PENGGEREK BUAH KAKAO (Conopomorpha cramerella Snellen) DAN PENANGGULANGANNYA Fredrik Depparaba Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah, Jl. Lasoso No. 62 Biromaru, Sulawesi Tengah
ABSTRAK Penggerek Buah Kakao (PBK) merupakan hama utama pada ekosistem kakao. Hama ini bersifat homodinamik dan endemik. Para ahli entomologi melaporkan bahwa PBK berasal dari spesies yang sama dengan spesies yang menyerang buah rambutan tetapi biotipenya berbeda. Biotipe tersebut dapat beradaptasi pada buah kakao, selanjutnya memencar dan hidup pada suatu daerah. Penyebaran PBK sejalan dengan adanya perluasan areal tanam kakao dan introduksi bahan tanaman. Serangan PBK dapat menyebabkan kerusakan buah dan kehilangan produksi biji 82,20%. Penanggulangan PBK sangat terkait dengan bioekologi hama tersebut, dan petani sebagai pelaku pengendalian, terutama yang terkait dengan motivasi, sikap, kepedulian, budaya asli, pengetahuan lokal, dan kondisi sosial ekonomi. Cara-cara penanggulangan PBK yang dapat dipadu dengan pengalaman petani adalah: 1) panen lebih awal dengan interval 5−7 hari, agar siklus hidup PBK dapat terputus, 2) panen semua buah menjelang akhir masa panen selama 1−2 bulan, disertai pemetikan buah matang yang ada di sekitar kebun sayuran, rambutan, nam-nam, kola, mangga, serikaya, belimbing, jeruk, dan langsat, 3) membersihkan serasah di permukaan tanah, mengurangi naungan yang terlalu rapat dengan pemangkasan cabang-cabang horizontal, 4) mematikan kutu putih, kutu hijau, dan Aphis sp. penghasil embun madu sebagai pakan ngengat PBK, 5) menghindari penggunaan pestisida guna melestarikan musuh alami PBK, serta tanaman penghasil nektar dipertahankan agar bisa menunjang kelangsungan hidup musuh alami perlu diusahakan, 6) mengisolasi kebun kakao dari ladang-ladang kecil ("small holder") dengan "barier" paling sedikit 300 m dan bebas dari tanaman inang alternatif PBK. Kata kunci: Kakao, penggerek buah, Conopomorpha cramerella, ekobiologi, metode penanggulangan
ABSTRACT Cacao moth and its control measures Cacao moth is an important pest at the cacao ecosystem. Characteristic of pest is homo dynamic and endemic, which is very different to other pests. However, the entomologists reported that the cacao moth species in Indonesia is the same with the rambutan moth, but their biotypes are different. The biotype or strain adapted to cacao, can distribute and life in the area. The presence of insects are caused by both expansion of cacao planting acreage and introduction of cacao plant materials to the cacao production areas. It causes fruit destruction with loss of seed production of 82.20%. Control measures of cacao moth are interrelated with bioecology of pest, and farmers as controlling agent. However, it is necessary to understand motivation, attitude and attention of farmers as well as their local experiences, social and economic conditions. The control methods of cacao moth that can be integrated with farmer's motivation and experiences are as follows: 1) earlier harvesting followed by 5−7 days interval harvesting, to cut life cycle of cacao moth, 2) harvest all fruit during 1−2 months, and followed by harvesting mature fruits of alternative hosts, such as Nephelium lappaceum, Cynometra cauliflora, Cola nitida, Mangifera indica L, Anona squamosa, Averrhoa carambola L, Citrus sinensis L, Lansium domesticum L., 3) garden sanitation by cleaning up garbages on soil surface, reduce plant coverage by prunning horizontal branches, 4) kill white fleas, green fleas and Aphis sp. which are honeydew producer as food of cacao moth. Those practices will limit the population of pupae and the moth, 5) avoid utilization of pesticide to conserve natural enemy of cacao moth, but maintain nectars-producing plants to support the life of natural enemy, 6) isolate borders among small holders at least 300 m and free from alternative host plants of cacao moth. Keywords: Cacao, fruit damaging insects, Conopomorpha cramerella, ecology, biology, control methods
H
ama Penggerek Buah Kakao (PBK) telah beberapa kali berganti nama ilmiah. Pada tahun 1902 Zehntner memberi nama Zaratha cramerella Zr, kemudian Snellen memberi sebutan Gracilaria cramerella, Acrocercops Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
cramerella Snellen, dan terakhir dengan sebutan Conopomorpha cramerella (Lepidoptera, Lithocolletidae) (Wessel, 1983). Perubahan nama umum PBK dari A. cramerella Snellen menjadi C. cramerella Snellen ini telah ditetapkan oleh Bradley
(1985). Namun sebutan ilmiah dan identitas PBK telah diklarifikasi dan dibedakan ke dalam beberapa spesies, yaitu Conopomorpha oceanica sp.n., C. sinensis sp.n., dan C. litchiella sp.n. (Bradley, 1986), meskipun spesies-spesies 69
ini belum mendapat pengakuan dari para ahli entomologi. Spesies penggerek buah lain menurut Tay dan Bong (2000) adalah Crytophlebia encarpa Meyr. PBK merupakan serangga hama spesialis dan homodinamik yang hidupnya bergantung pada ketersediaan buah kakao di kebun (Lim, 1986). Hama ini dilaporkan terdapat di berbagai daerah di Indonesia dan menyebar melalui bahan tanaman dan adanya fenomena "ras biologi" dari populasi asalnya yang hidup pada buah rambutan (Zehntner, 1902 Dalam Wardojo, 1981), meskipun Rusnah et al. (1985) membedakan antara penggerek buah yang hidup pada buah kakao di Sabah (Tawao) dan penggerek buah yang hidup pada buah rambutan di Pucung (Selangor). Asumsi Rusnah et al. (1985) tersebut sejalan dengan adanya klarifikasi bahwa C. cramerella dibedakan ke dalam beberapa spesies sebagaimana dikemukakan Lim (1992). Spesies-spesies PBK tersebut kini telah menyebar ke berbagai daerah pertanaman kakao di Indonesia. Pemencaran hama ini telah mencemaskan berbagai pihak yang terkait dengan industri kakao, karena dapat mengancam kelangsungan perkebunan kakao di kawasan Asia Tenggara yang kini beranjak menjadi salah satu pusat produksi kakao dunia (Wardojo,1994). Ancaman yang mencemaskan itu terkait dengan areal serangan yang telah merambah ke berbagai daerah di Indonesia, antara lain Maluku 8.479 ha, Kalimantan Timur 8.043 ha, Sulawesi Tengah 4.569 ha, Sulawesi Utara 150 ha, dan Sumatera Barat + 465 ha (Madry, 1994). Areal yang terserang tersebut dapat lebih meningkat lagi pada masa kini. Berdasarkan laporan surat kabar harian Fajar September tahun 2000, PBK telah menyerang perkebunan kakao 2.140 ha di Kabupaten Polmas, Sulawesi Selatan. Demikian pula di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Selatan, berdasarkan laporan surat kabar Sinar Tani 2001, serangan PBK mencapai 700 ha. Serangan PBK tersebut tidak saja merugikan petani dan pengusaha kakao, tetapi juga menurunkan devisa negara, karena produksi dan mutu biji menurun. Kerusakan serius menurut Wardojo (1980) dapat menyebabkan kehilangan produksi biji sebesar 82,20%. Penelitian sudah banyak dilakukan untuk mengetahui sifat hama PBK dan arah penanggulangannya, namun hasilnya tidak selalu memuaskan. Selain itu, 70
harga biji kakao yang relatif sama antara yang sehat dan yang rusak akibat serangan hama PBK dapat menurunkan motivasi dan kepedulian petani dalam penanggulangan PBK. Bukan itu saja, teknologi penanggulangan PBK yang ada belum berbasis pada motivasi dan kepedulian petani, serta belum memperhitungkan aspek sosial budaya petani. Untuk itu partisipasi petani sebagai arus bawah dalam pengembangan teknologi pengelolaan hama PBK sangat diharapkan.
SEJARAH DAN PEMENCARAN Populasi PBK yang hidup pada buah kakao merupakan “ras biologi”, setelah memisah dari populasi asalnya yang hidup pada buah rambutan (Roepke, 1917). Timbulnya “ras biologi” yang hidup pada tanaman kakao ini diasumsikan hanya sekali dalam tiga abad yang terjadi di Filipina. Keturunannya kemudian masuk ke Pulau Jawa melalui buah sejalan dengan penyebaran kakao Criollo melalui Sulawesi (Wardojo, 1981). Asumsi ini memberi pemikiran ke arah pemencaran hama tersebut, setelah Shah (1987) melaporkan bahwa di Filipina PBK sudah lama menjadi hama serius yang merusak buah kakao. PBK diduga memencar masuk ke Indonesia melalui Sulawesi Utara. Dugaan ini diperkuat oleh keberhasilan PBK beradaptasi pada buah kakao di Sulawesi Utara, meskipun adaptasi ini telah terjadi sejak tahun 1860 (Anonimous, 1987; Lim, 1992; Wardojo, 1981). Setelah berhasil memisah dari populasi asalnya dan beradaptasi pada buah kakao di Sulawesi Utara, PBK kemudian dilaporkan memencar ke arah timur, selatan, dan barat sejalan dengan pengembangan penanaman kakao. Pada tahun 1880, PBK ditemukan di Jawa Tengah namun belum menimbulkan kerusakan yang berarti. Kerusakan berat baru terjadi pada tahun 1895 (Wessel, 1983). Pada tahun 1901 PBK ditemukan di Jawa Timur. Akibat serangan PBK yang cukup parah pada tahun 1936, pertanaman kakao di daerah ini dimusnahkan dan penanaman kembali dilakukan pada tahun 1951. Sejak tahun 1956, di kebun Pasir Muncang, Jawa Barat ditanam kakao mulia DR1, DR2, dan DR38. Sepuluh tahun kemudian areal pertanaman kakao tersebut
dilaporkan terserang hama PBK (Wardojo, 1980). Pemencaran PBK ke berbagai daerah di Indonesia terjadi sejalan dengan penyebaran klon-klon DR dari Jawa Tengah. Pada saat ini, PBK dilaporkan telah terdapat di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Riau, dan Pulau Jawa. Keberadaan PBK di Sumatera Utara disebabkan daerah tersebut berdekatan dengan daerah serangan PBK di negara bagian Malaka, Johor, Negeri Sembilan dan Pahang (Malaysia). Mengingat transportasi antara kedua daratan tersebut cukup lancar, peluang PBK masuk ke Sumatera Utara cukup besar. Demikian pula untuk propinsi-propinsi di Kalimantan, peluang daerah tersebut tertular hama PBK dari Serawak dan Sabah yang letaknya berdekatan juga cukup tinggi (Atmawinata, 1993). Ditinjau dari letak geografis, PBK dari daerah serangan di Malaysia berpeluang masuk ke Sumatera Utara dan Kalimantan, sedangkan yang dari daerah serangan di Filipina Selatan berpeluang masuk ke Sulawesi Utara. Hal ini memberi pemahaman bahwa sekali PBK masuk ke suatu pertanaman kakao, serangga akan tetap tinggal di tempat tersebut dan populasinya akan berfluktuasi pada tingkat yang menimbulkan kerusakan buah. Timbulnya hama PBK di berbagai daerah di Indonesia diduga berkaitan dengan introduksi bahan tanaman kakao (buah dan bibit) dari daerah sumber hama PBK ke dalam pertanaman yang telah berproduksi dalam rangka perluasan areal tanam (Wardojo, 1981). Hal ini pernah terjadi di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Hanya dalam waktu 2−3 tahun setelah diintroduksi bibit kakao dari Malaysia ke Kasimbar dan sekitarnya (pantai timur Donggala), areal pertanaman kakao di wilayah tersebut terserang hama PBK. Suatu hal yang belum bisa dijelaskan secara rasional menurut Tay (1987) adalah pemencaran hama PBK dalam waktu yang relatif singkat, pada areal yang terisolasi dengan "barier" hutan atau gunung sebagaimana pernah terjadi di Sabah Malaysia. Pernyataan Wiryadiputra et al. (1994) mungkin dapat menjelaskan masalah tersebut. Perkebunan yang terekspose pada arah datangnya angin dari areal terserang akan tertular hama terlebih dahulu, atau di daerah terisolasi tersebut terdapat hama PBK pada inang yang lain Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
dan berhasil beradaptasi pada buah kakao atau bibit yang ditanam di areal yang terisolasi itu terdapat kepompong PBK yang terbawa dari sumber bibit. Suatu perhitungan teoritis mungkin dapat menjelaskan pernyataan ini bahwa satu ekor ngengat betina yang telah dibuahi dalam waktu 4 bulan (4 generasi) dapat menurunkan 20.000 ekor PBK (Zehntner, 1902 Dalam Wardojo, 1981). Jika perkembangan PBK di alam seperti itu, maka dalam waktu singkat hama PBK dapat menjadi wabah di suatu daerah. Dari berbagai pendapat yang masih berkontroversi itu, dapat disimpulkan bahwa PBK bisa saja berada di suatu wilayah tanpa harus muncul ke permukaan. Hal ini berkenaan dengan identitas PBK yang telah diklarifikasi oleh Bradley (1986) ke dalam beberapa spesies yaitu C. oceanica sp.n., C. sinensis sp.n, dan C. litchiella sp.n. Klarifikasi dan identitas PBK ini sesuai dengan asumsi bahwa penggerek buah yang hidup pada buah kakao tidak sama dengan yang hidup pada buah rambutan (Rusnah et al., 1985). Sampai tahun 1917, masih belum dapat dipastikan apakah jenis penggerek yang hidup pada buah kakao sama dengan yang hidup pada buah rambutan (Wessel, 1983). Meskipun demikian, para ahli entomologi melaporkan bahwa penggerek buah yang menyerang buah kakao di Indonesia berasal dari spesies yang sama dengan spesies yang menyerang buah rambutan, tetapi biotipenya berbeda. Dari biotipe inilah hama tersebut beradaptasi. Ooi (1992) dalam laporannya menyebutkan bahwa keturunan PBK berhasil beradaptasi pada buah kakao, kemudian menyebar dan tetap hidup di sekitar wilayah tersebut. Oleh karena itu PBK disebut juga sebagai serangga endemik, selalu ada di suatu tempat atau daerah. Meskipun demikian, pemencaran PBK di Indonesia dapat digambarkan berdasarkan sejarah dan penelaahan pustaka.
dengan panjang 1 mm. Dalam kondisi pertumbuhan penuh, panjang larva mencapai 12 mm dan berwarna hijau muda. Pupa berwarna kecoklatan, panjang 7−8 mm dan lebar 1 mm. Ngengat (serangga dewasa), memiliki panjang tubuh 7 mm dan lebar 2 mm, rentang sayap depan 12 mm. Warna dasar ngengat adalah coklat dengan warna putih berpola zig-zag sepanjang sayap depan dan "spot" oranye pada ujung sayap (Snellen, 1904; Wessel, 1983). Telur diletakkan pada permukaan buah yang berlekuk. Semakin besar ukuran buah makin besar pula peluang diteluri. Larva yang baru keluar dari telur langsung masuk ke dalam buah dan tinggal di dalam buah selama 12−14 hari bahkan sampai 18 hari sebelum keluar untuk berkepompong (Wardojo, 1994; Wessel, 1983). Buah yang berukuran 5−7 cm dan yang sangat muda tidak pernah terserang PBK (Wardojo, 1994). Larva memakan jaringan yang lunak seperti pulp, plasenta, dan saluran makanan yang menuju biji. Kerusakan pada pulp mengakibatkan biji saling melekat dan juga melekat pada dinding buah (Gambar 1). Kerusakan plasenta dapat menyebabkan semua biji rusak dan tidak berkembang. Jaringan buah yang telah rusak tersebut menimbulkan perubahan fisiologis pada kulit buah sehingga buah tampak hijau berbelang merah atau jingga (Wardojo, 1994). Belum pernah ada laporan tentang predator, parasitoid atau patogen yang menyerang
larva. Kalaupun ada, larva tidak akan terjangkau musuh alami karena selama hidupnya berada di dalam buah. Larva juga tidak terjangkau oleh insektisida karena terlindung di dalam buah. Setelah mengakhiri perkembangannya di dalam buah, larva (prapupa) berhenti makan dan ke luar dari buah melalui lubang-lubang gerekan pada kulit buah, selanjutnya larva melekat pada buah yang sama atau menjatuhkan diri dan melekat pada buah lainnya atau pada daun, cabang, batang, dan serasah di atas tanah. Larva prapupa juga dapat melekat dan berkepompong pada bahan apa saja yang ada di kebun. Setelah 7 hari, kepompong pecah dan ngengat keluar. Ngengat dapat bertahan hidup 3−7 hari untuk berpindah tempat, kawin dan bertelur. Ngengat PBK berukuran + 7 mm, kecil, lembut sehingga jarak terbangnya tidak jauh (Wardojo, 1994; Wessel, 1983). Aktivitas ngengat untuk kawin dan bertelur terjadi pada pukul 18.00 − 07.00 dengan puncaknya pada pukul 04.00 − 05.00 (Lim dan Pan, 1986). Setelah kawin ngengat akan meletakkan telur pada buah kakao. Kondisi cuaca yang sesuai bagi ngengat untuk bertelur adalah pada curah hujan 100−200 mm/bulan (Lim, 1986). Pada siang hari ngengat bersembunyi di tempat yang terlindung dari sinar matahari, yaitu pada bagian bawah cabang horizontal. Seekor ngengat betina dapat menghasilkan telur 100−200 butir (Wardojo, 1980).
ASPEK BIOLOGI PBK Siklus hidup PBK terdiri atas stadium telur 3−7 hari, larva 15−18 hari, pupa 6−8 hari, dan ngengat 3−7 hari (Wardojo, 1994; Wessel, 1983). Telur berbentuk oval dan berwarna kuning oranye pada saat baru diletakkan. Panjang telur 0,45 − 0,50 mm dan lebar 0,25 − 0,30 mm. Larva yang baru keluar dari telur berwarna putih transparan Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
Gambar 1. Kerusakan buah kakao akibat serangan penggerek buah kakao (kiri), buah sehat (kanan). 71
Perkembangan PBK sangat dipengaruhi oleh curah hujan, kelembapan kebun dengan naungan rapat dan ketersediaan buah. Sekitar 72% buah kakao dapat menunjang satu generasi, 21% dua generasi, dan 7% tiga generasi. Populasi PBK umumnya rendah pada musim hujan dan serangan tinggi terjadi pada kondisi tanaman kakao dengan naungan lengkap (Lim, 1984; Wardojo, 1981). Musim yang sangat kering atau sangat basah dapat mengurangi populasi PBK (Lim, 1986). PBK adalah "ras biologi" dan telah berhasil beradaptasi pada buah kakao setelah memisah dari populasi asalnya yang hidup pada buah rambutan (Nephelium lappaceum). Hal ini didasari dari serangkaian penelitian yang telah dilakukan sejak tahun 1900−1950 oleh Zehntner dan kawan-kawan dan beberapa hasil penelitian yang lain. Hasil-hasil penelitian tersebut memberi informasi bahwa penggerek buah yang serupa dengan PBK juga hidup pada buah rambutan, mangga (Mangifera indica L.), serikaya (Anona squamosa L.) , belimbing (Averhoa carambola L.), duku atau langsat (Lansium domesticum L.), Nangka (Artocarpus integra Merr.), dan Jeruk (Citrus sinensis L.) (Zehntner, 1901). Tanaman lain yang juga sebagai inang hama tersebut antara lain adalah kola (Cola nitida) dan nam-nam (Cynometra cauliflora) (Roepke, 1917), kasai (Pometia pinnata), dan pulasan (Nephelium mutabile) (Ooi, 1986), serta matakucing (Nephelium malaiense) (Shamsuddin dan Vijaysegaran, 1983 Dalam Lim, 1992).
ARAH PENANGGULANGAN Penanggulangan PBK diarahkan pada pertanaman kakao yang telah berproduksi di areal perkebunan rakyat yang sebagian besar merupakan perkebunan dengan areal terbatas. Agar penanggulangan dapat terlaksana dan berkelanjutan perlu ada motivasi, kepedulian dan minat petani sebagai pelaku penanggulangan PBK. Komponen perilaku petani tersebut hendaknya menjadi dasar dalam pengambilan PBK. Mosipetani dalam pengertian ini adalah kepercayaan diri petani yang dilandasi keyakinan akan keberhasilan upaya penanggulangan PBK, karena ada dorongan yang timbul dari diri mereka. Hal 72
ini tentu berkaitan dengan tujuan dan kepuasan yang hendak mereka capai. Dalam kaitannya dengan penanggulangan hama PBK, komponen perilaku tersebut sangat berpengaruh. Petani akan bermotivasi kuat mengusahakan kakao karena usaha ini dinilai menguntungkan, sedangkan petani bermotivasi kurang kuat karena mereka sekedar ikut-ikutan mengusahakan kakao. Motivasi yang lemah dapat saja terjadi karena belum sesuai dengan kosmovisi petani. Dari motivasi ini kemudahan akan muncul sikap dan kepedulian yang berbeda dalam menanggulangi hama PBK. Petani yang bermotivasi kuat akan bertanggungjawab sebagai pelaku penanggulangan hama PBK, sedangkan petani dengan motivasi lemah kurang respons terhadap upaya penanggulangan hama tersebut. Untuk membangkitkan motivasi ini perlu partisipasi petani dan pemahaman terhadap kosmovisi dan pengetahuan lokal petani. Kosmovisi petani dalam pengertian ini adalah pemahaman budaya asli petani yang digambarkan ke dalam hubungan interaksi antara spiritual, alam dan usaha tani, sedangkan pengetahuan lokal petani diartikan sebagai pengetahuan dan pengalaman petani dalam berusaha tani (Millar, 1992). Dikemukakan pula bahwa kosmovisi petani merupakan tenaga penggerak yang sangat kuat dalam kegiatan usaha tani, dimana budaya dan religius merupakan faktor yang penting. Di dalam pandangan kosmovisi ini, petani percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, melalui para Dewa yakni Dewa hujan, tanah dan matahari, memuja Tuhan dan para Dewa di tempat-tempat yang mereka anggap sakral, percaya dan menghargai roh-roh leluhur, menghargai tokoh-tokoh agama dan pemuka desa. Apabila kepercayaan ini mereka langgar, maka usaha tani tidak akan berhasil sesuai dengan harapan dan muncul wabah hama/ penyakit. Cara-cara penanggulangan hama PBK yang dapat dipadu dengan kosmovisi petani adalah sebagai berikut: z Seremonial Seremonial atau upacara dilakukan apabila telah terjadi suatu serangan hama/ penyakit. Upacara dilakukan dengan menghimpun masyarakat dan pimpinan tetua adat atau kepala suku, untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar wabah hama/penyakit di suatu desa dapat segera berhenti atau dapat dikendalikan oleh masyarakat setempat.
Hal ini terkait dengan pelanggaran terhadap hukum-hukum alam di suatu desa. z Kurban Persembahan Kurban persembahan dilakukan dengan menyembelih hewan tertentu untuk menghargai leluhur dan pendiri desa seraya memohon doa secara khusuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar usaha tani atau tanaman mereka tidak terserang hama. Upacara ini didahului konsultasi dengan pemimpin desa, tetua adat, paranormal, dan tokoh-tokoh agama setempat. z Pengendalian Hama Sebelum mereka melakukan upaya pengendalian hama sesuai kebiasaan, terlebih dahulu mereka memperoleh petunjuk dari paranormal (pawang hujan, dukun, ahli nujum, tenaga spesial), di mana unsur budaya dan religius sangat penting. Hal ini dilakukan untuk menentukan waktu yang tepat untuk mengendalikan hama. Waktu ini biasanya dikaitkan dengan kalender atau hari-hari baik, misalnya Senin Kliwon, Selasa Legi, Rabu Pon, Kamis Wage, Jumat Legi, Sabtu Pon, Minggu Pon atau Wage. Adapula yang mengkaitkannya dengan bulan langit, hari ketujuh setelah bulan purnama adalah waktu yang baik untuk melakukan upaya pengendalian. Terdapat pula cara-cara umum penanggulangan PBK yang telah baku dilakukan, yang dapat dipadu dengan caracara penanggulangan yang telah disebutkan. Cara umum tersebut antara lain adalah:
Panen Pengalaman di lapang, menunjukkan bahwa pada buah dengan warna kuning berbelang hijau di daerah serangan PBK, terdapat lubang gerekan tempat larva prapupa keluar untuk berkepompong. Karena itu, panen pada saat buah menjelang matang menyebabkan larva di dalam buah akan ikut terpanen. Panen lebih awal tersebut dilanjutkan panen terus menerus dengan interval 5−7 hari. Buah yang mengandung larva dipisahkan dari buah yang sehat, selanjutnya dibenamkan ke dalam tanah atau dikumpulkan kemudian dibakar.
Rampasan Metode rampasan sudah dipraktekkan sejak tahun 1900, jauh sebelum Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
tulisan Zehntner’s dipublikasi. Rampasan dilakukan dengan cara merampas atau memetik semua buah kakao yang ada di pohon agar siklus hidup PBK terputus. Saat yang baik untuk melakukan rampasan adalah pada waktu jumlah buah matang di pohon sedikit atau menjelang akhir masa panen. Jangka waktu rampasan menurut Wurth (1909) Dalam Knaap (1955) adalah 1−2 bulan. Rampasan buah kakao hendaknya disertai dengan pemetikan buah-buah matang yang ada di sekitar kebun yang menjadi inang alternatif PBK, antara lain rambutan, nam-nam, kola, mangga, serikaya, belimbing, jeruk, duku (langsat), dan nangka.
Sanitasi Sanitasi kebun dapat dilakukan dengan cara membersihkan ranting yang ada di dalam kebun, baik yang kering di pohon maupun yang ada di permukaan tanah serta membersihkan serasah di permukaan tanah dan membakarnya. untuk mematikan atau mengurangi kepompong PBK. Mengurangi naungan yang terlalu rimbun dan memangkas cabang-cabang horizontal merupakan upaya penyederhanaan lingkungan kebun, agar tidak disenangi ngengat untuk berlindung. Menurut Roepke Dalam Wessel (1983), ngengat PBK juga menyenangi embun madu yang dihasilkan kutu putih, Aphis sp. dan kutu hijau. Karena itu, serangga tersebut perlu dimusnahkan agar pakan alami ngengat PBK tidak tersedia. Dengan demikian, populasi kepompong dan ngengat bisa dibatasi.
Konservasi Musuh Alami Musuh alami PBK yang ada di sekitar ekosistem kebun antara lain adalah predator telur jenis semut hitam Dolichoderus bituberculatus Mayr (Van der Goot, 1917 Dalam Wessel, 1983),
enam parasitoid pupa yaitu Dinglyptidae roepke, Photoptera erythronota, Mesostenus sp., Goryphus javanicus, G. mesoxanthus, G. fasciatipennis (Roepke, 1917 Dalam Wessel, 1983; Ooi, 1987 Dalam Ooi, 1992). Parasitoid-parasitoid pupa tersebut tergolong famili Ichneumonidae. Parasitoid telur diketahui juga terdapat di alam, yaitu Trichogrammatoidae bactrae fumata (Ooi, 1987). Musuh alami tersebut perlu dikonservasi agar kelangsungan hidupnya berkelanjutan. Namun, konservasi musuh alami ini bertentangan dengan penggunaan insektisida untuk mengendalikan. Larva PBK yang peka racun, tidak terjangkau oleh insektisida karena terlindung di dalam buah. Selain itu, harga insektisida juga mahal sulit bagi petani dan penyebab pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Karena itu, sebaiknya tidak menggunakan insektisida. Musuh alami tersebut umumnya menyenangi nektar yang terdapat di sekitar kebun, karena itu bunga-bunga tumbuhan penghasil nektar sebaiknya dipertahankan.
Isolasi Jalur Hijau Perkebunan kakao yang berbatasan atau berdekatan dengan lahan petani, cukup potensial sebagai tempat masuknya hama PBK dari luar. Hal ini sangat membahayakan areal pertanaman kakao di sekitarnya. Oleh karena itu, perkebunan yang telah terinfeksi tersebut perlu diisolasi dengan "barier" paling sedikit 300 m dan bebas dari tanaman inang alternatif PBK (Roepke, 1912; Wurth, 1909 Dalam Wessel, 1983). Dalam kaitan dengan upaya penanggulangan PBK agar bisa berkelanjutan, perlu pembauran antara kosmovisi petani, pengetahuan lokal petani dengan teknologi yang ada. Petani sebagai pelaku penanggulangan PBK berpartisipasi penuh dengan tetap berorientasi pada
program yang dibuat bersama antara peneliti-penyuluh dan petani. Di samping itu, pemahaman terhadap kondisi sosial ekonomi petani sebelum melakukan upaya-upaya penanggulangan PBK juga perlu dilakukan.
KESIMPULAN Berdasarkan sejarah, pemencaran dan aspek bioekologi PBK dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut; kegiatan terbang ngengat PBK tidak jauh, namun sekali PBK masuk ke suatu hamparan pertanaman kakao, dalam waktu singkat hamparan tersebut akan terserang. Pemencaran PBK ke tempat yang lebih jauh terjadi melalui kegiatan manusia yang membawa buah yang mengandung larva prapupa atau benda-benda lain yang dilekati kepompong (pupa). PBK bisa saja berada di suatu daerah, dan akan menjadi hama di daerah tersebut kalau buah-buah kakao telah tersedia. Kelangsungan hidup PBK tergantung pada ketersediaan buah kakao di kebun. Hama bersifat homodinamik dan sangat berbeda dengan serangga hama yang lain. Karena itu, penanggulangan PBK perlu memahami sifat, perilaku dan bioekologi PBK. Penanggulangan PBK yang dianjurkan antara lain adalah: 1) panen lebih awal dilanjutkan panen terus menerus dengan interval 5−7 hari, 2) rampasan buah saat panen rendah disertai pemetikan buahbuah matang yang menjadi inang alternatif PBK di sekitar kebun, 3) sanitasi kebun dengan membersihkan kebun dan memangkas cabang-cabang horizontal, 4) konservasi musuh alami dengan tidak menggunakan pestisida dan tidak membabat tumbuhan penghasil nektar, isolasi kebun kakao 300 m dari ladangladang kecil ("small holder"). Penanggulangan tersebut perlu dipadu dengan kosmovisi petani, pengetahuan lokal petani, dan keadaan sosial ekonomi petani.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1987. Introduction to the cocoa pod borer. Symposium on Management of the Cocoa Pod Borer. Malaysian Plant Protection Society. Kuala Lumpur. p. 1−6. Atmawinata, O. 1993. Hama penggerek buah kakao (PBK), Suatu ancaman terhadap kelestarian perkebunan kakao di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002
Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. (15): 1−3. Bradley, J.D. 1985. A change of generic name for the cocoa moth, Acrocercops cramerella (Snellen) (Lep: Gracillariidae), Entomologist’s Rec. J. Var. 97: 29−30.
Bradley, J. D. 1986. Identity of the South-East Asian cocoa moth Conopomorpha cramerella (Snellen) (Lepidoptera; Gracillariidae). With description of three allied news species. Bulletin of Entomological Research 76: 41−51.
73
Knaap Van der, P.W. 1955. The influence of rampasan and stripping on the production of cocoa trees (translated from De Bergcultures 1 Mei 1955, 24(8), p. 219 − 223 and 16 Mei 1955, 24(10) p. 255 by P.C. Wessel) In Cocoa Research in Indonesia 1900−1950. vol II. Eds Hille Toxopeus and P.C. Wessel. American Cocoa Research Institute, 77−88. Lim, G.T. 1984. The behavioural studies on cocoa podborer Acrocercops cramerella (Snellen). Ninth International Cocoa Research Conference, Togo. pp. 539−542. Lim, G.T. 1986. Seasonal fluctuation of cocoa podborer Conopomorpha cramerella (Snellen) in Tawau, Sabah. Proc. 2 nd. Int. Conf. Pl. Prot. in the Tropics (Extended abstracts), Malaysian Plan Prot. Soc. (MAPPS), Kuala Lumpur. p. 114. Lim, G.T. 1992. Biology, ecology, and control of cocoa podborer Conopomorpha cramerella (Snellen), In Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australia. FAO Plant Prod. and Protection 12: 85−100. Lim, G.T. and K.Y. Pan. 1986. Observations on the sexual activity and egg production of cacao podborer Conopomorpha cramerella (Snellen) in the laboratory. Annual Research Report, Departement of Agriculture, Kota Kinibalu, Sabah. Madry, B. 1994. Kebijakan teknis perlindungan tanaman dalam kaitannya dengan pengendalian hama Penggerek Buah Kakao (PBK) di Indonesia. Prosiding Lokakarya Penanggulangan Hama PBK di Indonesia. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. hlm. 10−17. Millar, D. 1992. Farmer experimentation and the cosmovission paradigm. Paper to farmer Dachil from Yachedo near Tatale in the eastern corner of the Northern Region of Ghana. p. 44−50.
74
Ooi, P.A.C. 1986. Food plants of Conopomorpha cramerella (Snellen). MAPPS Newsletter 10: 5− 6. Ooi, P.A.C. 1987. Advances in the biological control of cocoa podborer In Ooi, P.A.C (Ed) Management of cocoa podborer. The Malaysian Plant Protection Society (MAPPS), Kuala Lumpur. p. 103−117.
logische Vereeniging. Sgravehage Mart. Nijhott. I, p. 63−66. Tay, E.B. 1987. Control of cocoa podborer the Sabah experience In Ooi P.A.C. (Ed) Symposium on the Management of the Cocoa Podborer. Malaysian Plant Protection Society. Kuala Lumpur. p. 7−17.
Ooi, P.A.C. 1992. Prospects for biological control of cocoa insect pests In Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australia. FAO Plant Prod. and Protection 12: 101−107.
Tay, E.B. and C.L. Bong. 2000. Management of cocoa pest and diseases in Malaysia in the year 2000 In Pest Management and the Enviroment in 2000. CAB International in Asosiation with the Agricultural Institute of Malaysia. p. 231−249.
Roepke, W. 1912. Die niewe parasieten van het cacao motje eniets over parasieten in het al gameen. Meded. Proestat Midden Java 5, 1− 21.
Wardojo, S. 1980. The cocoa podborer. A major hindrance to cocoa development. Indonesian Agricultural Research and Development Journal 2(1): 1−4.
Roepke, W. 1917. Cacao (translated from onze koloniale Landbouw by P.C. Wessel, H.D. Tjeenk Willink & Zoon, N: In Cocoa Research in Indonesia 1900−1950. Vol. II eds Hille Toxopeus & P.C. Wessel. American Cocoa Research Institute. p. 69−74.
Wardojo, S. 1981. Metode pengamatan penggerek buah coklat. Prosiding Lokakarya Hama Penggerek Buah Coklat, Tanjung Morawa. hlm. 59−64.
Rusnah Mohd., S., Rita Muhamad, S.G. Tan, Y.Y. Gan, and A. Halmy. 1985. Biological polymorphisms of peptidase and L - CPDH in natural populations of the cocoa podborer Conopomorpha cramerella Snellen. Journal of Plant Protection in the Tropics 2: 49− 52. Shah, S. 1987. Cultural and physical control of the cocoa podborer Conopomorpha cramerella: (Snellen) (Lepidoptera; Gracillariidae) In Ooi P.A.C. (Ed) Management of the Cocoa Podborer. The Malaysian Plant Protection Society, Kuala Lumpur. p. 43− 51. Snellen, P.C.T. 1904. Gracilaria cramerella Snellen i.l. nov., sp. (The Cocoa Podborer Moth). (translated from W. Van Deventer) by. P.C. Wessel. Nederlandsche Entomo-
Wardojo, S. 1994. Strategi pengendalian hama Penggerek Buah Kakao (PBK) di Indonesia. Disampaikan pada Gelar Teknologi dan Pertemuan Regional Pengendalian PBK di Kabupaten Polmas Sulawesi Selatan, 3−4 Oktober 1994. 5 hlm. Wessel, P.C. 1983. The Cocoa Podborer Moth (Acrocercops cramerella Sn). Review of Research Institute, 39−65. Wiryadiputra, S. Endang Sulistyowati, dan A. A. Prawoto. 1994. Teknik pengendalian hama penggerek buah kakao Conopomorpha cramerella (Snellen). Prosiding Lokakarya Penanggulangan Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) di Indonesia. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, 8 Februari 1994. hlm. 37−53. Zehntner, L. 1901. Over eenige insectenplsgen bij de cacaocultuur op Java. De Nieuwe Gids 3: 567−572.
Jurnal Litbang Pertanian, 21(2), 2002