PENGALAMAN PERAWAT DALAM PENANGANAN CARDIAC ARREST DI INSTALASI

Download penanganan cardiac arrest diInstalasi Gawat Darurat RSUD Karanganyar. Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif .... infark miokard (...

0 downloads 650 Views 885KB Size
PENGALAMAN PERAWAT DALAM PENANGANAN CARDIAC ARREST DI INSTALASI GAWAT DARURAT

RSUD KARANGANYAR

SKRIPSI “Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan”

Oleh :

Berlianti Diah Nawaningrum NIM S11009

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015

i

ii

iii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengalaman Perawat Dalam Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat RSUD Karanganyar”. Penelitian ini disusun sebagai salah satu persyaratan dalam menempuh mata ajar skripsi di Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti banyak mendapat bimbingan, arahan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Dra. Agnes Sri Harti, M.Si, selaku ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta. 2. Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Ketua Program Studi S1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta.. 3. Wahyuningsih Safitri, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran selama penyusunan penelitian ini. 4. Aria Nurahman Hendra Kusuma, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku pembimbing II yang juga telah memberikan bimbingan, masukan dan dukungan selama penyusunan penelitian ini. 5. bc. Yeti Nurhayati, M.Kes selaku penguji yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan penelitian ini.

iv

6. Seluruh dosen dan staf akademik Program Studi S1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta. 7. Direktur RSUD Karanganyar yang memberikan ijin dan arahan untuk peneliti dalam melakukan studi pendahuluan proposal skripsi. 8. Orang tua tercinta dan terhebat, yaitu Bapak Suhardi, BA dan Ibu Sri Suparni, kakakku tercinta yang selalu memberikan dukungan doa, materi dan kasih sayangnya sepanjang waktu. 9. Partisipan yang berpartisipasi dalam penelitian ini. 10. Teman-teman seperjuangan S1-Keperawatan angkatan 2011 yang selalu mendukung dan membantu dalam proses pembuatan skripsi ini. 11. Semua pihak yang telah memberikan dukungan moral maupun material dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan peneliti satu persatu. Semoga segala bantuan dan kebaikan, menjadi amal sholeh yang akan mendapat balasan yang lebih baik. Pada akhirnya peneliti bersyukur kepada Allah SWT semoga skripsi ini dapat bermanfaat kepada banyak pihak dan peneliti sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik demi perbaikan proposal skripsi ini sehingga dapat digunakan untuk pengembangan ilmu dan pelayanan keperawatan.

Surakarta, 15 Agustus 2015

Penulis v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

i

HALAMAN PERSETUJUAN

ii

SURAT PERNYATAAN

iii

KATA PENGANTAR

iv

DAFTAR ISI

vi

DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

ABSTRAK

xii

ABSTRACT

xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang

1

1.2.

Rumusan Masalah

5

1.3.

Tujuan

5

1.4.

Manfaat

6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.

Tinjauan Teori

7

2.1.1

7

Pengertian Cardiac Arrest

2.1.1. Pengetahuan

22

2.1.2. Pengalaman

24

vi

2.1.3. Perilaku

26

2.1.4. Konsep Kesiapan

29

2.2.

Kerangka Teori

34

2.3.

Fokus Penelitian

35

2.4.

Keaslian Penelitian

36

BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1.

Jenis dan Rancangan Penelitian

38

3.2.

Tempat dan Waktu Penelitian

39

3.3.

Populasi dan Sampel

39

3.4.

Instrumen dan Prosedur Pengumpulan Data

41

3.5.

Analisa Data

47

3.6.

Keabsahan Data

49

3.7.

Etika Penelitian

53

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1

Karakteristik Partisipan

58

4.2

Tema Hasil Penelitian

58

4.2.1

Pengetahuan perawat

58

4.2.2

Tindakan perawat

66

4.2.3

Faktor pendukung.

76

4.2.4

Faktor penghambat

81

BAB V PEMBAHASAN 5.1

Pengetahuan perawat tentang penanganan cardiac arrest

84

5.2

Tindakan perawat dalam penanganan cardiac arrest

95

vii

5.3

Faktor pendukung perawat dalam penanganan cardiac arrest

107

5.4

Faktor penghambat perawat dalam penanganan cardiac arrest 119

BAB VI PENUTUP 6.1

Kesimpulan

125

6.2

Saran

127

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

viii

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel 2.1

Judul Tabel

Halaman

Keaslian Penelitian

ix

36

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar 2.1

Judul Gambar

Halaman

Algoritma Penatalaksanaan Henti

11

Jantung Pada Arithmia 2.3

Skema Kerangka Teori

34

2.4

Skema Fokus Penelitian

35

x

DAFTAR LAMPIRAN

No

Lampiran

Lampiran 1

: F.01 Usulan Topik Penelitian

Lampiran 2

: F.02 Pengajuan Persutujuan Judul

Lampiran 3

: F.04 Pengajuan Izin Studi Pendahuluan

Lampiran 4

: Lembar Pengantar Studi Pendahuluan

Lampiran 5

: Surat Tidak Keberatan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik

Lampiran 6

: Surat Rekomendasi Survey Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Lampiran 7

: Surat Jawaban Izin Studi Pendahuluan RSUD Karanganyar

Lampiran 8

: Surat Keterangan Melakukan Penelitian

Lampiran 9

: Lembar Permohonan Menjadi Partisipan

Lampiran 10 : Lembar Persetujuan Menjadi Partisipan Lampiran 11 : Data Demografi Lampiran 12 : Pedoman Wawancara Lampiran 13 : Bukti Penelitian Lampiran 14 : Analisis Tematik Lampiran 15 : Transkip Wawancara Lampiran 16 : Lembar Konsultasi Lampiran 17 : Lembar Oponent Ujian Sidang Proposal Skripsi Lampiran 18 : Lembar Audience Ujian Sidang Proposal Skripsi Lampiran 19 : Jadwal Penelitian

xi

PROGRAM S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015 Berlianti Diah Nawaningrum

Pengalaman Perawat Dalam Penanganan Cardiac Arrest di Instalasi Gawat Darurat RSUD Karanganyar

Abstrak

Kematian jantung mendadak merupakan tidak berfungsinya kelistrikan jantung dan menghasilkan irama jantung yang tidak normal. Hasil dari rekam medik di RSUD Karanganyar selama bulan Januari sampai Oktober 2014 terdapat 127 pasien mengalami cardiac arrest dengan tindakan resusitasi 30 kompresi dada dan 2 ventilasi sebanyak 5 siklus dengan hambatan karena keterbatasan tempat penuh sehingga kekurangan tenaga kesehatan dan fasilitas. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengalaman perawat dalam penanganan cardiac arrest diInstalasi Gawat Darurat RSUD Karanganyar. Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif fenomenologis. Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling yang melibatkan 3 partisipan. Pengumpulan data dilakukan dengan in-depth interviewing. Teknik analisa yang digunakan adalah metode Colaizzi. Hasil penelitian dari 1) pengetahuan didapatkan tema (a) definisi henti jantung, (b) penyebab henti jantung, (c) tanda dan gejala henti jantung, (d) tindakan henti jantung. 2) tindakan perawat didapatkan tema (a) pengkajian awal resusitasi jantung paru, (b) tindakan resusitasi jantung paru, (c) evaluasi resusitasi jantung paru, (d) posisi recovery, (e) faktor dihentikan resusitasi jantung paru, (f) pemberian obat – obatan emergency. 3) faktor pendukung didapatkan tema (a) pengetahuan perawat, (b) sarana pendukung, (c) kesiapan perawat. 4) faktor penghambat didapatkan tema (a) hambatan sarana dan prasarana, (b) faktor pasien, (c) faktor keluarga. Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa pengalaman perawat dalam penanganan cardiac arrest didukung oleh pengetahuan dan kesiapan perawat dengan hambatan sarana dan prasarana. Kata Kunci : Pengalaman, perawat, penanganan, cardiac arrest. DaftarPustaka : 69 (2005-2014)

xii

BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCE KUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA 2015 Berlianti Diah Nawaningrum

Nurses’ Experience in Cardiac Arrest Management at the Emergency Installation of Local General Hospital of Karanganyar

ABSTRACT

Sudden cardiac death (SCD) is a sudden, unexpected death caused by loss of heart function (sudden cardiac arrest). The medical record of Local General Hospital of Karanganyar shows that in the period of January up to October 2014, there were 127 patients of cardiac arrest with resuscitation intervention of 30 chest compressions and two ventilations as many as 5 cycles inhibited by the lack of health workers and facilities. The objective of the research is to investigate the nurses’ experience in the cardiac arrest management at the Emergency Installation of Local General Hospital of Karanganyar. The research used the phenomenological qualitative method. The samples of research were 3 participants. They were taken by using the purposive sampling technique. The data were collected through in-depth interview and analyzed by using the Colaizzi’s method. The result of the research shows that there were several themes namely: (1) knowledge: (a) definition of cardiac arrest, (b) cause of cardiac arrest, (c) signs and symptoms of cardiac arrest, and (d) action of cardiac arrest; (2) nurses ‘s intervention : (a) initial assessment of cardiopulmonary resuscitation, (b) cardiopulmonary resuscitation intervention, (c) evaluation of cardiopulmonary resuscitation, (d) recovery position, (e) factors of the stop of cardiopulmonary resuscitation , (f) administration of emergency drugs; (3) supporting factors: (a) nurses’ knowledge (b) supporting facilities, (c) nurses’ preparedness ; and (4) inhibiting factors: (a) facilities and infrastructure constraints, (b) patient factors, (c) family factors. Thus, the nurses’ experience in the cardiac arrest was supported by the nurses’ knowledge and readiness but was inhibited by the lack of facilities and infrastructures. Keywords: Experience, nurse, management, cardiac arrest. References: 69 (2005-2014)

xiii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Kematian jantung mendadak atau cardiac arrest adalah berhentinya fungsi jantung secara tiba-tiba pada seseorang yang telah atau belum diketahui menderita penyakit jantung. Hal ini terjadi ketika sistem kelistrikan jantung menjadi tidak berfungsi dengan baik dan menghasilkan irama jantung yang tidak normal (American Heart Association, 2010). Henti jantung merupakan penyebab kematian utama di dunia dan penyebab tersering dari cardiac arrest adalah penyakit jantung koroner (Subagjo A, 2010). Secara klinis, keadaan henti jantung ditandai dengan tidak adanya nadi dan tanda – tanda sirkulasi lainnya. Pada tahun 2010 menurut catatan WHO diperkirakan sekitar 17 juta orang akibat penyakit gangguan cardiovascular setiap 5 detik 1 orang meninggal dunia akibat Penyakit Jantung Koroner (WHO, 2010). Angka kejadian cardiac arrest di Amerika Serikat mencapai 250.000 orang pertahun dan 95 persennya diperkirakan meninggal sebelum sampai di rumah sakit (Suharsono, 2009). Data di Indonesia tidak ada data statistik mengenai kepastian jumlah kejadian cardiac arrest tiap tahunnya, tetapi diperkirakan adalah 10 ribu warga. Data di ruang perawatan koroner intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusuma tahun 2006, menunjukkan

1

2

terdapat 6,7% pasien mengalami atrial fibrilasi, yang merupakan kelainan irama jantung yang bisa menyebabkan henti jantung (Depkes, 2006). Cardiac arrest dapat menyebabkan kematian otak dan kematian permanen terjadi dalam jangka waktu 8 sampai 10 menit (Pusponegoro, 2010). Cardiac arrest dapat dipulihkan jika tertangani segera dengan cardiopulmonary resusitation dan defibrilasi untuk mengembalikan denyut jantung normal. Kesempatan pasien untuk bisa bertahan hidup berkurang 7 sampai 10 persen pada tiap menit yang berjalan tanpa cardiopulmonary resusitation dan defibrilasi (American Heart Assosiacion, 2010). Penanganan cardiac arrest adalah kemampuan untuk dapat mendeteksi dan

bereaksi

secara

cepat

dan

benar

untuk

sesegera

mungkin

mengembalikan denyut jantung ke kondisi normal untuk mencegah terjadinya kematian otak dan kematian permanen (Pusponegoro, 2010). Berdasarkan standar kompetensi dari Vanderblit University School of Nursing (Gebbie,dkk 2006), kesiapan perawat dalam menghadapi situasi kegawatan adalah kemampuan untuk berfikir kritis, kemampuan untuk menilai situasi, mempunyai ketrampilan teknis yang memadai, dan kemampuan untuk berkomunikasi. Kesiapan perawat dalam penanganan cardiac arrest dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pengetahuan yang cukup dari perawat tentang penanganan situasi kegawatan, pengalaman yang memadai, peraturan atau protokol yang jelas, sarana dan suplai yang cukup, serta pelatihan atau training tentang penanganan situasi kegawatan (Wolff.dkk, 2010).

3

Pengetahuan melaksanakan

berpengaruh

tugas

(Cristian,

pada 2008).

ketrampilan Pengalaman

perawat yang

dalam memadai

mempengaruhi karena sektor klinik berperan dalam memberi kesempatan atau tugas kepada staff perawat dengan hal-hal baru dan penanganan situasi yang bersifat khusus untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Peraturan atau protokol yang jelas karena pembuat kebijakan atau rumah sakit mempunyai tanggung jawab membuat kebijakan untuk dijalankan oleh setiap staff perawat dalam menjalankan tugasnya (Wolff.dkk, 2010). Sarana dan suplai yang cukup merupakan segala sesuatu yang dapat memudahkan dan memperlancar pelaksanaan usaha yang berupa benda – benda (Cristian, 2008). Pelatihan membantu perawat untuk menguasai keterampilan dan kemampuan atau kompetensi yang spesifik untuk berhasil dalam pekerjaannya (Ivancevich, 2008). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan tidak ada hubungan antara fasilitas dengan kesiapan perawat dalam menangani cardiac arrest, dimana fasilitas tidak lengkap atau tidak memadai

sehingga perawat

tidak siap menangani

cardiac arrest

(Aminuddin, 2013). Berdasarkan data dari rekam medik di RSUD Karanganyar selama bulan Januari sampai Oktober 2014 jenis pelayanan emergency yang paling sering dilakukan di IGD adalah penanganan pasien serangan jantung atau payah jantung, terdapat 127 pasien mengalami cardiac arrest dan yang meninggal dunia sebanyak 34 pasien. Ini membuktikan masih tingginya angka kematian dan pentingnya tindakan penanganan cardiac arrest oleh

4

semua perawat. Hasil observasi peneliti dari data perawat di Instalasi Gawat Darurat berjumlah 17 perawat dengan 3 perawat pernah mengikuti pelatihan PPGD (Pertolongan Pertama Gawat Darurat) atau BTCLS (Basic Training Cardiac Life Support). Hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan 3 perawat pada tanggal 30 Desember 2014, semua perawat tersebut sudah pernah melakukan penanganan

cardiac

arrest

dengan

pertolongan

cardio pulmonary

resuscitation (CPR). Satu perawat mengatakan bahwa pasien cardiac arrest diberikan tindakan resusitasi dengan 30 kali kompresi dada dan 2 kali ventilasi sebanyak 5 kali siklus dengan kesulitan tindakan yaitu keterbatasan tempat penuh sehingga kekurangan tenaga kesehatan dan fasilitas. Satu perawat

lagi

mengatakan bahwa

yang pertama dilakukan adalah

membebaskan jalan napas dan mengalirkan darah ke tempat yang penting dalam tubuh, sehingga pasokan oksigen ke otak terjaga untuk mencegah terjadinya kematian sel otak, walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi dengan tepat dan cepat. Perawat terakhir mengatakan melakukan perekaman EKG untuk mengetahui kelainan jantung sebelum mengetahui pasien cardiac arrest dan melakukan resusitasi. Berdasarkan data tersebut diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengalaman Perawat Dalam Penanganan Cardiac Arrest di RSUD Karanganyar”.

5

1.2 Rumusan Masalah Pasien yang mengalami cardiac arrest dapat dipulihkan jika ditangani segera dengan cardiopulmonary resusitation dan defibrilasi. Tindakan tersebut dapat mengembalikan fungsi jantung kembali normal. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengalaman perawat dalam penanganan cardiac arrest di RSUD Karanganyar.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui pengalaman perawat dalam penanganan cardiac arrest di RSUD Karanganyar. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mendeskripsikan

pengetahuan

perawat

tentang

penanganan

cardiac arrest. 2. Mendeskripsikan tindakan perawat dalam penanganan cardiac arrest. 3. Mengidentifikasi faktor pendukung perawat dalam penanganan cardiac arrest. 4. Mengidentifikasi faktor penghambat perawat dalam penanganan cardiac arrest.

6

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Rumah Sakit Karanganyar Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Rumah Sakit Karanganyar untuk menentukan langkah–langkah dalam peningkatan pengetahuan dan kompetensi tentang penanganan cardiac arrest sehingga pihak managemen Rumah Sakit diharapkan meningkatkan

ketrampilan

perawat

melalui

pelatihan

dalam

penanganan cardiac arrest dan diharapkan pelayanan kepada pasien gawat darurat meningkat. 1.4.2 Institusi Pendidikan Memperkaya

literatur

ilmu

keperawatan

dibidang

kegawatdaruratan kardiovaskuler sebagai penunjang dalam proses belajar mengajar atau praktik gawat darurat. 1.4.3 Peneliti Lain Peneliti lain dapat menambah pengetahuan tentang penanganan cardiac arrest dan menjadikan hasil penelitian ini untuk referensi atau acuan peneliti lainya dengan metode yang berbeda dan meneliti faktor lain seperti peraturan atau protokol yang jelas, sarana dan suplai yang cukup yang berhubungan dengan penanganan cardiac arrest. 1.4.4 Peneliti Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan peneliti tentang pengalaman perawat dalam penanganan cardiac arrest, sehingga peneliti lebih memahami tentang cardiac arrest.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Tinjauan Teori 2.2.1 Cardiac Arrest 1. Definisi Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart Association, 2010). Cardiac

arrest

adalah

semua

keadaan

yang

memperlihatkan penghentian mendadak fungsi pemompaan jantung, yang mungkin masih reversible jika dilakukan intervensi dengan segera tetapi dapat menimbulkan kematian jika tidak dilakukan intervensi. Kecenderungan keberhasilan intervensi berhubungan dengan mekanisme terjadinya cardiac arrest dan kondisi klinis pasien (Parnia, 2012).

7

8

2. Etiologi Cardiac Arrest Penyebab cardiac arrest adalah serangan jantung atau infark miokard (aritmia jantung, khususnya fibrilasi ventrikel dan ventrikel tachycardia tanpa nadi) terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras dan menyempit akibat sebuah material (plak) yang terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin meningkat ukuran plak semakin buruk sirkulasi ke jantung dan otot-otot jantung tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi langsung dari jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest. Sumbatan jalan napas oleh benda asing, tenggelam, stroke atau CVA, overdosis obat-obatan (antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker, kokain, digoxin, aspirin, asetominophen) dapat menyebabkan aritmia. Tercekik, trauma inhalasi, tersengat listrik, reaksi alergi yang hebat

(anafilaksis),

trauma

hebat

misalnya

kecelakaan

kendaraan bermotor dan keracunan (Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2012).

9

3. Manifestasi klinis cardiac arrest Gejala yang paling umum adalah munculnya rasa tidak nyaman atau nyeri dada yang mempunyai karakteristik seperti perasaan tertindih yang tidak nyaman, diremas, berat, sesak atau nyeri. Lokasinya ditengah dada di belakang sternum. Menyebar ke bahu, leher, rahang bawah atau kedua lengan dan jarang menjalar ke perut bagian atas. Bertahan selama lebih dari 20 menit. Gejala yang mungkin ada atau

mengikuti adalah

berkeringat, nausea atau mual, sesak nafas (nafas pendekpendek), kelemahan, tidak sadar (Suharsono & Ningsih, 2012). 4. Patofisiologi cardiac arrest Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia yaitu fibrilasi ventrikel (VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi (PEA), dan asistol (Kasron, 2012). a. Fibrilasi ventrikel Merupakan

kasus

terbanyak

yang

sering

menimbulkan kematian mendadak, pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung hanya mampu bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan DC shock atau defibrilasi.

10

b. Takhikardi ventrikel Mekanisme

penyebab

terjadinya

takhikardi

ventrikel biasanya karena adanya gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya gangguan konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri akan memendek, akibatnya pengisian darah ke ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan menurun. VT dengan keadaan hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih diutamakan.

Pada

kasus

VT

dengan

gangguan

hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan CPR adalah pilihan utama. c. Pulseless Electrical Activity (PEA) Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak

menghasilkan

kontraktilitas

atau

menghasilkan

kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba. d. Asistole Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung, dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada kondisi ini tindakan yang harus segera diambil adalah CPR.

11

2. VF/VT

1.

Henti Jantung Tanpa Nadi a. BLS algoritma: meminta bantuan, lakukan CPR. b. Beri oksigen bila tersedia. c. Pasang monitor jantung.

3.

Periksa irama jantung, perlu defibrilasi?

4. Beri 1 kali shock a. Manual biphasic: ukuran khusus (120-200 J) b. AED : dng ukuran khusus. c. Monophasic: 360 J Lakukan CPR segera

5. Periksa irama jantung, perlu defibrilasi?

6. Lanjutkan pemberian CPR sementara defibrillator di-charge kemudian berikan 1 kali shock. Segera mulai lagi CPR Setelah pemberian defibrilasi. Ketika IV/IO tersedia, berikan vasopresor dan lanjutkan CPR (sebelum/sesudah defibrilasi) a. Epinephrine 1 mg IV/IO : Ulangi setiap 3-5 menit. b. Mungkin bisa diberikan 1 dosis vasopresin 40 unit IV/IO untuk menggantikan dosis pertama dan kedua dari epinephrine.

7. Periksa irama jantung, perlu defibrilasi? 8. Lanjutkan CPR , lakukan defibrilasi 1X. Segera mulai lagi CPR setelah pamberian defibrilasi. Berikan bersamaan dng CPR (sebelum/sesudah defibrilasi) amiodrone 300mg IV/IO, kemudian siapkan kemungkinan tambahan 150 mg, atau lidocain 1-1,5 mg/kg BB dosis pertama, kemudian 0,5-0,75 mg/kg (max 3)

9. Asistol/PEA

10. Lakukan CPR segera sebanyak 5 siklus. Ketika telah tersedia IV/IO, beri vasopresor. Epinephrine 1 mg IV/IO, ulangi setiap 3-5 menit atau beri 1 dosis vasopresin 40 unit IV/IO untuk menggantikan epinephrine dosis pertama dan kedua. Atropin 1 mg IV/IO untuk asistol atau PEA dng frekuensi lambat, ulangi tiap 3-5 menit (sampai 3 dosis)

11. Periksa irama jantung, perlu defibrilasi?

12. a. Jika asistol kembali ke box10. b. Jika ada aktifitas kelistrikan, periksa nadi, jika tidak ada nadi, kembali ke box 1. c. Jika nadi teraba, lanjutkan ke perawatan post resusitasi.

Gambar 2.1 Algoritma penatalaksanaan henti jantung pada arithmia Sumber : (American Heart Association, 2010)

13. Kembali ke box 4

12

5. Prognosis Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam jangka waktu 8 sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti jantung. Kondisi tersebut dapat dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru dan defibrilasi segera (sebelum melebihi batas maksimal waktu untuk terjadinya kerusakan otak), untuk secepat mungkin mengembalikan fungsi jantung normal. Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang diberikan antara 5 sampai 7 menit dari korban mengalami henti jantung, akan memberikan kesempatan korban untuk hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan defibrillator yang mudah diakses di tempat-tempat umum seperti pelabuhan udara, dalam arti meningkatkan kemampuan untuk bisa memberikan pertolongan (defibrilasi) sesegera mungkin, akan meningkatkan kesempatan hidup rata-rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64% (American Heart Assosiacion, 2010). 6. Resusitasi Jantung Paru / Cardio Pulmonary Resusitation. a. Pengertian Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan suatu metode untuk memberikan bantuan sirkulasi. Resusitasi Jantung Paru (RJP) dapat meningkatkan angka kelangsungan hidup korban yang mengalami henti jantung dengan

13

mengkombinasikan antara kompresi dada dan nafas buatan untuk

memberikan

oksigen

yang

diperlukan

bagi

kelangsungan fungsi sel tubuh (Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2012). Resusitasi juga dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk

menghidupkan

kembali,

melalui

usaha

untuk

mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis (Cadogan, 2010). b. Prosedur Cardio Pulmonary Resusitation Pada penanganan korban cardiac arrest dikenal istilah rantai untuk bertahan hidup (chain of survival) : cara untuk menggambarkan penanganan ideal yang harus diberikan ketika ada kejadian cardiac arrest. Jika salah satu dari rangkaian ini terputus, maka kesempatan korban untuk bertahan

hidup

menjadi

berkurang,

sebaliknya

jika

rangkaian ini kuat maka korban mempunyai kesempatan besar untuk bisa bertahan hidup. Rantai kehidupan (chain survival) terdiri dari beberapa tahap berikut ini (AHA, 2010): 1)

Mengenali tanda-tanda cardiac arrest dan segera mengaktifkan panggilan gawat darurat (Emergency Medical Services).

14

2) Segera

melakukan

RJP

dengan

tindakan

utama

kompresi dada. 3) Segera melakukan defibrilasi jika diindikasikan. 4) Segera memberi bantuan hidup lanjutan (advanced life support). 5) Melakukan perawatan post cardiac arrest . Prosedur CPR menurut American Heart Association 2010 adalah terdiri dari circulation, airway dan breathing : 1) Memastikan kondisi lingkungan sekitar aman bagi penolong. 2) Memastikan kondisi kesadaran pasien. Penolong harus segera mengkaji dan menentukan apakah korban sadar/ tidak. Penolong harus menepuk atau menggoyang bahu korban sambil bertanya dengan jelas: ‘Hallo, Pak/ Bu! Apakah anda baik-baik saja?’. Jangan menggoyang korban dengan kasar karena dapat mengakibatkan cedera. Juga hindari gerakan leher yang tidak perlu pada kejadian cedera kepala dan leher. 3) Mengaktifkan panggilan gawat darurat (Emergency Medical Services) Jika korban tidak berespon, segera panggil bantuan dan segera menghubungi 118 untuk memanggil ambulans. Jika ada orang lain disekitar korban, minta orang

15

tersebut untuk menelpon ambulans dan ketika menelpon memberitahukan hal-hal berikut: lokasi korban nomor telpon yang anda pakai, apa yang terjadi pada korban, jumlah korban, minta ambulans segera datang dan tutup telepon hanya jika diminta oleh petugas. 4) Memastikan posisi pasien tepat Agar resusitasi yang diberikan efektif maka korban harus berbaring pada permukaan yang datar, keras, dan stabil. Jika korban dalam posisi tengkurap atau menyamping, maka balikkan tubuhnya agar terlentang. Pastikan leher dan kepala tersangga dengan baik dan bergerak bersamaan selam membalik pasien. Fase-fase Resusitasi Jantung Paru sesuai Algoritma AHA (2010) adalah : 1) Fase I: Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) a) C (Circulation) Mengkaji nadi/ tanda sirkulasi: Ada tidaknya denyut jantung korban/pasien dapat ditentukan dengan meraba arteri karotis di daerah leher korban/ pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan

leher

sehingga

teraba

trakhea,

kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan

16

atau kiri kira-kira 1–2 cm raba dengan lembut selama 5–10 detik. Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban dengan melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan korban/ pasien. Jika tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas. Melakukan kompresi dada: Jika telah dipastikan tidak ada denyut

jantung, selanjutnya dapat

diberikan bantuan sirkulasi atau kompresi jantung luar, dilakukan dengan teknik sebagai berikut : (1) Menentukan titik kompresi (center of chest): Cari possesus xypoideus pada sternum dengan tangan kanan, letakkan telapak tangan kiri tepat 2 jari diatas posseus xypoideus. (2) Melakukan kompresi dada: Kaitkan kedua jari tangan pada lokasi kompresi dada, luruskan kedua siku dan pastikan mereka terkunci pada posisinya, posisikan bahu tegak lurus diatas dada korban dan gunakan berat badan anda untuk menekan dada korban sedalam minimal 2 inchi (5 cm), lakukan kompresi 30x dengan

17

kecepatan minimal 100x/menit atau sekitar 18 detik. (1 siklus terdiri dari 30 kompresi: 2 ventilasi). Lanjutkan sampai 5 siklus CPR, kemudian periksa nadi carotis, bila nadi belum ada lanjutkan CPR 5 siklus lagi. Bila nadi teraba, lihat pernafasan (bila belum ada upaya nafas) lakukan rescue breathing dan cek nadi tiap 2 menit. b) A (Airway) Tindakan ini bertujuan mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda asing. Buka jalan nafas dengan head tilt-chin lift/ jaw thrust. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain (fingers sweep), sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan

menggunakan

jari

telunjuk

yang

dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan teknik Cross

Finger,

dimana

ibu

jari

diletakkan

berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.

18

c) B (Breathing) Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5–2 detik dan volume udara yang dihembuskan adalah 7000–1000ml (10ml/kg) atau

sampai

dada

korban/pasien

terlihat

mengembang. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 – 17%. Penolong juga harus memperhatikan respon dari pasien setelah diberikan bantuan napas. Cara memberikan bantuan pernapasan: (1) Mulut ke mulut: penolong harus mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat menutup seluruhnya mulut korban dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat menghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang hidung pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung. Volume udara yang diberikan pada kebanyakkan orang dewasa

19

adalah 700–1000ml (10ml/kg). Volume udara yang berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga terjadi distensi lambung. Setelah nafas dan nadi korban ada, jika tidak ada kontraindikasi untuk mencegah kemungkinan jalan nafas tersumbat oleh lidah, lender, atau muntah berikan posisi recovery pada korban dengan langkah sebagai berikut (Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2012): (1) Letakkan tangan korban yang dekat dengan anda dalam posisi lengan lurus dan telapak tangan menghadap keatas kearah paha korban. (2) Letakkan lengan yang jauh dari anda menyilang diatas dada korban dan letakkan punggung tangannya menyentuh pipinya. (3) Dengan menggunakan tangan anda yang lain, tekuk lutut korban yang jauh dari anda sampai membentuk sudut 90˚. (4) Gulingkan korban kearah penolong. (5) Lanjutkan untuk memonitor denyut nadi korban, ‘tanda sirkulasi’, dan pernafasan tiap 2 menit hingga bantuan datang.

20

2) Fase II: Tunjangan Hidup Lanjutan (Advance Life Support) Fase kedua merupakan fase yang dilakukan setelah tunjangan hidup dasar (basic life support) berhasil diberikan. Fase ini terdiri dari: a) D (Drug): pemberian obat-obatan termasuk cairan untuk memperbaiki kondisi korban atau pasien. b) E (ECG) : melakukan pemeriksaan diagnosis elektrokardiografis

secepat

mungkin

untuk

mengetahui fibrilasi ventrikel. 3) Fase III: Tunjangan Hidup Terus-Menerus (Prolonged Life Support) a) G (Gauge): pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya. b) H (Head): tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistem saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya gangguan neurologic yang permanen. c) I (Intensive Care): perawatan intensif di ICU, meliputi:

tunjangan

ventilasi

(trakheostomi),

pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung.

21

c. Obat Emergency atau Resusitasi 1) Menurut Philladelpia (2010) prinsip obat emergency adalah : a) Koreksi hipoksia. b) Mempertahankan sirkulasi spontan pada kondisi tekanan darah yang adekuat. c) Membantu mengoptimalkan fungsi jantung. d) Menghilangkan nyeri. e) Koreksi asidosis. f) Mengatasi gagal jantung kongestif. 2) Obat-obat

resusitasi

jantung

paru

dan

obat-obat

perbaikan sirkulasi. a) Oksigen. b) Meningkatkan tekanan darah : epinefrin atau adrenalin, vasopressin, dopamine. c) Meningkatkan denyut jantung atau nadi (heart rate) : atropin. d) Menurunkan atau mengatasi aritmia supraventrikel : adenosine, dilteazem, amiodaron. e) Obat-obatan fibrinolitik.

untuk

IMA

:

morfin,

aspirin,

22

2.2.2 Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan Menurut Notoatmojo yang dikutip oleh (Wawan & Dewi, 2011), pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Pengetahuan

sangat

erat

hubunganya

dengan

pendidikan, dimana bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pola pengetahuanya (Wawan & Dewi, 2011). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (ovent behavior) (Wawan & Dewi, 2011). 2. Tingkat Pengetahuan Ada 6 tingkat pengetahuan seseorang menurut Notoatmojo (2003), yaitu: a. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. b. Memahami

(Comprehention)

diartikan

sebagai

suatu

kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. c. Aplikasi (Application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarya.

23

d. Analisis

(Analysis)

adalah

suatu

kemampuan

untuk

menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponenkomponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. e. Sintesa

(Syntesis)

adalah

suatu

kemampuan

untuk

meletakkan atau menggabungkan bagianbagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f. Evaluasi (Evaluation) berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek tertentu. 3. Faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat Mubarak & Chayatin (2009) menyatakan faktor – faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan meliputi tingkat pengetahuan perawat diantaranya : a. Usia Pada umumnya semakin dewasa seseorang, tingkat pengetahuan CPR akan semakin meningkat. b. Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh sehingga akan semakin mudah dalam menerima informasi.

24

c. Pengalaman kerja (lama kerja) Pengalaman merupkan sumber pengetahuan, hasil interaksi

dengan

lingkungan

(kerja)

yang

dapat

meningkatkan pengetahuan pada sesuatu. d. Pelatihan kegawat daruratan yang pernah diikuti Pendidikan pengetahuan

dan

pelatihan

seseorang,

dapat

sehingga

mempengaruhi

seseorang

dapat

melakukan sesuatu dengan lebih cepat dalam melakukan cardio pulmonary resuscitation. e. Informasi Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia mendapat informasi yang baik dari berbagai media maka hal itu akan meningkatkan pengetahuan.

2.2.3 Pengalaman 1. Pengertian Pengalaman Menurut

kamus

besar

bahasa

indonesia

(2010)

pengalaman diartikan sebagai sesuatu yang pernah (dijalani, dirasai, ditanggung). Menurut Notoatmodjo (2010) pengalaman merupakan guru yang baik, yang menjadi sumber pengetahuan dan juga merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Pengalaman dapat diartikan juga sebagai memori episodik, yaitu memori yang menerima dan menyimpan

25

peristiwa-peristiwa yang terjadi atau dialami individu pada waktu dan tempat tertentu, yang berfungsi sebagai referensi otobiografi (Syah, 2008). 2. Indikator dari Pengalaman Indikator pengalaman kerja menurut Foster 2001 dalam Mulyawati (2008) yaitu lama waktu atau masa kerja, tingkat

pengetahuan

dan

keterampilan

yang

dimiliki,

pengetahuan merujuk pada konsep, prinsip, prosedur, kebijakan atau informasi lain yang dibutuhkan oleh karyawan, penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan. Ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah ditempuh seseorang dapat memahami tugas – tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakan dengan baik. Pengetahuan juga mencakup kemampuan untuk memahami dan menerapkan informasi

pada

tanggung

jawab

pekerjaan.

Sedangkan

keterampilan merujuk pada kemampuan fisik yang dibutuhkan untuk mencapai atau menjalankan suatu tugas atau pekerjaan. Tingkat penguasaan seseorang dalam pelaksanaan aspek-aspek teknik peralatan dan teknik pekerjaan (Efendi & Makhfudli, 2009). Perawat dituntut untuk memiliki kompetensi dalam menangani korban yang membutuhkan bantuan hidup dasar. Salah satu upaya dalam peningkatan kompetensi tersebut

26

dilakukan melalui pelatihan bantuan hidup dasar, pelatihan ini merupakan pelatihan dasar bagi perawat dalam menangani korban yang memerlukan bantuan hidup dasar akibat trauma dan gangguan

kardiovaskuler.

Penanganan

masalah

tersebut

ditujukan untuk memberikan bantuan hidup dasar sehingga dapat menyelamatkan nyawa dan meminimalisir kerusakan organ serta kecacatan penderita (Yanti Bala, 2014).

2.2.4 Perilaku 1. Pengertian Perilaku Perilaku adalah aksi seseorang individu terhadap reaksi rangsangan tertentu dari hubungannya dengan lingkungan (Suryani dalam Susilo, 2011). Perilaku adalah suatu perbuatan atau tindakan seseorang terhadap suatu respon dan dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakin (Mubarak, 2012). Dari kedua definisi perilaku tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah suatu respon yang didapat dari lingkungan dan menjadi kebiasaan seseorang, baik dapat diamati secara sadar maupun tidak sadar, sehingga respon yang didapat dari seseorang dalam berperilaku bermacam-macam. 2. Pengukuran Perilaku Cara mengukur perilaku ada 2 cara (Notoatmodjo, 2010) yaitu perilaku dapat diukur secara langsung yakni wawancara

27

terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, bulan yang lalu (recall) dan perilaku yang diukur secara tidak langsung yakni, dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Benyamin Bloom (1908) yang dikutip Notoatmodjo (2010), membagi perilaku manusia ke dalam 3 domain ranah atau kawasan yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective) dan psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yakni

pengetahuan,

sikap

dan

praktik

atau

tindakan

(Notoatmodjo, 2010). 3. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Faktor yang dapat mempengaruhi perilaku adalah faktor predisposisi, faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor penguat (reinforcing factors). Faktor predisposisi merupakan faktor yang mempermudah perilaku seseorang atau masyarakat yaitu pengetahuan dan sikap seseorang terhadap apa yang akan dilakukan. Faktor pemungkin (enabling factors) terdiri dari faktor fasilitas, sarana atau prasarana yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Faktor penguat (reinforcing factors) adalah tokoh masyarakat, peraturan, undang-undang dan surat keputusan pejabat pemerintah maupun

28

faktor penguat dalam seseorang atau masyarakat untuk berperilaku (Notoadmojo, 2010). 4. Teori Terjadinya Perilaku Perilaku manusia tidak dapat lepas dari keadaan individu itu sendiri dan lingkungan dimana individu itu berada. Perilaku manusia didorong oleh motif tertentu sehingga manusia berperilaku (Ircham, 2005) dalam Hasanah (2010). 5. Bentuk Perilaku Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon

organisme

atau

seseorang

terhadap

rangsangan

(stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon ini berbentuk dua macam (Suryani dalam Susilo 2011) yakni : a. Bentuk Pasif Respons internal yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir, tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan. b. Bentuk Aktif Perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung, oleh karena perilaku mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata disebut overt behavior.

29

6. Klasifikasi Perilaku Beberapa klasifikasi perilaku menurut beberapa ahli, antara lain: a.

Berdasarkan teori “S-O-R” dalam Notoatmodjo (2010) maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu: 1) Perilaku Tertutup (Covert behavior) Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons tersebut masih terbatas dalam

bentuk

pengetahuan

dan

perhatian, sikap

perasaan,

terhadap

persepsi,

stimulus

yang

bersangkutan. 2) Perilaku terbuka (Overt Behavior) Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik tersebut dapat diamati orang lain.

2.2.5 Konsep Kesiapan 1. Pengertian Kesiapan adalah keseluruhan kondisi seseorang yang membuatnya siap untuk memberi respon atau jawaban dengan cara tertentu terhadap suatu situasi. Penyesuaian kondisi pada

30

suatu saat akan berpengaruh atau kecenderungan untuk memberi respon (Slameto, 2008). Seorang ahli bernama Cronbach memberikan pengertian tentang kesiapan sebagai segenap sifat atau kekuatan yang membuat seseorang dapat bereaksi dengan cara tertentu. Kemampuan seseorang dalam kesiapan terdiri dari: mempunyai kemampuan dasar umum dan kemampuan untuk menangani hal -hal yang bersifat khusus, memberikan perawatan yang aman kepada klien, mampu menghadapi atau bertahan dengan kenyataan sekarang dan kemungkinankemungkinan kedepan, serta mempunyai keseimbangan antara pelaksanaan, pengetahuan dan berpikir. Perawat dituntut tidak hanya siap dalam kondisi stabil dan sesuatu yang sudah biasa saja, tetapi juga dalam hal-hal bersifat khusus yang memerlukan konsentrasi tinggi dan keadaan yang sedang berubah dan baru. Pemberian perawatan yang aman kepada klien merupakan suatu komponen yang penting dari praktek keperawatan. Seorang perawat yang dikatakan siap mempunyai alasan yang menyakinkan kenapa dia memutuskan untuk melakukan suatu tindakan keperawatan dan mendemonstrasikan kemampuan untuk melaksanakan praktek keperawatan sesuai dengan etika, penuh kehatihatian, dan aman (Yanti Bala, 2014).

31

Perawat harus bisa menunjukkan bahwa mereka mampu bekerja (berfungsi) dengan realitas yang ada sekarang, dengan segala keterbatasannya, dan mereka juga harus bisa beradaptasi terhadap suatu yang baru dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia kesehatan. Perawat mempunyai dasar pengetahuan yang baik untuk mengenali situasi yang sedang terjadi dan mampu memutuskan kapan mereka memerlukan bantuan jika dibutuhkan. Critical Thinking yaitu kemampuan untuk membuat keputusan yang pasti dan hati-hati tentang kondisi klien, adalah komponen

kunci

dari

kesiapan.

Pelaksanaan

tindakan

keperawatan harus didasari dengan kemampuan untuk berpikir kritis berdasarkan pengetahuan yang cukup dari perawat (Wolff.dkk, 2010). 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Perawat dalam Menangani Cardiac Arrest. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan perawat dalam

menangani

cardiac

arrest

adalah

pengetahuan,

pengalaman dan pelatihan atau training. Pengetahuan sangat berhubungan erat dengan kesiapan. Sebagai contoh dalam kondisi seseorang menghadapi pasien cardiac arrest, agar seseorang tersebut mampu mengambil keputusan terhadap apa yang akan dilakukan, maka dia harus mempunyai pengetahuan tentang cardiac arrest, yaitu pada tingkat evaluasi yang

32

merupakan tingkatan tertinggi dari pengetahuan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Notoadmodjo (1993): evaluasi yang merupakan tingkatan tertinggi dari pengetahuan, adalah kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu meteri atau objek, penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada. Kemampuan untuk menilai, kemampuan untuk berfikir kritis dan mengambil keputusan terhadap tindakan sesuai dengan kondisi klien itulah yang disebut kesiapan (Wolff.dkk, 2010). Pengalaman

merupakan

faktor

penting

yang

mempengaruhi kesiapan seseorang, dalam arti akan lebih meningkatkan kemampuan seseorang dalam menangani sesuatu (Simanjutak, Payama J. ,2005). Semakin luas pengalaman kerja seseorang, semakin terampil melakukan pekerjaan dan semakin sempurna pola berpikir dan sikap dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Puspaningsih, A. 2004). Dengan kata lain bahwa seorang yang berpengalaman akan lebih siap bila dihadapkan pada suatu beban masalah yang sama. Faktor lain yang mempengaruhi kesiapan adalah training. Training yang mempunyai pengertian proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir, menurut Sikula dalam (Sumantri, 2010),

33

bertujuan untuk mengubah perilaku kerja sekelompok pegawai dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi (Ivancevich, 2008). Pelatihan yang efektif merupakan pelatihan yang berorientasi

proses,

melaksanakan

dimana

organisasi

program-program

yang

tersebut

dapat

sistematis

untuk

mencapai tujuan dan hasil yang dicita-citakan. Pelatihan efektif apabila pelatihan tersebut dapat menghasilkan sumber daya manusia yang meningkat kemampuannya, keterampilan dan perubahan sikap yang lebih mandiri. Simamora (2007), mengukur keefektifan pendidikan dan pelatihan partisipan

adalah

bagaimana

terhadap

program,

reaksi-reaksi peningkatan

atau

perasaan

pengetahuan,

keahlian, dan sikap-sikap yang diperoleh sebagai hasil dari pelatihan, perilaku perubahan-perubahan yang terjadi pada pekerjaan sebagai akibat dari pelatihan, hasil-hasil dampak pelatihan pada keseluruhan yaitu efektivitas organisasi atau pencapaian pada tujuan-tujuan organisasional, perawat yang telah mendapatkan pelatihan penanganan cardiac arrest diharapkan mendapatkan peningkatan pengetahuan, mempunyai keahlian yang lebih meningkat seperti yang diajarkan dalam pelatihan, dan menunjukkan adanya perubahan sikap yang lebih siap bila sewaktu-waktu ada kejadian cardiac arrest di tempat kerjanya.

34

2.2 Kerangka Teori

Faktor yang mempengaruhi perilaku : 1. Faktor predisposisi. 2. Faktor pemungkin (enabling factors). 3. Faktor penguat (reinforcing factors).

Pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan perawat dalam menangani kondisi kegawatan (cardiac arrest) : 1. Pengetahuan penanganan cardiac arrest. 2. Pengalaman menangani cardiac arrest. 3. Pelatihan atau training.

Kesiapan Perawat dalam menangani cardiac arrest

Faktor yang mempengaruhi perilaku : 1. Faktor predisposisi. 2. Faktor pemungkin (enabling factors). 3. Faktor penguat (reinforcing factors).

Perilaku

Dimensi kesiapan : 1. Kemampuan menilai situasi 2. Critical thinking, decision making yang tepat. 3. Pemberian asuhan keperawatan dengan memperhatikan aspek keamanan dan perlindungan. 4. Komunikasi efektif.

Gambar 2.2 Kerangka Teori Sumber : (Wolff.dkk, 2010), (Notoadmojo, 2010).

Penanganan cardiac arrest

35

2.3 Fokus Penelitian

Faktor Pendukung

Pengetahuan Perawat

Pengalaman Perawat

Penanganan Cardiac Arrest

Faktor Penghambat

Gambar 2.3 Fokus Penelitian

36

2.4 Keaslian Penelitian Tabel 2.1 Keaslian Penelitian

Nama /

Judul

Metode

Tahun

Penelitian

Aminuddin Analisis (2013)

Hasil

Jenis penelitian ini Hasil

faktor yang adalah berhubung

penelitian menunjukkan bahwa ada

analitik

an dengan sectional

penelitian

cros hubungan dengan antara

bermakna pengetahuan

kesiapan

pengambilan sampel dengan kesiapan perawat

perawat

total

dalam

menggunakan

menangani

kuesioner

cardiac

ceklist.

arrest

di Uji

ruangan

sampling dalam menangani cardiac arrest (p = 0,001), tidak dan ada hubungan bermakna antara

fasilitas

dengan

statistic kesiapan perawat dalam

menggunakan

chi- menangani cardiac arrest

ICCU dan square.

(p = 0,301), ada hubungan

ICU RSU

bermakna

Anutapura

dengan kesiapan perawat

Palu

dalam menangani cardiac arrest

(p

pelatihan

=

0,025).

Pengetahuan dan pelatihan berhubungan

dengan

kesiapan perawat dalam menangani cardiac arrest. Fasilitas berhubungan

tidak dengan

kesiapan perawat dalam

37

menagani cardiac arrest. Diharapkan peneliti

kepada lain

dapat

mengembangkan penelitian

ini

dengan

variabel yang lain. k Ifa Roifah Metode k (2014)

Desain penelitian ini Hasil

ini

membuktikan

cardio

adalah

pulmonary

dengan

seseoarang

resuscitati

menggunakan

jumlah siklus yang sesuai

on untuk

pendekatan

k

meningkat

control

k

kan

retrospektive

survival

yang

rates

dianalisis

yang

pasien post

menggunakan

sehingga dengan demikian

cardiac

statistik

arrest.

yaitu tabel distribusi pemberian CPR terhadap

k k

analitik bahwa

semakin

case- dengan prosedur (5 siklus) atau maka

waktu

ketahanan

study hidupnya akan lebih lama

kemudian dibandingkan tidak

deskriptif terdapat

frekuensi dan nilai survival mean.

diberikan

dengan diberikan,

pengaruh

rates

cardiac arrest.

pasien

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan karena peneliti ingin mengeksplor fenomena-fenomena yang tidak dapat dikuantifikasikan yang bersifat deskriptif seperti proses suatu langkah kerja, formula suatu resep, pengertian-pengertian tentang suatu konsep yang beragam, karakteristik suatu barang dan jasa, gambar-gambar, gaya-gaya, tata cara suatu budaya, model fisik suatu artifak dan lain sebagainya (Satori & Komariah, 2013). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologis,

menurut

Rieman

dalam

Santana

(2007)

penelitian

fenomenologi bertujuan untuk menyajikan persepsi berbagai orang yang menjadi informan di dalam sebuah masalah, melihat bagaimana pengalaman mereka, kehidupan dan tampilan fenomenanya, serta mencari pemaknaan dari berbagai orang yang menjadi partisipan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman perawat tentang penanganan cardiac arrest di RSUD Karanganyar. Bertujuan khusus untuk mendeskripsikan pengetahuan perawat tentang penanganan cardiac arrest, mendeskripsikan tindakan perawat dalam penanganan cardiac arrest, mengidentifikasi faktor pendukung perawat dalam penanganan cardiac arrest,

38

39

mengidentifikasi faktor penghambat perawat dalam penanganan cardiac arrest.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruang instalasi gawat darurat (IGD) RSUD Karanganyar. 3.2.2 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada 5 Februari sampai 21 April 2015.

3.3 Populasi dan Sampel Satori & Komariah (2013) menyatakan bahwa populasi dalam penelitian kualitatif lebih tepat disebut sebagai sumber data pada situasi sosial tertentu yang menjadi subjek penelitiannya adalah benda, hal atau orang yang padanya melekat data tentang objek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah 17 perawat Instalasi Gawat Darurat yang pernah menangani kasus cardiac arrest di RSUD Karanganyar. Sampel merupakan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2012). Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sabagai subjek penelitian melalui sampling. Sampel sebanyak 1 – 10 orang hingga tercapai saturasi (Afiyanti, 2014). Peneliti mengambil partisipan perawat IGD yang pernah menangani kasus cardiac arrest sebanyak 3 partisipan. Teknik pengambilan sampel dilakukan

40

menggunakan metode purposive sampling yaitu sampel yang dipilih berorientasi pada tujuan penelitian individu diseleksi atau dipilih secara sengaja karena memiliki pengalaman yang sesuai dengan fenomena yang diteliti sampel ini menetapkan terlebih dahulu kriteria – kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Sedangkan sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2011). Wawancara akan dihentikan oleh peneliti ketika semua jawaban dari partisipan sudah mencapai saturasi. Saturasi adalah ketika semua jawaban sudah dikatakan benar sama atau jenuh (Sutopo, 2006). Kriteria inklusi adalah subjek penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel atau persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh subjek agar dapat diikutkan dalam penelitian (Sastroasmoro dan Ismael, 2007). Dalam penelitian ini kriteria inklusi sendiri adalah: 1) Perawat berpendidikan minimal D III Keperawatan. 2) Perawat yang telah bekerja lebih dari 3 tahun di Instalasi Gawat Darurat. 3) Perawat yang memiliki sertifikat pelatihan BTCLS atau PPGD. 4) Perawat yang pernah melakukan penanganan cardiac arrest. 5) Bersedia menjadi partisipan.

41

3.4 Instrumen dan Prosedur Pengumpulan Data 3.4.1 Dalam penelitian ini menggunakan dua instrumen penelitian yaitu: 1. Instrumen Inti Instrumen inti dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Peneliti sebagai instrument inti berusaha untuk meningkatkan kemampuan diri dalam melakukan wawancara. Usaha yang dilakukan berlatih wawancara terlebih dahulu sebelum pengambilan data kepada partisipan (Sugiyono, 2013). Peneliti menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian, sebagai perencana, pelaksana, pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pengevaluasi hasil penelitian. Peneliti harus paham metode penelitian, penguasaan teori wawancara terhadap bidang yang diteliti dan peneliti siap untuk memasuki obyek penelitian, baik secara akademik maupun logistiknya. Peneliti adalah seorang mahasiswi dari program studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang ingin melakukan penelitian dan ingin mengeksplorasi tentang pengalaman perawat dalam menangani kasus cardiac arrest di RSUD Karanganyar. 2. Penunjang penelitian Pengumpulan data dilakukan dengan tiga teknik yaitu: a. Wawancara mendalam Sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah berupa manusia yang dalam posisi sebagai partisipan.

42

Informasi dari sumber data ini dikumpulkan dengan teknik wawancara, dalam penelitian kualitatif khususnya dilakukan dalam bentuk yang disebut wawancara mendalam (in-depth interviewing)

yaitu

wawancara

yang

dilakukan

untuk

menemukan permasalahan secara lebih terbuka dimana partisipan yang diwawancara diminta pendapat, ide-idenya, peneliti mencatat apa yang dikemukakan oleh partisipan (Sugiyono, 2013). Wawancara akan dihentikan oleh peneliti ketika semua jawaban dari partisipan jenuh (Sutopo, 2006). Wawancara mendalam dalam penelitian ini menggunakan: 1. Lembar

Informed

Consent

berfungsi

sebagai

bukti

persetujuan dari partisipan dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti. 2. Pedoman wawancara yang berisi 12 pertanyaan tentang penanganan cardiac arrest berfungsi untuk pedoman dalam melakukan wawancara penelitian. 3. Voice Recorder dengan smartphone dengan kapasitas memori 1 Gb yang mampu merekam suara kurang lebih 60 menit sebanyak dua kali perekaman untuk satu partisipannya berfungsi untuk merekam suara semua percakapan yang dilakukan peneliti dan partisipan. Wawancara di lakukan sebanyak dua kali.

43

b. Observasi tersamar Teknik observasi tersamar yaitu peneliti melakukan observasi tanpa diketahui partisipan sehingga data yang didapatkan lebih natural (Sugiyono, 2013). Teknik ini digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, aktivitas, perilaku, tempat atau lokasi dan benda, serta rekaman gambar. Observasi dalam penelitian menggunakan lembar catatan lapangan yang berfungsi untuk catatan peneliti dalam penelitian yang telah dilakukan. Observasi dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung (Sutopo, 2006). Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realitis perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan dan untuk evaluasi melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu serta melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut (Sumantri, 2011). Peneliti melakukan observasi terus terang atau tersamar yaitu peneliti menyatakan terus terang kepada sumber data bahwa peneliti

sedang

melakukan

penelitian

sehingga

sumber

mengetahui sejak awal sampai akhir tentang aktivitas peneliti, namun dalam suatu saat peneliti juga tidak berterus terang atau tersamar dalam observasi untuk menghindari adanya suatu data yang masih dirahasiakan (Sugiyono, 2013).

44

c. Dokumentasi Studi dokumen adalah teknik pengumpulan data dengan mempelajari catatan-catatan mengenai suatu data. Dokumen tertulis merupakan sumber data yang memiliki posisi penting dalam penelitian kualitatif (Sutopo, 2006). Sumber data dan dokumen pada penelitian ini diperoleh dari buku dan jurnal yang membahas mengenai penanganan cardiac arrest. Dari data sumber tersebut kemudian di analisis sehingga dapat memperkuat hasil

penelitian

peneliti.

Dokumentasi

penelitian

ini

menggunakan : 1. Lembar data demografi mengenai kode, nomer partisipan, usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pengalaman lama kerja di Instalasi Gawat Darurat dan pelatihan yang pernah diikuti. 2. Alat tulis berfungsi untuk menulis dan mencatat segala sesuatu yang penting dalam penelitian. 3. Bukti penelitian mengenai inisial perawat, diagnosa medis, tindakan dan tanda tangan partisipan. 4. Camera berfungsi untuk mendokumentasikan pembicaraan antara peneliti dengan informan atau sumber data. Dengan adanya foto ini, maka dapat meningkatkan keabsahan penelitian akan lebih terjamin, karena peneliti betul-betul melakukan pengumpulan data. Camera yang digunakan

45

adalah camera handphone 5 megapixel dengan kapasitas memory 4 Gb.

3.4.2 Prosedur pengumpulan data 1. Tahap persiapan Pengumpulan data dimulai setelah peneliti menyelesaikan ujian proposal dan diperbolehkan melakukan pengambilan data di lapangan. Peneliti mengurus surat ijin pengambilan data mengenai kriteria inklusi partisipan yang dikeluarkan oleh Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada kepada Kesatuan Bangsa dan Politik (KESBANGPOL) untuk tembusan ke Bupati Karanganyar, Kepala BAPPEDA dan Direktur serta bagian diklat RSUD Karanganyar. Partisipan yang memenuhi kriteria inklusi kemudian diberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang mungkin terjadi pada proses pengumpulan data. Peneliti memberi tahu kepada partisipan bahwa akan dilakukan perekaman wawancara dan pengambilan gambar mengenai pengalaman perawat dalam menangani kasus cardiac arrest. Setelah diberikan penjelasan partisipan diminta kesediaannya untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi partisipan. Selanjutnya peneliti dan partisipan membuat kontrak waktu dan tempat untuk proses pengambilan data.

46

2. Tahap pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan peneliti menyiapkan instrumen inti dan penunjang. Instrumen inti ini disiapkan dengan melatih ketrampilan wawancara kepada perawat yang bukan menjadi partisipan, kemudian peneliti melakukan pengembangan diri terhadap proses wawancara. Sebelum ke tahap wawancara, peneliti mencari data atau dokumentasi angka kejadian kematian kasus cardiac arrest di rekam medik RSUD Karanganyar. Instrumen penunjang yang disiapkan meliputi buku, catatan, bolpoint, pedoman pertanyaan, lembar data demografi, bukti penelitian dan kamera untuk mendokumentasikan gambar pada saat wawancara. Alat perekam yang sudah dipastikan dapat digunakan kembali diperiksa dengan baik. Lembar obsevasi, buku catatan dan bolpoint disiapkan dengan baik kemudian peneliti bertemu dengan partisipan. Peneliti datang sesuai dengan waktu dan tempat yang telah disepakati sebelumnya dengan partisipan. Peneliti melakukan wawancara secara mendalam (indepth interview) dengan terstruktur. Peneliti menggunakan pedoman pertanyaan yang berisi garis besar pertanyaan yang diajukan kepada partisipan, pertanyaan wawancara dikembangkan dari jawaban partisipan tetapi tidak keluar dari pedoman yang telah dibuat. Partisipan diberikan kebebasan untuk memberikan informasi selengkapnya dan seluas mungkin. Sehingga

47

pertanyaan dan hasil wawancara yang diperoleh bervarisasi untuk setiap partisipan. 3. Tahap terminasi Tahap terminasi adalah tahap akhir dari pengumpulan data yang dilakukan terminasi dengan melakukan validasi terhadap data yang telah ditemukan kepada partisipan. Setelah dilakukan pengambilan data wawancara selanjutnya dilakukan observasi guna menyajikan gambaran realistis perilaku atau kejadian, dan untuk memvalidasi hasil wawancara dengan hasil observasi apakah sama dan akan memberikan umpan balik terhadap pengambilan data yang telah dilakukan. Peneliti memperlihatkan hasil transkip wawancara dan intrepetasi peneliti kepada informan, jika informan mengatakan apa yang ditulis peneliti telah sesuai dengan apa yang dimaksud oleh partisipan dan dilakukan terminasi dan ucapan terimakasih telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan menyampaikan bahwa proses penelitian telah selesai.

3.5 Analisa Data Analisa data merupakan proses pengumpulan data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dari peneliti dan menulis catatan singkat sepanjang penelitian (Creswell, 2013). Teknik analisa yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Colaizzi (Creswell, 2013). Metode Colaizzi dinilai efektif digunakan dalam penelitian ini, dikarenakan dengan

48

metode Colaizzi fenomena-fenomena dapat terungkap dengan jelas sesuai dengan makna-makna yang di dapat. Adapun langkah-langkah analisa data sebagai berikut : 3.5.1 Membuat deskripsi informan tentang fenomena dari informan dalam bentuk narasi yang bersumber dari wawancara. 3.5.2 Membaca kembali secara keseluruhan deskripsi informasi dari informan untuk memperoleh perasaan yang sama seperti pengalaman informan. Peneliti melakukan 3-4 kali membaca transkip untuk merasakan hal yang sama seperti informan. 3.5.3 Mengidentifikasi kata kunci melalui penyaringan pernyataan informan signifikan dengan fenomena yang diteliti. Pernyataan-pernyataan yang merupakan dan mengandung makna yang sama atau mirip maka pernyataan ini diabaikan. 3.5.4 Memformulasikan arti dari kata kunci dengan cara mengelompokkan kata kunci yang sejenis. Peneliti sangat berhati-hati agar tidak membuat penyimpangan dari pernyataan informan dengan merujuk kembali pada pernyataan yang signifikan. Cara yang perlu dilakukan adalah menelaah kalimat satu dengan yang lain. 3.5.5 Mengorganisasikan arti-arti yang telah teridentifikasi dalam beberapa kelompok tema. Setelah tema-tema terorganisir, peneliti menvalidasi kembali kelompok tema tersebut. 3.5.6 Mengintegrasikan semua hasil penelitian ke dalam suatu narasi yang menarik dan mendalam sesuai dengan topik penelitian.

49

3.5.7 Mengembalikan semua hasil penelitian pada masing-masing informan lalu diikut sertakan pada diskripsi hasil penelitian.

3.6 Keabsahan Data Dalam pengujian keabsahan data pada penelitian ini dicapai dengan melakukan pengecekan keabsahan temuan untuk menjamin kepercayaan hasil penelitian. Pada penelitian kualitatif menurut Polit & Beck (2012) mengemukakan yang dapat dicapai untuk mendapat kepercayaan tertentu dengan 4 prinsip, meliputi uji creadibility, transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (obyektivitas). 3.6.1 Creadibility (kepercayaan data) Kredibilitas data atau ketepatan dan keakuratan suatu data yang dihasilkan dari studi kualitatif menjelaskan derajat atau nilai kebenaran dari data yang dihasilkan termasuk proses analisis data tersebut dari penelitian yang dilakukan. Suatu hasil penelitian dikatakan memiliki kredibilitas yang tinggi atau baik ketika hasil-hasil temuan pada penelitian tersebut dapat dikenali dengan baik oleh partisipannya dalam konteks sosial mereka. Pada penelitian ini kredibilitas dicapai dengan melakukan validasi kembali hasil wawancara dan catatan lapangan untuk dilihat dan dibaca partisipan apakah ada diantara ungkapan dan pernyataan tidak sesuai dengan maksud partisipan. Partisipan juga diberi kesempatan untuk memberi gambaran yang sebenarnya dirasakan oleh

50

partisipan. Peneliti juga berkonsultasi dengan pembimbing terkait hasil pengumpulan data yang diperoleh. Prinsip ini untuk mengetahui apakah kebenaran hasil penelitian kualitatif dapat dipercaya dalam mengungkapkan kenyataan yang sesungguhnya antara konsep peneliti dengan konsep partisipan. Ukuran cara memvaliditas data terdapat pada alat untuk menjaring data, terletak pada penelitiannya yang dibantu dengan metode interview, observasi dan studi dokumen. Dengan demikian, yang diuji ketepatannya adalah kapasitas peneliti dalam merancang focus, menetapkan dan memilih partisipan, melaksanakan metode pengumpulan data, menganalisis dan menginterpretasi dan melaporkan hasil penelitian yang kesemuanya perlu menunjukkan konsistensinya satu sama lain. 3.6.2 Transferability (keteralihan data) Seberapa mampu suatu hasil penelitian kualitatif dapat diaplikasikan dan dialihkan pada keadaan suatu konteks lain atau kelompok atau partisipan lainnya merupakan pertanyaan untuk menilai kualitas

tingkat

keteralihannya

atau

transferabilitas.

Penilaian

keteralihan suatu hasil penelitian kualitatif ditentukan oleh para pembaca. Istilah transferabilitas dapat dipakai pada penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep generalisasi telah banyak dibahas dan direspon oleh para peneliti, baik kuantitatif maupun kualitatif.

51

Penulis melibatkan pembimbing dalam penulisan dan pelaporan hasil agar mudah dipahami oleh pembaca, selain itu peneliti membuat uraian yang diteliti dan secermat mungkin sehingga menghasilkan di skripsi yang padat dan dapat digunakan pada setting lain dengan konsep dan karakteristik yang sama. 3.6.3 Dependability (ketergantungan) Dependabilitas

mempertanyakan

tentang

konsistensi

dan

reabilitas suatu instrumen yang digunakan lebih dari sekali penggunaan. Masalah yang ada pada studi kualitatif adalah instrumen penelitian dan peneliti sendiri sebagai manusia memiliki sifat-sifat manusia yang sepenuhnya tidak pernah dapat konsisten dan dapat diulang walaupun dengan kondisi dan keadaan yang sama dan sangat dipengaruhi oleh latar belakang peneliti terutama berkaitan dengan apa saja yang di intrepetasikan dan disimpulkan oleh peneliti tersebut. Peneliti sebagai instrumen kunci dapat membuat kesalahan dalam menginterpretasikan data sehingga timbul ketidakpercayaan pada peneliti. Agar penelitian ini dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah, peneliti melibatkan seseorang yang berkompeten di bidangnya yaitu selalu melibatkan pembimbing selama penelitian, analisa data dan penulisan hasil penelitian untuk menjaga dependabilitas hasil penelitian (Afiyanti, 2014).

52

3.6.4 Confirmability Konfirmabilitas menggantikan aspek objektivitas pada penelitian kualitatif, namun tidak persis sama arti dari keduanya, yaitu kesediaan peneliti untuk mengungkap secara terbuka proses dan elemen-elemen penelitiannya. Aspek confirmability dipenuhi peneliti dengan melakukan konfirmasi kembali terhadap hasil interpretasi kepada partisipan dan pembimbing serta mengintregasikan dengan catatan lapangan dan hasil observasi. Strategi yang digunakan untuk memperoleh keabsahan data pada penelitian ini adalah dengan melakukan triangulasi (Denzin & Lincoln, 2005 di dalam Rachmawati & Afiyanti, 2014). Triangulasi yang dapat dilakukan peneliti antara lain: 1. Triangulasi data Teknik triangulasi data, yaitu peneliti menggunakan berbagai sumber data yang dapat digunakan selama riset dilakukan. Data yang didapatkan dari partisipan kemudian divalidasi dengan menggunakan dokumentasi keperawatan contohnya tindakan dalam penanganan cardiac arrest di IGD RSUD Karangannyar. 2. Triangulasi peneliti Teknik triangulasi peneliti, yaitu peneliti bekerja sama dengan peneliti lain untuk mengurangi potensial bisa dari satu riset dengan dilakukannya uji validitas. Pada penelitian ini peneliti

53

menggunakan jurnal penelitian yang membahas masalah yang sama dengan penelitian yang peniliti lakukan, hasil skripsi dan tesis dari universitas lainnya. Pandangan dan tafsir yang dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap semua informasi yang berhasil digali dan dikumpulkan yang berupa catatan, bahkan sampai dengan simpulan sementara, diharapkan bisa terjadi pertemuan pendapat yang pada akhirnya bisa lebih memantapkan hasil akhir penelitan. 3. Triangulasi teori Teknik triangulasi teori, yaitu peneliti menggunakan berbagai perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Peneliti menggunakan beragam teori yang membahas mengenai tindakan dalam penanganan cardiac arrest dan pengalaman perawat. 3.7 Etika Penelitian Etika penelitian adalah suatu system nilai normal yang harus dipatuhi oleh peneliti saat melakukan aktivitas penelitian yang melibatkan responden, meliputi kebebasan dari adanya ancaman, kebebasan dari adanya eksploitasi keuntungan dari penelitian tersebut dan resiko yang didapatkan (Polit & Hungler, 2005). Peneliti meyakini bahwa partisipan harus di lindungi dengan memperhatikan aspek-aspek: self determination, privacy, anonymity, informed consent, dan protections for discomfort (Polit & Hungler, 2005) :

54

3.7.1

Self determination. Partisipan diberikan kebebasan untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian sukarela. Peneliti memberikan kebebasan kepada partisipan untuk ikut berpartisipasi.

Peneliti

memberikan

penjelasan

kepada

calon

partisipan mengenai tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan. Peneliti juga menjelaskan bahwa partisipan yang mengikuti penelitian tidak dipungut biaya apapun, seluruh biaya sudah ditanggung peneliti. 3.7.2 Informed consent Peneliti menegaskan kembali mengenai maksud dan tujuan penelitian yaitu untuk mengindetifikasi pengetahuan, tindakan, faktor pendukung dan penghambat dalam penanganan cardiac arrest. Setelah partisipan mengerti, peneliti memberikan lembar informed consent kepada partisipan. 3.7.3 Privacy Selama dan sesudah penelitian, privacy partisipan dijaga secara benar, semua partisipan diberlakukan sama, peneliti akan menjaga kerahasiaan partisipan dari informasi yang diberikan dan hanya digunakan untuk kegiatan penelitian serta tidak akan dipublikasikan tanpa izin dari partisipan. 3.7.4 Anonymity Nama partisipan selama penelitian tidak digunakan melainkan diganti dengan nomor dan inisial penelitian. Nomor dan inisial dari

55

partisipan ini digunakan dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan partisipan dan mencegah kekeliruan peneliti dalam memasukkan data. 3.7.5 Protections for discomfort. Selama

pengambilan

data

penelitian,

peneliti

memberi

kenyamanan pada partisipan dengan mengambil tempat wawancara sesuai dengan keinginan partisipan. Sehingga partisipan dapat leluasa tanpa ada pengaruh lingkungan untuk mengungkapkan hambatan yang dialami. 3.7.6 Beneficence 1. Bebas dari bahaya yaitu peneliti harus berusaha melindungi subyek yang diteliti, terhindar dari bahaya atau ketidaknyamanan fisik atau mental. 2. Bebas dari eksploitasi yaitu keterlibatan peserta dalam penelitian tidak seharusnya merugikan mereka atau memaparkan pada situasi yang mereka tidak disiapkam. 3. Rasio antara resiko dan manfaat adalah peneliti dan penilai (reviewer) harus menelaah keseimbangan antara manfaat dan resiko dalam penelitian (Hamid & Achir, 2008). 3.7.7 Non Meleficence Mengurangi bahaya terhadap partisipan serta melindungi partisipan (Hamid & Achir, 2008).

56

3.7.8 Justice Hak mendapatkan perlakuan yang adil adalah partisipan mempunyai hak yang sama, sebelum, selama, dan setelah partisipasi mereka dalam penelitian. Perlakuan yang adil mencakup aspek-aspek berikut ini: 1. Seleksi partisipan yang adil dan tidak diskriminatif. 2. Perlakuan yang tidak menghukum bagi mereka yang menolak atau mengundurkan diri dari kesertaannya dalam penelitian, walaupun dia pernah menyetujui untuk berpartisipasi. 3. Penghargaan terhadap semua persetujuan yang telah dibuat antara peneliti atau partisipan. 4. Mendapatkan penjelasan, jika diperlukan yang tidak diberikan sebelum penelitian dilakukan atau mengklarifikasi isu yang timbul selama penelitian. 5. Perlakuan yang penuh rasa hormat selama penelitian (Hamid & Achir, 2008).

BAB IV HASIL PENELITIAN

Pada bab 4 ini dipaparkan mengenai hasil penelitian terkait perawat dalam penanganan cardiac arrest di Instalasi Gawat Darurat RSUD Karanganyar. Sesuai tujuan

khusus

meliputi

mendeskripsikan

pengetahuan

perawat

tentang

penanganan cardiac arrest, mendeskripsikan tindakan perawat dalam penanganan cardiac arrest, mengidentifikasi faktor pendukung perawat dalam penanganan cardiac arrest dan mengidentifikasi faktor penghambat perawat dalam penanganan cardiac arrest. Tema- tema yang didapatkan dari penelitian ini diperoleh berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada 3 perawat di Instalasi Gawat Darurat yang pernah menangani kasus cardiac arrest. Tema yang didapat meliputi 16 tema yaitu definisi henti jantung, penyebab henti jantung, tanda dan gejala henti jantung, tindakan henti jantung, pengkajian awal resusitasi jantung paru, tindakan resusitasi jantung paru , evaluasi tindakan resusitasi jantung paru, posisi recovery, faktor dihentikan resusitasi jantung paru, pemberian obat-obatan emergency , pengetahuan perawat, sarana pendukung, kesiapan perawat, hambatan sarana dan prasarana, faktor pasien dan faktor keluarga.

57

58

4.3 Karakteristik Partisipan Karakteristik ketiga partisipan yang bersedia dilakukan wawancara adalah sebagai berikut : partisipan satu (P1) adalah seorang laki-laki dengan usia 52 tahun, pendidikan terakhir D3 keperawatan, mengikuti pelatihan PPGD dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Karanganyar selama 31 tahun. Partisipan kedua (P2) adalah seorang perempuan dengan usia 39 tahun, pendidikan terakhir S1 keperawatan dan Ners, mengikuti pelatihan PPGD dan BTCLS dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Karanganyar selama 12 tahun. Partisipan ketiga (P3) adalah seorang laki-laki dengan usia 40 tahun, pendidikan terakhir S1 keperawatan mengikuti pelatihan PPGD dan BTCLS dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Karanganyar selama 13 tahun.

4.4 Tema Hasil Penelitian Tema tersebut disusun oleh katakunci dan kategori pendukung. Berikut ini hasil dari tema-tema yang ditemukan. 4.4.1 Tema dari Tujuan Khusus : Mendeskripsikan pengetahuan perawat tentang penanganan cardiac arrest. Tema



tema

yang

dihasilkan

dari

mendeskripsikan

pengetahuan perawat tentang penanganan cardiac arrest didapatkan 4 tema yaitu definisi henti jantung, penyebab henti jantung, tanda dan gejala henti jantung dan tindakan henti jantung. Tema ini didapatkan dari analisa terhadap kategori- kategori yang didapat dari ungkapan

59

keseluruhan dari partisipan. Berikut penjelasan mengenai beberapa tema tersebut: 1. Definisi henti jantung Definisi cardiac arrest atau istilah lainnya yaitu henti jantung dan gangguan irama jantung. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai henti jantung : “…terjadi henti jantung.” (P2) “Itu mendadak kok dek datangnya tapi intinya ya henti jantung.” (P3) “Kebanyakan pasien cardiac arrest bisa saja mengalami kematian dalam 24 jam pertama setelah dia sudah mengalami henti jantung.” (P3) “Kematian penyakit jantung yang mendadak…” (P1) “Otomatis jantung tidak berdenyut…” (P3) Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan henti jantung meliputi kematian penyakit jantung mendadak dan jantung tidak berdenyut.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai gangguan irama jantung : “…ventrikel takikardi dan ventrikel fibrilasi, VF dan VT…” (P2) “…VT (ventrikel takhikardi)...”(P2) “…VT (ventrikel takhikardi) biasanya nadinya cepat sekali dan darah ke ventrikel jadi berkurang.” (P2) “…atau bisa juga pasien sudah asistol...”(P2)

60

“Asistol yaa? Sudah tidak ada aktifitas jantung lagi dek. Kalo dimonitor garis lurus memanjang itu loh.” (P2) “…ventrikel fibrilasi, VF dan VT !!” (P2) “…gambaran ventrikel fibrilasi…” (P2) “Kalo VF (fibrilasi ventrikel) itu jantung masih getar...” (P2) “…dan PEA (Pulseless Electrical Activity)...”(P2) “PEA (Pulseless Electrical Activity) sih masih ada aktifitas jantung cuman ya ga terlihat tekanan darah dan nadinya.” (P2) Pernyataan partisipan 2 tersebut diatas mengungkapkan gangguan irama jantung meliputi ventrikel fibrilasi, ventrikel

takhikardi,

pulseless electrical activity dan asistol.

2. Penyebab henti jantung Penyebab cardiac arrest sebagai akibat dari serangan jantung meliputi : gangguan sirkulasi tubuh dan suatu peristiwa. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai gangguan sirkulasi tubuh: “Ya sebetulnya semua sama-sama diakibatkan timbulnya aritmia.” (P2) “…lalu sirkulasi aliran darah keseluruh tubuh berhenti.” (P3) “…kita curigai karena pasien itu hipoksia.” (P3) Pernyataan partisipan 2 dan partisipan 3 tersebut diatas mengungkapkan gangguan sirkulasi tubuh meliputi aritmia, sirkulasi aliran darah keseluruh tubuh berhenti dan hipoksia.

61

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai peristiwa : “…aliran jantung berhenti karena kondisi pasien disebabkan suatu hal seperti tersengat listrik, tenggelam…” (P2)

Pernyataan partisipan 2 tersebut diatas mengungkapkan peristiwa penyebab henti jantung meliputi tersengat listrik dan tenggelam.

3. Tanda dan gejala henti jantung Tanda dan gejala munculnya cardiac arrest meliputi : nadi berhenti berdenyut, penurunan kesadaran, gangguan sistem respirasi, nyeri dada dan tekanan darah rendah. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai nadi berhenti berdenyut: “…mungkin denyut nadi tidak teraba lagi atau berhentilah, jadi serangan jantung mendadak ya perlu penanganan yang harus secara cepat dan tepat.” (P1) “…nadinya tidak teraba. Cardiac arrest itu tidak harus ditemukan di IGD kadang dijalan raya kita bisa temui cardiac arrest jadi dimanapun kita bisa ketemu cardiac arrest jadi penanganan RJP.” (P2) “…masih ada aktifitas jantung cuman ya ga terlihat tekanan darah dan nadinya.” (P2) “Menurut saya ya dek, jantung tidak memompa sama sekali dan tidak teraba nadinya.” (P3) Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan nadi berhenti berdenyut meliputi denyut nadi tidak teraba.

62

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai penurunan kesadaran : “…sampai pasien tidak sadar dan sebagainya.” (P1) “Apnea, hipotensi, penurunan kesadaran, yaitu!” (P2) “…kalo pasien datang di IGD misalnya ada penurunan kesadaran apa pasien memang sudah tidak sadar…” (P2) “…tiba-tiba pasien apnea dan penurunan kesadaran kita curiganya ke cardiac arrest.” (P2) “Itu bertahan bisa lebih dari 20 menit atau pasien langsung tidak sadarkan diri.” (P3) Pernyataan partisipan 1, 2, dan 3 tersebut diatas mengungkapkan penurunan kesadaran meliputi pasien cardiac arrest tidak sadarkan diri.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai gangguan sistem respirasi : “Ya kan langsung disini kalo langsung nyeri di uluhati, sesak nafas.” (P1) “…nafasnya mulai nafas pendek-pendek…” (P3) “Apnea, hipotensi, penurunan kesadaran, yaitu!...” (P2) “…tiba-tiba pasien apnea dan penurunan kesadaran kita curiganya ke cardiac arrest.” (P2)

Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan gangguan sistem respirasi meliputi sesak nafas, nafas pendek dan apnea.

63

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai nyeri dada : “…nyeri dada seperti ditusuk-tusuk, nadi cepat, keluar keringat dingin…” (P1) “…ada riwayat nyeri dada.” (P2) “…kita kenali saat pasien mengeluh nyeri dada…” (P3) Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan nyeri dada meliputi nyeri dada seperti ditusuk-tusuk.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai tekanan darah rendah : “Apnea, hipotensi, penurunan kesadaran...” (P2) Pernyataan partisipan 2 tersebut diatas mengungkapkan tekanan darah rendah meliputi hipotensi.

4. Tindakan henti jantung Tindakan henti jantung meliputi : pemberian obat, monitor keadaan pasien, pemberian posisi. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pemberian obat : “…berikan terapi obat sementara sebelum dimasukan ke ICU jadi pasien bisa memperoleh perawatan yang lebih definitive.” (P2) “Kemungkinan keberhasilan tindakannya itu perlu di pikirkan juga dengan bantuan alat-alat resusitasi yang memadai atau dengan terapi obat-obatan, terapi cairan juga…” (P3)

64

Pernyataan partisipan 2 dan partisipan 3 tersebut diatas mengungkapkan pemberian obat meliputi terapi obat dan terapi cairan.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai monitor kondisi pasien: “Pertama ya kita monitor kesadaran sama nadi dulu.” (P1) “…trus kita monitor kondisi pasien…” (P2) “…harusnya setelah itu monitoring keadaan pasien.” (P3) “Jadi kita udah lakukan RJP trus nanti dalam tempo sebelum 24 jam terjadi serangan jantung lagi, makanya monitoring itu perlu.” (P3) “…terapi cairan juga harusnya setelah itu monitoring keadaan pasien.” (P3) Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan memonitor kondisi pasien meliputi monitor kesadaran, monitor kondisi dan keadaan pasien.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pemberian posisi : “Kalo headlift/ chinlift itu apa ya? itu posisinya harus ekstensi, posisi mengadah atau mendongakkan kepala pasien istilahnya secara singkat ya ekstensi harus memberi kelonggaran pada saluran pernafasan.” (P1) “Tangan kiri kita memegang dahi dan tangan kanan kita memegang dagu kita tengadahkan.” (P2) “…dengan cara tangan kita diletakkan di kening lalu tekan ke belakang, koyo (seperti) di dongakke (mengadah) ning mburi (kebelakang) ngono lah dek...”(P3) “Pernafasan dari lidah cuman caranya yang lain untuk mengatasi pasien yang mengalami penyumbatan lidah.” (P2)

65

“Head tilt/ chin lift maneuver ini tujuannya sama, sebenarnya untuk membebaskan sumbatan to?cuman caranya yang lain.” (P2) “Kalo jaw thrust maneuver adanya membebaskan sumbatan lidah yang kita curigai ada fraktur servikal jadi posisinya kita berada diatas pasien , kita pegang rahang bawah dengan kedua tangan, untuk pasien jika dicurigai leher fraktur servikal.” (P2) “Head tilt untuk membebaskan jalan nafas dari sumbatan lidah…” (P3) “…diangkat mandibulanya ke atas, ya ekstensi itu cuman beda istilah saja sama tadi.” (P1) “…jadi posisinya kita berada diatas pasien , kita pegang rahang bawah dengan kedua tangan…” (P2) “Trus tangan satunya pegang dagu dan angkat rahangnya ke depan mben (agar) giginya menutup gitu.” (P3)

Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan pemberian posisi membuka jalan nafas meliputi head tilt/ chinlift dengan posisi menengadahkan atau mendongakkan kepala pasien untuk membebaskan jalan nafas dari sumbatan lidah dan jaw thrust maneuver jika dicurigai leher fraktur servikal dengan cara memegang rahang bawah dengan kedua tangan tangan satunya pegang dagu dan angkat rahangnya ke depan agar giginya menutup.

4.2.2 Tema dari Tujuan Khusus : Mendeskripsikan tindakan perawat dalam penanganan cardiac arrest.

66

Tema – tema yang dihasilkan dari mendeskripsikan tindakan perawat dalam penanganan cardiac arrest didapatkan 6 tema yaitu pengkajian awal resusitasi jantung paru, tindakan resusitasi jantung paru, evaluasi resusitasi jantung paru, posisi recovery, dihentikan

resusitasi jantung paru, dan pemberian

faktor

obat-obatan

emergency. Tema ini didapatkan dari analisa terhadap kategorikategori yang didapat dari ungkapan keseluruhan dari partisipan. Berikut penjelasan mengenai beberapa tema tersebut: 1. Pengkajian awal resusitasi jantung paru. Pengalaman perawat mengenai pengkajian awal resusitasi jantung paru pada pasien cardiac arrest meliputi: pengkajian lokasi, pemeriksaan tingkat kesadaran, pemeriksaan nadi dan pemeriksaan pernafasan. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pengkajian lokasi : “Kita amankan pasien dari lingkungan…” (P2) “Ingat aman lingkungan, pasien, penolong...” (P3)

Pernyataan partisipan 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan pengkajian lokasi meliputi mengamankan lingkungan, pasien dan penolong.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pengkajian tingkat kesadaran :

67

“Pertama ya kita monitor kesadaran sama nadi dulu, otomatis dilakukan dengan posisi itu. Setelah henti nafas kita lakukan resusitasi itu pake ambubag jadi ambubag itu suatu alat yang ada masker untuk mendorong oksigen untuk masuk ke paruparu. Dia menekan merangsang bagian jantung, lalu ya dilakukan RJP lah dek.” (P1) “Otomatis RJP, dari kita mengkaji kesadarannya apalagi kita ketemu pasien seperti itu masih nafas spontan atau nafas satu-satu, langsung kita lakukan RJP.” (P2) “…kita pastikan pasien benar-benar tidak sadar dan ga ada nadi.” (P3) Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan pengkajian tingkat kesadaran meliputi mengkaji kesadaran sampai memastikan pasien benar-benar tidak sadar.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pemeriksaan nadi : “…lalu cek nadi kemudian kalo nadi tidak teraba…” (P2) “…lalu kita raba denyut nadi pada arteri carotis dan femoral selama 10 detik paling lama.” (P2) “…periksa nadi karotis di raba disisi leher sini dek dengan jari telunjuk 10 detik aja.” (P3) “Langsung cek nadi…” (P3) Pernyataan partisipan 2 dan partisipan 3

tersebut diatas

mengungkapkan pemeriksaan nadi meliputi meraba denyut nadi pada arteri carotis dan femoral.

Berikut

ungkapan

pernafasan :

dari

partisipan

mengenai

pemeriksaan

68

“…lalu kita raba denyut nadi pada arteri carotis dan femoral selama 10 detik paling lama.” (P2) “…periksa nadi karotis di raba disisi leher sini dek dengan jari telunjuk 10 detik aja.” (P3) “…kemudian kita cek pernafasan…” (P2) “…cek nadi dan pernafasannya ada atau tidak…” (P3) Pernyataan partisipan 2 dan partisipan 3 tersebut diatas mengungkapkan pemeriksaan pernafasan meliputi cek pernafasan selama 10 detik.

2. Tindakan resusitasi jantung paru. Pengalaman perawat mengenai penanganan sirkulasi pasien cardiac arrest meliputi resusitasi jantung paru, kedalaman kompresi dada, frekuensi kompresi dada, siklus kompresi dada dan kecepatan kompresi dada. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai resusitasi jantung paru: “Dia menekan merangsang bagian jantung, lalu ya dilakukan RJP lah dek.” (P1) “Otomatis RJP, dari kita mengkaji kesadarannya apalagi kita ketemu pasien seperti itu masih nafas spontan atau nafas satusatu, langsung kita lakukan RJP.” (P2) “…nafas ada tapi nadi belum teraba kita lakukan RJP .” (P2) Pernyataan partisipan 1 dan partisipan 2 tersebut diatas mengungkapkan resusitasi jantung paru meliputi melakukan tindakan resusitasi jantung paru

69

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai kedalaman kompresi dada : “…RJP nya 2 jari diatas sternum jadi di tulang dada kedalamanya 3 -5 cm.” (P2) “…kompresi dadanya kira-kira 5 cm dalamnya dengan telapak tangan dipaskan ditengah tulang sternum seperti ini dek (kedua siku diluruskan trus jari-jari tangan dibuat terkunci gini loh) bahu kita harus tetap tegak lurus diatas pasien ya dek...” (P3) Pernyataan partisipan 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan kedalaman kompresi dada meliputi kompresi dada kira-kira 3-5 cm dalamnya dengan telapak tangan tepat ditengah tulang sternum.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai frekuensi kompresi dada : “…30 kompresi dan 2 ventilasi dek.” (P1) “…kompresi dada dengan perbandingan 30:2 jadi 30 kompresi lalu 2 ventilasi itu…” (P2) “Setiap 5 siklus 30 kompresi dada…” (P3) Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan frekuensi kompresi dada adalah 30 kali kompresi.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai siklus kompresi dada : “Biasanya ya 5 siklus…” (P1) “…dilakukan selama 1 siklus itu selama 5 kali dalam jangka waktu 5 menit.” (P2) “Setiap 5 siklus 30 kompresi dada…” (P3)

70

Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan siklus kompresi dada adalah 5 siklus.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai kecepatan kompresi dada : “…RJP nya 2 jari diatas sternum jadi di tulang dada kedalamanya 3 -5 cm dengan frekuensi selama kurang lebih 100x/menit.” (P2) “Kompresi dadanya kira-kira 5 cm dalamnya dengan telapak tangan dipaskan ditengah tulang sternum seperti ini dek (kedua siku diluruskan trus jari-jari tangan dibuat terkunci gini loh) bahu kita harus tetap tegak lurus diatas pasien ya dek, temponya cepat banget minimal 100x/menit.” (P3) Pernyataan partisipan 2 dan partisipan 3 tersebut diatas mengungkapkan kecepatan kompresi dada adalah 100x/menit.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai teknik membuka jalan nafas : “Jangan lupa head tilt tadi apa yang jaw thrust. Kompresi dadanya kira-kira 5 cm dalamnya dengan telapak tangan dipaskan ditengah tulang sternum seperti ini dek (kedua siku diluruskan trus jari-jari tangan dibuat terkunci gini loh) bahu kita harus tetap tegak lurus diatas pasien ya dek, temponya cepat banget minimal 100x/menit.” (P3) “Tapi kalo udah ada nadi tapi belum bernafas ya breathing selama 10 kali/menit.” (P3) “Ngitungnya tu “satu ribu, dua ribu, tiga ribu, empat ribu, lima ribu” semenit 10 tiupan dek.” (P3) “…pemenuhan oksigen dalam otak. Ya kita ngasih oksigenasi dulu, buka jalan nafasnya trus yaa breathingnya kita beri ventilasi 2 kali.” (P1)

71

“…dan 2 ventilasi dek.” (P1) “…kita beri ventilasi 2 kali kalo sudah kita lakukan…” (P2) “…lalu 2 ventilasi itu dilakukan selama 1 siklus itu selama 5 kali dalam jangka waktu 5 menit.” (P2) “…lalu 2 kali bantuan nafas…” (P3) Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan teknik membuka jalan nafas meliputi head tilt dan jaw thrust, breathing selama 10 kali/menit dan 2 kali bantuan nafas.

3. Evaluasi resusitasi jantung paru. Pengalaman perawat mengenai mengevaluasi pasien cardiac arrest setelah resusitasi jantung paru meliputi pemeriksaan nadi dan pernafasan. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pemeriksaan nadi dan pernafasan : “Kalo satu siklus itu sudah kita lakukan kita cek nadi dan pernafasan kalo nafas ada tapi nadi belum teraba kita lakukan RJP lagi 1 siklus lagi lalu kita lakukan cek nadi lagi itu…” (P2) “Kalo sudah ada tanda-tanda membaik ada nadi, terus nafas spontan tadi atau pasien sudah dinyatakan meninggal itu pupil kalo sudah melebar mediatris maksimal jadi pasien sudah meninggal.” (P2) “…jadi ya perawat harus selalu siap tenaga dan kondisi soalnya nanti selesei siklus ke 5 terus dicek nadi lagi.” (P3) “…di periksa lagi nadi sama pernafasan pasien dek setiap 2 menit...” (P3) “…di periksa lagi nadi sama pernafasan pasien dek setiap 2 menit...” (P3)

72

Pernyataan partisipan 2 dan partisipan 3 tersebut diatas mengungkapkan pemeriksaan nadi dan pernafasan meliputi memeriksa ada nadi dan nafas spontan setiap 2 menit.

4. Posisi recovery Pengalaman perawat mengenai pemberian posisi recovery meliputi posisi sisi mantap dan teknik posisi sisi mantap. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai posisi sisi mantap: “…saumpama sudah muncul semua ya tinggal di posisikan recovery.” (P3) “…boleh aja gaperlu posisi recovery seperti tadi, tidur terlentang biasa ya gamasalah.” (P3) Pernyataan partisipan 3 tersebut diatas mengungkapkan posisi sisi mantap adalah posisi recovery.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai teknik posisi sisi mantap : “Gimana ya jelasinnya dek, kalo ga keadaan terlentang ya bingung, pokoknya punggung tangan kanan menyentuh pipi dan kepala tapi kakinya ditekuk 900 gini…” (P3) “…posisi telapak tangan satunya menghadap atas dan kakinya diluruskan…” (P3) Pernyataan partisipan 3 tersebut diatas mengungkapkan teknik posisi sisi mantap yaitu pasien terlentang dengan punggung tangan kanan menyentuh pipi dan kepala, telapak tangan satunya

73

menghadap atas. Salah satu kaki ditekuk 900 dan posisi kaki satunya diluruskan.

5. Faktor dihentikan resusitasi jantung paru. Pengalaman perawat mengenai faktor dihentikan resusitasi jantung paru meliputi henti nafas dan meninggal. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai henti nafas: “…nafas dihitung normalnya 28x/ menit ya dalam satu menit dua menit tiga kali nafas atau beberapa sampai 15 menit di RJP tidak berespon ya itu dah henti nafas.” (P1) Pernyataan partisipan 1 tersebut diatas mengungkapkan setelah di RJP pasien tidak berespon merupakan henti nafas.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai meninggal: “…atau pasien sudah dinyatakan meninggal itu pupil kalo sudah melebar mediatris maksimal jadi pasien sudah meninggal.” (P2) Pernyataan partisipan 2 tersebut diatas mengungkapkan RJP dihentikan saat pasien sudah dinyatakan meninggal.

6. Pemberian obat-obatan emergency Pengalaman perawat mengenai pemberian obat-obatan emergency meliputi jenis obat emergency atau resusitasi jantung paru dan fungsi obat emergency atau resusitasi jantung paru. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai jenis obat emergency atau resusitasi jantung paru :

74

“Paling ya dopamine, epineprine, vasonepressin, atropine.” (P1) “Terapi injeksinya? Kalo terapi injeksi itu jane dokter ya, cuma sepengetahuanku itu epineprin sama amiodaron…” (P2) “…kalo pasien kehilangan kesadaran apa hipotensi berat ya epineprin kalo amiodaron…” (P2) “Kalo morfin itu untuk mengurangi nyeri dadanya, untuk pasien kayak AMI, infark, angina beta blockres itu perlu morfin itu sejenis penenang dosis tinggi, kalo nyeri tingkat tinggi kita kasih morfin…” (P2) “…adrenalin itu untuk tensi ngedrop itu baru dikasih, dopamine itu juga untuk hipotensi itu.” (P2) “Biasanya itu ya epinefrin…” (P3) “…apa adrenalin satu ampul sama aja 1 mg itu untuk henti jantung, fibrilasi, takikardi bisa juga menaikkan tekanan darah gitu dek.” (P3) “…Amiodaron ya ada, dopamin atau dobutamin jika tekanan darahnya sistolik 70-100 mmHg. Atropin itu menaikkan denyut nadi dek.” (P3) Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan jenis obat emergency atau resusitasi jantung paru meliputi dopamine atau dobutamin, epineprine, vasonepressin, atropine, amiodaron dan morfin. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai fungsi obat emergency atau resusitasi jantung paru : “Kalo amiodaron itu fungsinya untuk melenturkan otot-otot jantung jadi suplai O2 sama darahnya bisa lancar lagi jadi aliran darah keseluruh tubuh berhenti berartikan jadi aliran ke otak otomatis juga tidak ada atau berkurang nanti kalo menyebabkan hipoksia itu berlarut-larut akan menyebabkan kematian.” (P2)

75

“Seorang perawat tidak berhak boleh memberikan terapi cuman melakukan perintah memberikan terapi bisa biar pasien itu gak nyeri...” (P1) “Kalo morfin itu untuk mengurangi nyeri dadanya.” (P2) “…sama mengoptimalkan fungsi jantung.” (P1) “…dopamine itu juga untuk hipotensi itu.” (P2) “…dopamin atau dobutamin jika tekanan darahnya sistolik 70-100 mmHg.” (P3) “…adrenalin itu untuk tensi ngedrop itu baru dikasih…” (P2) “…untuk pasien kayak AMI, infark, angina beta blockres itu perlu morfin itu sejenis penenang dosis tinggi, kalo nyeri tingkat tinggi kita kasih morfin…” (P2) “Biasanya itu ya epinefrin apa adrenalin satu ampul sama aja 1 mg itu untuk henti jantung, fibrilasi, takikardi bisa juga menaikkan tekanan darah gitu dek.” (P3) “Atropin itu menaikkan denyut nadi dek.” (P3)

Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan fungsi obat

emergency atau resusitasi jantung paru meliputi

amiodaron berfungsi untuk melenturkan otot-otot jantung sehingga suplai O2 dan darah dapat lancar kembali. Morfin berfungsi untuk mengurangi nyeri dada. Dopamine atau dobutamin berfungsi untuk tekanan darah sistolik 70-100 mmHg atau hipotensi. Adrenalin dan epinefrin berfungsi untuk henti jantung, fibrilasi, takikardi dan menaikkan tekanan darah. Atropin berfungsi untuk menaikkan denyut nadi.

76

4.2.3 Tema dari Tujuan Khusus : Mengidentifikasi faktor pendukung perawat dalam penanganan cardiac arrest. Tema – tema yang dihasilkan dari mengidentifikasi faktor pendukung perawat dalam penanganan cardiac arrest didapatkan 3 tema yaitu pengetahuan perawat, sarana pendukung dan kesiapan perawat. Tema ini didapatkan dari analisa terhadap kategori- kategori yang didapat dari ungkapan keseluruhan dari partisipan. Berikut penjelasan mengenai beberapa tema tersebut: 1. Pengetahuan perawat Pengalaman perawat mengenai faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat dalam penanganan cardiac arrest meliputi tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan pelatihan.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai tingkat pendidikan : “…serta latar belakang pendidikan mereka pendidikan minimal D3…” (P1) “Rata-rata sudah berpendidikan S1 keperawatan dan sudah mengikuti pelatihan PPGD kalo yang baru ini ada 3 perawat dek lulusan D3…” (P3) Pernyataan partisipan 1 dan partisipan 3 tersebut diatas mengungkapkan tingkat pendidikan meliputi latar belakang pendidikan lulusan D3 dan S1.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pengalaman kerja : “…dan pengalaman kerja yang sudah cukup…” (P1)

77

“Ini yang paling mempengaruhi itu pengalaman, ilmu. Lebih baik ke pengalaman daripadi ilmu soalnya jika punya ilmu tapi tidak diterapkan itu ya percuma kemudian itu ilmu pengalaman.” (P2) “…perawat disini punya skill yang terampil juga dan tenaganya roso-roso loh dek.hehhe.” (P3) “…kan makin lama usia makin lama pengalamannya.” (P3) Pernyataan partisipan 1 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan pengalaman kerja meliputi lama pengalaman dan

ilmu

pengalaman.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pelatihan : “…apalagi yang sudah mengikuti pelatihan.” (P1) “…jadi jika mau melakukan RJP itu harus dengan orang yang sudah terlatih karena itu resikonya besar ke fraktur costa kalo sampai terjadikan kita nanti bisa di tuntut.” (P2) “…pelatihan , kondisi fisik perawat...” (P2) “…dan sudah mengikuti pelatihan PPGD dan BTCLS…” (P3) “Seperti pengetahuan dan kompetensi dari pelatihan atau penerapan pengetahuannya pas dibangku kuliah yang perawat miliki biasanya di sharingkan ke teman-teman seprofesi.” (P3) Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan pelatihan meliputi pengetahuan dan kompetensi dari pelatihan, pelatihan PPGD dan BTCLS.

78

2. Sarana Pendukung Sarana di ruangan yang mendukung dalam tindakan penanganan pasien henti jantung meliputi peralatan yang lengkap. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai peralatan : “Soal peralatan ada tapi kalo lengkapnya dikatakan bisa, pasang ETT (endotracheal tube) ada, laringoscope ada, EKG ada”. (P1) “Disini itu sarana fasilitasnya mendukung dan lengkap, ada DC shock, ambu bag, oksigen ada.” (P2) “Dalam menjalankan pekerjaan itu kita sudah didukung oleh fasilitas yang lengkap...” (P3) “Ada disini juga, ambubag adanya disini, khusus resusitasi masker dengan bola didorong ada yang menekan pada dada, yang elektrik juga ada tapi lali aku, tapi jarang dilakukan disini, biasanya pada istilahnya cuma pake manual gitu.” (P1) “Cobo tak sebutke siji-siji dek. Infus, oksigenasi, masker oksigen, kateter, ambu bag, suction, bed, alat steril, alat tensi, EKG, ventilator, DC shock, defibrillator sama obat-obatan emergency. Pokoknya ada dek.” (P3)

Pernyataan 1, 2 dan 3 partisipan tersebut diatas mengungkapkan peralatan

resusitasi

meliputi

ETT

(endotracheal

tube),

laringoscope, EKG, ambu bag, suction, bed, alat steril, alat tensi, ventilator, defibrillator dan obat-obatan emergency.

3. Kesiapan perawat Faktor kesiapan perawat dalam penanganan pasien cardiac arrest meliputi berpikir kritis, fokus, melindungi diri dan melakukan tindakan dengan tepat.

79

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai berpikir kritis : “Ya kita selalu standby apapun situasi yang terjadi, yang penting kita bisa membuat keputusan saat penanganan...” (P1) “Nyawa pasien itu kita yang perjuangkan jadi harus bisa memberi keputusan…” (P3) “…makanya kita perlu berpikir kritis jadi kita bisa siap dalam menghadapi apapun itu kondisi yang dialami pasien.” (P3) “…dan hati-hati datang.” (P1)

dek bagaimanapun kondisi pasien yang

“Perawat itu melakukan tindakan itu harus memperhatikan kedepannya.” (P2) “…berhati-hati saat RJP” (P3) “Yaa seperti itulah dek, simple tapi hati-hati.” (P3) “…ketelitian itu juga penting loh dek, saumpama nadi pasien sudah ada tapi kita kira-kira belum ya bahaya itu. Tambah nyesek malahan pasiennya…” (P3) Pernyataan partisipan 1, 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan perawat berpikir kritis meliputi dapat membuat keputusan saat penanganan,

berhati-hati,

setiap

tindakan

memperhatikan

kedepannya dan teliti.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai fokus : “Setiap kita melakukan RJP otomatis yang kompresi itu tidak perlu menghitung yang berkewajiban menghitung kompresi itu yang ventilator saja, soalnya nanti konsentrasi kita akan terbagi. Yang menghitung siklus ya ventilatornya yang pegang ambubag itu.” (P2) “Ya kondisi perawat itu sendiri harus prima dan kuat agar saat tindakan kita dapat berkonsentrasi...” (P3)

80

Pernyataan partisipan 2 dan 3 tersebut diatas mengungkapkan fokus meliputi berkonsentrasi saat tindakan.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai melindungi diri : “...itu bakal akibatnya apa trus kondisi pasien akan bagaimana selain itu kita harus proteksi diri selain itu saumpama tidak ada ambubag kita menangani pasien dijalan raya kita perlu pakai mounth to mounth.” (P2) “Kalo kompresi oke saja hanya dengan tangan kalo ventilasi saumpama pasien ada TB paru atau HIV jadi keamanan perawat juga harus diperhatikan. Kalo mounth to mounth langsung itu sangat berbahaya sekali.” (P2) Pernyataan

partisipan

2

tersebut

diatas

mengungkapkan

melindungi diri meliputi proteksi diri dan memperhatikan keamanan perawat.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai tindakan perawat : “Ya langsung di RJP segera setelah kita ketahui tandanya tadi. Tim perawat akan memulai persiapan, ada yang akan langsung kompresi dada, ada yang ambil alat ventilator atau mengeset alat defribilator tapi jangan lupa harus ada yang menghubungi dokter jaga, sama persiapan obat tapi itu sesuai kewenangan dokter. Semua itu buat jagani kalo pasien tidak tertangani gitu dek. Pokoknya kita lakukan semua sesuai aturan.” (P3) Pernyataan partisipan 3 tersebut diatas mengungkapkan tindakan perawat

meliputi

memulai

persiapan,

mengompresi

dada,

81

mengambil alat ventilator atau mengeset alat defribilator, menghubungi dokter jaga dan persiapan obat . 4.2.4 Tema dari Tujuan Khusus : Mengidentifikasi faktor penghambat perawat dalam penanganan cardiac arrest. Tema – tema yang dihasilkan dari mengidentifikasi faktor penghambat perawat dalam penanganan cardiac arrest didapatkan 3 tema yaitu hambatan sarana dan prasarana, faktor pasien dan faktor keluarga. Tema ini didapatkan dari analisa terhadap kategori- kategori yang didapat dari ungkapan keseluruhan dari partisipan. Berikut penjelasan mengenai beberapa tema tersebut: 1. Hambatan sarana dan prasarana. Pengalaman perawat

mengenai

hambatan sarana dan

prasarana dalam penanganan cardiac arrest meliputi: tempat dan keterbatasan alat. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai tempat : “Tempat penuh, menghambatnya tidak bisa melakukan dek...soalnya kan yang harus diruangan malah masih di rawat di IGD, jadi selain kita melayani pasien yang baru datang juga yang masih di rawat disini.” (P1) Pernyataan partisipan 1 tersebut diatas mengungkapkan hambatan sarana adalah tempat penuh.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai keterbatasan alat : “…terus di RJP di sini ya lumayan kualahan kan, alatnya juga terbatas hanya beberapa saja kecuali kalo dengan

82

manual ventilatornya pake mounth to mounth tapi ya bahaya juga sih untuk perawatnya dek, tapi kan satu shift ada 4 perawat dan adik-adik praktikan.” (P3)

Pernyataan

partisipan

3

tersebut

diatas

mengungkapkan

keterbatasan alat meliputi alat di ruang IGD terbatas atau hanya beberapa.

2. Faktor pasien Faktor pasien yang menghambat dalam penanganan cardiac arrest meliputi : penolakan tindakan dan kondisi pasien. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai penolakan tindakan : “…edukasi dengan keluarga pasien itu kadang ada faktor pendukung ya atau tidak, jika pasien tidak setuju ya kita harus ngikut tapi jika pasien kooperatif.” (P2) “…pasien menolakpun ada hitam diatas putihnya.” (P2) Pernyataan partisipan 2 tersebut diatas mengungkapkan penolakan tindakan meliputi pasien tidak setuju atau menolak di resusitasi.

Berikut ungkapan dari partisipan mengenai kondisi pasien : “Ya tadi dek, pasiennya yang sudah menderita penyakitnya lama…” (P3) “…dan sudah makin tua juga gak bisa menahan rasa sakitnya itu. Yang penting kita sebagai perawat itu sudah berusaha.” (P3)

83

Pernyataan partisipan 3 tersebut diatas mengungkapkan kondisi pasien meliputi menderita penyakit yang lama dan faktor usia pasien sudah tua.

3. Faktor keluarga Faktor keluarga yang menghambat dalam penanganan cardiac arrest meliputi : Penolakan keluarga. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai penolakan keluarga : “Paling kalo dari pasien itu keluarganya ada yang tidak menghendaki melakukan RJP karena mbahe mpun sepuh mungkin mboten tegel, tapi dengan syarat ada pendokumentasian misal nama pasien, alamat, umur, kondisi pasien seperti ini, harus ada tanda tangan dokter missal…” (P2) “Sebetulnya perawat harus menanyakan terlebih dahulu dek sama keluarga atau kerabat yang bersama pasien, walaupun memang harus di RJP yaaa tapi kan keluarga pasien menolak yaudah dek kita hentikan kompresinya. Kan ada itu keluarga yang tidak kooperatif sama tindakan medis.” (P3) “…harus dengan ijin keluarga…” (P2) Pernyataan partisipan 2 tersebut diatas mengungkapkan penolakan keluarga meliputi keluarga pasien tidak menghendaki pasien di resusitasi jantung paru dan keluarga tidak kooperatif.

BAB V PEMBAHASAN

5.5 Pengetahuan perawat tentang penanganan cardiac arrest. 5.1.1 Definisi henti jantung Hasil penelitian menyatakan bahwa definisi henti jantung meliputi henti jantung dan gangguan irama jantung berupa kematian penyakit jantung mendadak, jantung tidak berdenyut, ventrikel takikardi, ventrikel fibrilasi, pulseless electrical activity dan asistol. Henti jantung (cardiac arrest) adalah keadaan di mana sirkulasi darah berhenti akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. Keadaan henti jantung ditandai dengan tidak adanya nadi dan tanda–tanda sirkulasi lainnya (American Heart Association, 2010). Kematian jantung mendadak adalah berhentinya fungsi jantung secara tiba-tiba pada seseorang yang telah atau belum diketahui menderita penyakit jantung. Waktu dan kejadiannya tidak diduga-duga, yakni segera setelah timbul keluhan. Kejadian

cardiac arrest

yang

menyebabkan kematian mendadak terjadi ketika sistem kelistrikan jantung menjadi tidak berfungsi dengan baik dan menghasilkan irama jantung yang tidak normal yaitu hantaran listrik jantung menjadi cepat (ventricular tachycardia) atau tidak beraturan (ventricular fibrillation) (Subagjo A, 2011).

84

85

Henti jantung primer (cardiac arrest) adalah ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal jika dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian dan kerusakan otak menetap jika tindakan tidak adekuat. Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh ventricle fibrillation atau takikardia tanpa denyutan (8090%) terutama kalau terjadinya di luar rumah sakit, asistole (± 10%) dan electro-mechanical dissociation (± 5%) (Nolan J. P. et al, 2010). Lima dari 1000 pasien yang dirawat di rumah sakit dibeberapa negara berkembang diperkirakan mengalami henti jantung dan kurang dari 20% dari jumlah pasien tersebut tidak mampu bertahan hingga keluar dari rumah sakit (Goldbelger, 2012). Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengertian henti jantung yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu mengungkapkan bahwa henti jantung merupakan kematian penyakit jantung yang mendadak dan jantung tidak berdenyut atau denyut nadi tidak teraba sehingga sirkulasi aliran darah keseluruh tubuh berhenti yang ditandai oleh gangguan irama jantung yaitu ventrikel takikardi, ventrikel fibrilasi, pulseless electrical activity dan asistol.

.

86

5.1.2 Penyebab henti jantung Hasil penelitian menyatakan bahwa penyebab henti jantung meliputi suatu peristiwa dan gangguan sirkulasi tubuh berupa tersengat listrik, tenggelam, aritmia, sirkulasi aliran darah keseluruh tubuh berhenti dan hipoksia. Peristiwa penyebab terjadinya pasien henti jantung adalah suatu situasi trauma akibat kecelakaan, seperti tenggelam juga merupakan kasus kegawatan pernafasan karena mengakibatkan gangguan paru, jadi sebagian besar memerlukan tindakan resusitasi untuk menolong korban dari ancaman kematian (Muhiman, Muhardi.dkk. 2012). Tenggelam (drawning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke dalam cairan (Onyekwelu, 2008). Onyekwelu (2008) menyatakan beberapa kegawatdaruratan yang dapat terjadi pada keadaan near drowning yakni pada korban hampir tenggelam menunjukkan bradikardi berat. Bradikardi dapat timbul karena refleks fisiologis saat berenang di air dingin atau karena hipoksia. Perubahan pada fungsi kardiovaskuler yang terjadi pada hampir tenggelam sebagian besar akibat perubahan tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) dan gangguan keseimbangan asam-basa. Henti nafas terjadi dalam keadaan seperti: tenggelam atau lemas, stroke, obstruksi jalan nafas, epiglotitis, overdosis obat-obat, tersengat listrik, infark

87

miokard, tersambar petir, koma akibat berbagai macam kasus (Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2012). Irama

denyut

jantung

yang

tidak

teratur

(arrhythmia)

menyebabkan jantung berhenti berdenyut secara mendadak. Kejadian cardiac arrest disebabkan karena perlambatan denyut jantung yang berlebihan (bradycardia) (American Heart Association, 2010). Penyebab cardiac arrest menurut ACLS 2010 adalah hypoxia. Hypoxia merupakan keadaan berkurangnya oksigen di dalam tubuh. Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai penyebab henti jantung yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu aliran jantung berhenti karena kondisi pasien yang disebabkan oleh tersengat listrik dan tenggelam. Partisipan mencurigai karena pasien hypoxia, jantung berhenti berdenyut diakibatkan timbulnya aritmia dan sirkulasi aliran darah keseluruh tubuh berhenti.

5.1.3 Tanda dan gejala henti jantung Hasil penelitian menyatakan bahwa tanda dan gejala henti jantung meliputi nadi berhenti berdenyut, penurunan kesadaran, gangguan sistem respirasi, nyeri dada dan tekanan darah rendah berupa denyut nadi tidak teraba, pasien cardiac arrest tidak sadarkan diri, sesak nafas, nafas pendek, apnea, nyeri dada seperti ditusuk-tusuk dan hipotensi.

88

Nadi berhenti berdenyut merupakan rambatan dari denyut jantung yang dihitung tiap menitnya dengan hitungan repetisi (kali/menit), dengan denyut nadi normal 60- 100 kali/menit (Majid, 2010). Henti jantung dibuktikan dengan pulsasi nadi yang tidak teraba. Akibat dari tidak adekuatnya sirkulasi otak, pasien dapat mengalami penurunan kesadaran dan dapat mengalami henti napas (Parnia, 2007). Henti jantung merupakan kematian diartikan sebagai hilangnya kesadaran dan semua refleks, disertai berhentinya pernafasan dan peredaran darah yang irreversibel. Oleh karena itu resusitasi merupakan segala usaha untuk mengembalikan fungsi sistem pernafasan, peredaran darah dan saraf yang terhenti atau terganggu sedemikian rupa sehingga fungsinya dapat berhenti sewaktu-waktu, agar kembali menjadi normal seperti semula (Judarwanto, 2012). Kegawatan pernafasan adalah sindroma gawat nafas, sindroma gawat nafas terjadi dalam waktu 24 - 48 jam. Penderita akan merasakan sesak nafas, pernafasan yang cepat dan dangkal. Karena rendahnya kadar oksigen dalam darah, kulit terlihat pucat atau biru dan organ lain seperti jantung dan otak akan mengalami kelainan fungsi sehingga cardiac arrest (Judarwanto, 2012). Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen. Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba disertai

89

kebiruan atau pucat, pernafasan berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar (Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2012). Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai tanda dan gejala henti jantung yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu pasien datang ke IGD dengan penurunan kesadaran atau pasien memang sudah tidak sadar, tiba-tiba pasien apnea sehingga dapat di curigai ke cardiac arrest yang dapat bertahan lebih dari 20 menit atau pasien langsung tidak sadarkan diri. Cardiac arrest ditandai denyut nadi tidak teraba atau berhenti, jadi serangan jantung mendada dan jantung tidak memompa sama sekali sehingga

diperlukan

penanganan

secara

cepat

dan

tepat.

Pasien mengeluhkan nyeri di uluhati, sesak nafas, nafasnya mulai nafas pendek-pendek, apnea, hipotensi, dan keluar keringat dingin yang di curigai ke cardiac arrest.

5.1.4 Tindakan henti jantung Hasil penelitian menyatakan bahwa tindakan henti jantung meliputi pemberian obat, monitor keadaan pasien dan pemberian posisi berupa terapi obat, terapi cairan, monitor kesadaran, monitor kondisi dan keadaan pasien, pemberian posisi membuka jalan nafas dengan head tilt/ chinlift dan jaw thrust.

90

Tindakan atau ketrampilan (practice) merupakan aktifitas (fisik) yang mencerminkan kemampuan motorik dalam psikomotor seseorang (Mubarak, 2011). Tindakan ini dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan yaitu praktik terpimpin (seseorang melakukan suatu kegiatan tetapi masih

tergantung

atau

menggunakan

panduan),

praktik

secara

mekanisme (tindakan seseorang yang dilakukan secara otomatis), adopsi (tindakan yang sudah dikembangkan) (Notoatmojo, 2010). Drugs and fluid intravenous infusion (pemberian obat-obatan dan cairan melalui infus intravena tanpa menunggu hasil EKG). Bantuan hidup lanjut (korban dinyatakan belum mati dan belum timbul denyut jantung spontan) dapat diberikan berupa obat-obatan yaitu : adrenalin, natrium bikarbonat, sulfat atropine, lidokain, isoproterenol, propranolol, kortikosteroid, natrium bikarbonat ntuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal: 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas, jika belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama (Soerianata S, 2008). Electrocardioscopy

(Cardiography) adalah monitoring EKG

dilakukan untuk melihat bentuk henti jantung apakah asistol ventrikular, fibrilasi ventrikular atau kompleks aneh yang lain seperti disosiasi elektromekani. Fibrilation treatment (terapi fibrilasi atau defibrilasi)

91

adalah cara mengatasi fibrilasi jika mulanya henti jantung disaksikan dengan EKG dilakukan precordial thumb, apabila tidak berhasil dilakukan defibrilasi eksternal dengan syok listrik dan obat-obatan. Jika penanganan belum berhasil, dapat diberi lignokain (lidokain) 1-2 mg/kg BB IV untuk menurunkan ambang rangsang. Jika diperlukan dapat diteruskan dengan tetesan infus (1-4 mg/menit). Kemudian ulangi syok listrik, jika belum berhasil dapat diberi prokainamid 1-2 mg/kg BB IV dengan tetap mengulangi syok listrik, jika gagal juga dapat diberikan bretilium dapat ditinggikan hingga 10 mg/kg BB sampai dosis total 30 mg/kg BB. Bretilium ini merupakan obat terakhir yang tersedia apabila dengan obat ini juga tidak berhasil maka ditegakkan diagnosis kematian jantung (Alexander RH, 2013). Berdasarkan

hasil

penelitian

bahwa

pernyataan

mengenai

pemberian obat yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu memberikan terapi obatobatan dan terapi cairan kepada pasien post cardiac arrest sehingga memperoleh perawatan yang lebih definitive. Memonitor kondisi pasien dengan cara melihat pupil yang normal akan sama antara mata kiri dan kanan, berukuran 2-4 mm. Pupil yang mengalami dilatasi dan terfiksir, menunjukkan kematian batang otak dan hipoksia berat pada tingkat akhir. Bentuk pupil yang normal adalah bulat, pupil memberikan reaksi yang cepat terhadap cahaya terang karena pupil berfungsi sebagai diafragma yang mengatur jumlah sinar

92

yang sampai ke retina. Jika reaksi tersebut lambat, menunjukkan adanya penekanan parsial pada nervus III, sedangkan jika penekanan tersebut komplit maka reaksi tersebut tidak akan dijumpai. Pupil yang unisokor pada orang yang sadar penuh tidak menunjukkan efek massa. Tanda vital sangat penting dalam observasi pasien cardiac arrest karena dapat memberikan banyak informasi mengenai keadaan pasien dengan perubahan tanda-tanda vital terlebih dahulu. Tanda vital tersebut mencakup suhu, nadi, dan tekanan darah. Metabolisme meningkat sekitar 10% untuk setiap derajat peningkatan suhu tubuh. Hal ini sangat berdampak buruk terhadap pasien tersebut yang memang sudah mengalami gangguan suplai oksigen dan glukosa. Takikardia sebagai respons autonom terhadap kerusakan hipotalamus juga dapat dijumpai pada tahap akhir dari peningkatan tekanan intrakranial. Aritmia dapat ditemukan jika terdapat darah dalam lesi fossa posterior. Hipotensi dapat memperburuk keadaan pasien, perfusi otak yang kurang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak secara menyeluruh. Pola dan frekwensi pernafasan dapat memberikan gambaran tentang keadaan jantung. Jika frekwensi nafasnya cepat (> 28 kali permenit) dan tidak teratur, merupakan keadaan emergensi yang harus segera dilaporkan kepada dokter (Aucken, J, Crawford, 2011). Pernyataan mengenai monitor keadaan dan kondisi pasien cardiac arrest yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan teori yang sudah ada tetapi partisipan tidak mengungkapkan cara melakukannya yaitu

93

partisipan melakukan tindakan pertama dengan memonitor kesadaran dan nadi kemudian memeriksa kondisi pasien dengan memperhatikan terapi cairan kemudian kembali memonitoring keadaan pasien, karena sesudah melakukan RJP dalam tempo sebelum 24 jam ada kemungkinan terjadi serangan jantung lagi. Berdasarkan hasil penelitian bahwa pernyataan mengenai tindakan henti jantung yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu pemberian posisi membuka jalan nafas meliputi head tilt/ chinlift dengan posisi menengadahkan atau mendongakkan kepala pasien untuk membebaskan jalan nafas dari sumbatan lidah dan jaw thrust maneuver jika dicurigai leher fraktur servikal dengan cara memegang rahang bawah dengan kedua tangan tangan satunya pegang dagu dan angkat rahangnya ke depan agar giginya menutup. Setelah pasien henti jantung di IGD maka perawat memonitor kondisi pasien dalam kurung waktu sebelum 24 jam terjadi serangan jantung kembali dengan memberikan terapi obat-obatan dan terapi cairan sementara sebelum dimasukan ke ICU sehingga pasien memperoleh perawatan yang lebih definitive atau menggunakan bantuan alat-alat resusitasi yang memadai. Pernyataan mengenai teknik pemberian posisi saat airway yang di ungkapkan oleh partisipan mengenai head tilt-chin lift tidak sesuai dengan teori yang sudah ada yaitu teknik dasar pembukaan jalan napas atas dengan mengangkat kepala-angkat dagu. Teknik dasar ini akan

94

efektif apabila obstruksi napas disebabkan lidah atau relaksasi otot pada jalan napas atas. Pasien yang menderita trauma diduga mengalami cedera leher, lakukan penarikan rahang tanpa mendorong kepala. Jaw trust adalah memegang pada angulus mandibulae, dorong mandibula ke depan (ventral). Manuver ini aman dilakukan pada pasien trauma. Pernyataan mengenai tujuan pemberian posisi head tilt-chin lift yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan teori yang sudah ada karena mengelola jalan napas yang terbuka dan memberikan ventilasi merupakan prioritas, maka mendorong kepala lalu menarik dagu apabila penarikan rahang saja tidak membuka jalan napas adalah teknik head tilt dan chin lift yang efektif untuk membuka jalan napas tetapi harus dihindari pada kasus cedera tulang leher atau servikal (American Heart Association, 2010). Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti bahwa terapi cairan dan obat-obatan penunjang resusitasi di IGD sudah lengkap walaupun dari segi monitoring kondisi pasien lebih intensif dan lengkap alat di ICU. Dalam pemberian posisi membuka jalan nafas partisipan memberikan dengan head tilt/ chinlift dan jaw thrust tetapi ada perbedaan dalam melakukannya sesuai teori yang sudah ada.

95

5.2 Tindakan perawat dalam penanganan cardiac arrest. 5.2.1 Pengkajian awal resusitasi jantung paru Hasil penelitian menyatakan bahwa pengkajian awal resusitasi jantung paru meliputi pengkajian lokasi, pemeriksaan tingkat kesadaran, pemeriksaan nadi dan pemeriksaan pernafasan berupa mengamankan lingkungan,

pasien

dan

penolong,

mengkaji

kesadaran

sampai

memastikan pasien benar-benar tidak sadar, meraba denyut nadi pada arteri carotis dan femoral, pemeriksaan pernafasan selama 10 detik. Menurut American Heart Association (2010) setelah memeriksa keamanan pasien, penolong dan lingkungan dilanjutkan dengan memeriksa kemampuan respon penderita, sambil meminta pertolongan untuk mengaktifkan sistem gawat darurat dan menyediakan AED. Memeriksa respon dengan memanggil dan menepuk-nepuk pundak atau menggoyangkan badan penderita (Check responsiveness). Pemeriksaan denyut nadi merupakan cara untuk mengetahui sirkulasi darah yang paling sederhana. Denyut nadi merupakan sebagaian besar indeks pekerjaan jantung tetapi elastilitas pembuluh darah yang lebih besar, viskositas darah, resistensi arteriol dan kapiler memegang peranan dalam menetapkan sifat-sifat tertentu dari denyut nadi (Hairy, 2013). Sebelum pelaksanaan prosedur, nilai kondisi pasien secara berturut-turut: pastikan pasien tidak sadar, pastikan tidak bernafas, pastikan nadi tidak berdenyut, dan interaksi yang konstan dengan pasien (Krisanty. dkk, 2009).

96

Penelitian

yang

telah

dilakukan

mengenai

resusitasi

menunjukkan baik penolong awam maupun tenaga kesehatan mengalami kesulitan dalam melakukan pemeriksaan pulsasi arteri carotis. Sehingga untuk hal tertentu pengecekan pulsasi tidak diperlukan, seperti: penolong tidak perlu memeriksa nadi dan langsung mengasumsikan penderita menderita henti jantung jika penderita mengalami pingsan mendadak, atau tidak berespons tidak bernapas, atau bernapas tidak normal. Penilaian pulsasi sebaiknya dilakukan kurang dari 10 detik. Jika dalam 10 detik penolong belum bisa meraba pulsasi arteri, maka segera lakukan kompresi dada. Jika teraba nadi berikan 1 kali napas tiap 5-6 detik. Cek nadi tiap 2 menit. Jika tidak teraba nadi lanjutkan dengan kompresi (American Heart Association, 2010). Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai pengkajian awal resusitasi jantung paru yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu perawat memastikan bahwa lingkungan sekitar, pasien dan penolong sudah aman untuk melakukan pertolongan resusitasi. Memastikan pasien benar-benar tidak sadar. Memeriksa denyut nadi pada arteri carotis dan femoral dengan cara nadi carotis diraba disisi leher dengan jari telunjuk selama kurang dari 10 detik kemudian memeriksaan pernafasan. Tetapi partisipan tidak menyebutkan

cara

melakukan

pemeriksaan

tingkat

kesadaran,

pemeriksaan nadi secara jelas dan pemeriksaan pernafasan pasien.

97

5.2.2 Tindakan resusitasi jantung paru Hasil penelitian menyatakan bahwa tindakan resusitasi jantung paru meliputi resusitasi jantung paru, kedalaman kompresi dada, frekuensi kompresi dada, siklus kompresi dada, kecepatan kompresi dada dan teknik membuka jalan nafas berupa melakukan tindakan resusitasi jantung paru setelah pasien berhenti nadi dan pernafasannya, kompresi dada 3-5 cm, frekuensi kompresi dada selama 30 kali kompresi, siklus kompresi dada selama 5 siklus, kecepatan kompresi dada selama 100x/menit, head tilt dan jaw thrust, breathing. Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang diberikan antara 5 sampai 7 menit dari korban mengalami henti jantung, akan memberikan kesempatan korban untuk hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan defibrillator yang mudah diakses di tempat-tempat umum seperti pelabuhan udara, dalam

arti

pertolongan

meningkatkan (defibrilasi)

kemampuan sesegera

untuk

mungkin,

bisa akan

memberikan meningkatkan

kesempatan hidup rata-rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64% (American Heart Assosiacion, 2010). Resusitasi jantung paru (RJP) adalah upaya mengembalikan fungsi nafas dan atau sirkulasi yang berhenti dan membantu memulihkan kembali fungsi jantung dan paru ke keadaan normal. Bantuan hidup dasar meliputi aktivasi respon sistem gawat darurat, dan defibrilasi dengan menggunakan defibrillator (Shaharudin, N. A., 2010).

98

Berdasarkan penelitian Aehlert (2011) bahwa chest compression dilakukan untuk mempertahankan sirkulasi darah saat jantung tidak berdetak.

Chest

Compression

dikombinasikan

dengan

bantuan

pernapasan untuk mengoksidasi darah. Kombinasi bantuan pernafasan dan

external

chest

compression

ini

disebut

cardiopulmonary

resuscitation. Kompresi dada dilakukan dengan pemberian tekanan secara kuat dan berirama pada setengah bawah sternum. Membuat garis bayangan antara kedua papila mammae memotong mid line pada sternum kemudian meletakkan tangan kiri diatas tangan kanan atau sebaliknya. Yang dipakai adalah tumit tangan, bukan telapak tangan. Siku lengan harus lurus dengan sumbu gerakan menekan adalah pinggul bukan bahu. AHA Guidelines (2010) merekomendasikan untuk melakukan kompresi dada setidaknya 2 inchi (5cm) pada dada. Untuk dewasa, kedalaman minimal 5 cm (2 inch). Kompresi dada di dua jari diatas sternum di tulang dada kedalamanya 3 - 5 cm dengan telapak tangan dipaskan ditengah tulang sternum, kedua siku diluruskan dengan jari-jari tangan dibuat terkunci, bahu tetap tegak lurus diatas pasien. Komponen yang perlu diperhatikan saat melakukan kompresi dada yaitu frekuensi minimal 100 kali permenit. Memberikan kesempatan untuk dada mengembang kembali secara sempurna setelah setiap kompresi. Tujuan primer pemberian napas bantuan adalah untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan tujuan sekunder untuk membuang CO2.

99

Sesuai dengan revisi panduan yang dikeluarkan American Hearth Association, penolong tidak perlu melakukan observasi napas spontan dengan Look, Listen, Feel, karena langkah pelaksanaan tidak konsisten dan menghabiskan banyak waktu. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan bantuan napas antara lain memasang mouth barrier untuk proteksi diri, memberikan napas bantuan dalam waktu 1 detik, disesuaikan dengan volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada, memberikan 2 kali napas bantuan setelah 30 kompresi, pada kondisi terdapat dua orang penolong atau lebih, dan telah berhasil memasukkan alat untuk mempertahankan jalan napas (seperti pipa endotrakheal, combitube, atau sungkup laring), maka napas bantuan diberikan setiap 6-8 detik, sehingga menghasilkan pernapasan dengan frekuensi 8-6 kali permenit (Aucken, J, Crawford, 2011). AHA Guidelines (2010) merekomendasikan untuk melakukan kompresi dada dengan kecepatan minimal 100x/menit, dimana dengan kecepatan ini 30 kompresi memerlukan waktu sekitar 18 detik Teknik membuka jalan nafas untuk membantu ventilasi dan memperbaiki oksigenasi tubuh. Tindakan ini sebaiknya dilakukan oleh orang yang sudah menerima pelatihan Bantuan Hidup Dasar atau tenaga kesehatan profesional dengan menggunakan teknik angkat kepala – angkat dagu (head Tilt-Chin Lift) pada penderita yang diketahui tidak mengalami cedera leher. Pada penderita yang dicurigai menderita trauma servikal, teknik head tilt chin lift tidak bisa dilakukan. Teknik yang

100

digunakan pada keadaan tersebut adalah menarik rahang tanpa melakukan ekstensi kepala (Jaw Thrust). Pada penolong yang hanya mampu melakukan kompresi dada saja, belum didapatkan bukti ilmiah yang cukup untuk melakukan teknik mempertahankan jalan napas secara pasif, seperti hiperekstensi leher (American Heart Assosiacion, 2010). Berdasarkan hasil penelitian mengenai pernyataan yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan teori yang sudah ada yaitu melakukan resusitasi jantung paru untuk memberi bantuan pernapasan setelah keadaan pasien ditandai dengan nafas ada tetapi nadi belum teraba atau masih nafas spontan. Langkah awal dengan kompresi dada di 2 jari diatas sternum tulang dada kedalamanya 3-5 cm dengan telapak tangan tepat ditengah tulang sternum kedua siku lurus dengan jari-jari tangan dibuat terkunci, bahu tetap tegak lurus diatas pasien. Kompresi dada dengan perbandingan 30:2 atau 30 kompresi dan 2 ventilasi dengan frekuensi selama kurang lebih 100x/menit selama 5 siklus. Membuka jalan nafas sesuai teknik head tilt / jaw thrust. Memberikan 2 kali bantuan nafas dengan hitungan “satu ribu, dua ribu, tiga ribu, empat ribu, lima ribu dan seterusnya selama 10 kali/menit.

5.2.3 Evaluasi tindakan resusitasi jantung paru Hasil penelitian menyatakan bahwa evaluasi tindakan resusitasi jantung paru meliputi pemeriksaan nadi dan pernafasan berupa memeriksa ada nadi dan nafas spontan setiap 2 menit.

101

Evaluasi dilakukan secara menyeluruh mencakup urutan dan prioritas langkah- langkah RJP dan disesuaikan untuk mengidentifikasi faktor yang mempunyai dampak terbesar pada kelangsungan hidup. Menurut American Heart Association (2010) bahwa setelah 5 siklus atau 2 menit diperiksa pulsasi arteri carotis. Segera lakukan RJP selama 2 menit atau 5 siklus. Setelah 2 menit lakukan evaluasi apabila irama yang terlihat dimonitor adalah irama yang harus diberikan kejut listrik (Shockable rhytm) yaitu VT tanpa nadi atau VF, maka lakukan pemberian kejut listrik kembali. apabila irama yang terlihat adalah PEA atau asistol, maka lakukan pemberian RJP selama 2 menit atau 5 siklus (Alexander RH, 2013). Berdasarkan hasil penelitian mengenai evaluasi tindakan resusitasi jantung paru yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu setiap satu siklus perawat mengecek nadi dan pernafasan setiap 2 menit apabila nafas sudah ada tetapi nadi belum teraba maka dilakukan RJP 1 siklus lagi. Dihentikan apabila terdapat tanda-tanda membaik berupa nadi dan nafas spontan atau pasien sudah dinyatakan meninggal jika pupil pasien sudah melebar mediatris maksimal dikatakan meninggal.

5.2.4 Posisi recovery Hasil penelitian menyatakan bahwa posisi recovery meliputi pemberian posisi sisi mantap dan teknik posisi sisi mantap.

102

Posisikan pasien pada posisi mantap (recovery position) jika tidak ada riwayat trauma leher. Apabila tidak ada pernafasan pasien diposisikan telentang, buka jalan nafas dan bersihkan sumbatan yang terlihat didalam mulut pasien dan berikan bantuan pernafasan buatan (American Heart Association, 2010). Menurut buku dari Suharsono, T., & Ningsih, D. K (2012) : Setelah nafas dan nadi korban ada, jika tidak ada kontraindikasi untuk mencegah kemungkinan jalan nafas tersumbat oleh lidah, lender, atau muntah berikan posisi recovery pada korban dengan langkah sebagai berikut meletakkan tangan korban yang dekat dengan anda dalam posisi lengan lurus dan telapak tangan menghadap keatas kearah paha korban, meletakkan lengan yang jauh dari anda menyilang diatas dada korban dan letakkan punggung tangannya menyentuh pipinya, dengan menggunakan tangan anda yang lain maka tekuk lutut korban yang jauh dari anda sampai membentuk sudut 90˚, menggulingkan korban kearah penolong, melanjutkan untuk memonitor denyut nadi korban, tanda sirkulasi dan pernafasan tiap 2 menit. Berdasarkan hasil penelitian mengenai posisi recovery yang di ungkapkan oleh partisipan tidak sesuai dengan pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu posisi recovery seperti tidur terlentang biasa, punggung tangan kanan menyentuh pipi dan kepala, kaki ditekuk 900. Posisi telapak tangan satunya menghadap atas dan kakinya diluruskan. Menurut peneliti bahwa sebelum melakukan pertolongan pertama posisi

103

pemulihan untuk korban pasca resusitasi harus dipastikan korban tidak memiliki cedera leher, tulang punggung, dan cedera lainnya.

5.2.5 Faktor dihentikan resusitasi jantung paru Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor dihentikan resusitasi jantung paru meliputi henti nafas dan meninggal. Indikasi dihentikannya resusitasi jantung paru hingga kini masih menjadi perdebatan, tidak ada batasan waktu yang tegas disebutkan oleh para ahli namun beberapa hal menjadi pertimbangan antara lain korban telah menunjukan tanda-tanda kematian atau sudah ada respon dari korban (nafas dan nadi mulai ada). Menurut Suharsono, T., & Ningsih, D. K (2012) bahwa henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari korban atau pasien. Resusitasi jantung paru boleh dihentikan oleh penolong apabila terjadi hal-hal berikut ini yaitu timbul nadi dan nafas spontan pada korban, penolong terlalu lelah, datang bantuan yang lebih professional, pasien dinyatakan sudah meninggal. Upaya pemberian bantuan hidup dasar dihentikan pada beberapa kondisi kembalinya sirkulasi dan ventilasi spontan, ada yang lebih bertanggung jawab dan penolong lelah atau sudah 30 menit tidak ada respon, tanda kematian yang ireversibel. Beberapa tanda kematian yang dapat diidentifikasi yaitu lebam mayat, muncul sekitar 20-30 menit setelah kematian, darah akan berkumpul pada bagian tubuh yang paling

104

rendah akibat daya tarik bumi, terlihat sebagai warna ungu pada kulit, kaku mayat (rigor mortis), kaku pada tubuh dan anggota gerak setelah kematian dan pupil melebar (midriasis) dan refleks terhadap cahaya negative dan cedera mematikan (Alexander RH, 2013). Hasil penelitian lain menyatakan bahwa salah satu faktor dihentikan resusitasi jantung paru merupakan kematian. Penghentian RJP dengan mempertimbangkan durasi RJP dan kondisi pasien dilakukan untuk memberi kesempatan pada klien untuk meninggal dengan tenang (Oktavianus, 2010). Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor dihentikan resusitasi jantung paru yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu dihentikan resusitasi jantung paru karena setelah di resusitasi jantung paru pasien tidak berespon dan henti nafas atau dinyatakan meninggal jika pupil sudah melebar mediatris maksimal, tetapi pernyataan tersebut kurang lengkap dan dijelaskan tentang penyebab pasien meninggal.

5.2.6 Pemberian obat-obatan emergency Hasil penelitian menyatakan bahwa pemberian obat-obatan emergency meliputi jenis obat emergency dan fungsi obat emergency atau resusitasi jantung paru. Pelaksanaan RJP tidak dapat dilakukan seorang diri. Pelaksanaan RJP dilakukan oleh tim yang terdiri dari leader, ventilator, kompresor,

105

dan sirkulator. Sirkulasi juga dipengaruhi oleh intervensi pemberian obat. Manajemen obat adalah salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan RJP. Obat dapat membantu mengembalikan status hemodinamik tubuh. Dokter adalah profesi kesehatan yang memiliki wewenang untuk memberikan obat-obatan pada pasien. Sehingga untuk pemberian obat saat resusitasi pasien tergantung keputusan dokter. Kehadiran dokter menjadi faktor yang sangat berperan untuk keberhasilan RJP. Inisiasi awal pembebasan jalan napas, pemberian ventilasi dan kompresi dilanjutkan dengan pemberian obat sesuai advis dokter dapat menolong pasien yang mengalami arrest (Lionell, 2006). Advance life support (Drug and Fluid, Disability, Deferential diagnose) merupakan usaha untuk mempertahankan dan mengembalikan sirkulasi spontan, dan stabilitas system cardiovasculer dengan obatobatan dan terapi cairan seperti adrenalin, natrium bikarbonat, lidokain, atropine, dopamine dan pemberian cairan sesuai dengan penyebab dan tujuan pemberian terapi (terapi cairan). Tujuan terapi cairan intravena adalah resusitasi untuk menggantikan segera kehilangan cairan untuk mengembalikan sirkulasi darah. Keberhasilan resusitasi jantung - paru yang ditandai dengan kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation/ ROSC) yaitu terabanya nadi karotis, yang sebenarnya adalah langkah awal dari tujuan pengelolaan secara menyeluruh pada pasien henti jantung.

106

Pengelolaan pasca henti jantung dilaporkan dapat menurunkan mortalitas akibat tidak stabilnya hemodinamik, bahkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat gagal multi organ dan brain injury (Neumar, 2008). Penggunaan adrenalin telah terbukti meningkatkan ROSC, tetapi tidak ada obat resusitasi atau alat bantu napas tingkat lanjut yang terbukti meningkatkan kelangsungan hidup setelah henti jantung. Setiap siklus secara umum sama, dengan total 2 menit RJP diberikan sebelum menilai irama. adrenalin 1mg dan amiodarone 300 mg segera setelah kompresi dilanjutkan. Amiodarone diberikan apabila setelah pemberian shock ketiga masih terdapat irama VT/VF. Dosis diberikan secara bolus sebanyak 300mg dan dapat diberikan dosis ulangan sebesar 150mg untuk VT/VF refrakter, diikuti dengan infus 900 mg selama 24 jam. Lidokain 1mg/kgBB dapat diberikan sebagai alternatif dari amiodarone (Poerwanto, 2013). Berdasarkan

pernyataan

mengenai

pemberian

obat-obatan

emergency yang di ungkapkan oleh partisipan hampir sesuai dengan pernyataan yang sudah ada pada teori meliputi dopamine atau dobutamine, epineprine, amiodaron

vasonepressin, atropine

dan

adrenalin. Amiodaron berfungsi untuk melenturkan otot-otot jantung sehingga suplai O2 dan darah dapat lancar kembali, karena aliran darah keseluruh tubuh berhenti sehingga aliran ke otak berkurang apabila di biarkan menyebabkan hipoksia kemudian kematian. Morfin berfungsi

107

untuk mengurangi nyeri dada. Dopamine atau dobutamin berfungsi untuk tekanan darah sistolik 70-100 mmHg atau hipotensi. Adrenalin dan epinefrin berfungsi untuk henti jantung, fibrilasi, takikardi dan menaikkan tekanan darah. Atropin berfungsi untuk menaikkan denyut nadi. Seorang perawat tidak berhak untuk memberikan terapi apapun, tetapi dapat melakukan perintah untuk memberikan terapi agar pengobatan ke pasien dapat diberikan sesuai prosedur. Pemberian obat atau terapi injeksi dan dosisnya berdasarkan perintah dokter dan perawat hanya memberikan obatnya kepada pasien yang terserang cardiac arrest.

5.3 Faktor pendukung perawat dalam penanganan cardiac arrest 5.3.1 Pengetahuan perawat Hasil penelitian menyatakan bahwa pengetahuan perawat meliputi tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan pelatihan berupa latar belakang pendidikan lulusan D3 dan S1, lama pengalaman, ilmu pengalaman, kompetensi dari pelatihan, pelatihan PPGD dan BTCLS. Menurut Notoatmojo yang dikutip oleh (Wawan & Dewi, 2011), pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan sangat erat hubunganya dengan pendidikan, dimana bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pola pengetahuanya (Wawan & Dewi, 2011). Pengetahuan atau kognitif

108

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (ovent behavior) (Wawan & Dewi, 2011). Faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat menurut Mubarak & Chayatin (2009) menyatakan faktor – faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan meliputi tingkat pengetahuan perawat diantaranya usia, tingkat pendidikan, pengalaman kerja (lama kerja), pelatihan kegawat daruratan yang pernah diikuti dan informasi. Pendidikan adalah proses untuk mempelajari dan meningkatkan ilmu yang diperoleh, pendidikan yang lebih tinggi secara otomatis akan berbanding lurus dengan pengetahuan yang dimiliki (Notoatmodjo, 2007) sejalan dengan yang dikemukakan oleh keraf (2001) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin baik pengetahuan yang dimiliki. Adanya hubungan antara pengetahuan dengan perawat dalam menangani cardiac arrest dalam penelitian ini didukung oleh teori Notoadmodjo (2010) yang menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari sekumpulan informasi yang saling terhubung secara sistematik sehingga memiliki makna. Informasi diperoleh dari data yang sudah diolah sehingga mempunyai arti. Selanjutnya data ini akan dimiliki seseorang dan akan tersimpan dalam neuron-neuron (menjadi memori) di otaknya. Kemudian ketika manusia dihadapkan pada suatu masalah, maka informasi yang tersimpan dalam neuron-neuronnya dan terkait dengan permasalahan tersebut, akan saling terhubung dan tersusun

109

secara sistematik sehingga memiliki model untuk memahami atau memiliki pengetahuan yang terkait dengan permasalahan yang dihadapinya. Kemampuan memiliki pengetahuan atas objek masalah yang dihadapi sangat ditentukan oleh pengalaman, latihan atau proses belajar. Keterampilan merupakan keahlian yang dimiliki seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan dengan dilandasi pendidikan, keahlian yang tinggi serta bertanggung jawab terhadap pekerjaannya tersebut (Abidin, 2011). Masa kerja juga merupakan suatu hal yang dapat mempengaruhi pengetahuan serta ketrampilan, karena seseorang yang memiliki masa kerja yang lama secara otomatis akan terbentuk pengalaman kerja yang memadai serta tercipta pola kerja yang efektif dan dapat menyelesaikan berbagai persoalan berdasarkan pengalaman ketrampilan serta tercipta pola kerja yang efektif dan dapat menyelesaikan berbagai persoalan berdasarkan pengalaman, ketrampilan, serta pengetahuannya (Erlita, 2008). Menurut INTC (International Nurse Traininhg Centre) (2009) kompetensi perawat dalam melaksanakan pelayanan kegawatdaruratan, hal ini terkait dengan pernah tidaknya mengikuti pelatihan tentang penanganan gawat darurat serta pelatihan Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS) sebagai kompetensi dasar. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) dalam mencegah kematian dan cacat ditentukan oleh kecepatan ditemukan penderita, kecepatan meminta pertolongan,

110

dan kecepatan dalam kualitas pertolongan yang diberikan untuk menyelamatkannya. Adanya hubungan antara pelatihan dengan pengetahuan perawat dalam menangani cardiac arrest dalam penelitian ini didukung oleh pendapat Ivancevich (2008) yang menyatakan bahwa pelatihan berorientasi ke masa sekarang dan membantu pegawai untuk menguasai keterampilan dan kemampuan (kompetensi) yang spesifik untuk berhasil dalam pekerjaannya, sebagai contoh seorang perawat dapat melakukan tidakan penanganan cardiac arrest ketika sudah memiliki keterampilan dan kemampuan. Kemampuan memiliki pengetahuan atas objek masalah yang dihadapi sangat ditentukan oleh pengalaman dan latihan atau proses belajar. Pelatihan efektif apabila pelatihan tersebut dapat menghasilkan sumber daya manusia yang meningkat kemampuannya, keterampilan dan perubahan sikap yang lebih mandiri. Keefektifan pelatihan akan mempengaruhi kualitas kinerja sumber daya manusia yang dihasilkannya (Wolff, 2010). Pelatihan bantuan hidup dasar merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan atau keterampilan perawat dalam pelaksanaan asuhan keperawatan terutama korban yang memerlukan bantuan hidup dasar, karena pelayanan korban bantuan hidup dasar harus dilakukan dengan cepat, tanggap, terampil, teliti, serta konsentrasi penuh, mengingat setiap kesalahan yang kita lakukan akan mengakibatkan efek yang sangat fatal serta kesalahan

111

tersebut tidak dapat diperbaiki pada pertolongan selanjutnya (Cristian, 2009). Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai pengetahuan perawat yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu latar belakang pendidikan perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Karanganyar adalah pendidikan minimal D3 dan sebagian besar berpendidikan S1 keperawatan serta mengikuti pelatihan

kegawatdaruratan.

Tingginya

tingkat

pendidikan

akan

mempengaruhi pengetahuan seseorang dan lama pengalaman perawat bekerja di Instalasi Gawat Darurat RSUD Karanganyar adalah sebagian besar lebih dari 10 tahun dan 3 perawat lainya dengan pendidikan D3 lama kerja kurang dari 3 tahun. Partisipan menyebutkan bahwa penerapan ilmu yang dimiliki individu sangatlah penting untuk menunjang pengalaman dalam menangani pasien kegawatan dan semakin lama usia seseorang maka semakin lama pengalamannya. Ketiga

partisipan

sudah

mengikuti

berbagai

macam

pelatihan

kegawatdaruratan seperti PPGD atau BTCLS. Perawat di IGD RSUD Karanganyar biasanya berbagi ilmu pengetahuan dan kompetensi dari pelatihan atau penerapan pengetahuan yang perawat miliki kepada teman-teman seprofesi. Perbedaan jenis pelatihan gawat darurat tidak menunjukkan ada perbedaan kerja perawat atau dalam penanganan cardiac arrest.

112

Menurut peneliti berdasarkan pernyataan dan observasi kepada partisipan adalah semakin tinggi tingkat pengetahuan dan pelatihan berpengaruh kepada tindakan penanganan cardiac arrest yang tepat dan benar tetapi pengalaman kerja yang lebih lama tidak berpengaruh karena pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan perawat dalam penanganan cardiac arrest merupakan hal utama yang harus dikuasai oleh seorang perawat sebelum melakukan tindakan tersebut. Oleh karena itu perawat dituntut untuk memiliki kompetensi dalam menangani korban yang membutuhkan bantuan hidup dasar. Salah satu upaya dalam peningkatan kompetensi tersebut dilakukan melalui pelatihan bantuan hidup dasar, pelatihan ini merupakan pelatihan dasar bagi perawat dalam menangani korban yang memerlukan bantuan hidup dasar akibat trauma dan gangguan

kardiovaskuler

untuk

menyelamatkan

nyawa

dan

meminimalisir kerusakan organ serta kecacatan penderita. Intinya adalah bagaimana menguasai dan membebaskan jalan napas, bagaimana membantu mengalirkan darah ke tempat yang penting dalam tubuh, sehingga pasokan oksigen ke otak terjaga untuk mencegah terjadinya kematian sel otak. Peran RJP sangatlah besar, seperti orang-orang yang mengalami henti jantung tiba-tiba. Henti jantung menjadi penyebab utama kematian walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi dengan tepat dan cepat.

113

5.3.2 Sarana pendukung Hasil penelitian menyatakan bahwa sarana pendukung tindakan cardiac

arrest

meliputi

peralatan

yang

lengkap

berupa

ETT

(endotracheal tube), laringoscope, EKG, ambu bag, suction, bed, alat steril, alat tensi, ventilator, defibrillator dan obat-obatan emergency. Adanya hubungan antara fasilitas dengan faktor pendukung yang mempermudah perawat dalam menagani cardiac arrest sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Arikunto (2008) bahwa fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat memudahkan dan memperlancar pelaksanaan usaha ini dapat berupa benda - benda maupun uang, jadi dalam hal ini fasilitas dapat disamakan dengan sarana yang ada di Rumah Sakit. Ketersediaan alat yang lengkap sudah menjadi standar pelayanan rumah sakit. Kelengkapan alat menjadi kebutuhan vital yang harus tersedia saat dilakukannya RJP. Perlengkapan yang biasa diperlukan yaitu ambu bag, selang oksigen, oksigen, suction, selang suction, gudel, endotrakeal tube beserta mandrainnya, laringoskop, senter, obat emergency seperti adrenalin, SA, atau amiodaron. Adanya papan untuk RJP akan memberikan kesempatan kompresi lebih maksimal dilakukan pada pasien. Sirkulasi darah ke otak akan maksimal karena darah dipompa manual secara maksimal oleh perawat. Berdasarkan

hasil

penelitian

pernyataan

mengenai

sarana

pendukung yang di ungkapkan oleh partisipan tidak sesuai dengan pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu ketersediaan peralatan

114

merupakan faktor yang meningkatkan keberhasilan RJP bagi partisipan. Partisipan menyatakan bahwa faktor yang meningkatkan keberhasilan RJP adalah adanya fasilitas yang mendukung dan lengkap di ruangan Instalasi Gawat Darurat RSUD Karanganyar yaitu ETT (endotracheal tube), laringoscope, ambu bag, oksigen, ventilator, DC shock, defibrillator, EKG dan obat-obatan emergency) resusitasi masker elektrik tetapi di IGD menggunakan yang manual. Menurut peneliti berdasarkan observasi bahwa daya tampung di ruang IGD RSUD Karanganyar hanya 12 pasien tetapi sering di isi kurang lebih 30 pasien. Fasilitas di ruang IGD masih standart fasilitas RSUD tipe C, sehingga adanya perasaan tidak nyaman oleh petugas kesehatan ataupun pasien dan keluarga karena keterbatasan tersebut.

5.3.3 Kesiapan perawat Hasil penelitian menyatakan bahwa kesiapan perawat dalam penanganan cardiac arrest meliputi berpikir kritis, fokus, melindungi diri dan melakukan tindakan dengan tepat berupa membuat keputusan saat

penanganan,

berhati-hati,

setiap

tindakan

memperhatikan

kedepannya, teliti, proteksi diri, memperhatikan keamanan perawat, memulai persiapan, mengompresi dada, mengambil alat ventilator atau mengeset alat defribilator, menghubungi dokter jaga dan mempersiapkan terapi obat.

115

Dalam International Journal of Nursing menyatakan bahwa penggunaan kata kesiapan (readiness) dalam literatur keperawatan tidaklah didefinisikan dengan pasti dan dikembangkan sebagai suatu konsep. Kemampuan untuk menilai, kemampuan untuk berfikir kritis dan mengambil keputusan terhadap tindakan sesuai dengan kondisi klien yang disebut kesiapan. Memberikan perawatan yang aman kepada klien. Pemberian perawatan yang aman kepada klien merupakan suatu komponen yang penting dari praktek keperawatan. Kesiapan adalah keseluruhan kondisi seseorang yang membuatnya siap untuk memberi respon atau jawaban dengan cara tertentu terhadap suatu situasi. Penyesuaian kondisi pada suatu saat akan berpengaruh atau kecenderungan untuk memberi respon (Slameto, 2008). Seorang ahli bernama Cronbach memberikan pengertian tentang kesiapan sebagai segenap sifat atau kekuatan yang membuat seseorang dapat bereaksi dengan cara tertentu. Kemampuan seseorang dalam kesiapan terdiri dari: mempunyai kemampuan dasar umum dan kemampuan untuk menangani hal -hal yang bersifat khusus, memberikan perawatan yang aman kepada klien, mampu menghadapi atau bertahan dengan kenyataan sekarang dan kemungkinan-kemungkinan kedepan, serta mempunyai keseimbangan antara pelaksanaan, pengetahuan dan berpikir. Hasil penelitian Wolff (2010) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapan perawat, antara lain pengetahuan, pengalaman dan training. Ketiga faktor tersebut akan saling menguatkan

116

untuk membentuk suatu kesiapan. Kemampuan memiliki pengetahuan atas objek masalah yang dihadapi sangat ditentukan oleh pengalaman dan latihan atau proses belajar. Seorang perawat yang dikatakan siap mempunyai alasan yang menyakinkan kenapa dia memutuskan untuk melakukan suatu tindakan keperawatan dan mendemonstrasikan kemampuan untuk melaksanakan praktek keperawatan sesuai dengan etika, penuh kehati-hatian dan aman. Mampu menghadapi atau bertahan dengan kenyataan sekarang dan kemungkinan-kemungkinan ke depan. Pengetahuan yang baik sangat berpengaruh pada ketrampilan perawat. Ketrampilan asal dari kata “terampil” yang bermakna cakap dalam melaksanakan tugas, mampu dan cekatan atau dalam arti lain keterampilan atau kemampuan seseorang menerapkan pengetahuan yang dimiliki kedalam bentuk tindakan. Perawat harus memiliki keterampilan baik dalam komunikasi efektif, objektifitas dan kemampuan dalam membuat keputusan klinis secara cepat dan tepat agar perawatan setiap pasien menjadi maksimal (Dunnete, 2007 dalam Cristian, 2008). Di unit gawat darurat dan instalasi care unit pengetahuan dan ketrampilan perawat sangat dibutuhkan terutama dalam pengambilan keputusan klinis dimana ketrampilan sangat penting dalam penilaian awal, perawat harus mampu memprioritaskan perawatan pasien atas dasar pengambilan keputusan yang tepat, untuk mendukung hal tersebut dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan dalam hal melakukan tindakan keperawatan. Pengetahuan dan ketrampilan perawat sangat penting di

117

dalamnya karena perawat merupakan ujung tombak utama dalam senuah pelayanan khususnya pelayanan di ruang gawat darurat (Oman, 2008). Keterlambatan dalam semenit saja sangat mempengaruhi prognosis penderita, sebab kegagalan system otak dan jantung selama 4-6 menit dapat menyebabkan kematian klinis sementara kematian biologis dapat terjadi setelahnya (Sterz, 2008). Pengetahuan sangat berhubungan erat dengan kesiapan dalam kondisi seseorang menghadapi pasien cardiac arrest, agar seseorang tersebut mampu mengambil keputusan terhadap apa yang akan dilakukan, maka dia harus mempunyai pengetahuan tentang cardiac arrest yaitu pada tingkat evaluasi yang merupakan tingkatan tertinggi dari pengetahuan (Notoadmodjo, 2010). Langkah-langkah bantuan hidup dasar merupakan proteksi diri, memastikan kesalamatan penolong dan korban apabila menemukan penderita, hal yang paling utama sebelum melakukan bantuan adalah proteksi diri, mengingat saat ini begitu banyak penyakit penyakit menular yang beredar dimasyarakat (American Heart Assosiacion, 2010). Permasalahan yang sering dihadapi oleh perawat adalah cara menangani kegawatan pulmonal serta kegawatan kardiovaskuler lewat resusitasi jantung paru dengan tindakan dan teknik pelaksanaan yang tepat (Soerianata, 2008). Kompetensi perawat menguasai panduan RJP dan kolaborasi dengan dokter menentukan kualitas resusitasi yang diberikan kepada pasien (Oktavianus, 2010).

118

Perawat dituntut memberikan pelayanan yang cepat, tepat, dan cermat dengan tujuan mendapatkan kesembuhan tanpa kecacatan. Oleh karena itu perawat perlu membekali dirinya dengan pengetahuan dan perlu meningkatkan keterampilan yang spesifik yang berhubungan dengan kasus-kasus kegawatdaruratan utamanya kasus kegawatan pernafasan dan kegawatan jantung (Maryuani, 2009). Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai kesiapan perawat yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu mengungkapkan bahwa perawat dalam situasi apapun harus dapat membuat keputusan yang benar dan tepat, berpikir kritis dengan memperhatikan kedepannya dengan berhati-hati dan ketelitian agar tidak ada kesalahan dalam mendiagnosa saat penanganan pasien dengan cardiac arrest. Tim perawat memulai persiapan seperti pemeriksaan kondisi pasien sebelum kompresi dada, mengambil alat ventilator atau mengeset alat defribilator, menghubungi dokter jaga dan mepersiapkan terapi obat sesuai kewenangan dokter. Saat melakukan kompresi perawat tidak perlu menghitung siklus tetapi yang menghitung kompresi adalah pemegang ventilator agar perawat dapat berkonsentrasi. Pentingnya proteksi diri dalam setiap tindakan apabila diharuskan melakukan mounth to mounth harus diperhatikan keamanan perawat karena sangat berbahaya jika pasien riwayat TB paru atau HIV.

119

5.4 Faktor penghambat perawat dalam penanganan cardiac arrest. 5.4.1 Hambatan sarana dan prasarana Hasil penelitian menyatakan bahwa hambatan sarana dan prasarana meliputi keterbatasan tempat dan alat berupa tempat penuh dan alat di ruang IGD terbatas. Perawat harus mengetahui dan memahami hak penderita serta beberapa keadaan yang mengakibatkan RJP tidak perlu dilaksanakan seperti henti jantung terjadi dalam sarana atau fasilitas kesehatan (Worthington, 2012). Sarana dan suplai yang cukup merupakan segala sesuatu yang dapat memudahkan dan memperlancar pelaksanaan usaha yang berupa benda – benda (Cristian, 2008). Menurut Herkutanto (2008), ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan adalah syarat yang harus dipenuhi oleh IGD. Selain dokter jaga yang siap di IGD, rumah sakit juga harus menyiapkan spesialis lain (bedah, penyakit dalam, anak, dll) untuk memberikan dukungan tindakan medis spesialistis bagi pasien yang memerlukannya. Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai hambatan sarana dan prasarana yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu mengungkapkan bahwa di Instalasi Gawat Darurat RSUD Karangnyar keterbatasan tempat penuh karena pasien yang seharusnya sudah diruangkan masih di rawat di IGD sehingga kekurangan tenaga kesehatan untuk melayani pasien yang baru

120

datang dan melayani pasien yang masih di rawat di IGD maka alatnya juga terbatas.

5.4.2 Faktor pasien Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor pasien meliputi penolakan tindakan dan kondisi pasien berupa pasien tidak setuju atau menolak di resusitasi, menderita penyakit yang lama dan faktor usia pasien sudah tua. Pada awal dan akhir resusitasi, perbedaan etik dan norma-norma budaya harus dipertimbangkan. Meskipun prinsip-prinsip etik tentang beneficence, non maleficence, autonomy dan justice dapat diterima di seluruh budaya, tetapi prioritas prinsip-prinsip etik ini dapat bervariasi antara kebudayaan yang berbeda. Di Amerika Serikat sebagian besar penekanan pada otonomi individual. Di Eropa lebih menekankan pada penyedia layanan kesehatan otonomi yang menjadi tugas mereka dalam mengambil keputusan bila timbul masalah yang muncul. Sedangkan di Asia keputusan kelompok masyarakat mendominasi tentang keputusan yang diambil bila timbul masalah yang timbul. Sehingga dokter harus memainkan peranan penting dalam mengambil keputusan berdasarkan data ilmiah dan keinginan (preferensi) pasien (Worthington, 2012). Faktor kondisi dalam hal ini adalah penyebab atau penyakit penyerta yang memicu terjadinya cardiac arrest pada pasien tersebut diantaranya adanya infark miokard kronis, penyakit jantung koroner,

121

sepsis, serta syok kardiogenik, dan tidak hanya berhenti pada kondisi pasien saja namun adanya indikasi untuk dihentikannya resusitasi juga mempengaruhi pemberian siklus misalnya saat muncul lebam mayat maka CPR harus dihentikan. Aehlert (2011) menyatakan apabila pencetusnya adalah ventrikel fibrilasi maka outcome masih baik, namun jika pencetusnya PEA atau asistole maka outcomenya cenderung buruk. Usia bukan merpakan salah satu kontraindikasi dilakukannya tindakan RJP. Walaupun dikatakan proses penuaan berkaitan dengan akumulasi berbagai kelemahan dan penyakit dimana terdapat perawatan jangka panjang dan penurunan fungsi tubuh, masih menjadi salah satu perkiraan hasil RJP yang buruk (Hilberman, 2007). Gray (2012) dalam bukunya mendukung pernyataan Goldberger, menyatakan bahwa penuntun pemberian CPR yang paling membantu adalah dokter atau perawat senior yang mengetahui kondisi pasien, serta catatan kasus yang informatif. Laki-laki yang mengalami arrest lebih memiliki kesempatan untuk hidup kembali setelah mendapatkan RJP. Usia yang lebih muda juga merupakan preditor keberhasilan RJP. Pasien dengan penyebab non cardiac (henti napas) memiliki kesempatan yang lebih besar untuk selamat. Pulseless Electrical Activity (PEA) atau asistol merupakan prediktor yang buruk untuk keberhasilan RJP . Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan RJP antara lain non cancer diagnosis, kanker tanpa metastase, fungsi ginjal yang bagus, infeksi

122

yang diketahui, tekanan darah yang normal dan pasien tidak terisolasi pada suatu ruangan. Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai faktor pasien yang di ungkapkan oleh partisipan sesuai dengan pernyataan yang sudah ada pada teori yaitu mengungkapkan bahwa perawat mengedukasi keluarga pasien jika pasien atau keluarga tidak setuju maka perawat harus mengikuti hak keputusan keluarga tersebut dengan surat hitam diatas putih untuk bukti pendokumentasian. Keluarga pasien yang tidak kooperatif pasrah dan kasihan melihat anggota keluarganya di kompresi karena sudah menderita penyakit yang lama dan usia sudah terlalu tua. Terpenting bahwa sebagai perawat sudah berusaha.

5.4.3 Faktor keluarga Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor keluarga meliputi penolakan keluarga berupa keluarga pasien tidak menghendaki pasien di resusitasi jantung paru dan keluarga tidak kooperatif. Keputusan tentang Resusitasi Jantung Paru (RJP) sangat rumit dan sering dibuat dalam hitungan detik oleh tenaga medik tanpa mengetahui apakah penderita mempunyai advanced directives atau tidak. Advanced directives adalah dokumen yang sah secara hukum, yang ditulis sebelum penderita menderita penyakit yang bersifat incapacitating. Petunjuk yang ada dalam advanced directives ini dapat membebas tugaskan tenaga medik dalam mengambil keputusan, dengan kata lain advanced

123

directives adalah pernyataan tentang keinginan penderita mengenai tindakan medik apa yang sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan pada waktu penderita itu dalam keadaan incompetency. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian RJP sering bertentangan dengan keinginan pasien. Padahal setiap keputusan harus dibuat dengan belas kasih, berdasarkan prinsip-prinsip etik dan referensi ilmiah yang ada (Worthington, 2012). Gray (2012) dalam bukunya mendukung pernyataan Goldberger, menyatakan usaha resusitasi yang jelas tidak sesuai dengan usia pasien atau kondisi medis dasar yang tidak hanya menyebabkan frustasi bagi tim CPR namun juga potensial berbahaya untuk pasien, serta dapat menyebabkan kesedihan mental pada keluarga pasien. Tidak adanya indikasi jelas untuk menghentikan usaha resusitasi lebih awal, seperti pada penyakit terminal, lanjutkan usaha resusitasi selama kurang lebih 30 menit, yang terbukti telah menyediakan oksigenasi jaringan yang adekuat (yaitu pH dan gas darah yang memuaskan), jika masih belum ada aktivitas jantung spontan setelah 30 menit, resusitasi lebih lanjut sangat tidak bermanfaat. Tanpa oksigenasi adekuat, kerusakan otak ireversibel dimulai setelah 3 menit dan usaha resusitasi yang berhasil setelah lebih dari 10 menit kemungkinan besar dapat menyebabkan kecacatan. Berdasarkan hasil penelitian pernyataan mengenai faktor keluarga yang di ungkapkan oleh partisipan tidak sesuai dengan pernyataan yang

124

sudah ada pada teori yaitu mengungkapkan bahwa sebelum melakukan tindakan harus ada pendidikan kesehatan karena setiap keluarga ada yang kooperatif dan tidak mengerti dengan tindakan medis. Tindakan yang akan dilakukan harus dengan ijin keluarga. Keluarga pasien ada yang tidak menghendaki melakukan RJP karena kasihan terhadap pasien yang sudah tua dan lama penyakit penderita, tetapi dengan syarat ada pendokumentasian misalnya nama pasien, alamat, umur, keadaan kondisi pasien dan tanda tangan dokter. Perawat harus menanyakan terlebih dahulu dengan keluarga atau kerabat pasien walaupun harus di resusitasi tetapi keluarga pasien menolak tetap tindakan resusitasi tidak dapat dilakukan.

BAB VI PENUTUP

6.1 KESIMPULAN Berdasarkan analisa dari kata kunci yang telah didapat dalam penelitian ini maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 6.1.1 Mendeskripsikan pengetahuan perawat tentang penanganan cardiac arrest. Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian didapatkan empat tema yaitu definisi henti jantung meliputi henti jantung dan gangguan irama jantung. Penyebab henti jantung meliputi peristiwa dan gangguan sirkulasi tubuh. Tanda dan gejala

henti

jantung meliputi nadi berhenti berdenyut, penurunan kesadaran, gangguan sistem respirasi, nyeri dada dan tekanan darah rendah. Tindakan henti jantung meliputi pemberian obat, monitor kondisi pasien dan pemberian posisi. Henti jantung merupakan kematian penyakit jantung yang mendadak dan jantung tidak berdenyut atau denyut nadi tidak teraba sehingga sirkulasi aliran darah keseluruh tubuh berhenti yang ditandai oleh gangguan irama jantung yaitu ventrikel takikardi, ventrikel fibrilasi, pulseless electrical activity dan asistol

125

126

6.1.2 Mendeskripsikan tindakan perawat dalam penanganan cardiac arrest. Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian didapatkan enam tema yaitu pengkajian awal resusitasi jantung paru meliputi

pengkajian

lokasi,

pemeriksaan

tingkat

kesadaran,

pemeriksaan nadi, pemeriksaan pernafasan. Tindakan resusitasi jantung paru meliputi resusitasi jantung paru, kedalaman kompresi dada, frekuensi kompresi dada, siklus kompresi dada, kecepatan kompresi dada dan teknik membuka jalan nafas. Evaluasi resusitasi jantung paru meliputi pemeriksaan nadi dan

pernafasan. Posisi

recovery meliputi posisi sisi mantap dan teknik posisi sisi mantap. Faktor dihentikan resusitasi jantung paru meliputi henti nafas dan meninggal. Pemberian

obat-obatan emergency meliputi jenis obat

emergency atau resusitasi jantung paru dan fungsi obat emergency atau resusitasi jantung paru. 6.1.3 Mengidentifikasi faktor pendukung perawat dalam penanganan cardiac arrest. Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian didapatkan tiga tema yaitu pengetahuan perawat meliputi tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan pelatihan. Sarana pendukung meliputi peralatan. Kesiapan perawat meliputi berpikir kritis, fokus, melindungi diri dan tindakan perawat.

127

6.1.4 Mengidentifikasi faktor penghambat perawat dalam penanganan cardiac arrest. Berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian didapatkan tiga tema yaitu hambatan sarana dan prasarana meliputi tempat penuh dan keterbatasan alat. Faktor pasien meliputi penolakan tindakan dan kondisi pasien. Faktor keluarga meliputi penolakan keluarga. Sarana dan suplai yang memadai merupakan sesuatu yang dapat memudahkan dan memperlancar pelaksanaan asuhan keperawatan. Ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan adalah syarat yang harus dipenuhi oleh IGD. Fasilitas di ruang IGD masih standart fasilitas RSUD tipe C, sehingga diharapkan peningkatan kualitias dan kuantitas baik fasilitas dan tenaga kerja di ruang IGD agar tercipta perasaan lebih nyaman oleh pasien atau keluarga pasien dan petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.

6.2 SARAN 6.2.1 Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar untuk menentukan langkah – langkah dalam peningkatan pengetahuan dan kompetensi tentang penanganan cardiac arrest sehingga pihak managemen Rumah

128

Sakit diharapkan meningkatkan ketrampilan perawat melalui pelatihan dalam penanganan cardiac arrest dan diharapkan pelayanan kepada pasien gawat darurat meningkat. 6.2.2 Institusi Pendidikan Memperkaya

literatur

ilmu

keperawatan

dibidang

kegawatdaruratan kardiovaskuler sebagai penunjang dalam proses belajar mengajar atau praktik gawat darurat. 6.2.3 Peneliti Lain Peneliti lain dapat menambah pengetahuan tentang penanganan cardiac arrest dan menjadikan hasil penelitian ini untuk referensi atau acuan peneliti lainya dengan metode yang berbeda dan meneliti faktor lain seperti peraturan atau protokol yang jelas, sarana dan suplai yang cukup yang berhubungan dengan penanganan cardiac arrest. 6.2.4 Peneliti Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan peneliti tentang pengalaman perawat dalam penanganan cardiac arrest, sehingga peneliti lebih memahami tentang cardiac arrest.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. M. (2011). Makalah tentang Profesionalisme Perawat. Dari http://www.masbid.com diakses 20 Juni 2015. Aehlert, Barbara. (2010). Emergency Medical Technician EMT in Action. Southwest: EMS Education, Inc. Mc Graw, Hill Higher Education. Afiyanti, Yati dan Rachmawati Imami. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Riset Keperawatan. Jakarta : PT Raja Grafindo Alexander RH, Proctor HJ. (2013). Advance Trauma Life Support Course for Physicians. Chicago: The American College of Surgeons 5th Edition American Heart Association. (2010). Scientific Position Risk Factors & Coronary Heart Disease. AHA Scientific Position. December 20, 2014. American Heart Association. (2010). Management of Cardiac Arrest. Circulation ; 112;IV-58-IV-66. Lippincott Williams & Wilkins, a division of Wolters Kluwer Health, 351 West Camden Street, Baltimore. Aminuddin. (2013) Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 8, No.3, Nopember 2013. Dari http://jtptunimus.gdl.santosotri.ac.id diakses 20 Desember 2014. Anon. Panduan Program Perawatan Didepan advance care planning guide. Dari www.healthynh.com/fhc/initiatives/Indonesian/20_Adv/20Direct_.pdf diakses 20 Juli 2015. April Poerwanto B. (2013). Materi Pelatihan GELS (General Emergency Life Support). RSUD Dr.Soetomo. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Aucken, J, Crawford, S. (2011). Neurological observations: Neuro-oncology for nurses. London: Whurr. 29-65.

Cresswell, J.W. (2013). Qualitative Research. 3th ed. Thousand Oaks : Sage Publications. Christian, P. (2008). Keterampilan dalam Keperawatan Kamus Elektronik. Dari http://petracristian.com diakses tanggal 2 Januari 2015.

Chung, Edward K. (2010). 100 Tanya Jawab Mengenai Serangan Jantung dan Masalah-masalah yang terkait dengan Jantung. Jakarta: PT. Indeks. Dede Kharisma Yanti Bala, Abdul Rakhmat, Junaidi. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 4 Nomor 4 Tahun 2014. ISSN : 2302-1721. Departemen Kesehatan. (2006). Pharmaceutical care untuk pasien penyakit jantung koroner : Fokus sindrom koroner akut. Ethical

Issues. (2010). American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Part 2: Journal of American Heart Association Circulation; 112;IV-6-IV11.

Erlita,

R. (2008). Kajian tentang Manajemen Pengetahuan. http://www.content.com diakses tanggal 22 Juni 2015.

Dari

Foster, Bill. (2001). Pembinaan Untuk Peningkatan Kinerja Karyawan. PPM. Jakarta. Gebbie, K., Qureshi, K. (2006). Historical Chalenge: Perawat dan Keadaan Darurat. OJIN: The Journal Isue on Nursing. Vol 11 No 3. Goldberger, Z. D., Chan, P. S., Berg, R. A. (2012). Duration of Resuscitation Efforts and Survival After in-hospital Cardiac Arrest: an Observational Study. 380. Hamid, Achir Yani S. (2008). Buku Ajar Riset Keperawatan, Konsep Etika dan Instrumentasi. Jakarta: EGC. Hasanah U. (2010). Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Perilaku Perawatan. Demak. Hilberman M, Kutner J, Parsons D, Murphy DJ. (2007). Marginally effective medikal care: ethical analysis of issues in cardiopulmonary resuscitation (CPR). Journal of Medical Ethics ;23:361–7. Iskandar, Rizki Ismailia Puteri. (2008). Ancaman Henti Jantung Lebih Tinggi Laki-Laki. Dari http//www.klikdokter.com diakses 10 Desember 2014. Ivancevich, John M. dkk. (2008). Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jilid 1 dan 2. Jakarta. Erlangga Jameson, JN St C.; Dennis L. Kasper, Harrison, Tinsley Randolph; Braunwald, Eugene; Fauci, Anthony S.; Hauser, Stephen L; Longo, Dan L. (2005). Harrison prinsip-prinsip kedokteran internal . New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division. ISBN 0-07-140235-7. Dari http//enwikipedia.org diakses 25 Desember 2014.

Judarwanto, Widodo. (2012). Penanganan Terkini Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). FKUI. Jakarta. Kasron. (2012). Buku Ajar Anatomi Fisiologi Kardiovaskuler. Yogyakarta: Nuha Medika Krisanty, Paula. dkk. (2009). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Trans Info Media. Lincoln, Y. S., & Guba, E. G. (2005). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, CA: Sage Publications, Inc. Lionell H Opie, Saunders Elsevier. 6 th ed. (2006). Drugs for the heart. Philladelphia. Makhfudli,& Effendi, Ferry. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas : teori dan praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba medika. Maryuani. (2009). Asuhan Kegawatdaruratan. Jakarta.: Trans Info Media. Mubarak & Chayatin. (2009). Ilmu Kesehatan Masyarakat: Teori dan Aplikasi. Salemba Medika: Jakarta. Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakiarta: Nuha Medikal. Nettina, Sandra M. (2006). Lippincott. Manual of Nursing Practice. Eight edition. Philadelphia. London. New York. Lippincott Williams and Wilkins. A Wolter Kluwer Company. Neumar RW, Nolan JP, Adrie C etal. (2008). Post-cardiac 1. arrest syndrome: epidemiology, pathophysiology, treatment, and prognostication. Circulation:118;2452-2483. Nolan J. P. et al. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation. Notoadmodjo, S. (2007). Pengantar Pendidikan dan Ilmu Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Andi offset. Notoadmojo, S. (2010). Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. (Edisi Revisi: 2010). Rineka Cipta : Jakarta. Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Oman, K., Koziol, J., Scheetz. (2008). Panduan Belajar Emergency. EGC: Jakarta.

Parnia, S; Spearpoint, K, Fenwick, PB (August 2012). Near death experiences, cognitive function and psychological outcomes of surviving cardiac arrest. Resuscitation. Polit, D.F. & Beck, C.T. (2012). Nursing research: generating and assesing evidance for nursing practice. 9th edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. Polit, DF & Hungler, BP. (2005). Nursing Research : Priciples and Methods, 6th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. Pusponegoro, A.D. (2010). Basic Trauma Life Support & Basic Cardiac Life Support. Jakarta : YAGD 118. Ridwan, M. (2010). Mengenal Mencegah Mengatasi Silent Killer. Jakarta : Pustaka Wydyamara. Santana, Septiawan. (2007). Menulis Ilmiah Metode Kualitatif. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Sastroasmoro, S. & Ismail, S. (2007). Dasar-dasar Penelitian Klinis. (3th edition). Jakarta: Sagung Seto Satori, Djam’an & Aan Komariah. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta. Simamora, H, (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE. Simanjutak, Payama J. (2005) Manajemen & Evaluasi Kinerja. Penerbit FE UII Slameto. (2008). Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Smeltzer, S. C., Bare, B. G. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Vol 1.EGC. Jakarta. Soerianata S. (2008). Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. S.P Hasibuan, Malayu. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Subagiyo, A. Achyar. Ratnaningsih, E. Suginman, T. Kosasih, A. Agustinus, R. (2011). Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Dasar. Jakarta : PP PERKI.

Sudoyo dkk. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. FKUI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Suharsono, T. Ningsih, D. (2012). Penatalaksanaan Henti Jantung Di Luar Rumah Sakit. Malang : UMM Press. Sugiyono. (2013). Memahami penelitian kualitatif. Cetakan kedelapan. Bandung: Alfabeta. Sumantri, S. (2010). Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Fakultas Psikologi Unpad. Susilo R. (2011). Pendidikan Kesehatan Dalam Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika. Sutopo HB. (2006). Metodelogi penelitian kualitatif. Edisi 2. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Thygerson,Alton L. (2006) First aid, CPR, and AED. 5th Ed. American College of Emergency Physicians, London W67pA. Jones and Batlett Publisher International. Dari http//www.american.emergency.co.id diakses 5 Desember 2014. Wawan A, & Dewi M. (2011). Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Perilaku dan Perilaku Manusia. Nuha Medika: Yogyakarta. Wolff, Angela C., Regan, Sandra., Pesut, Barbara.,& Black, Joyce. (2010). Ready for what? An Exploration of the Meaning of New Graduate Nurses Readiness for Practice. International Journal of Nursing Education Scholarship. Article. Dari http//www.bepress.com/ijnes/vol7/iss1/art7 diakses 12 Desember 2014. Worthington R. (2012). Clinical issues on consent: some philosophical concerns. Journal of Medical Ethics Law and ethics ; 28:377-380 WHO (2008). World Health Statistic. Dari http//www.who.int diakses 12 Desember 2014.