MAKALAH MEDIA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN

Download makalah ini akan menjabarkan tentang teknologi dan media serta pemahaman tentang ... maka dapat disimpulkan bahwa pengertian media dalam ...

0 downloads 448 Views 300KB Size
MAKALAH MEDIA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TEKNOLOGI DAN MEDIA : UPAYA FASILITASI PEMBELAJARAN PAI Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Media Pembelajaran PAI Dosen Pengampu : Saiful Amien, S.Ag, M.Pd

Disusun Oleh : Kelompok 1 Nur Miswari

: 201410010311060

Zakiyatus Saidah

: 201410010311061

Azan Rizkiyan Jaya

: 201410010311069

Army Angriani

: 201410010311070

Uzlifah Kholifatur Rohmah : 201410010311076 Jamilatul Munawwaroh

: 201410010311083

JURUSAN TARBIYAH FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2017

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran dalam suatu definisi dipandang sebagai upaya memengaruhi siswa agar belajar atau membelajarkan siswa. Pembelajaran berbeda dengan pengajaran, di mana pengajaran lebih mengarah pada pemberian pengetahuan dari guru kepada siswa yang kadang kala berlangsung secara sepihak. Sedangkan pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang berupaya membelajarkan siswa secara terintegrasi dengan memperhitungkan faktor lingkungan belajar, karakteristik siswa, karakteristik bidang studi, serta berbagai strategi pembelajaran baik penyampaian, pengelolaan, maupun pengorganisasian pembelajaran (Uno, 2012: v). Penyampaian pembelajaran disertai dengan beberapa metode, dintaranya yaitu berdasarkan teknologi dan media pembelajaran yang digunakan. Teknologi pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu yang merupakan terapan dari komunikasi dengan memadukan teori psikologi dan pembelajaran. Bidang ilmu tersebut merupakan hal yang baru berkembang seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Sedangkan dalam proses pembelajaran, media dikenal sebagai alat bantu mengajar yang berkembang dengan sedemikian pesatnya sesuai dengan kemajuan teknologi. Ragam dan jenis mediapun sangat beragam, sehingga dapat dimanfaatkan berdasarkan situasi dan kondisi yang dipelukan (Uno dan Nina, 2011: 116). Pada dasarnya secara individual manusia iu berbeda-beda, demikian pula dalam memahami konsep-kosep abstrak. Setiap manusia akan mencapai tingkat belajar yang berbeda. Namun ada suatu keyakinan, anak belajar dengan melihat dunia nyata dan dengan memanipulasi benda-benda nyata sebagai perantaranya. Bahkan tidak sedikit pula orang dewasa yang umumnya sudah memahami konsep abstrak, tetapi pada situasi-situasi tertentu masih memerlukan benda-benda perantara (Uno dan Nina, 2011: 140). Proses belajar akan tercapai dengan mudah jika prinsip belajar dapat dipenuhi. Jika tidak, maka proses belajar akan mengalami kesulitan atau dalam mencapainya memerlukan waktu yang cukup lama. Oleh Karena itu, di dalam makalah ini akan menjabarkan tentang teknologi dan media serta pemahaman tentang belajar dan pembelajaran.

1

B. Rumusan Masalah 1. Apa perbedaan antara teknologi dan media? 2. Apa saja enam kategori dasar media? 3. Apa yang dimaksud dengan kontinum abstrak dan konkrit? 4. Bagaimana perkembangan definisi belajar? 5. Apa saja yang termasuk 4 domain belajar? 6. Bagaimana 4 perspektif psikologi belajar?

C. Tujuan Penulisan 1. Memahami perbedaan antara teknologi dan media. 2. Memahami enam kategori dasar media. 3. Memahami pengertian kontinum abstrak dan konkrit. 4. Memahami perkembangan definisi belajar. 5. Memahami macam-macam domain belajar. 6. Memahami 4 perspektif psikologi belajar.

2

BAB II PEMBAHASAN 1. Perbedaan Antara Teknologi dan Media a. Definisi Teknologi Pembelajaran Secara etimologis, Teknologi berasal dari bahasa yunani yaitu “Technologia”. Techne artinya kemampuan, cara, pengetahuan, keahlian, keterampilan. dan Logia artinya ungkapan, ilmu. Jadi teknologi yaitu ilmu untuk menggunakan kemampuan atau keahlian. Teknologi merupakan istilah yang luas berkaitan dengan pemanfaatan dan pengetahuan tentang keterampilan (Sharon, Dkk, 2012: 4). Menurut Uno dan Nina (2011: 16), mengatakan bahwa: Secara singkat teknologi pembelajaran dapat didefinisikan bahwa “teori dan praktik dalam desain pembangunan, pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi proses dan sumber untuk belajar”. Teknologi pada dasarnya identik dengan bagian-bagian natural scientis, digunakan sebagai bagian dalam pendidikan yang bertujuan untuk menghidupkan kreatifitas anak didik dan pengajarnya. Teknologi pendidikan merupakan cara untuk menjeaskan bagian pendidikan yang menyangkut segala aspek pemecahan permasalahan belajar manusia melalui proses yang rumit dan saling berkaitan. Sedangkan teknologi pembelajaran didefinisikan sebagai bagian dari teknologi pendidikan dengan alasan bahwa pembelajaran merupakan bagian dari pendidikan yang bersifat terarah dan terkendali (Uno dan Nina, 2011: 19). Ada beberapa pendapat yang agak berbeda satu sama lain tentang teknologi. Pertama teknologi diartikan sebagai sekedar Hardware yang dapat menunjang kegiatan dalam sistem pembelajaran. Hardware sendiri merupakan komponenkomponen media teknologi yang dapat digunakan sebagai sarana yang menunjang kemajuan sebuah sistem pengajaran. Media-media tersebut dapat berupa televisi, radio, internet, komputer, dan bermacam media lainnya. Teknologi kedua diartikan sebagai keseluruhan komponen yang ada dalam sebuah sistem pendidikan, baik peralatan-peralatan media teknologi maupun teknikteknik pengembangan yang selalu progres menuju sebuah proses pelajaran yang dinamis sesuai dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Oleh karena itu, teknologi pembelajaran merupakan perpaduan antara software dan hardware sistem pendidikan, dengan melihat bahwa mengajar dan belajar adalah masalah yang harus dapat diselesaikan dan dihadapi secara rasional dan alamiah (Nasution, 2005: 1-2).

3

b. Definisi Media Pembelajaran Media berasal dari bahasa latin yang mempunyai arti antara. Makna tersebut dapat diartikan sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk membawa suatu informasi dari suatu sumber kepada penerima. Menurut Association of Education and Communication Technology (AECT) Amerika serta menurut Briggs yang dikutip dalam buku Uno dan Nina (2011: 121), mengatakan bahwa: media adalah segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyalurkan pesan atau informasi. Menurut Briggs menyatakan bahwa media adalah segala bentuk fisik yang dapat menyampaikan pesan serta merangsang peserta didik untuk belajar. Menurut Heinich, media merupakan alat saluran komunikasi. Media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata “medium” yang secara harfiah berarti “perantara” yaitu perantara sumber pesan (a source) dengan penerima pesan (a receiver). Dia mencotohkan media ini seperti film, televisi, video, diagram, bahan tercetak, komputer, dan instruktur. Media salah satu alat komunikasi dalam menyampaikan pesan tentunya sangat bermanfaat jika diimplementasikan ke dalam proses pembelajaran, media yang di gunakan dalam proses pembelajaran di sebut media pembelajaran. Heinich dkk mengemukakan media pembelajaran sebagai berikut: batasan mesium sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima. Media pembelajaran merupakan suatu teknologi pembawa pesan yang dapat di gunakan untuk keperluan pelajaran. Media pembelajaran merupakan sarana fisik untuk menyampaikan materi pelajaran (Rusman, 2012: 169). Dari beberapa pendapat yang telah disampaikan oleh para ahli mengenai media, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian media dalam pembelajaran adalah segala bentuk alat komunikasi yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dari sumber ke peserta didik. Tujuannya adalah untuk memancing mereka dalam mengikuti kegiatan pembelajaran media. Selain digunakan untuk megantarkan pembelajaran secara utuh, dapat juga dimanfaatkan untuk menyampaikan bagian tertentu dari kegiatan pembelajaran, memberikan penguatan maupun motivasi (Uno dan Nina, 2011: 122).

4

c. Enam Kategori Dasar Media a.

Teks Teks merupakan media yang paling umum serta memiliki karakter alfanumerik yang mungkin di tampilkan dalam format apapun, seperti buku, poster, papan tulis, layar computer dan sebagainya.

b.

Audio Audio adalah media lain yang bisa digunakan dalam pembelajarn yang mencakup apa saja yang anda dengar. Seperti, suara orang, musik, suara mekanis (deru mesin mobil), suara berisik dan sebagainya. Suara – suara tersebut bias langsung di dengar atau rekam.

c.

Visual Visiul sering digunakan untuk memicu pembelajaran atau digunakan untuk mempromosikan pembelajaran dan termasuk diagram di layar komputer. Visual meliputi diagram poster, gambar pada sebuah papan tulis putih, foto, gambar pada sebuah buku, kartun dan lain sebagainya.

d.

Vidio Jenis lain dari media yakni video, ini media yang merupakan media yang menampilkan gerakan, termasuk DVD, rekaman video, streaming dari internet, animasi computer dan sebagainya.

e.

Prekayasa (Manipulative) Perekayasa bersifat 3D dan bisa disentuh dan dipegang oleh para siswa. Media ini sering tidak dianggap karena menggunakan benda tidak nyata dan model manipulatif.

f.

Orang – orang Media ini bisa berupa guru, siswa, atau ahli bidang studi. Sebuah format pendidikan merupakan bentuk fisik yang di dalamnya terdapat pesanpesan dan ditampilkan. Format media mencakup, sebagai missal, papan tulis penanda (Visual dan teks), slide powerpoint

(teks dan visual), CD (suara dan

musik), DVD (vidio), masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan yang berbada-beda dalam hal jenis pesan yang dapat direkam dan ditampilkan (Sharon dkk, 2011: 7). d. Pengertian Kontinum Abstrak dan Konkrit Pendekatan kontium (contium learning approuch) atau juga bisa disebut dengan pendekatan berdaur dan berkelanjutan dalam pembelajaran, pendekatan ini dapat 5

dimulai dari pendagogi dan dilanjutkan ke andragogi; atau sebaliknya, yaitu berawal dari andragogi kemudian dilanjutkan ke pendagogi (Tim Pengemabang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007: 1-2). Pendekatan kontium didasarkan pada asmusi semakin dewasanya peserta didik maka semakin: a. Mengonsep dirinya semakin berubah dari ketergantungannya kepada pendidik menuju sikap dan perilaku mengarahkan diri dan saling belajar secara mandiri. b. berakumulasi pengalaman belajarnya yang dapat dijadikan sumber belajar dan orientasi belajar peserta didik berubah dari penguasaan terhadap materi ke kemampuan pemecahan masalah c. Siapa belajarnya yaitu untuk menguasai kemampuan dalam menyatakan tugastugas kehidupan nyata d. Membutuhkan keterlibatan diri dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran (Tim Pengemabang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007: 1-2). Dengan demikian jika kita melihat dari perkembanganya, pada mulanya media hanya dianggap sebagai alat bantu guru (teaching aids). Alat bantu yang dipakai adalah alat bantu visual, misalnya gambar, model, objek, dan alat-alat lain yang dapat memberikan pengalaman secara konkret kepada peserta didik, motivasi belajar, serta mempertinggi daya serap dan retensi belajar peserta didik (Sadiman dkk, 2010: 7). Setelah masuknya pengaruh teknologi audio pada sekitar pertengahan abad ke-20, alat visualuntuk mengkongkretkan setiap ajaran dalam proses pembelajaran dilengkapi dengan alat audio sehingga kita kenal dengan alat audio visual atau audio visual aids (AVA). Bermacam peralatan dapat digunakan oleh pendidik untuk menyampaikan pesan ajaran kepada peserta didik melalui pengelihatan dan pendengaran dengan tujuan menghindari verbalismeyang masih mungkin terjadi kalau hanya digunakan alat bantu visual semata. Dalam usaha pemanfaatan media ini sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran Edgar Dale mengadakan klasifikasi pengalaman menurut tingkat dari yang paling konkrit ke yang paling abstrak. Klasifikasi tersebut kemudian dikenal dengan nama kerucut pengalaman (cone of experience) dari Edgar Dale dan pada saat itu dianut secara luas dalam menentukan alat bantu apa yang paling sesuai untuk pengalaman belajar tertentu (Sadiman dkk, 2010: 8).

6

Abstrak

verbal simbol visual visual radio film tv wisata demonstrasi partisipasi observasi pengalaman langsung

Konkret

e. Perkembangan Definisi Belajar Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti, bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau kekurangannya sendiri. Oleh karenanya, pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek, bentuk, manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik. Kekeliruan atau ketidaklengkapan presepsi mereka terhadap proses belajar dan hal-hal yang berkaitan dengannya mungkin akan mengakibatkan kurang bermutunya hasil belajar yang dicapai peserta didik. Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi/materi pelajaran. Orang yang beranggapan demikian biasanya akan segera merasa bangga ketika anakanaknya telah mampu menyebutkan kembali secara lisan (verbal) sebagian besar informasi yang terdapat dalam buku dalam buku teks atau yang diajarkan oleh guru. Di samping itu, ada pula sebagian orang yang memandang belajar sebagai latihan belaka seperti yang tampak pada latihan membaca dan menulis. Berdasarkan persepsi semacam ini, biasanya mereka akan merasa cukup puas bila anak-anak mereka telah mampu

memperlihatkan

keterampilan

jasmaniyah

tertentu

walaupun

tanpa 7

pengetahuan mengenai arti, hakikat dan tujuan keterampilan tersebut, berikut ini akan disajikan beberapa definisi dari para ahli disertai komentar dan interpretasi seperlunya. Chaplin (1972) dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Rumusan pertama berbunyi :... acquisition of any and eperience ‘’ Belajar merupakan perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan khusus. Hintzman (1978) dalam bukunya the Psychology of learning and Memory berpendapat bahwa ‘’Learning is a behavior’’ yang dikutip oleh muhibbin, bahwa Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme, manusi atau hewan, disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut. Jadi, dalam pandangan Hintzam, perubahan yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut baru dapat dikatakan belajar apabila mempengaruhi organisme. Witting (1981) dalam bukunya Psychology of learning mendefinisikan belajar sebagai : any relatively permanentchange in an organism’s behavioral repertoire that occurs as result of experience, bahwa belajar merupakan perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman. Perlu kiranya dicatat, bahwa definisi Witting tidak menekankan perubahan yang disebut behavioral change tetapi behavioral repertoire change, yakni perubahan yang menyangkut seluruh aspek psiko-fisik organisme. Penekanan yang berbeda ini didasarkan pada kepercayaan bahwa tingkah laku lahiriah organisme itu sendiri bukan indikator adanya peristiwa belajar, karena proses belajar itu tak dapat diobservasi secara langsung. Reber (1989) dalam kamusnya, Dictionary of Psychologiy membatasi belajar dengan dua macam definisi. Pertama, belajar adalah the process of acquiring knowledge (proses memperoleh pengetahuan). Pengertian ini biasanya lebih sering dipakai dalam pembahasan psikologi kognitif yang sebagian ahli dipandang kurang representatif karena tidak mengikutsertakan perolehan keterampilan nonkognitif. Kedua, belajar adalah Arelatively permanent change in respons potentiality which occurs as result of reinforced practice (suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat). Dalam definisi ini terdapat

8

empat macam istilah yang esensial dan perlu disoroti untuk memahami proses belajar, Istilah-istilah tersebut meliputi: 1.

Relatively permanent (yang secara umum menetap)

2.

Response permanent (kemauan bereaksi)

3.

Reiinforced (yang diperkuat)

4.

Practice (praktek atau latihan) (Muhibbin Syah, 2003: 64-66).

f. Domain Belajar Dalam sistem pendidikan nasional, rumusan pendidikan baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom, yang secara garis besar membagi kedalam tiga domain yakni kognitif, afektif dan psikomotorik (Popi dan Sohari, 2011: 67). Seiring dengan perkembangan kebutuhan dalam pemahaman kemampuan yang lain, bloom menambahkan satu domain lagi yaitu domain interpersonal. a. Domain Kognitif (Cognitive Domain) Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri atas enam aspek yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi (Popi dan Sohari, 2011: 67). Ranah kognitif ini merupakan kemampuan dalam menyatakan kembali tentang konsep atau prinsip-prinsip yang telah dipelajari dan kemampuan pembangunan dalam keterampilan intelektual (Elis, jurnal: 1). Adapun keenam aspek dalam ranah kognitif, yaitu: 1) Pengetahuan: merupakan kemampuan dalam mengingat dan menghafal apa yang sudah dipelajari. Pengetahuan atau ingatan disebut sebagai proses berfikir yang paling rendah. 2) Pemahaman: merupakan kemampuan dalam menginterpretasikan makna dari yang dipelajari. Seseorang peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri. 3) Aplikasi: merupakan kemampuan dalam menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah berdasarkan hal yang sudah dipelajari kedalam situasi baru yang konkrit. Penerapan merupakan tingkat kemampuan berfikir yang lebih tinggi daripada pemahaman. 9

4) Analisis: merupakan kemampuan dalam menjabarkan suatu konsep untuk memerinci

hal

yang

dipelajari

kedalam

unsur-unsurnya,

supaya

dimengerti. 5) Sintesis: merupakan kemampuan dalam menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep yang utuh. Sisntesis merupakan suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang yang berstruktur atau berbentuk pola baru. 6) Evaluasi: merupakan kemampuan dalam membandingkan nilah, ide, metode serta untuk menentukan nilai sesuatu yang dipelajari dengan tujuan tertentu. Penilian/evaluasi disini merupakan kemampuan untuk membuat pertimbangan terhadap suatu kondisi, misalnya jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan maka ia akan mampu memilih satu pilihan yang terbaik sesuai dengan patokan-patokan atau kriteria yang ada. (Uno, 2012: 14 serta Roestiyah, 1986: 111-113). b. Domain Afektif (Affective Domain) Ranah afektif adalah ranah pembahasan dan penilaian yang berhubungan dengan emosi. Penilaian aspek afektif dimaksudkan untuk mengevaluasi peserta didik dari segi afeksi dalam proses pembelajaran (Heribertus, 2009: 74). Selain itu, ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Ada beberapa jenis kategori dalam ranah afektif sebagai hasil belajar. Kategorinya dimulai dari tingkat yang dasar sampai tingkat yang kompleks (Popi dan Sohari, 2011: 67). Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu: 1) Penerimaan (Receiving/Attending): merupakan kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Termasuk dalam jenjang ini misalnya adalah: kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang dari luar. Receiving atau attending juga sering di beri pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek. Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia menerima nilai 10

atau nilai-nilai yang di ajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri kedalam nilai itu atau meng-identifikasikan diri dengan nilai itu. 2) Tanggapan (Responding): mengandung arti “adanya partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya. Jenjang ini lebih tinggi daripada jenjang receiving. 3) Penghargaan (Valuing): memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek. Dalam kaitan dalam proses belajar mengajar, peserta didik disini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Dalame valuasi ini, termasuk di dalamnya kesediaan menerima nilai, latar belakang atau pengalaman untuk menerima nilai serta kesepakatan terhadap nilai tersebut. 4) Pengorganisasian

(Organization):

mempertemukan

perbedaan

nilai

sehingga terbentuk nilai baru yang universal, yang membawa pada perbaikan

umum.

Mengatur

atau

mengorganisasikan

merupakan

pengembangan dari nilai kedalam satu sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu nilai denagan nilai lain., pemantapan dan perioritas nilai yang telah dimilikinya. 5) Karakterisasi Berdasarkan Nilai-nilai (Characterization by a Value or Value Complex) Ini lebih mengacu kepada karakter dan daya hidup sesorang. Tujuan dalam kategori ini ada hubungannya dengan keteraturan pribadi, sosial dan emosi jiwa. Yaitu keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki oleh seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Pada jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah lakunya untuk waktu yang lama, sehingga membentu karakteristik “pola hidup” tingkah lakunya menjadi lebih konsisten, menetap dan lebih mudah diperkirakan (Roestiyah, 1986: 115-118). Penilaian pada domain afektif ini diutamakan pada proses pembelajaran yang berlangsung, baik yang dilakukan pada ranah kognitif maupun pada ranah 11

psikomotorik yang dilakukan oleh guru dalam bentuk pengamatan sikap (Endang dkk, 2005: 39). c. Domain Psikomotorik (Pshychomotor Domain) Ranah psikomotorik adalah kemampuan yang dihasilkan oleh fungsi motorik manusia yaitu berupa keterampilan untuk melakukan sesuatu. Keterampilan melakukan sesuatu tersebut, meliputi keterampilan motorik, keterampilan intelektual, dan keterampilan sosial (Roestiyah, 1986: 116). Hasil belajar psikomotorik tampak dalam keterampilan (Skill) dan kemampuan bertindak individu. Ada lima tingkat keterampilannya, yaitu: 1) Peniruan (Imitation) adalah mengamati perilaku dan pola setelah orang lain. 2) Penggunaan (Manipulation) adalah mampu melakukan tindakan tertentu atau konsep dengan mengikuti instruksi dan berlatih untuk melakukan gerak. 3) Ketepatan (Precision) adalah mengulangi pengalaman serupa agar melakukan gerak dengan benar menuju perubahan ke arah yang lebih baik. 4) Perangkaian (Articulation) adalah koordinasi serangkaian tindakan, mencapai keselarasan dan konsistensi internal. 5) Naturalisasi (Naturalitation) Setelah kinerja tingkat tinggi menjadi alami, tanpa perlu berpikir banyak serta melakukan gerak secara wajar (Uno, 2012: 14).

d. Domain Interpersonal Belajar dalam ranah interpersonal melibatkan interaksi diantara orang-orang. Kemampuan interpersonal merupakan keterampilan orang yang membutuhkan kemampuan untuk berhubungan secara efektif dengan orang lain. Guru bertugas sebagai fasilitator dan para siswa sering ditempatkan dalam kelompok kooperatif untuk berbagai kegiatan belajar. Seorang guru harus mengajarkan pada siswa bagaimana menyimak, berbagi, menghormati, membantu dan memimpin. Hal itu dilakukan untuk mencapai komunikasi antar personal yang efektif. Permainan yang dilkukan di kelas serta kegiatan pendidikan fisik juga membutuhkan keterampilan antar personal.

12

Selain itu, dalam ranah ini seorang peserta didik juga diajarkan tentang bagaimana menghargai sesama teman dan melakukan kegiatan sosial antar satu sama lain baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan lainnya. Sehingga diharapkan mampu menciptakan suasana pembelajaran yang nyaman serta tidak membosankan (Sharon dkk, 2012: 12). g. Empat Perspektif Psikologi Belajar a. Perspektif Kognitif Istilah cognitive berasal dari kata cognition yang padanya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan. Sebagian besar psikolog berkeyakinan bahwa proses perkembangan kognitif manusia mulai berlangsung sejak ia baru lahir. Bekal dan modal dasar perkembangan manusia, yakni kapasitas motor dan kapasitas sensori ternyata juga dipengaruhi oleh aktivitas ranah kognitif. Menurut para ahli psikologi kognitif, pendayagunaan kapasitas ranah kognitif manusia sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai mendayagunakan kapasitas motor dan sensorinya. Hanya saja, cara dan intensitas pendayagunaan kapasitas ranah kognitif tersebut masih belum jelas benar. Argumen yang dikemukakan para ahli mengenai hal ini antara lain ialah bahwa kapasitas sensori dan jasmani seorang bayi yang baru lahir tidak mungkin dapat diaktifkan tanpa aktivitas pengendalian sel-sel otak bayi tersebut. Hasil-hasil riset para ahli psikologi kognitif menyimpulkan bahwa aktivitas ranah kognitif manusia pada prinsipnya sudah berlangsung sejak bayi, yakni rentang kehidupan antara 0-2 tahun. Semua bayi manusia sudah berkemampuan menyimpan informasi-informasi yang berasal dari penglihatan, pendengaran, dan informasiinformasi lain yang diserap melalui indera-indera lainnya. Selain itu, bayi juga berkemampuan merespons informasi-informasi tersebut secara sistematis. Selanjutnya, Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan. Di bawah ini empat tahapan tersebut akan diuraikan : 1. Tahap sensori motor (0-2 tahun) Intelegensi sensori-motor dipandang sebagai intelegensi praktis yang bermanfaat bagi anak usia 0-2 tahun untuk belajar berbuat terhadap 13

lingkungannya sebelum ia mampu berpikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Mereka belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan belajar menimbulkan efek tertentu tanpa memahami apa yang sedang ia perbuat kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan seperti di atas. Piaget berkesimpulan bahwa bayi di bawah usia 18 bulan pada umumnya belum memiliki pengenalan object permanence. Artinya, benda apapun yang tidak dilihat, tidak disentuh, atau tidak didengar selalu dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada di tempat lain. Dalam rentang usia antara 18-24 bulan, barulah kemampuan mengenal object permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis. 2. Tahap Pra-Operasional (2-7 tahun) Perkembangan kognitif pra-operasional bermula pada saat anak telah memiliki penguasaan sempurna mengenai object permanence. Artinya, anak sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan, atau sudah tak dilihat dan tak didengar lagi. Dalam periode perkembangan pra-operasional, diperoleh pula kemampuan berbahasa. Anak mulai mampu menggunakan kata-kata yang benar dan mampu pula mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif. Kemampuan-kemampuan skema kognitif anak dalam rentang usia 2-7 tahun memang masih sangat terbatas.

3. Tahap Konkret-Operasional (7-11 tahun) Dalam periode ini anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut system of operations (satuan langkah berpikir). Kemampuan ini berguna bagi anak untuk mengoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri. 4. Tahap Formal-Operasional (11-15 tahun) Anak usia 11-15 tahun, akan dapat mengatasi masalah keterbatasan pemikiran konkret-operasional. Dalam perkembangan kognitif tahap akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengoordinasikan baik secara serentak maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni 1) kapasitas menggunakan hipotesis; 2) kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak. 14

Dengan kapasitas menggunakan hipotesis (anggapan dasar), seorang remaja akan mampu berpikir hipotesis, yakni berpikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang ia respons. Selanjutnya, dengan kapasitas menggunakan

prinsip-prinsip

abstrak,

remaja

tersebut

akan

mampu

mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak, seperti ilmu agama, ilmu matematika dan ilmu-ilmu abstrak lainnya dengan luas dan lebih mendalam. Seorang remaja pelajar yang telah berhasil menjalani tahap perkembangan formal-operasional akan dapat memahami dan mengungkapkan prinsip-prinsip abstrak. Seyogyanya, para guru dan orangtua juga para calon guru mengetahui bahwa intelegensi itu melibatkan interaksi aktif antara siswa dengan dunia sekitarnya. Kemudian tahapan-tahapan perkembangan kognitif anak yang telah dikemukakan Piaget merupakan jalan umum yang ditempuh oleh perkembangan intelegensi anak tersebut (muhibbin syah, 2003: 22-34). b. Perspektif Konstruktivis Perspektif konstruktivisme merupakan gerakan yang melampaui keyakinan para kognitivis. Konstruktivisme menganggap keterlibatan para siswa dalam pengalaman yang bermakna sebagai inti sari dari pembelajaran empiris. Ia beralih dari transfer pasif informasi ke penyelesaian masalah dan penemuan aktif. Konstruktivis menekankan bahwa para pemelajar menciptakan penafsiran mereka sendiri tentang dunia informasi. Mereka berpendapat bahwa para siswa menempatkan pengalaman belajar sebagai pengalaman mereka sendiri, dan bahwa tujuan pengajaran adalah bukan untuk mengajarkan informasi tetapi menciptakan situasi sehingga para siswa bisa menafsirkan informasi bagi pemahaman mereka sendiri. Peran pengajaran adalah memberikan para siswa cara-cara untuk menyusun pengetahuan, bukan untuk membagi-bagi fakta. Ahli konstruktivisme meyakini bahwa belajar berlangsung paling efektif ketika para siswa terlibat dalam tugas autentik yang mngaitkan konteks bermakna, yaitu belajar dengan melakukan (learning by doing). Maka, pengukuran paling mendasar atas belajar didasarkan pada kemampuan siswa menggunakan pengetahuannya untuk memudahkan berpikir dalam kehidupan nyata (Sharon Dkk, 2012: 13-14). c. Perspektif Behaviorisme Menurut perspektif behaviorisme bahwa belajar terjadi bila perubahan dalam bentuk tingkah laku dapat diamati, bila kebiasaan berperilaku terbentuk karena 15

pengaruh sesuatu atau karena pengaruh peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar. Aliran ini berpandangan bahwa belajar terjadi melalui operant conditioning. Jika seseorang menunjukkan perilaku belajar yang baik akan mendapatkan hadiah dan kepuasan. Peserta didik yang telah mendapatkan hadiah sebagai penguatan akan semakin meningkatkan kualitas perilaku belajarnya. Sebaliknya, jika peserta didik menunjukkan perilaku belajar yang tidak baik akan mendapatkan hukuman dari guru atau orangtua dengan sasaran agar peserta didik dapat merubah perilaku belajarnya yang tidak baik tersebut. Penguatan yang diberikan kepada peserta didik terdiri atas dua macam, yaitu penguatan positif dan negatif. Baik penguat positif maupun penguat negatif, keduanya dapat meningkatkan respon dari peserta didik. Penguatan positif ialah stimulus yang bila ditambahkan dalam suatu situasi akan memperkuat individu dalam memberikan respon. Sedangkan penguatan negatif adalah suatu stimulus yang bila dipindahkan dari suatu situasi memperkuat kemungkinan terjadinya respon. Penguatan negatif tidak sama dengan hukuman. Pemnguatan ini memberikan stimulus tingkah laku, sedangkan hukuman dirancang untuk menghentikan perilaku. Ada dua penerapan penting aliran behaviorisme dari Skinner dalam dunia pendidikan, yaitu: 1) modifikasi perilaku yang menggunakan prinsip-prinsip teori behaviorisme dan penerapannya untuk mengubah perilaku anak dengan cara yang sangat spesifik yaitu hadiah 2) pengajaran yang terprogram memiliki dua acuan, yaitu: a) cara umum untuk merancang dan menyajikan pengajaran b) suatu produk tertentu (seperti program televisi, mesin pengajaran, naskah, dan slide tape) merupakan produk pemrograman pengajaran yang disajikan dalam satuan-satuan kecil disertai umpan balik segera setelah siap satuan dipelajari (Hadis, 2008: 67-68). d. Perspektif Psikologi Sosial Psikologi sosial merupakan perspektif mapan lainnya dalam kajian mengenai belajar dan mengajar. Psikologi sosial memusatkan pada efek organisasi sosial dalam ruang kelas terhadap belajar (Sharon Dkk, 2012: 14). Perspektif sosial ini menekankan bahwa lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya. Suatu perspektif belajar sosial menganilisis hubungan kontinue antara variabel-variabel lingkungan, ciri-ciri pribadi, dan perilaku terbuka 16

dan tertutup seseorang. Perspektif-perspektif ini menyediakan interpretasi-interpretasi tentang bagaimana terjadi belajar sosial dan bagaimana kita mengatur perilaku kita sendiri. Konsep-konsep utama dari belajar sosial ialah sebagai berikut : 1. Pemodelan (Modelling) Menurut perspektif ini, peserta didik atau individu melakukan aktivitas belajar dengan cara meniru perilaku orang lain, dan pengalaman vicarious, yaitu belajar dari kegagalan dan keberhasilan orang lain. Bandura merasa bahwa sebagian besar belajar yang dialami oleh manusia, tidak dibentuk dari konsekuensi-konsekuensi melainkan dibentuk atau belajar dari suatu model. Sebagai contoh guru olahraga mencontohkan kepada siswa tentang cara main sepak bola yang baik, maka siswa menirunya. 2. Fase belajar Menurut Bandura ada 4 fase belajar dari model, yaitu fase perhatian, fase retensi, fase reproduksi, fase motivasi lalu muncul dalam bentuk penampilan. Pada fase perhatian, dalam belajar observational ialah memberikan perhatian kepada suatu model. Pada umumnya siswa memberikan perhatian kepada modelmodel yang menarik, berhasil, menimbulkan minat, dan popular. Itulah sebabnya banyak siswa-siswa remaja dengan mudah dan cepat meniru model-model pakaian trendi karena menarik perhatian, sekalipun model pakaian tersebut mengabaikan aspek normatif dan etika dalam berbusana. Pada fase retensi siswa dilatih agar dapat tetap mengingat berbagai hal yang telah dipelajari melalui proses pengamatan di lapangan. Hanya dengan mengingat berbagai hal yang telah diamati oleh pancaindera siswa, maka siswa tersebut akan dapat belajar yang baik. Pada fase reproduksi, siswa diharapkan dapat mengingat kembali pesan dan kesan dari berbagai materi atau bahan pelajaran yang dipelajari melalui pengamatan. Sedangkan pada fase motivasi, yaitu bagaimana para siswa dengan melalui fase perhatian, fase retensi, dan fase reproduksi, mereka termotivasi untuk aktif melakukan proses belajar melalui pengamatan dan akan diwujudkannya dalam penampilan perilaku yang dapat diamati oleh guru di kelas. perspektif sosial lebih menekankan proses belajar melalui peniruan model yang diamati melalui interaksi belajar sosial di lingkungan sosial ( Hadis, 2008: 73-74).

17

BAB III PENUTUP B. Kesimpulan Kegiatan belajar hanya bisa berhasil apabila peserta didik belajar dengan aktif dan mengalami sendiri proses belajar. Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar peserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan dan sumber belajar lainnya dalam rangka mencapai tujuan belajar. Dalam proses belajar mengajar, penyampaian materi dari guru kepada peserta didik sangatlah penting. Guna menunjang pembelajaran perlu adanya fasilitas penunjang seperti media pembelajaran. Media merupakan alat bantu pada proses belajar baik di dalam maupun di luar kelas dan salah satu manfaat dari media adalah untuk membuat siswa lebih memahami bahan pengajaran dan lebih jelas maknanya sehingga memungkinkan peserta didik menguasai dan mencapai tujuan pengajaran. Penggunaan media pembelajaran harus dicermati, yang mana dalam penggunaannya harus memperhatikan berbagai aspek psikologis peserta didik, perkembangan, kemampuan, proses belajar, dan kondisi belajarnya. Dalam pemilihan media juga harus jelas alasan mengapa memilih media tersebut, sesuai tidak dengan materi yang diajarkan dan apakah bisa mencapai tujuan pembelajaran sesuai yang diharapkan.

18

DAFTAR PUSTAKA Astuti, Endang Sri, dkk. 2005. Bahan Dasar untuk Pelayanan Konseling pada Satuan Pendidikan Menengah Jilid 1. Jakarta: Grasino. Hadis, Abdul. 2008. Psikologi dalam Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta. Mediawati, Elis. Pembelajaran Akuntansi Keuangan Melalui Media Komik Untuk Meningkatkan Prestasi Mahasiswa. Jurnal Penelitian Pendidikan,Vol 12 No1. Nasution. 2005. Teknologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Roestiyah. 1986. Masalah-masalah Ilmu Keguruan. Jakarta: PT Bina Aksara. Rusman, dkk. 2012. Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Sadiman,

Arief S dkk. 2010. Media Pendidikan; Pengertian, Pengembangan dan

Pemanfaatannya. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Samaldino, Sharon N dkk. 2011. Instructional technology and media for learning; teknologi pembelajaran dan media untuk belajar. Jakarta: Kencana. Sopiatin, Popi dan Sohari Sahrani. 2011. Psikologi Belajar dalam Perspektif Islam.Bogor: Ghalia Indonesia. Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada. Tim Pengemabang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imperial Bhakti Utama. Uno, Hamzah B. 2012. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara. Uno, Hamzah dan Nina Lamatenggo. 2011. Teknologi Komunikasi dan Informasi Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara. Warnoto, Heri bertus Joko. 2009. Pendidikan Religiusitas-Gagasan, Isi dan pelaksanaannya. Yogyakarta: Kanisius.

19