Tentang Hak Asasi Manusia Seri 3 rangkaian modul CREAME (Critical Research Methodology)
Dokumen ini menggunakan lisensi Creative Commons: Attribution, Non-commercial, Share Alike (by - nc - sa). Silakan menggandakan dan mengedarkan pada pihak lain asalkan disertai dengan atribusi kepada CIPG sebagai pembuat dokumen (cc: by). Silakan meningkatkan kualitas isi (to enhance) dengan syarat bahwa dokumen tersebut dibuat di dalam lisensi creative commons yang sama seperti tertera di atas (cc: sa). Anda DILARANG menggunakan, menggandakan, mengubah isi, maupun mengedarkan dokumen ini bila terkait kegiatan KOMERSIAL (cc: nc).
Daftar Isi Daftar Isi
iii
Tentang Hak Asasi Manusia
1
Pendahuluan
2
Makna HAM
2
Institusionalisasi HAM
3
1. Instrumentalisasi HAM
6
2. Antara HAM, Riset, dan Media
10
Bacaan Lanjut
14
Centre for Innovation Policy and Governance
Tentang Hak Asasi Manusia
iii
Tentang Hak Asasi Manusia
Tentang Hak Asasi Manusia Disusun oleh Leonardus Kristianto Nugraha dan Shita Laksmi
Pendahuluan Jika Analisis Sosial (Ansos) adalah sebuah cara pandang dalam upaya memahami gejala –dan suatu cara pandang tidak pernah bebas nilai– maka membincangkan/melakukan praktik Analisis Sosial (Ansos) dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari diskusi seputar Hak Asasi Manusia (HAM). Mengapa? Karena pada praktik hidup sehari-hari, ketidakadilan senantiasa bersinggungan dengan adanya interaksi dari manusia satu terhadap yang lain. Dengan lain perkataan, ketidakadilan senantiasa berlawanan dengan praktik penegakan HAM yang dalam perkembangan sejarahnya senantiasa mengalami perubahan oleh karena berbagai macam kepentingan manusia.
Makna HAM Hak adalah sesuatu yang dapat dituntut pemenuhannya dari orang lain, masyarakat atau negara. HAM adalah hak yang dimiliki seseorang karena ia manusia. HAM bersifat asasi karena melekat pada individu sebagai manusia (innate), bersifat pra-negara, pra-positif. Sebenarnya, jika disebut sebagai hak manusia, itu sudah pasti asasi. 2
Centre for Innovation Policy and Governance
Tentang Hak Asasi Manusia
Namun, dalam bahasa Indonesia perlu ditegaskan kata ‘asasi’ supaya jelas. Penambahan kata ‘asasi’ dalam hak asasi adalah untuk membedakannya dengan hak-hak lain yang tidak asasi: hak-hak profesional, hak-hak positif, hak-hak manusia sebagai anggota sebuah kelompok. Hak-hak non-‘asasi’ itu tidak melekat pada manusia dalam atau pada kemanusiaannya, tetapi diberikan oleh instansi dari luar manusia itu sendiri, misalnya masyarakat. Jadi sebenarnya (menurut asal muasalnya), hak asasi lebih terkait dengan individu. Catatan: Yang jarang disinggung adalah bahwa hak-hak itu bersifat pra-positif, bersifat pra-negara. Jadi sebelum ada negara, sebelum ada tatanan hukum positif tertentu atau suatu political order [tatanan politis], diandaikan setiap manusia sudah memiliki hak-hak itu. Maka dari itu, disebut hak-hak pra-positif. Hak-hak ini bisa ditelusuri sampai pada tradisi religius Yahudi-Kristen. Hal ini dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan konsep Imago Dei dan martabat manusia yang merupakan kualitas dari tradisi Yahudi-Kristen. Dan warisan filsafat Yunani-Romawi menyumbang konsep hukum kodrat. Perlu diketahui pula bahwa hukum kodrat itu juga hukum pra-positif, hukum yang berlaku di dalam tatanan kodrati, bukan dalam tatanan politis. Maka dari itu, lebih berciri moral.
Institusionalisasi HAM (DUHAM) HAM adalah konsep abstrak filsafat yang perlu diinstitusionalisasi dalam sejarah menjadi positif. Institusionalisasi HAM mengikuti beberapa tahap: Magna Charta Libertatum (1215) oleh King John, yang membatasi kekuasaan raja (absolutisme), menjamin beberapa hak termasuk hak Gereja dan hak komersial pedagang kelas menengah; Habeas Corpus (1679) oleh parlemen Inggris, yang menuntut hak bagi orang yang ditahan untuk diadili dan dengan surat penahanan; Bill Of Rights (1689) oleh parlemen Inggris, yang membatasi penguasa berdaulat dan menyatakan hak parlemen, termasuk hak berpendapat. Piagam ini belum mengklaim hak manusia secara universal; Virginia Bill of Rights, Declaration of Independence (1776), yang menyatakan bahwa manusia itu bebas, mempunyai hak menikmati hidup dan kebebasan, hak atas milik, dan hak atas kebahagiaan dan keamanan1; Declaration des Droit de l’Homme et du Citoyen [DeclaraCentre for Innovation Policy and Governance
Tentang Hak Asasi Manusia
3
tion of the Rights of Man and of the Citizen] (1789), dikeluarkan oleh majelis nasional2, yang menjamin hak-hak individu dan kolektif, yakni atas milik, kehidupan dan kebebasan. Latar belakangnya adalah pemikiran Rousseau tentang kontrak sosial versus kebebasan individu, pemikiran Montesquieu tentang pembagian kekuasaan dan pemikiran tentang hak natural. Institusionalisasi ini lebih memandang HAM sebagai sesuatu yang universal; Deklarasi Universal HAM [DUHAM] (10 Desember 1948)3. Dalam sejarahnya, konsep HAM mengalami beberapa generasi: (1) Generasi Pertama muncul sebagai perlawanan atas negara absolut. Di sini, HAM memperjuangkan hak-hak liberal klasik: hak minimal atau hak negatif. Artinya, negara hanya sebagai moderator, hanya mengakui. Secara sederhana, generasi pertama HAM memperjuangkan hak-hak berkebebasan/sipil dan hak politik. Contoh: hak hidup, hak membela diri, dan hak milik. (2) Generasi kedua merupakan hak positif, hak klaim pada negara. Negara dituntut melakukan sesuatu untuk kepentingan publik. Contoh: hak ekonomi, jaminan sosial dan pensiun. (3) Generasi ketiga mewakili kemunculan hakhak budaya berkaitan dengan komunitas. Disebut juga hak kelompok, etnis, atau hak kolektif.
Latar belakangnya adalah Revolusi Amerika di mana tercetus gagasan penting, bahwa negara adalah suatu tatanan yang didirikan oleh manusia; maka negara harus menghormati hak-hak manusia. Jika tidak menghormati hakhak itu, negara boleh dibubarkan. Jadi, negara tidak berada di atas HAM, melainkan tunduk di bawah HAM. 1
2 La Déclaration des Droits de l’Homme et du Citoyen de 1789 adalah dokumen yang memuat suatu katalog HAM. Yang sangat penting di dalam dokumen ini dinyatakan bahwa kelupaan akan “HAM” itu merupakan pangkal dari segala kesengsaraan manusia, pergolakan dan sebagainya. La Déclaration sendiri dilatarbelakangi oleh pengalaman di bawah absolutisme Perancis, industrialisasi yang membawa banyak korban karena eksploitasi.
Latar belakangnya adalah pengalaman Perang Dunia II, khususnya fasisme dan rezim-rezim totaliter komunisme, Nazi, fasisme. Maka ada hak-hak yang berkaitan dengan penolakan terhadap diskriminasi rasial. 3
4
Centre for Innovation Policy and Governance
Tentang Hak Asasi Manusia
Gambar 1 Gradasi Institusionalisasi HAM
Hak sipil dan politik (selanjutnya disebut sipol) termuat di dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang terdiri dari 27 pasal. Hak sipol kurang lebih memuat hak-hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia, seperti hak atas penentuan nasib sendiri; hak memperoleh ganti rugi bagi yang kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan; hak atas kehidupan dan keamanan pribadi; hak kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak kebebasan berekspresi; hak yang sama bagi perempuan dan lakilaki untuk menikmati hak sipil dan politik; persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri; hak untuk diberitahu alasan penangkapan. Generasi kedua HAM boleh dibilang menyangkut hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob); yang telah termuat di dalam International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) dan terdiri dari 13 pasal. Hak ekosob kurang lebih memuat hak untuk menikmati kebebasan dari rasa takut dan kemiskinan, larangan diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama; persamaan hak Centre for Innovation Policy and Governance
Tentang Hak Asasi Manusia
5
antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ekonomi, sosial, dan budaya; hak memperoleh upah yang adil; hak mendapat pekerjaan; hak membentuk serikat buruh; hak mogok; hak pendidikan; hak bebas dari kelaparan. Ada beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia: (1) the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Woman (CEDAW, 1980); (2) the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment of Punishment (CAT, 1985); (3) the International Convention against Apartheid in Sports (CAS, 1986); (4) the Convention on the Rights of the Child (CRC, 1990); dan (5) the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD, 1999). Adapun ICESCR dan ICCPR telah diratifikasi pada September 2005. Dalam konteks Indonesia, pelanggaran HAM yang terjadi pascaOrba mengarah kepada kasus ekosob. Modusnya kerapkali melibatkan industri besar. Contoh: kasus Lapindo Brantas. Sementara kasus pelanggaran HAM pada waktu Orba mengarah kepada kasus sipol. Contoh: kasus-kasus pengekangan kebebasan berkumpul, berekspresi, dan mengemukakan gagasan di depan publik. Beberapa masalah yang sangat rentan pelanggaran HAM di Indonesia: tanah (termasuk petani), perburuhan, dan minoritas (termasuk agama). Sejalan dengan hal ini, perlu juga untuk mengatasi masalahmasalah dasar dalam pembelaan HAM di Indonesia: pelaksanaan hukum yang masih sangat lemah, campur tangan politik yang kuat, belum adanya ‘budaya’ hukum, serta beberapa masalah konseptual (hak vs. kewajiban, hak sipol vs. hak ekosob, hukum sekular vs. hukum agama). Ke depan, salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan untuk perbaikan pembelaan HAM adalah penguatan civil society sebagai ‘sektor ketiga’ di luar pemerintah dan bisnis – walaupun sebenarnya persoalannya jauh lebih kompleks dari sekadar penguatan civil society.
Instrumentalisasi HAM Beberapa kali ditemui, konsep-konsep HAM diimplementasikan 6
Centre for Innovation Policy and Governance
Tentang Hak Asasi Manusia
dalam kebijakan-kebijakan politik, aktivitas-aktivitas politik negara, khususnya negara-negara besar atau maju, bukan demi HAM itu sendiri melainkan dipakai untuk tujuan-tujuan mereka. Instrumentalisasi HAM adalah penggunaan HAM sebagai instrumen kepentingan politis tertentu. Hal ini nampak dalam penerapan konsep HAM dalam suatu institusi, yang sayangnya memuat kompromi tertentu. Maka, dapat terjadi bahwa pemberlakuan HAM merupakan pencangkokan kultural begitu saja yang dapat dipakai sebagai alat ideologis untuk melawan kultur lain. Beberapa instrumentalisasi ini berkaitan dengan etnosentrisme bahwa Barat yang tercerahkan wajib menyelamatkan manusia-manusia di dunia ketiga yang kondisi hidupnya tidak manusiawi. Kemudian, Barat mau memanusiawikannya (tentu menurut gaya Barat) melalui kolonialisme, penjajahan, imperialisme dan sebagainya. Di sini, HAM mewakili gambaran spesifik manusia secara kultural –yakni pengalaman masyarakat Barat– sehingga bukan suprahistoris dan suprakultural. Demikian, seharusnya intensi (HAM) universal tersebut dipahami inter dan intra kultural. Artinya, dikembangkan dan diasalkan dari kekuatan kulturalnya sendiri sehingga menghindari ritualisasi dan perjumpaan kreatif dengan kebudayaan lain. Contoh: Laporan Tahunan HAM di Jenewa yang sering berupa ‘politik dagang sapi’, Amerika Serikat menginvasi Irak (dan baru-baru ini adalah Afghanistan) atas dasar adanya pelanggaran HAM. Isu instrumentalisasi tercermin pula dari sikap terhadap HAM dari negara anti-barat. Contoh: Negara-negara dunia ketiga sering mengelak mengatakan bahwa HAM itu hanyalah politik dari negaranegara maju untuk menekan mereka; dengan embargo ekonomi misalnya. Negara dunia ketiga memandang hal ini sebagai alasan Centre for Innovation Policy and Governance
Tentang Hak Asasi Manusia
7
negara-negara maju untuk mengintervensi kedaulatan dalam negeri. Barangkali wacana tersebut benar, namun wacana itu juga ternyata tidak tanpa masalah. Dengan menangkal konsep HAM sebagai konsep Barat, sebetulnya negara-negara yang sedang berkembang ini, atau yang non-Barat ini, secara tidak sadar membenarkan juga pelanggaran HAM yang ada dalam negerinya. Dengan demikian, HAM bisa diinstrumentalisasi pada dua sisi. Pada negara maju sebagai alasan intervensi, sementara di sisi negara yang melakukan pelanggaran HAM, negara tersebut ditolak sebagai ‘Barat’ supaya pelanggaran HAM diabaikan di dalam negara itu. Instrumentalisasi seperti itu sama sekali tidak betul. Maka perlu disebut pernyataan lain, yaitu memandang HAM dari ‘intensi’nya.
Intensi dasar HAM: melindungi dari pengalaman-pengalaman negatif (kediktatoran, destruksi massa, eksploitasi). Latar belakang munculnya dokumen-dokumen tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh Voltaire, adalah karena ‘kelupaan akan HAM.’ Kemunculan dokumen-dokumen tadi selalu didahului oleh pengalaman-pengalaman negatif yang dialami umat manusia. Maka HAM diinstitusionalisasikan untuk melindungi manusia dari pengalaman-pengalaman negatif, misalnya: feodalisme, absolutisme negara (totalitarianisme NAZI atau fasisme), industrialisasi Eropa, Perang Dunia, terorisme. HAM klasik melindungi manusia dari industrialisasi. DUHAM melindungi manusia dari fasisme dan totalitarianisme.
Memang, sejarah menunjukkan bahwa pemakluman atas konsep HAM kebetulan terjadi di Barat karena Barat paling artikulatif. Namun, lebih penting adalah melihat intensi di balik HAM itu: untuk melindungi individu dari kesewenangan, melindungi manusia dari peristiwa-peristiwa negatif seperti teror, diskriminasi ras, pembungkaman, pembodohan, dan sebagainya. Terlepas dari konflik kepentingan antara Barat dan Timur, satu hal yang perlu kita lihat adalah intensi dari HAM. Oleh karena itu, kita harus selalu waspada dari kedua sisi: (1) instrumentalisasi HAM sebagai politik intervensi itu tidak sesuai dengan intensi-intensinya, atau, (2) menolak HAM dengan alasan bahwa itu Barat juga tidak sesuai dengan intensinya. Memang HAM ini terjadi di Barat lebih dulu, tetapi tidak berarti bahwa 8
Centre for Innovation Policy and Governance
Tentang Hak Asasi Manusia
di dalamnya, seluruhnya adalah doktrin Barat. Tidak, kita harus menangkap maksudnya. Kendati tampaknya sejarah menunjukkan bahwa pemakluman konsep HAM ‘melulu’ terjadi di Barat, namun Amartya Sen4 memiliki pandangan yang agak berbeda. Dalam pandangan Amartya Sen5, tidaklah tepat menyebut HAM sebagai ‘melulu’ produk Barat6 karena ternyata prinsip-prinsip dasar HAM/praktik-praktik serupa sudah ada sejak dahulu kala; dan dilakukan dalam wilayah ‘nonBarat’. Salah satu contoh historis terjadi pada tahun 604 M ketika Pangeran Budhis Shotoku, bupati dari Kaisar Suiko di Jepang, menerbitkan “Konstitusi 17 pasal”. Konstitusi tersebut menekankan apa yang menjadi semangat Magna Charta (1215): “Keputusan-keputusan pada perkara penting sebaiknya tidak dibuat oleh seorang saja. Keputusan tersebut haruslah dibahas dengan banyak orang.”7 Bahkan, “perjuangan atas diskusi publik yang terbuka, toleransi dan penerimaan sudut pandang yang berbeda” memiliki akar sejarah panjang di banyak wilayah di dunia. Salah satunya, sebutlah dewan Budhis di India yang mencoba untuk menyediakan wadah demi penyelesaian disputasi antar sudut pandang berbeda. Dewan yang mengakomodasi pertemuan terbuka ini didirikan setelah Sid-
Amartya Sen adalah seorang ekonom India yang terkenal atas karyanya mengenai kelaparan, teori perkembangan manusia, ekonomi kesejahteraan, mekanisme dasar dari kemiskinan dan liberalisme politik. Pada tahun 1998, meraih Penghargaan Nobel dalam bidang ekonomi atas karyanya dalam ekonomi kesejahteraan. 4
Lih. Amartya Sen, “Elements of a Theory of Human Rights” dalam Philosophy & Public Affairs Vol. 32, no. 4 (Oxford: Blackwell Publishing, 2004: 315356). 5
Dalam pandangan Amartya Sen, kondisi penyebutan antara mana yang merupakan produk Barat dan mana yang non-Barat ini disebut sebagai suatu stereotipe budaya (cultural stereotypes). 6
Lih. Amartya Sen (2004: 352-3), “Elements of a Theory of Human Rights” (2004: 352). Beberapa contoh lain disajikan dengan konteks budaya yang berbeda, misalnya tentang jaminan kebebasan beragama di India dan Mesir pada abad pertengahan. 7
Centre for Innovation Policy and Governance
Tentang Hak Asasi Manusia
9
dhartha Gautama wafat, 2500 tahun yang lalu. Dalam menyajikan beberapa contoh dalam sejarah, Amartya Sen seperti ingin menunjukkan bahwa pembedaan-pembedaan budaya (apakah ini produk Timur atau Barat) adalah sama sekali tidak relevan. Ada kesan bahwa Amartya Sen ingin menyajikan suatu ‘universalisme’ nilai HAM. Yang ingin ditunjukkan oleh Amartya Sen –dengan sedikit mengutip Adam Smith– adalah bagaimana keutamaan/nilai dasar (bukan pembedaan ini produk dari mana) dari macam-macam budaya yang berbeda itu perlu ‘didekati’ tanpa ancaman. Oleh karena itulah, harus dibedakan antara (1) nilai dominan yang berlalu di sebuah masyarakat (tidak peduli se-represif apapun); dan (2) keutamaan/nilai macam apa yang dapat diharapkan muncul ketika diskusi terbuka diizinkan, ketika informasi mengenai masyarakat lain tersedia secara lebih bebas, dan ketika orang dapat mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap pandangan baku dalam masyarakat, tanpa merasa takut dan tertindas. Pendekatan terhadap cultural differences tanpa ancaman (dengan kata lain juga memahami intensi dasar sebuah nilai dalam suatu budaya) ini sekaligus juga merupakan upaya untuk memahami HAM (dan etika) secara lebih utuh.
Antara HAM, Riset, dan Media Lalu, apa hubungan antara HAM dengan riset dan ke-media-an kita? Dalam beberapa kajian CIPG8, telah disinggung bahwa memahami hak bermedia berarti mengambil posisi dalam memahami HAM. Melalui buku ini, kami ingin membangun sensitifitas dari kalangan masyarakat sipil (civil society) untuk memahami perilaku HAM dan pelaksanaannya melalui kemampuan riset di wilayah kerja civil society dari kacamata warga negara. Tujuannya agar pembaca mampu mengidentifikasi, menelaah lebih lanjut pelaksanaan HAM yang paling relevan, dan berkontribusi secara aktif pada diskusi mengenai praktik pelaksanaan HAM di wilayahnya.
Lihat Report series: Engaging Media, Empowering Society: Assessing media policy and governance in Indonesia through the lens of citizens’ rights. 8
10
Centre for Innovation Policy and Governance
Tentang Hak Asasi Manusia
Dari pengalaman selama kurang lebih sepuluh tahun, kami mengamati bahwa pemahaman hak asasi warga negara tidak banyak didiskusikan. Dalam perkembangan media selama ini, pelaksanaan HAM lebih banyak dilihat dari kacamata pers sebagai industri atau wartawan sebagai profesi. Dalam logika sederhana, diskusi pada kebebasan pers ada pada perspektif: bila kebebasan pers itu dijaga maka secara langsung hak warga negara juga akan terjaga. Kami melihat bahwa pelaksanaan hak warga negara lebih kompleks dari ini dan kami merasa perlu mendiskusikan lebih dalam mengenai keterlibatan hak warga negara dalam proses perkembangan media di Indonesia. Dalam UU Pers di Indonesia9, warga negara (di sini disebut sebagai masyarakat) diakui agar bisa ikut berkontribusi pada perkembangan pers di Indonesia (pasal 17 tentang Peran Masyarakat) tetapi pelaksanaannya masih belum maksimal. Dalam UU Penyiaran10, keikutsertaan warga negara dimungkinkan dalam pengakuan di Lembaga Penyiaran Komunitas. Dalam perkembangan menuju digitalisasi penyiaran, Lembaga Penyiaran Komunitas tidak bisa dijalankan karena persyaratan teknis Penyiaran Komunitas tidak bisa diakomodir oleh proses digitalisasi. Persoalan lain juga terlihat dalam RUU Konvergensi. Dalam RUU Konvergensi, peran negara dalam melindungi warga dalam rupa ‘kewajiban pelayanan dasar telematika’11 tidak secara eksplisit muncul. Pasal 38 draf RUU Konvergensi Telematika memang menyebut kewajiban negara membangun pelayanan universal; namun secara eksplisit tidak mencantumkan apa yang menjadi hak warga bila kewajiban itu lalai dilaksanakan. Dampaknya, hak menikmati layanan dasar telematika akan gampang dilanggar dalam praktiknya. Dari hal ini, terlihat bahwa RUU ini telah mereduksi hak warga negara
9
Lih. UU No. 40 Tahun 1999
10
Lih. UU No. 32 Tahun 2002
Kewajiban pelayanan dasar telematika adalah kewajiban penyediaan layanan telematika agar masyarakat, terutama di daerah terpencil atau belum berkembang, mendapatkan akses layanan telematika. 11
Centre for Innovation Policy and Governance
Tentang Hak Asasi Manusia
11
menjadi hak konsumen produk telematika, yang didasarkan atas hubungan transaksional belaka. Dengan rationale macam ini, RUU ini juga mengancam jurnalisme warga karena setiap jurnalisme warga harus mengantongi izin yang didasarkan pada Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) dan pungutan Universal Service Obligation (USO). Berangkat dari segelintir keprihatinan tersebut, maka dalam mengajukan “hak bermedia”, kami berfokus pada hak warga negara dalam bidang: 1. Akses warga negara kepada informasi.
Akses kepada informasi memungkinkan kelompok-kelompok yang terpinggirkan untuk terlibat dalam perkembangan manusia dan mengubah kehidupan mereka. Ada dua aspek hak di sini: (i) akses kepada informasi yang benar-terpercaya, dan (ii) akses untuk menghasilkan informasi. Tanpa informasi yang spesifik, misalnya, terhadap hak-hak kesehatan, tempat tinggal dan pekerjaan, warga negara tidak dapat menggunakan haknya. Hal ini juga dapat dianggap sebagai sebuah cara untuk memperkuat (‘menguasakan’) warga negara –tidak hanya yang terpinggirkan– karena informasi yang benar dapat membantu warga negara untuk membuat keputusan yang benar bagi hidup mereka sendiri atau untuk ambil peran dalam proses pengambilan keputusan dalam hal-hal yang terkait dengan kewarganegaraan mereka. Demikian pula, hak warga negara untuk menghasilkan informasi harus dilindungi karena hal ini memampukan mereka untuk menciptakan isi informasi yang dapat dibagikan antar-warga negara sebagai sarana penguatan mereka sendiri. Selain itu, model bottom-up user-generated content akan menciptakan informasi bottom-up yang terpercaya pula. Bagaimana pun, hal ini masih menuntut akses lain, yakni akses kepada infrastruktur yang memampukan penciptaan isi.
2. Akses warga negara kepada infrastruktur media.
12
Akses kepada media mengasumsikan dan membutuhkan akses kepada infrastruktur. Dalam konteks Indonesia, ke-
Centre for Innovation Policy and Governance
Tentang Hak Asasi Manusia
banyakan infrastruktur media dan telekomunikasi didistribusikan secara tidak merata. Kendati radio telah menjangkau hampir seluruh area, diikuti oleh televisi (terutama yang dijalankan oleh negara); infrastruktur media yang berkualitas (terutama) dan termasuk high-speed cable yang memampukan media berbasis internet, masih terkonsentrasi di pulau Jawa-Bali dan bagian barat Indonesia. Dengan perkembangan user-generated content dalam media berbasis internet, keadaan ini menghambat partisipasi warga negara untuk memproduksi dan mendistribusikan isi di antara mereka (Nugroho, 2011). 3. Akses warga negara kepada pengembangan kebijakan.
Kebijakan publik, dan secara umum kerangka regulasi, harus dibuat dengan konsultasi warga negara. Bagaimana pun juga, warga negara yang tidak mendapat informasi dan tidak mendapat kuasa, tidak dapat berpartisipasi dalam proses yang sedemikian penting –di mana hal ini merupakan kasus Indonesia. Maka, hal yang harus dibuat adalah menguasakan warga negara untuk memastikan partisipasi warga dalam proses pembuatan kebijakan, terutama yang terkait dengan hak-hak mereka– dalam kasus ini adalah hak-hak yang terkait dengan media.
Centre for Innovation Policy and Governance
Tentang Hak Asasi Manusia
13
Bacaan Lanjut F. Budi Hardiman, “ ‘Manusia’ dari Hak-hak Asasi Manusia” dalam I. Wibowo dan B. Herry Priyono (eds.), Sesudah Filsafat: Esai esai untuk Franz Magnis-Suseno (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 211-237. Amartya Sen, “Elements of a Theory of Human Rights” dalam Philosophy & Public Affairs Vol. 32, no. 4 (Oxford: Blackwell Publishing, 2004, hlm. 315-356.
14
Centre for Innovation Policy and Governance
Tentang Hak Asasi Manusia
Centre for Innovation Policy and Governance
Tentang Hak Asasi Manusia
15