Seminar Nasional PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS BERORIENTASI KESEJAHTERAAN PETANI Bogor, 14 Oktober 2009
Strategi kemitraan Usaha dalam Rangka Peningkatan Dayasaing Agribisnis Cabai Merah di Jawa Tengah oleh
Saptana, Arief Daryanto, Heny K. Daryanto dan Kuntjoro
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2009
STRATEGI KEMITRAAN USAHA DALAM RANGKA PENINGKATAN DAYASAING AGRIBISNIS CABAI MERAH DI JAWA TENGAH 11) Saptana2), Arief Daryanto3), Heny K. Daryanto3), Kuntjoro3) 2) 3)
Peneliti PSE-KP yang sedang studi S3 Program Studi EPN, IPB, Bogor Masing-masing adalah Ketua Komisi dan Anggota Komisi Pembimbing
ABSTRAK Dewasa ini petani cabai merah menghadapi masalah-masalah yang komplek, baik masalah yang sifatnya internal maupun eksternal. Permasalahan tersebut dapat menimbulkan risiko dan ketidak pastian bagi petani, baik yang sifatnya risiko produksi maupun risiko harga. Hal tersebut menuntut adanya perubahan strategi pemasaran yang dilakukan petani. Salah satu strategi pemasaran yang dipandang dapat meningkatkan dayasaing agribisnis cabai merah adalah melalui kemitraan usaha agribisnis. Tujuan utama tulisan ini adalah mengkaji strategi kemitraan usaha guna meningkatkan dayasaing agribisnis cabai merah pada daerah sentra produksi lahan sawah dataran rendah dan lahan kering dataran tinggi. Secara empiris terdapat dua pola kelembagaan kemitraan usaha pada komoditas cabai merah yaitu pola dagang umum dan kelembagaan kemitraan usaha (contrac farming) dengan berbagai variasinya, seperti yang dikembangkan PT. Henz ABC sebagai perusahaan mitra. Keunggulan pada pola kemitraan usaha, antara lain adalah efisiensi dalam pengumpulan hasil tinggi, efisiensi dalam pengangkutan tinggi, harga relatif stabil karena harga ditetapkan dengan sistem kontrak, mampu mendorong petani untuk menghasilkan produk berkualitas, serta menjamin kontinyuitas pasokan bagi perusahaan mitra. Srategi pengembangan kelembagaan kemitraan usaha harus dilakukan melalui proses sosial yang matang dengan dasar saling percaya mempercayai di antara pelaku agribisnis diharapkan dapat membantu meningkatkan dayasaing agribisnis cabai merah secara berkelanjutan. Sumber-sumber pertumbuhan keunggulan kompetitif (dayasaing) dapat dihasilkan melalui peningkatan luas areal tanam, peningkatan produktivitas dan efisiensi usahatani, peningkatan efisiensi pada seluruh jaringan agribisnis, dan penciptaan nilai tambah pada seluruh jaringan agribisnis. Kata kunci : cabai merah, kemitraan usaha, agribisnis, berdayasaing. PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini petani cabai merah menghadapi masalah-masalah yang komplek, baik masalah yang sifatnya internal maupun eksternal. Permasalahan internal antara lain adalah masalah makin sempitnya penguasaan lahan pertanian, kurang ketersediaan dan akses terhadap teknologi, serta kurang ketersediaan dan akses terhadap permodalan. Permasalahan eksternal mencakup masalah perubahan iklim dan cuaca, serangan hama dan penyakit tanaman, serta masalah fluktuasi harga yang tajam. Permasalahan tersebut dapat menimbulkan risiko dan ketidak pastian bagi petani, baik yang sifatnya risiko 1
Makalah ini adalah bagian dari Disertasi yang berjudul “Analisis Efisiensi Produksi Komoditas Cabai Merah Pada Sentra Produksi Dataran Rendah dan Dataran Tinggi di Provinsi Jawa Tengah”
1
produksi maupun risiko pasar atau harga. Hal tersebut menuntut adanya perubahan strategi pemasaran yang dilakukan petani. Salah satu strategi pemasaran yang dipandang dapat meningkatkan dayasaing agribisnis cabai merah adalah melalui kemitraan usaha. Kebijakan pengembangan komoditas cabai merah di Indonesia telah berhasil mendorong terjadinya peningkatan produksi baik di daerah sentra produksi maupun daerah pertumbuhan baru, namun demikian peningkatan produksi tersebut masih relatif lambat dan belum stabil, serta belum searah dengan dinamika permintaan pasar terutama untuk industri pengolahan dan super market/hipermarket. Hal ini menunjukkan bahwa sudah selayaknya dilakukan reorientasi kebijakan dari pendekatan pengembangan komoditas ke arah pengembangan produk cabai merah, dari koordinasi yang dilakukan melalui mekanisme pasar di mana transmisi harga bersifat asimetrik ke arah koordinasi proses (antar pelaku) dan produk melalui kemitraan usaha agribisnis. Komoditas cabai merah secara intrinsik memiliki sifat cepat busuk, rusak, dan susut besar merupakan masalah yang dapat menimbulkan resiko baik resiko produksi maupun resiko pasar (harga). Permasalahan pokok pengembangan agribisnis cabai merah adalah belum terwujudnya ragam, kualitas, kesinambungan pasokan, dan kuantitas yang sesuai dengan permintaan pasar. Permasalahan tersebut nampak nyata pada produk cabai merah untuk tujuan pasar super market/hiper market, industri pengolahan, konsumen institusi (hotel, restaurant, rumah sakit), dan terlebih untuk tujuan pasar ekspor. Permasalahan tersebut disebabkan oleh kurangnya penguasaan teknologi (teknologi pembibitan, budidaya, serta panen dan penanganan pasca panen), sistem usahatani cabai merah yang masih sporadis sehingga produksi tersebar dengan mutu yang beragam, serta lemahnya koordinasi antar pelaku agribisnis menyebabkan struktur jaringan agribisnis cabai merah yang terbangun kurang kukuh. Konsekuensinya adalah komoditas cabai merah sebagai salah satu komoditas sumber pertumbuhan baru dalam pembangunan pertanian belum dapat dimaksimalkan, kesempatan kerja dan peluang berusaha yang tercipta masih terbatas, bernilai tambah rendah, serta kurang memiliki dayasaing di pasar. Salah satu jawaban dari permasalahan tersebut adalah pentingnya membangun strategi kemitraan usaha yang dapat meningkatkan dayasaing secara berkelanjutan. Tujuan Penulisan Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka tulisan ini bertujuan untuk : (1) Mengkaji konsepsi kemitraan usaha dan urgensinya bagi pengembangan agribisnis cabai merah; (2) Mengidentifikasi tipe-tipe kemitraan usaha dan implementasinya pada kemitraan usaha agribisnis cabai merah; (3) Merumuskan simpul-simpul kritis pengembangan kelembagaan kemitraan usaha agribisnis cabai merah yang mampu meningkatkan dayasaing secara berkelanjutan; dan (4) Mencari sumber-sumber pertumbuhan keunggulan kompetitif (dayasaing) agribisnis cabai merah melalui strategi kemitraan usaha. 2
TINJAUAN KONSEPTUAL KEMITRAAN USAHA Konsepsi Kemitraan Usaha Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Kata “disusun” dalam pasal tersebut mengisyaratkan perlunya peran aktif pemerintah dalam menjabarkan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam amanat tersebut kedalam nilai-nilai normatif-praktis yang sesuai. Salah satu instrumen untuk mewujudkan asas kebersamaan dan asas kekeluargaan dalam perekonomian nasional dan implementasinya dilapang adalah melalui kemitraan usaha. Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa kemitraan usaha, terutama dalam dunia usaha adalah hubungan antar pelaku usaha yang didasarkan pada ikatan usaha yang saling menguntungkan dalam hubungan kerja yang sinergis, yang hasilnya bukanlah suatu zero-sum-game, tetapi positive-sum game atau win-win situation. Dengan perkataan lain, kemitraan usaha merupakan hubungan kerjasama antar usaha yang sejajar, dilandasi prinsip saling menunjang, dan saling menghidupi berdasarkan asas kekeluargaan dan kebersamaan. Berdasarkan Undang-Undang (UU) No.9 tahun 1995 kemitraan usaha adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Bank Indonesia (2007) seperti diungkapkan oleh Sayaka et al., (2008) telah mengembangkan Program Partnership Terpadu (PPT) yang merukakan program partnership antara Usaha Besar dan Usaha Kecil dengan melibatkan bank sebagai pemberi kredit dalam suatu ikatan kerjasama yang dituangkan dalam Nota Kesepakatan. Kemitraan Usaha Agribisnis adalah hubungan bisnis usaha pertanian yang melibatkan satu atau sekelompok orang atau badan hukum dengan satu atau kelompok orang atau badan hukum di mana masing-masing pihak memperoleh penghasilan dari usaha bisnis yang sama atau saling berkaitan dengan tujuan menjamin terciptanya keseimbangan, keselarasan, dan keterpaduan yang dilandasi rasa saling menguntungkan, memerlukan, dan saling melaksanakan etika bisnis (Suwandi, 1995). Dengan demikian tujuan kemitraan usaha agribisnis cabai merah antara perusahaan mitra dengan petani mitra adalah peningkatan efisisensi dan produktivitas disegala lini sub sistem agribisnis dan terciptanya nilai tambah ekonomi yang merupakan kunci peningkatan dayasaing agribisnis cabai merah. Urgensi Kemitraan Usaha Lahirnya konsep kerjasama usaha atau kemitraan usaha antara perusahaan pertanian (BUMN, swasta, koperasi) dengan pertanian rakyat (petani kecil) di Indonesia 3
didasarkan atas dua argumen (Sinaga, 1987). Pertama, adanya perbedaan dalam penguasaan sumberdaya (lahan dan kapital) antara masyarakat industrial di perkotaan (pengusaha) dengan masyarakat pertanian di pedesaan (petani). Dimana orang kota dikategorikan mempunyai modal dan pengetahuan, namun kurang dalam sumberdaya lahan dan tenaga kerja, sedangkan di sisi lain orang desa dikategorikan mempunyai lahan dan tenaga kerja, namun kurang modal dan kemampuan manajerial (ketrampilan). Kedua, adanya perbedaan sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha pada masing-masing subsistem dari sistem agribisnis. Di dalam subsistem usahatani, skala kecil lebih efisien atau sama efisiennya dengan skala usaha besar, karena sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha bersifat tetap (constant cost to scale). Dalam subsistem pemasaran, pengolahan dan pengadaan saprodi, skala usaha besar lebih efisien dari pada skala kecil, karena sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha bersifat menurun (decreasing cost to scale). Dari uraian tersebut memberikan gambaran pentingnya strategi kemitraan usaha dalam rangka peningkatan dayasaing agribisnis cabai merah secara keseluruhan melaui peningkatan efisisiensi dan penciptaan nilai tambah. Kemitraan usaha mendukung efisiensi ekonomi karena pihak-pihak yang bermitra masing-masing menawarkan sisi-sisi unggul yang dimilikinya. Melalui strategi kemitraan usaha maka akan terbangun struktur agribisnis cabai merah yang kuat, karena adanya keterpaduan proses dan produk. Di samping itu, dapat menghindarkan diri dari kecenderungan monopoli. Struktur pasar monopoli akan menyebabkan distorsi dalam pasar, sedangkan kemitraan usaha dapat memperkuat mekanisme pasar, dengan sekaligus menghindari persaingan yang tidak sehat dan saling mematikan. Urgensi kemitraan usaha dalam pembangunan pertanian sudah sejak lama disadari pakar ekonomi dan pemerintah selaku pengambil kebijakan, hal antara lain dapat ditelusuri beberapa kebijakan atau peraturan pemerintah tentang kemitraan usaha. Sejak pertengahan 1970-an hingga awal 1980-an telah dikeluarkan peraturan-peraturan tentang kemitraan usaha melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), sehingga muncullah PIRPerkebunan, PIR-Perunggasan, Tambak Inti Rakyat, Tebu Inti Rakyat. Sementara itu, untuk kelompok komoditas hortikultura (cabai merah) berkembang belakangan, namun dengan perkembangan yang lebih dinamis dan intensif. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, secara prinsip kemitraan usaha tetap diarahkan dapat berlangsung atas dasar norma-norma ekonomi yang berlaku dalam keterkaitan usaha yang saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemudian di tindaklanjuti melaui SK Mentan No. 940/Kpts/OT. 210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, dikatakan bahwa tujuan kemitraan usaha pertanian antara lain untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya petani mitra, peningkatan skala 4
usaha, serta dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandiri. POLA-POLA KEMITRAAN USAHA PERTANIAN Tipe-Tipe Kemitraan Usaha Dapat dipahami apabila terdapat keraguan di antara sementara pihak yang beranggapan bahwa program kemitraan adalah program belas kasihan, yang lebih merupakan kewajiban sosial dari pada tujuan ekonomi, yang cenderung mengarah kepada inefisiensi, dan karenanya tidak akan dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana diharapkan. Secara empiris memang dijumpai adanya program kemitraan yang gagal karena pendekatannya yang keliru. Namun, tidak sedikit juga adanya program kemitraan yang telah berhasil. Hasil kajian di pada daerah sentra produksi di Jawa Tengah menunjukkan bahwa kemitraan usaha cabai merah pada lahan kering dataran tinggi relatif lebih berhasil (Kasus di Kabupaten Boyolali dan Purbalingga) dibandingkan pada daerah sentra produksi lahan sawah dataran rendah (Kasus di Kabupaten Boyolali dan Klaten). Syarat bagi keberhasilan kemitraan usaha agribisnis cabai merah adalah adanya imbalan renumeratif yang saling menguntungkan ke dua belah pihak, adanya pembagian keuntungan yang adil dan dinamis. Adil, dalam arti kemitraan usaha yang dibangun tidak bias kepada salah satu pihak, misalnya pihak yang kuat (perusahaan mitra/inti), tetapi harus sesuai dengan sumbangan masing-masing pihak dalam bermitra. Dinamis, dalam arti tidak terpaku pada suatu keadaan, tetapi senantiasa kemitraan usaha yang dibangun sentatiasa berkembang secara dinamis, sehingga efektivitas, produktivitas, dan kualitas usaha senantiasa berkembang pula. Menurut Eaton dan Shepherd (2001) dalam bukunya Contract Farming: Partnership for Growth, contract farming dapat dibagi menjadi lima tipe. Pertama, centralized model, yaitu model yang terkoordinasi secara vertikal, dimana sponsor membeli produk dari para petani termasuk petani cabai merah, kemudian memprosesnya (menjadi sause) atau mengemasnya dan memasarkan produknya. Kedua, nucleus estate model, yaitu variasi dari model terpusat, dimana dalam model ini sponsor dari proyek juga memiliki dan mengatur lahan pertanian yang biasanya dekat dengan pabrik pengolahan. Dalam hal produk cabai model ini dapat diketemukan pada hubungan antara petani mitra dengan dengan perusahaan pengolahan (PT. Henz ABC). Ketiga, multipartite model, yaitu biasanya melibatkan badan hukum dan perusahaan swasta yang secara bersama berpartisipasi bersama para petani (misalnya melibatkan Gapoktan/Kelompok Tani, Grower, pemasok saprodi, lembaga permodalan, supplier), model ini juga ditemukan pada agribisnis cabai merah. Keempat, informal model, yaitu model yang biasanya diaplikasikan terhadap wiraswasta perseorangan atau perusahaan kecil yang biasanya 5
membuat kontrak produksi informal yang mudah dengan para petani berdasarkan musiman. Kelima, intermediary model, yaitu model yang biasanya diaplikasikan terhadap usaha pemberdayaan masyarakat petani melalui mediasi lembaga pemerintah atau lembaga non frofit lainnya dalam mediasai dengan perusahaan mitra, fasilitasi dalam penyediaan dana, serta bimbingan dan penyuluhan, model ini tidak ditemukan pada agribisnis cabai merah. Pola-Pola Kemitraan Usaha Pertanian Dalam SK Mentan No. 940/Kpts/OT. 210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian tersebut juga dikemukakan tentang pola-pola kemitraan usaha yang dapat dilaksanakan, antara lain pola : (1) Pola inti-plasma, (2) Pola kemitraan contract farming; (3) Pola Kemitraan Sub-Kontrak, (4) Pola dagang umum, (5) Pola kemitraan keagenan, dan (6) Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA). Pola Kemitraan Inti Plasma Dalam model ini pengusaha–pengusaha besar, pengusaha industri pengolahan hasil (PT Henz ABC, PT Indofood Fritolay Makmur, dll), pedagang besar/eksportir cabai merah (bertindak sebagai perusahaan mitra/inti) melakukan kemitraan dengan petani produsen (petani mitra/plasma), ataupun kelompok usaha agribisnis dengan membentuk kesepakatan harga dan kualitas pembelian produk. Kemitraan dilakukan dengan kelompok tani, sehingga kegiatan produksi dapat dilakukan secara lebih terkoordinir dalam satu hamparan dengan skala usaha tertentu, di mana pada kasus kemitraan usaha agribinis cabai di Jawa Tengah skala 5 Ha. Perusahaan mitra/inti berkewajiban antara lain : (a) Penyediaan dan penyiapan lahan, dalam kasus cabai merah di Jawa Tengah hal ini bersifat optional dalam menyediakan dana untuk biaya pengolahan lahan, sedangkan lahan adalah milik petani; (b) Penyediaan sarana produksi (benih unggul, pupuk, obat-obatan, serta mulsa), yang banyak dijumpai adalah perusahaan mitra menyediakan bibit cabai merah unggul varietas hibrida, sedangkan sarana produksi lain sangat tergantung kebutuhan petani; (c) Pemberian bimbingan teknis budidaya dan pasca panen; (d) Pembiayaan (pengolahan lahan, pemanenan, dll); dan (e) Bantuan lain, seperti peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Sementara itu, petani plasma melakukan budidaya sesuai anjuran serta menyerahkan hasil kepada perusahaan mitra (inti) sesuai kesepakatan. Model Contract Farming Kontrak dapat didefinisikan sebagai perjanjian tertulis antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu yang di dalamnya mengatur tugas, hak dan kewajiban pihak-pihak yang bersangkutan atau suatu persetujuan di mana tindakan dipertukarkan dengan konsiderasi yang sah maka persetujuan harus diadakan antara dua pihak yang berkepentingan (Muda, 2003). Pada sebagian besar kontrak, pihak-pihak yang melakukan transaksi mereka membuat kesepakatan mereka 6
sendiri. Namun demikian dalam kebanyakan yurisdiksi, pengadilan akan bersedia menegakkan kontrak jika pihak-pihak yang melakukan kontrak telah menyepakati empat persyaratan dasar (Shippey, 2004): (1) Deskripsi barang dalam hal jenis, kuantitas, dan kualitas; (2) Waktu pengiriman (ketepatan waktu pengiriman); (3) Harga (penetapan harga harus jelas); dan (4) Waktu dan cara pembayaran. Kontrak dapat dibedakan : (1) Kontrak pesanan pembelian; (2) Kontrak penjualan kondisional; (3) Kontrak konsultasi; (4) Kontrak wakil penjualan; (5) Perjanjian franchise; (6) Perjanjian distribusi; (7) Perjanjian Konsinyasi; dan (8) Kontrak lisensi; serta (9) Kontrak hubungan kerja industrial-buruh. Pada kegiatan usaha agribisnis contract farming nampaknya menjadi alternatif yang menarik bagi perusahaan-perusahaan pengolahan. Contrat farming adalah suatu cara mengatur produksi pertanian di mana petani-petani kecil atau “outgrowers” diberikan kontrak untuk menyediakan produk-produk pertanian untuk sebuah usaha sentral sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam sebuah perjanjian (contract). Badan sentral yang membeli hasil tersebut dapat menyediakan bimbingan teknis, manajerial, kredit sarana produksi, serta menampung hasil dan melakukan pengolahan dan pemasaran. (Kirk, 1987 :46-47 dalam White, 1990). Contract farming dapat dipilah menjadi tiga jenis contract farming menurut sampai sejauhmana “inti” melibatkan dirinya dalam keputusan-keputusan produksi di tingkat petani-petani “satelitnya”nya (White, 1990) : (1) Kontrak pemasaran (marketing contract), di dalam kontrak pemasaran terkandung bagaimana menentukan jenis dan atau jumlah produk pertanian (cabai merah) yang akan diserahkan, tetapi jarang menyebut kegiatan-kegiatan atau metode-metode khusus mana yang harus diikuti dalam proses produksi, juga tidak mengharuskan pihak inti (pengolah) untuk menyediakan masukanmasukan tertentu, model ini cukup banyak dijumpai pada agribisnis cabai merah di Jawa Tengah; (2) Kontrak produksi (production contract), yaitu perjanjian antara petani dan perusahaan (pengolah) yang menentukan jenis serta jumlah produk pertanian (cabai merah) yang akan dihasilkan, dan juga dapat menetapkan varietas bibit (pada kasus cabai merah : Varietas Biola, Hot Beuty, Hot Chili, Gada, Laras) kegiatan-kegiatan dalam proses produksi, serta masukan-masukan atau bantuan teknis mana yang harus disediakan oleh si pemberi kontrak”, model ini juga cukup banyak dijumpai pada agribisnis cabai merah di Jawa Tengah; dan (3) Integrasi vertikal (vertical integration), di mana semua tahapan produksi dirangkul dalam satu perusahaan, sedangkan pasar tidak berperan dalam pengkoordinasian berbagai tahapan produksi, model terakhir ini tidak ditemukan pada agribisnis cabai merah di Jawa Tengah. Model Sub-Kontrak Pola kemitraan sub-kontrak dapat diartikan sebagai hubungan kemitraan antar kelompok mitra dengan perusahaan mitra di mana kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Pola 7
ini banyak dijumpai pada produk industri, seperti industri automotif di Jepang. Dalam model ini, Usaha Kecil (UK) memproduksi komponen dan atau jasa yang merupakan bagian dari produksi Usaha Menengah (UM) atau Usaha Besar (UB). Model kemitraan ini menyerupai pola kemitraan contract farming tetapi pada pola ini kelompok UK tidak melakukan kontrak secara langsung dengan persahaan pengolah (processor) tetapi melalui agen atau pedagang. Dalam pengembangan pola ini, UM atau UB meningkatkan ketrampilan teknis dan manajemen, serta menjamin kepastian pasar yang dapat menjamin kelangsungan usahanya, daya inovasi dan kewirausahaan UK; sebagai upaya UM atau UB untuk lebih meningkatkan dan pemberdayaan UK. Model ini dapat dijumpai pada pengadaan cabai merah segar antara petani dengan industri pengolah atau super market/hiper market yang di mediasi oleh agen atau pedagang hasil pertanian. Model ini dapat ditemukan di Purbalingga dan Boyolali. Pola Kemitraan Dagang Umum Pola kemitraan dagang umum, yaitu hubungan kemitraan usaha antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, di mana kelompok mitra memasok kebutuhan perusahaan mitra sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Dalam model ini, Usaha Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil, dapat juga Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar, atau Usaha Kecil yang memasarkan hasil Usaha Menengah atau Usaha Besar. Model ini dapat dijumpai pada : (1) kemitraan usaha antara petani-petani cabai merah mandiri dengan Pedagang Pengumpul, Pedagang Besar, serta Super Market dan Hiper Market; dan (2) kemitraan usaha antara petani cabai merah disekitar Pasar Induk Cabai Merah di Sengon, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes yang menjualnya cabai besar ke Pedagang Besar/Supplier melalui mediasi pedagang komisioner. Pola Kemitraan Keagenan Pada model ini kelompok mitra (UK) diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha perusahaan mitra (UM atau UB). Keunggulan dari hubungan pola kemitraan ini adalah berupa keuntungan dari hasil penjualan, ditambah komisi/fee yang diberikan oleh perusahaan mitra. Model ini dijumpai pada penyaluran atau distribusi sarana produksi misalnya benih cabai merah hibrida, pupuk, serta obat-obatan, biasaya pedagang sarana produksi ada yang bertindak sebagai distributor (agen) dan yang bertindak sebagai penyalur. Distributor (agen) dan penyalur tersebut biasanya hanya menjual jenis benih, pupuk, atau obat-obatan dari produksi perusahaan tertentu atau merk tertentu. Pola Kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis Pada model ini, kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal dan atau sarana untuk 8
mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi pertanian. Perusahaan mitra dapat berbentuk sebagai perusahaan inti atau perusahaan pembina. Ia melaksanakan pembukaan lahan, mempunyai usaha budidaya dan memiliki unit pengolahan yang dikelola sendiri. Perusahaan inti juga melaksanakan pembinaan berupa penanganan dalam bidang teknologi, sarana produksi, permodalan atau kredit, pengolahan hasil, menampung produksi dan memasarkan hasil dari kelompok mitra. Model ini banyak dijumpai pada kersajasama antara petani tanaman pangan dan hortikultura dengan perusahaan pengolah. IMPLEMENTASI KEMITRAAN USAHA AGRIBISNIS CABAI MERAH DI JAWA TENGAH Kelembagaan kemitraan usaha yang ada pada komoditas cabai merah di Jawa Tengah terdapat tiga pola, yaitu : (1) Pola dagang umum; (2) Pola Kemitraan Usaha antara Petani dengan Sub Terminal Agribisnis; dan (3) Pola kemitraan Usaha antara Perusahaan Industri Pengolah yaitu PT. Henz ABC dengan Petani Mitra. Pola Kemitraan Dagang Umum Umumnya kelembagaan kemitraan dagang umum tumbuh secara alamiah sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan pelakunya. Pelaku yang terlibat dalam kelembagaan kemitraan usaha komoditas cabai merah adalah petani, pedagang input, pedagang output (berbagai tingkatan, dari dalam dan luar desa), jasa angkutan, lembaga keuangan informal dan formal, dan instansi pemerintah, pengusaha pengolahan cabai. Dalam kelembagaan tersebut, petani berperan sebagai produsen cabai merah, yang bertanggungjawab terhadap proses produksi cabai merah. Pedagang, dalam hal ini pedagang menengah (Midle Man), selain berperan sebagai pembeli hasil cabai merah yang dihasilkan petani seringkali juga menjalankan peran sebagai penyedia modal (lembaga pembiayaan informal) bagi petani dan pedagang pengumpul yang menjadi anak buahnya. Namun tidak semua pedagang kecil memiliki ikatan yang tetap dengan pedagang menengah atau pedagang besar. Pinjaman modal pada petani dapat berbentuk uang atau natura (pupuk dan obat-obatan). Saat ini Dinas Pertanian di Kabupaten Contoh (Kabupaten Brebes, Klaten, Boyolali, dan Kabupaten Purbalingga) juga sedang giat melakukan pembinaan terhadap kelompok tani cabai merah dan di beberapa kelompok telah diberikan Standar Prosedur Operasional (SPO) Budidaya Cabai Merah. Pendalaman kasus tentang kelompok tani telah dilakukan pada antara lain adalah Gabungan Kelompok Tani Sumber Jaya, Desa Limbangan, Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes dan Kelompok Tani Tirtajaya di Desa Kemukten, Kecamatan Kersana. Kelompok Tani Jujur dan Makmur, Desa Demakijo, Kecamatan Karangnongko, Kabupaten Klaten, Kelompok Tani Ngudi Makmur di Desa 9
Gatak, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten, serta Kelompok Tani Kusuma I dan Kusuma II, Desa Solodiran, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten. Kelompok Tani Makmur, Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali dan Gapoktan Sumber Rejeki, Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, serta Gapoktan Sumber Lestari, Desa Sudimoro, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali. Kelompok Tani Berkah Cabe, Desa Kuta Bawah, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga. Sebagian besar anggota kelompok tani memasarkan hasil produksi cabai merahnya melalui pola dagang umum, meskipun beberapa kelompok telah menjalin kemitraan usaha denga PT Henz ABC. Peran kelompok dalam hal pemasaran cabai merah dirasakan masih belum optimal, sebagian besar petani menjual secara individu kepada pedagang pengumpul, selanjutnya pedagang pengumpul menyalurkan ke pedagang menengah dan besar. Aturan main yang berlaku pada kelembagaan untuk komoditas cabai merah relatif tidak berbeda antar lokasi penelitian. Pada kelembagaan yang tumbuh secara alamiah untuk komoditas cabai merah, petani ada yang bermitra secara tetap dengan pedagang dan ada pula yang tidak terikat. Pada kasus petani yang bermitra, pedagang berkewajiban memberi pinjaman modal dalam bentuk uang maupun natura (dalam bentuk benih, pupuk, pestisida, atau mulsa) pada petani. Sebaliknya petani harus menjual hasil panennya pada pedagang tersebut. Keterikatan petani kepada pedagang, seringkali menjadikan penetapan harga lebih dominan oleh pedagang, sehingga petani ini sering menerima harga sedikit lebih rendah dibandingkan harga pasar. Ada kalanya kesepakatan dibuat secara lebih jelas dan spesifik, misalnya menyangkut hasil panen dari persil tertentu yang “harus” dijual kepada pedagang tertentu, sehingga hasil dari persil sisanya masih bisa dijual pada pedagang lain jika memang terdapat selisih harga yang dinilai cukup signifikan (selisih lebih dari Rp 500/kg). Sebagian petani tidak terikat pada pedagang mana pun, baik yang berasal dari kampungnya atau dari luar desa, karena mereka tidak terikat hutang piutang pada pedagang. Pada kasus seperti ini, yang berlaku adalah aturan main dagang umum sesuai dengan mekanisme pasar. Hal serupa juga berlaku antara pedagang dengan pedagang. Untuk memahami interaksi antara petani dengan pedagang dan pedagang dengan pedagang, berikut ini akan dikemukakan hasil kasus, hampir dalam setiap daerah sentra produksi terdapat seorang pedagang cabai merah yang telah berpengalaman lebih dari 10 tahun, dia adalah juga seorang petani maju, juga aktif sebagai pengurus kelompok tani, umumnya juga akses terhadap pasar dan program-program pemerintah, pedagang ini bermitra dengan petani dan juga dengan pedagang besar, supermarket/hiper market serta dengan perusahaan mitra. Pola kemitraan dibangun atas kebutuhan bersama atas dasar kepercayaan. Tidak ada perjanjian tertulis di antara pihak-pihak yang bermitra. Interaksi personal lebih diutamakan. Pola interaksi ini ditemukan baik di daerah sentra produksi lahan sawah dataran rendah maupun daerah sentra produksi lahan kering dataran tinggi. 10
Secara umum terdapat tiga-empat orang pedagang pengumpul di tingkat desa dan beberapa pedagang menengah-besar di tingkat kecamatan. Barang dagangan diperoleh dari petani yang menjadi mitranya sekitar 25-30 orang atau petani nonmitra, sedangkan untuk memasarkan hasil cabai merahnya seorang pedagang menengah-besar memiliki jaringan yang cukup luas baik dengan pedagang pasar kecamatan (Pasar Induk Tanjung) untuk kasus pedagang cabai merah di Brebes, (Pasar Cepogo, Pasar Induk Ampel/STA Ampel, Boyolali; dan Pasar Dukun/STA Sewukan, Magelang) untuk kasus Boyolali, serta (Pasar Kuta Bawah/STA Kuta Bawah, Kecamatan Karangreja) untuk kasus di Purbalingga. Sementara itu, untuk pedagang menegah di Klaten sebagian besar langsung memasok kepada Pedagang Besar di Magelang untuk selanjutnya dipasarkan ke Jabotabek. Terhadap petani mitra, pedagang midle man tersebut sering memberi pinjaman namun dia sendiri tidak pernah meminjam uang pada pedagang mitranya, karena akan mengurangi kebebasannya untuk menjual barang dagangan kepada pedagang yang lain. Hasil produksi cabai merah yang dihasilkan oleh petani petani di lahan sawah dataran rendah di Kabupaten Brebes adalah cabai merah besar, sedangkan di Kecamatan Teras, Boyolali dan di Kabupaten Klaten dominan adalah Cabai Merah Keriting. Sementara itu, untuk daerah sentra produksi lahan kering dataran tinggi di Kecamatan Selo didominasi cabai merah keriting dan untuk lahan kering dataran tinggi di Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga adalah cabai merah besar. Untuk keperluan bisnis cabai tersebut disiapkan modal kurang lebih Rp.25-50 juta. Pinjaman dapat berkisar antara 1- 5 juta tergantung keperluan, yang akan dipotong pada saat panen. Besarnya volume pembelian dapat mencapai 2,5-5 Kw/Hari untuk pedagang pengumpul dan 1,5-2,5 ton untuk pedagang menengah (Midle Man). Dalam satu kali pengiriman dapat mencapai volume 1,5-2,5 ton/hari. Untuk transportasi memiliki mobil sendiri atau menyewa dari pemilik mobil pick up/truk. Selain kepada petani mitra juga mencari pasokan barang kepada petani nonmitra, dengan cara memberikan panjar sebelum panen. Peran bandar dinilai sangat penting karena tidak semua orang mampu melakukan hal tersebut. Kepandaian berkomunikasi dan berinteraksi serta membuat kesepakatan bersama dengan para mitra dibangun mulai dari berdagang kecil-kecilan. Dari pengalaman tersebut terjadilah integrasi yang cukup mapan dalam berbisnis cabai. Hubungan dengan para mitra cukup dengan kepercayaan dan interaksi personal untuk melakukan kontrol. Pengenalan alamat mitra juga sangat diperlukan (meskipun terakhir banyak melakukan kontak bisnis melalui telefon/HP), sehingga kalau terjadi pelanggaran kesepakan dapat langsung dibicarakan dan dipecahkan. Pola Kemitraan Usaha antara Petani dengan Pasar Induk Cabai Merah Untuk komoditas cabai merah telah tersedia infrastruktur pasar, yaitu berupa Pasar Induk Cabai Merah di Desa Sengon, Kecamatan Tanjung. Pelaku yang yang terlibat 11
dalam kelembagaan kemitraan pada komoditas cabai merah di Pasar Induk ini adalah petani secara individu, pedagang pengumpul desa/antar desa, pedagang kaki tangan/komisioner, pedagang besar antar daerah, serta pemasok industri pengolahan (PT Henz ABC dan PT Indofood Fritolay Makmur). Dalam kelembagaan tersebut, petani berperan sebagai produsen cabai merah, yang bertanggungjawab terhadap proses produksi cabai merah, menjualnya ke pedagang pengumpul atau langsung ke pedagang komisioner di Pasar Induk. Pedagang pengumpul berperan dalam mengumpulkan hasil dan memasok ke pedagang besar antar daerah melalui pedagang kaki tangan/komisioner. Kelembagaan pemasaran yang berlaku antara petani melalui Pasar Induk Cabai Merah umumnya dimediasi oleh pedagang kaki tangan/komisioner dari pedagang besar antar daerah dan perusahaan industri pengolahan PT Henz ABC dan PT Indofood Fritoley Makmur. Besarnya komisi yang diterima bervariasi tergantung kekutan penawaran dan permintaan serta harga yang terjadi di pasar, yang kurang lebih antara Rp 5000,-/Karung atau Rp. 50-60/Kg. Selanjutnya pedagang besar antar daerah memasarkan hasil ke berbagai tujuan pasar terutama wilayah Bandung dan Jabotabek, serta Cirebon. Sementara itu, pemasok (supplier) mengirimkan ke pabrik PT. Henz ABC berdasarkan order yang telah disepakati. Aturan main yang berlaku pada kelembagaan kemitraan usaha antara berbagai pelaku usaha melalui Pasar Induk, adalah sebagai berikut : (a) Petani yang menjual melalui pasar induk ini dikenakan biaya timbang, yang besarnya Rp. 2000/karung (setara 80-100 Kg atau Rp. 20-25/Kg); (b) Pedagang Kaki Tangan/Komisioner mencarikan barang cabai merah dengan sistem kupon, besarnya komisi adalah Rp. 5000,-/Karung atau Rp. 50-60/Kg; (c) Pedagang besar atau pedagang pemasok (supplyer) industri pengolahan (PT Henz ABC dan PT Indofood Fritolay Makmur) membayar retribusi sebesar Rp. 100/karung (Rp 10,-/Kg), biaya parkir Rp. 5.000/muatan, serta biaya muat Rp. 2.000,/karung (Rp. 20-25,-/Kg); dan (d) Besarnya biaya angkut sepenuhnya menjadi tanggungan pedagang besar antar daerah atau pemasok ke industri pengolahan, di mana untuk tujuan pasar Bandung sebesar Rp. 20.000/karung, Bogor Rp. 30.000/karung, Jakarta Rp. 25.000/karung, Cirebon Rp. 10.000/karung, dan Jatibarang Rp 15.000,-/Kg. Beberapa faktor yang mendorong beberapa pedagang (pedagang pengumpul, pedagang kaki tangan/komisioner, pedagang besar antar daerah, serta pedagang pemasok industri pengolahan/supplier) yang melakukan transaksi di Pasar Induk Sengon, Kecamatan Tanjung, antara lain adalah : (a) Memperoleh kemudahan atau jaminan pasokan komoditas cabai merah; (b) Mencapai skala ekonomi yang efisien dalam pengangkutan; (c) Memperoleh jaminan pemasaran dengan harga yang bersaing; dan (d) Stabilitas keuntungan terjamin; serta (e) Bagi pedagang komisioner untuk mendapatkan komisi atau fee.
12
Strategi atau kiat yang digunakan pedagang untuk melakukan transaksi di Pasar Induk Cabai Merah, antara lain adalah : (a) Pentingnya saling menjaga komitmen; (b) Saling percaya mempercayai; (c) Saling menghargai peran masing-masing pihak; dan (d) Dalam batas-batas tertentu saling terbuka (transparancy) dalam hal harga; serta (e) Tindakan masing-masing pihak dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa kendala dalam melakukan transaksi antar pelaku dalam wadah Pasar Induk Cabai Merah, antara lain adalah : (a) Volume produksi cabai merah besar di daerah sentra produksi Brebes stagnan dan ada indikasi penurunan; (b) Terjadinya penurunan frekuensi panen, sehingga kontinyuitas pasokan sedikit terganggu; (c) Jumlah pedagang terlalu banyak, terutama pedagang komisioner; dan (d) Harga sangat berfluktuasi; serta (e) Pengelolaan Pasar Induk belum optimal. Beberapa masukan dan saran dari beberapa pelaku ekonomi di Pasar Induk, antara lain adalah : (a) Meningkatkan produktivitas cabai merah, melaui perbaikan dan adopsi teknologi budidaya; (b) Menjaga kontinyuitas produksi/pasokan, melaui perbaikan varietas dan penataan pola tanam; (c) menjaga kualitas cabai merah besar yang dihasilkan melalui penanganan pasca panen yang prima; (d) Memperbaiki akses pasar melalui pembangunan fasilitas pasar, prasarana jalan, dan fasilitasi informasi pasar; (e) Pengelolaan pasar yang baik terutama dalam penanganan bongkar-muat, penimbangan, serta pengangkutan. Pola Kemitraan Usaha antara Petani/Kelompok Tani dan Pedagang dengan Sub Terminal Agribisnis (STA) Pengembangan infrastruktur pasar berupa Sub Terminal Agribisnis (STA) di Provinsi Jawa Tengah terutama di Kabupaten Boyolali dan Magelang sesungguhnya terkait dengan pengembangan Kawasan Agropolitan Merapi dan Merbabu. Kawasan Agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hoerarki keruangan satuan sistem pemukiman dan sistem agribisnis (UU No. 26/2007). Hanya sayangnya pengembangan STA dan agropolitan di Kabupaten Boyolali di pusatkan di Kecamatan Ngampel yang lokasinya agak jauh dari Kawasan Merapi-Merbabu, sehingga banyak petani cabai merah keriting di daerah sentra produksi lahan kering dataran tinggi di Kecamatan Selo lebih akses ke STA Sewukan, Kecamatan Dukun dan ke Pasar Cepogo. Pembahasan kelembagaan pasar melalui STA akan difokuskan di STA Sewukan, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Pelaku yang yang terlibat dalam kelembagaan kemitraan pada komoditas hortikultura dataran tinggi (cabai merah) di STA Sewukan adalah petani secara individu atau kelompok tani/Gapoktan, pedagang pengumpul desa/antar desa, pedagang kaki tangan/komisioner, dan pedagang besar antar daerah. Dalam kelembagaan tersebut, petani atau kelompok tani/Gapoktan berperan sebagai produsen komoditas hortikultura dataran 13
tinggi (termasuk cabai merah), yang bertanggungjawab terhadap proses produksi cabai merah, menjualnya ke pedagang pengumpul atau langsung ke pedagang komisoiner di STA Sewukan dengan menggunakan tempat STA. Kelompok Tani/Gapoktan sama perannya dengan pedagang pengumpul yang berperan dalam mengumpulkan hasil dan memasok ke pedagang besar antar daerah melalui pedagang kaki tangan/komisioner. Kelembagaan pemasaran yang berlaku antara petani/kelompok tani dengan STA di Desa Sewukan, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang (berbatasan lokasi penelitian Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali) dapat melakukan transaksi langsung dengan pedagang besar antar daerah atau melaui mediasi pedagang kaki tangan/komisioner. Selanjutnya pedagang besar antar daerah memasarkan hasil ke berbagai tujuan pasar terutama Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Bandung, serta Luar Jawa (Bitung dan Palangkaraya). Aturan main yang berlaku pada kelembagaan kemitraan usaha antara berbagai pelaku usaha dalam kelembagaan STA Sewukan adalah sebagai berikut : (a) Pengelolaan STA yang menggunakan tanah bengkok kepala desa diatur melalui Peraturan Desa yang mengacu pada Peraturan Daerah; (b) Pengelola terdiri dari Ketua dan Wakil Pengelola, Sekretaris dua personil, Bendahara dua personil, Seksi Jaga Malam tiga personil, Seksi Kebersihan satu personil, Seksi Perlengkapan tiga personil, Seksi Humas tiga personil; (c) Untuk pelaku ekonomi yang menggunakan kios dan Los dikenakan sewa yang nilainya pada tahun 2001 sebesar (3x3 m2 Rp. 6 juta; 3x4 m2 Rp. 8 juta; 3x5 m2; 3x5 m2 Rp. 12 juta; 3x6 m2 Rp. 15 juta; 4x7 m2 Rp. 24 juta), sementara itu untuk nilai sewa saat ini telah mencapai (3x3 m2 Rp. 20 juta; 3x4 m2 Rp. 23 juta; 3x5 m2 Rp. 30 juta; 3x6 m2 Rp. 35 juta; 4x7 m2 Rp. 50 juta) dan biaya bulanan untuk kebersihan dan keamanan sebesar Rp. 10.000/bulan; (d) Untuk pedagang gendongan dan pedagang kaki lima dikenakan biaya retribusi Rp.500/hari; (e) Petani yang menjual melalui STA ini dikenakan biaya timbang, yang besarnya Rp. 1000/karung (setara Rp 1000/Kg atau Rp. 10/Kg); (f) Pedagang Kaki Tangan/Komisioner mencarikan barang (cabai merah) ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pedagang besar dengan pedagang kaki tangan, besarnya komisi adalah Rp. 2500,/Karung atau Rp. 25/Kg; (g) Pedagang besar antar daerah membayar retribusi sebesar Rp. 100/karung (Rp 10,-/Kg), biaya parkir Rp. 3.000/muatan untuk truk dan Rp. 4000/muatan untuk truk, serta biaya muat Rp. 2.000,-/karung (Rp. 20/Kg); dan (h) Besarnya biaya angkut sepenuhnya menjadi tanggungan pedagang besar antar daerah, di mana untuk tujuan pasar Bandung sebesar Rp. 30.000/karung, Bogor Rp. 45.000/karung, Jakarta Rp. 35.000/karung, Semarang Rp. 10.000/karung; Magetan Rp. 20.000/karung. Beberapa faktor yang mendorong petani/kelompok tani/Gapoktan dan beberapa pedagang (pedagang pengumpul, pedagang kaki tangan/komisioner, pedagang besar antar daerah) melakukan transaksi di STA Sewukan, antara lain adalah : (a) Memperoleh kemudahan atau jaminan pasokan berbagai komoditas sayuran dataran tinggi termasuk 14
cabai merah, di mana volume perdagangan untuk cabai merah keriting saja mencapai 3 ton/hari, sehingga pasokan terjamin; (b) Mencapai skala ekonomi yang efisien terutama dalam pengangkutan, karena pedagang dapat membeli berbagai komoditas hortikultura dataran tinggi (kurang ada 31 jenis komoditas yang diperdagangkan dengan volume masing-masing 0,5 Kw-20 ton/komoditas); (c) Memperoleh jaminan pemasaran dan harga yang bersaing; dan (d) Stabilitas keuntungan terjamin; serta (e) Bagi pedagang komisioner untuk mendapatkan komisi atau fee dari pedagang besar. Strategi atau kiat yang digunakan Pengelola dalam melakukan pengelolaam STA Sewukan, antara lain adalah : (a) Berdasarkan Peraturan Desa yang didasarkan Peraturan Daerah; (b) Pengembangan STA dan pengelolaannya ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat petani dan pelaku ekonomi lain; (c) Pentingnya saling menjaga komitmen terhadap tugas dan fungsi yang harus dijalankan masing-masing bagian; (d) Adanya kompatibilitas antar struktur yang dibangun dengan tugas atau fungsi yang dijalankan; (e) Melakukan koordinasi yang harmonis secara internal (antar bagian kelembagaan pengelola) dan koordinasi secara eksternal dengan pihak-pihak lain (pelaku ekonomi, pemerintah desa dan pemerintah daerah); (f) Saling menghargai peran masing-masing bagian; dan (g) Dalam batas-batas tertentu saling terbuka (transparancy) dalam hal manajemen administrasi dan keuangan; serta (h) Memberikan informasi yang akurat dan cepat terutama informasi barang yang masuk (jenis dan jumlahnya), permintaan pasar, dan informasi harga. Beberapa kendala atau permasalahan pokok dalam melakukan pengelolaan STA, antara lain adalah : (a) Beberapa bagian bangunan STA belum tertutup, sehingga kalau kondisi hujan dan panas berpengaruh buruk terhadap kualitas sayuran; (b) Kurangnya peralatan perkantoran bagi pengelola STA terutama Laptop dan LCD; (c) Kurangnya armada angkutan untuk sampah dan mobil kantor; (d) Kurang kualitas SDM pengelola terutama dari aspek manajemen, kepemimpinan dan kandungan kewirausahaannya; (e) Volume produksi beberapa komoditas sayuran masih harus didatangkan dari daerah sentra produksi lain; (f) Penanganan pasca panen dilakukan oleh pedagang pengumpul sehingga nilai tambah jatuh ke pedagang; (g) Harga sayuran terutama cabai merah sangat berfluktuasi; serta (h) Pengelolaan STA yang belum sepenuhnya optimal. Beberapa masukan dan saran dari beberapa pengelola STA Sewukan, antara lain adalah : (a) Meningkatkan produktivitas komoditas sayuran unggulan di Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu, melalui perbaikan dan adopsi teknologi budidaya; (b) Menjaga kontinyuitas produksi/pasokan, melaui perbaikan varietas dan penataan pola tanam; (c) menjaga kualitas sayuran (cabai merah keriting) yang dihasilkan melalui penanganan pasca panen yang prima; (d) Memperbaiki akses pasar melalui pembangunan fasilitas STA, prasarana jalan, dan fasilitasi informasi pasar; (e) Pengelolaan STA yang lebih baik terutama dalam penanganan bongkar-muat, penimbangan, pengangkutan, serta penanganan sampah. 15
Pola kemitraan Usaha antara PT. Henz ABC dengan Petani Mitra. PT. Heinz ABC-Indonesia memiliki usaha divisi agro processing dengan produk seperti sambal, saos, dan kecap. Untuk menyuplai bahan produksi ditangani oleh bagian procurement (pengadaan), bukan purchasing (pembelian). Dalam pemenuhan bahan baku dilakukan kemitraan dengan para petani maupun suplier (pemasok). Pengadaan barang PT ABC dilakukan dengan 4 cara, yaitu: (1) Impor, (2) Kontrak dengan suplier, (3) Kontrak dengan grower, dan (4) Kontrak dengan farmer/kelompok tani/Gapoktan. Komposisi pengadaan pada saat ini masih didominasi oleh suplier (70%), farmer/grower (20%) dan impor (10%). Di masa mendatang PT ABC memiliki target pengadaan dari grower/farmer bisa mencapai 40 persen. Dengan demikian kemungkinan dilakukan kontrak/kemitraan dengan petani masih sangat terbuka. Mekanisme kerjasama kemitraan yang ditempuh selama ini adalah langsung ke pelaku usaha pertanian (famer/grower/suplier). Pola kemitraan usaha yang dijalankan selama ini bermacam-macam bentuknya, diantaranya: (1) PT ABC melakukan kontrak langsung dengan kelompok tani/Gapoktan/Paguyupan Kelompok Tani (PKT); (2) PT. Henz ABC menandatangani kontrak dengan grower, selanjutnya grower bermitra dengan petani; (3) PT. Henz ABC kontrak dengan kelompok tani/Gapoktan dan ada investor yang kontrak dengan PT. ABC serta ke Gapoktan/Kelompok tani. Kemitraan Usaha antara PT Henz ABC dengan Petani Mitra di Daerah Sentra Produksi Lahan Sawah Dataran Rendah. Pada daerah sentra produksi lahan sawah dataran rendah ditemukan di Desa Sidomoro, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali serta di Desa Demak Ijo, Kecamatan Karangnongko dan Desa Gatak, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten. Pola kemitraan antara PT. Henz ABC dengan petani mitra hanya untuk komoditas cabai merah besar dengan varietas yang telah ditentukan, yaitu Varietas Biola, Hot Beuty, dan Hot Chili. Pelaku yang yang terlibat adalah Gapoktan/Kelompok Tani, Petani peserta/Petani Mitra, pemasok saprodi (benih cabai merah besar PT Surya Mentari), Grower yang juga bertindak sebagai pemasok/supplier (Ibu Hajah Astuti, dari Duyungan, Sragen) dan PT Henz ABC. Gapoktan Sumber Lestari merupakan wadah daripada kelompok-kelompok tani di sekitarnya, seperti Kelompok Tani Dewi Murni I, II dan III. Gapoktan ini terbentuk karena adanya program Program Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Selain tergabung dalam kelembagaan Gapoktan, masing-masing Kelompok Tani juga memiliki Koperasi Kelompok Tani (KKT) Sumber Lestari. Koperasi ini diharapkan dapat berperan dalam penyediaan saprodi, mengembangkan komoditas yang berorientasi pasar (cabai merah), serta memasarkan hasil. Sementara itu, di Kabupaten Klaten kemitraan serupa juga dibangun, seperti antara PT. Henz ABC dengan Kelompok Tani Jujur dan Makmur di 16
Desa Demak Ijo, Kecamatan Karangnongko dan Kelompok Tani Ngudi Makmur di Desa Gatak, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten. Aturan main yang berlaku pada kelembagaan kemitraan usaha antara PT. Henz ABC dengan Gapoktan/Kelompok Tani dituangkan dalam kontrak kerjasama. Kewajiban Gapoktan/Kelompok Tani : (1) menyediakan lahan minimal 5 hektar untuk budidaya cabai merah besar, dalam pelaksanaannya KT dapat menyediakan 10 hektar lahan; (2) Menanam varietas cabai yang telah ditentukan mitra, yaitu Varietas Biola, Hot Beauty, atau Hot Chili, dalam pelaksanaannya sebagian besar petani memilih Varietas Biola, karena dipandang lebih unggul; (3) Dalam 1 hektar, jumlah tanaman cabe sekitar 15 000 batang, dengan produktivitas sekitar 1.5 kg/batang, PT Heinz ABC sesuai dengan syarat-syarat kualitas yang ditetapkan menetapkan produktivitas 0.8 kg/batang, untuk cabai merah besar yang tidak sesuai dengan persyaratan kualitas dapat dijual di pasar bebas; (4) Dalam pemasaran hasil, Gapoktan/Kelompok Tani tidak diperkenankan menjual produk di luar PT Heinz ABC, sebelum memenuhi kewajiban ke pihak mitra; (5) Standar kualitas cabai merah besar harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut: (a) Warna merah mulus; (b) Panjang buah : 9.5-14.50 cm; (c) Maksimal cacat fisik, seperti busuk atau pecah maksimal 1.5 persen; (d) Maksimal cacat warna buah maksimal 1.5 persen; (e) Tingkat kepedasan: terdeteksi di atas 400 x pengenceran; (f) Penampilan: segar, tanpa tangkai dan batang; (g) Rasa: Pedas cabe, tidak pahit; (h) Pengepakan: Dengan plastik kapasitas 50 kg; (5) Jumlah cabai merah besar yang dikirim, dengan produksi 0.80 kg/tanaman, dengan jadwal pengiriman berlaku selama musim tanam (empat bulan masa tunggu panen dan tiga bulan masa panen), dengan waktu pengirman 3 hari sekali. Kewajiban PT Heinz ABC sebagai perusahaan mitra adalah: (a) Menyediakan sarana produksi terutama benih cabai merah dengan varietas yang telah disepakatani, sedangkan sarana produksi lain tergantung kesepakatan, penyediaan dapat dilakukan pihak ketiga; (b) Melakukan bimbingan teknis budidaya dan penanganan pasca panen; (c) PT Heinz ABC akan melakukan penampungan/pembelian cabai merah besar, bisa secara langsung maupun melalui supplier/pemasok dengan harga yang sudah ditetapkan dan pembayaran dilakukan paling lama tiga minggu setelah barang diterima. Kelembagaan Gapoktan/Kelompok Tani baik di Desa Sidomoro, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali serta di Desa Demak Ijo, Kecamatan Karangnongko dan Desa Gatak, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten pernah menjalin kemitraan usaha komoditas cabai merah besar dengan PT Heinz ABC, pada tahun 2006, 2007 dan 2008. Pada tahun 2007, kemitraan usaha pada daerah sentra produksi lahan sawah dataran rendah di Klaten kurang berhasil dan tidak dilanjutkan, kemudian menyusul pada Tahun 2008 kemitraan usaha yang sama di Boyolali juga mengalami kegagalan dan tidak dilanjutkan lagi. Beberapa penyebab kurang berhasilnya kemitraan usaha pada daerah sentra produksi lahan sawah dataran rendah, antara lain adalah : (1) Sebagian besar petani yang 17
bermitra (60-70 %) kurang berhasil, yang terutama disebabkan kurang bagusnya kualitas benih cabai merah besar yang di sediakan PT. Surya Mentari dan adanya serangan hama penyakit; (2) Banyak petani (50 %) yang mengalami kerugian secara ekonomi; (3) Penyediaan benih yang agak terlambat; (3) Standar kualitas yang ditetapkan sangat tinggi dan banyak kriteria yang harus dipenuhi; dan (4) Harga kontrak yang ditetapkan jauh di bawah harga pasar (pada tahun 2007 harga kontrak Rp. 4000./Kg dengan tangkai atau Rp.4.150 tanpa tangkai VS harga pasar Rp. 6000/Kg). Beberapa masukan dan saran dari Gapoktan/Kelompok Tani, antara lain adalah : (a) Meningkatkan kualitas benih cabai merah yang disediakan oleh perusahaan pembibitan mitra PT. ABC dan dengan pilihan jenis varietas yang lebih beragam; (b) Meningkatkan produktivitas dan kontinyuitas produksi/pasokan melaui perbaikan teknologi budidaya; (c) menjaga kualitas cabai merah besar yang dihasilkan melalui penanganan pasca panen yang prima; (d) Memperbaiki kesepakatan harga kontrak dengan mempertimbangkan perkembangan biaya produksi dan harga cabai merah besar di pasar, diperkirakan Rp.5.500/Kg dengan tangkai dan Rp.6.000,-/Kg tanpa tangkai; (e) Membangun kelembagaan kemitraan usaha yang dapat saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan, sehingga tingkat, stabilitas, dan kontinyuitas pendapatan terjamin. Kemitraan Usaha antara PT Henz ABC dengan Petani Mitra di Daerah Sentra Produksi Lahan Kering Dataran Tinggi Pada daerah sentra produksi lahan kering dataran tinggi kemitraan usaha antara PT Henz ABC ditemukan antara Paguyupan Kelompok Tani/Kelompok Tani ditemukan di Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali dan di Desa Kuta Bawah, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga. Paguyupan Kelompok Tani (PKT) Setyo Tunggal dibentuk pada tahun 2003, membawahi 12 kelompok tani (KT) yaitu : Kelompok Tani Manunggal, Usaha Mandiri, Cabe Rawit, Ngudi Makmur, Sedyo Makmur, Mekar Sari, Anggun Merbabu (Kelompok Wanita Tani/KWT), Karya Makmur, Sido Asih, Harapan Makmur, Asri Merapi dan Sarana Tani. Dari keduabelas kelompok tersebut terdapat lima kelompok tani yang merupakan binaan perusahaan PT ABC, yaitu : Kelompok Tani Usaha Mandiri, Manunggal, Ngudi Makmur, Sido Asih, dan Sarana Tani. Struktur organisasi PKT Setyo Tunggal terdiri atas: Ketua Pengurus, Ketua Pelaksana, Seksi Pertanian, Seksi Ekonomi, Seksi Pendidikan dan Seksi Pemberdayaan Perempuan. Sementara itu, struktur organisasi untuk Kelompok Tani Berkah Cabe terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, serta Seksi Produksi, Seksi Pemasaran, dan Seksi Humas. Pelaku yang yang terlibat dalam kelembagaan kemitraan pada komoditas cabai merah besar pada lahan kering dataran tinggi adalah Petani mitra/Kelompok Tani/Paguyupan Kelompok Tani (PKT), pemasok saprodi (benih cabai merah besar PT Surya Mentari), dan PT Henz ABC. Kemitraan usaha dengan PKT Setyonunggal baru di 18
mulai pada Tahun2007, sedangkan dengan Kelompok Tani Berkah Cabe sudah dimulai sejak tahun 2004. Aturan main yang berlaku pada kelembagaan kemitraan usaha antara PT. Henz ABC dengan PKT/Kelompok Tani Binaan di Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali dan Kelompok Tani Berkah Cabe pada daerah sentra produksi lahan kering di dituangkan dalam kontrak kerjasama. Dalam menjalin kemitraan dengan PT ABC, dilakukan secara berjenjang, sebagai ilustrasi aturan main antara PKT Setyo Tunggal yang bertindak atas nama supplier cabai merah dengan kelompok tani dituangkan dalam surat perjanjian No: PPST/12/15-04/2007. Adapun isi dari surat perjanjian tersebut adalah bahwa keduabelah pihak sepakat untuk menjalin kemitraan usaha pengadaan jual beli cabe merah varietas biola di Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Berbeda halnya dengan kemitraan usaha dengan Kelompok Tani Berkah Cabe di Desa Kuta Bawah, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbaling kesepakatan kontrak dilakukan langsung antara PT. Henz ABC dengan Kelompok Tani. Kewajiban PT Heinz ABC sebagai mitra, antara lain adalah: (a) Menyediakan sarana produksi terutama benih cabai merah dengan varietas yang telah disepakati, sedangkan sarana produksi lain tergantung kesepakatan, penyediaan dapat dilakukan pihak ketiga (perusahaan pembibitan, PKT); (b) Melakukan bimbingan teknis budidaya dan penanganan pasca panen, yang disertai dengan pendampingan dari Technical Services dari PT. Henz ABC; (c) PT Heinz ABC akan melakukan penampungan atau pembelian cabai merah besar, bisa secara langsung maupun melalui supplier/pemasok; (c) PT. Heinz ABC berkewajiban membeli semua produksi (yang memenuhi kriteria) yang dihasilkan anggota PKT/Gapoktan/Kelompok Tani dengan harga yang sudah ditetapkan dan pembayaran dilakukan paling lama tiga minggu setelah barang diterima. Dalam melakukan kemitraan, harga jual cabe yang telah ditetapkan yaitu Rp. 3.750 dengan sistem bagi hasil keuntungan. Keuntungan dibagi dua 50 persen untuk pihak Paguyuban dan 50 persen lagi untuk kelompok tani, setelah dikurangi modal. Harga kontrak cabai besar terima di Pabrik (franco pabric) dari tahun ke tahun selalu mengalami perkembangan, harga kontrak (frangko pabrik) selama ini adalah sebagai berikut: tahun 2005 (Rp 5200/kg); 2006 (Rp. Rp 5500/kg); 2007 (Rp. 5750/kg) dan tahun 2008 (Rp. 6500). Dalam perjanjian tersebut beberapa kewajiban PKT sebagai supplier kepada kelompok tani/petani mitra, yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut : (1) Memberi pinjaman modal sebesar Rp. 42.238.000,- kepada kelompok tani, untuk penanaman cabai merah besar varietas Biola; (2) Melakukan pembelian cabe besar, dan secara bersamasama mengirim ke pabrik yang telah ditunjuk. Sementara itu, PKT berhak mendapatkan bagi hasil keuntungan sesuai kesepaktan (50 % : 50 %)
19
Adapun kewajiban kelompok tani/petani mitra adalah: (1) Menanam cabe merah besar sesuai spesifikasi dalam jangka waktu perjanjian selama satu musim tanam (April s/d September); (2) Tidak diperbolehkan melakukan transaksi jual beli cabe merah besar dengan pihak lain tanpa persetujuan secara tertulis sebelum memenuhi kewajiban yang telah ditentukan; (3) Cabe yang dapat dibeli oleh Paguyuban adalah yang sesuai dengan spesifikasi sebagai berikut: (a) Warna: merah mulus; (b) Panjang: 9,5-14,5 mm; (c) Tingkat kebusukan/ bercak maksimal 1,5%; (d) color defek: max 1,5% (kelopak, bening, Petek); (e) Hotnes level: Detectable on 400 x dilution (diatas 400 kali pengenceran); (f) Tampilan: segar, tanpa tangka dan batang; (g) Rasa: pedas tidak pahit; (h) Kemasan plastik container kapasitas 25 kg; (4) Jumlah cabe yang dikirim adalah 0,7 kg per tanaman pada masa panen. Sedang kelebihannya dapat dijual ke paguyuban dengan harga berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Kerjasama kemitraan yang dilakukan oleh PKT Setyo Tunggal dengan Grower PT. Heinz ABC Indonesia dilakukan melalui surat perjanjian kerja No 3/02/07, bahwasanya kedua belah sepakat untuk pengikatan pengadaan jual beli cabai merah besar (Casium annum var. Grossum) kultivar Biola, di Desa Tarubatang, kecamatan Selo, kabupaten Boyolali dengan luas 6 hektar. Demikian juga halnya antara Kelompok Tani Berkah Cabe dengan Grower juga dituangkan dalam surat perjanjian. Harga jual cabe yang ditetapkan Rp 4000 per kilogram. Pembayaran oleh PT ABC kepada Pihak kelompoktani Setyo Tunggal dan Kelompok Berkah Cabe dilakukan setiap minggu setelah barang diterima dengan sistem cek mundur atau transfer. Beberapa kendala dan permasalahan pokok yang dihadapi dalam membangun kemitraan usaha antara PT. Henz ABC dengan PKT/Kelompok Tani, antara lain adalah : (1) Target produksi seringkali tidak tercapai, karena masih rendahnya produktivitas yang dicapai petani mitra; (2) Standar kualitas yang belum sepenuhnya bisa dipenuhi, karena teknologi budidaya yang belum mengikuti anjuran dan penanganan pasca panen yang belum prima; (3) Kurangnya permodalan petani, sementara itu usahatani cabai adalah padat modal dan sekaligus padat tenaga kerja; (4) Harga kontrak yang dipandang rendah dan selalu dibawah harga pasar; (5) Standar kualitas yang ditetapkan terlalu ketat, sehingga seringkali petani mendapatkan rafaksi (potongan harga); dan (6) masalah kurangnya komitment petani, terutama jika terjadi harga di pasar lebih tinggi dari harga kontrak. Saran untuk mendapat prioritas utama untuk meningkatkan kualitas produk petani adalah perlu adanya perbaikan mutu benih dan teknologi budidaya. Selain itu pendanaan juga menjadi faktor kunci. Modal ini masih jadi kendala, terutama bagi petani kecil. Penetapan harga kontrak perlu mempertimbangkan biaya produksi dan perkembangan harga pasar. Khusus untuk pemerintah hendaknya memperhatikan masalah permodalan, meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan, serta kegiatan penyuluhan untuk 20
budidaya cabai merah secara baik. Standar kualitas diharapkan moderat dengan pembedaan harga yang tidak tajam. Perlu meningkatkan komitmen petani dalam membangun kemitraan usaha yang saling membutuhkan, memperkuat, dan saling menguntungkan. SIMPUL-SIMPUL KRITIS PENENTU KEMITRAAN USAHA AGRIBISNIS CABAI MERAH YANG BERDAYA SAING Dalam pengembangan kelembagaan kemitraan usaha cabai merah yang berdayasaing terdapat 10 aspek yang penting dipertimbangkan (Saptana, et. al., 2006). Kesepuluh aspek tersebut dengan melakukan beberapa penyesuaian sesuai spesifik lokasi dan komoditas cabai merah, antara lain adalah: (1) Membangun kemitraan usaha melalui proses sosial yang matang ; (2) pentingnya membangun saling kepercayaan; (3) Perencanaan dan pengaturan produksi; (4) Pentingnya pemahaman terhadap jaringan agribisnis; (5) Jaminan pasar dan kepastian harga; (6) konsolidasi kelembagaan di tingkat petani; (7) Meletakkan koordinasi vertikal secara tepat; (8) Kandungan kewirausahaan; (9) Sistem koordinasi antar kelembagaan/pihak; dan (10) Pengembangan sistem informasi. Membangun Kemitraan Usaha Melalui Proses Sosial yang Matang Membangun kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan mengenal dan mengidentifikasi secara cermat calon mitra, mengetahui keunggulan dan kelemahan usahanya, memulai membangun strategi dan mekanisme bermitra, melaksanakan kemitraan usaha, serta melakukan monitoring dan mengevaluasi sampai target atau sasaran tercapai. Rangkaian urutan proses pengembangan kemitraan usaha merupakan proses yang beraturan, yaitu : (1) membangun hubungan harmoni antar calon pihak yang bermitra; (2) mengerti kondisi bisnis pihak-pihak yang bermitra; (3) mengembangkan strategi dan menilai detail bisnis; (4) mengembangkan program dalam kemitraan usaha; (5) memulai pelaksanaan kemitraan usaha; dan (6) memonitor dan mengevaluasi perkembangan kemitraan usaha yang dibangun (Ditjen Horti, 2002). Hasil evaluasi terhadap kinerja kelembagaan kemitraan usaha pada berbagai pola kemitraan pada cabai merah besar baik pada lahan sawah dataran rendah maupun lahan kering dataran tinggi menunjukkan masih belup optimalnya proses sosial yang dibangun, cenderung mekanistik dan hanya didasarkan untung-rugi, serta kurang memperhatikan aspek kohesi sosial antar pihak yang bermitra. Membangun Saling Kepercayaan Dyer et al. (2002) mengemukakan ada empat isu sentral berkaitan dengan kepercayaan (trust), yaitu: (1) menyangkut risiko dan ketidakpastian; (2) kemauan untuk menerima saran dan kritikan; (3) adanya harapan dan saling ketergantungan; dan (4) 21
kesediaan berbagi nilai atau berkontribusi. Kemitraan usaha adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan, memperkuat, dan saling menguntungkan. Karena merupakan strategi bisnis, maka keberhasilan kemitraan usaha sangat ditentukan kemampuan menciptakan saling kepercayaan (trust) dan komitmen diantara pihak-pihak yang bermitra dalam menjalankan perjanjian yang telah disepakati. Dalam pengertian ini pelaku-pelaku yang tercakup dalam kemitraan harus memiliki dasardasar etika bisnis (saling percaya, kon-sisten, dan disiplin). Hasil kajian di lapang menunjukkan bahwa kesaling kepercayaan dalam kemitraan usaha cabai merah besar pada daerah sentra produksi lahan kering relatif lebih baik dibandingkan pada lahan sawah dataran rendah. Hal ini dapat ditunjukkan berlanjutnya kemitraan usaha yang terbangun pada daerah sentra produksi lahan kering dataran tinggi baik di Kabupaten Boyolali maupun di Kabupaten Purbalingga. Perencanaan dan Pengaturan Produksi Sistem produksi komoditas cabai merah di kawasan sentra produksi baik pada lahan sawah dataran rendah maupun lahan kering dataran tinggi masih dicirikan oleh orientasi produk cabai merah segar tanpa penanganan bernilai tambah rendah, belum berorientasi pada produk cabai merah segar melalui penanganan pasca panen secara prima yang bernilai tambah tinggi. Masih terbatasnya sumber dan penerapan teknologi, baik teknologi pembibitan, budidaya, serta panen dan pasca panen menjadikan produk cabai merah menyebabkan belum terjaminnya jumlah, kualitas dan kontinuitas produk cabai merah terutama untuk tujuan perusahaan industri pengolahan dan super market/hipermarket. Dengan basis data dan informasi yang tersedia pada Pasar Induk (kasus di Kabupaten Brebes) dan STA Ngampel dan Sewukan (kasus di Kabupaten Boyolali), serta PT. Henz ABC sebagai perusahaan mitra, maka diharapkan kelembagaan kemitraan usaha yang dibangun dapat melakukan perencanaan dan pengaturan produksi melalui kesepakatan pengaturan jenis varietas, saat tanam, dan skala atau luas areal yang harus diusahakan pada masing-masing PKT/Gapoktan/Kelompok Tani, sesuai dinamika permintaan pasar atau kesepakatan antar pihak yang bermitra. Pemahaman Terhadap Jaringan Agribisnis Pemahaman terhadap jaringan agribisnis sangat penting, karena mustahil merekayasa sistem kelembagaan kemitraan usaha agribisnis cabai merah yang berdaya saing tanpa pengetahuan yang memadai tentang sistem jaringan agribisnis. Sistem jaringan agribisnis cabai merah pada sentra produksi lahan sawah dataran rendah dan lahan kering dataran tinggi di Jawa Tengah, menyangkut pola-pola usaha agribisnis, skala pengusahaan, dan konfigurasinya dari sistem pengadaan saprodi, usahatani, pasca panen dan 22
pengolahan, serta sistem distribusi dan pemasarannya. Sistem agribisnis cabai merah mempunyai implikasi yang sangat penting terhadap sistem kelembagaan kemitraan usaha yang akan dikembangkan. Sistem agribisnis cabai merah yang umumnya skala kecil dengan tujuan pasar yang berbeda (pasar lokal, regional dan ekspor; pasar tradisional atau pasar modern; serta konsumen rumah atau konsumen institusi) membutuhkan sistem kelembagaan yang berbeda-beda. Jaminan Pasar dan Kepastian Harga Dalam kemitraan usaha hal terpenting menurut perusahaan mitra adalah adanya jaminan pasokan yang memenuhi volume, jenis (varietas), spesifikasi produk (kualitas), dan kontinuitas; sedangkan bagi petani adalah adanya jaminan pasar dan kepastian harga (Saptana et al., 2005; dan Saptana et.al., 2006). Kendala yang dihadapi petani cabai merah di daerah sentra produksi Jawa Tengah utamanya adalah masalah fluktuasi harga yang tajam. Bagi petani, dinamika harga masukan (input) dan ekspektasi harga keluaran (output) menentukan keputusan mengenai jenis/varietas, jumlah, kualitas, waktu, serta metode berproduksi dalam kegiatan usahataninya. Dengan demikian, dinamika harga masukan dan keluaran harus menjadi pertimbangan penting dalam membangun kelembagaan kemitraan usaha cabai merah yang berdaya saing. Dalam kontek ini, prosedur penetapan harga dalam kontrak menjadi sangat krusial. Dengan adanya jaminan pasar dan kepastian harga melalui kemitraan usaha akan menjamin pasokan perusahaan mitra, mengurangi risiko petani, dan menjamin keberlanjutan kemitraan usaha. Konsolidasi Kelembagaan di Tingkat Petani Hasil kajian di lapang menunjukkan lemahnya struktur, fungsi, dinamika, dan konsolidasi kelompok tani, sehingga menempatkan posisi perwakilan masyarakat petani lemah dalam kelembagaan kemitraan usaha. Hasil kajian juga menunjukkan posisi rebut tawar petani lemah dalam kemitraan usaha dengan PT. Henz ABC, Pengelolaan Pasar Induk, dan Pengelolaan STA. Secara normatif, konsolidasi kelembagaan di tingkat petani haruslah dapat meningkatkan posisi tawar petani baik di pasar input maupun pasar output, meningkatkan efisiensi dan produktivitas usahatani, mencapai skala usaha yang efisien, yang pada akhirnya akan meningkatkan dayasaing agribinis cabai merah secara keseluruhan. Meletakkan Integrasi-Koordinasi Vertikal Secara Tepat Simatupang et al. (1998) mengemukakan keterpaduan vertikal agribisnis dapat dibedakan sesuai bentuk pilihan alat koordi-nasinya, yaitu melalui pasar atau menurut organisasi (kelembagaan kemitraan usaha). Selanjutnya dikatakan, bahwa untuk mendukung strategi pemenuhan preferensi konsumen, keterpaduan yang dikoordinir oleh 23
sistem pasar tidak dapat menjamin preferensi konsumen terpenuhi. Sementara itu koordinasi melalui organisasi agribisnis melalui kelembagaan kemitraan usaha dapat menjamin preferensi konsumen. Saragih (1998) mendefinisikan integrasi vertikal sebagai penguasaan atas seluruh atau sebagian besar jaringan agribisnis dari industri hulu hingga industri hilir, di mana keseluruhan unit perusahaan berada dalam satu manajemen pengambilan keputusan. Implementasi konsep integrasi vertikal harus mempertimbangkan hal-hal berikut: (1) Pengelolaan integrasi/koordinasi vertikal dalam agribisnis cabai merah harus mampu mencapai efisiensi tertinggi dan stabilitas harga secara dinamis; (2) Pengelolaan integrasi/koordinasi vertikal harus mampu menjamin harmonisasi antar pelaku agribisnis, baik harmonisasi proses maupun produk; dan (3) Pengelolaan integrasi vertikal/koordinasi harus dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan antar pihak-pihak yang bermitra terutama petani mitra. Aspek Kewirausahaan Kewirausahaan merupakan aspek penting dalam menghasilkan produk cabai merah yang berdaya saing tinggi. Kemampuan daya saing produk cabai merah yang dihasilkan oleh pelaku agribisnis sangat dipengaruhi oleh seberapa besar kandungan semangat kewirausahaan sebagai energi (daya kerja) untuk menghasilkan produk cabai merah tersebut (Pranadji, 2003). Sebagai ilustrasi, jika mutu kewirausahaan dalam kegiatan usahatani cabai merah rendah (menghasilkan cabai merah berkualitas rendah dan biaya produksi tinggi), maka ham-pir dapat dipastikan produk akhir cabai merah yang dihasilkan tidak atau kurang memiliki daya saing di pasar, apalagi jika ditujukan untuk segmen pasar tertentu seperti industri pengolahan dan super market/hiper market, serta ekspor. Koordinasi Secara Internal dan Eksternal Belum Efektif Koordinasi yang efektif menjadi kata kunci dalam membangun kemitraan usaha cabai merah yang berdayasaing. Koordinasi dalam kelembagaan kemitraan usaha mencakup koordinasi internal atau antar bagian dalam suatu kelembagaan, misalnya antar anggota kelompok tani dengan kelompok tani serta antar kelompok tani dengan Paguyupan Kelompok Tani (PKT)/Gapoktan. Sementara itu, koordinasi secara eksternal adalah koordinasi antar kelembagaan, misalnya antara PKT/Gapoktan/Kelompok Tani dengan (Grower, pemasok saprodi, lembaga pembiayaan, supplier, PT. Henz ABC). Koordinasi yang efektif akan dapat dijalankan dengan baik jika ada aturan main (awigawig) yang jelas, antara lain pembagian kerja secara organik (spesialisasi), pola interaksi yang harmonis, serta pembagian hak dan kewajiban secara adil. Pengembangan Sistem Informasi Informasi merupakan input utama dalam sistem usaha bisnis apapun. Pengembangan sistem informasi dalam kelembagaan kemitraan usaha bukan saja 24
menyangkut informasi tentang sistem pengadaan, distribusi, serta harga input dan output, tetapi juga dalam konteks hubungan antar sub sistem dalam agribisnis cabai merah baik secara horisontal maupun secara vertikal. Ketersediaan data dan informasi baik yang menyangkut aspek produksi, pemasaran, pengolahan, dan permintaan (pasar lokal, regional dan ekspor; pasar tradisional atau pasar modern; serta konsumen rumah atau konsumen institusi) merupakan input utama dalam pengoperasian kelembagaan kemitraan usaha agribisnis cabai merah yang berdaya-saing. Pengembangan sistem informasi yang handal sangat berguna untuk mempermudah eksekusi suatu aktivitas dan merupakan determinan dari sistem koordinasi yang harus dijalankan dalam kelembagaan kemitraan usaha, baik secara internal maupun eksternal. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
1. Keberhasilan dalam membangun kemitraan usaha dalam rangka peningkatan dayasaing agribisnis cabai merah pada daerah sentra produksi baik pada lahan sawah dataran rendah maupun lahan kering dataran tinggi akan sangat ditentukan beberapa prinsip dasar dalam membangun kemitraan usaha, yaitu : (1) Adanya kesetaraan (equality) di antara pihak-pihak yang bermitra, sehingga menciptakan posisi tawar (bargaining position) yang relatif berimbang; (2) Adanya saling kepercayaan (mutual trust) antara pihak-pihak yang bermitra, sehingga terbangun komitmen yang tinggi sehingga dapat saling memperkuat; (3) Keterbukaan (tranparancy) antara pihak-pihak yang bermitra, terutama dalam pembagian hak dan kewajiban, dalam penetapan kontrak (penetapan harga), dan penegakan kontrak berdasarkan prinsip kesetaraan; (4) dapat dipertanggungjawabkan (accountability), tindakan masing-masing pihak harus dapat dipertanggungjawabkan dan tidak mensederai satu dengan yang lain; (5) Kemampuan petani mitra dalam menghasilkan produk cabai merah yang dapat memenuhi jenis, jumlah, spesifikasi produk/kualitas, dan kontinuitas pasokan sesuai permintaan pasar yang dikoordinasikan oleh perusahaan mitra; serta (6) Kemampuan menembus dan memperluas jaringan pasar oleh perusahaan mitra dan kemampuan pendalaman industri pengolahan melalui pengembangan produk. 2. Secara empiris terdapat dua pola kelembagaan kemitraan usaha pada komoditas cabai merah yaitu : (a) Pola dagang umum dengan berbagai variasainya (termasuk kelembagaan pasar melalui pasar induk komoditas); dan (b) Kelembagaan kemitraan usaha contrac farming dengan berbagai variasinya, seperti yang dikembangkan PT. Henz ABC sebagai perusahaan mitra. Beberapa keunggulan pola dagang umum, antara lain adalah : (a) lebih fleksibel, karena didasarkan atas ikatan-ikatan informal (berupa ikatan langganan, modal tanpa bunga, komisi, serta ikatan sosial lainnya); (b) pedagang memiliki jaringan pasar yang luas dan tidak mengikat; (c) Memiliki fleksibilitas keluar 25
masuk pasar; dan (d) Dapat menampung hasil produksi cabai merah pada hampir semua kelas kualitas. Beberapa kelemahan pola dagang umum ini adalah : (a) efisiensi dalam pengumpulan hasil rendah karena produksi cabai merah tersebar secara luas; (b) efisiensi dalam pengangkutan rendah karena seringkali tidak mencapai skala angkut maksimal; (c) fluktuasi harga tajam karena mengikuti mekanisme pasar; dan (d) Kurang mendorong petani untuk peningkatan kualitas hasil karena sistem pembelian dari pedagang seringkali dilakukan dengan sistem borongan, tebasan, dan ijon, meskipun ada yang memasarkan dengan sistem timbang. 3. Keunggulan pada pola kemitraan usaha (contrac farming) yang banyak dijumpai dalam bentuk kontrak pemasaran, antara lain adalah : (a) Efisiensi dalam pengumpulan hasil tinggi karena kontrak dilakukan secara berkelompok melalui PKT/Gapoktan/Kelompok Tani; (b) Efisiensi dalam pengangkutan tinggi karena dapat dicapainya skala angkut maksimal; (c) Harga relatif stabil karena harga ditetapkan dengan sistem kontrak di mana harga ditetapkan saat sebelum tanam; dan (d) Mampu mendorong petani untuk menghasilkan produk berkualitas; serta (e) Menjamin kepastian kontinyuitas pasokan bagi perusahaan mitra, karena ada perencanaan produksi (perencanaan luas areal, jadwal tanam, jadwal panen). Beberapa kelemahan pola kemitraan usaha (contrac farming), antara lain adalah : (a) Kelembagaan kemitraan usaha umumnya bersifat rigid karena didasarkan atas ikatan-ikatan formal yang mengikat, dengan sistem insentif dan sangsi (reward and punishment) yang jelas; (b) Biasanya Perusahaan Mitra memiliki jaringan pasar yang bersifat khusus (supermarket, industri pengolahan, restaurant dan hotel, serta ekspor) dengan persyaratan standar mutu yang ketat; (c) Tidak adanya fleksibilitas keluar masuk pasar secara bebas, karena sudah terikat kontrak pemasaran; dan (d) Hanya dapat menampung hasil produksi produk cabai merah yang memenuhi standar kualitas yang telah ditentukan oleh ke dua belah pihak. 4. Dalam pengembangan kelembagaan kemitraan usaha cabai merah yang berdayasaing terdapat 10 aspek yang penting, antara lain adalah: (1) Membangun kemitraan usaha melalui proses sosial yang matang ; (2) pentingnya membangun saling kepercayaan; (3) Perencanaan dan pengaturan produksi; (4) Pentingnya pemahaman terhadap jaringan agribisnis; (5) Jaminan pasar dan kepastian harga; (6) konsolidasi kelembagaan di tingkat petani; (7) Meletakkan koordinasi vertikal secara tepat; (8) Kandungan kewirausahaan; (9) Sistem koordinasi antar kelembagaan/pihak; dan (10) Pengembangan sistem informasi. 5. Sumber-sumber pertumbuhan keunggulan kompetitif (dayasaing) agribisnis cabai merah melalui strategi kemitraan usaha dapat dihasilkan melalui : (1) Peningkatan luas areal dengan skala yang ekonomis dan dalam hamparan yang relatif kompak; (2) Peningkatan produktivitas dan efisiensi usahatani melalui transfer teknologi, bimbingan 26
teknis budidaya, dan penaganan pasca panen secara prima; (3) Peningkatan efisiensi pada seluruh jaringan agribisnis cabai merah melalui keterpaduan proses dan produk; (4) Terjadinya pendalaman industri melalui pengembangan produk dan perluasan tujuan pasar oleh perusahaan mitra; serta (5) Penciptaan nilai tambah pada seluruh jaringan agribisnis dan terdistribusikan secara adil kepada seluruh pelaku ekonomi. DAFTAR PUSTAKA
Deptan. 1997. SK. Mentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Ditjenhort. 2002. Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta. Dinas Pekerjaan Umum. 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Dinas Pekerjaan Umum. Jakarta. Dyer, J. H. And Wujin Chu. 2002. The Role Trustworthiness in Reducing Transaction Cost and Improving Performance : Empirical Evidence From The United States, Japan, and Korea. The Sloan Foundation, International Motor Vehicle Program at MIT, and Seoul National University Instutute of Management of Research are Gratefully Acknowledged for Supporting this Research. Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta. Muda, A. A. K. 2003. Kamus Lengkap Ekonomi. Gramedia Press. Pranadji, T. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Saptana, E.L. Hastuti, Ashari, K.S. Indraningsih, S. Friyatno, Sunarsih, dan V. Darwis. 2005. Analisis Kelembagaan Kemitraan pada Komoditas Hortikultura. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Saptana, Sunarsih, dan K.S. Indraningsih. 2006. Mewujudkan Keunggulan Komparatif Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui Pengembangan Kemitraan Usaha Hortikultura. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Saragih, B. 1998. Agribisnis Berbasis Peternakan. Pusat Studi Pembangunan, Lembaga,Penelitian Institut Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sayaka, B., I.W. Rusastra, Supriyati, W. K. Sejati, A. Agustian, I.S. Anugerah, R. Elizabeth, Ashari, Y. Supriyatna, R. Sajuti, J. Situmorang. 2008. Pengembangan Kelembagaan Partnership dalam Pemasaran Komoditas Pertanian. Makalah Seminar Hasil Penelitian T.A 2008. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. 27
Shippey, K. C. 2004. Kontrak Bisnis Internasional : Panduan Menyusun Draft Kontrak Bisnis Internasional. Penerbit PPM, Jakarta. Sinaga, R.S. 1987. Pembangunan Pertanian Sistem Agribisnis dan Perusahaan Inti Rakyat. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Simatupang, P., Muharminto, A. Purwoto, A. Syam, G. S. Hardono, K.S. Indraningsih, E. Jamal, dan R. Elizabetf. 1998. Koordinasi Vertikal sebagai Strategi untuk Meningkatkan Dayasaing dan Pendapatan dalam Era Globalisasi Ekonomi (Kasus Agribisnis Kopi). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Suwandi, 1995. Strategi Pola Kemitraan dalam Menunjang Agribisnis Bidang Peternakan. Industrialisasi Usaha Ternak Rakyat dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi, Prosiding Simposium Nasional Kemitraan Usaha Ternak. Ikatan Sarjana IlmuIlmu Peternakan Indonesia (ISPI) bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak Ciawi. Bogor. White, Bejamin. 1990. Agroindustri, Industrialisasi Pedesaan dan Transformasi Pedesaan. Industrialisasi Pedesaan Dilengkapi Dengan Memorandum Bersama Tentang Indutrialisasi Pedesaan. Editor Sayogyo dan Mangara Tambunan. Kerjasama antara Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Cabang Jakarta.
28