NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Download Gagasan negara hukum yang demokratis tempat di mana hak asasi manusia. ( HAM) diakui, dihormati ... berParlemen dan berPemerintahan sendiri ...

3 downloads 757 Views 115KB Size
TRAINING HAK ASASI MANUSIA BAGI PENGAJAR HUKUM DAN HAM Makassar, 3 - 6 Agustus 2010

MAKALAH

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Abdul Hakim G Nusantara SH, LLM, MCIArb

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Oleh : Abdul Hakim G Nusantara SH, LLM, MCIArb

1

Gagasan negara hukum yang demokratis tempat di mana hak asasi manusia (HAM) diakui, dihormati dan dilindungi telah dikemukakan oleh para perintis kemerdekaan Republik Indonesia. Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan kawankawan hampir satu abad yang lalu telah mengemukakan gagasan Indonesia (Hindia Belanda) berParlemen, berPemerintahan sendiri, di mana hak politik rakyatnya

diakui

dan

dihormati.

Walaupun

pada

waktu

itu

Dr

Tjipto

Mangoenkoesoemo, Soewardi Soeryoningrat masih berbicara dalam konteks hubungan Indonesia (Hindia Belanda) dengan Netherland, namun nampak jelas para perintis kemerdekaan ini mencita-citakan suatu Indonesia yang merdeka, berParlemen dan berPemerintahan sendiri yang pada saatnya lepas dari penjajahan Belanda. Menurut pendapat saya saat itu cita-cita Negara Hukum yang demokratis tempat di mana HAM dimajukan dan dilindungi hidup bersemi dan terus berkembang dalam pikiran dan hati para perintis kemerdekaan bangsa Indonesia. Karena itu bila ada pendapat yang mengatakan cita Negara Hukum yang demokratis pertama kali dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) jelas pendapat itu a histories dan menyesatkan.

2

Dalam perkembangannya gagasan negara hukum demokratis tempat di mana HAM dimajukan dan dihormati terus diperjuangkan oleh para perintis kemerdekaan Indonesia. Ketika para pendiri bangsa dan negara Indonesia bersidang dalam BPUPKI tanggal 28 Mei – 1 Juni 1945 dan tanggal 10-17 Juli 1

1945 gagasan dan konsep Konstitusi Indonesia dibicarakan oleh para anggota BPUPKI.

Dalam

sidang-sidang

itu

istilah

rechsstaat

(Negara

Hukum)

dikemukakakan oleh Mr. Mochammad Yamin, anggota BPUPKI. Tentu saja berbagai gagasan dan konsep ketatanegaraan Indonesia dikemukakan oleh para pendiri bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI itu. Namun, secara umum para pendiri bangsa menghendaki suatu Negara Republik Indonesia yang bersatu, merdeka,

berdaulat,

demokratis,

dan

berkonstitusi

untuk

keadilan

dan

kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Itulah menurut pendapat saya alasan pembenar pendirian Negara Republik Indonesia, yang semuanya tertuang dalam kalimat-kalimat Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.

Dibandingkan dengan Konstitusi 1949 dan UUDS 1950, serta konstitusikonstitusi negara lain, misalnya Republik India dan Republik Pilipina, jelas UUD 1945 (sebelum amandemen) merupakan konstitusi yang singkat terdiri atas 37 Pasal, empat Aturan Peralihan dan dua Aturan Tambahan. Namun, itu tidak berarti menjadi alasan untuk menegasikan gagasan dan konsep Negara Hukum dan HAM yang terkandung di dalamnya. Karena seperti dikatakan oleh Ir. Soekarno, UUD yang singkat itu dikemudian hari dapat disempurnakan.

3

Gagasan dan Konsep Negara Hukum demokratis tempat di mana HAM dimajukan dan dilindungi terus hidup dan membara di pikiran dan hati para pendiri bangsa. Hal itu nampak nyata pada penyusunan konstitusi-konstitusi yang berlaku di Indonesia, yakni Konstitusi RIS 1949 dan UUD S 1950. Dalam konstitusi-konstitusi itu dimasukkan Pasal-pasal yang termuat dalam Deklarasi Umum HAM PBB tahun 1948. Hal itu menunjukkan perkembangan pemikiran para pendiri bangsa yang menegaskan, bahwa ketentuan-ketentuan tentang penghormatan, pemajuan dan perlindungan HAM perlu dan penting untuk dimasukkan kedalam konstitusi negara.

2

Hidup dan keberlakuan konstitusi sangat dipengaruhi oleh dinamika interaksi politik dari kekuatan-kekuatan politik, sosial dan kultural dalam suatu masyarakat berbangsa. Dinamika interaksi politik yang terjadi pada kurun waktu 1949 sampai dengan akhir tahun 1958 membawa pada keputusan pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945. Atas Dekrit Presiden Republik Indonesia, pada tanggal 5 Juli, tahun 1959 ditetapkan berlakunya kembali UUD 1945, sesudah hampir satu dasa warsa ditinggalkan dan tidak menjadi acuan kehidupan ketatanegaraan Indonesia (1949 s/d 1959).Dekrit Presiden tanggal 5 Juli tahun 1959 yang menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 didukung oleh sebagian besar kekuatan-kekuatan politik utama, kecuali PSI dan Masyumi, semua partai politik dan TNI mendukung Dekrit Presiden tersebut. Saat itulah Indonesia secara resmi memasuki kehidupan Demokrasi Terpimpin, yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk sistem politik otoritarian yang memberikan ruang kebebasan yang sangat terbatas kepada HAM. Rezim Demokrasi Terpimpin sesungguhnya pula sebuah rezim pemerintahan yang menganut ideologi Patrimonialisme.

Dalam kerangka ideologi Patrimonialisme itu tidak dikenal adanya garis demarkasi yang memisahkan Negara dengan warga negara atau antara Negara dan Masyarakat. Negara dan Masyarakat harus mewujud dalam bentuk ketunggalan atau kesatuan antara penguasa dan rakyat atau dalam konsep kekuasaan Jawa acap disebut manunggaling Kawulo-Gusti. Dalam Sistem kekuasaan Patrimonial, hubungan Negara (Penguasa) dan rakyat bagaikan hubungan antara bapak dengan anak-anaknya dalam suatu keluarga yang harus selalu menjaga harmoni. Menjadi kewajiban penguasa selaku bapak untuk menjaga, merawat, menghidupi anak-anaknya. Dan anak-anak harus mengikuti saja arahan dan perintah sang ayah. Konsep negara Patrimonial jelas berlawanan

dengan

konsep

Negara

Hukum.

Dalam

Negara

Hukum,

sebagaimana dikatakan oleh Daniel S.Lev, “kekuasaan politik dan proses-proses sosial maupun ekonomi harus tunduk kepada batasan-batasan yang ditentukan oleh gugus peraturan yang secara konseptual mandiri dan diterapkan oleh sistem hukum, yang juga mandiri.” Sedangkan konsep Negara Patrimonial, 3

proses-proses politik, ekonomi, dan sosial untuk sebagian besar kalau tidak dapat dikatakan seluruhnya di arahkan dan dikendalikan oleh kebijaksanaan sang Bapak atau penguasa. Hukum dalam perspektif Negara Patrimonial merupakan instrument bagi Sang Bapak atau Penguasa untuk meraih tujuantujuan yang dia tetapkan. Itulah mengapa dalam Sistem Demokrasi Terpimpin tidak dikenal pemisahan kekuasaan cabang-cabang kekuasaan negara, yakni, Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Menurut Sistem Demokrasi Terpimpin, kekuasaan kehakiman bukanlah kekuasaan yang mandiri dan merdeka. Kekuasaan kehakiman merupakan sarana bagi Sang Penguasa (Bapak) untuk memberikan keadilan kepada rakyatnya (anak-anaknya). Oleh karena itu dalam Sistem Demokrasi Terpimpin, Presiden selaku kepala eksekutif berhak untuk mengintervensi setiap tahap proses peradilan. Konsep hukum Patrimonial ini jelas bertentangan secara diametral dengan konsep Negara Hukum.

4

Dinamika interaksi politik dari kekuatan-kekuatan politik yang berlangsung selama

kurun

waktu

tahun

1959

sampai

dengan

akhir

tahun

1966

mengakibatkan ambruknya Sistem Demokrasi Terpimpin, dan membuka peluang bagi TNI dan kelompok-kelompok sipil pendukung untuk menguasai dan mendominasi sistem kekuasaan negara. Pada awal tahun 1966 kita bangsa Indonesia memasuki era Sistem Kekuasaan baru yang menyebut dirinya Orde Baru. Pada permukaannya Orde Baru secara formal mengesankan menata kekuasaan menurut aturan formal ketatanegaraan menurut UUD 1945. Namun, sesungguhnya pada substansinya rezim Orde Baru merupakan sistem politik Otoritarian yang lain, yang berbeda dari rezim demokrasi Terpimpin. Secara ideologis rezim Orde Baru menganut dan memuliakan faham Pembangunan, yang mengedepankan stabilitas kekuasaan pemerintah dan pertumbuhan ekonomi, dan mengesampingkan partisipasi politik rakyat dan HAM. Inti Sistem Otoritarian Orde Baru adalah, hegemoni dan dominasi kekuasaan eksekutif yang dikendalikan oleh Presiden Soeharto dan kroninya, serta TNI atas kekuasaan 4

Legislatif dan Yudikatif. Lebih jauh lagi kontrol eksekutif atas infra-struktur politik, yakni Partai Politik, Golkar dan Organisasi Kemasyarakatan. Serupa dengan Sistem Demokrasi Terpimpin, Sistem Kekuasaan Orde Baru secara lebih canggih menggunakan hukum sebagai sarana untuk memfasilitasi, melegitimasi, dan melindungi proses pencapaian tujuan yang ditetapkan dan hasil-hasilnya. Hukum menjadi bersifat instrumental dan represif, jauh dari nilai-nilai keadilan, protective, dan emansipatif bagi rakyat, sebagaimana menjadi cita-cita Negara Hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Franz Magnis Soeseno, “Paham negara hukum berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.” Ada empat alasan utama kenapa negara dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan hukum, yaitu, pertama, demi kepastian hukum, kedua, tuntutan kesetaraan dihadapan hukum, ketiga, legitimasi demokratis, dan keempat, tuntutan akal budi.

5

Krisis ekonomi dan krisis legitimasi hukum membawa krisis politik yang pada akhirnya mengakibatkan ambruknya Sistem Kekuasaan Orde Baru. Sejak bulan Mei, tahun 1998 kita bangsa Indonesia memasuki era freformasi nasional, dimana hak-hak demokrasi, hak-hak atas kebebasan sipil dan politik di pulihkan sebagai dasar untuk meluruskan jalan menuju Negara Hukum yang demokratis, tempat di mana HAM dimajukan dan dilindungi. Dalam kaitannya dengan hal itu kita perlu memberikan catatan atas beberapa perkembangan dalam konteks Negara Hukum dan HAM. Yaitu, pertama, reformasi atas infra-struktur politik melalui pemulihan hak-hak atas kebebasan dasar, yakni, hak atas kebebasan berekspresi, yang antara lain mewujud dalam bentuk reformasi UU Pers, reformasi UU yang berkenaan dengan unjuk rasa, hak atas kebebasan berkumpul, di mana keharusan adanya izin bagi pertemuan umum ditiadakan, hak atas kebebasan berorganisasi, yang mewujud dalam bentuk reformasi UU Partai Politik dan Golkar, reformasi UU Pemilihan Umum. Selanjutnya reformasi UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD di mana sistem 5

pengangkatan sebagian anggota DPR dan perwakilan TNI di DPR secara bertahap dihapuskan, reformasi UU Pemerintah Daerah, serta pembuatan UU HAM. Langkah besar berikutnya adalah empat kali Amandemen UUD 1945, Itulah langkah-langkah politik dan hukum yang meluruskan jalan kita sebagai bangsa Indonesia menuju Negara Hukum yang demokratis, tempat di mana HAM dimajukan dan dilindungi.

Empat tahapan Amandemen UUD 1945 memperkokoh landasan konstitusional bagi pranata Negara Hukum yang demokratis dan HAM, yakni, pertama, penegasan Indonesia sebagai Negara Kesatuan dan Negara Hukum yang demokrastis tempat di mana HAM dimajukan dan dilindungi, kedua, penegasan asas kedaulatan berada di tangan rakyat yang mewujud dalam bentuk pemilihan langsung wakil-wakil rakyat dan para kepala pemerintahan dari pusat sampai daerah,

ketiga,

penegasan

kemerdekaan

dan

kemandirian

kekuasaan

Kehakiman yang dijalankan oleh MA dan MK, dan keempat, memasukkan suatu daftar HAM yang relative panjang kedalam UUD 1945, yang merupakan HAM sebagai hak konstitusional. Empat tahapan Amandemen UUD 1945 itu merupakan keputusan politik negara untuk mengatur pada satu sisi tata hubungan antara cabang-cabang kekuasaan negara, yaitu Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif dalam kerangka sistem check and balance, dan pada sisi yang lain tata hubungan antara Negara dan Masyarakat yang lebih simetris. Dalam hal itu kedudukan rakyat tidak disubordinasikan kepada kekuasaan negara, tapi diletakan dalam posisi mengimbangi kekuasaan Negara seperrti yang dapat kita lihat dalam konstitusi-konstitusi negara negara demokratis.

6

Selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini reformasi atas pranata-pranata hukum dan politik telah dijalankan. Namun kebebasan sipil dan politik yang terus menyertai proses reformasi itu belum membawa hasil seperti yang dikehendaki. Memang rakyat pada umumnya telah menikmati hak atas kebebasan sipil dan 6

politik, namun akses rakyat pada keadilan hukum masih jauh dari jangkauan. Keadilan hukum se-olah-olah berada jauh di atas kapasitas jangkauan rakyat. Korupsi di sector yudisial dan birokrasi pada umumnya terus merajalela, sementara

kasus-kasus

kekerasan

yang

menimpa

kelompok-kelompok

masyarakat tertentu yang lemah terus terjadi tanpa di atasi secara tuntas dan adil. Dewasa ini selain reformasi pada tataran normative kita menyaksikan tumbuhnya berbagai Komisi Nasional, seperti Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komisi Nasional HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Ombudsman. Kecuali KPK yang diberikan kewenangan yang memadai di bidang penyidikan dan penuntutan, komisi-komisi nasional lainnya boleh dikatakan tak berdaya melakukan control atas aparat penegak hukum, seperti, Polisi, Jaksa, dan Hakim, serta birokrasi pemerintah pada umumnya. KPK memang nampak berhasil menyeret mereka yang diduga sebagai pelaku korupsi ke pengadilan Tipikor. Namun, selain sifatnya yang selektif, KPK juga belum mampu membersihkan dan membangun sistem yudisial dari praktek-praktek korupsi. Satgas Mafia Hukum belakangan di bentuk. Dengan menggunakan wibawa Presiden, Satgas menampung pengaduan masyarakat dan nampaknya dapat mengungkapkan kasus-kasus mafia hukum.

Namun pengungkapan saja tanpa penanganan secara tuntas dan adil atas kasus-kasus itu hanya akan meninggalkan kekecewaan sosial lebih dalam lagi, serta tanpa disadari menurunkan semangat dan moralitas para penegak hukum, kredibilitas institusi penegak hukum. Sementara kasus dan akar masalahnya yang sesungguhnya menjadi tanggungjawab pemerintah, yakni Presiden tetap tidak diselesaikan secara tuntas dan adil. Untuk sementara Satgas Mafia Hukum barangkali dapat memberikan warning dan iklim berhat-hati di kalangan aparat penegak hukum. Namun sistem yudisial yang korup serta pelakunya tetap saja tidak berubah. Fenomena yang digambarkan di atas menunjukkan, bahwa reformasi hkum dan politik yang menghasilkan empat tahapan Amandemen UUD 1945 yang didukung oleh masyarakat luas tidak diimbangi dengan reformasi dalam tubuh birokrasi Negara, khususnya di sektor yudisial dan TNI. Gerakan 7

reformasi nasional yang didukung oleh masyarakat luas belum berhasil merubah struktur hubungan Negara dan Masyarakat. Negara tetap saja masih terus didominasi oleh kepentingan kapital dan para birokrat yang mengendalikan elite politik yang menguasai partai partai politik, dan akhirnya Parlemen. Keadaan itulah sesungguhnya yang merupakan tantangan yang dihadapi oleh gerakan masyarakat sipil yang mencita-citakan terwujudnya Negara Hukum yang demokratis.

7

Realitas sosial, politik, ekonomi, dan kultural yang merintangi jalan menuju Negara Hukum demokratis dan HAM tidak perlu membuat kita sebagai bangsa mundur dari cita-cita itu. Karena seperti yang dikatakan Lev, gagasan Negara Hukum demokratis itu ada sumber dukungan sosialnya, yakni, realitas kemajemukan bangsa Indonesia, munculnya golongan menengah yang semakin luas dan menguat, serta agama-agama, khususnya Islam yang menanamkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan yang sejalan dengan cita-cita Negara Hukum yang demokratis.

Fenomena Negara Hukum yang demokratis tempat di mana HAM dimajukan dan dilindungi sudah merupakan fenomena Universal. Seperti dikatakan Prof. Mark Tushnet, bahwa globalisasi hukum konstitusi adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Sekarang kita menyaksikan fenomena konstitusi-konstitusi dari banyak negara yang mengakui prinsip perlindungan hak-hak individual (pribadi) atas kebebasan politik, perlindungan hak-hak sipil, hak atas pemilikan kekayaan, dan kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman, dan hak-hak demokrasi

lainnya.

Sekarang

masyarakat inrternasional, bahwa

ini

negara-negara

bersaing

meyakinkan

konstitusi mereka lebih demokratis dan

melindungi HAM.

Jakarta, 3 Agustus 2010. 8

Bahan Rujukan :

1. Daniel S. Lev “HUKUM DAN POLITIK DI INDONESIA KESINAMBUNGAN dan PERUBAHAN “ LP3ES, Jakarta tahun 1990; 2. Mark Tushnet “ The Inevitable Globalization of Constituional Law “ Virginia Journal Of International Law Volume 49:4; 3. Franz Magnis-Suseno “ Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moderen, Gramedia Jakarta tahun 1991; 4. Naskah Amandemen UUD 1945; 5. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

9