POLA KEMITRAAN DALAM PENINGKATAN EFISIENSI PEMASARAN KOPI RAKYAT

Download Pola Kemitraan dalam Peningkatan Efisiensi Pemasaran Kopi Rakyat. (Studi Kasus ... Upaya pengembangan agribisnis pertanian, dapat ditempuh ...

0 downloads 315 Views 102KB Size
Pola Kemitraan dalam Peningkatan Efisiensi Pemasaran Kopi Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Malang, Jawa Timur)

POLA KEMITRAAN DALAM PENINGKATAN EFISIENSI PEMASARAN KOPI RAKYAT (Studi Kasus di Kabupaten Malang, Jawa Timur) Partnership to Improve the Marketing Efficiency of Local Coffee (A Case Study in Malang Regency, East Java) Ade Supriatna dan Bambang Dradjat 1

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No.10 Bogor 2 Lembaga Riset Perkebunan Nusantara, Jl. Salak No.1, Bogor Jawa Barat

ABSTRACT The objectives of study were to analyze the impact of the marketing partnership to marketing efficiency: (a) to describe the marketing channels, (b) practice of marketing and (c) to analyze the marketing efficiency. Results showed that marketing partnership can improve the quality of copy and the efficiency of marketing. The copy price of SL-PHT farmer increased as much 13.1 percent gratuity, that is from Rp.8,550,- (traditional channels) to Rp.9,670,- (partnership channel). The other benefits of the marketing partnership were the performance of farmer group grown better including extension activity, generating capital of farmer groups and agro industry of coffee processing in household scale. The key factors required in this case were the improvement of coffee quality in the marketing partnership has to be followed by the provision of quality incentive, simplification of marketing channel and the existence of mediation by marketing institution like PUSKUD in East Java. The partnership of marketing become example to be applied to other area of coffee production. Key words : coffee bean, partnership, marketing efficiency

ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2005 di Kabupaten Malang sebagai sentra produksi kopi Jawa Timur dan lokasi peserta SL-PHT yang melakukan kemitraan pemasaran. Bertujuan untuk mengetahui keberhasilan kemitraan dalam meningkatkan efisiensi pemasaran: (a) menggambarkan saluran pemasaran, (b) praktek pemasaran dan (c) menganalisis efisiensi pemasaran. Hasil menunjukkan, bahwa kemitraan pemasaran mampu meningkatkan kualitas kopi dan juga efisiensi pemasaran. Harga jual petani SL-PHT peserta kemitraan meningkat sebanyak 13,1 persen, yaitu dari Rp 8.550,- (saluran tradisional) menjadi Rp 9.670,- (saluran kemitraan). Manfaat lain dari kemitraan terutama kinerja kelompok tani menjadi lebih baik mencakup kegiatan penyuluhan, penyediaan modal kelompok dan terbentuknya agroindustri pengolahan kopi skala rumah tangga. Faktor kunci keberhasilan adalah peningkatan mutu kopi dalam kemitraan harus dibarengi dengan pemberian insentif mutu, penyederhanaan saluran pemasaran, dan perlu adanya fungsi mediasi lembaga pemasaran seperti PUSKUD Jawa Timur. Kasus kemitraan pemasaran kopi dapat dijadikan contoh untuk disebarluaskan ke daerah produsen kopi lainnya. Kata kunci : kopi biji, kemitraan, efisiensi pemasaran

293

Ade Supriatna dan Bambang Dradjat

PENDAHULUAN

Kopi merupakan mata dagangan komoditas perkebunan yang cukup penting sebagai sumber devisa nonmigas. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2004 volume ekspor komoditas kopi mencapai 339,88 ribu ton dengan nilai US $ 283,33 juta. Nilai ekspor tersebut memberikan andil yang cukup besar dalam perolehan devisa negara dari sektor nonmigas dan berperanan penting dalam stabilitas ekonomi makro. Kontribusi nilai ekspor kopi terhadap total nilai ekspor komoditas pertanian 11,35 persen (Food and Agriculture Organization, 2005). Jawa Timur merupakan salah satu daerah produsen kopi di Indonesia. Luas areal kopi perkebunan rakyat di Jatim pada tahun 2003 mencapai 55 persen dari areal total di Jatim yang luasnya mencapai 92.756 hektar. Luas areal kopi rakyat di Jatim dalam periode 1995-2003 mengalami peningkatan sebesar 1,99 persen/tahun yang diikuti oleh peningkatan produksinya sebesar 3,46 persen/tahun (Disbun Provinsi Jatim, 2004). Selain terpengaruh oleh tataran persetujuan multilateral, perkopian Indonesia juga tidak terisolasi dari krisis perkopian yang terjadi saat ini, dimana harga kopi menurun drastis dan pasokan kopi di pasar dunia melonjak tajam. Menurut Renton (2003) dalam Hutabarat (2004) bahwa, penyebab utama jatuhnya harga kopi adalah perubahan struktur pasar, tidak adanya keseimbangan pasar antara volume yang diproduksi dan yang dikonsumsi, petani tidak memiliki modal sementara para pengolah akhir (roaster) mengambil keuntungan berlimpah dan rendahnya mutu kopi. Dalam konteks pasar seperti ini, kopi Indonesia harus bersaing ketat dengan sesama negara produsen kopi. Secara empirik, kemampuan bersaing suatu sistem agribisnis pada dasarnya ditunjukkan oleh kemampuan dalam memproduksi dan memasarkan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi konsumen (Saragih, 1994 dalam Irawan 2006). Dengan kata lain, sistem agribisnis yang berdaya saing tinggi, adalah sistem agribisnis yang fleksibel atau mampu merespon setiap perubahan pasar secara efektif dan efisien. Kopi biji, seperti halnya komoditas perkebunan lainnya, pada tataran petani di perkebunan rakyat secara umum dihadapkan pada masalah mutu (Priyambodo, 1987; Buana et al., 1990; dan Susila et al., 1995). Suatu negara akan mampu mengekspor produk ke negara lain apabila negara yang bersangkutan memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi. Keunggulan komparatif tidak hanya bersumber dari faktor alamiah saja tetapi dapat pula diciptakan (Anggarwati dan Agmon,1990 dalam Susilowati, 2003) Upaya pengembangan agribisnis pertanian, dapat ditempuh melalui pola kerja sama (kemitraan) antara pelaku agribisnis dengan petani. Dua alasan bahwa kemitraan merupakan program dibutuhkan, yaitu pertama adanya tuntutan masyarakat dalam meredistribusikan peluang usaha, aset produksi dan manfaat kepada para petani dan kedua adanya tantangan global dalam melakukan usaha perkebunan termasuk merebut industri hilir yang menguasai marjin terbesar dan

294

Pola Kemitraan dalam Peningkatan Efisiensi Pemasaran Kopi Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Malang, Jawa Timur)

merebut industri input produksi yang membebani para petani maupun perusahaan perkebunan (Fajar, 2006). Untuk perbaikan mutu, sudah diintroduksikan metode Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) ke petani kopi di Jawa Timur yang dilaksanakan selama enam tahun (1998-2003), tersebar di 17 Kabupaten dan dihasilkan 17.710 petani SL-PHT (Disbun Provinsi Jatim, 2004). Disamping itu, upaya perbaikan pemasaran difasilitasi oleh Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD) melalui kemitraan dengan eksportir yang dirintis mulai tahun 2003. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh kemitraan pemasaran tersebut dapat meningkatkan efisiensi pemasaran. Membandingkan sistem pemasaran tradisional yang sudah berjalan dengan pemasaran kemitraan yang dibentuk dalam aspek: (1) saluran pemasaran, (2) praktek pemasaran, dan (3) efisiensi pemasaran. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemikiran-pemikiran inovatif yang dapat menjadi masukan berharga bagi pengambil kebijakan dalam memacu peningkatan mutu dan penerapan kemitraan dalam rangka peningkatan efisiensi pemasaran kopi biji.

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan tahun 2005 di Kabupaten Malang sebagai sentra produksi kopi Jawa Timur dan lokasi peserta SL-PHT yang melakukan kemitraan pemasaran dengan menggunakan metode survei. Data primer dikumpulkan melalui wawancara langsung terhadap 15 petani, 5 pedagang, 2 pengolah hasil dan 3 eksportir. Data sekunder dikumpulkan dari dinas/instansi terkait dengan kebijakan pengembangan kopi meliputi dinas perkebunan, BPS, PUSKUD dan laporan lembaga penelitian. Data dianalisis dengan metode analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif meliputi saluran pemasaran, praktek pemasaran dan efisiensi pemasaran. Praktek pemasaran menitikberatkan pada cara transaksi pertukaran kopi. Sedangkan efisiensi pemasaran akan dilihat seberapa jauh sebaran marjin pemasaran kopi mulai dari level petani hingga eksportir. Total marjin pemasaran kopi merupakan perbedaan harga yang diterima oleh petani dengan harga jual eksportir. Marjin pemasaran kopi (Limbang dan Sitorus, 1985). Mm = Pe – Pf dimana: Mm Pe Pf

= Marjin pemasaran di tingkat petani = Harga di tingkat pedagang/eksportir = Harga di tingkat petani

Marjin pada setiap tingkat pedagang perantara dapat dihitung melalui selisih antara harga jual dengan harga beli. Dalam bentuk matematika sederhana dirumuskan:

295

Ade Supriatna dan Bambang Dradjat

Mm = Ps – Pb dimana: Mm

= Marjin pemasaran pada setiap tingkat lembaga pemasaran

Ps

= Harga jual pada setiap pedagang

Pb

= Harga beli pada setiap pedagang

Karena dalam marjin pemasaran terdapat dua komponen, yaitu komponen biaya dan komponen keuntungan lembaga pemasaran, maka: Mm = c +  Pe – Pf = c +  Pf = Pe – c -  dimana: c = Biaya pemasaran  = Keuntungan pedagang/eksportir

HASIL DAN PEMBAHASAN

Saluran Pemasaran Kopi Saluran pemasaran kopi di tingkat petani dibedakan antara saluran pemasaran umum/tradisional dan saluran pemasaran kemitraan. Saluran tradisional merupakan saluran yang sudah lama berjalan dengan bentuk penjualan kopi biji asalan, hasil olah kering yang dihasilkan petani Non-SL-PHT. Sedangkan saluran kemitraan merupakan saluran pemasaran baru bentuk kerja sama antara eksportir dengan petani SL-PHT yang difasilitasi oleh PUSKUD. Dimana petani menjual hasil ke PUSKUD dalam bentuk gelondongan basah. Saluran Tradisional. Pada saluran ini, pelaku pasar terdiri atas petani sebagai produsen, pedagang pengumpul, pedagang besar di Pasar Dampit dan eksportir. Situasi pasar di tingkat petani, ditandai dengan relatif banyaknya penjual (petani) dan pembeli (pedagang) dengan struktur pasar bersifat monopsoni atau oligopsoni. Pasar demikian terjadi akibat kurangnya kompetisi di antara pedagang (meskipun jumlahnya banyak) karena dalam kegiatannya pedagang tersebut dikendalikan oleh beberapa pedagang tertentu meskipun keadaan pasar tampaknya bersaing sempurna. Kondisi pasar demikian kurang menguntungkan bagi para petani karena harga yang diterima petani akan dikendalikan oleh para pedagang yang memiliki kekuatan monopsoni. Petani cenderung menerima harga yang rendah akibat perilaku pedagang yang berusaha memaksimumkan keuntungan (Azzaino, 1984 dan Sudaryanto et al., 1993 dalam Irawan, 2006).

296

Pola Kemitraan dalam Peningkatan Efisiensi Pemasaran Kopi Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Malang, Jawa Timur)

Eksportir

Pedagang besar/ Pasar Dampit

Pedagang Pengumpul

Petani

Petani

Petani

Gambar 1. Saluran Pemasaran Kopi Pola Tradisional

Dalam saluran tradisional, petani menjual kopi dalam bentuk biji asalan ke pedagang pengumpul. Dari pengumpul kopi dijual ke pedagang besar di pasar Dampit. Selanjutnya dari pedagang besar, kopi dijual ke eksportir. Dalam keadaan tertentu, terutama apabila ada keperluan ke pasar Dampit, beberapa petani menjual kopi langsung ke pedagang besar tetapi jumlahnya sedikit. Petani dan pengumpul tidak akses menjual langsung kopi ke eksportir karena eksportir tidak mau menerima dengan alasan volume penjualan mereka masih kecil dan kualitas biji beragam sehingga diperlukan curahan waktu untuk proses penanganan hasil yang sudah biasa dikerjakan oleh pedagang besar (Gambar 1). Pada saluran tradisional, petani menjual kopi dalam bentuk biji asalan (kadar air 14 persen) dan umumnya bermutu rendah. Biji kopi berasal dari buah yang tingkat kematangannya tidak seragam dan kadang-kadang memasukkan biji jatuhan baik yang karena matang maupun gangguan hama penyakit tanaman (HPT). Prosesing hasil dikerjakan sendiri dengan metode olah kering mencakup pelepasan kulit kopi dengan alat knesher, pengeringan menggunakan sinar matahari selama 5 sampai 7 hari, dan penggilingan/pemolesan menggunakan huller untuk melepaskan kulit ari. Frekuensi penjualan petani antara 3 sampai 5 kali dalam satu musim panen.

297

Ade Supriatna dan Bambang Dradjat

Saluran Kemitraan. Merupakan saluran baru hasil kemitraan antara petani SL-PHT dengan eksportir dengan tujuan Perancis. Kemitraan ini difasilitasi oleh dinas perkebunan provinsi, Puslit Kopi dan Kakao Jember, dan PUSKUD Jatim. Pembelian kopi petani dalam bentuk kopi olah basah (Robusta Wet Processing = RWP) mutu ekspor dengan wilayah pembelian meliputi petani SLPHT di Kecamatan Dampit, Tirtoyudo, Ampelgading, Sumbermanjing, dan sekitarnya. Kopi RWP adalah kopi dalam bentuk gelondongan basah merah yang setelah dipetik pada hari yang sama langsung dikirim ke pabrik untuk diolah. Ada dua kelompok RWP, yaitu: RWP I merupakan kopi gelondongan basah merah, seragam dan sehat dengan komposisi 60–70 persen biji besar dan 30–40 persen medium yang dipetik pada petikan ketiga; dan RWP II merupakan kopi gelondongan basah merah yang dipanen pada panenan pertama, kedua (panen awal) atau keempat (panen akhir). Harga beli ditetapkan secara musyawarah dan dituangkan dalam MOU atau perjanjian kerja sama kemitraan pemasaran Pada saluran kemitraan, pelaku pasar terdiri atas petani SL-PHT, PUSKUD, dan eksportir. Petani menjual kopi dalam bentuk gelondongan basah ke PUSKUD. PUSKUD mengolah gelondongan basah dengan metode olah basah untuk menghasilkan biji kopi berkualitas sesuai permintaan eksportir. Selanjutnya kopi yang dihasilkan dikemas dan dikirimkan ke eksportir (Gambar 2). Eksportir

PUSKUD

Petani SL-PHT

Petani SL-PHT

Petani SL-PHT

Gambar 2. Saluran Pemasaran Kopi Pola Kemitraan

Melalui pola kemitraan ini, banyak manfaat diperoleh terutama dalam upaya perbaikan mutu kopi, antara lain petani dituntut melaksanakan budidaya tanaman kopi secara ramah lingkungan melalui penerapan prinsip-prinsip PHT,

298

Pola Kemitraan dalam Peningkatan Efisiensi Pemasaran Kopi Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Malang, Jawa Timur)

menerapkan cara dan waktu panen yang benar (bentuk gelondongan basah RWP 1 dan RWP 2) dan pengolahan buah kopi dengan metode olah basah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hutabarat (2004) bahwa sebagian besar kopi yang mengalami penurunan harga yang sangat drastis adalah jenis-jenis yang bermutu rendah, sementara konsumen menginginkan jenis-jenis produk yang bermutu tinggi. Kopi bermutu baik yang diinginkan konsumen tadi pasti berasal dari bahan baku kopi yang juga bermutu baik. Jadi, disini faktor cara panen dan teknologi pengolahan hasil sangat berpengaruh pada kinerja perdagangan dan pasar kopi secara umum. Disamping itu, petani mendapat kepastian bahwa produknya dapat dijual dengan harga beli yang ditetapkan secara musyawarah antara petani dengan eksportir (MOU). Mereka tidak menghadapi resiko akibat struktur pasar monopsoni seperti pada saluran tradisional.

Saluran Pemasaran Kopi Saluran Tradisional. Harga kopi di tingkat petani mengacu pada harga yang ditentukan oleh eksportir dengan demikian eksportir merupakan pasar acuan (refference market). Dengan mengacu pada harga kopi dunia, eksportir kemudian memposisikan diri terhadap pedagang besar sebagai penentu harga dan mutu dalam pembelian kopi. Selanjutnya harga pembelian ditentukan oleh pedagangpedagang di bawahnya secara bervariasi sampai ke harga di tingkat petani. Tinggi rendahnya harga ditentukan berdasarkan kadar air, besar kecilnya biji, kandungan kotoran, keutuhan biji, dan bau/aroma. Petani (produsen kopi). Sebelum penjualan, petani terlebih dulu mencari informasi harga dari pasar Dampit dan atau petani lain yang sudah menjual. Kisaran harga jual petani ke pedagang pengumpul Rp 8.000,- sampai Rp10.500,per kilogram biji asalan. Cara penjualan, yaitu barang diterima di tempat pedagang dengan ongkos muat dan transportasi pengiriman ditanggung petani, sedangkan biaya bongkar ditanggung pembeli. Pembayaran dilakukan secara tunai atau paling lambat sekitar 1 sampai 2 hari setelah transaksi. Dorongan petani untuk memilih pembeli, baik pedagang pengumpul maupun pedagang besar, tidak semata-mata alasan harga beli yang ditawarkan lebih tinggi tetapi ada alasan-alasan lain yang mengikat, terutama adanya ikatan pinjaman dengan pedagang baik berupa pinjaman pupuk ataupun kebutuhan sehari-hari sehingga secara tidak langsung petani harus menjual kopi ke pihak mereka. Pemberian pinjaman merupakan usaha untuk membina relasi atau langganan dalam perdagangan sehingga pasokan barang lebih terjamin. Pola pelangganan merupakan keberadaan pemberi pinjaman, disatu sisi membatasi kebebasan petani dalam memilih pembeli yang lebih menguntungkan tetapi dari sisi lain mereka dapat membantu kekurangan modal ditengah-tengah lemahnya aksesibilitas petani kepada lembaga permodalan formal strategi yang sangat sesuai menghadapi berbagai kelemahan kelembagaan pasar (Syahyuti, 2007).

299

Ade Supriatna dan Bambang Dradjat

Pemberian pinjaman juga dilakukan oleh pedagang besar ke pengumpul dan eksportir ke pedagang besar. Pedagang Pengumpul. Pengumpul memperoleh bahan baku kopi berasal dari petani dan juga dari kebun sendiri. Lama masa berdagang kopi antara 3 sampai 4 bulan per tahun dan volume kopi yang diperdagangkan antara 3 sampai 25 ton per bulan. Cara pembelian yaitu barang diterima di tempat pedagang, ongkos muat dan pengiriman barang ditanggung petani sedangkan ongkos bongkar ditanggung pedagang. Karung bekas wadah kopi dikembalikan ke petani. Pembayaran ke petani dilakukan secara tunai tetapi apabila tidak ada uang petani harus menunggu sampai barang laku dijual sekitar 1 sampai 2 hari. Pedagang pengumpul tidak melakukan penanganan hasil melainkan hanya pencampuran biji kopi hasil pembelian dari beberapa petani. Selanjutnya pada hari yang sama atau paling lambat 2 hari pengumpul mengirim kopi ke pedagang besar di Pasar Dampit. Pengumpul melakukan negoisasi harga ke pedagang besar melalui telepon atau pengiriman contoh barang. Pengiriman kopi pada umumnya menggunakan kendaraan umum atau ojek. Pedagang Besar. Pada musim panen kopi, sumber pembelian kopi pedagang besar paling banyak (90 persen) berasal dari pedagang pengumpul dan sisanya (10 persen) dari petani langsung. Pada waktu stok barang dari kabupaten Malang sudah menipis, pedagang besar juga melakukan pembelian kopi dari pedagang luar Kabupaten Malang. Harga kopi dari luar Kabupaten Malang umumnya lebih murah karena kualitasnya lebih jelek terutama kandungan/kadar airnya tinggi dan kematangan tidak seragam. Besar volume perdagangan antara 150 ton sampai 180 ton per bulan. Harga beli pedagang besar ditetapkan berdasarkan tawar menawar dan umumnya memberikan harga lebih tinggi sekitar Rp 50,- sampai Rp 200,- per kilogram dari harga petani. Cara transaksi pembelian, barang diterima di pedagang besar, sehingga ongkos muat dan pengiriman ditanggung pedagang pengumpul sedangkan pedagang besar hanya mengeluarkan ongkos bongkar. Karung kemasan dikembalikan ke pedagang pengumpul dan pembayaran dilakukan secara tunai. Di tingkat pedagang besar, dilakukan penanganan hasil berupa pencampuran biji hasil pembelian dan sortasi ukuran sesuai permintaan pasar. Pada umumnya sortasi ukuran biji menghasilkan dua kelompok ukuran yaitu biji besar (20%) dan sisanya (80%) merupakan campuran antara medium dan kecil. Perbedaan harga jual antara biji besar dan campuran sekitar Rp 500,- per kilogram. Selama proses penanganan hasil, terjadi penyusutan sebanyak 0,5 persen. Pengemasan biji kopi menggunakan karung berkapasitas 90 kilogram per karung selanjutnya biji kopi sudah siap dijual ke eksportir. Eksportir. Eksportir memperoleh biji kopi dari pedagang besar Kabupaten Malang, dan pada keadaan tertentu, ekpsortir juga melakukan pembelian kopi dari luar wilayah seperti dari Medan, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan lainnya. Pembelian kopi dari luar dilakukan apabila suplai kopi dari Malang sudah sedikit dan digunakan sebagai bahan campuran. Selain itu, kopi Vietnam yang harganya jauh lebih murah juga sudah masuk ke wilayah Malang.

300

Pola Kemitraan dalam Peningkatan Efisiensi Pemasaran Kopi Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Malang, Jawa Timur)

Volume pembelian eksportir antara 1.000 ton sampai 2.700 ton biji kopi per bulan. Dalam pembelian negoisasi harga dilakukan melalui telepon dan atau pengiriman contoh barang. Cara pembelian barang diterima di eksportir sehingga biaya muat dan pengiriman ditanggung pedagang besar. Pembayaran dilakukan antara 2 sampai 3 hari setelah penimbangan secara tunai atau melalui rekening Bank. Di tingkat eksportir, dilakukan penanganan hasil lebih intensif berupa pengeringan biji menggunakan sinar matahari dan alat oven sampai kadar air antara 11 - 12 persen, pemolesan (huller) menggunakan alat mesin, sortasi ukuran biji menggunakan mesin ayak sehingga diperoleh ukuran biji besar (6,5-7,0 ml), medium (5,5 ml) dan ukuran kecil (<5,5 ml). Selanjutnya dilakukan sortasi mutu secara manual untuk memisahkan biji pecah, hitam, bolong akibat PBKo dan biji coklat akibat panen muda. Standar mutu kopi mengikuti standar SLI. Selanjutnya biji kopi dikemas dalam karung berkapasitas sekitar 60 kg per karung, pemberian label dan siap untuk diekspor. Selama pengolahan, terjadi penyusutan berat sekitar 5,0 persen. Transaksi barang ke negara tujuan umumnya dilakukan melalui internet dan pengiriman contoh barang dan pengiriman barang dilakukan sampai pelabuhan Surabaya (FOB). Dalam penentuan harga dan mutu, para eksportir cenderung sebagai penerima harga dan mutu tanpa mampu melakukan tawar menawar. Saluran Kemitraan. Dalam kerja sama pemasaran antara petani SL-PHT dengan eksportir, pihak eksportir menerima pembelian kopi kering hasil olahan basah. Petani menjual kopi dalam bentuk gelondongan basah mutu RWP ke pabrik PUSKUD, kegiatan penimbangan dan pengiriman ke pabrik dilakukan oleh petugas yang ditunjuk dan berasal dari pengurus kelompok tani. Selanjutnya gelondongan diolah secara basah di pabrik pengolah PUSKUD, setelah dikemas hasil olahannya siap dikirimkan ke eksportir. Penentuan harga jual kopi petani SL-PHT dan Non SL-PHT dilakukan dengan mekanisme pembelian oleh PUSKUD melalui pola kemitraan. Untuk mengurangi dampak negatif dari kekuatan monopsoni, pengaturan tentang hak dan kewajiban petani dan PUSKUD tertuang dalam MOU/perjanjian kerja sama kemitraan pemasaran kopi RWP antara CEO PUSKUD Jatim dengan ketua kelompok tani, sebagai berikut: 1. Kewajiban petani/kelompok tani a. Mengirim kopi gelondongan merah M 95 persen (95% merah dan 5% kuning) dan BS-3 (bersih, segar dan seragam) ke pabrik PUSKUD Jatim b. Menjual kopi mutu RWP ke pihak CEO PUSKUD c.

Menerima pembayaran penjualan dari CEO PUSKUD melalui KUD/pabrik PUSKUD

d. Membayar biaya proses pengolahan Rp1.300,- per kg ose e. Berhak menerima pinjaman pupuk dan biaya angkut dari PUSKUD ke eksportir

301

Ade Supriatna dan Bambang Dradjat

2. Kewajiban CEO PUSKUD Jatim a. Menetapkan rendemen 23 persen mutu RWP b. Membeli kopi mutu RWP dengan ketentuan harga pasar Dampit ditambah harga premium (antara Rp 2000,- sampai Rp 2.420,- lebih tinggi dari harga di pasar Dampit) c.

Melakukan pembayaran 2 sampai 3 hari setelah penetapan harga

3. Kewajiban KUD/pabrik PUSKUD a. b. c. d.

Menerima gelondongan sesuai mutu yang sudah ditetapkan Melakukan penimbangan gelondongan di pabrik Melakukan pengolahan kopi di pabrik Tugas-tugas lain yang dianggap perlu dari CEO PUSKUD

Dengan kemitraan, petani peserta memperoleh bantuan modal untuk pengadaan pupuk. Padahal sebelum kemitraan pengadaan pupuk tersebut merupakan masalah yang menyebabkan petani terjerumus kedalam pelepas uang atau pedagang. Kemitraan pemasaran pada awalnya diterapkan hanya untuk petani SLPHT tetapi pada perkembangannya sekarang diikuti juga oleh petani Non SL-PHT yang dapat memenuhi gelondongan mutu RWP M 95 persen dan BS-3 serta pelaksanaannya dibawah koordinasi ketua kelompok tani yang ditunjuk. Kemitraan pemasaran dimulai tahun 2003 dan realisasi pembelian dimulai pada tahun 2004, yaitu sebanyak 1 kontainer (18 ton) ose berasal dari 19 kelompok tani. Untuk tahun 2005 terealisasi 184 ton ose berasal dari 59 kelompok tani, melebihi target sebanyak 6 kontainer (108 ton). Keberhasilan pencapaian target dikarenakan PUSKUD melakukan kerja sama dengan Perkebunan Swasta PT.Margosuko yang menyediakan fasilitas pengolahan basah.

Efisiensi Pemasaran Kopi Saluran Tradisional. Pelaku pasar dari saluran tradisional meliputi petani sebagai produsen kopi, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan eksportir. Mengenai marjin pemasaran setiap pelaku dapat dilihat Tabel 1. Pedagang pengumpul. Pengumpul mengeluarkan biaya untuk ongkos bongkar (umumnya dikerjakan oleh tenaga kerja keluarga), pencampuran biji kopi dan pengarungan menggunaan karung urea berkapasitas 50 kg per karung (menggunakan tenaga kerja keluarga). Biaya penjualan dikerjakan oleh tenaga keluarga terdiri atas muat barang dan pengiriman menggunakan motor sendiri. Total biaya pemasaran pedagang pengumpul sebesar Rp 25,-, rata-rata harga jual Rp 8.700,- dan margin keuntungan sebesar Rp 125,- per kilogram (1,27%). Pedagang besar. Pedagang besar mengeluarkan biaya untuk ongkos bongkar (dikerjakan oleh karyawan), apabila diupahkan Rp 250,- per karung, kegiatan penanganan hasil berupa sortasi ukuran biji menggunakan mesin ayak dengan hasil 20 persen biji besar dan sisanya 80 persen ukuran medium dan kecil.

302

Pola Kemitraan dalam Peningkatan Efisiensi Pemasaran Kopi Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Malang, Jawa Timur)

Selanjutnya dilakukan kegiatan pengarungan dengan karung berkapasitas 90 kg per karung. Selama proses penanganan hasil sampai siap jual terjadi penyusutan sekitar 0,5 persen. Tabel 1. Analisis Margin Pemasaran Komoditas Kopi pada Saluran Pemasaran Tradisional Uraian 1. Eksportir a. Harga jual b. Margin pemasaran -Biaya pemasaran -Margin keuntungan 1) c. Harga beli 2. Pedagang besar/Pasar Dampit a. Harga jual b. Margin pemasaran -Biaya pemasaran -Margin keuntungan 1) c. Harga beli

Rp/kg

Share harga 1) (%)

9.850

100,00

840 110 8.900

8,53 1,12 90,35

8.900

90,35

115 85 8.700

1,17 0,86 88,32

3. Pedagang pengumpul a. Harga jual 8.700 b. Margin pemasaran -Biaya pemasaran 25 -Margin keuntungan 125 1) c. Harga beli 8.550 1) Harga beli di pelaku dibagi harga jual di eksportir x 100 persen.

88,32 0,25 1,27 86,80

Total biaya pemasaran pedagang besar Rp 85,- per kilogram terdiri atas nilai penyusutan, pembelian karung, biaya sortasi, dan pengiriman ke eksportir. Rata-rata harga jual ke eksportir Rp 8.900,-, terdiri atas biji besar Rp 8.750,- dan biji medium dan kecil Rp 9.250,- per kilogram. Sehingga diperoleh marjin keuntungan sebesar Rp 115,- per kilogram (1,17 %). Eksportir. Eksportir mengeluarkan biaya ongkos bongkar (menggunakan tenaga karyawan), apabila diupahkan Rp 400,- per karung. Di tingkat eksportir dilakukan penanganan hasil secara intensif dengan mengikuti standar mutu SLI dan disesuaikan dengan permintaan pasar atau pengimpor. Biaya pemasaran eksportir mencapai Rp 840,- per kilogram biji kopi, terdiri atas biaya pengolahan sesuai mutu yang diinginkan importir, pengiriman ke pelabuhan Surabaya, biaya administrasi, dan pengadaan karung. Rata-rata harga jual Rp 9.850,- per kilogram dan margin keuntungan sebesar Rp 110,- per kilogram biji kopi (1,12 %). Saluran Kemitraan. Pada saluran pemasaran ini, pelaku pasar terdiri dari petani sebagai produsen, PUSKUD, dan Eksportir. Mengenai marjin pemasaran setiap pelaku pasar dapat dilihat pada Tabel 2.

303

Ade Supriatna dan Bambang Dradjat

Tabel 2. Analisis Margin Pemasaran Komoditas Kopi pada Saluran Pemasaran Kemitraan Uraian 1. Eeksportir a. Harga jual b. Margin pemasaran - Biaya pemasaran - Margin keuntungan 1) c. Harga beli 2. PUSKUD a. Harga jual b. Margin pemasaran - Biaya pemasaran - Margin keuntungan 1) c. Harga beli 1)

Rp/kg

(%)

10.600

100,00

125 125 10.350

1,18 1,18 97,64

10.350

97,64

496 184 9.670

4,68 1,74 91,23

Harga beli di pelaku dibagi harga jual di eksportir x 100 persen

Petani. Petani kemitraan mengirimkan kopi hasil panen ke PUSKUD dalam bentuk gelondongan basah merah M-95% (95% merah dan 5% kuning) dan BS-3 (bersih, segar dan seragam). Pengiriman harus dilakukan pada hari yang sama dengan waktu panenan. Harga beli kopi petani ditetapkan setelah gelondongan selesai diproses yaitu senilai harga jual biji asalan di Pasar Dampit ditambah harga premium sekitar (Rp 2000 sampai Rp 2.420) per kilogram. Pada realisasinya petani rata-rata memperoleh harga Rp 9.670,- per kilogram. PUSKUD. Lembaga ini membeli kopi gelondongan basah dari petani peserta kemitraan dengan cara diterima ditempat. Di pabrik PUSKUD dilakukan pengolahan dengan metode olah basah, pengeringan, sortasi, grading, dan pengarungan sesuai dengan permintaan. Kapasitas pengolahan antara 16 sampai 18 ton ose per hari dan proses pengolahan menghasilkan 4 grade, yaitu grade I sampai grade IV. Kopi hasil olahan yang dikemas sudah siap dikirim eksportir ke negara tujuan. Total biaya pemasaran PUSKUD mencapai Rp 496,- per kilogram, rata-rata harga jual ke eksportir Rp 10.350,- per kilogram dan marjin keuntungan Rp 184,- per kilogram (1,74%). Eksportir. Eksportir membeli kopi dari PUSKUD dalam kondisi siap ekspor karena penanganan pengolahan sudah dilakukan oleh PUSKUD dengan harga Rp 10.350,- per kilogram. Biaya pemasaran eksportir mencapai Rp 125,- per kilogram ose, terdiri atas biaya pengiriman ke pelabuhan Surabaya, biaya administrasi, dan pengadaan karung. Rata-rata harga jual eksportir Rp 10.600,- per kilogram dan margin keuntungan Rp 125,- per kilogram biji kopi (1,18 %). Pola kemitraan pemasaran ternyata disamping memberikan manfaat dari aspek budidaya dan peningkatan mutu kopi juga dari aspek ekonomi memberikan keuntungan lebih tinggi. Harga jual petani meningkat sebanyak 13,1 persen, yaitu dari Rp 8.550,- (saluran tradisional menjadi Rp 9.670,- (saluran kemitraan). Disamping itu, kinerja kelompok tani menjadi lebih baik, terutama kegiatan

304

Pola Kemitraan dalam Peningkatan Efisiensi Pemasaran Kopi Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Malang, Jawa Timur)

penyuluhan, penguatan modal kelompok untuk memenuhi kebutuhan usaha para anggotanya dan menjalankan usaha agroindustri pengolahan kopi dalam skala rumah tangga. Pemasaran hasil melalui kemitraan menunjukkan keberhasilan dengan semakin meningkatnya permintaan eksportir terhadap produk yang dihasilkan. Untuk dapat memenuhi permintaan tersebut, kelompok tani kemitraan terus melakukan perluasan areal produksi dengan cara menyewa atau bagi hasil ke petani-petani lain disekitranya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hutabarat (2006) bahwa, pemasaran hasil oleh petani sebaiknya tidak secara individu, tetapi dalam kelompok hamparan wilayah. Melalui pengembangan kemitraan usaha akan diperoleh beberapa manfaat dalam meningkatkan daya saing komoditas, seperti tercapainya skala ekonomi usaha tani termasuk dalam pengangkutan, adanya transfer teknologi dan informasi dari perusahaan kepada masyarakat petani, peningkatan akses terhadap pasar, serta adanya keterpaduan dalam pengambilan keputusan sehingga usaha tani yang dilakukan sesuai dengan dinamika permintaan pasar (Saptana et al., 2006). Pemerintah perlu memfasilitasi adanya kemitraan dengan pedagang/ eksportir. Pemerintah bertanggung jawab atau menjamin berbagai bentuk infrastruktur yang dibutuhkan petani, menyediakan modal usaha melalui sistem perkreditan, membersihkan pungutan-pungutan non-pajak, pengawasan harga yang sesuai mutu hasil di tingkat pedagang serta menginformasikan harga pasar lokal dan dunia kepada masyarakat luas. Namun demikian, usaha agroindustri pengolahan kopi masih banyak menghadapi kendala sehingga sulit berkembang. Skala usaha masih skala rumah tangga dan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal dan rumah tangga petani sendiri. Sesuai hasil penelitian Supriyati et al. (2006) bahwa, pengembangan agroindustri pertanian banyak menghadapi kendala, antara lain; kualitas dan kontinyuitas produk pertanian kurang terjamin, kemampuan SDM masih terbatas, teknologi yang digunakan sebagian besar masih sederhana, kemitraan antara agroindustri skala besar/sedang dengan agroindustri skala kecil/rumah tangga belum berkembang secara luas.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Pola kemitraan pemasaran antara eksportir dengan petani SL-PHT sudah mampu meningkatkan kualitas kopi di tingkat petani dan efisiensi pemasaran. Harga jual petani meningkat sebanyak 13,1 persen, yaitu dari Rp 8.550,- (saluran tradisional) menjadi Rp 9.670,- (saluran kemitraan). Dari aspek kelembagaan, kinerja kelompok tani menjadi lebih baik mencakup kegiatan penyuluhan, penyediaan modal kelompok dan mendirikan agroindustri pengolahan kopi dalam skala rumah tangga.

305

Ade Supriatna dan Bambang Dradjat

Pada kedua saluran pemasaran (tradisional dan kemitraan) menunjukkan bahwa bagian harga yang diterima petani sudah relatif tinggi (86 dan 91%) dan marjin sudah terdistribusi relatif seimbang diantara pelaku pasar. Hasil analisis marjin juga menunjukkan bahwa saluran pemasaran kemitraan relatif lebih efisien dibandingkan saluran pemasaran tradisional. Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan mutu kopi dan penyederhanaan saluran pemasaran mampu meningkatkan efisiensi pemasaran.

Saran Penerapan pola kemitraan pemasaran kopi dapat dijadikan contoh bagi penerapan yang sama di daerah produsen kopi lainnya. Faktor kunci keberhasilan adalah peningkatan mutu kopi petani perlu diikuti dengan pemberian insentif dan penyederhanaan saluran pemasaran. Fungsi kelembagaan semacam PUSKUD berperan penting dalam pemasaran kopi biji tersebut, terutama dalam mediasi petani dengan eksportir.

DAFTAR PUSTAKA

Buana, L. dan Hermansyah. 1990. Jenis Cacat, Pelaku Tataniaga dan Faktor Teknis Penentu Kopi Ekspor di Sumatera Selatan. Menara Perkebunan. 18(4): 304-312. Dinas Perkebunan Jawa Timur. 2004. Laporan Tahunan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur, Surabaya. Fajar, U. 2006. Kemitraan Usaha Perkebunan: Perubahan Struktur yang Belum Lengkap. Forum Penelitian Agroekonomi 24(1):46-60. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Food and Agriculture Organization. 2005. Data Ekspor-Impor Komoditas Kopi. 1995-2004. www.fao.org. Hutabarat, B. 2004. Kondisi Pasar Dunia dan Dampaknya terhadap Kinerja Industri Perkopian Nasional. Jurnal Agro Ekonomi 22(2):147-166. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Hutabarat, B. 2006. Analisis Saling Pengaruh Harga Kopi Indonesia dan Dunia. Jurnal Agro Ekonomi 24(1):95-113. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Irawan, B. 2006. Fluktuasi Harga, Transmisi Harga, dan Marjin Pemasaran Sayuran dan Buah. Analisis Kebijakan Pertanian 5(4):358-373. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Limbong, W.H. dan P.Sitorus. 1985. Pengantar Tataniaga Pertanian (Diktat kuliah). Edisi I. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB Bogor. Priyambodo, A. 1987. Analisis Teknis-Ekonomis Penerapan Sistem Nilai Cacat dalam Tataniaga Kopi di Daerah Lampung. Thesis Master Institut Pertanian Bogor, Bogor.

306

Pola Kemitraan dalam Peningkatan Efisiensi Pemasaran Kopi Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Malang, Jawa Timur)

Saptana, Sunarsih dan K.S. Indraningsih. 2006. Mewujudkan Keunggulan Komparatif Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui Pengembangan Kemitraan Usaha Hortikultura. Forum Penelitian Agroekonomi 24(1):61-76. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Supriyati dan E. Suryani. 2006. Peranan, Peluang dan Kendala Pengembangan Agroindustri di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi 24(2):123-134. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Susila, W.R. 1995. Dampak Penerapan Unit Pengolahan dan Pemasaran Kopi di Prafi, Manokwari. Jurnal Pengkajian Agribisnis Perkebunan. 1(1): 1-11. Susilowati, S.H. 2003. Dinamika Daya Saing Lada Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi 21(2):122-144. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Syahyuti. 2007. Dibutuhkan Dukungan Kebijakan untuk Mengoptimalkan Peran Pedagang Hasil-hasil Pertanian. Dalam K. Suradisastra, Y. Yusdja dan B. Hutabarat (Eds). Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. hlm.206-214.

307