PERSEPSI MAHASISWA TENTANG KOMUNIKASI

Download komunikasi tersebut memungkinkan seseorang atau sekelompok orang menerima informasi bahkan membangun persepsi terhadap suatu hal. Saat be...

0 downloads 595 Views 195KB Size
PERSEPSI MAHASISWA TENTANG KOMUNIKASI NONVERBAL DOSEN (Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU) Yesi Kusmasari 100904103 ABSTRAK Penelitian ini berjudul “Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen” sebuah studi kasus persepsi mahasiswa tentang komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi mahasiswa tentang gambaran komunikasi nonverbal dosen dan bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi. Teori yang digunakan adalah Persepsi, Komunikasi Nonverbal, Teori Pelanggaran Harapan, Teori Pengurangan Ketidakpastian dan Teori Kebohongan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Objek dalam penelitian ini adalah komunikasi nonverbal dosen Ilmu Komunikasi yang berjumlah dua puluh satu orang dan yang menjadi subjeknya adalah mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi angkatan 2010 yang berjumlah enam orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dosen sangat beragam. Secara keseluruhan bentuk komunikasi nonverbal seperti isyarat regulator lebih banyak digunakan oleh dosen laki-laki dan isyarat ilustrator lebih banyak digunakan oleh dosen perempuan. Kontak mata dosen Ilmu Komunikasi kuat, volume suara keras, jarang melakukan sentuhan, kualitas suara baik, menggunakan jarak sosial, warna yang sering dipakai dosen perempuan adalah warna-warna yang cerah sedangkan warna yang sering dipakai dosen laki-laki adalah warna-warna pastel. Secara keseluruhan postur tubuh dosen Ilmu Komunikasi mesomorphy dan endomorphy, wangi dan tepat waktu. Kata Kunci: Persepsi, Komunikasi, Nonverbal, Dosen PENDAHULUAN Konteks Masalah Komunikasi merupakan aktivitas makhluk sosial. Menurut Carl I. Hovland (dalam Effendy, 2006: 10) komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain. Dalam praktik komunikasi terjadi pertukaran ide, informasi, gagasan, keterangan, himbauan, permohonan, saran, usul, bahkan perintah. Proses komunikasi tersebut memungkinkan seseorang atau sekelompok orang menerima informasi bahkan membangun persepsi terhadap suatu hal. Saat berkomunikasi kita tidak hanya melakukan komunikasi secara verbal namun juga secara nonverbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan kata-kata (verbs), baik lisan maupun tulisan. Melalui komunikasi verbal kita mengomunikasikan gagasan dan konsep-konsep yang abstrak. Namun, dari keseluruhan komunikasi yang kita lakukan, ternyata komunikasi verbal hanya

1

memiliki porsi 35% sisanya adalah komunikasi nonverbal. Dengan porsi demikianpun, bahasa masih memiliki keterbatasan, yaitu: keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek, kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual dan adanya percampuradukan fakta dan penafsiran. Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik. Komunikasi nonverbal adalah penting, sebab apa yang sering kita lakukan mempunyai makna jauh lebih penting daripada apa yang kita katakan. Menurut Birdwhistell tidak lebih dari 30%-35% makna sosial percakapan atau interaksi dilakukan dengan kata-kata, dan sisanya dilakukan dengan pesan nonverbal (www.kursikayu.com). Komunikasi nonverbal sangat penting dikarenakan komunikasi nonverbal dapat memperkuat dan memperjelas atau melengkapi komunikasi verbal. Komunikasi nonverbal juga merupakan penggambaran emosi yang tidak dapat diungkapkan dalam komunikasi verbal. Hal itu dikarenakan komunikasi nonverbal tidak dapat dipisahkan (saling berkaitan) dengan komunikasi verbal. Komunikasi nonverbal dapat digunakan kapan saja dan oleh siapa saja termasuk orang-orang yang memiliki kelainan fisik serta saat seseorang itu sulit mengungkapkan perasaan melalui komunikasi verbal. Departemen Ilmu Komunikasi sebagai salah satu Depatemen yang ada di FISIP USU, memiliki ratusan mahasiswa serta puluhan dosen yang datang dari latar belakang yang berbeda-beda. Banyak faktor yang melatarbelakanginya seperti faktor budaya, suku maupun agama. Setiap harinya mereka berinteraksi baik secara verbal maupun nonverbal. Mahasiswanya setiap hari berinteraksi dengan dosen-dosen pengajar yang berpengalaman dalam proses komunikasi baik secara teori maupun terapan. Di dalam kegiatan belajar mengajar, seorang dosen pastilah banyak melakukan komunikasi nonverbal. Dan komunikasi nonverbal para dosen itupun dipersepsikan beragam oleh setiap mahasiswa. Terkadang tanpa sadar dosen mengeluarkan isyarat-isyarat tertentu dengan gerakan tubuhnya, ekspresi wajah, maupun tekanan suara yang tidak mampu diartikan oleh para mahasiswa. Meskipun tidak secara langsung berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar, namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa hal itu berpengaruh dalam terciptanya komunikasi yang efektif. Komunikasi nonverbal biasanya mencerminkan tentang kondisi emosional seseorang. Komunikasi nonverbal juga dapat mewakili pesan-pesan yang akan disampaikan oleh komunikator. Demikian juga terhadap para dosendosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Ada suatu masa mungkin mereka akan lebih nyaman untuk menyampaikan suatu pesan di dalam kelas lewat komunikasi nonverbalnya seperti gerakan kepala, tatapan mata, ekspresi wajah, dan sebagainya. Atau bisa jadi seorang dosen merasa dalam kondisi tidak nyaman akibat tekanan-tekanan dari luar, kekhawatiran akan suatu hal, dan hal ini terbawa hingga ke dalam kelas. Sebagai seorang dosen khususnya dosen Ilmu Komunikasi harus sadar dan wajib mengetahui akan pentingnya komunikasi nonverbal ini. Hal ini dianggap penting karena dosen Ilmu Komunikasi tentunya telah melewati dan lebih paham apa yang dikatakan dengan komunikasi nonverbal. Sebab bentuk komunikasi ini

2

sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari maupun di lingkungan mereka bekerja. Oleh karena itu, bagaimana persepsi mahasiswa terhadap komunikasi nonverbal dosen sangat penting. Persepsi akan mempengaruhi sikap mahasiswa terhadap pesan nonverbal dari dosen. Demikian pentingnya persepsi, apalagi mengingat bahwa manusia adalah mahluk yang selalu ingin tahu dan selalu mencari. Penafsiran lewat persepsi adalah salah satu bentuk naluri manusia. Dalam hal ini, untuk itulah peneliti tertarik melakukan penelitian ini. Fokus Masalah Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan di atas, maka fokus masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana persepsi mahasiswa tentang komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU?” Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui persepsi mahasiswa tentang gambaran komunikasi nonverbal dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. 2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dari dosen di Departemen Ilmu Komunikasi. URAIAN TEORITIS Persepsi Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli) (Rakhmat, 1949: 57) Persepsi adalah suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungan mereka (Rivai & Mulyadi, 2012: 236). Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha, 2011: 141-142). Komunikasi Nonverbal Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik. Komunikasi nonverbal adalah penting, sebab apa yang sering kita lakukan mempunyai makna jauh lebih penting daripada apa yang kita katakan (Budyatna & Ganiem, 2011: 110). Komunikasi nonverbal dapat menjalankan sejumlah fungsi penting. Periset nonverbal mengidentifikasikan enam fungsi utama (Ekman dan Knapp, dalam DeVito, 2011), yaitu:

3

1. Untuk Menekankan 2. Untuk Melengkapi (Complement 3. Untuk Mengatur 4. Untuk Menunjukkan Kontradiksi 5. Untuk Mengulangi 6. Untuk Menggantikan Dari berbagai studi yang pernah dilakukan sebelumnya, kode nonverbal dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain (Cangara, 2006: 101110): a. Kinesics b. Gerakan mata c. Sentuhan (touching) d. Paralanguage e. Diam f. Postur tubuh g. Kedekatan dan ruang h. Artifak dan visualisasi i. Warna j. Waktu k. Bunyi l. Bau m. Gerakan wajah Budaya Maskulin dan Feminin Budaya “maskulin” yang tinggi, pria dilihat sebagai orang yang tegas, berorientasi kepada kesuksesan material, dan kuat; wanita dilihat sebagai yang baik hati, berfokus kepada kualitas hidup, dan lemah lembut. Dalam budaya “feminin” yang tinggi, kedua pria dan wanita baik hati, berorientasi untuk mempertahankan kualitas hidup, dan lemah lembut. Budaya Toleransi-Ambiguitas-Tinggi dan Toleransi-Ambiguitas-Rendah Dalam beberapa budaya, orang-orang melakukan sedikit penolakan yang tidak pasti, dan mereka punya sedikit kegelisahan tentang tidak mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Pada beberapa budaya lainnya, bagaimanapun juga, ketidakpastian ditolak secara keras dan lebih banyak kegelisahan tentang ketidakpastian. Orientasi Kolektivis dan Individualis Budaya juga berbeda dalam tingkatan dimana mereka meningkatkan nilainilai individualis (sebagai contoh, kekuasaan/kekuatan, pencapaian, hedonisme, dan rangsangan) melawan nilai-nilai kolektivis (sebagai contoh, tradisi dan penyesuaian/kecocokan). Dalam sebuah budaya individual, anggota budaya bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dan mungkin keluarga terdekat. Dalam budaya kolektif, anggota budaya bertanggung jawab terhadap keseluruhan kelompok.

4

Budaya Konteks Tinggi dan Konteks Rendah Menurut Gudykunst & Ting Toomey; Gudykunst & Kim (dalam DeVito, 2009: 41) budaya konteks tinggi adalah juga budaya kolektivis. Budaya konteks rendah adalah juga budaya individualis. Budaya ini menempatkan perhatian yang kurang dalam informasi personal dan lebih menekankan verbal, penjelasan eksplisit dan diatas kontrak tertulis dalam transaksi bisnis. Teori Pelanggaran Harapan Teori Pelanggaran Harapan atau Expectancy Violations Theory (EVT) pada mulanya disebut sebagai Teori Pelanggaran Harapan Nonverbal (Nonverbal Expectancy Violations Theory). Teori ini dikembangkan oleh Judee Burgoon untuk memahami komunikasi nonverbal serta pengaruhnya terhadap pesan-pesan dalam sebuah percakapan. Akan tetapi kemudian Burgoon menghapus kata nonverbal karena sekarang teori ini juga mencakup isu-isu di luar area komunikasi nonverbal. Walaupun demikian, dari awal pembentukannya di akhir 1970an, Teori Pelanggaran Harapan telah menjadi teori utama dalam mengidentifikasi pengaruh komunikasi nonverbal terhadap perilaku. Teori Pengurangan Ketidakpastian Teori Pengurangan Ketidakpastian dipelopori oleh Charles Berger dan Richard Calabrese pada tahun 1975. Tujuan mereka dalam menyusun teori ini adalah untuk menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi ketidakpastian di antara orang asing yang tidak terlibat dalam pembicaraan satu sama lain untuk pertama kali. Berger dan Calabrese yakin bahwa ketika orang asing pertama kali bertemu, utamanya mereka tertarik untuk meningkatkan prediktabilitas dalam usaha untuk memahami pengalaman komunikasi mereka. Selain itu, Berger dan Calabrese menyatakan bahwa ketidakpastian berhubungan dengan tujuh konsep lain yang berakar pada komunikasi dan pengembangan hubungan: output verbal, kehangatan nonverbal (seperti nada suara yang menyenangkan dan mencondongkan tubuh ke arah depan), pencarian informasi (bertanya), pembukaan diri, resiprositas pembukaan diri, kesamaan dan kesukaan. Tiap konsep ini bekerja bersama dengan lainnya sehingga partisipan dapat mengurangi sebagian dari ketidakpastian mereka. Namun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep yang kedua yaitu kehangatan nonverbal. Teori Kebohongan Keadaan menempatkan para ilmuwan yang tertarik pada komunikasi antarpribadi dalam kebingungan sejauh mana asumsi, teori dan temuan terdahulu mengenai kebohongan dapat menyamaratakan atau generalize bagi interaksi sosial. Buller dan Burgoon percaya perspektif teori yang baru dijamin untuk menjelaskan bagi kebohongan dan lebih luas lagi, komunikasi yang dapat dipercaya dan yang tidak dapat dipercaya dalam konteks antarpribadi. Model itu memberikan di dalamnya yang menggambarkan usaha mereka untuk mengembangkan perspektif teoritis dimana faktor-faktor individual seperti tujuan, motivasi, emosi dan kemampuan kognitif adalah perlu tetapi tidak merupakan faktor-faktor yang cukup untuk memprediksi dan menerangkan topografi

5

mengenai pertemuan antarpribadi yang mengandung kebohongan dan mengenai hasilnya. Model yang telah kedua penulis ciptakan yaitu teori kebohongan antarpribadi atau interpersonal deception theory (IDT) masih dalam tahap-tahap perkembangan (Buller & Burgoon, Burgoon, Burgoon & Buller, dalam Budyatna, 2011). Nama teori tersebut menentukan kondisi lingkupnya yaitu interaksi antarpribadi dimana keyakinan komunikator adalah jelas atau dipertanyakan. Teori ini telah dikembangkan oleh Buller dan Burgoon dan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pihak lain lebih dari dua setengah dekade ke dalam bidang yang luas dari komunikasi antarpribadi, perilaku nonverbal, pemrosesan pesan, kredibilitas dan kebohongan. Perspektif kedua penulis tersebut tidak menjauhkan diri dari apa yang telah diketahui mengenai kebohongan. Kerangka Pemikiran: Teori Pelanggaran Harapan

Teori Kebohongan

Komunikasi Nonverbal Dosen

Teori Kebudayaan

Teori Pengurangan Ketidakpastian 1. Kinesics (emblim, ilustrator, affect display, regulator, adaptor) 2. Kontak mata 3. Sentuhan (touching) 4. Paralanguage (polatiti nada, volume suara, kualitas suara, kecepatan berbicara) 5. diam 6. Postur tubuh (ectomorphy, mesomorphy, endomorphy)

7. Komunikasi ruang 8. Artifak 9. Warna 10. Waktu 11. Bunyi 12. Bau 13. Gerakan wajah

persepsi mahasiswa tentang gambaran komunikasi nonverbal dosen

bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dosen

Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah komunikasi nonverbal dosen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang berjumlah dua puluh satu orang yang terdiri dari sepuluh orang dosen perempuan dan sebelas orang dosen laki-laki.

6

Subjek Penelitian Subjek penelitian ini merujuk pada informan ataupun responden yang akan dimintai keterangan mengenai penelitian ini. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi. Informan tersebut dipilih berdasarkan kategori-kategori yang telah ditentukan. Adapun kategori-kategori untuk menjadi informan dalam penelitian ini adalah: memiliki tingkat kehadiran yang tinggi sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Fakultas, aktif di dalam kelas maupun di luar kelas, mengetahui semua dosen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan informan tersebut merupakan mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU angkatan 2010. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Observasi 2. Metode wawancara 3. Studi Kepustakaan Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses penyederhanaan data dan penyajian data dengan mengelompokkannya dalam suatu bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasi (Silalahi, 2009: 332). Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Usman dan Akbar, 2009: 84) analisis data ialah proses pencarian dan penyusunan data yang sistematis melalui transkrip, wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi yang secara akumulasi menambah pemahaman peneliti terhadap yang ditemukan. Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif yang dikembangkan oleh Miler dan Huberman (1992), yaitu : 1. Reduksi data 2. Penyajian data 3. Menarik kesimpulan atau verifikasi Pembahasan Periset nonverbal Ekman dan Knapp mengidentifikasikan enam fungsi utama komunikasi nonverbal, yaitu: 1. Untuk Menekankan, 2. Untuk Melengkapi (Complement), 3. Untuk Mengatur, 4. Untuk Menunjukkan Kontradiksi, 5. Untuk Mengulangi dan 6. Untuk Menggantikan. Enam fungsi yang telah dikemukan oleh periset nonverbal tersebut sering digunakan oleh dosen Ilmu Komunikasi terutama pada fungsi untuk melengkapi dan untuk mengatur. Contoh yang sering dilakukan oleh dosen Ilmu Komunikasi adalah seperti mengulangi apa yang telah dikatakan secara verbal, misalnya menganggukkan kepala ketika mengatakan “Iya”, menggelengkan kepala ketika mengatakan “Tidak” dan tersenyum maupun tertawa ketika menceritakan kisah hidup atau pengalaman mereka yang lucu. Dari berbagai studi yang pernah dilakukan sebelumnya, Menurut Cangara, kode nonverbal dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain:

7

kinesics, gerakan mata, sentuhan, paralanguage, diam, postur tubuh, kedekatan ruang, artifak, warna, waktu, bunyi bau-bauan dan ekspresi wajah. Bentuk-bentuk kode nonverbal ini tidak lepas dari kehidupan semua dosen Ilmu Komunikasi ketika mereka mengajar maupun dalam kehidupan sehari-hari dosen di kampus. Teori Pelanggaran Harapan atau Expectancy Violations Theory (EVT) menyatakan bahwa orang memiliki harapan mengenai perilaku nonverbal orang lain. Burgoon berargumen bahwa perubahan tak terduga yang terjadi dalam jarak perbincangan antara para komunikator dapat menimbulkan suatu perasaan yang tidak nyaman atau bahkan rasa marah dan sering kali ambigu. Burgoon mengintegrasikan kejadian-kejadian khusus dari komunikasi nonverbal, yaitu ruang personal dan harapan orang akan jarak ketika perbincangan terjadi karena ruang personal merupakan konsep inti dari teori ini. Dalam kasus ini, dosen Ilmu Komunikasi ketika mereka mengajar di dalam kelas maupun dalam kehidupan sehari-hari mereka di kampus menggunakan jarak-jarak tertentu dengan mahasiswanya. Banyak faktor yang mempengaruhi jarak-jarak yang digunakan oleh dosen Ilmu Komunikasi, seperti usia, status, jenis kelamin, kultur dan masalah yang dibahas. Dari sekian faktor, faktor yang paling dominan dilakukan dosen Ilmu Komunikasi adalah faktor usia dan masalah yang dibahas. Misalnya pada kasus yang terjadi pada salah satu dosen Ilmu Komunikasi menurut pernyataan informan keempat. Menjaga jarak sangat erat kaitannya dengan penciptaan kesan baik antara komunikator dengan komunikan. Kesan baik komunikator akan tercipta jika komunikator mampu mengatur jarak yang tepat dengan komunikan. Dalam kasus ini, untuk menciptakan kesan yang baik di depan mahasiswa dosen Komunikasi melakukannya dengan banyak cara. Menggunakan jarak pribadi salah satunya, mereka berusaha untuk tetap menjaga keintiman dengan mahasiswanya sehingga mahasiswa merasa benar-benar diperhatikan oleh dosen. Pada akhirnya mahasiswa merasa nyaman dan tertarik dengan mata kuliah yang diajarkan oleh si dosen sehingga kekuasaan, kendali dan dominasi dapat dipegang sepenuhnya oleh dosen. Teori pengurangan ketidakpastian jika dikaitkan dengan kasus ini dapat kita lihat pada aksioma kedua pada teori ini dimana “ketika eskpresi afiliatif nonverbal meningkat, tingkat ketidakpastian menurun dalam situasi interaksi awal. Selain itu, penurunan tingkat ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan keekspresifan afiliatif nonverbal. Hal ini merupakan salah satu hubungan yang bersifat negatif (West dan Turner, 2008). Apabila dosen dan mahasiswa saling mengekspresikan diri mereka dengan cara nonverbal yang hangat, mereka akan menjadi lebih pasti mengenai satu sama lain, dan saat mereka melakukan ini, mereka akan meningkatkan afiliasi nonverbal mereka satu dengan lainnya. Dosen mungkin akan lebih banyak menggunakan ekspresi wajah atau mungkin akan melakukan kontak mata yang lebih lama. Bahkan, mungkin dosen akan mulai menggunakan sentuhan ketika mereka tertarik dengan mahasiswanya. Sedangkan, jika kasus ini dikaitkan dengan teori kebohongan dapat kita lihat ketika dosen yang berusaha untuk menyembunyikan emosi dan perasaannya saat mereka mengajar di dalam kelas. Seorang dosen bermain peran dengan

8

menutupi keadaan kehidupan pribadinya seberat apapun masalah yang sedang dihadapi demi tujuan yang ingin dicapai dalam proses belajar mengajar. Hal semacam itu tentunya membawa kesan-kesan tersendiri yang tercermin lewat gerak-gerik sang dosen. Selain penelitian ini bisa dikaitkan dengan teori kebohongan, penelitian ini juga berkaitan dengan budaya maskulin dan feminin, budaya konteks tinggi dan konteks rendah serta budaya kolektivis dan individualis. Budaya maskulin dan budaya konteks rendah berorientasi pada budaya individualis, sama halnya dengan budaya feminin dan budaya konteks tinggi juga berorientasi pada budaya kolektivis. Pada budaya maskulin, laki-laki dipandang sebagai individu yang tegas, ambisius, kompetitif dan berorientasi pada materi yang kuat. Budaya feminin, perempuan dipandang sebagai individu sederhana, rendah hati, memfokuskan pada kualitas hidup, lembut serta membentuk hubungan interpersonal yang dekat. Namun pada kenyataannya, dalam penelitian ini hasil yang ditemukan bahwasannya tidak selamanya perempuan itu identik dengan feminin dan laki-laki dengan maskulin. Hal ini dapat dilihat pada beberapa dosen perempuan yang bisa menyembunyikan emosinya dan beberapa dosen laki-laki bahkan tidak bisa menyembunyikan emosinya. Kesimpulan 1. Persepsi mahasiswa tentang gambaran komunikasi nonverbal dosen secara umum sudah cukup baik. Dosen-dosen Ilmu Komunikasi sudah cukup apik dalam menerapkan komunikasi nonverbal ketika mereka mengajar maupun di kehidupan sehari-hari mereka di kampus. Meskipun begitu, tetap saja masih ada beberapa dosen yang belum menerapkannya sesuai pada tempatnya, misalnya dalam penggunaan waktu, penggunaan paralanguage, dalam berpenampilan dan lain sebagainya. 2. Bentuk komunikasi nonverbal yang paling menonjol dari dosen Ilmu Komunikasi adalah kontak mata, ekspresi wajah, penggunaan waktu, penggunaan paralanguage, penggunaan emosi, postur tubuh dan artifak. Sedangkan bentuk komunikasi nonverbal yang kurang menonjol dari dosen Ilmu Komunikasi adalah penggunaan sentuhan, bau-bauan dan penggunaan kinesics. Dalam hal komunikasi ruang dan warna, dosen Ilmu Komunikasi dominan menggunakan jarak sosial dan penggunaan warnawarna cerah sering digunakan oleh dosen perempuan dan penggunaan warna-warna pastel sering digunakan oleh dosen laki-laki. Saran Dosen Ilmu Komunikasi diharapkan lebih memperhatikan karakter diri sehingga tidak sembarangan menggunakan kode-kode nonverbal yang dapat menimbulkan kesan negatif dari mahasiswanya. selain itu, dosen Ilmu Komunikasi juga diharapkan lebih memperhatikan lagi komunikasi nonverbal mereka ketika mengajar karena komunikasi nonverbal memegang peranan penting dalam proses belajar mengajar agar lebih efektif dan dapat berjalan dengan lancar. Diharapkan juga dosen Ilmu Komunikasi lebih terbuka kepada mahasiswa dan cara mengajarnya lebih fleksibel. Kemudian dosen Ilmu Komunikasi juga harus

9

lebih baik lagi dalam mengomunikasikan dirinya sendiri, mengomunikasikan ajarannya dan melihat psikologi mahasiswanya. Selain itu, dalam menerapkan komunikasi nonverbal diusahakan untuk kode-kode nonverbal yang negatif dikurangi, seperti nada-nada suara yang terlalu tinggi, menjaga jarak yang sangat jauh dengan mahasiswa, kurang senyum, volume suara yang rendah agar lebih dikeraskan lagi. Begitu juga untuk dosen-dosen yang kurang tepat waktu agar lebih diperhatikan supaya mahasiswa tidak terlalu lama menunggu sehingga waktu yang telah disediakan tidak terbuang sia-sia. Daftar Referensi Effendy, Onong Uchjana. 2006. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. Thoha, Mifta. 2011. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Rakhmat, Jalaluddin. 1949. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remadja Rosdakarya. Rivai, Veitzhal dan Deddy Mulyadi. 2012. Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Budyatna, Muhammad & Leila Mona Ganiem. 2011. Teori Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Kencana. DeVito, Joseph. A. 2009. The Interpersonal Communication Book. United States: Pearson. _____________. 2011. Komunikasi Antarmanusia. Pamulang: Karisma Publishing Group. Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama. Usman, Husaini & Purnomo Setiady Akbar. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Komunikasi Nonverbal. 2013. “Menggunakan Google sebagai penunjang Proses Pembelajaran” dalam http://www.kursikayu.com/2011/06/komunikasi-nonverbal.html. Diakses tanggal 11 November 2013.

10