OPTIMALISASI BONUS DEMOGRAFI BAGI KEMAKMURAN JAWA TIMUR MELALUI PENDEKATAN TETRAPARTIT Oleh: Drs. H. Abdul Halim Iskandar, M.Pd (Ketua DPRD Jawa Timur) Gambaran Umum Postur Demografis Indonesia Indonesia memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, India dan Amerika Serikat. Hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sejumlah 238,5 juta jiwa. Berdasarkan proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah tersebut diestimasikan meningkat menjadi 305,6 juta jiwa pada tahun 2035. Dalam proyeksi tersebut, jumlah penduduk Indonesia 24 tahun mendatang diasumsikan meningkat 28,14 % dari perhitungan tahun 2010 (Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035: 24). Selama ini, mayoritas studi tentang demografi mengatakan bahwa pertambahan jumlah penduduk di suatu wilayah cenderung linier dengan bertambahnya masalah-masalah sosial di wilayah tersebut. Misalnya, meningkatnya
jumlah
penduduk
berpotensi
meningkatkan
angka
pengangguran dan kemiskinan. Dari problem kemiskinan, bisa saja berdampak pada maraknya praktik kriminalitas dan juga urbanisasi dan transmigrasi. Ringkasnya, pertumbuhan penduduk seringkali dimaknai secara negatif sebagai pangkal dari berbagai problematika sosial, ekonomi, hukum dan politik. Namun ternyata naiknya jumlah penduduk dalam skala besar dan dalam jenjang periode yang berkala tidak selalu memiliki
asosiasi
pertumbuhan
negatif.
penduduk
Dalam di
konteks
Indonesia
ini,
hingga
tren tahun
meningkatnya 2035
justru
diprediksikan menghasilkan dampak positif. Indikasinya, peningkatan jumlah penduduk Indonesia tersebut dibarengi dengan meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun). Dalam
1
proyeksi demografi yang dirilis BPS maupun Bappenas, parameter usia penduduk yang dikategorikan sebagai “penduduk produktif” adalah usia 15 sampai 65 tahun. Berikut ini tabel yang dapat menggambarkan uraian di atas. Tabel 1 Proyeksi Demografi Indonesia, 2010-2040 2010 Jumlah
Penduduk 238,51
2015
2020
2025
2030 2035
255,46
271,06 284,83 296,4 305,65
(juta jiwa) Proporsi Penduduk Berdasarkan Umur 0 – 14 (%)
28,6
27,3
26,1
24,6
22,9
21,5
15 – 64 (%)
66,5
67,3
67,77
67,9
68,1
67,9
65 + (%)
5,0
5,4
6,2
7,5
9,0
10,6
2015-
2020-
2025-
2030-
2015
2020
2025
2030
2035
1,38
1,19
1,00
0,8
0,6
Rasio Ketergantungan Laju
Pertumbuhan 2010-
Penduduk (%)
Sumber: Statistik Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 Badan Pusat Statistik (BPS) Dalam konteks Jawa Timur, proyeksi penduduk di tahun 2030 dapat dilihat dalam tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Proyeksi Penduduk menurut Provinsi, 2010-2035 (Ribu) Provinsi
Tahun 2010
2015
2020
2025
2030
2035
Aceh
4523.10
5002.00
5459.90
5870.00
6227.60
6541.40
Sumatera Utara
13028.70
13937.80
14703.50
15311.20
15763.70
16073.40
Sumatera Barat
4865.30
5196.30
5498.80
5757.80
5968.30
6130.40
Riau
5574.90
6344.40
7128.30
7898.50
8643.30
9363.00
2
Jambi
3107.60
3402.10
3677.90
3926.60
4142.30
4322.90
Sumatera Selatan
7481.60
8052.30
8567.90
9000.40
9345.20
9610.70
Bengkulu
1722.10
1874.90
2019.80
2150.50
2264.30
2360.60
7634.00
8117.30
8521.20
8824.60
9026.20
9136.10
Belitung
1230.20
1372.80
1517.60
1657.50
1788.90
1911.00
Kepulauan Riau
1692.80
1973.00
2242.20
2501.50
2768.50
3050.50
50860.30
55272.90
59337.10
62898.60
65938.30
68500.00
DKI Jakarta
9640.40
10177.90
10645.00
11034.00
11310.00
11459.60
Jawa Barat
43227.10
46709.60
49935.70
52785.70
55193.80
57137.30
Banten
10688.60
11955.20
13160.50
14249.00
15201.80
16033.10
Jawa Tengah
32443.90
33774.10
34940.10
35958.60
36751.70
37219.40
DI Yogyakarta
3467.50
3679.20
3882.30
4064.60
4220.20
4348.50
Jawa Timur
37565.80
38847.60
39886.30
40646.10
41077.30
41127.70
137033.30
145143.60
152449.90
158738.00
163754.80
167325.60
Bali
3907.40
4152.80
4380.80
4586.00
4765.40
4912.40
Nusa Tenggara Barat
4516.10
4835.60
5125.60
5375.60
5583.80
5754.20
Nusa Tenggara Timur
4706.20
5120.10
5541.40
5970.80
6402.20
6829.10
Nusa Tenggara
13129.70
14108.50
15047.80
15932.40
16751.40
17495.70
Kalimantan Barat
4411.40
4789.60
5134.80
5432.60
5679.20
5878.10
Kalimantan Tengah
2220.80
2495.00
2769.20
3031.00
3273.60
3494.50
Kalimantan Selatan
3642.60
3989.80
4304.00
4578.30
4814.20
5016.30
Kalimantan Timur
3576.10
4068.60
4561.70
5040.70
5497.00
5929.20
13850.90
15343.00
16769.70
18082.60
19264.00
20318.10
Sulawesi Utara
2277.70
2412.10
2528.80
2624.30
2696.10
2743.70
Sulawesi Tengah
2646.00
2876.70
3097.00
3299.50
3480.60
3640.80
Sulawesi Selatan
8060.40
8520.30
8928.00
9265.50
9521.70
9696.00
Sulawesi Tenggara
2243.60
2499.50
2755.60
3003.00
3237.70
3458.10
Gorontalo
1044.80
1133.20
1219.60
1299.70
1370.20
1430.10
Sulawesi Barat
1164.60
1282.20
1405.00
1527.80
1647.20
1763.30
17437.10
18724.00
19934.00
21019.80
21953.50
22732.00
Maluku
1541.90
1686.50
1831.90
1972.70
2104.20
2227.80
Maluku Utara
1043.30
1162.30
1278.80
1391.00
1499.40
1603.60
2585.20
2848.80
3110.70
3363.70
3603.60
3831.40
Papua Barat
765.30
871.50
981.80
1092.20
1200.10
1305.00
Papua
2857.00
3149.40
3435.40
3701.70
3939.40
4144.60
3622.30
4020.90
4417.20
4793.90
5139.50
5449.60
238518.80
255461.70
271066.40
284829.00
296405.10
305652.40
Lampung Kepulauan
Bangka
Pulau Sumatera
Pulau Jawa
Bali
dan
Kep.
Pulau Kalimantan
Pulau Sulawesi
Kep. Maluku
Pulau Papua INDONESIA
Sumber: Proyeksi Penduduk Menurut Provinsi 2010-20135 Badan Pusat Statistik (BPS) 3
Jika
dikontekstualisaikan
dengan
proyeksi
besaran
populasi
penduduk produktif di Provinsi Jawa Timur, dalam interval tahun 20102035 Jawa Timur termasuk provinsi yang mengalami tren positif. Mengacu pada data Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2010-2035 yang dirilis oleh Kementerian Bappenas dan BPS (2013), maka pada tahun 2010, terdapat 68,4 persen penduduk produktif di Jatim dari total 37.565.800 jiwa. Kemudian di tahun 2015 diasumsikan terdapat 69,3 persen penduduk produktif di Jatim dari 38.847.600 jiwa. Pada tahun 2020 diproyeksikan terdapat 69,5 persen penduduk produktif di Jatim dari 39.886.300 jiwa. Kemudian pada tahun 2025 diestimasikan terdapat 69,3 persen penduduk produktif di Jatim dari total 40.646.100 jiwa. Lima tahun kemudian, yakni tahun 2030, jumlah penduduk produktif di Jatim diproyeksikan sebesar 68,4 persen dari total penduduk 41.077.300 jiwa. Kemudian pada tahun 2035 jumlah penduduk produktif di Jatim diestimasikan mencapai 67,4 persen dari total 41.127.700 penduduk. Tabel di atas setidaknya menggarisbawahi tentang tiga catatan penting. Pertama, jumlah penduduk di seluruh provinsi di Indonesia diproyeksikan terus meningkat. Kedua, peningkatan jumlah tersebut diikuti juga pertumbuhan proporsi penduduk produktif (penduduk yang berusia 15-64 tahun). Ketiga, pertumbuhan proporsi penduduk produktif membawa
implikasi
dijelaskan tabel 1.
penurunan
rasio
ketergantungan
sebagaimana
Dengan kata lain, pertumbuhan angka penduduk
produktif yang diikuti dengan penurunan rasio ketergantungan penduduk merupakan indikasi utama dari fenomena bonus demografi. Artinya dalam jangka waktu dua dekade ke depan, Indonesia akan menikmati bonus demografi. Dalam literatur studi kependudukan, yang dimaksud dengan bonus demografi
adalah
potensi
keuntungan
4
dalam
sebuah
struktur
kependudukan yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialami negara tersebut. Indonesia mendapatkan bonus demografi dalam beberapa tahun ke depan dikarenakan proses transisi demografi yang berkembang sejak beberapa tahun yang juga dipercepat dengan keberhasilan program KB sehingga dapat menurunkan tingkat fertilitas dan meningkatnya kualitas mortalitas (meningkatnya level kesehatan dan angka harapan hidup). Memaknai Bonus Demografi Sebagai Peluang dan Tantangan Namun, sekalipun disebut bonus, hal tersebut tidak serta merta bisa teraih begitu saja. Butuh kerja keras dari semua komponen. Sebab, terminologi “bonus” dalam konteks ini tidak bermakna seperti “bonus” ketika kita belanja di supermarket yang berarti sesuatu yang dapat kita miliki secara cuma-cuma. Bonus demografi dalam konteks ini harus kita maknai sebagai peluang dan tantangan, yang harus kita songsong dengan kerja keras semua komponen. Apabila kita gagal menyambut bonus demografi tersebut dengan kerja keras, maka kita gagal mengkonversi peluang emas tersebut demi akselerasi pembangunan di Indonesia. Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh para sarjana, bahwa tidak semua negara yang memiliki potensi bonus demografi berhasil memanfaatkan bonus tersebut. Beberapa negara di kawasan Asia Timur seperti Tiongkok, Jepang dan Korea tergolong negara yang berhasil mengkonversi bonus demografi tersebut. Sementara Pakistan dan India tidak berhasil menangkap peluang bonus demografi itu (Bloom et. al, 1999) dan Bloom dan Finlay (2009). Dengan kata lain, dari seluruh negara-negara di Asia yang membangun sejak dari tahun 1950, tidak semua berhasil memanfaatkan bonus demografi yang mereka miliki.
5
Dengan demikian, bonus demografi memberikan makna ganda. Di satu sisi bonus demografi yang terdiri dari golongan usia produktif yang berkualitas
dapat
dimanfaatkan
sebagai
sumber
daya
dalam
pembangunan. Di sisi lain, golongan usia produktif yang tidak memiliki kualifikasi untuk berkontribusi dalam pembangunan justru menjadi petaka dan beban negara. Secara teoritis, bonus demografi memang memiliki peran positif dalam pembangunan ekonomi (Andre Mason, 2003). Hal itu disebabkan kecilnya proporsi angka non produktif dalam skala nasional dapat dimanfaatkan untuk menghemat pengeluaran konsumsi, biaya kesehatan dan lainya. Sehingga kondisi seperti ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan tabungan masyarakat. Belum lagi, meningkatnya usia produktif (working age) merupakan modal utama dalam pembangunan. Agenda Penguatan Daya Saing Bangsa Sebagaimana
sudah
dijelaskan
sebelumnya,
bahwa
bonus
demografi tidak serta-merta menimbulkan pertumbuhan ekonomi. Ada sejumlah prasyarat bagi bonus demografi agar mampu membuat akselari yang positif bagi pembangunan ekonomi maupun pembangunan sosial. Salah satu syarat tersebut adalah Investment in human capital atau investasi dalam sektor pembangunan sumber daya manusia (van der Ven dan Smith, 2011). Manifestasi dari pembangunan sumber daya manusia tersebut adalah pendidikan. Dalam konteks ini berlaku adagium, makin tinggi tingat pendidikan seseorang, makin tinggi pula level pencapaian seseorang itu dalam hal karier, pekerjaan dan kesejahteraannya. Sebaliknya, jika level pendidikan masyarakat di sebuah wilayah masih di bawah rata-rata, maka kualitas sumber daya di wilayah tersebut masih di bawah standart.
6
Ringkasnya, pendidikan adalah salah satu variabel kunci penentu daya saing sebuah bangsa. Bertolak dari asumsi dasar tersebut, hasil kajian yang dilakukan FEB UI pada tahun 2015, menunjukkan fakta yang kurang menggembirakan. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan masih didominasi oleh lulusan SD ke bawah, yaitu sebanyak 54,2 juta orang dengan persentase 49,40 persen. Ilustrasi profil ketenagakerjaan dari penelitian FEB UI ini akan dikonfirmasi dengan data yang lebih detil seperti Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Penduduk Usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2010-2014 (juta orang) 2010
2011
2012
2014*
54,51
54,18
55,51
45,3
20,7
20,29
18,5
Sekolah Menengah Atas 15,92
17,11
17,2
16,2
Sekolah
8,86
9,43
9,1
SD ke bawah Sekolah
Menengah 20,63
Pertama
Menengah 8,88
Kejuruan Diploma I, II, III
3,02
3,17
3,12
3,8
Universitas
5,25
5,65
7,25
7,1
Sumber: Keadaan Ketenagakerjaan Februari 2012 (bag.2) | data-tnp2k, tahun 2014 sumber dari Statistik Indonesia 2015: 88 Tabel 3 menunjukkan bahwa selama periode tahun 2010-2014 tingkat pendidikan tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh tingkat
pendidikan
SD.
Pada
tahun
7
2012,
tenaga
kerja
yang
berpendidikan Sekolah Menengah Pertama sebesar 20,3 juta (17,99 persen). Sementara itu, pekerja yang berpendidikan tinggi hanya sekitar 10,3 juta orang mencakup 3,1 juta orang (2,77 persen) berpendidikan diploma dan 7,2 juta orang (6,43 persen) berpendidikan universitas. Kondisi tersebut tidak berubah hingga tahun 2014. Kondisi tersebut sangat terkait dengan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia. dalam tabel 4 berikut ini, menampilkan tingkat pendidikan penduduk Indonesia pada periode 1995-2013. Tabel 4 Indikator Pendidikan (Persen) Indikator
1995
2000
2005
2010
2013
Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI
91.45
92.28
3.25
94.72
95.52
Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/MTs
50.96
60.27
5.37
67.62
73.73
Angka Partisipasi Murni (APM) SM/MA
32.60
39.33
3.50
45.48
54.12
Angka Partisipasi Murni (APM) PT
7.15
7.95
8.71
11.01
18.08
Tidak/belum sekolah
14.47
11.00
8.85
7.28
5.77
Tidak tamat SD
23.04
18.04
15.23
12.74
14.13
SD/sederajat
31.71
32.33
32.07
29.72
28.18
SMP/sederajat
14.17
17.54
19.48
20.57
20.51
SM +/sederajat
16.61
21.09
24.37
29.69
31.41
Pendidikan yang Ditamatkan Penduduk 15 Tahun ke Atas
Sumber: BPS-RI, Susenas 1994-2013 Ket: Mulai tahun 2007 dan tahun-tahun berikutnya APK mencakup pendidikan non formal (paket A setara SD/MI, paket B setara SMP/MTs dan paket C setara SM/SMK/MA)
Tabel 4 secara jelas memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan penduduk di Indonesia adalah sebagian besar masih SMP ke bawah.
8
Kondisi ini jelas berbeda dengan negara-negara di Asia Timur seperti Jepang dan Korea. Seperti yang digambarkan Tabel 5 bahwa proporsi penduduk yang dapat menyelesaikan tertiary education atau pendidikan tinggi lebih tinggi. Apabila dilihat dari proporsi penduduk yang lulus
tertiary
education
(perguruan
tinggi),
Indonesia
dibandingkan dengan Korea dan Jepang.
tertinggal
jauh
Korea memiliki proporsi
penduduk yang mencapai tertiary education sebesar 45 % (1995), 79% (2000), dan 93% (2005). Demikian pula Jepang memiliki proporsi penduduk yang mencapai tertiary education sebesar 49% (2000) dan 58% (2010). Kedua negara tersebut adalah lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Hal ini berbeda dengan negara India. Pengalaman India yang telah gagal menangkap peluang bonus demografi dapat dijadikan sebagai
lesson learnedbagi Indonesia. India tidak memiliki proporsi masyarakat dengan tertiary education yang tinggi seperti Korea dan Jepang. Tabel 5 menunjukkan bahwa penduduk India yang dapat menyelesaikan tertiary education selama periode 1995-2010 masih kurang dari 20%. Pada tahun 2000 penduduk India yang lulus pendidikan tinggi hanya 10%, sementara Korea 75% dan Jepang 45%. Tabel 5 Perbadingan Penduduk yang Berpendidikan Tinggi (Tertiary
Education) (%) 1995
2000
2005
2010
Brunei
6
13
18
18
Cambodia
1
2
3
14
Indonesia
12
15
18
25
Lao PDR
2
3
8
16
Malaysia
11
26
28
37
Myanmar
5
10
14
9
Philippines
28
28
44
50
Singapore Thailand
20
Vietnam
22
Korea
45
79
93
101
China
5
8
18
23
India
12
10
12
18
Jepang
19
49
55
58
Sumber: http://data.worldbank.org/indicator/SE.TER.ENRR Dari deskripsi data di atas, dapat ditarik benang merah bahwa bonus demografi akan memberikan keuntungan bagi negara ketika penduduknya memiliki pendidikan yang memadai. Ilustrasi Korea dan Jepang adalah best practice negara yang berhasil memanfaatkan adanya bonus demografi. Karena negara-negara tersebut memiliki proporsi penduduk yang berpendidikan tinggi besar. Kedua negara tersebut mampu memanfaatkan bonus demografi sehingga menjadi negara industri dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Adhamaski, 2014). Sementara itu dilansir
Mckinsey Global Institute (Adhamaski,
2014) menyatakan bahwa rendahnya pendidikan dan keterampilan tenaga kerja Indonesia berdampak pada rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia. Laporan Asian Productivity Organization (APO) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa, dengan asumsi Rp 11.000,-/US Dollar, produktivitas tenaga kerja Indonesia (sebesar US$ 9.500) berada di bawah produktivitas rata-rata negara ASEAN (US$ 10.700). Lebih lanjut Adhamaski (2014) menyebutkan bahwa faktanya, dari 28 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2013, 93 persen (setara 26 juta jiwa) di antaranya maksimal hanya berpendidikan SMP/setara. Dia juga menampilkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), dari
10
tahun 2009 hingga 2014, yang menyajikan data mengenai prosentase tenaga kerja yang pernah mengikuti pelatihan/kursus bersertifikat sangat kecil, yakni hanya 3,3% (2009), 3,5% (2010), 5,7% (2011), 4,6% (2012), 3,9% (2013), dan 4,4% (Februari 2014). Dan yang lebih ironis bahwa tenaga kerja berpendidikan rendah yang mendominasi pasar tenaga kerja Indonesia justru jauh lebih sedikit yang mendapatkan pelatihan dibanding tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Hanya terdapat 14% tenaga kerja lulusan
SMP
ke
bawah
yang
pernah
mengikuti
kursus/pelatihan
bersertifikat, padahal jumlah golongan ini mencapai 68 persen dari total jumlah tenaga kerja nasional.Kondisi ini tentu sangat krusial, apabila pemerintah tidak segera melakukan strategi penyelamatanbukan tidak mungkin bonus demografi dapat berubah menjadi bencana demografi Namun pendidikan bukanlah satu-satunya variabel penentu dalam kasus ini. Terdapat faktor kultural (cultural matters) yang turut berkontribusi terhadap pembentukan pola pikir maupun etos kerja penduduk di sebuah wilayah (negara-bangsa). Dalam buku yang berjudul, “Cultural Matters: How Values Shape Human Progress” (2000) hasil suntingan Samuel P Huntington dan Lawrenge Harrison, terdapat salah satu makalah yang berisi temuan menarik berupa komparasi antara kemajuan ekonomi, corak budaya dan penghargaan terhadap hasil riset maupun capaian sains lainnya. Disebutkan dalam makalah tersebut data konkret dari dua negara Asia (Korea Selatan) dan Afrika (Ghana). Ghana dan Korsel pada tahun 1960-an menduduki tingkat perkembangan ekonomi yang sama. Namun tiga puluh tahun kemudian, Korsel berkembang sepuluh kali lipat dan tumbuh menjadi negara industri raksasa. Tapi sesuatu yang berbeda 180 derajat terjadi di Ghana. Pemicunya adalah Korsel berjalan dengan kultur progresif (progressif
culture). Sebaliknya Ghana berkembang dalam kultur statis (static culture). Kultur progressif yang hidup di Korsel diantaranya memiliki unsur
11
orientasi ke masa depan, hemat, kerja tuntas, memajukan pendidikan, penghargaan prestasi, penegakan supremasi hukum, serta apresiasi terhadap temuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan unsurunsur sebaliknya berlaku dalam kultur statis Ghana. Hal itulah yang menjadi variable utama perbedaan wajah kedua negeri itu dalam rentang tiga dekade kemudian. Artinya secara mendasar aspek yang berpengaruh secara signfikan adalah budaya (culture matters) --meminjam istilah Lawrenge Harrison dalam buku itu-. Relevansinya dengan Indonesia, kultur statis yang menjadi patron bagi Ghana nampaknya juga bersemi di negeri ini. Kecenderungan itu mencerminkan buruknya semangat sebagian elemen bangsa untuk bersaing, tidak punya etos kerja yang kuat dan tahan banting. Bahkan “penyakit” main jiplak dan bajak yang sedang mencuat di Indonesia juga menjelaskan dengan mata telanjang bahwa banyak diantara warga bangsa ini yang ingin sukses dengan jalan pintas. Tidak punya spirit kerja keras untuk meraih kemajuan dan keberhasilan (Jawa
Pos, 13/08/2013). Daya Saing Sumber Daya Manusia Jawa Timur Daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) Jawa Timur, setidaknya dapat ditunjukkan dengan data ketenagakerjaan serta pendidikan yang ditamatkan pengangguran di Jawa Timur. seperti pada gambar berikut. Gambar 1. Perkembangan Tenaga Kerja Jawa Timur 2014-2015
12
21 20.72
20.69
20.5 20.15 19.89
19.8
Juta
20
19.5
19.31
19
18.5 Feb 2014
Agus 2014 Bekerja
Feb 2014
Angkatan Kerja
Gambar tersebut menunjukkan bahwa jumlah orang yang bekerja di Jawa Timur, masih sangat kecil jumlahnya dibandingkan dengan angkatan kerja di Jawa Timur. Kemudian, apabila dilihat dari pendidikan yang ditamatkan oleh penganggur di Jawa Timur, sebagaimana tabel berikut. Tabel 6. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Penduduk Usia 15 Tahun Ke atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan, 2014-2015 (Persen) 2014
Pendidikan yang ditamatkan
Feb
2015 Agus
Feb
SD kebawah
2,45
1,71
2,14
SMP
5,06
5,73
6,00
SMA
8,22
7,46
6,59
SMK
6,55
10,53
8,47
Diploma I/II/III
3,73
4,27
6,17
Universitas
1,85
3,61
4,23
Jumlah
4,02
4,19
4,31
13
Data tersebut menunjukkan bahwa, tingkat pengangguran Jawa Timur memang masih didominasi oleh pengangguran dengan pendidikan tertinggi Sekolah Menangan Atas. Akan tetapi, pengangguran dengan tingkat pendidikan sarjana masih mencapai 4,23 persen pada tahun 2015, dimana jumlah tersebut mengalami pertumbuhan dari tahun 2014. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, masih banyak lulusan universitas yang belum mendapatkan pekerjaan atau menganggur. Karena itulah, perlu dilakukan langkah-langkah konkrit, khususnya di Jawa Timur, untuk menekan angkat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), khususnya bagi lulusan universitas. Spirit Holopis Kuntul Baris: Pendekatan Tetrapartit dalam Pemanfaatan Bonus Demografi di Jawa Timur. Pekerjaan besar sudah menunggu kita semua sejak tantangan globalisasi banyak memangsa local wisdom, pemberlakukan pasar bebas MEA yang membebaskan arus keluar masuk tenaga kerja asing, selanjutnya mungkin akan berimplikasi pada tingkat pengangguran yang masih tinggi, tingginya angka kemiskinan multidimensi, pengelolaan kekayaan alam yang tak maksimal. Mempertimbangkan itu semua, perlu dirumuskan
kerja-kerja
taktis-strategis
menghadapi
MEA
serta
memanfaatkan bonus demografi. Untuk itu, saya mengajak kita semua, untuk mengggelorakan kembali, spirit kolektivitas Holopis Kuntul Baris, yang di masa lalu mampu menjadi kata kunci sejarah Nusantara, sejak era monarkhi kuno hingga era revolusi kemerdekaan Indonesia. Karena itu, spirit Holopis Kuntul
Baris, harus menjadi kata kunci dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya di Jawa Timur. Melalui spirit Holopis
Kuntul Baris, kita bangun manfaatkan bonus demografi di Jawa Timur, kita
14
lawan paham individualisme dengan gotong royong dan wujudkan Jatim Makmur, melalui beberapa kerja kolektif berikut. Pertama, Revitalisasi Tetrapartit. Selama ini sudah terjalin relasi Tripartit, relasi antara pemerintah, buruh dengan pengusaha. Namun, hal tersebut belum mampu menyelesaikan berbagai persoalan terutama terkait dengan kesesuaian antara kompetensi lulusan dengan kebutuhan dunia usaha. Oleh karena itu, perlu dibangun relasi 4 pihak, antara pemerintah, pengusaha, buruh serta lembaga pendidikan. Melalui relasi ini, maka berbagai problem ketenagakerjaan dapat diselesaikan dengan baik. Secara sederhana, skema relasi 4 pihak tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2. Tetrapartit
Pemerintah
Buruh
Pengusaha
Lembaga Pendidikan Berdasarkan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa, relasi Tetrapartit ini dikembangkan dari hubungan 3 pihak atau tripartit, dengan
15
menambahkan lembaga pendidikan sebagai pihak keempat. Dalam relasi tetrapartit tersebut, dapat dijelaskan pola hubungan sebagai berikut. Hubungan antara buruh dengan pengusaha. Hubungan ini harus mampu menyelesaikan berbagai masalah industrial yang terjadi antara buruh dengan pengusaha. Dalam hal ini, diperlukan keterbukaan dari pengusaha, serta kesadaran buruh atas kondisi perusahaan. Hal tersebut penting dalam penetapan upah buruh, serta keinginan buruh untuk
meningkatkan
upah
untuk
menjamin
kesejahteraan
buruh.
Seberapapun sering terjadi konflik antara pengusaha dan buruh, relasi kedua pihak ini akan mengarah kepada hubungan yang simbiosis mutualistik. Sebab mustahil dalam iklim industrial modern akan berjalan tanpa keterlibatan salah satu komponen. Tidak akan berjalan proses industrialisasi jika hanya melibatkan pengusaha semata. Sebaliknya tidak mungkin terwujud proses industri jika hanya tersedia buruh saja. Hubungan antara buruh dengan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan harus mampu memberikan pendampingan terhadap buruh, khususnya dalam rangka peningkatan ketrampilan dan kualifikasi buruh dalam bentuk on the job training, atau memfasilitasi proses pencarian kerja dalam event job fair, dan sebagainya. Artinya, dalam konteks ini lembaga pendidikan tinggi (kampus) dituntut mengoptimalisasi prinsip
tri
dharma
perguruan
tinggi
(pendidikan,
penelitian
dan
pengabdian) dalam konteks mensejahterahkan buruh. Dalam penelitian dan pengabdian, misalnya, perguruan tinggi diharapkan juga memberikan perhatian yang intens terhadap isu-isu kesejahteraan buruh. Hubungan pengusaha dengan lembaga pendidikan. Selama ini, problem yang sering muncul dalam konteks penyerapan tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan sarjana adalah, lulusan perguruan tinggi banyak yang tidak memenuhi standar yang ditetapkan pasar. Akibatnya banyak sarjana yang masih menganggur meski sudah beberapa lama
16
menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Begitu pula, tidak sedikit sarjana yang ketika berkiprah di dunia kerja tidak kompatibel dengan bidang keilmuan yang ditekuninya di perguruan tinggi. Artinya banyak sarjana yang
profesi
keilmuannya.
pekerjaannya Fenomena
“tidak
tersebut
nyambung” menjadi
dengan
indikasi
kompetensi
bahwa
model
pendidikan di perguruan tinggi selama ini cenderung tidak kompatibel dengan tuntutan pasar kerja. Tentu saja fenomena tersebut sangat mengkhawatirkan. Maka, dengan demikian, lembaga pendidikan tinggi harus mampu menerjemahkan kebutuhan dunia usaha terhadap kualifikasi lulusan yang dibutuhkan dunia usaha. Sebaliknya, dunia usaha juga harus mampu mengkomunikasikan hal tersebut dengan baik kepada lembaga pendidikan Dalam skema relasional tersebut, peran pemerintah harus berdiri sebagai regulator yang adil dan imparsial. Termasuk secara objektif harus berdiri di atas kepentingan hajat hidup orang banyak. Manifestasinya, pemerintah selaku policy maker harus mampu memformulasikan berbagai kebijakan yang dapat mengagregasi segenap kepentingan pengusaha, buruh (dan juga calon tanaga kerja dari lulusan perguruan tinggi), serta lembaga pendidikan tinggi secara objektif dan berkedilan. Kedua, Konektivitas lulusan. Seorang ilmuwan sosial bernama Manuel Castells (2004) menyebut dunia saat ini sebagai era “masyarakat berjejaring.” Artinya modernisasi kehidupan dewasa ini membawa konsekuensi terkoneksinya satu sisi dunia dengan sisi dunia lainnya secara massif. Implikasinya, tidak ada fenomena dalam kehidupan modern yang tidak melibatkan variabel konektivitas (jaringan), termasuk yang terkait dengan isu ketenagakerjaan. Secara implementatif, berbagai persoalan dapat diselesaikan melalui konektivitas antar lintas sektor dan profesi. Karena itulah, penting sekali untuk meningkatkan konektivitas antar
17
lulusan perguruan tinggi agar arus informasi dan lalu lintas komunikasi bisa berjalan lancar dan membawa kemanfaatan bagi segenap komponen. Ketiga, optimalisasi personal skill lulusan. Harus diakui bahwa, lulusan dalam negeri, dalam banyak hal, masih kalah bersaing dengan lulusan luar negeri yang memiliki banyak kualifikasi yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, khususnya dalam hal soft skill. Padahal sejatinya, lulusan dalam negeri, memiliki potensi yang sama dengan lulusan luar negeri dalam hal soft skill. Hanya, persoalannya, personal skill lulusan dalam negeri belum banyak dioptimalkan. Oleh karena itu, lulusan dalam negeri harus mampu mengoptimalkan personal skill, seperti, rasa percaya diri, kemampuan berkomunikasi, kemampuan bekerja dalam sebuah team
work, serta berbagai soft skill lainnya. Secara komparatif, contoh konkrit terkait hal ini pernah terjadi di Korea Selatan dan Ghana sebagaimana dijelaskan oleh Huntington dan Lawrence (2000) di atas. Korea Selatan yang berhasil menyusun instrumen pembangunan SDM yang baik akhirnya mampu “mendidik” warganya menjadi pribadi yang ulet, kerja keras dan kerja tuntas, sehingga bisa kompetitif dan berdaya saing. Sedangkan Ghana cenderung statis dan gagal memformulasikan kebijakan yang tepat sehingga pembangunan SDM-nya berkebalikan dengan apa yang terjadi di Korea Selatan. Dampaknya, meski sama-sama memulai pembangunan negaranya di tahun 1960-an, namun potret terbaru dari kedua negara tersebut sangat bertolak belakang. Korea Selatan, sebagaimana kita tahu merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi terbaik di Asia dan dunia. Sedangkan Ghana justru terjebak menjadi negara miskin di Afrika. Artinya Indonesia harus mampu menarik pelajaran dari kasus tersebut. Sejak saat ini peningkatan personal skill harus menjadi prioritas agar bisa memperoleh daya saing yang mumpuni untuk berkompetisi di level regional maupun global.
18
KESIMPULAN secara teknis, dari berbagai indikator yang ada, Indonesia memang diproyeksikan akan merasakan bonus demografi pada tahun 2035. Namun sekali lagi, terminologi “bonus” dalam konteks ini jangan dimaknai sebagai sesuatu yang dapat kita rengkuh secara cuma-cuma seperti kita mendapatkan “bonus produk” ketika belanja di supermarket. Bonus demografi dalam kasus ini harus kita maknai sebagai peluang dan tantangan, yang apabila kita gagal mengkonversi peluang dan tantangan tersebut dengan baik, maka bonus demografi itu akan terpelanting menjadi bencana demografi. Agar potensi bonus demografi itu benar-benar membawa implikasi positif kepada pembangunan nasional, diperlukan spirit kolektivitas yang bertumpu kepada nilai-nilai “local wisdom”, yakni prinsip HOLOPIS KUNTUL BARIS yang merupakan metafor dari para leluhur kita untuk menyebut semangat gotong royong. Manifestasi dari prinsip HOLOPIS KUNTUL BARIS
dalam konteks persiapan untuk menyambut bonus
demografi adalah dengan menciptakan skema TETRAPATRIT, yakni relasi harmonis dan mutualistik antara pemerintah-pengusaha-buruh-lembaga pendidikan. Selain TETRAPATRIT, yang juga penting diperhatikan adalah peningkatan jejaring konektivas diantara segenap elemen bangsa untuk sama-sama meningkatkan daya saing. Kemudian yang terakhir adalah peningkatan
personal
skill
dari
masing-masing
individu
agar
mentransformasikan diri sebagai individu yang kompetitif untuk bersaing di level regional maupun global.
Referensi
19
Adhamaski. 2014. Memperbaharui Iklim Ketenagakerjaan Nasional, dalam http://www.coreindonesia.org/view/90/memperbaharui-iklimketenagakerjaan-nasional.html Bloom, D. E., D. Canning, dan P.N. Malaney, 1999. “Demographic Change and Economic Growth in Asia.” CID Working Paper No. 15, Mei 1999 Bloom, D.E. and J.E. Finlay, 2009. “Demographic Change and Economic Growth in Asia.” Asian Economic Policy Review (4), p.45-64. BPS. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-20135. Jakarta:
Pusat Statistik (BPS).
Badan
BPS. 2013. Susenas 1994-2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik FEB UI. 2015. Analisis Bonus Demografi Sebagai Kesempatan Memacu Perpercepatan Industri di Indonesia. Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
http://data.worldbank.org/indicator/SE.TER.ENRR. diakses pada tanggal 02 Februari 2016 pukul 13.53 WIB.
Huntington, Samuel P dan Harrison, Lawrenge. 2000. Cultural Matters: How Values Shape Human Progress. New York: Basic Books
Jawa Pos, 13 Agustus 2013 Mason, Andrew (2003) Capitalizing on the Demographic Dividend, Population and Poverty, Population and Development Strategies (8). New York: United Nations Population Fund: 39-48 Mason, Andrew (2003), Population Change and Economic Development: What Have We Learned from the East Asia Experience?” Applied Population and Policy 1 (1). Ven, Rutger van der dan Jeroen Smith (2011), The Demographic Windows
of Opportunity: Age Structure and Sub-National Economic Growth in Developing Countries
20
21