PERILAKU BERSARANG ORANGUTAN KALIMANTAN (PONGO

Download Perilaku Bersarang Orangutan Kalimantan. (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedeman 1808) di Tipe Habitat yang Berbeda di. Stasiun Penelitian Cabang...

0 downloads 465 Views 3MB Size
PERILAKU BERSARANG ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedemann 1808) DI TIPE HABITAT YANG BERBEDA DI STASIUN PENELITIAN CABANG PANTI, TAMAN NASIONAL GUNUNG PALUNG, KALIMANTAN BARAT

MUHAMAD RUSDA YAKIN

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013 M/1434 H

PERILAKU BERSARANG ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedemann 1808) DI TIPE HABITAT YANG BERBEDA DI STASIUN PENELITIAN CABANG PANTI, TAMAN NASIONAL GUNUNG PALUNG, KALIMANTAN BARAT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

MUHAMAD RUSDA YAKIN 108095000008

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013 M/1434 H

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN KEASLIAN SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Januari 2013

Muhamad Rusda Yakin NIM. 108095000008

MUHAMAD RUSDA YAKIN

Perilaku Bersarang Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedemann JAKARTA 1808) di Tipe Habitat yang Berbeda di 2013 M/ 1434 H Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat

ABSTRAK MUHAMAD RUSDA YAKIN. Perilaku Bersarang Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedeman 1808) di Tipe Habitat yang Berbeda di Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat. Skripsi. Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Januari 2013. Perilaku bersarang mempunyai peran penting bagi kehidupan orangutan meskipun perilaku bersarang merupakan aktivitas dengan persentasi yang kecil, karena fungsi sarang di antaranya adalah sebagai tempat beristirahat dan tempat berlindung dari cuaca buruk seperti panas dan hujan. Perilaku bersarang orangutan berhubungan dengan kondisi habitat, karena sebaran sarang orangutan dipengaruhi oleh letak pohon buah dan topografi hutan. Terdapat tujuh tipe habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti: hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan tanah aluvial, hutan batu berpasir dataran rendah, hutan granit dataran rendah, hutan granit dataran tinggi, dan hutan pegunungan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan karakteristik sarang orangutan hanya di lima tipe habitat (hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan tanah aluvial, hutan batu berpasir dataran rendah, dan hutan granit dataran rendah) dan perilaku bersarang orangutan pada kelas umur yang sama ketika berada di tipe habitat yang berbeda. Metode line transect digunakan untuk mencari sarang orangutan di lima tipe habitat, sedangkan untuk perilaku bersarang digunakan metode focal animal sampling. Analisis data menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney (SPSS 17). Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa terdapat perbedaan rata-rata ketinggian sarang, ketinggian pohon sarang dan diameter batang pohon sarang orangutan di lima tipe habitat. Sedangkan untuk perilaku bersarang, tidak terdapat perbedaan perilaku bersarang orangutan pada kelas umur yang sama ketika berada di tipe habitat yang berbeda tetapi terdapat perbedaan rata-rata ketinggian sarang, ketinggian pohon sarang dan diameter batang pohon sarang orangutan berdasarkan kelas umur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi program konservasi orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti dan bagi konservasi orangutan secara luas. Kata kunci: orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii), karakteristik sarang, perilaku bersarang, tipe habitat yang berbeda, konservasi

ABSTRACT MUHAMAD RUSDA YAKIN. Bornean Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedeman 1808) Nesting Behaviour in Different Habitat Types of Cabang Panti Research Site, Gunung Palung National Park, West Kalimantan. Essay. Biology Course, Faculty of Science and Technology, Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta. January 2013. Nesting behaviour has important roles for orangutan life although it is the small percentage activity, because orangutan can use nest for resting and taking shelter from bad weather such as heat force and rain. Orangutan nesting behaviour has correlation with habitat condition, because orangutan nest distribution is influenced by fuit tree location and forest topography. There are seven different habitat types in Cabang Panti Research Site: peat swamp, freshwater swamp, alluvial bench, lowland sandstone, lowland granite, upland granite, and mountaine. The study aimed to know differences of orangutan nest characteristic only in five different habitat types (peat swamp, freshwater swamp, alluvial bench, lowland sandstone, and lowland granite) and orangutan nesting behaviour when make nest in different habitat types. The line transect method was used to observe orangutan nest in five different habitat types and for orangutan nesting behaviour the focal animal sampling was used. Data were analyzed by KruskalWallis and Mann-Whitney (SPSS 17). Based on the results of analysis, there are differences on orangutan nest height average, nest tree height, and nest tree stem diameter in five habitat types. Whereas for orangutan nesting behaviour, there is no difference on similar age class orangutans when make nest in different habitat types but there are differences on orangutan nest height average, nest tree height, and nest tree stem diameter based on age classes. Results of this study are expected to give input for orangutan conservation program in Cabang Panti Research Site and orangutan conservation extensively. Keyword: bornean orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii), nest characteristic, nesting behaviour, different habitat types, conservation

Aku persembahkan karya ini untuk “Kera Merah Si Pematah Ranting”

Pada setiap ranting yang dipatahkan, tercurah asa untuk melanjutkan hidup esok pagi. Dan pada setiap sarang yang ditemukan, tersirat pesan yang tak pernah sempat dikatakan “selamatkan kami”

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat, hidayah, inayah dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman. Skripsi ini berjudul “Perilaku Bersarang Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedemann 1808) di Tipe Habitat yang Berbeda di Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat”, disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi S1 pada Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selama penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan motivasi dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada: 1. Kedua orangtua, Mama dan almarhum Bapak yang telah membesarkan dan mendidik dengan kasih sayang dan doa, dengan restu dan bimbingan yang tidak terbanding dengan apapun. Serta untuk Nunu dan Abdu, yang selalu memberikan motivasi dan semangat “kuliah ini pasti berakhir, dan selanjutnya giliran kalian”

i

2. Dr. Cheryl D. Knott, dari Department of Anthropology-Boston University, USA, selaku direktur Gunung Palung Orangutan Project (GPOP) dan Gunung Palung Orangutan Conservation Program (GPOCP)/ Yayasan Palung, yang telah memberikan kesempatan dan support materi untuk melakukan penelitian orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti 3. Dr. Gail Angela Campbell-Smith, selaku manajer GPOP, atas bantuan dan saran serta waktu untuk berdiskusi selama melakukan penelitian di Stasiun Penelitian Cabang Panti yang sangat berperan penting bagi penelitian ini 4. Dr. Agus Salim, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan teknologi beserta seluruh Pembantu Dekan beserta seluruh Staf akademik Fakultas Sains dan Teknologi terima kasih atas pelayanan administrasi 5. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud., selaku ketua Program Studi Biologi UIN Syarif Hidayatullah dan seluruh dosen Biologi, terima kasih atas pelayanan administrasi dan ilmu berharga bagi penulis 6. Dr. Sri Suci Utami Atmoko, dari Fakultas Biologi Universitas Nasional, selaku pembimbing kedua yang telah membimbing, memberikan ilmu, memberikan kritik dan saran selama peneliti berada di lapangan dan ketika penyusunan skripsi 7. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si, dari Program Studi Biologi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta,

selaku

pembimbing

pertama

yang

telah

ii

mengajarkan, membimbing, memberikan kritik dan saran terhadap penelitian dan penyusunan skripsi 8. Dini Fardila, M.Si dan Pascal Sukandar, M.Si, selaku penguji pada seminar proposal dan seminar hasil, terima kasih atas kritik dan saran yang diberikan 9. Nani Radiastuti, M.Si, selaku penguji dan Priyanti, M.Si, selaku pembimbing akademik dan penguji di sidang skripsi, terima kasih atas saran, bimbingan dan nasihatnya selama penulis menjalani kuliah hingga akhir penyelesaian skripsi ini 10. Tri Wahyu Susanto, M.Si yang telah membantu, memberikan support dan mengajarkan ilmu baru bagi penulis, menjadi guru diskusi dan memberikan nasihat selama penyusunan skripsi, terima kasih banyak dan jangan bosan untuk “ditanya” 11. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Palung (BTNGP) A. Haris Sudjoko S.H, beserta staff (mas Ibrahim, mas Frangky, mas heri, mas Ais, mas Sapon, mbak Yunita, pak Cek dan kawan-kawan yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu, terima kasih atas izin yang diberikan, dan terima kasih atas waktunya selama di lapangan serta ketika peneliti berada di Balai Taman Nasional 12. Keluarga besar Gunung Palung Orangutan Conservation Program (GPOCP)/Yayasan Palung, Andrew (eks-manager YP), bang Tito, mbak Mona, mbak Asni, mbak May, dan bang Tang terima kasih atas bantuan serta waktu untuk diskusi, serta bang Samad, Reno, Rauf dan kawaniii

kawan Yayasan Palung lainnya yang tidak bisa dituliskan satu persatu terima kasih banyak atas bantuan selama peneliti berada di Ketapang dan support-nya terhadap penelitian ini 13. Keluarga besar Stasiun Penelitian Cabang Panti, Asisten OH dan Crew, tim OH: Bang Hasan, Bang Hardi, Bang Miran, Yayat (eks-assistant), Surya (eks-assistant), Alex (eks-assistant), dan Margaret Gavin, terimakasih atas kebersamaan selama di camp dan di luar camp. Tim KKL: Loren (manager project), Bang Randa, Bang Busran, dan Bang Albani, serta Kery terima kasih atas kebersamaan juga atas bantuannya dalam identifikasi pohon sarang. Serta ibu Inah (juru masak) atas masakan terenak di Cabang Panti yang membantu menaikkan berat badan penulis hingga “15 KG” dalam kurang dari 5 bulan, bang Udin dan lainnya, terima kasih yang tak terhingga 14. Keluarga bapak Suhaidi (kepala dusun Sedahan Jaya), beserta ibu Hamidah, Esi, dan keluarga besarnya terima kasih tak terhingga atas bantuan, kebersamaan serta tempat tinggal dan keperluan hidup yang tak terhitung harganya yang diberikan kepada peneliti selama berada di Sedahan Jaya. Keluarga bapak Burhanudin dan ibu Nilawati, Erwin dan keluarga terima kasih tak terhingga atas kesediaannya memberikan tempat menginap serta jamuannya kepada peneliti ketika berada di Teluk Melano, ini merupakan pengalaman yang tak ternilai harganya

iv

15. Yayat Aryadi, Melinda, Betty, Raju dan Eko. Kawan baru di Sukadana, merasa beruntung kenal dengan kalian, semoga pertemanan kita terus berjalan selamanya 16. Angga Prathama Putra, M.Si, Eko Prasetyo, S.Si dan Didik Prasetyo, M.Si, atas motivasi, kritik dan saran serta bimbingannya selama penelitian dan penyusunan skripsi 17. Putri Taniasari, S.Si dan Muhammad Wantoso, S.Si, selaku teman diskusi, terima kasih atas waktu diskusi selama ini, terus semangat 18. Juli Wahyu Wulandari, atas kebersamaan dan motivasi yang diberikan, terima kasih atas kesetiaan yang tak ada habisnya dan untuk “27 Juli” yang penuh makna 19. Untari Uni Comara, Maulya Arfi, S.Si, dan Ahmad Jaelani, S.Si, senang sekali bisa berjuang bersama, terus semangat berkarya 20. Keluarga besar KPP (Kelompok Pengamat Primata) Tarsius Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah, terima kasih atas hangatnya semangat dan ilmu berharga yang kita cari bersama terutama untuk “ketukan palu presidium sidang” 21. Teman – teman biologi angkatan 2008, terima kasih yang luar biasa kepada kalian untuk kebersamaan dan semangat, salam lestari Semoga jasa-jasa kalian dibalas oleh Sang Maha Pengasih, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya. “Amin”. Ciputat, Januari 2013 Penulis v

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................

i

DAFTAR ISI ...........................................................................................

vi

DAFTAR TABEL ..................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR ..............................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................

xii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................

1

1.1 Latar Belakang ..........................................................................

1

1.2 Perumusan Masalah ..................................................................

3

1.3 Pembatasan Masalah .................................................................

3

1.4 Hipotesis ...................................................................................

4

1.5 Tujuan Penelitian ......................................................................

4

1.6 Manfaat Penelitian ....................................................................

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................

6

2.1 Bio-Ekologi Orangutan .............................................................

6

2.2 Perilaku Bersarang Orangutan ..................................................

8

2.3 Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung ......................................................................................

12

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................

15

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................

15

3.2 Peralatan Penelitian ..................................................................

18

3.3 Cara Kerja .................................................................................

19

3.3.1 Objek Penelitian Orangutan Focal .................................

19

3.3.2 Pencarian Objek Penelitian Orangutan Focal ................

20

3.3.3 Metode Pengumpulan Data ............................................

20 vi

3.3.3.1 Data Karakteristik Sarang Tiap Habitat .............

21

3.3.3.2 Data Perilaku dan Karakteristik Sarang Orangutan Focal .................................................

24

3.4 Analisis Data .............................................................................

26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................

28

4.1 Karakteristik Sarang Orangutan di Lima Tipe Habitat .............

28

4.1.1 Kelas Sarang Orangutan .................................................

28

4.1.2 Posisi Sarang Orangutan .................................................

30

4.1.3 Ketinggian Sarang dan Pohon Sarang Orangutan ..........

32

4.1.4 Diameter Batang Pohon Sarang Orangutan ....................

36

4.1.5 Diameter Kanopi Pohon Sarang Orangutan ...................

37

4.1.6 Jenis Pohon Sarang Orangutan .......................................

40

4.2 Perilaku Bersarang Orangutan Focal di Tiap Tipe Habitat .......

41

4.2.1 Perilaku Bersarang Orangutan Remaja di Dua Tipe Habitat ............................................................................

44

4.2.2 Perilaku Bersarang Orangutan Betina Dewasa di Tiga Tipe Habitat ....................................................................

47

4.2.3 Perilaku Bersarang Orangutan Betina Dewasa dengan Anak di Empat Tipe Habitat ..........................................

50

4.2.4 Perilaku Bersarang Orangutan Jantan Berpipi di Dua Tipe Habitat ....................................................................

53

4.3 Perilaku Bersarang Orangutan Berdasarkan Kelas Umur .........

55

4.3.1 Posisi Sarang Orangutan ..................................................

55

4.3.2 Durasi Pembuatan Sarang Orangutan ..............................

57

4.3.3 Jarak Pohon Pakan Terakhir dengan Pohon Sarang Orangutan ........................................................................

59

4.3.4 Jarak Pohon Sarang Orangutan dengan Pohon pakan Pertama ............................................................................

61

4.3.5 Ketinggian Sarang dan Pohon Sarang Orangutan ..........

63

4.3.6 Diameter Batang Pohon Sarang Orangutan .....................

65 vii

4.3.7 Jenis Pohon Sarang Orangutan ........................................

66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................

68

5.1 Kesimpulan ...............................................................................

68

5.2 Saran .........................................................................................

68

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................

70

LAMPIRAN ............................................................................................

74

viii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Daftar orangutan yang diikuti selama penelitian ......................

19

Tabel 2. Kelas umur orangutan yang diuji data bersarangnya ................

42

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.

Foto orangutan kalimantan duduk di sarangnya, Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat .......................

Gambar 2.

Peta lokasi Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat .......................

Gambar 3.

13

Peta Lokasi Penelitian, Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat ...........

Gambar 4.

11

17

Rata-rata suhu udara dan curah hujan di Stasiun Penelitian Cabang Panti bulan Oktober 2011-Februari 2012 ...............

18

Gambar 5.

Line transect ; A midline 1 km dan B midline 300 m ..........

21

Gambar 6.

Posisi sarang orangutan ........................................................

23

Gambar 7.

Persentase (%) kelas sarang orangutan di kelima tipe habitat...................................................................................

Gambar 8.

Persentase (%) posisi sarang orangutan di kelima tipe habitat...................................................................................

Gambar 9.

29

30

Rata-rata ketinggian (m) sarang dan pohon sarang orangutan di kelima tipe habitat...........................................

33

Gambar 10. Rata-rata diameter batang (cm) pohon sarang orangutan di kelima tipe habitat ................................................................

36

Gambar 11. Rata-rata diameter (m) kanopi pohon sarang orangutan pada kelima tipe habitat .......................................................

38

Gambar 12. Jenis pohon sarang orangutan pada kelima tipe habitat .......

40

Gambar 13. Persentase (%) sarang siang dan malam orangutan yang diikuti ...................................................................................

43

Gambar 14. Persentase (%) sarang malam yang dibuat oleh masingmasing kelas umur orangutan di tiap habitat ......................

44

Gambar 15. Persentase (%) posisi sarang malam orangutan ...................

56

x

Gambar 16. Rata-rata durasi (menit) pembuatan sarang malam orangutan .............................................................................

58

Gambar 17. Rata-rata jarak (m) dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang malam orangutan ......................................................

59

Gambar 18. Rata-rata jarak (m) dari pohon sarang malam ke pohon pakan pertama orangutan ....................................................

61

Gambar 19. Rata-rata ketinggian (m) sarang dan pohon sarang malam orangutan .............................................................................

63

Gambar 20. Rata-rata diameter batang (cm) pohon sarang malam orangutan .............................................................................

65

Gambar 21. Jenis pohon sarang malam orangutan...................................

67

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1A. Persentase ketersediaan bunga dan buah sumber pakan orangutan periode Oktober 2011-Februari 2012 ...............

74

1B. Persentase ketersediaan bunga dan buah sumber pakan orangutan periode Januari 2008-September 2012 .............

73

Lampiran 2. Posisi sarang orangutan ........................................................

75

Lampiran 3. Kelas sarang orangutan .........................................................

76

Lampiran 4. Gambaran kondisi lima tipe habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti ........................................................................

77

Lampiran 5. Uji Kruskall-Wallis karakteristik sarang hasil survei ...........

78

Lampiran 6. Uji Mann-Whitney karakteristik sarang hasil survei ............

79

Lampiran 7. Uji Mann-Whitney perilaku bersarang orangutan remaja di dua tipe habitat .....................................................................

85

Lampiran 8. Uji Kruskal-Wallis perilaku bersarang orangutan betina dewasa di tiga tipe habitat ....................................................

86

Lampiran 9. Uji Mann-Whitney jarak sarang malam ke pohon pakan pertama orangutan betina dewasa di dua tipe habitat ........

87

Lampiran 10. Uji Kruskal-Wallis perilaku bersarang orangutan betina dewasa dengan anak di empat tipe habitat ........................

88

Lampiran 11. Uji Mann-Whitney perilaku bersarang orangutan jantan berpipi di dua tipe habitat ..................................................

90

Lampiran 12. Uji Kruskal-Wallis perilaku bersarang orangutan orangutan berdasarkan kelas umur ....................................

92

Lampiran 13. Uji Mann-Whitney ketinggian sarang orangutan berdasarkan kelas umur .....................................................

94

Lampiran 14. Uji Mann-Whitney ketinggian pohon sarang orangutan berdasarkan kelas umur .....................................................

95

xii

Lampiran 15. Uji Mann-Whitney diameter batang pohon sarang orangutan berdasarkan kelas umur ....................................

96

Lampiran 16. Pohon yang dijadikan sebagai material sarang orangutan (survei dan ikut orangutan Focal) .....................................

97

Lampiran 17. Beberapa individu orangutan yang diambil data bersarangnya ...................................................................... Lampiran 18. Distribusi sarang orangutan ................................................

99 100

xiii

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Orangutan merupakan satwa soliter yang cenderung hidup sendiri dan

memiliki pergerakan lambat dalam rimbunan pohon-pohon di hutan (Kuncoro, 2004). Aktivitas utama orangutan dipenuhi oleh kegiatan makan kemudian aktivitas istirahat, sosial dan bergerak di antara pepohonan, sedangkan aktivitas membuat sarang merupakan kegiatan yang dilakukan dalam persentasi waktu yang relatif kecil (Galdikas, 1986). Walaupun merupakan aktivitas yang memilki presentasi paling kecil dilakukan, bersarang merupakan aktivitas yang mempunyai peran penting bagi kehidupan orangutan karena sarang yang dibuat mempunyai fungsi tertentu yang menunjang aktivitas harian orangutan. Menurut Dalimunthe (2009), fungsi sarang adalah sebagai tempat beristirahat setelah seharian melakukan aktivitas hariannya. Selain itu, sarang juga berfungsi sebagai tempat berlindung dari cuaca yang buruk seperti panas dan hujan. Orangutan memilih tempat yang menguntungkan dalam membangun sarangnya dengan mempertimbangkan letak pohon berbuah terdekat dan topografi daerah sehingga tempat bersarang terdistribusi secara acak. Umumnya orangutan membangun sarang pada tempat-tempat yang dapat memberikan pandangan yang luas ke sebagian besar areal hutan (Rijsken, 1978). Pemilihan tempat bersarang ini

1

2

sangat dipengaruhi oleh keadaan habitat termasuk kondisi vegetasi di mana orangutan tersebut tinggal. Menurut Kudus (2000), habitat merupakan komponen utama dalam pelestarian satwa, untuk hidup dan berkembang biaknya satwa memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai dan mendukung terutama dalam hal penyediaan tempat berlindung, bermain, bersarang dan berkembang biak. Oleh karena itu, perilaku bersarang orangutan diduga berkaitan erat dengan kondisi habitat tempat tinggal orangutan tersebut. Orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti menjalani kehidupannya pada kondisi habitat yang beranekaragam, berdasarkan Knott (1999) ada tujuh tipe habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti yaitu hutan rawa gambut (peat swamp forest), hutan rawa air tawar (freshwater forest), hutan tanah aluvial (alluvial bench), hutan batu berpasir dataran rendah (lowland sandstone forest), hutan granit dataran rendah (lowland granite forest), hutan granit dataran tinggi (upland granite forest), dan hutan pegunungan (mountaine forest). Tipe habitat yang beranekaragam ini merupakan satu hal menarik yang dimiliki oleh areal hutan Stasiun Penelitian Cabang Panti. Penelitian yang berkaitan dengan sarang orangutan di Taman Nasional Gunung Palung pernah dilakukan oleh Johnson pada tahun 2005, namun penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui sebaran dan populasi orangutan. Penelitian tentang perilaku bersarang orangutan juga telah banyak dilakukan, di antaranya pada tahun 2006 oleh Didik Prasetyo di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan dan oleh Andrea Gibson di Taman Nasional Sebangau. Maka, untuk

3

mengetahui bagaimana karakteristik dan perilaku bersarang orangutan pada berbagai tipe habitat, dilakukan penelitian ini di Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan bagaimana karakteristik dan perilaku bersarang orangutan di tipe-tipe habitat yang ada dan kemudian dapat digunakan sebagai informasi pendukung upaya pelestarian orangutan di kawasan tersebut.

1.2.

Perumusan Masalah Terkait dengan latar belakang di atas, masalah yang muncul dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Adakah perbedaan karakteristik sarang orangutan di masing-masing tipe habitat? 2. Adakah perbedaan perilaku bersarang orangutan di masing-masing tipe habitat?

1.3.

Pembatasan Masalah Masalah penelitian ini dibatasi pada karakteristik sarang dan perilaku

bersarang orangutan di tipe-tipe habitat yang ada di Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat.

4

1.4.

Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah yang ada maka hipotesis dari penelitian

ini adalah: 1.

Ada perbedaan karakteristik sarang orangutan di masing-masing tipe habitat

2.

Ada perbedaan perilaku bersarang orangutan di masing-masing tipe habitat

1.5.

Tujuan Penelitian 1.

Mengetahui ada atau tidaknya perbedaan karakteristik sarang yang dibuat oleh orangutan di masing-tipe habitat

2.

Mengetahui ada atau tidaknya perbedaan perilaku orangutan dalam membuat sarang ketika berada di habitat yang satu dengan habitat yang lain dan perilaku bersarang orangutan berdasarkan kelas umur

1.6.

Manfaat Penelitian 1.

Dengan diketahui ada atau tidaknya perbedaan karakteristik sarang yang dibuat maka diharapkan dapat menjelaskan bagaimana kecenderungan karakter sarang yang dibuat di masing-maing tipe habitat yang ada

2.

Dengan diketahui ada atau tidaknya perbedaan perilaku membuat sarang di masing-masing tipe habitat di antara orangutan pada kelas umur yang berbeda, maka diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

5

bagaimana bentuk penyesuaian diri orangutan terhadap keadaan masingmasing tipe habitat 3.

Data yang didapat diharapkan bisa mendukung upaya konservasi orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti, lebih luas lagi untuk upaya konservasi orangutan secara komprehensif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Bio-Ekologi Orangutan Orangutan merupakan kera besar yang hanya ditemukan di Asia. Selama

zaman pleistosen mereka tersebar ke Asia Tenggara dari Cina bagian selatan ke Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa (Wich et al., 2004). Secara morfologi, perilaku, sitogenetik, dan genetika molekuler, taksonomi orangutan dipisahkan menjadi dua jenis yaitu Pongo pygmaeus yang terdapat di Borneo (Kalimantan, Sabah dan Serawak) dan Pongo abelii yang tersebar di Sumatera bagian utara (Aceh dan Sumatera Utara) (Zhang et al., 2001). Populasi orangutan liar diperkirakan tersisa 54567 individu di Borneo dan 6667 individu di Sumatera (Soehartono et al., 2007). Penurunan populasi yang terus terjadi disebabkan terus berkurangnya areal hutan yang merupakan habitat alami bagi orangutan akibat penebangan, konversi, dan kebakaran hutan. Penurunan populasi orangutan juga disebabkan tingginya perburuan terhadap orangutan yang dipicu oleh tingginya tingkat perdagangan orangutan untuk dijadikan hewan peliharaan (Meijaard et al., 2001). Rijksen and Meijaard (1999), menambahkan bahwa kondisi kepunahan orangutan akan terus bertambah parah selama terus terjadi pengrusakan habitat dalam skala luas dan perburuan liar untuk dijadikan sebagai hewan peliharaan. Di tingkat nasional, orangutan dilindungi oleh Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 53/ Menhut-IV/ 2007. Di tingkat internasional, IUCN Red List Edisi tahun 6

7

2002 mengkategorikan orangutan sumatera dalam status Critically Endangered, artinya sudah sangat terancam kepunahan sedangkan orangutan kalimantan dikategorikan Endangered atau langka (Soehartono et al., 2007) dan kedua spesies ini tidak boleh diperdagangkan secara komersial karena berada dalam daftar Appendix I CITES (Cites Secretariat, 1998). Orangutan dapat hidup di berbagai tipe dan kondisi habitat, mulai dari hutan hujan tropis dataran rendah, rawa-rawa, hingga hutan perbukitan (Supriatna dan Wahyono, 2000). Bailey (1984) dalam Muin (2007) menyebutkan bahwa habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan perlindungan. Salah satu komponen habitat terpenting bagi orangutan adalah pohon, sebab orangutan sebagai mamalia arboreal terbesar dengan berat betina 40 kg dan jantan 80 kg. Habitat optimal bagi orangutan adalah habitat yang mencakup paling sedikit dua tipe lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering yang berdekatan. Kalimantan sendiri secara umum memiliki lima tipe habitat yang ditempati oleh orangutan, yaitu dataran banjir dan rawa gambut, hutan aluvial/ daerah sepanjang sungai, dataran tinggi di kaki bukit, hutan subpegunungan dan pegunungan, serta hutan tebang pilih/ hutan sekunder (Meijaard et al., 2001). Distribusi orangutan dipengaruhi oleh sebaran habitat yang memiliki ketersedian makanan yang tersedia sepanjang tahun dan apabila lokasi tersebut sudah tidak produktif lagi, maka orangutan akan terus bermigrasi ke daerah lain dimana habitat tersebut menyimpan ketersedian makanan yang lebih baik dari habitat sebelumnya (Buij et al., 2002; Susanto, 2006). Menurut Meijaard et al.

8

(2001), hanya beberapa individu yang tetap tinggal di suatu daerah meskipun ketersediaan makanan rendah, sedangkan individu lainnya segera berpindah untuk mencari daerah lain. Menurut Galdikas (1986), buah merupakan jenis makanan yang lebih dominan untuk dimakan oleh orangutan, kehidupan orangutan tergantung dari kondisi habitatnya yang mendukung akan adanya ketersedian makanan yang cukup bagi kehidupannya. Agar dapat bertahan hidup, maka suatu populasi orangutan menggantungkan hidupnya pada komposisi pepohonan dan liana yang menyediakan makanan selama musim produktif secara terus-menerus sepanjang tahun dan dalam jarak penjelajahan yang masih bisa dijangkau, habitat orangutan yang berkualitas baik dipenuhi pepohonan (contoh: Alangium spp. dan Palaquium spp.) dan (contoh: liana yang 30–50% menyediakan buah-buahan sebagai sumber pakan orangutan.

2.2.

Perilaku Bersarang Orangutan Perilaku bersarang pada orangutan merupakan perilaku yang hanya

dilakukan oleh kera besar lainnya seperti simpanse, bonobo dan gorilla yang melakukan aktivitas tersebut secara reguler (Ergenter, 1990 dalam Kuncoro, 2004). Perilaku bersarang orangutan bukanlah perilaku berdasarkan naluri tetapi lebih kepada perilaku yang muncul setelah dipelajari, bayi orangutan akan mengikuti dan berlatih cara membuat sarang kepada induknya (Prasetyo et al., 2009).

9

Galdikas (1986) melihat aktivitas bersarang meliputi perlakuan terhadap cabang pohon dan pematahan dahan dalam rangka menyusun sarang untuk tidur, yang diawali dengan mematahkan dan mengumpulkan cabang-cabang pohon untuk kemudian disusun menjadi sarang utuh, tetapi terkadang hanya berbentuk atap sebagai pelindung kepala jika hujan. Yosiba (1964); Margianto (2000) dalam Susanto (2006) mengatakan bahwa orangutan biasanya dalam membangun sarang terlebih dahulu memilih material sarang yang akan digunakan untuk membuat sarangnya, yaitu daun-daunan, cabang dan ranting-ranting kecil. Orangutan membuat sarang baru pada pohon setiap malamnya, sarang tersebut terdiri dari susunan dahan yang dibuat dalam beberapa menit pada tempat yang cocok misalnya di puncak pohon atau di cagak dahan. Dahan tersebut dipatahkan dan dibengkokkan, kemudian diletakkan tumpang tindih dan ditutupi dengan dahan-dahan kecil. Beberapa orangutan membuat sarang lebih besar dan lebih kompleks dari orangutan lain. Orangutan terkadang juga menggunakan sarang lama dengan menggunakan cabang-cabang segar dari pohon sarang tersebut dan menggunakan sarang yang telah diperbaiki ini sebagai tempat bermalam (MacKinnon, 1971; Galdikas, 1984 dalam Paulina et al., 2001). Menurut McGrew (1992) dan Ergenter (1998) dalam Prasetyo (2006), proses pembuatan sarang pada kera besar memiliki 3 tahap utama, yaitu: a.

Pembuatan pondasi sarang, merupakan tahap yang sangat menentukan dari kesempurnaan bentuk sarang, material pondasi sarang berasal dari dahan pohon yang sangat kuat yang disusun menjadi satu sehingga terbentuk struktur yang saling menyilang.

10

b.

Pembuatan matras sarang, tahap yang dilakukan setelah pondasi sarang selesai dibuat, material dari matras berasal dari ranting- ranting yang terdapat disekitar pondasi sarang yang ditumpuk di atas pondasi sarang. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menambah ketebalan sarang, dan beberapa kasus dijumpai matras digunakan sebagai pelindung saat hujan

c.

Pembuatan penopang kepala sebagai tahap akhir dari proses pembuatan sarang, biasanya individu kera besar akan mengambil beberapa ranting dan diletakkan pada posisi kepala di dalam sarang sebagai “bantal”. Orangutan ketika membangun sarangnya, terkadang menambahkan

benda-benda tertentu yang dibuat sendiri dan/ atau bagian tambahan pada sarang untuk menambah kenyamanan sarang tersebut. Benda-benda yang dimaksud dapat berupa “bantal” dan “selimut” dari bagian pohon, sedangkan untuk bagian tambahan sarang bisa berupa atap dan sarang kosong di dekat sarang utama (second bunk nest) (Prasetyo et al., 2009). Bantal merupakan ranting kecil berdaun yang disusun pada salah satu sisi sarang. Selimut merupakan ranting lentur berdaun yang diletakkan di atas tubuh setelah orangutan berbaring di sarangnya. Atap merupakan penutup yang dibuat dari jalinan dahan yang dianyam sehingga susunannya kuat dan hampir kedap air. Sedangkan sarang kosong merupakan bangunan menyerupai panggung yang dibuat di atas sarang (Prasetyo, 2006). Selain sarang malam, orangutan juga membuat sarang siang. Pembuatan sarang siang cenderung tidak sebaik sarang malam dari segi kekuatan konstruksinya, serta biasanya pada sarang siang tidak ditemukan bantal atau

11

bagian tambahan sarang lain. Hal ini yang kemudian membuat perbedaan yang jelas terhadap durasi pembuatan, sarang siang cenderung dibuat dengan durasi lebih singkat dibandingkan sarang malam (Prasetyo et al., 2009).

Gambar 1. Foto orangutan Kalimantan duduk di sarangnya, Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat (Laman, 2009) Prasetyo et al. (2009) menjelaskan bahwa sarang orangutan dapat dibuat pada posisi yang berbeda di pohon, terdapat empat posisi yang umum digunakan oleh orangutan yaitu posisi 1, 2, 3, dan 4 serta posisi yang tidak lazim yaitu posisi 0. Kemudian Sugardjito (1983) menambahkan bahwa

posisi sarang di atas

puncak pohon (posisi 3) dan dahan pohon (posisi 1 dan 2), baik pada satu batang maupun pada dua batang mempunyai keuntungan bagi orangutan yaitu tidak terhalangnya pandangan dan jangkauan yang dapat mencakup sebagian besar dari penjuru hutan. Selain itu, posisi ini juga memudahkan orangutan dalam

12

melakukan pergerakan sewaktu keluar dari sarang. Dari segi keamanan, posisi ini menghindarkan orangutan dari ancaman predator.

2.3.

Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung Stasiun Penelitian Cabang Panti dibangun pada pertengahan tahun 1980

dan kegiatan penelitiannya diselenggarakan secara terus menerus setelah itu sampai saat ini. Habitat-habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti letaknya berdekatan sehingga hanya terdapat sedikit perbedaan dalam curah hujan, garis lintang, musim, diversitas sinar gamma, dan tekanan predator. Rata-rata curah hujan di kawasan penelitian yaitu 4266 mm/ tahun, dan suhu harian berkisar antara 25o-26oc (http://gunungpalung.net, 2011). Stasiun Penelitian Cabang Panti terletak di kawasan Taman Nasional Gunung Palung, secara geografis Taman Nasional ini terletak pada kordinat 01o00’-01o20’ LS dan 109o00’-110o25’ BT. Secara umum iklim kawasan ini termasuk klasifikasi iklim A (Schmidt dan Ferguson). Keadaan suhu rata-rata bulanan 26,4-29 0C, kelembaban rata-rata 88,3% dengan kelembaban minimum 76,4% dan maksimum 90,2%. Sedangkan hujan terjadi sepanjang tahun yakni berkisar antara 181-190 hari hujan per tahun dengan curah hujan rata-rata 3000 mm per tahun (http://ditjenphka.dephut.go.id, 2012).

13

Gambar 2. Peta lokasi Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat (Susanto, 2012)

Kawasan Taman Nasional Gunung Palung yang berada di daerah hilir termasuk ke dalam tiga Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu sebelah utara dan timur termasuk ke dalam DAS Simpang, sebelah timur DAS Pawan dan sebelah selatan termasuk DAS Tulak (http://ditjenphka.dephut.go.id, 2012). Sebagian besar habitat Taman Nasional didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan dari family Dipterocarpaceae seperti meranti (Shorea spp.), kruing (Dipterocarpus spp.) dan kapur (Dryobalanops spp.). selain itu ditemukan juga durian (Durio carinatus), rambutan hutan (Nephelium sp.), pluntan (Arthocarpus sp.), dan ara (Ficus spp.) (Badan Planologi Kehutanan, 2002). Selain keindahan floranya, Taman Nasional Gunung Palung juga memiliki berbagai jenis satwa yang tidak kalah indah. Beberapa jenis satwa di kawasan ini antara lain orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii), kelampiau

14

(Hylobathes albibarbis), kelasi (Prebytis rubicunda), bekantan (Nasalis larvatus), kijang (Muntiacus muntjak pleiharicus), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), beruk (Macaca nemestrina nemestrina), kukang (Nyticebus coucang borneanus), rangkong badak (Buceros rhinoceros borneoensis), kancil (Tragulus napu borneanus), ayam hutan (Gallus gallus), enggang gading (Rhinoplax vigil), buaya siam (Crocodylus siamensis), kura-kura gading (Orlitia borneensis), dan penyu tempayan (Caretta caretta), serta tupai kenari (Rheithrosciurusmacrotis) (Badan Planologi Kehutanan, 2002).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1.

Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama lima bulan, dari Oktober 2011 hingga

Februari 2012 dan berlokasi di Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat. Stasiun Penelitian Cabang Panti berada di kawasan Taman Nasional Gunung Palung (1°13’ S, 110°7’ E) yang memiliki luas sekitar 2.100 ha dari keseluruhan 90.000 ha luas kawasan Taman Nasional. Stasiun penelitian ini terdiri dari tujuh tipe habitat (Knott, 1999 dan Marshall, 2004), yaitu: 1.

Hutan rawa gambut (peat swamp), kondisi tanah di hutan ini terdiri dari tanah rawa yang tertutupi gambut atau timbunan bahan organik. Kedalaman rawa mulai dari beberapa sentimeter hingga puluhan meter. Air di hutan ini mempunyai derajat keasaman (pH) yang rendah yaitu kurang dari 4. Hutan ini terletak pada ketinggian 5-20 m dpl.

2.

Hutan rawa air tawar (freshwater swamp), merupakan hutan rawa yang kaya akan mineral dan memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Tanah di hutan ini cenderung digenangi oleh air bening dengan pH lebih dari 6, sering terjadi banjir musiman. Secara geografis, hutan ini sebagaimana hutan rawa gambut terletak pada ketinggian 5-20 m dpl.

3.

Hutan tanah aluvial (alluvial bench), tanah di hutan ini merupakan tanah endapan yang subur, hutan ini juga memiliki keanekaragaman jenis 15

16

tumbuhan yang tinggi. Seringkali tanah di hutan ini tergenang air yang di antaranya akibat luapan sungai, namun cepat juga air tersebut mengalir meninggalkan tanah yang semula tergenang. Hutan ini terdapat di sepanjang aliran sungai air putih, pada ketinggian 5-50 m dpl. 4.

Hutan batu berpasir dataran rendah (lowland sandstone), merupakan hutan yang tanahnya mengandung batuan pasir berlapis tanah lempung dan serpihan batu yang tipis. Hutan ini berada pada ketinggian 20-200 m dpl.

5.

Hutan granit dataran rendah (lowland granite), yang merupakan habitat dataran rendah dengan kondisi tanah berbatu, berada pada ketinggian 200-400 m dpl.

6.

Hutan granit dataran tinggi (upland granite), merupakan habitat di dataran tinggi yang kondisi tanahnya berbatu, berada pada ketinggian 350-800 m dpl.

7.

Hutan pegunungan (montaine), merupakan habitat yang berada pada ketinggian 750-1100 m dpl. Terdapat pada lapisan granit namun kebanyakan tanah terlapisi substansial kering dan tanah berpasir (dari pelapukan substrat granit) sama seperti yang ditemukan di hutan rawa gambut. Masing-masing tipe habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti

mempunyai karakteristik tertentu yang membedakan satu dengan yang lain. Letak ketujuh tipe habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti disajikan pada Gambar 3.

17

Gambar 3.

Peta Lokasi Penelitian, Stasiun Penelitian Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat (Tim Peneliti Cabang Panti, 2007)

Berdasarkan hasil pengukuran suhu udara selama bulan Oktober 2011 sampai Februari 2012, diketahui bahwa rata-rata suhu udara paling tinggi terjadi

18

pada bulan Oktober 2011 dan rata-rata suhu udara paling rendah terjadi pada bulan Februari 2012. Sedangkan hasil pengukuran curah hujan menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan paling tinggi terjadi pada bulan Nopember 2011 dan rata-rata curah hujan paling rendah terjadi pada bulan Februari 2012. Perubahan rata-rata suhu udara dan curah hujan setiap bulannya dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Rata-rata suhu udara dan curah hujan di Stasiun Penelitian Cabang Panti bulan Oktober 2011-Februari 2012 (Tim Peneliti Cabang Panti)

3.2.

Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu binokuler Leupold,

jam tangan digital Casio illuminator, Global Positioning System (GPS) Garmin 60 CSx, kompas peta Eiger, camcorder Canon FS100, focal tabulasi (data sheet), peta areal penelitian, parang, ponco, alat tulis, papan jalan, head lamp Eiger dan

19

Energizer , pita dan plat aluminium tagging, tali rafia, benang, hip chain, diameter tape, ketapel dan meteran gulung.

3.3.

Cara Kerja

3.3.1.

Objek Penelitian Orangutan Focal Objek dalam penelitian ini adalah orangutan liar sebanyak 9 individu

yang dibedakan berdasarkan empat kelas umur, yaitu: 1.

Remaja

2.

Betina dewasa

3.

Betina dewasa dengan anak

4.

Jantan berpipi

Tabel 1. Daftar orangutan yang diikuti selama penelitian No.

Nama Orangutan

Kelas Umur

Estimasi Umur

1

Betsy

Remaja ♀

12-13 tahun

2 3

Dagol Adul 1

Remaja ♀ Remaja ♂

13 tahun Baru

4

Walimah

Betina dewasa

15 tahun

5

Beth

6

Bibi

7

Ceri

8

Asny

9

Codet

Betina dewasa dengan anak Betina dewasa dengan anak Betina dewasa dengan anak Betina dewasa dengan anak Jantan berpipi

33-35 tahun

Periode Pengambilan Data 10-11 Oktober 2011 20-22 Feb 2012 24-25 Nopember 2011 2-3 Feb 2012 27-29 Oktober 2011 24-29 Jan 2012 30 Nopember-2 Desember 2011 24-29 Januari 2012 8-13 Oktober 2011 19 Feb 2012

22-25 tahun

21 Nopember 2011

Baru

3-4 Feb 2012

Belum diketahui 27-35 tahun

13-17 Feb 2012 18-23 Oktober 2011

20

3.3.2.

Pencarian Objek Penelitian Orangutan Focal Pencarian orangutan dilakukan dengan menelusuri transek secara acak

atau dengan dugaan paling kuat di mana daerah potensial ditemukannya orangutan, biasanya dengan melihat ketersediaan buah. Pencarian dilakukan dengan berjalan pelan namun berkonsentrasi atau menunggu di bawah pohon pakan yang sedang berbuah. Ciri-ciri yang dilihat untuk dijadikan sebagai tanda keberadaan orangutan adalah suara yang ditimbulkan akibat aktivitas makan dan berpindah tempat, bau urin atau feses dan vokalisasi yang dilakukan oleh orangutan (long call atau kiss squeak). Pencatatan data aktivitas harian dilakukan pada individu orangutan yang telah dapat diamati sampai membuat sarang tidur dan kemudian dipastikan akan bermalam di sarang yang dibuat. Keesokkan harinya fokus pengambilan data dilakukan kembali pada individu orangutan tersebut hingga batas waktu pengambilan data satu individu telah selesai. Penandaan lokasi bersarang individu dilakukan menggunakan Global Positioning System (GPS), kemudian data posisi sarang tersebut diolah menjadi sebuah peta dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis 9.2.

3.3.3.

Metode Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu data survei dan

data ikut. Data survei disajikan terlebih dahulu baru kemudian data ikut, hal ini terkait asumsi bahwa survei merupakan prosedur awal sebelum dilakukannya pengambilan data ikut orangutan.

21

3.3.3.1. Data Karakteristik Sarang Tiap Habitat Data karakteristik sarang pada masing-masing tipe habitat dikumpulkan menggunakan metode Line transect survey (Johnson et al., 2005). Line transect dibuat pada masing-masing tipe habitat, line transect di setiap habitatnya mempunyai panjang midline total 1,3 km yang terbagi menjadi dua, yaitu midline 1 km dan 300 m. Adanya dua model midline ini menyesuaikan dengan kondisi transect pada masing-masing tipe habitat, karena ada tipe habitat yang hanya bisa dibuat midline tidak lebih dari +/- 1 km. Kedua midline dibuat terpisah menyesuaikan kondisi transek pada masing-masing habitat. Menghindari overlaping dalam pengamatan sarang, pada masing-masing midline dibuat batas setiap 100 m menggunakan pita tagging. Pencarian sarang dilakukan dengan berjalan menelusuri midline sambil mengamati samping kanan dan kiri, jarak pandang yang dimiliki pengamat saat mencari sarang berkisar antara 30-50 m tergantung kondisi pepohonan pada setiap habitat. Pencarian sarang pada masing-masing midline hanya dilakukan satu kali.

Gambar 5. Line transect ; A midline 1 km dan B midline 300 m

22

Pencarian sarang pada setiap line transect-nya dimulai pada titik 1 km atau 300 m menuju titik 0 m midline, hal ini dilakukan sesuai kenyamanan peneliti. Setiap sarang yang ditemukan kemudian ditandai menggunakan plat tagging dan lokasi menggunakan GPS. Adapun data sarang yang diambil meliputi kelas, posisi dan tinggi. Selain itu, diambil pula data pohon sarang yang meliputi tinggi, diameter batang, diameter kanopi dan genus pohon sarang. Kelas sarang dalam penelitian ini dikategorikan menjadi lima kelas berdasarkan kondisi dan umur sarang orangutan menurut van Schaik et al. (1995): 1.

Kelas A, merupakan sarang baru yang daunnya masih segar berwarna hijau dan umurnya tidak lebih dari satu minggu

2.

Kelas B, merupakan sarang yang bagian atasnya sudah layu berwarna coklat sedangkan bagian bawahnya masih berwarna hijau

3.

Kelas C, merupakan sarang dengan kondisi seluruh daun yang sudah layu berwarna coklat serta berlubang

4.

Kelas D, merupakan sarang yang kondisinya sudah berlubang serta daunnya sudah banyak yang hilang

5.

Kelas E, merupakan sarang yang sudah tidak berdaun, tinggal pondasinya saja namun masih dapat terlihat bentuk sarangnya. Posisi sarang dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 5 menurut

Prasetyo (2006), yaitu: 1.

Posisi 0: Sarang dibuat di atas tanah

2.

Posisi 1: Sarang berada pada pangkal percabangan pohon utama

3.

Posisi 2: Sarang berada pada ujung percabangan pohon

23

4.

Posisi 3: Sarang berada pada ujung pohon utama

5.

Posisi 4: Sarang dibuat dari dua pohon atau lebih

Gambar 6. Posisi sarang orangutan (Prasetyo, 2006)

Pengukuran tinggi sarang dan pohon sarang dilakukan menggunakan perbandingan pohon yang pendek serta masih dapat diukur secara pasti dengan meteran, kemudian dibandingkan dengan ketinggian sarang dan pohon sarang. Namun jika tidak ada pohon yang dapat dijangkau dengan meteran maka pengukuran dilakukan dengan membuat batas ukur dari tanah setinggi dua meter pada pohon sarang, kemudian dikalilipatkan setiap dua meter ke atas pohon sampai batas ketinggian sarang ataupun pohon sarang (Cannon et al., 2004). Pengukuran diameter batang dilakukan menggunakan diameter tape, batas ukur pada batang menggunakan ketinggian 1,3 meter dari tanah dengan asumsi bahwa tinggi tersebut merupakan tinggi dada orang dewasa (diameter in centimeter at breast high). Sedangkan untuk mengukur diameter kanopi digunakan meteran gulung, diukur jari-jari kanopi terpanjang dan terpendek lalu

24

diambil rata-rata dan dikali dua, karena diameter merupakan dua kali panjang jarijari (Gibson, 2006). Identifikasi jenis pohon sarang, terutama yang belum bisa diketahui secara langsung dilakukan dengan mengambil sampel kulit batang dan daun, kemudian sampel dibawa ke camp untuk diketahui jenisnya. Cara ini seperti yang biasa dilakukan oleh tim peneliti cabang panti (tim KKL dan OH) di Stasiun Penelitian Cabang Panti. Pengambilan kulit batang menggunakan parang, diambil sedikit bagian kulit batang utama. Pengambilan daun menggunakan ketapel, diamati pula menggunakan binokuler untuk mencocokkan dengan daun-daun yang ada di bawah pohon. Proses identifikasi dibantu dengan dokumentasi data pohon, buku identifikasi dan oleh tim peneliti cabang panti yang sudah terlatih untuk mengenali jenis pohon dari sampel kulit batang dan daun (Cannon et al., 2004).

3.3.3.2. Data Perilaku dan Karakteristik Sarang Orangutan Focal Pengumpulan data perilaku bersarang orangutan dilakukan dengan mengikuti orangutan sepanjang aktivitas hariannya, di mana pengumpulan data perilaku harian orangutan dilakukan dengan menggunakan metode focal animal sampling yang difokuskan pada satu individu orangutan sebagai objek atau sasaran dalam setiap pengamatan. Pencatatan data perilaku bersarang orangutan dilakukan setiap menitnya (continous recording). Pengamatan dilakukan satu hari penuh, mulai orangutan tersebut bangun di pagi hari sampai tidak melakukan aktivitas di malam hari dan orangutan tersebut tidur. Lama pengambilan data maksimal setiap individu orangutan adalah

25

5 hari dalam satu bulan, hal ini bertujuan untuk menghindari stress pada orangutan yang diakibatkan karena tingginya tingkat perjumpaan dengan manusia. Pengambilan data perilaku bersarang meliputi seluruh aktivitas individu target dalam membuat sarang, yaitu mematahkan ranting, membawa (dari pohon lain) dan menyusun ranting sampai selesai membuat sarang. Perilaku bersarang lain seperti twig bitting dan perilaku khas lainnya dimasukkan pula ke dalam tabulasi data. Adapun data perilaku bersarang yang diambil adalah: 1.

Jam mulai dan selesai pembuatan sarang (durasi)

2.

Jarak antara pohon pakan terakhir dengan pohon sarang

3.

Jarak antara pohon sarang dengan pohon pakan pertama Pengukuran jarak antara pohon pakan terakhir dengan pohon sarang dan

antara pohon sarang dengan pohon pakan pertama menggunakan meteran. Tetapi untuk jarak yang jauh yaitu apabila sudah tidak memungkinkan digunakan meteran, maka pengukuran jarak dilakukan menggunakan bantuan GPS. Yaitu dengan mengukur jarak antar waypoint yang sudah diambil. Pengambilan data karakteristik sarang dilakukan secara vertikal, yaitu mengamati semua karakteristik sarang secara tegak lurus dari tanah. Adapun data yang diambil adalah posisi sarang, kondisi (baru/dipakai lagi atau diperbaiki) dan tinggi sarang. Selain itu juga diambil data pohon sarang yang meliputi tinggi, diameter batang dan jenis pohon. Ketika melakukan pengambilan data perilaku dan karakteristik sarang orangutan pada kelas umur orangutan yang sama di setiap tipe habitat, terdapat variasi jumlah habitat yang digunakan oleh masing-masing kelas umur orangutan.

26

Orangutan remaja, membuat sarang hanya di dua tipe habitat yaitu hutan rawa gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah. Orangutan betina dewasa membuat sarang di tiga tipe habitat, yaitu hutan rawa air tawar, hutan tanah aluvial dan hutan batu berpasir dataran rendah. Orangutan betina dewasa dengan anak membuat sarang di empat tipe habitat, yaitu hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan tanah aluvial dan hutan batu berpasir dataran rendah. Orangutan jantan berpipi membuat sarang pada dua tipe habitat, yaitu hutan rawa gambut dan hutan rawa air tawar. Perbedaan jumlah habitat yang digunakan oleh masingmasing kelas umur orangutan tersebut karena berbedanya jumlah individu orangutan yang diikuti pada masing-masing kelas umur orangutan.

3.4.

Analisis Data Data yang diperoleh dianalisa menggunakan tehnik pengujian statistik

nonparametrik. Hal ini karena tidak ada anggapan bahwa data-data yang diperoleh ditarik dari suatu populasi dengan distribusi tertentu, sehingga data-data yang diperoleh berdistribusi secara bebas atau dengan kata lain objek penelitian tidak diberikan perlakuan (Siegel, 1990). Alasan lain digunakannya tehnik pengujian statistik nonparametrik adalah

karena data-data pada penelitian ini tidak memenuhi asumsi statistik

parametrik yang salah satunya adalah data harus mempunyai sebaran yang normal. Sebaran data-data penelitian ini tidak normal setelah dilakukan uji normalitas menggunakan tehnik pengujian Skewness-Kurtosis dan KolmogorovSmirnov. Penyebab ketidaknormalan sebaran data yaitu sedikit jumlah data, serta

27

perbedaan yang jauh jumlah data pada setiap variabel yang dibandingkan (berdasarkan tipe habitat dan berdasarkan kelas umur). Pengujian data dilakukan menggunakan software SPSS 17 (Statistic Programme for Scientific and Social science) untuk Windows. Tehnik pengujian yang digunakan adalah Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney. Uji Kruskal-Wallis digunakan untuk menguji karakter sarang hasil survei, yaitu untuk mengetahui ada atau tidaknya pebedaan karakter sarang yang ditemukan pada kelima tipe habitat. Apabila hasil uji menunjukkan adanya perbedaan bermakna, maka dilanjutkan uji Mann-Whitney untuk mengetahui antara habitat yang mana perbedaan itu ditemukan. Uji Kruskal-Wallis juga dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan perilaku bersarang orangutan pada setiap tipe habitat, apabila setelah diuji diketahui ada perbedaan bermakna maka dilakukan uji Mann-Whitney untuk mengetahui antara habitat yang mana perbedaan itu ditemukan. Uji MannWhitney tidak selalu digunakan setelah uji Kruskal-Wallis, tetapi uji ini langsung dilakukan ketika variabel yang diuji tidak lebih dari dua. Selain itu, uji KruskalWallis dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan perilaku bersarang orangutan berdasarkan kelas umur, apabila diketahui ada perbedaan bermakna maka dilakukan uji Mann-Whitney untuk mengetahui antara kelas umur yang mana perbedaan tersebut ditemukan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Karakteristik Sarang Orangutan di Lima Tipe Habitat Survei sarang dilakukan di 5 tipe habitat dari keseluruhan 7 tipe habitat

di kawasan penelitian. Hal ini karena kedua tipe habitat lain lokasinya sulit dijangkau. Selain itu, di kedua habitat ini tidak dilakukan pencarian orangutan untuk diikuti dan diambil datanya, namun orangutan kerap terlihat secara sporadis di kedua tipe habitat tersebut (Knott, 1999). Tipe habitat yang berhasil dilakukan survei meliputi hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan tanah aluvial, hutan batu berpasir dataran rendah dan hutan granit dataran rendah.

4.1.1.

Kelas Sarang Orangutan Sarang-sarang yang dijumpai pada saat survei dilakukan paling sering

berupa sarang kelas C, D dan E. Sarang yang dijumpai di hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar dan hutan batu berpasir dataran rendah berturut-turut paling banyak merupakan sarang kelas D (41%, 50% dan 55%). Berbeda dengan di hutan tanah aluvial paling sering ditemukan sarang kelas E (41%), dan di hutan granit dataran rendah paling sering ditemukan sarang kelas C (39%). Dengan kata lain lebih mudah menemukan sarang kelas C, D, dan E dibandingkan sarang kelas A dan B selama penelitian ini dilakukan. Sebagaimana tersaji pada Gambar 7.

28

29

Gambar 7. Persentase (%) kelas sarang orangutan di kelima tipe habitat (hutan rawa gambut n= 39, hutan rawa air tawar n= 24, hutan tanah aluvial n= 22, hutan batu berpasir dataran rendah n= 22, hutan granit dataran rendah n= 13)

Prasetyo (2006), menjelaskan bahwa sebaran sarang orangutan dipengaruhi oleh sebaran pohon pakan di suatu kawasan. Perbedaan persentasi kelas sarang terbanyak di lima tipe habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti diduga kuat dipengaruhi oleh sebaran pohon pakan di masing-masing tipe habitat tersebut, terutama berkaitan dengan pohon pakan yang berbuah. Sarang orangutan banyak dujumpai pada habitat yang menyediakan banyak pohon pakan, dan sarang-sarang baru cenderung banyak ditemukan pada habitat yang menyediakan banyak pohon yang sedang berbuah. Menurut Sugardjito (1986), orangutan liar biasanya membuat sarang di sekitar pohon pakan terakhir atau pada kondisi tertentu sarang tersebut dibuat di pohon pakan terakhir. Muncul asumsi bahwa pada saat survei dilakukan, hanya sedikit pohon pakan yang mendukung bagi orangutan di masing-masing tipe habitat yang ada. Sedikitnya pohon pakan ini berkaitan dengan musim buah yang terjadi di kawasan penelitian.

30

Berdasarkan Marshall and Knott (unpublished data), ketersediaan bunga dan buah selama penelitian ini dilakukan adalah 9,92% (Lampiran 1A). Dengan persentase tertinggi pada bulan November (10,7%) dan paling rendah pada bulan Februari (8,6%). Sedangkan pernah tercatat di Cabang Panti dari Januari 2008 sampai September 2012 ketersediaan bunga dan buah mencapai 19% yaitu pada bulan Oktober 2009.

4.1.2.

Posisi Sarang Orangutan Sarang hasil survei yang ditemukan di hutan rawa gambut, hutan rawa air

tawar, hutan tanah aluvial dan hutan granit dataran rendah paling banyak ditemukan pada posisi 1 (43%, 46%, 73% dan 69%). Sedangkan di hutan batu berpasir dataran rendah paling banyak ditemukan sarang pada posisi 2 (50%). Sebagaimana tersaji pada Gambar 8.

Gambar 8. Persentase (%) posisi sarang orangutan di kelima tipe habitat (hutan rawa gambut n=39, hutan rawa air tawar n=24, hutan tanah aluvial n=22, hutan batu berpasir dataran rendah n=22, hutan granit dataran rendah n=13)

31

Berdasarkan pengamatan di lapangan, sarang posisi 1 biasanya dibuat pada pohon yang memiliki ukuran batang utama dan percabangan yang tidak terlalu besar. Hal ini dapat menggambarkan bahwa di hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan tanah aluvial dan hutan granit dataran rendah lebih sering orangutan membuat sarangnya pada pohon dengan ukuran batang utama dan percabangan yang tidak terlalu besar. Keadaan berbeda ditemukan di hutan batu berpasir dataran rendah, paling banyak ditemukan sarang pada posisi 2 di mana berdasarkan yang teramati di lapangan bahwa posisi ini biasanya ditemukan pada pohon dengan ukuran batang utama dan percabangan besar. Ukuran cabang yang besar tersebut diperlukan untuk menopang bobot orangutan pada saat berada dalam sarangnya di ujung percabangan. Dapat digambarkan bahwa di tipe habitat ini orangutan lebih sering membuat sarang pada pohon dengan ukuran batang utama dan percabangan besar. Asumsi yang muncul terkait perbedaan posisi sarang yang paling sering ditemukan di setiap tipe habitat adalah berhubungan dengan individu kelas umur orangutan yang membuat sarang di habitat tersebut. Lebih banyak ditemukan sarang posisi 2 (sarang diujung pohon) di hutan batu berpasir dataran rendah diduga karena orangutan yang lebih sering membuat sarang di hutan tersebut adalah orangutan muda dan orangutan dengan anak. Hal

ini

untuk

memaksimalkan perlindungan pada saat menggunakan sarang, karena pada posisi ini orangutan mempunyai waktu untuk mengetahui kehadiran predator yang memanjat dari batang pohon dan mempunyai waktu lebih banyak untuk menghindari predator tersebut dengan berpindah ke pohon lain.

32

Terkait dengan posisi sarang, menurut Prasetyo et al. (2009) posisi sarang 1, 2 dan 3 merupakan posisi yang umum ditemukan di hutan rawa Suaq Balimbing dan hutan dataran kering di Ketambe. Kondisi ini berbeda dengan yang ditemukan di hutan rawa gambut Tuanan dan Sebangau, lebih umum ditemukan sarang posisi 4. Rayadin et al. (2009) menambahkan bahwa sarang posisi 1, 2 dan 3 juga umum ditemukan di Taman Nasional Kutai, Birawa dan Meratus. Dengan demikian, posisi sarang orangutan yang ditemukan di Stasiun Penelitian Cabang Panti lebih mirip dengan di Suaq Balimbing, Ketambe, Taman Nasional Kutai, Birawa dan Meratus.

4.1.3.

Ketinggian Sarang dan Pohon Sarang Orangutan Hasil survei sarang di setiap tipe habitat menunjukkan bahwa ketinggian

sarang orangutan cenderung terlihat bervariasi, begitupun dengan ketinggian pohon sarang. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sering sekali sarang orangutan berada cukup tinggi (>30 m) di atas pohon sehingga disaat pencarian sarang dilakukan pengamat harus benar-benar memperhatikan pohon-pohon yang dilewati untuk mencari keberadaan sarang. Berdasarkan yang teramati di lapangan, sarang terletak lebih rendah dibandingkan ketinggian pohon secara keseluruhan. Meskipun sarang berada pada ujung batang pohon, tetapi selalu ada percabangan pohon yang menjulang ke atas sehingga pada akhirnya ketinggian pohon selalu melebihi ketinggian sarang. Variasi ketinggian dan pohon sarang disajikan pada Gambar 9.

33

Sarang Pohon

Gambar 9. Rata-rata ketinggian (m) sarang orangutan di kelima tipe habitat (A; hutan rawa gambut n=39, B; hutan rawa air tawar n=24, C; hutan tanah aluvial n=22, D; hutan batu berpasir dataran rendah n=22, E; hutan granit dataran rendah n=13) dan ketinggian (m) pohon sarang orangutan di kelima tipe habitat (A; hutan rawa gambut n=42, B; hutan rawa air tawar n=26, C; hutan tanah aluvial n=22, D; hutan batu berpasir dataran rendah n=23, E; hutan granit dataran rendah n=13)

Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa terdapat perbedaan bermakna rata-rata ketinggian sarang orangutan di kelima tipe habitat (Chi-Square =23,082; df= 4; Asymp. Sig.= 0,000). Menggunakan uji MannWhitney diketahui bahwa perbedaan ketinggian sarang terletak antara hutan rawa gambut dengan hutan tanah aluvial, hutan rawa gambut dengan hutan granit dataran rendah, hutan rawa air tawar dengan hutan tanah aluvial, dan hutan tanah aluvial dengan hutan batu berpasir dataran rendah. Sarang orangutan di hutan rawa gambut rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan di hutan tanah aluvial, begitupun juga bila dibandingkan dengan sarang orangutan di hutan granit dataran rendah. Hal ini diduga

34

dipengaruhi oleh rata-rata tinggi pohon di habitat tersebut, selain itu juga dipengaruhi oleh rendahnya tingkat kehadiran manusia di rawa gambut karena terletak jauh dari camp penelitian. Hutan tanah aluvial, memiliki perbedaan dengan hutan rawa air tawar dan hutan batu berpasir dataran rendah. Sarang orangutan di hutan tanah aluvial rata-rata lebih tinggi dibandingkan kedua hutan yang lainnya. Hai ini terkait dengan intensitas kehadiran manusia di tipe habitat ini karena merupakan jalan lintas yang sering dilalui untuk menuju hutan rawa air tawar maupun hutan rawa gambut dan dekat dengan camp penelitian. Meskipun dalam penelitian ini menemukan bahwa sarang orangutan di hutan tanah aluvial cenderung dibuat lebih tinggi dibandingkan hutan lainnya yang diduga karena faktor kehadiran manusia, berdasarkan Susanto (2012) justru hutan aluvial merupakan hutan yang banyak digunakan oleh orangutan dalam melakukan aktivitas hariannya, juga berdasarkan jumlah sarang yang ditemukan. Hal tersebut karena orangutan banyak memanfaatkan sumber pakan yang berada di hutan tanah aluvial. Gibson (2006) menjelaskan bahwa tingginya sarang yang dibuat bertujuan untuk menghindari gangguan yang mungkin ada ketika orangutan menggunakan sarangnya ketika tidur. Sebagaimana pada hutan tanah aluvial, sarang dibuat lebih tinggi untuk mengurangi rasa terganggu akibat kehadiran manusia ketika orangutan berada di sarangnya. Selain itu, hutan tanah aluvial di Cabang Panti lokasinya berdekatan dekat Camp penelitian dan berada sepanjang aliran sungai air putih yang kadang kala meluap.

35

Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa terdapat perbedaan bermakna ketinggian pohon sarang orangutan di kelima tipe habitat (Chi-Square =28,323; df= 4; Asymp. Sig.= 0,000). Menggunakan uji MannWhitney diketahui bahwa perbedaan tersebut terletak antara hutan rawa gambut dengan hutan tanah aluvial, hutan rawa gambut dengan hutan granit dataran rendah, hutan rawa air tawar dengan hutan tanah aluvial, hutan tanah aluvial dengan hutan batu berpasir dataran rendah, dan hutan batu berpasir dataran rendah dengan hutan granit dataran rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan rata-rata ketinggian pohon sarang antara hutan batu berpasir dataran rendah dengan hutan granit dataran rendah tidak dibarengi dengan adanya perbedaan rata-rata ketinggian sarang antara keduanya. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak harus ketika terdapat perbedaan rata-rata ketinggian pohon sarang, berbeda juga ratarata ketinggian sarangnya. Berkaitan dengan kondisi hutan, Rijsken (1978) menjelaskan bahwa orangutan dalam menentukan ketinggian sarang juga menyesuaikan dengan struktur hutan yang di mana orangutan tersebut berada. Untuk meminimalkan kemungkinan diserang oleh predator, orangutan rentan bahaya akan membangun sarang lebih tinggi sesuai dengan struktur hutan. Jadi, ketinggian pohon dalam suatu hutan juga mempengaruhi pemilihan pohon untuk dijadikan sebagai material sarang oleh orangutan.

36

4.1.4.

Diameter Batang Pohon Sarang Orangutan Sarang-sarang orangutan yang ditemukan berada pada pohon dengan

diameter batang yang cenderung bervariasi di setiap habitatnya. Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 10, rata-rata diameter paling besar ditemukan di hutan tanah aluvial dan paling kecil ditemukan di hutan granit dataran rendah.

Gambar 10. Rata-rata diameter batang (cm) pohon sarang orangutan di kelima tipe habitat (A; hutan rawa gambut n=42, B; hutan rawa air tawar n=26, C; hutan tanah aluvial n=22, D; hutan batu berpasir dataran rendah n=23, E; hutan granit dataran rendah n=13) Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis diketahui bahwa terdapat perbedaan bermakna diameter batang pohon sarang di kelima tipe habitat (Chi-square = 15,596 ; df = 4 dan Asymp. Sig. = 0,004). Menggunakan uji Mann-Whitney diketahui bahwa perbedaan terletak antara hutan rawa gambut dengan hutan tanah aluvial, hutan rawa gambut dengan hutan batu berpasir dataran rendah, hutan rawa

37

air tawar dengan hutan tanah aluvial, dan hutan tanah aluvial dengan hutan granit dataran rendah. Berbeda dengan rata-rata ketinggian sarang dan ketinggian pohon sarang, rata-rata diameter batang pohon sarang terdapat perbedaan antara hutan tanah aluvial dan hutan granit dataran rendah. Hal ini menegaskan bahwa ketiga parameter ini tidak mesti menunjukkan hal yang sama. Ketika di habitat a dengan habitat b terdapat perbedaan pada rata-rata ketinggian sarang, tidak mesti terdapat perbedaan juga pada ketinggian pohon sarang dan diameter batang pohon sarangnya. Berdasarkan Gambar 10, diketahui bahwa fluktuasi diameter batang pada kelima tipe habitat yang berbeda ketinggian, tidak menunjukkan adanya kecenderungan pemilihan pohon dengan diameter batang tertentu mengikuti penambahan ketinggian lokasi. Akan tetapi pemilihan besar batang pohon ini lebih cenderung terlihat sejalan dengan pemilihan posisi dan ketinggian pohon sarang. Hal ini yang kemudian menyebabkan kenapa di hutan tanah aluvial cenderung pemilihan diameter batangnya lebih besar di antara tipe habitat yang lain.

4.1.5.

Diameter Kanopi Pohon Sarang Orangutan Rata-rata diameter kanopi pohon sarang pada masing-masing tipe habitat

cenderung terlihat tidak jauh berbeda. Rata-rata diameter kanopi pohon tempat ditemukannya sarang orangutan disajikan pada Gambar 11.

38

Gambar 11. Rata-rata diameter (m) kanopi pohon sarang orangutan di kelima tipe habitat (A; hutan rawa gambut n=42, B; hutan rawa air tawar n=26, C; hutan tanah aluvial n=22, D; hutan batu berpasir dataran rendah n=23, E; hutan granit dataran rendah n=13)

Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa memang tidak ada perbedaan bermakna rata-rata diameter kanopi pohon sarang di kelima tipe habitat (Chi-square = 7,036 ; df = 4 dan Asymp. Sig. = 0,134). Pemilihan diameter kanopi pohon berkaitan dengan kebutuhan tertentu bagi orangutan dalam membuat sarang, misalnya menyesuaikan dengan kondisi ranting yang kemudian digunakan sebagai material sarang. Tidak adanya perbedaan pada penggunaan diameter kanopi di semua tipe habitat menunjukkan bahwa orangutan cenderung konsisten dalam memilih diameter kanopi pohon sarang. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti rata-rata membuat sarangnya pada pohon dengan diameter kanopi 7-8 M di 5 tipe habitat yang ada.

39

Sejauh ini, penulis belum menemukan literatur yang dengan terfokus membahas mengenai ukuran diameter kanopi pohon sarang orangutan. Namun, berdasarkan yang teramati di lapangan orangutan tentunya akan membangun sarang pada pohon dengan diameter kanopi yang baik, cukup ranting untuk dijadikan sebagai material sarang. Dengan hasil pengamatan mengenai diameter kanopi ini diharapkan dapat memberikan gambaran bahwa diameter kanopi pohon sarang orangutan di Cabang panti berkisar antara 7-8 m atau dirata-ratakan menjadi 7,5 m..

4.1.6.

Jenis Pohon Sarang Orangutan Sarang orangutan di Cabang Panti paling sering ditemukan dibangun

pada pohon Shorea spp. (11%), jenis pohon ini dilihat dari keseluruhan sarang yang ditemukan pada kelima tipe habitat yang ada (sebagaimana tersaji pada Gambar 12). Seringnya penggunaan Shorea spp. sebagai material sarang diduga karena jenis pohon ini mempunyai ranting yang lentur, kuat dan daun yang rimbun. Sebagaimana van Schaik (2006) menyebutkan bahwa orangutan akan memilih jenis pohon tertentu yang baginya dirasa kuat dan nyaman, terutama dengan daun lebar dan banyak percabangan serta tidak terlalu tinggi.

40

Gambar 12. Jenis pohon sarang orangutan di kelima tipe habitat (genus n=40, sarang n=127)

Berbeda dengan di Taman Nasional Sebangau (Gibson, 2006) dan Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (Prasetyo, 2006), orangutan lebih sering menggunakan pohon Elaeocarpus mastersii sebagai material sarangnya. Berbeda juga dengan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau (Taniasari, 2012), orangutan eks-rehabilitasi paling sering menggunakan pohon Syzigium spp. sebagai material sarangnya. Muncul asumsi bahwa jenis-jenis pohon yang digunakan sebagai material sarang bergantung dari ketersediaan pohon tersebut di tempat orangutan tinggal, namun pada kenyataannya pohon Elaeocarpus mastersii dan Syzigium spp. terdapat juga di Stasiun Penelitian Cabang Panti.

41

Selain sebagai material sarang, Shorea spp. juga merupakan salah satu sumber pakan orangutan meskipun berdasarkan Marshall and Knott (unpublished data) genus ini tidak termasuk ke dalam top 50 sumber pakan orangutan di Cabang Panti, selain Shorea spp. masih ada beberapa jenis pohon sarang yang juga merupakan sumber pakan bagi orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti (Lampiran 16). Walaupun Shorea spp. mendominasi pohon sarang, belum pernah sekalipun dalam penelitian ini menemukan orangutan membuat sarang malam menggunakan Shorea spp. sebagai material sarang setelah makan di pohon tersebut.

4.2.

Perilaku Bersarang Orangutan Focal di Tiap Tipe Habitat Sebanyak 9 individu orangutan telah diikuti dalam penelitian ini, namun

pada akhirnya hanya sebanyak 7 individu orangutan yang data perilaku bersarangnya dapat diuji statistik. Hal ini karena kurangnya data bersarang dari kedua individu lainnya yang diakibatkan sulitnya menemukan orangutan target di areal penelitiaan. Kemudian, ketujuh individu orangutan tersebut dikelompokkan ke dalam 4 kelas umur orangutan yaitu remaja, betina dewasa, betina dewasa dengan anak dan jantan berpipi. Sulitnya menemukan orangutan target selama penelitian dikaitkan lagi dengan ketersediaan sumber pakan, sebagaimana yang disebutkan Susanto (2006) bahwa tipe habitat yang potensial tersedianya sumber pakan bagi orangutan adalah hutan tanah aluvial kemudian disusul oleh hutan batu berpasir dataran rendah dan hutan rawa air tawar, namun pada kenyataannya selama penelitian ini

42

masih terbilang sulit untuk menemukan orangutan target pada habitat-habitat tersebut. Kembali kepada asumsi sebelumnya bahwa hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sumber pakan di Cabang Panti saat penelitian ini dilakukan.

Tabel 2. Kelas umur orangutan yang diuji data bersarangnya

No.

Kelas umur orangutan

1

Remaja

2

Betina dewasa Betina dewasa dengan anak Jantan berpipi

3 4

Nama individu Adul dan Betsy Walimah Asny, Beth dan Ceri Codet

Jumlah hari ikut (hari)

Lama waktu pengamatan (menit)

5

2470

12

6595

13

7498

6

3164

Uji statistik yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan perilaku membuat sarang masing-masing kelas umur orangutan di setiap tipe habitat, dan analisis hanya ditujukan pada perilaku membuat sarang malam. Hal demikian terkait sedikitnya sarang siang yang dibuat oleh masing-masing kelas umur orangutan sehingga dikhawatirkan tidak dapat mewakili perilaku membuat sarang siang orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti, perbandingan jumlah sarang siang dan sarang malam yang dibuat oleh orangutan focal disajikan dalam bentuk persentase sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 13.

43

Gambar 13. Persentase (%) sarang siang dan malam orangutan yang diikuti (remaja n sarang=8, betina dewasa n sarang=13, betina dewasa dengan anak n sarang=19, jantan berpipi n sarang=7)

Pembuatan sarang siang jarang dilakukan oleh orangutan yang diikuti selama penelitian ini, terlihat perbandingannya pada Gambar 13 paling banyak 25% sarang siang dibandingkan srang malam yang dibuat oleh masing-masing golongan umur orangutan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, orangutan di kawasan penelitian akan membuat sarang siang apabila hujan deras dan pernah satu kali kejadian pembuatan sarang siang oleh orangutan baru karena takut atas kehadiran pengamat. Serupa dengan yang ditemukan oleh Rayadin et al. (2009), dari 92 buah sarang yang dibuat oleh orangutan di Taman Nasional Kutai, Birawa dan Meratus, hanya terdapat 2 buah sarang siang. Sementara itu Prasetyo et al. (2009) menyatakan bahwa jumlah sarang siang yang dibuat orangutan berbeda-beda bagi setiap individu, hal ini dibatasi oleh tingkat kemandirian individu orangutan tersebut. Misalnya pada bayi orangutan yang mulai belajar membuat sarang, sering membuat sarang kecil di siang hari setiap harinya.

44

Gambar 14. Persentase (%) sarang malam yang dibuat oleh masing-masing kelas umur orangutan di tiap habitat (remaja n sarang=6, betina dewasa n sarang=12, betina dewasa dengan anak n sarang=16, jantan berpipi n sarang=6)

Masing-masing kelas umur orangutan tidak membuat sarang malam di semua tipe habitat, tetapi dalam penelitian ini paling sedikit orangutan membuat sarang malamnya di dua tipe habitat. Kemudian, uji statistik dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan perilaku bersarang masing-masing kelas umur orangutan di setiap tipe habitatnya.

4.2.1.

Perilaku Bersarang Orangutan Remaja di Dua Tipe Habitat Orangutan remaja selama diikuti membuat 6 sarang malam. Dua sarang

malam dibuat di hutan rawa gambut dan empat sarang malam dibuat di hutan batu berpasir dataran rendah. Kemudian, dilakukan uji statistik untuk mengetahui

45

perilaku dalam membuat sarang dan karakter sarang yang dibuat oleh orangutan remaja di dua tipe habitat tersebut. Perilaku yang diuji ialah mengenai rata-rata durasi yang diperlukan oleh orangutan remaja untuk membuat sarang malam, didapatkan bahwa ketika berada di hutan rawa gambut rata-rata durasi yang diperlukan utnuk membuat sarang malam adalah 8 menit (SD +/- 2,83 menit) dan ketika di hutan batu berpasir dataran rendah rata-rata durasi membuat sarang malam orangutan ini adalah 5,5 menit (SD +/- 0,71 menit). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata durasi membuat sarang orangutan remaja ketika berada di hutan rawa gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah (Mann-Whitney U= 0,500; Wilcoxon W= 3,500; Z= -1,225; Asymp. Sig. (2tailed)= 0,221). Selanjutnya mengenai karakter sarang yaitu rata-rata ketinggian sarang orangutan remaja, di hutan rawa gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah berturut-turut ketinggian sarang orangutan ini yaitu 40 m (SD +/- 7,07 m) dan 22 m (SD +/- 4 m). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui ada perbedaan bermakna rata-rata ketinggian sarang orangutan remaja di hutan rawa gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah (Mann-Whitney U= 0,000; Wilcoxon W= 10,000; Z= -1,967; Asymp. Sig. (2-tailed)= 0,049). Perbedaan ketinggian sarang di atas diduga karena perbedaan kondisi individu orangutan yang diambil data bersarangnya, orangutan remaja di rawa gambut merupakan orangutan baru yang sebelumnya diduga kuat belum pernah diikuti (tim peneliti, diskusi langsung). Selama pengamatan, orangutan remaja ini

46

terus saja ketakutan terhadap kehadiran pengamat dan menunjukkan perilaku agresif. Orangutan remaja ini ketika membuat sarang malam memilih tempat yang lebih tinggi dibanding orangutan remaja yang lain. Sejalan dengan ketinggian sarang, setelah dilakukan uji Mann-Whitney terhadap rata-rata ketinggian pohon sarang orangutan remaja, diketahui terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata ketinggian pohon sarang orangutan remaja di hutan rawa gambut dan di hutan batu berpasir dataran rendah (MannWhitney U= 0,000; Wilcoxon W= 10,000; Z= -1,967; Asymp. Sig. (2-tailed)= 0,049). Rata-rata ketinggian pohonnya berturut-turut yaitu 42 m (SD +/- 7,07 m) dan 27,5 m (SD +/- 5 m). Pemilihan pohon sarang yang tinggi oleh orangutan remaja di hutan rawa gambut ini masih berkaitan dengan kondisi orangutan tersebut yang ketakutan, sehingga memilih pohon sarang yang tinggi untuk mendapatkan rasa aman dalam menggunakan sarangnya dan menghindari gangguan yang mungkin akan muncul ketika orangutan tersebut berada di dalam sarangnya (Gibson, 2006). Berbeda dengan ketinggian pohon sarang, rata-rata diameter batang pohon sarang malam orangutan remaja di hutan rawa gambut adalah 97,5 cm (SD +/- 17,68 cm) dan di hutan batu berpasir dataran rendah adalah 41 cm (SD +/14,45 cm). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara diameter batang pohon sarang malam orangutan remaja di hutan rawa gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah (MannWhitney U= 0,000; Wilcoxon W= 10,000; Z= -1,852; Asymp. Sig. (2-tailed)= 0,064).

47

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terhadap orangutan remaja, diketahui bahwa perilaku membuat sarang dan karakter sarang yang dibuat cenderung tidak menunjukkan adanya perbedaan yang sangat jauh terlihat, terutama pada individu orangutan remaja yang kondisinya normal dalam artian tidak memperlihatkan perilaku yang tidak lazim ketika orangutan tersebut diikuti. Tetapi ada pengecualian terhadap satu individu orangutan remaja yang sebelumnya belum pernah diikuti. Saat peneliti melakukan pengamatan, orangutan tersebut selalu berperilaku agresif sepanjang hari, pada kondisi inilah peneliti menyebutnya tidak lazim sehingga ditemukan adanya perbedaan perilaku bersarang orangutan remaja tersebut.

4.2.2.

Perilaku Bersarang Orangutan Betina Dewasa di Tiga Tipe Habitat Orangutan betina dewasa selama diikuti membuat sebanyak 12 sarang

malam, 2 di hutan rawa air tawar, 5 di hutan tanah aluvial dan 5 di hutan batu berpasir dataran rendah. Kemudian, dilakukan uji statistik untuk mengetahui perilaku dalam membuat sarang dan karakter sarang yang dibuat oleh orangutan betina dewasa di tiga tipe habitat tersebut. Perilaku pertama mengenai rata-rata durasi yang diperlukan oleh orangutan betina dewasa ketika membuat sarang, di hutan rawa air tawar rata-rata durasi membuat sarang orangutan ini adalah 6,5 menit (SD +/- 0,71 menit), di hutan tanah aluvial 7,25 menit (SD +/- 1,71 menit) dan di hutan batu berpasir dataran rendah 5,4 menit (SD +/- 0,89 menit). Setelah dilakukan uji KruskalWallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna durasi membuat sarang

48

malam orangutan betina dewasa di ketiga tipe habitat tersebut (Chi-Square =3,645; df= 2; Asymp. Sig.= 0,161). Perilaku selanjutnya mengenai rata-rata jarak yang ditempuh dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang malam, orangutan betina dewasa ketika berada di hutan rawa air tawar menempuh jarak rata-rata 107 m (SD +/- 131,52 m) dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang malamnya, di hutan tanah aluvial 32,8 m (SD +/- 18,29 m) dan ketika berada di hutan batu berpasir dataran rendah 39,2 m (SD +/- 34,51 m). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata jarak dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang malam orangutan betina dewasa di ketiga tipe habitat (Chi-Square = 0,185; df= 2; Asymp. Sig.= 0,912). Sedangkan untuk rata-rata jarak dari pohon sarang malam ke pohon pakan pertama, orangutan betina dewasa di hutan tanah aluvial menempuh jarak rata-rata 32,67 m (SD +/- 34,19 m) dan ketika berada di hutan batu berpasir dataran rendah 79 m (SD +/- 14,14 m). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata jarak dari pohon sarang malam ke pohon pakan pertama orangutan betina dewasa di kedua tipe habitat (Mann-Whitney U= 1,000; Wilcoxon W= 7,000; Z= -1,155; Asymp. Sig. (2tailed)= 0,248). Mengenai karakter sarang yang dibuat, rata-rata ketinggian sarang malam orangutan betina dewasa di hutan rawa air tawar adalah 24 m (SD +/- 1,41 m), di hutan tanah aluvial 20,2 m (SD +/- 3,35 m) dan ketika berada di hutan batu berpasir dataran rendah, rata-rata ketinggian sarang malam orangutan ini adalah

49

19,2 m (SD +/- 3,56 m). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata ketinggian sarang malam orangutan betina dewasa di ketiga tipe habitat (Chi-Square = 3,263; df= 2; Asymp. Sig.= 0,196). Karakter sarang berikutnya adalah rata-rata ketinggian pohon tempat dibuatnya sarang malam, rata-rata ketinggian pohon sarang malam orangutan betina dewasa di hutan rawa air tawar adalah 26,5 m (SD +/- 2,12 m), di hutan tanah aluvial 24 m (SD +/- 2,53 m) dan di hutan batu berpasir dataran rendah adalah 27,29 m (SD +/- 12,31 m). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata ketinggian pohon sarang orangutan betina dewasa di ketiga tipe habitat (Chi-Square = 1,377; df= 2; Asymp. Sig.= 0,502). Karakter sarang terakhir yang diuji mengenai rata-rata diameter batang pohon sarang malam orangutan betina dewasa, ketika berada di hutan rawa air tawar rata-rata diameter batang pohon sarang malam orangutan ini adalah 19,5 cm (SD +/- 0,71 cm), di hutan tanah aluvial 26,98 cm (SD +/- 10,63 cm) dan di batu berpasir dataran rendah adalah 52,11 cm (SD +/- 50,23 cm). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata diameter batang pohon sarang malam orangutan betina dewasa di ketiga tipe habitat (ChiSquare = 1,159; df= 2; Asymp. Sig.= 0,560). Secara keseluruhan, tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna terhadap parameter perilaku dan karakteristik sarang yang diuji, karena hanya satu individu yang diikuti mewakili kelas umur orangutan betina dewasa ini. Hal ini memberikan gambaran bahwa orangutan pada kelas umur yang sama cenderung

50

mempertahankan perilakunya dalam membuat sarang ketika berada di habitat yang berbeda, tetapi tentu saja tetap menyesuaikan diri terhadap kondisi habitat tempat orangutan tersebut berada.

4.2.3.

Perilaku Bersarang Orangutan Betina Dewasa dengan Anak di Empat Tipe Habitat Orangutan betina dewasa dengan anak selama diikuti telah membuat 16

sarang malam, 6 sarang malam dibuat di hutan rawa gambut, 3 di hutan rawa air tawar, 2 di hutan tanah aluvial, dan 5 di hutan batu berpasir dataran rendah. Kemudian, dilakukan uji statistik untuk mengetahui perilaku dalam membuat sarang dan karakter sarang yang dibuat oleh orangutan betina dewasa dengan anak di empat tipe habitat tersebut. Perilaku pertama mengenai rata-rata durasi membuat sarang malam, orangutan betina dewasa dengan anak ketika berada di hutan rawa gambut ratarata membutuhkan waktu 5,33 menit (SD +/- 1,53 menit) dalam membuat sarang malam, di hutan rawa air tawar 7 menit (SD +/- 2 menit), di hutan tanah aluvial 5 menit (SD +/- 0 menit), dan di hutan batu berpasir dataran rendah 6,67 menit (SD +/- 2,31 menit). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna durasi membuat sarang orangutan betina dewasa di keempat tipe habitat (Chi-Square = 2,093; df= 3; Asymp. Sig.= 0,553). Mengenai rata-rata jarak dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang malam, orangutan betina dewasa dengan anak di hutan ketika berada di hutan rawa gambut rata-rata menempuh jarak 69,75 m (SD +/- 55,19 m) dari pohon

51

pakan terakhir ke pohon sarang malam, di hutan rawa air tawar 15,5 m (SD +/14,85 m), di hutan tanah aluvial 30,5 m (SD +/- 4,95 m), dan di hutan batu berpasir dataran rendah adalah 19,67 m (SD +/- 21,13 m). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata jarak dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang malam orangutan betina dewasa dengan anak di keempat tipe habitat (Chi-Square = 4,008; df= 3; Asymp. Sig.= 0,261). Perilaku berikutnya mengenai rata-rata jarak dari pohon sarang malam ke pohon pakan pertama, orangutan betina dewasa dengan anak di hutan rawa gambut rata-rata menempuh jarak 50,33 m (SD +/- 46,02 m), di hutan rawa air tawar 87,5 m (SD +/- 17,68 m), di hutan tanah aluvial 23,5 m (SD +/- 9,19 m), dan di hutan batu berpasir dataran rendah 10,5 m (SD +/- 2,12 m). Setelah dilakukan uji Kruskal Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna jarak dari pohon sarang malam ke pohon pakan pertama orangutan betina dewasa dengan anak di keempat tipe habitat (Chi-Square = 4,133; df= 3; Asymp. Sig.= 0,247). Mengenai karakter sarang, rata-rata ketinggian sarang malam orangutan betina dewasa dengan anak di hutan rawa gambut adalah 25,4 m (SD +/- 9,37 m), di hutan rawa air tawar 27,67 m (SD +/- 2,52 m), di hutan tanah aluvial 20,5 m (SD +/- 0,71 m), dan di hutan batu berpasir dataran rendah 21,2 m (SD +/- 2,18 m). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna bermakna ketinggian sarang malam orangutan betina dewasa dengan anak di keempat tipe habitat (Chi-Square = 4,420; df= 3; Asymp. Sig.= 0,220).

52

Mengenai rata-rata ketinggian pohon sarang malam orangutan betina dewasa dengan anak, ketika berada di hutan rawa gambut rata-rata ktinggian pohon sarang malam orangutan ini adalah 32,17 m (SD +/- 10,96 m), di hutan rawa air tawar 31,67 m (SD +/- 3,51 m), di hutan tanah aluvial 30 m (SD +/- 7,07 m), dan di hutan batu berpasir dataran rendah 24,4 m (SD +/- 2,30 m). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna ketinggian pohon sarang orangutan betina dewasa dengan anak di keempat tipe habitat (Chi-Square = 5,673; df= 3; Asymp. Sig.= 0,129). Karakter sarang selanjutnya adalah diameter batang pohon sarang malam, orangutan betina dewasa dengan anak ketika berada di hutan rawa gambut membuat sarang malam pada pohon dengan rata-rata DBH 52,68 cm (SD +/42,22 cm), di hutan rawa air tawar 33,27 cm (SD +/- 8,17 cm), di hutan tanah aluvial 23,5 cm (0,71 cm), dan di hutan batu berpasir dataran rendah 26,2 cm (SD +/- 9,67 cm). Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna diameter batang pohon sarang malam orangutan betina dewasa dengan anak di keempat tipe habitat (Chi-Square = 5,412; df= 3; Asymp. Sig.= 0,144). Hasil yang ditemukan pada perilaku membuat sarang orangutan betina dewasa dengan anak sejalan dengan yang ditemukan pada orangutan betina dewasa. Dari semua parameter perilaku dan karakteristik sarang yang diuji menggunakan Kruskall-Wallis tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna ketika orangutan tersebut berada pada beberapa tipe habitat yang berbeda.

53

4.2.4.

Perilaku Bersarang Orangutan Jantan Berpipi di Dua Tipe Habitat Orangutan jantan berpipi selama penelitian ini telah membuat 6 sarang

malam, 4 sarang malam di hutan rawa gambut dan 2 sarang malam di hutan rawa air tawar. Dilakukan uji statistik untuk mengetahui perilaku dalam membuat sarang dan karakter sarang yang dibuat oleh orangutan jantan berpipi di dua tipe habitat tersebut. Mengenai rata-rata durasi membuat sarang malam, orangutan jantan berpipi ketika berada di hutan rawa gambut memerlukan rata-rata waktu 4,75 menit (SD +/- 0,5 menit) untuk membuat sarang malam dan ketika berada di hutan rawa air tawar memerlukan rata-rata waktu 5 menit (SD +/- 0 menit). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna durasi membuat sarang malam orangutan jantan berpipi ketika berada di hutan rawa gambut dan di hutan rawa air tawar (Mann-Whitney U= 3,000; Wilcoxon W= 13,000; Z= -0,707; Asymp. Sig. (2-tailed)= 0,480). Mengenai rata-rata jarak dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang malam, orangutan jantan berpipi ketika berada di hutan rawa gambut menempuh rata-rata jarak 27,13 m (SD +/- 20,72 m) dan di hutan rawa air tawar 19 m (SD +/9,89 m). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata jarak dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang malam orangutan jantan berpipi di kedua tipe habitat (Mann-Whitney U= 4,000; Wilcoxon W= 7,000; Z= 0,000; Asymp. Sig. (2-tailed)= 1,000). Perilaku berikutnya mengenai rata-rata jarak dari pohon sarang malam ke pohon pakan pertama, orangutan jantan berpipi di hutan rawa gambut menempuh

54

rata-rata jarak 130,67 m (SD +/- 43,09 m) dan di hutan rawa air tawar 21 m (SD +/- 5,66 m). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata jarak dari pohon sarang malam ke pohon pakan pertama orangutan jantan berpipi di kedua tipe habitat (Mann-Whitney U= 0,000; Wilcoxon W= 3,000; Z= -1,732; Asymp. Sig. (2-tailed)= 0,083). Berkaitan dengan karakter sarang yang dibuat, rata-rata ketinggian sarang malam orangutan jantan berpipi di hutan rawa gambut adalah 10 m (SD +/- 0 m) dan di hutan rawa air tawar 11 m (SD +/- 1,41 m). Setelah dilakukan uji MannWhitney, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata ketinggian sarang malam orangutan jantan berpipi di kedua tipe habitat (Mann-Whitney U= 2,000; Wilcoxon W= 12,000; Z= -1,414; Asymp. Sig. (2-tailed)= 0,157). Mengenai rata-rata ketinggian pohon sarang malam orangutan jantan berpipi, ketika berada di hutan rawa gambut rata-rata ketinggian pohon sarang orangutan ini 13,67 m (SD +/- 1,21 m) dan di hutan rawa air tawar 14,25 m (SD +/- 2,48 m). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata ketinggian pohon sarang malam orangutan jantan berpipi di kedua tipe habitat (Mann-Whitney U= 5,000; Wilcoxon W= 26,000; Z= -0,337; Asymp. Sig. (2-tailed)= 0,736). Berikutnya mengenai rata-rata diameter batang pohon sarang malam orangutan jantan berpipi, ketika membuat sarang di hutan rawa gambut rata-rata diameter batang pohon sarang yang digunakan adalah 12,83 cm (SD +/- 2,54 cm) dan di hutan rawa air tawar 14,85 cm (SD +/- 3,04 cm). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata diameter

55

batang pohon sarang malam orangutan jantan berpipi di kedua tipe habitat (MannWhitney U= 3,500; Wilcoxon W= 24,500; Z= -0,838; Asymp. Sig. (2-tailed)= 0,402). Perilaku bersarang yang dijumpai pada orangutan kelas umur orangutan jantan berpipi cenderung sejalan dengan kelas umur orangutan yang lain, yaitu muncul asumsi kuat bahwa masing-masing kelas umur orangutan mempunyai kebutuhan tertentu terkait perilaku bersarang dan karakteristik sarang yang dibuat, sehingga ketika berada di beberapa habitat yang berbeda orangutan akan tetap mempertahankan perilaku bersarangnya namun tetap memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh seperti adanya musuh dan predator serta kondisi habitat tempat orangutan tersebut membuat sarang malam.

4.3.

Perilaku Bersarang Orangutan Berdasarkan Kelas Umur

4.3.1.

Posisi Sarang Orangutan Sarang malam yang dibuat oleh orangutan target lebih banyak pada

posisi 1 dan 2. Selama pengambilan data dilakukan, orangutan remaja membuat seluruh sarang malamnya pada posisi 2 (100%), dan orangutan betina dewasa dengan anakpun lebih sering membuat sarang malam pada posisi 2 (50%). Sedangkan orangutan betina dewasa dan jantan berpipi lebih sering membuat sarang malamnya pada posisi 1 (42% dan 50%) seperti tersaji pada Gambar 15.

56

Gambar 15. Persentase (%) posisi sarang malam orangutan (remaja n=6, betina dewasa n=12, betina dewasa dengan anak n=16, jantan berpipi n=6)

Berdasarkan pengamatan di lapangan, alasan kenapa orangutan betina dewasa dengan anak membuat sarang posisi 2 adalah karena berkaitan dengan perilaku melindungi anaknya dari ganggguan yang mungkin muncul ketika mereka beristirahat di dalamnya. Sarang posisi 2 berada di ujung, jauh dari batang utama, muncul asumsi bahwa pada posisi ini kecil resiko datangnya gangguan dari hewan lain yang mungkin datang dari bawah melalui batang utama pohon. Orangutan remaja, berdasarkan apa yang teramati di lapangan kerap membuat sarangnya dekat dan mengikuti sarang orangutan betina dewasa dengan anak. Perilaku tersebut menunjukkan bahwa orangutan remaja belum sepenuhnya mandiri, masih memerlukan perlindungan dari orangutan dewasa. Membuat sarang di dekat sarang induknya memberikan keamanan yang lebih besar bagi orangutan tersebut.

57

Selanjutnya orangutan betina dewasa dan jantan berpipi, sering membuat sarang pada posisi 1, diduga posisi inilah yang sesuai dengan kebutuhan membuat sarang dua golongan umur orangutan tersebut. Dibandingkan dengan orangutan betina dewasa dengan anak dan orangutan remaja, orangutan betina dewasa dan jantan berpipi cenderung lebih berani dan mandiri dan tidak perlu melakukan tindakan yang sangat waspada di dalam memilih posisi bersarangnya. Pembuatan sarang malam pada posisi 1 dan 2 di Stasiun Penelitian Cabang Panti juga ditemukan pada orangutan eksrehabilitasi di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau oleh Taniasari (2012), orangutan eksrehabilitasi di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau lebih sering membuat sarang berturut-turut pada posisi 1, 2, dan 3 serta jarang sekali membuat sarang pada posisi 4. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pemilihan posisi ini juga dipengaruhi oleh kondisi pohon yang ada, hal ini menunjukkan bahwa selain mempunyai kebutuhan tertentu terkait perilaku bersarangnya, orangutan juga menyesuaikan diri dengan keadaan hutan yang ditempati.

4.3.2.

Durasi Pembuatan Sarang Orangutan Berdasarkan pengamatan di lapangan, durasi yang dibutuhkan oleh

orangutan untuk membuat sarang cenderung berhubungan dengan individu orangutan pembuat sarang, selain itu berhubungan dengan ada atau tidaknya bagian-bagian tambahan pada sarang yang dibuat. Orangutan yang secara fisik terlihat kuat yang digambarkan dengan ukuran tubuh yang relatif besar diduga mempunyai energi yang besar untuk mematahkan ranting sehingga durasi

58

pembuatan sarang relatif singkat. Durasi membuat sarang orangutan berdasarkan kelas umur disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16. Rata-rata durasi (menit) pembuatan sarang malam orangutan (remaja n=4, betina dewasa n=11, betina dewasa dengan anak n=11, jantan berpipi n=6)

Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa orangutan jantan berpipi memerlukan waktu yang paling sedikit untuk membuat sarang malamnya dibandingkan dengan kelas umur orangutan yang lain. Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna durasi pembuatan sarang malam keempat kelas umur orangutan (Chi-square = 5,479 ; df = 3 dan Asymp. Sig. = 0,140). Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa orangutan liar di Stasiun Penelitian Cabang Panti pada kelas umur yang berbeda cenderung menggunakan durasi yang sama ketika membuat sarang malam. Hal ini berbeda dengan yang

59

ditemukan pada orangutan eks-rehabilitasi di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau (Taniasari, 2012), di mana terdapat perbedaan antara kelas umur yang berbeda dalam membuat sarang malamnya.

4.3.3.

Jarak Pohon Pakan Terakhir dengan Pohon Sarang Orangutan Rata-rata jarak yang ditempuh dari pohon pakan terakhir menuju pohon

sarang malam oleh orangutan cenderung semakin dekat bila diperhatikan dari mulai orangutan remaja, betina dewasa, betina dewasa dengan anak menuju jantan berpipi. Orangutan remaja menempuh jarak paling dekat menuju pohon sarang malamnya dan orangutan jantan berpipi menempuh jarak paling jauh menuju pohon sarang malamnya. Sebagaimana yang tersaji pada Gambar 17.

Gambar 17. Rata-rata jarak (m) dari pohon pakan terakhir ke pohon sarang malam orangutan (remaja n=2, betina dewasa n=11, betina dewasa dengan anak n=11, jantan berpipi n=6)

60

Berdasarkan Gambar 17, terlihat bahwa orangutan jantan berpipi menempuh jarak yang paling dekat untuk menentukan pohon tempat membuat sarang malam dibandingkan kelas umur orangutan yang lain. Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna rata-rata jarak pohon pakan terakhir ke pohon sarang malam keempat kelas umur orangutan (Chi-square = 1,581 ; df = 3 dan Asymp. Sig. = 0,664). Meskipun terlihat pada gambar 19 bahwa jarak rata-rata berbeda cukup jauh di antara masing-masing kelas umur orangutan, namun setelah dilakukan uji stasistik ternyata tidak terdapat perbedaan bermakna. Hal ini karena ada perbedaan jumlah individu orangutan yang diikuti pada masing-masing kelas umur, seperti juga terlihat pada standar deviasi di gambar tersebut. Penelitian ini tidak menemukan adanya individu orangutan yang menggunakan pohon pakan terakhir sebagai pohon sarangnya. Menurut Prasetyo (2006) hal tersebut memang jarang dilakukan oleh orangutan sebagaimana yang terjadi di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan. Meskipun tidak terdapat perbedaan yang bermakna di antara 4 kelas umur, namun dapat dilihat pada Gambar 17 bahwa orangutan jantan berpipi cenderung membuat sarang yang lebih dekat dari pohon pakan terakhir, sebagaimana yang terjadi di Taman Nasional Sebangau (Gibson, 2006). Sebagaimana Sugardjito (1983) di Stasiun Penelitian Orangutan Ketambe dan Gibson (2006) di Taman Nasional Sebangau menemukan bahwa golongan umur orangutan ini cenderung menguasai sumber pakan. Bahkan Basabose dan Yamagiwa (2002) menambahkan bahwa pada gorila silver back, yang merupakan

61

kelas umur yang setara dengan orangutan jantan berpipi, diprediksi menggunakan pohon pakan terakhir sebagai pohon sraang malam.

4.3.4.

Jarak Pohon Sarang Orangutan dengan Pohon Pakan Pertama Rata-rata antara pohon sarang malam orangutan dengan pohon pakan

pertama di esok paginya terlihat bervariasi. Sebagaimana terlihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Rata-rata jarak (m) dari pohon sarang malam ke pohon pakan pertama orangutan (remaja n=2, betina dewasa n=8, betina dewasa dengan anak n=12, jantan berpipi n=5)

Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa orangutan jantan berpipi menempuh jarak yang paling jauh untuk menentukan pohon pakan pertama setelah bangun di pagi hari dibandingkan kelas umur orangutan yang lain. Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna

62

rata-rata jarak pohon sarang malam ke pohon pakan pertama keempat kelas umur orangutan (Chi-square = 4,449 ; df = 3 dan Asymp. Sig. = 0,217). Berdasarkan data jarak pohon pakan terakhir dengan pohon sarang orangutan (Gambar 17), terlihat bahwa jarak yang ditempuh dari pohon pakan terakhir menuju pohon sarang orangutan berdasarkan kelas umur cenderung semakin dekat dari orangutan remaja sampai jantan berpipi. Tetapi pada data jarak pohon sarang dengan pohon pakan pertama ini tidak seperti demikian, terjadi fluktuasi pada jantan berpipi di mana rata-rata jarak yang ditempuh dari pohon sarang menuju pohon pakan pertama cenderung paling jauh di antara kelas umur yang lain. Orangutan jantan berpipi pada penelitian ini membuat sarang malamnya pada jarak rata-rata paling dekat (<30 m) dengan pohon pakan terakhir dibandingkan kelas umur yang lain, namun menempuh jarak rata-rata paling jauh (>80 m) dalam menentukkan pohon pakan pertamanya. Hal ini diduga orangutan jantan berpipi mempunyai energi yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok umur orangutan yang lain, dan ketika pada pagi harinya setelah bangun tidur mampu menempuh jarak yang cukup jauh untuk menemukan pohon pakan pertamanya. Sementara itu, Gibson (2006) dalam penelitiannya di hutan gambut Taman Nasional Sebangau mendeskripsikan bahwa kelompok dominan cenderung membuat sarang di dekat sumber pakan karena mempunyai rencana untuk menjadikan sumben pakan tersebut sebagai sumber pakan pertama di esok harinya setelah bangun tidur. Dia juga menambahkan, sebagaimana pada pohon pakan

63

terakhir, kelompok yang tidak dominan akan membuat sarang lebih jauh untuk menghindari kelompok dominan (jantan berpipi) yang mungkin membuat sarang di dekat sumber pakan tersebut.

4.3.5.

Ketinggian Sarang dan Pohon Sarang Orangutan Rata-rata ketinggian sarang orangutan cenderung bervariasi pada masing-

masing kelas umur, begitupun dengan ketinggian pohon sarang yang digunakan. Variasi ketinggian tersebut sebagaimana tersaji pada Gambar 19.

Sarang Pohon

Gambar 19. Rata-rata ketinggian (m) sarang malam orangutan (A; remaja n=6, B; betina dewasa n=12, C; betina dewasa dengan anak n=15, D; jantan berpipi n=6) dan ketinggian (m) pohon sarang malam orangutan (A; remaja n=6, B; betina dewasa n=12, C; betina dewasa dengan anak n=17, D; jantan berpipi n=6)

Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa terdapat perbedaan bermakna ketinggian sarang malam keempat kelas umur orangutan

64

(Chi-square = 18,267 ; df = 3 dan Asymp. Sig. = 0,000). Uji Mann-Whitney membuktikan bahwa perbedaan tersebut terletak antara orangutan remaja dengan jantan berpipi, betina dewasa dengan jantan berpipi, dan betina dewasa dengan anak dengan jantan berpipi. Berdasarkan pengamatan di lapangan, orangutan jantan berpipi cenderung membuat sarang lebih rendah dibandingkan dengan 3 golongan umur lainnya. Keadaan yang sama terjadi di Tuanan (Prasetyo, 2006), di mana golongan umur orangutan jantan berpipi cenderung memilih ketinggian sarang malam yang lebih rendah (5-9 m) dibandingkan dengan golongan umur orangutan yang lainnya (10-14 m). Berdasarkan uji Kruskal-Wallis, diketahui bahwa terdapat perbedaan bermakna rata-rata ketinggian pohon sarang malam keempat kelas umur orangutan (Chi-square = 18,915 ; df = 3 dan Asymp. Sig. = 0,000). Setelah dilakukan uji Mann-Whitney terlihat bahwa perbedaan terletak antara remaja dengan jantan berpipi, betina dewasa dengan jantan berpipi dan betina dewasa dengan anak dengan jantan berpipi. Sejalan dengan ketinggian sarang, pemilihan ketinggian pohon sarang oleh orangutan jantan berpipi lebih rendah dibandingkan dengan golongan umur orangutan yang lainnya. Meskipun pemilihan ketinggian pohon sarang ini sangat dipengaruhi oleh kondisi kawasan (Prasetyo, 2006), namun berdasarkan pengamatan hal ini juga dipengaruhi oleh rasa aman yang ingin didapatkan oleh orangutan tersebut ketiga menggunakan sarangnya. Dengan kata lain, orangutan jantan berpipi lebih cocok membuat sarangnya pada pohon yang cenderung lebih

65

rendah (+/- 13 m) diduga disebabkan postur tubuhnya yang besar memerlukan banyak energi apabila harus memanjat pohon yang tinggi dan juga menghindari resiko terjatuh pada saat tidur . 4.3.6.

Diameter Batang Pohon Sarang Orangutan Rata-rata diameter batang pohon sarang yang digunakan oleh orangutan

cenderung bervariasi pada masing-masing kelas umur orangutan tersebut. Variasi yang dimaksud sebagaimana tersaji pada Gambar 20.

Gambar 20. Rata-rata diameter batang (cm) pohon sarang malam orangutan (remaja n=6, betina dewasa n=12, betina dewasa dengan anak n=17, jantan berpipi n=6)

Setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis diketahui bahwa terdapat perbedaan bermakna rata-rata diameter batang pohon sarang malam keempat kelas umur orangutan (Chi-square = 18,376 ; df = 3 dan Asymp. Sig. = 0,000). Dengan uji Mann-Whitney diketahui bahwa perbedaan terletak antara orangutan remaja

66

dengan betina dewasa, remaja dengan jantan berpipi, betina dewasa dengan jantan berpipi, dan betina dewasa dengan anak dengan jantan berpipi. Seperti dua parameter sebelumnya, jantan berpipi memilih ukuran pohon lebih kecil dibandingkan dengan golongan umur yang lainnya. Selain itu pada diameter batang pohon ini terdapat perbedaan juga antara orangutan remaja dengan orangutan betina dewasa, ini dikaitkan dengan kondisi orangutan remaja baru yang diduga belum pernah diikuti sehingga orangutan ini agresif, selama pengamatan berada pada pohon besar dan tidak berani untuk berpindah pohon.

4.3.7.

Jenis Pohon Sarang Orangutan Jenis pohon yang paling sering digunakan sebagai material sarang oleh

orangutan target menunjukkan hasil yang sesuai dengan jenis pohon sarang hasil survei. Orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti paling sering menggunakan Shorea spp., (Gambar 21). Sebagai material sarangnya. Ini berbeda dengan yang ditemukan pada orangutan di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (Prasetyo, 2006), lebih sering ditemukan Elaeocarpus mastersii sebagai material sarang. Menurut Cannon & Leighton (2004), di Stasiun Penelitian Cabang Panti hutan rawa gambut (peat) didominasi oleh famili Sapotaceae (24%), hutan rawa air tawar (freshwater swamp) didominasi oleh famili Melastomataceae (42%), hutan tanah aluvial (alluvium) didominasi oleh famili Dipterocarpaceae (38%), hutan batu berpasir (sandstone) didominasi oleh famili Olacaceae (36%), dan hutan granit (granite) didominasi oleh famili Dipterocarpaceae (50%). Knott (1999) dan Marshall (2004) mendeskripsikan lebih detail bahwa di hutan rawa

67

gambut didominasi oleh famili Sapotaceae (Palaquium spp.), hutan rawa air tawar didominasi oleh famili Melastomataceae (Pternandra spp.), hutan tanah aluvial didominasi oleh famili Dipterocarpaceae (Dipterocarpus spp.), hutan batu berpasir dataran rendah dan hutan granit dataran rendah didominasi oleh famili Myrtaceae (Syzigium spp.).

Gambar 21. Jenis pohon sarang malam orangutan (genus n=20, sarang n=43)

Prasetyo (2006) menjelaskan bahwa terdapat indikasi pemilihan jenis pohon sarang tertentu yang dilakukan oleh orangutan, pemilihan jenis pohon sarang bertujuan untuk mendapatkan kenyamanan di saat tidur dan penghematan energi pada saat proses membuat sarang. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pemilihan genus pohon sarang orangutan juga dipengaruhi oleh ketersediaan jenis pohon di kawasan penelitian meskipun pada akhirnya diketahui bahwa pemilihan tersebut cenderung tidak berkaitan dengan genus pohon yang paling dominan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.

Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.

Terdapat perbedaan rata-rata ketinggian sarang, ketinggian pohon sarang dan diameter batang pohon sarang orangutan. Tetapi tidak terdapat perbedaan rata-rata diameter kanopi pohon sarang orangutan pada lima tipe habitat yang berbeda di Stasiun Penelitian Cabang Panti.

2.

Tidak terdapat perbedaan perilaku bersarang orangutan pada kelas umur yang sama ketika berada pada lima tipe habitat yang berbeda, tetapi terdapat perbedaan perilaku bersarang orangutan berdasarkan kelas umur (remaja, betina dewasa, betina dewasa dengan anak dan jantan berpipi) yaitu dalam hal karakteristik sarang yang meliputi rata-rata ketinggian sarang, ketinggian pohon sarang dan diameter batang pohon sarang. Sedangkan untuk perilaku, tidak terdapat perbedaan rata-rata durasi membuat sarang serta jarak antara pohon pakan terakhir dengan pohon sarang dan jarak antara pohon sarang dengan pohon pakan pertama.

5.2.

Saran Berdasarkan hasil penelitian, terutama mengenai jenis pohon yang sering

digunakan oleh orangutan sebagai material sarangnya, perlu dilakukan

68

69

peningkatan manajemen kawasan untuk menjamin kelestarian jenis pohon tersebut di Stasiun Penelitian Cabang Panti. Terlebih lagi karena terdapat beberapa jenis yang sering digunakan sebagai material sarang juga merupakan pohon yang bernilai ekonomis, maka perlu dilakukan pengawasan terhadap kemungkinan adanya aksi penebangan liar dan pemanfaatan yang tidak bijaksana oleh pihak-pihak tertentu yang kurang bertanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1998. Checklist of CITES Species. CITES Secretariat/ World Conservation Monitoring Centre, Châtelaine-Genève. Anonim. 2002. Data dan informasi kehutanan profinsi Kalimantan Barat. Pusat inventarisasi dan statistik kehutanan: Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Anonim. 2011. Tentang Gunung Palung. http://gunungpalung.net/. Diakses pada tanggal 3 Desember 2012 pukul 21.53 WIB. Anonim. 2012. Taman Nasional Gunung Palung. http://ditjenphka.dephut.go.id. Diakses pada tanggal 3 Desember 2012 pukul 23.08 WIB. Basabose, A.K. and J. Yamagiwa. 2002. Factors affecting nesting site choice in chimpanzees at Tshibati, Kahuzi-Biega National Park: Influence of sympatric gorillas. Journal of International Primatology 23(2): 263281. Buij, R., S.A. Wich, A.H. Lubis and E.H.M. Sterck. 2002. Seasonal movements in the Sumatran orangutan (Pongo pygmaeus abelii) and consequences for conservation. Biological Conservation 107(83-87). Cannon, C.H. and M. Leighton. 2004. Tree species distributions across five habitats in a Bornean rain forest. Journal of Vegetation Science 15: 257-266. Dalimunthe, N.P. 2009. Estimasi kepadatan orangutan Sumatera (Pongo abelii) berdasarkan jumlah sarang di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser. Skripsi Sarjana. Departeman Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan. Universitas Sumatera Utara. Medan. Galdikas, B.M.F. 1986. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung Putting Kalimantan Tengah. UI press. Jakarta. Gibson, A. 2006. Orangutan nesting preferences in a disturbed tropical deep-peat swamp forest, Central Kalimantan, Indonesia. Thesis. Departement of Conservation Management, Otley College, Charity Lane, Otley, Ipswich, suffolk. United Kingdom. Johnson, A. E., C. D. Knott, B. Pamungkas, M. Pasaribu and A. J. Marshall. 2005. A survey of the orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) population in and around Gunung Palung National Park, West Kalimantan, 70

71

Indonesia based on nest counts. Biological Conservation 121: 495– 507. Knott, C.D. 1999. Reproductive, physiological and behavioral responses of orangutans in Borneo to fluctuations in food availability. Ph.D. Dissertation. Harvard University: x + 373 hlm. Kudus, R.S. 2000. Analisis hubungan antar dimensi sarang dan karakteristik individu orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus, Linnaeus 1760) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Skripsi Sarjana. Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kuncoro, P. 2004. Aktivitas harian orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus Linnaeus, 1760) rehabilitan di Hutan Lindung Pegunungan Meratus, Kalimantan Timur. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Udayana. Bali. Marshall, A.J. 2004. Population ecology of gibbons and leaf monkeys across a gradient of Bornean forest types. Ph.D. Dissertation. Department of Anthropology, Harvard University, Cambridge, MA, USA: xv + 248 hlm. Meijaard, E., H.D. Rijksen, S.N. Kartikasari. 2001. Di Ambang Kepunahan, Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. Penyunting S.N. Kartikasari. The Gibbon Foundation Indonesia. Jakarta. Muin, A. 2007. Analisis tipologi pohon tempat bersarang dan karakteristik sarang orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii, Grooves 2001) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Paulina, L.E. Djuwantoko dan P. Yuda. 2001. Penggunaan habitat orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus) rehabilitan di hutan lindung Sungai Wain, Kalimantan Timur. Biota VI (3): 117-122. Prasetyo, D. 2006. Intelegensi orangutan berdasarkan teknik dan budidaya perilaku membuat sarang. Tesis. Program Studi Biologi Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan. Universitas Indonesia. Prasetyo, D., M. Ancrenaz, H. C. Morrogh-Bernard, S. S. U. Atmoko, S. A. Wich and C. P. Van Schaik. 2009. Nest building in orangutan. Wich-Chap 19.indd, 271.

72

Rayadin, Y. and Takashi, S. 2009. Individual Variation in Nest Size and Nest Site Features of The Bornean Orangutans (Pongo pygmaeus). American Journal of Primatology 71:393–399. Rijksen, H.D. 1978. A field Study On Sumatran Orang Utans ( Pongo pgymaeus abelii, Lesson 1827) : Ecology, Behaviour, and Conservation. H. Veenman & Zonen. Wageningen. Rijksen, H.D., dan Meijaard, E. 1999. Our vanishing relative. The status of wild orangutans at the close of the twentieth century. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht. The Netherlands. Siegel, S. 1990. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Cet. 4. Terjemahan Zanzawi Suyuti dan Landung Simatupang. Gramedia. Jakarta. Soehartono, T., Susilo, H.D., Andayani, N., Utami Atmoko, S.S., Sihite, J., Saleh, C., Sutrisno, A., 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017. PHKA KEMENHUT RI. Jakarta. Sugardjito, J. 1983. Selecting Nest-Site of Sumatran Orangutan (Pongo pygmaeus 72abelii) in The Gunung Leuser National Park, Indonesia. Primates 24(4): 467-474. Sugardjito, J. 1986. Ecology constraint on the behaviour of Sumatran orangutan in the Gunung Leuser National Park, Indonesia. Ph.D. Thesis. Utrecth University. Utrecth: iii+ 144 hlm. Supriatna J. dan Hendras E.W. 2000. Panduan lapangan primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Susanto, T.W. 2006. Pemanfaatan ruang aktivitas antar individu orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedemann 1808) jantan di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah. Skripsi. Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta. Susanto, T.W. 2012. Pola jelajah dan pemanfaatan habitat orang utan (Pongo pygmaeus wurmbii) di Stasiun Penelitian Cabang panti, Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat. Tesis. FMIPA, Program Pascasarjana, Program Studi Biologi, Universitas Indonesia. Depok. Taniasari, P. 2012. Sebaran dan perilaku bersarang orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedemann 1808) eksrehabilitasi di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau, Kalimantan Tengah. Skripsi. Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan teknologi, UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.

73

van Schaik, C.P. 2006. Antara Orangutan Kera merah dan Bangkitnya Kebudayaan Manusia. Yayasan BOSF. Jakarta. van Schaik, C.P., S. Poniran., S.S. Utami, M. Griffith, S. Djojosudharmo, T. Mitrasetia, J. Sugardjito, H.D Rijsken, U.S. Seal, T. Faust, K. Traylorholzer, dan R. Tilson. 1995. Estimates of Orangutan Distribution and Status in Sumatera. Plenum Press. New York. Wich, S.A., Utami Atmoko, S.S., Mitra Setia, T., Rijksen, H.D., Schurmann, C., van Hoof, J.A.R.A.M., van Schaik, C.P. 2004. Life History of Wild Sumatran Orangutan (Pongo abelii). Journal of Human Evolution. Zhang, Y., O.A. Ryder & Y. Zhang. 2001. Genetic divergence of orangutan subspecies (Pongo pygmaeus). J. Mol. Evol. 52: 516-526.

74

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1A. Persentase ketersediaan bunga dan buah sumber pakan orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti periode Oktober 2011 - Februari 2012 (Marshall and Knott, unpublished data)

Keterangan: M=Mature, R=Ripe, I=Immature, B=Bud dan F=Flower

Lampiran 1B. Persentase ketersediaan bunga dan buah sumber pakan orangutan di Stasiun Penelitian Cabang Panti periode Januari 2008 - September 2012 (Marshall and Knott, Unpublished Data)

Keterangan: M=Mature, R=Ripe, I=Immature, B=Bud dan F=Flower

75

Lampiran 2. Posisi sarang orangutan (Dok. pribadi, 2012)

A

B

C

D

Keterangan: A. Sarang posisi 1, di pangkal percabangan B. Sarang posisi 2, di ujung percabangan C. Sarang posisi 3, di ujung batang utama D. Sarang posisi 4, dibuat dari dua pohon

76

Lampiran 3. Kelas sarang orangutan (Dok. pribadi, 2012)

A

D

B

E

C Keterangan: A (sarang kelas A) daun hijau segar, B (sarang kelas B) sebagian daun hijau dan sebagian coklat), C (sarang kelas C) daun berwarna coklat, D (sarang kelas D) daun berwarna coklat dan tidak utuh, dan E (sarang kelas E) sebagian besar tinggal pondasi sarang.

77

Lampiran 4. Gambaran kondisi lima tipe habitat di Stasiun Penelitian Cabang Panti (Dok. pribadi, 2012)

A

D

B

E

C Keterangan: A=Rawa Gambut, B=Rawa Air Tawar, C=Tanah Aluvial, D=Batu Berpasir Dataran Rendah, E=Granit Dataran Rendah

78

Lampiran 5. Uji Kruskall-Wallis karakteristik sarang hasil survei Tipe Habitat Tinggi Sarang

Tinggi Pohon Sarang

DBH Pohon Sarang

Diameter Kanopi Pohon Sarang

Hutan rawa gambut Hutan rawa air tawar Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Hutan granit dataran rendah Total Hutan rawa gambut Hutan rawa air tawar Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Hutan granit dataran rendah Total Hutan rawa gambut Hutan rawa air tawar Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Hutan granit dataran rendah Total Hutan rawa gambut Hutan rawa air tawar Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Hutan granit dataran rendah Total

Tinggi Sarang

Test Statisticsa,b Tinggi Pohon DBH Pohon Sarang Sarang

N 39 24 22 22 13 120 42 26 22 23 13 126 42 26 22 23 13 126 42 26 22 23 13 126

Mean Rank 46,05 54,63 88,61 58,34 70,77 50,01 60,54 94,57 50,85 82,81 50,65 60,10 85,11 74,17 56,35 51,76 66,08 73,68 69,04 69,23

Diameter Kanopi Pohon Sarang

Chi-Square 23.082 28.323 15.596 7.036 Df 4 4 4 4 Asymp. Sig. ,000 ,000 ,004 0,134 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Tipe Habitat * Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian sarang, ketinggian, DBH dan diameter kanopi pohon sarang orangutan di lima tipe habitat yang berbeda

79

Lampiran 6. Uji Mann-Whitney karakteristik sarang hasil survei A. Ketinggian sarang orangutan Tipe Habitat Hutan rawa gambut Hutan rawa air tawar Total Hutan rawa gambut Hutan tanah aluvial Total Hutan rawa gambut Hutan batu berpasir dataran rendah Total Hutan rawa gambut Hutan granit dataran rendah Total Hutan rawa air tawar Hutan tanah aluvial Total Hutan rawa air tawar Hutan batu berpasir dataran rendah Total Hutan rawa air tawar Hutan granit dataran rendah Total Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Total Hutan tanah aluvial Hutan granit dataran rendah Total Hutan batu berpasir dataran rendah Hutan granit dataran rendah Total

N 39 24 63 39 22 61 39 22 61 39 13 52 24 22 46 24 22 46 24 13 37 22 22 44 22 13 35 22 13 35

Mean Rank

Sum of Rank

30,78 33,98

1200,50 815,50

22,96 45,25

895,50 995,50

28,45 35,52

1109,50 781,50

23,86 34,42

930,50 447,50

18,04 29,45

433,00 648,00

22,79 24,27

547,00 534,00

17,31 22,12

415,50 287,50

28,50 16,50

627,00 363,00

19,91 14,77

438,00 192,00

16,55 20,46

364,00 266,00

80

Test Statisticsb A-B Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed) Exact Sig. [2*(1tailed Sig.)]

A-C

420,500 1200,500 -,675 ,500

A-E

115,500 392,500 895,500 1109,500 -4,720 -1,500 0,000 ,134

-

B-D

A-D

-

B-E

150,500 930,500 -2,183 ,029

133,00 433,00 -2,886 ,004

-

-

-

C-D

B-C

C-E

D-E

Mann-Whitney U 247,000 115,500 110,000 101,000 111,000 Wilcoxon W 527,000 415,500 363,000 192,000 364,000 Z -,375 -1,291 -3,108 -1,438 -1,096 Asymp. Sig. (2,708 ,197 ,002 ,150 ,237 tailed) ,150 a Exact Sig. [2*(1,200 ,159a ,287a tailed Sig.)] a. Not corrected for ties b. Grouping variable: Tipe habitat * Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian sarang orangutan antara A dengan C, A dengan E, B dengan C, dan C dengan D. A=Hutan rawa gambut B=Hutan rawa air tawar C=Hutan tanah aluvial D=Hutan batu berpasir dataran rendah E=Hutan granit dataran rendah

81

B. Ketinggian pohon sarang orangutan Tipe Habitat Hutan rawa gambut Hutan rawa air tawar Total Hutan rawa gambut Hutan tanah aluvial Total Hutan rawa gambut Hutan batu berpasir dataran rendah Total Hutan rawa gambut Hutan granit dataran rendah Total Hutan rawa air tawar Hutan tanah aluvial Total Hutan rawa air tawar Hutan batu berpasir dataran rendah Total Hutan rawa air tawar Hutan granit daratan rendah Total Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Total Hutan tanah aluvial Hutan granit dataran rendah Total Hutan batu berpasir dataran rendah Hutan granit dataran rendah Total

N 42 26 68 42 22 64 42 23 65 42 13 55 26 22 48 26 23 49 26 13 39 22 23 45 22 13 35 23 13 36

Mean Rank

Sum of Rank

32,98 36,96

1385,00 961,00

24,17 48,41

1015,00 1065,00

33,10 32,83

1390,00 755,00

24,27 40,04

1019,50 520,50

19,29 30,66

501,50 674,50

26,75 23,02

695,50 529,50

18,04 23,29

469,00 311,00

30,66 15,67

674,50 360,50

19,34 15,73

425,50 204,50

15,33 24,12

352,50 313,50

82

Test Statisticsb A-B Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed) Exact Sig. [2*(1tailed Sig.)]

A-C

A-D

482,000 112,000 1385,000 1015,000 -,811 -4,964 ,417 ,000 -

B-D

B-C

479,000 116,500 755,000 1019,500 -,055 -3,113 ,956 ,002

-

B-E

A-E

-

C-D

150,500 501,500 -2,810 ,005

-

C-E

-

D-E

Mann-Whitney U 253,500 118,000 84,500 113,500 76,500 Wilcoxon W 529,500 469,000 360,500 204,500 352,500 Z -,913 -1,526 -3,831 -1,015 -2,410 Asymp. Sig. (2,361 ,127 ,000 ,310 ,016 tailed) Exact Sig. [2*(1,134a ,319a ,015a tailed Sig.)] a. Not corrected for ties b. Grouping variable: Tipe habitat * Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian pohon sarang orangutan antara A dengan C, A dengan E, B dengan C, C dengan D, dan D dengan E. A=Hutan rawa gambut B=Hutan rawa air tawar C=Hutan tanah aluvial D=Hutan batu berpasir dataran rendah E=Hutan granit dataran rendah

83

C. DBH pohon sarang orangutan Tipe Habitat Hutan rawa gambut Hutan rawa air tawar Total Hutan rawa gambut Hutan tanah aluvial Total Hutan rawa gambut Hutan batu berpasir dataran rendah Total Hutan rawa gambut Hutan granit dataran rendah Total Hutan rawa air tawar Hutan tanah aluvial Total Hutan rawa air tawar Hutan batu berpasir dataran rendah Total Hutan rawa air tawar Hutan granit daratan rendah Total Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Total Hutan tanah aluvial Hutan granit dataran rendah Total Hutan batu berpasir dataran rendah Hutan granit dataran rendah Total

N 42 26 68 42 22 64 42 23 65 42 13 55 26 22 48 26 23 49 26 13 39 22 23 45 22 13 35 23 13 36

Mean Rank

Sum of Rank

32,81 37,23

1378,00 968,00

25,93 45,05

1089,00 991,00

29,21 39,91

1227,00 918,00

27,20 30,58

1142,50 397,50

20,54 29,18

534,00 642,00

22,56 27,76

586,50 638,50

20,27 19,46

527,00 253,00

24,25 21,80

533,50 501,50

21,14 12,69

465,00 165,00

20,70 14,62

476,00 190,00

84

Test Statisticsb A-B Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2tailed) Exact Sig. [2*(1tailed Sig.)]

A-C

A-D

A-E

B-C

475,000 186,000 324,000 239,500 1378,000 1089,000 1227,000 1142,500 -,896 -3,906 -2,186 -,664 ,370 ,000 ,029 ,507 -

B-D

-

B-E

-

C-D

183,000 534,000 -2,132 ,033

-

C-E

-

D-E

Mann-Whitney U 235,500 162,000 225,500 74,000 99,000 Wilcoxon W 586,500 253,000 501,500 165,000 190,000 Z -1,272 -,209 -,625 -2,357 -1,664 Asymp. Sig. (2,203 ,835 ,532 ,018 ,096 tailed) Exact Sig. [2*(1,848a ,018a ,100a tailed Sig.)] a. Not corrected for ties b. Grouping variable: Tipe habitat * Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) DBH pohon sarang orangutan antara A dengan C, A dengan D, B dengan C, dan C dengan E A=Hutan rawa gambut B=Hutan rawa air tawar C=Hutan tanah aluvial D=Hutan batu berpasir dataran rendah E=Hutan granit dataran rendah

85

Lampiran 7. Uji Mann-Whitney perilaku bersarang orangutan remaja di dua tipe habitat Tipe Habitat

Mean Rank

N

Sum of Rank

Durasi Membuat Sarang

Hutan rawa gambut Hutan batu berpasir dataran rendah Total

2 2 4

3,25 1,75

6,50 3,50

Tinggi Sarang

Hutan rawa gambut Hutan batu berpasir dataran rendah Total Hutan rawa gambut Hutan batu berpasir dataran rendah Total Hutan rawa gambut Hutan batu berpasir dataran rendah Total

2 4 6 2 4 6 2 4 6

5,50 2,50

11,00 10,00

5,50 2,50

11,00 10,00

5,50 2,50

11,00 10,00

Tinggi Pohon Sarang DBH Pohon Sarang

Test Statisticsb Durasi Tinggi Membuat Sarang Sarang ,500 0,000 3,500 10,000 -1,225 -1,967 ,221 ,049

Tinggi Pohon

DBH Pohon

Mann-Whitney U 0,000 0,000 Wilcoxon W 10,000 10,000 Z -1,967 -1,852 Asymp. Sig. (2-tailed) ,049 ,064 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,333a ,133a ,133a ,133a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Tipe habitat * Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian sarang dan ketinggian pohon sarang orangutan remaja ketika berada di hutan rawa gambut dan hutan batu berpasir dataran rendah

86

Lampiran 8. Uji Kruskal-Wallis perilaku bersarang orangutan betina dewasa di tiga tipe habitat

Tipe Habitat Durasi Membuat Hutan rawa air tawar Sarang Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Total Jarak Pohon Hutan rawa air tawar Pakan ke Sarang Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Total Ketinggian Hutan rawa air tawar Sarang Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Total Ketinggian Hutan rawa air tawar Pohon Sarang Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Total DBH Pohon Hutan rawa air tawar Sarang Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Total

N 2 4 5 11 2 5 5 12 2 5 5 12 2 6 7 15 2 6 7 15

Mean Rank 7,00 8,00 4,00 7,50 6,30 6,30 10,50 6,00 5,40 11,0 8,25 6,93 5,00 8,00 8,86

Test Statisticsa,b Durasi Jarak Pohon Ketinggian DBH Ketinggian Membuat Pakan ke Pohon Pohon Sarang Sarang Sarang Sarang Sarang Chi-Square 3,654 0,185 3,263 1,377 1,159 Df 2 2 2 2 2 Asymp. Sig. 0,161 ,912 ,196 ,502 ,560 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Tipe Habitat * Keterangan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (P>0,05) perilaku bersarang orangutan betina dewasa ketika berada di hutan rawa air tawar, hutan tanah aluvial dan hutan batu berpasir dataran rendah.

87

Lampiran 9. Uji Mann-Whitney jarak sarang malam ke pohon pakan pertama orangutan betina dewasa di dua tipe habitat Tipe Habitat Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Total

N

Mean Rank 3 2 5

2,33 4,00

Sum of Rank 7,00 8,00

Test Statisticsb Jarak Sarang ke Pohon Pakan Pertama Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Tipe habitat

1,000 7,000 -1,155 ,248 ,400

* Keterangan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (P>0,05) rata-rata jarak sarang malam ke pohon pakan pertama orangutan betina dewasa ketika berada di hutan tanah aluvial dan hutan batu berpasir dataran rendah

88

Lampiran 10. Uji Kruskal-Wallis perilaku bersarang orangutan betina dewasa dengan anak di empat tipe habitat Tipe Habitat Durasi Membuat Hutan rawa gambut Sarang Hutan rawa air tawar Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Total Jarak Pohon Hutan rawa gambut Pakan ke Sarang Hutan rawa air tawar Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Total Jarak Sarang ke Hutan rawa gambut Pohon Pakan Hutan rawa air tawar Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Total Ketinggian Hutan rawa gambut Sarang Hutan rawa air tawar Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Total Ketinggian Hutan rawa gambut Pohon Sarang Hutan rawa air tawar Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Total DBH Pohon Hutan rawa gambut Sarang Hutan rawa air tawar Hutan tanah aluvial Hutan batu berpasir dataran rendah Total

N 3 3 2 3 11 4 2 2 3 11 3 2 2 2 9 5 3 2 5 15 6 3 2 5 16 6 3 2 5 16

Mean Rank 4,50 7,67 4,50 6,83 8,25 3,00 6,50 4,67 5,00 8,00 4,50 2,50 8,70 12,00 5,75 5,80 10,17 12,33 5,25 5,50 11,42 9,67 4,25 6,00

89

Test Statisticsa,b Durasi Jarak Pohon Jarak Ketinggian Ketinggian Membuat Pakan ke Sarang ke Pohon Sarang Sarang Sarang Pohon Sarang Chi-Square 2,093 4,008 4,133 4,420 5,673 Df 3 3 3 3 3 Asymp. Sig. ,553 ,261 ,247 ,220 ,129 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Tipe Habitat * Keterangan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (P>0,05) perilaku bersarang orangutan betina dewasa ketika berada di hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan tanah aluvial dan hutan batu berpasir dataran rendah.

DBH Pohon Sarang 5,412 3 ,144

90

Lampiran 11. Uji Mann-Whitney perilaku bersarang orangutan jantan berpipi di dua tipe habitat Tipe Habitat Durasi Membuat Hutan rawa gambut Sarang Hutan rawa air tawar Total Jarak Pohon Hutan rawa gambut Pakan ke Sarang Hutan rawa air tawar Total Jarak Sarang ke Hutan rawa gambut Pohon Pakan Hutan rawa air tawar Total Ketinggian Hutan rawa gambut Sarang Hutan rawa air tawar Total Ketinggian Hutan rawa gambut Pohon Sarang Hutan rawa air tawar Total DBH Pohon Hutan rawa gambut Sarang Hutan rawa air tawar Total

N 4 2 6 4 2 6 3 2 5 4 2 6 6 2 8 6 2 8

Mean Rank

Sum of Rank

3,25 4,00

13,00 8,00

3,50 3,50

14,00 7,00

4,00 1,50

12,00 3,00

3,00 4,50

12,00 9,00

4,33 5,00

26,00 10,00

4,08 5,75

24,50 11,50

91

Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

Test Statisticsb Durasi Jarak Pohon Membuat Pakan ke Sarang Sarang 3,000 4,000 13,000 7,000 -,707 ,000 ,480 1,000 a ,800 1,000a

Jarak Sarang ke Pohon Pakan ,000 3,000 -1,732 ,083 ,200a

Ketinggian Sarang

DBH Pohon Sarang

Ketinggian Pohon Sarang

Mann-Whitney U ,000 5,000 3,500 Wilcoxon W 3,000 26,000 24,500 Z -1,732 -,337 -,838 Asymp. Sig. (2-tailed) ,083 ,736 ,402 a a Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,200 ,857 ,429a a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Tipe habitat * Keterangan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (P>0,05) perilaku bersarang orangutan jantan berpipi ketika berada di hutan rawa gambut dan hutan rawa aor tawar.

92

Lampiran 12. Uji Kruskal-Wallis perilaku bersarang orangutan orangutan berdasarkan kelas umur Kelas Umur Orangutan Durasi Membuat Sarang

Jarak Pohon Pakan ke Sarang

Jarak Sarang ke Pohon Pakan

Ketinggian Sarang

Ketinggian Pohon Sarang

DBH Pohon Sarang

Remaja Betina dewasa Betina dewasa dengan anak Jantan berpipi Total Remaja Betina dewasa Betina dewasa dengan anak Jantan berpipi Total Remaja Betina dewasa Betina dewasa dengan anak Jantan berpipi Total Remaja Betina dewasa Betina dewasa dengan anak Jantan berpipi Total Remaja Betina dewasa Betina dewasa dengan anak Jantan berpipi Total Remaja Betina dewasa Betina dewasa dengan anak Jantan berpipi Total

N 4 11 11 6 32 2 11 11 6 30 2 8 12 5 27 6 12 15 6 39 6 12 17 6 41 6 12 17 6 41

Mean Rank 20,38 19,00 16,59 9,17 21,00 16,68 14,73 12,92 19,50 13,88 11,13 18,90 27,08 18,42 25,03 3,50 29,25 19,04 25,65 3,50 31,92 19,13 24,38 4,25

93

Test Statisticsa,b Durasi Jarak Pohon Jarak Ketinggian Ketinggian Membuat Pakan ke Sarang ke Pohon Sarang Sarang Sarang Pohon Sarang Chi-Square 5,479 1,581 4,449 18,267 18,915 Df 3 3 3 3 3 Asymp. Sig. ,140 ,664 ,217 ,000 ,000 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Kelas umur orangutan * Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian sarang, ketinggian pohon sarang dan DBH pohon sarang orangutan berdasarkan kelas umur orangutan.

DBH Pohon Sarang 18,376 3 ,000

94

Lampiran 13. Uji Mann-Whitney ketinggian sarang orangutan berdasarkan kelas umur Kelas Umur Orangutn Remaja Betina desawa Total Remaja Betina dewasa dengan anak Total Remaja Jantan berpipi Total Betina dewasa Betina dewasa dengan anak Total Betina dewasa Jantan berpipi Total Betina dewasa dengan anak Jantan berpipi Total

N

Mean Rank

6 12 18 6 15 21 6 6 12 12 15 27 12 6 18 15 6 21

Sum of Rank

12,50 8,00

75,00 96,00

12,08 10,57

72,50 158,50

9,50 3,50

57,00 21,00

10,92 16,47

131,00 247,00

12,50 3,50

150,00 21,00

14,00 3,50

210,00 21,00

Test Statisticsb A-B

A-C

A-D

B-C

B-D

Mann-Whitney U 18,00 38,500 ,000 53,000 ,000 Wilcoxon W 96,000 158,500 21,000 131,000 21,000 Z -1,700 -,521 -3,011 -1,816 -3,429 Asymp. Sig. (2-tailed) ,089 ,602 ,003 ,069 ,001 a a a a Exact Sig. [2*(1-tailed ,102 ,622 ,002 ,075 ,000a Sig.)] a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Kelas umur orangutan * Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian sarang antara orangutan kelas umur A-D, B-D dan C-D. A= Remaja B= Betina dewasa C= Betina dewasa dengan anak D= Jantan berpipi

C-D ,000 21,000 -3,553 ,000 ,000a

95

Lampiran 14. Uji Mann-Whitney ketinggian pohon sarang orangutan berdasarkan kelas umur Kelas Umur Orangutn Remaja Betina desawa Total Remaja Betina dewasa dengan anak Total Remaja Jantan berpipi Total Betina dewasa Betina dewasa dengan anak Total Betina dewasa Jantan berpipi Total Betina dewasa dengan anak Jantan berpipi Total

N 6 12 18 6 17 23 6 6 12 12 17 29 12 6 18 17 6 23

Mean Rank

Sum of Rank

12,67 7,92

76,00 95,00

14,08 11,26

84,50 191,50

9,50 3,50

57,00 21,00

11,63 17,38

139,50 295,50

12,50 3,50

150,00 21,00

15,000 3,50

255,00 21,00

Test Statisticsb A-B

A-C

A-D

B-C

B-D

Mann-Whitney U 17,000 38,500 ,000 61,500 ,000 Wilcoxon W 95,000 191,500 21,000 139,500 21,000 Z -1,833 -,889 -2,903 -1,815 -3,389 Asymp. Sig. (2-tailed) ,067 ,374 ,004 ,069 ,001 a a a a Exact Sig. [2*(1-tailed ,083 ,392 ,002 ,073 ,000a Sig.)] a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Kelas umur orangutan * Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) ketinggian pohon sarang antara orangutan kelas umur A-D, B-D dan C-D. A= Remaja B= Betina dewasa C= Betina dewasa dengan anak D= Jantan berpipi

C-D ,000 21,000 -3,584 ,000 ,000a

96

Lampiran

15.

Uji

Mann-Whitney

DBH

pohon

sarang

orangutan

berdasarkan kelas umur

Kelas Umur Orangutn Remaja Betina desawa Total Remaja Betina dewasa dengan anak Total Remaja Jantan berpipi Total Betina dewasa Betina dewasa dengan anak Total Betina dewasa Jantan berpipi Total Betina dewasa dengan anak Jantan berpipi Total

N

Mean Rank

6 12 18 6 17 23 6 6 12 17 12 29 12 16 18 17 6 23

Sum of Rank

13,33 7,58

80,00 91,00

16,08 10,56

96,50 179,50

9,50 3,50

57,00 21,00

12,42 16,82

149,00 286,00

12,13 4,25

145,50 25,50

15,00 3,50

255,00 21,00

Test Statisticsb A-B

A-C

A-D

B-C

B-D

Mann-Whitney U 13,000 26,500 ,000 71,000 4,500 Wilcoxon W 91,000 179,500 21,000 14,900 25,500 Z -2,154 -1,717 -2,887 -1,374 -2,953 Asymp. Sig. (2-tailed) ,031 ,086 ,004 ,170 ,003 a a a a Exact Sig. [2*(1-tailed ,032 ,087 ,002 ,180 ,001a Sig.)] a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Kelas umur orangutan * Keterangan: Terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) DBH pohon sarang antara orangutan kelas umur A-B, A-D, B-D dan C-D. A= Remaja B= Betina dewasa C= Betina dewasa dengan anak D= Jantan berpipi

C-D ,000 21,000 -3,573 ,000 ,000a

97

Lampiran 16. Pohon yang dijadikan sebagai material sarang orangutan (survei dan ikut orangutan Focal)

No.

Taksa

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37

Aglaia spp. Alangium spp. Alphonsia spp. Aphorusa spp. Arthocarpus spp. Baccaurea spp. Boea spp. Cabera montiana Callophylum spp. Campnosperma spp. Chaetocarpus spp. Dacryodes spp. Diospyros spp. Dipterocarpus spp. Durio spp. Dyera spp. Eleocarpus spp. Eugenia spp. Eusideroxylon spp. Fordia spp. Garcinia spp. Genua spp. Gironierra spp. Gluta spp. Goniothalamus spp. Gonystylus spp. Grewia spp. Gymnacrantera spp. Hydnocarpus spp. Irvingia spp. Koompassia spp. Lithocarpus spp. Litsea spp. Malothus spp. Mangifera spp. Memecylon spp. Moulthonianthus spp.

Sumber pakan orangutan Ya Ya Tidak Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Tidak Tidak Ya Tidak Tidak

Material sarang orangutan Focal Tidak Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya Tidak Ya Tidak Tidak Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak

98

38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51

Myristica spp. Nuclea spp. Ocanostesis spp. Palaquium spp. Planconia spp. Polyalthia spp. Prunus spp. Randia spp. Santiria spp. Scapium spp. Shorea spp. * Stemonurus spp. Syzigium spp. Xanthophyllum spp.

Ya Tidak Tidak Ya Tidak Ya Tidak Tidak Ya Ya Ya Tidak Ya Ya

Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Ya Ya

Keterangan: * Tidak termasuk Top 50 tumbuhan pakan orangutan (Marshall dan Knott, unpublished data)

99

Lampiran 17. Beberapa individu orangutan yang diambil data bersarangnya

A

D

B

E

C

F

Keterangan: A=Betsy, B=Beth, C=Asny, D=Walimah, E=Codet dan F=Bibi (Dok. Tim Peneliti Cabang Panti, 2011).

100

Lampiran 18. Distribusi sarang orangutan (Sumber data sekunder: GPOP)

Rawa gambut

Tanah aluvial

Batu berpasir dataran rendah

Granit dataran rendah

Rawa air tawar

Granit dataran tinggi