, light, pH and brightness. The results showed that the concentration of NaCl in tapioca liquid waste was able to produce growth of Navicula sp., Spirulina platensis, and Chlorella vulgaris were different in laboratory scale culture. NaCl concentration of 35% in tapioca liquid waste culture media capable of producing the highest Chlorella vulgaris cell biomass. Keywords: tapioca liquid waste; microalgae; addition of NaCl; growth.

834

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers

”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII” 17-18 November 2017 Purwokerto

PENDAHULUAN Mikroalga mempunyai prospek sebagai sumber alternatif pengganti biofuel yang dapat diproduksi secara berkesinambungan (renewable resources). Biofuel adalah bahan bakar dalam bentuk gas, padat maupun cair yang berasal dari biomassa suatu organisme hidup. Biofuel berpotensi menggantikan peran minyak bumi yang setiap tahun semakin menipis. Menurut para ilmuwan yang tergabung dalam South Australia’s Research and Development Institute (SARDI) kandungan minyak pada mikroalga lebih besar daripada jarak pagar, biji lobak, kelapa dan sawit. Kandungan minyak dapat mencapai lebih dari 40% (Patil et al., 2008). Permadi (2008) menyatakan bahwa mikroalga mampu menghasilkan minyak 200 kali lebih banyak dibandingkan tumbuhan tingkat tinggi dengan kemampuannya dikembangkan secara cepat (dalam dimensi volume) sehingga dengan luas lahan yang sama dapat memperoleh biomassa yang lebih banyak, karena umur panen yang sangat pendek dan proses pengambilan minyaknya juga mudah. Mikroalga Navicula sp., Spirulina platensis, dan Chlorella vulgaris mempunyai prospek sebagai sumber penghasil biofuel yang dapat diproduksi secara berkesinambungan. Pertumbuhan sel yang cepat, disertai kemampuan untuk menghasilkan lipid yang sangat besar, dan dengan sedikit polusi dapat dijadikan salah satu alternatif bahan bakar nabati dibandingkan bahan bakar petroleum. Mikroalga Navicula, Spirulina, dan Chlorella juga mampu tumbuh sebagai bentik di sungai dapat untuk memperkirakan tingkat pencemaran sungai yang sering terkena limbah, salah satunya perairan Sungai Pekacangan yang terkena limbah cair tapioka (Christiani et al., 2015). Menurut Riyanti et al. (2010), limbah cair dari industri tapioka mengandung senyawa-senyawa organik tersuspensi seperti protein, lemak, karbohidrat, yang mudah membusuk dan menimbulkan bau tidak sedap, dapat membahayakan kesehatan, merusak keindahan, serta menimbulkan pencemaran lingkungan. Limbah cair tapioka sebagai media kultur mikroalga, perlu diencerkan dan didekomposisi lebih dahulu untuk menjadi media pertumbuhan yang optimal. Mikroalga mempunyai kemampuan yang baik sebagai penyerap limbah, sehingga limbah dapat dimanfaatkan sebagai media kultur. Limbah cair tapioka perlu diencerkan terlebih dahulu untuk mengurangi kepekatan limbah yang dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke dalam media kultur. Penambahan NaCl pada media kultur akan lebih berdaya guna. Ardhianto et al. (2013), dengan penambahan NaCl dapat mengikat asam sianida terlarut yang ada dalam limbah cair tapioka dengan mengubahnya menjadi NaCN yang merupakan basa kuat. Kondisi media yang alkali dapat mempermudah mikroalga memanfaatkan unsur hara pada limbah. Limbah cair industri tapioka merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia, kaya akan unsur hara sebagai media pertumbuhan mikroalga (Kabinawa dan Ni., 2005). Umumnya industri

835

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers

”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII” 17-18 November 2017 Purwokerto

tapioka hanya menghasilkan tapioka sebesar 20-30% dari berat singkong yang diolah, selebihnya industri ini menghasilkan limbah padat dan cair (Robby et al., 2013). Limbah cair tapioka lebih sering dibuang begitu saja, padahal limbah cair tapioka mengandung banyak bahan organik yakni karbohidrat (0,29%), protein (0,16%), serat kasar (0,04%), lemak (0,22%), dan kadar air (99,75%) (Riyanti et al., 2010). Limbah cair tapioka dapat dimanfaatkan sebagai media kultur mikroalga. Penambahan NaCl pada media kultur akan lebih berdaya guna. Penambahan NaCl untuk mengkondisikan salinitas yang sesuai untuk pertumbuhan mikroalga, selain mengurangi jumlah bakteri pada limbah cair tapioka. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dilakukan penelitian pengaruh konsentrasi NaCl awal pada llimbah cair tapioka terhadap pertumbuhan mikroalga Navicula sp., Spirulina platensis, dan Chlorella vulgaris pada kultur skala laboratorium. Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui pengaruh konsentrasi NaCl pada llimbah cair tapioka terhadap pertumbuhan mikroalga Navicula sp., Spirulina platensis, dan Chlorella vulgaris

pada kultur skala

laboratorium. 2. Menentukan konsentrasi NaCl pada media kultur yang mampu menghasilkan biomassa sel mikroalga tertinggi.

METODE PENELITIAN 1. Materi Penelitian Bahan yang digunakan adalah stok bibit mikroalga Navicula sp., Chlorella vulgaris dan Spirulina platensis, media Conway, limbah cair tapioka, pupuk M-Bio, gula pasir, larutan chlorin 40 ppm, reagen Na2CO3 0,01 N, asam borat 1%, larutan baku H2SO4 0,05 N, larutan HNO3, larutan HClO4, larutan H2O, akuades steril, alumunium foil, kertas saring W-41, wrapper, plastik hitam, air, kertas pH universal, kertas label, dan tissu. Alat yang digunakan adalah mikroskop, sedgewich rafter, hand counter, pipet tetes, cover glass, botol kultur, corong, rak kultur, lampu TL 40 Watt, aerator, gelas ukur, luxmeter, erlenmeyer, biuret dan statif, alat tulis, dan kamera. 2. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan metode eksperimental dengan menggunakan rancangan percobaan RAL (Rancangan Acak Lengkap) pola faktorial. Faktor I yang diujikan species mikroalga, yaitu Navicula sp., Spirulina platensis, Chlorella vulgaris. Faktor II adalah konsentrasi NaCl pada media limbah, yaitu 20; 22.5; 25; 27.5; 30; 32.5; dan 35 %. Ulangan sebanyak 3 kali. Variabel yang diamati variabel bebas yaitu tingkat konsentrasi NaCl media limbah cair tapioka dan spesies-spesies mikroalga, sedangkan variabel terikat yaitu kepadatan mikroalga. Parameter pendukung kandungan N, P, cahaya, pH dan kecerahan (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

836

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers

”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII” 17-18 November 2017 Purwokerto

3. Cara Kerja a. Pembuatan Larutan Starter Pupuk M-Bio Pembuatan larutan starter pupuk M-Bio menggunakan 1000 ml akuades yang dicampur dengan 10 ml M-Bio dan 20 g gula pasir dalam botol kultur, kemudian ditutup rapat dengan alumunium foil dan wrapper. Setelah itu wadah dibungkus menggunakan plastik hitam dan didiamkan selama 2 x 24 jam (Suharto, 1998). b. Pembuatan Media Limbah dengan Tingkat Konsentrasi NaCl Berbeda Sebelum dijadikan sebagai media kultur, limbah cair tapioka diaerasi dan diberi pupuk M-Bio sebanyak 5 ml, kemudian diinkubasi selama 1 minggu (Laksmi dan Rahayu, 1993). Selanjutnya limbah cair tapioka dibuat sesuai perlakuan penelitian, yaitu dengan tingkat konsentrasi NaCl 20, 22.5, 25, 27.5, 30, 32.5, dan 35 %, masing-masing perlakuan dibutuhkan sebanyak 800 ml. c. Pelaksanaan Kultur mikroalga pada Media Limbah Cair Tapioka Bibit mikroalga diambil menggunakan pipet tetes, kemudian dihitung kepadatan awalnya dengan cara diteteskan ke dalam sedgewich rafter dan diamati menggunakan mikroskop. Bibit dimasukkan ke dalam botol kultur sebanyak 48 botol yang berisi media limbah cair tapioka. Botol kultur diletakkan di rak kultur, diberi aerator, dan pencahayaan dengan dua lampu TL 40 Watt. Setiap hari dihitung kepadatannya sampai mencapai puncak kepadatan populasi, kurang lebih selama 1 minggu. Kepadatan sel diukur dan dibuat grafik pertumbuhan selama kultur. Rumus kepadatan menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) : N1 = Jbp x n = 1000 x n Lbp

= 1000 x n 3,14 x r2

Keterangan : N1 = kepadatan atau kelimpahan awal mikroalga yang ditebarkan (sel/ml) Jbp = jarak bidang pandang Lbp = luas bidang pandang n

= rata-rata jumlah mikroalga

L

= jumlah mikroalga

r

= 1/2 diameter

4. Metode Analisis Data kepadatan dianalisis menggunakan analisis variansi dengan tingkat kepercayaan 95% dan 99% untuk mengetahui pengaruh penambahan NaCl

dan spesies mikroalga terhadap

pertumbuhan. Hasilnya dilanjutkan dengan uji BNJ untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.

837

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers

”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII” 17-18 November 2017 Purwokerto

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan pertumbuhan sel mikroalga Chlorella sp., Spirulina sp., dan Navicula sp. selama 7 hari kultur dengan media limbah cair tapioka membentuk kurva sigmoid (Gambar 1). Pertumbuhan mikroalga pada awal kultur tiap perlakuan meningkat lambat. Fase log atau eksponensial pada tiap perlakuan mulai terjadi pada hari pertama. Fase selanjutnya yaitu fase stasioner yang mulai terjadi pada hari ke-2 hingga hari ke-3. dan pada hari ke-6 beberapa perlakuan mulai mengalami penurunan kepadatan sel dan terus mengalami penurunan sampai pada fase kematian pada hari ke-7. Menurut Martossudarmo dan Wulani (1990), pertumbuhan mikroalga secara umum ditandai dengan empat fase terpisah yaitu fase adaptasi, fase eksponensial, fase stationer, dan fase kematian.

Spirulina sp.

Navicula sp.

Chlorella sp.

Gambar 1. Pertumbuhan mikroalga selama 7 hari kultur pada media limbah cair tapioka dengan konsentrasi NaCl berbeda Pada awal pertumbuhan mikroalga mengalami fase adaptasi yang terjadi dalam waktu singkat. Menurut Musdalifah et al. (2015), mikroalga mengalami fase adaptasi yang singkat ditandai peningkatan sel yang terjadi dari awal kultivasi. Hal ini dimungkinkan mikroalga tersebut telah mampu beradaptasi dengan lingkungan kultur dan langsung mengalami fase log atau fase eksponensial. Menurut Chilmawati dan Suminto (2008), pada awal pertumbuhan relatif tinggi menunjukkan mikroalga cepat memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan kultur cukup singkat dan langsung tumbuh dengan cepat. Bibit mikroalga sudah biasa hidup di air tawar, sehingga mampu membelah diri dengan cepat. Mikroalga langsung dapat memanfaatkan nutrisi dengan kondisi lingkungan yang baru. Perbedaan masa beradaptasi dikarenakan sel-sel memulihkan enzim dan konsentrasi substrat untuk pertumbuhan serta masuknya unsur hara melalui proses difusi. Sedangkan menurut Widianingsih et al. (2011), kemampuan masing-masing mikroalga dalam melakukan adaptasi berbeda-beda tergantung perubahan salinitas dari habitat asalnya. Semakin tinggi perbedaan salinitas dari habitat asalnya maka adaptasi yang dilakukan mikroalga akan semakin membutuhkan waktu yang cukup lama begitu pula sebaliknya.

838

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers

”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII” 17-18 November 2017 Purwokerto

Fase eksponensial adalah fase yang ditandai dengan pembelahan sel berjalan sangat cepat dengan kandungan hara cukup dan kondisi sesuai, maka jumlah sel bertambah secara signifikan. Schelegel and Schmidt (1994), pada fase eksponensial atau fase log terjadi pembelahan sel yang aktif secara terus menerus, sehingga mencapai pertumbuhan yang maksimal. Peningkatan jumlah sel yang tajam menunjukkan terjadinya pembelahan sel yang aktif secara terus menerus, sehingga mencapai pertumbuhan yang maksimal. Menurut Fajri (2012), peningkatan pertumbuhan didukung oleh terpenuhinya kebutuhan nutrien untuk proses pembelahan sel. Kandungan yang terdapat dalam limbah cair tapioka menjadi nutrien bagi pertumbuhan mikroalga. Limbah cair industri tapioka kaya akan unsur hara yang dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan mikroalga (Kabinawa dan Ni., 2005). Limbah padat tapioka sudah banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, antara lain sebagai pakan ternak, pupuk, bahan campuran saus, dan obat nyamuk bakar (Riyani dan Tien, 2010). Sedangkan limbah cair tapioka belum banyak dimanfaatkan dan lebih sering dibuang begitu saja (Riyanti et al., 2010), padahal limbah cair tapioka mengandung banyak bahan organik yakni karbohidrat (0,29%), protein (0,16%), serat kasar (0,04%), lemak (0,22%), dan kadar air (99,75%). Limbah cair tapioka termasuk limbah biodegradable (Robby et al., 2013). Setelah proses pembelahan sel mencapai puncak, maka tidak terjadi proses pembelahan sel lagi, yang artinya pertumbuhan seimbang dengan kematian. Fase ini dinamakan fase stasioner. Menurut Cahyaningsih et al. (2005) dan Prihartini et al. (2005) fase stasioner terjadi karena nutrien dalam media sudah sangat berkurang, sehingga tidak mencukupi untuk pembelahan sel dalam pertumbuhan populasi. Pertumbuhan sel mikroalga mulai mengalami penurunan secara bertahap pada hari ke-6 diikuti penurunan pertumbuhan pada hari ke-7 atau dikenal dengan fase kamatian. Cahyaningsih et al. (2005), fase kematian adalah fase dengan laju pertumbuhan lebih kecil daripada laju kematian. Mikroalga mengalami penurunan kemampuan untuk melakukan metabolisme, karena nutrien yang tersedia semakin berkurang, mengakibatkan sel-sel akan mati. Menurut Rusyani (2001), terjadi penurunan jumlah sel dikarenakan kandungan nutrien dalam media kultur berada dalam jumlah yang terbatas. Menurut Hermawan et al. (2017), faktor pembatas pertumbuhan mikroalga adalah jumlah nutrien yang tersedia. Kekurangan

nutrisi essensial dalam waktu yang lama maka

pertumbuhan akan menurun demikian pula kelebihan unsur hara mikro menyebabkan keracunan meskipun pada awalnya biomassa sel meningkat. Hasil pengamatan biomassa sel pada saat puncak populasi mikroalga Chlorella sp., Spirulina sp., dan Navicula sp. pada kultur dengan media limbah cair tapioka berkisar rata-rata 13,67 g/L hingga 54 g/L (Gambar 2).

839

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers

”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII” 17-18 November 2017 Purwokerto

Gambar 2. Histogram biomassa sel mikroalga pada media limbah cair tapioka yang diberi penambahan NaCl dengan konsentrasi berbeda Keterangan: A1= Chlorella A2= Spirulina A3= Navicula B1= Konsentrasi NaCl 20%B2= Konsentrasi NaCl 22,5% B3= Konsentrasi NaCl 25% B4= Konsentrasi NaCl 27,5% B5= Konsentrasi NaCl 30% B6= Konsentrasi NaCl 32,5% B7= Konsentrasi NaCl 35% Menurut Graham dan Wilcox (2000), kandungan nutrisi pada media (limbah cair tapioka) sangatlah penting untuk pertumbuhan mikroalga. Unsur N berperan dalam pembentukan senyawa asam amino dan klorofil, unsur P berperan dalam pembentukan ATP, DNA, dan fosfolipid pada sel, sedangkan Cl dan Mg membantu proses fotosintesis. Biomassa sel mikroalga Chlorella, Spirulina, dan Navicula berbeda pada media limbah cair tapioka yang diberi

penambahan

NaCl dengan konsentrasi berbeda. Hasil analisis ragam

menunjukkan ada interaksi yang berbeda nyata antara spesies mikroalga dan penambahan NaCl terhadap biomassa sel mikroalga. Interaksi antara spesies mikroalga dan penambahan NaCl berpengaruh nyata terhadap biomassa sel mikroalga (Fh>F0.95). Dengan memanfaatkan limbah cair tapioka sebagai hara mikroalga Chlorella mampu tumbuh lebih cepat hingga mencapai puncak populasi diikuti Navicula dan paling lambat Spirulina.

Perbedaan sifat internal mikroalga

didukung penambahan konsentrasi NaCl yang tepat akan memaksimalkan pertumbuhan sel mikroalga. Penambahan NaCl memberikan pengaruh sangat nyata terhadap perubahan kondisi media sehingga mempengaruhi pertumbuhan. Pemberian NaCl merupakan cara klorinisasi yang aman guna mensterilisasikan limbah cair tapioka sehingga memaksimalkan mikroalga dalam memanfaatkan media limbah cair tapioka sebagai media pertumbuhan. Menurut Markou et al. (2012) klorinisasi merupakan salah satu cara sterilisasi limbah cair, dalam hal ini klorin yang aman digunakan ada pada NaCl. Selain itu, berdasarkan penelitian Ardhianto et al. (2013) NaCl mampu mengikat asam sianida terlarut dengan membentuknya menjadi NaCN yang merupakan basa kuat. Keberadaan basa kuat akan mempercepat kondisi limbah yang asam menjadi alkali. Kondisi alkali mempermudah mikroalga memanfaatkan unsur hara pada limbah (Jenie dan Winiati, 1993). Chlorella merupakan mikroalga yang tumbuh pada salinitas yang luas, sehingga mudah beradaptasi dan mampu tumbuh lebih cepat. Siklus hidup mikroalga juga sangat pendek. Menurut

840

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers

”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII” 17-18 November 2017 Purwokerto

Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) siklus hidup Chlorella sangat pendek 2-3 hari. Tumbuh pada salinitas 0-35 ‰ (optimum 10-20 ‰), temperatur optimum 25-30 oC. Reproduksi secara aseksual dengan pembelahan sel atau dengan autospora. Navicula merupakan mikroalga kedua yang mampu tumbuh cepat karena mampu menggunakan bahan-bahan organik untuk kebutuhan hidupnya. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) siklus hidup Navicula sangat pendek 3-4 hari. Suhu yang sesuai untuk kehidupan mikroalga berkisar antara 25-35˚C. Hastuti (2007) menambahkan bahwa suhu optimum untuk kehidupan Navicula sp. yaitu berkisar antara 28-30˚C, salinitas yang optimum berkisar antara 25-30 ppt. Spirulina paling lambat pertumbuhannya dibandingkan Chlorella dan Navicula karena membutuhkan salinitas yang lebih tinggi. Hidup di terestrial, air tawar, air payau dan air laut. Cenderung bersifat alkali. pH optimum 7,2-9,5 (tahan pada pH 11). Tahan pada kadar garam tinggi hingga 85 ‰, kisaran temperature optimum 25-35 oC.

Reproduksi dengan cara membelah diri.

Disamping itu siklus hidupnya juga lebih panjang 5-6 hari (Isnansetyo dan Kurniastuti, 1995). Markou et al. (2012) telah melakukan penelitian mengenai kultivasi S. platensis pada limbah cair minyak zaitun dengan penambahan sodium hipoklorit (NaOCl). Limbah cair minyak zaitun merupakan limbah organik yang mengandung bahan antibakteri yakni senyawa fenol. Penambahan sodium hipoklorit berfungsi sebagai pendegradasi senyawa fenol. Pada pembuatan tapioka, sianida atau CN dihilangkan melalui proses pencucian bahan baku, pemarutan dan pemisahaan pati yang akhirnya dihasilkan asam sianida (HCN) yang terbuang sebagai limbah (Robby et al., 2013). Limbah cair tapioka juga mengandung bahan anorganik berupa asam sianida atau HCN. Asam sianida merupakan asam lemah di dalam air dan dapat dengan mudah dihidrolisis apabila kontak dengan oksigen (Riyanti et al., 2010). Hasil uji BNJ menunjukkan bahwa mikroalga Chlorella yang dikultur dengan penambahan NaCl dengan konsentrasi berbeda akan berbeda dengan Spirulina dan Navicula. Chlorella yang dikultur dengan penambahan NaCl dengan konsentrasi 37,5 % (A1B7) menghasilkan biomassa sel tertinggi tidak berbeda dengan mikroalga Chlorella dengan penambahan NaCl sebanyak 35 % (A1B6), tetapi berbeda dengan Chlorella yang dikultur pada penambahan NaCl sebanyak 30 % (A1B4) dan seterusnya dengan Spirulina dan Navicula pada NaCl berbeda. Biomassa sel terendah adalah mikroalga Spirulina dengan penambahan NaCl sebanyak 22,5 %. Menurut Suminto (2009) pertumbuhan mikroalga dipengaruhi unsur hara yang terkandung dalam medianya. Mikroalga membutuhkan unsur hara makro dan mikro (Costa et al., 2002). Karbon merupakan unsur yang paling besar dibutuhkan mikroalga dalam fotosintesis dan pertumbuhan sel (Setyoningrum et al., 2014). Nitrogen merupakan komponen utama pembentukan protein yang sangat dibutuhkan untuk perbanyakan sel (Widianingsih et al., 2008). Fosfor merupakan unsur yang diperlukan dalam metabolisme sel mikroalga (Surogi and Iwnosky, 2002).

841

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers

”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII” 17-18 November 2017 Purwokerto

Menurut Goksan (2007) unsur hara dalam media kultur akan berkurang seiring dengan meningkatnya jumlah sel dan konsentrasi biomassanya. Selain unsur hara, pertumbuhan mikroalga juga dipengaruhi kondisi fisika kimia medianya yakni intensitas cahaya, suhu, pH, dan salinitas (Cornet et al., 1992).

KESIMPULAN 1. Konsentrasi NaCl pada llimbah cair tapioka mampu menghasilkan pertumbuhan mikroalga Navicula sp., Spirulina platensis, dan Chlorella vulgaris

yang berbeda pada kultur skala

laboratorium. 2. Konsentrasi NaCl 35 % pada media kultur limbah cair tapioka mampu menghasilkan biomassa sel mikroalga Chlorella vulgaris paling tinggi

UCAPAN TERIMA KASIH Dengan selesainya penelitian ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada pemberi dana melalui DIPA BLU Unsoed dengan Nomor Kontrak: DIPA Unsoed No. DIPA-042.01.2.400901/2017 Tanggal 7 Desember 2016.

DAFTAR PUSTAKA Ardhianto, F. N., Mayang, G. W. dan Siswo, S. 2013. Konversi Asam Sianida Menjadi Tepung Ubi Kayu dengan Fermentasi Menggunakan Rhizophus oligosporus. Jurnal Tekhnologi Kimia dan Industri, 2(2), pp. 51-55. Chilmawati, D. dan Suminto., 2008. Penggunaan Media Kultur yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Chlorella sp. Jurnal Saintek Perikanan, 4 (1), pp. 42-49. Christiani, A. I. Insan, dan D. S. Widyartini. 2014. Diversitas Mikroalga Berpotensi Biofuel Dari Perairan Terkena Limbah Cair Industri Tapioka. Biosfera 2(2): 31-39. _____________________________________. 2015. Isolasi Mikroalga Bentik dari Perairan Sungai Pekacangan Yang Terkena Limbah Cair Tapioka Dalam Upaya Menggali Potensinya Sebagai Bahan Bakar Nabati. Proseding. Seminar Nasional “Pengembangan Sumberdaya Pedesaan dan Kearifan Lokal berkelanjutan”. LPPM, Purwokerto. Cornet, J. F., C. G. Dusap dan G.Dubertret.1992. A Structured Model for Simulation of Cultures of The Cyanobacterium Spirulina platensis in Photobioreactor: I. Coupling Between Light Transfer and Growth Kinetics. Biotechnology and Bioengineering, 40(7): 817-825. Daefi, T., Tugiyono, Rusyani, E. & Murwarni, S., 2017. Pertumbuhan dan Kandungan Gizi Nannochlorosis sp. yang Diisolasi dari Lampung Mangrove Center dengan Pemberian Dosis Urea Berbeda pada Kultur Skala Laboratorium. Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati, 4 (1), pp. 39-46. Goksan, Tolga, Aysegul Zakeriyaoglu dan Liknur Ak. 2007. The Growth of Spirulina platensis in Different Culture Systems Under Greenhouse Condition. Turk J Biol, 31: 47-52.

842

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers

”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII” 17-18 November 2017 Purwokerto

Graham, L.E. dan W. Wilcox, 2000. Algae. New Jersey: Prentice Hall. Hastuti, W.S., 2007. Jenis-Jenis Pakan Alami Potensial. Surabaya: Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga.

Hermawan, L.S., Tugiyono, Rusyani, E., & Murwani, S., 2017. Pertumbuhan dan Kandungan Nutrisi Tetraselmis sp. dari Lampung Mangrove Center pada Kultur Skala Laboratorium dengan Pupuk Pro Analis dan Urea yang Berbeda. Jurnal Biologi Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati, 4 (1), pp. 31-38. Isnansetyo, A., dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Yogyakarta: Kanisius. Kabinawa, I. N. K. dan Ni, W. S. A. 2005. Aplikasi Chlorella pyrenoidosa Strain Lokal (INK) dalam Penaggulangan Limbah Cair Agroindustri. Bogor: Puslit Bioteknologi, LIPI Cibinong. Lodi, A., L. Binaghi, C. Sulisio, A. Converti, dan M. D. Borghi. 2003. Nitrate and Phosphate Removal by Spirulina platensis. Journal Industrial Microbiology Biotechnolgy, 30: 656 – 660. Markou, G., Iordanis, C. & Dimitris, G. 2012. Cultivation of Arthrospira (Spirulina) platensis in Olive-oil Mill Wastewater Treated with Sodium Hypoclorite. Bioresource Technology, 112, pp. 234-241. Martosudarno, B. dan Wulani, 1990. Makanan Hidup Larva Udang Paneid. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian. Musdalifah, Rustam, Y. & Amini, S., 2013. Kultivasi dan Ekstraksi Minyak dari Mikroalga Botryococcus braunii dan Nannochloropsis sp. Bioma, 11 (1), pp. 1-14. Patil, V., Tran, K.Q., & Giselrod, H.R., 2008. Towards Suistainable Production of Biodiesels from Microalgae. Int. J. Mol. Sci, 9, pp.58-95.

Prihantini, N.B., Berta, P., & Ratna, Y., 2005. Pertumbuhan Chlorella spp. dalam Medium Ekstrak Tauge (MET) dengan Variasi pH Awal. Makara Sains, 9(1), pp.1-6. Purawisastra, S. dan Heru, Y. 2004. Penurunan Kadar Sianida Singkong Pahit pada Proses Fermentasi Cair Bakteri Brevibacterium lactofermenterum BL-IM76. PGM, 27(1), pp. 1723. Richmond, A dan Johan, U. G. 1986. Factor Affecting the Output Rate of Spirulina platensis with Reference to Mass Cultivation. Biomass,10: 253 – 264. Riyanti, F., Puji, L., & Afrilianza, 2010. Proses Klorinasi untuk Menurunkan Kandungan Sianida dan Nilai KOK pada Limbah Cair Tepung Tapioka. Jurnal Penelitian Sains, 13(3), pp.3439.

843

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers

”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan VII” 17-18 November 2017 Purwokerto

Riyani, K. dan Tien, S. 2010. Penurunan Kadar Sianida dalam Limbah Cair Tapioka Menggunakan Fotokatalis TiO2. Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman. Molekul, 5(2): 50 – 55. Robby, R. H., Avief, N., Nonot, S. & Siti, N. 2013. Produksi Biogas dari Limbah Cair Industri Tepung Tapioka dengan Reaktor Anaerobik 3000 Liter Berdistributor. Jurnal Teknik Pomits, 2(1), pp. 1-5. Sari, F.Y. A., I. M. A. Suryajaya dan Hadiyanto. 2012. Kultivasi Mikroalga Spirulina platensis dalam Media POME dengan Variasi Konsentrasi POME dan Komposisi Jumlah Nutrien. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, 1(1): 487 – 494. Schelegel dan Schmidt. 1994. Mikrobiologi Umum. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Scragg, A.H. Morrison, J. Shales S.W. 2003. The use of a fuel containing Chlorella vulgaris in a diesel engine. Enzyme and Microbial Technology, 33: 884–889. Setyoningrum, T. M., Viska A. W., Annisaturraihan, N. Islamy P., M. M. Azimatun N. 2014. Evaluasi Rasio C/N pada Kultivasi Spirulina Platensis dengan Penambahan Molase sebagai Sumber Karbon Organik. Eksergi, 11(2): 30 – 34. Sriharti

dan Carolina, 2000. Pengaruh Media Terhadap Kualitas Algae Bersel Tunggal (Scenedesmus sp.). Jurnal Seminar Nasional Biologi. 887-882.

Suminto. 2009. Penggunaan Jenis Media Kultur Teknis Terhadap Produksi dan Kandungan Nutrisi Sel Spirulina platensis. Jurnal Saintek Perikanan, 4 (2) : 53 – 651. Surogi and Iwnosky, 2002. Biologycal Research of Algae. Helgolander Meresunter, 43: 66-70. Vonshak, A. 2002. Spirulina platensis (Arthrospira): Phisyology, Cell-Biology and Biotechnology. London: Taylor and Francis. Widianingsih, 2011. Pengaruh pengurangan Konsentrasi Nutrien Fosfat dan Nitrat Terhadap Kandungan Lipid Total Nannochloropsis oculata. Jurnal Ilmu Kelautan, 16 (1): 24-29.

844