Executive Summary PRAKTIK DEMOKRASI DAN PEMILIHAN UMUM DI BERBAGAI NEGARA1 Pengantar Selama tahun 2012, tim peneliti P2P LIPI meneliti demokrasi dan sistem pemilihan umum (pemilu) di sembilan negara di berbagai kawasan: Asia Tenggara (Malaysia dan Filipina dan Timor Leste), Asia Timur (Jepang dan Korea Selatan), Asia Selatan (India), Timur Tengah (Mesir), Eropa (Turki dan Yunani). Praktik demokrasi dan sistem pemilu dianalisa berdasarkan kriteria electoral system design, baik di negara yang menganut sistem presidensial maupun parlementer. Sembilan negara itu menganut sistem multi partai dengan sistem pemilihan berdasarkan distrik, proporsional, maupun campuran (mix). Setiap negara berbeda dalam praktik demokrasi dan pemilu, bahkan yang berada di dalam satu kawasan (Asia Tenggara), seperti antara Malaysia, Filipina dan Timor Leste.2 Perbedaan dan keragaman itu bukti bahwa tidak ada sistem demokrasi yang ideal. Rasionalitas pilihan sistem sangat ditentukan oleh konteks setiap negara. Bila ditemukan distorsi di dalam pelaksanaan demokrasi, pemilu maupun sistem kepartaian di suatu negara, maka dapat melihat Konstitusi Negara atau konsep demokrasi dan hakhak masyarakat sipil yang dipahami secara universal (Universal Declaration of Human Rights/UDHR 1948) mengenai kedaulatan rakyat melalui pelaksanaan pemilu secara periodik dan murni.3 Sedangkan sistem pemilu mengacu pada Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR 1966) mencakup model pemantauan pemilu, masalah kebebasan berserikat/bersuara. Permasalahan Penelitian ini menganalisa pengalaman negara dalam demokrasi dan pemilu. Namun belum menganalisa secara utuh mengenai perbedaan dan persamaan praktik demokrasi dan pemilu di sembilan negara. Semua negara sama-sama menganut sistem multi partai, meskipun sebagian menjalankan sistem demokrasi presidensial maupun parlementer. Di dalam pelaksanaan pemilu, negara-negara memilih sistem proporsional, distrik ataupun campuran. Masalah utama dalam praktik demokrasi dan pemilu: 1. Interpretasi demokrasi masing-masing negara sangat dipengaruhi konteksdan kepentingan dan tujuan mengadakan pemilu yang berbeda-beda. Dengan ini tidak dapat diketahui secara pasti praktik demokrasi melalui pemilu yang ideal, apalagi bila ingin dilaksanakan di negara lain. 2. Perbandingan antar negara lebih bersifat teknis, seperti masalah institusi pemilu, atau metode pemungutan dan penghitungan suara daripada mengenai demokrasi yang ideal. 3. Distorsi dalam praktik demokrasi dan pemilu banyak berhubungan dengan politik uang, kekerasan politik, kolusi antara birokrat, politisi dan pengusaha.
Tim Peneliti: Adriana Elisabeth (Koordinator), Agus R. Rahman, Awani Irewati, Dhuroruddin Mashad, Ganewati Wuryandari, Hamdan Masyar, Indriana Kartini, Lidya Christin Sinaga, Ratna Shofi Inayatti, Riza Sihbudi. 2 Lihat Tabel 1. Sistem Pemilu dan Tabel 2. Sistem Kepartaian dalam laporan ini. 3 Lihat Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948, Pasal 21. 1
1
Hasil Kajian Pemilihan sebagai elemen penting dalam fungsi demokrasi diselenggarakan oleh sistem kelembagaan di pemerintahan untuk menyiapkan pemilu nasional dan lokal. Dengan perbedaan interpretasi demokrasi dan sistem politik antar negara, sistem pemilu dan kepartaian sangat ditentukan oleh interpretasi atas prinsip demokrasi. Sistem pemilu adalah pemungutan suara untuk kursi perwakilan di legislatif dan eksekutif. Sedangkan sistem kepartaian merupakan bagian dari sistem kelembagaan (parpol) yang bertugas menyiapkan pemilu di tingkat nasional maupun lokal. Sebagai elemen penting dalam demokrasi, sistem pemilu dan kepartaian merupakan indikator mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik, transparan dan bertanggungjawab (good governance). Pemerintah sebagai pelaksana teknis wajib menjalankan kekuasaan (otoritas) yang dimiliki untuk mewujudkan kepentingan nasional (kepentingan rakyat), seperti pemilu di Tuvalu dilaksanakan langsung oleh pemerintah, karena tidak ada partai politik.4 Salah satu tujuan pemilu adalah untuk menghasilkan pemerintahan yang efektif pasca-pemilu, bukan hanya mengumbar janji selama kampanye. Efektivitas pemerintahan diketahui misalnya dari kemampuannya menciptakan stabilitas politik dan ekonomi, termasuk mengatasi distorsi dalam praktik demokrasi di tingkat nasional maupun lokal. Berdasarkan pengalaman sembilan negara itu, banyak kendala dalam melaksanakan pemilu yang demokratis. Oleh karena itu, menurut Beetham dkk., perlu dibuat “kerangka penilaian” yang fleksibel dalam menganalisa dan menilai praktik pemilu di suatu negara, maksudnya untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahan dalam penerapan demokrasi secara kontekstual. Kerangka penilaian meliputi antara lain model konsultasi, komunikasi, dan analisa. Penilaian itu mencakup pula perbedaan metode bekerja, inovasi, temuan, inisiatif dalam pencarian dana, skala waktu, termasuk juga korelasi antara pemerintah, masyarakat sipil dengan para donor.”5 Senada dengan itu, menurut CETRO, “tidak ada satu sistem pemilu yang ideal untuk diterapkan di semua negara,”6 maka kesembilan negara juga memilih dan melaksanakan pemilu sesuai dengan konteks dan kepentingan nasional masing-masing. Namun studi perbandingan demokrasi, sistem politik, pemilu dan kepartaian biasanya mencakup antara lain: (1) kampanye, rekuritmen calon dan penentuan parameter proses pemilihan, (2) partisipasi warga negara dan mobilisasi politik, (3) ideologi dan pilihan/preferensi kebijakan, (4) keterwakilan dan kesesuaian antara preferensi politik dengan garis kebijakan partai politik, baik di parlemen/legislatif maupun pemerintahan/eksekutif.7 Di dalam sistem kepartaian, ideologi partai politik menjadi salah satu fokus kajian. Secara ideologi, parpol dapat dibangun secara individual, berdasarkan kesetaraan, berpusat pada kebersamaan (kolektif), etnisitas dan kebangsaan, tradisi,
Antaranews.com (17 September 2010). “PM Tuvalu Terpilih Lagi, Berusaha Bentuk Pemerintah Baru”. Pemerintah Tuvalu dibentuk berdasarkan aliansi anggota parlemen yang berasal dari delapan pulau berpenghuni di negeri itu 5 David Beetham dkk. (2008). Assessing the Quality of Democracy, a Practical Guide, Sewden: IDEA, hlm. 252. 6 CETRO, “ Tinjauan Singkat tentang Sistem Pemilu yang Diusulkan dalam Rancangan Amandemen terhadap UU No.3/1999 tentang Pemilu”, www.cetro.or.id/mpr/sistempemilu.pdf 7 Russell J. Dalton, David M. Farrell & Ian McAllister (2011). Political Parties and Democratic Linkages, Oxford: Oxford University Press, hlm. 7. Lihat Figure 1.1 mengenai the Chain of Democratic Linkages. 4
2
agama, idelogi totaliter, dan lain-lain. Parpol juga dibentuk berdasarkan tujuan sosialpolitik yang dibedakan menjadi: partai konservatif, liberal, sosial demokratik, partai sosialis, partai berbasis agama, partai ekstrim kanan atau kiri, dan partai komunis. Sedangkan menurut kelas sosial, parpol dibedakan berdasarkan dua kelompok: partai populer dan partai menurut kepentingan tertentu, misalnya berdasarkan kelompok sosial, daerah dan lain-lain. Selanjutnya, parpol juga dibentuk berdasarkan posisinya terhadap sistem politik yang berkuasa, yakni: partai yang mendukung sistem (penguasa), dan partai oposisi.8 Penelitian ini menghasilkan beberapa matriks mengenai sistem pemilu, sistem kepartaian, distorsi dalam pelaksanaan pemilu, serta pembelajaran bagi Indonesia dari pengalaman sembilan negara dalam praktik demokrasi dan pemilu. Dalam tabel sistem pemilu terlihat perbedaan antar negara mengenai persyaratan bagi parpol yang akan mengikuti pemilu, sifat pendaftaran, cara memilih, tingkat partisipasi, dan biaya pemilu, meskipun tidak terdapat data untuk setiap negara. Umur pemilih rata-rata antara 17-20 tahun, namun India mengalami perubahan umur pemilih dari 20 tahun menjadi 18 tahun untuk memperbanyak suara. Tabel 1. SISTEM PEMILU No
Negara
1
Malaysia
8
Distrik / Propor sional/ Cam puran Distrik/ FPTP/ The winner takes all
Syarat bagi Parpol Peserta Pemilu
Umur Pemi lih
Pendaf taran Aktif/ Pasif
Cara Memilih
Tingkat Partisi pasi
Terdaftar di KPU, Membayar uang deposit untuk setiap caleg yang diajukan
21 tahun
Stelsel pasif/dl m ketentu annya pendaf tar harus nya aktif
Menan dai surat suara dg tanda silang pd kandi dat yg dipilih dan simbol partai
Rata-rata 35-40 %.
Biaya Pemilu
Hak/ke wajiban memilih
Hak memilih
Lihat Wilheim Hofmeister & Karsten Grasbow (2011). Political Parties, Singapura: KAS, hlm. 21-23 & 25.
3
2
Filipina
Campur an (sistem paralel)
Terdaftar di COMELEC (KPU) tidak lebih dari 90 hari sebelum pemilu
18 tahun
Pendaf taran aktif
Sistem komputeri sasi, dengan mengisi kolom nama kandidat presiden dan anggota parlemen, kemudian discan dan langsung ke bank data
74,98%
2,6 miliar Peso
3
Timor Leste
Sistem represe ntasi propors ional daftar tertutu p (a closedlist proporti onal represe ntation system)
Semua parpol yang memenuhi persyarat an hukum
17 tahun
Aktif
Pemilu 5 th sekali, bersifat bebas, lang sung, rahasia, pribadi, berkala dan universal (Bagian III, Pasal 65(1) UUD RDTL Pemilih member kan suaranya di suco/daer ah sesuai Unit Pendaftara n Wilayah (Pasal 41 Law no. 7/2011 of 22 June, Second Amend ment to Law no. 6/2006 of 28 Decem
97,51 % (Pemilu 2007)
Law No. 6/2008 on the Legal Regime for the Finan cing of Politi cal Parties, ada 3 sumber keuang an partai pol, 1) parpol sendiri (fee keangg otaan partai, acara pengu mpulan dana, pinjam an), donasi indivi dual, dan public
koalisi partai politik bisa dibentuk hingga 60 hari sebelum pemilihan umum Parlemen, kemudian mereka segera menyerah kan daftar urut calon parlemen yang berasal dari koalisi yang terbentuk
4
Hak memilih
Wajib Bagian III Penataa n Kekuasa an Politik, Pasal 65(2) UUD RDTL Pendafta ran pemilih adalah wajib dan diprakar sai secara resmi, secara peroran gan dan secara umum, yang harus diperba harui
ber Pemilih memberi tanda silang di kotak kosong di sebelah daftar calon yg dipilih sebagai mana tercan tum di kertas suara
funding untuk s. setiap pemiliha Terkait n. dana publik Pasal 11 Law No. 6/2008 : parpol yg menda patkan perwak ilannya di Parle men berhak untuk mempe roleh dana tetap setiap tahun dari alokasi anggar an negara utk CNE (50% dari total alokasi dibagi merata ke semua parpol, dan 50% lainnya dibagi secara propor sional ke parpol sesuai dg
5
jumlah kursi yang diper oleh) 4
Distrik
5
Korea Selatan Jepang
6
India
Distrik/ FPTP/ the winner takes all
7
Turki
Propor sional (daftar tertu tup dari parpol). Selain ada calon indepen den
Sistem campur an
Terdaftar di KPU, Membayar uang deposit untuk setiap caleg yang diajukan Partai politik harus menyerahka n daftar caleg dari seluruh daerah pemilihan/p rovinsi, atau paling tidak harus menye
19 tahun 20 tahun
Pasif
Langsung
Pendaf taran aktif
Pemilih menda tangi lokasi pemilih an /kotak suara sesuai dengan lokasi yg ditentu kan
18 tahun
Stelsel aktif / pendafta r aktif
Memencet tombol EVM
Rata-rata 55-63 %.
18 tahun
Pemilih pasif
Dengan stempel yang bertulis kan “evet” (ya). Pemilih di luar negeri, dapat memilih secara elektro nik di perwakil an/konsu lat/kedu taan
Pada pemilu tahun 2011, tingkat partisipa si pemilih adalah 83,16 % dari jumlah pemilih terdaftar
18 tahun
Pasif
Langsung
62,47% (2012)
rahkan daftar caleg di lebih dari setengah provinsi. 9
Yunani
Propors ional dengan
Pengadilan Tingkat Perta-ma
62,9% Deposit untuk single mem ber consti tuency system kandid at harus menye rahkan 3.000.0 00 Yen
Wajib bagi pemilih menggu nakan/ memberi kan suaranya
400 juta dolar AS (Rp 3.600,per pemilih
Hak memilih
47,9 juta Euro
6
kompen sasi kursi selama 4 tahun
memutuskan eligibilitas kandidat baik untuk daftar parpol maupun independen. Kandidat didukung se-kurangkurangnya 12 pemilih dari kontituen yang sama dengan kandidat, atau nominasi sendiri bagi indepen den. Kandidat harus membayar deposit 150 Euro. Berdasarkan daftar nominasi dari Pengadilan Tingkat I ini, parpol dan koalisi parpol menyusun daftar kandidat dan mengaju kan ke Mahkamah Agung
Tabel 2. SISTEM KEPARTAIAN No
Negara
Kepartaian
Partai Politik Nasional
Partai Politik Lokal
7
1
Malaysia
Multi Partai
Jumlah parpol 33 partai: 14 Partai pemerintah, 19 Partai Oposisi, tetapi yang ikut pemilu aliansi dua partai. Partai Pemerintah (BN) dan Oposisi (BA)
Sejak merdeka 1957 terdapat pemilu nasional dan lokal. Namun sejak 1964, pemilu lokal ditiadakan yang diatur dalam peraturan pemerintah daerah 1976
2
Filipina
Multi Partai
8 partai dengan 3 tipe partai nasional: partai mayoritas dominan (Lakas-Kampi); partai minoritas dominan (Liberal); partai lain
91 partai
3
Timor Leste
Multi Partai
Bervariasi dari pemilu ke pemilu. Pemilu Parlemen 2012: 24 partai
4
Korea Selatan
Multi Partai
4 partai
5
Jepang
Multi Partai
10 partai nasional (Pemilu 2009), namun jumlah partai yang sering ditampilkan hanya berkisar 7 partai
6
India
Multi Partai
Lebih dari 1000 partai, tetapi yang ikut pemilu 2009 sedikit di atas 200. Jumlah caleg lebih dari 1.700 orang.
Ada 46 Partai. Agar diakui sebagai state party, harus memiliki kegiatan politik minimal selama 5 tahun berturut-turut, dan berhasil menduduki minimal 4% dari kuota kursi yang dimiliki sebuah negara bagian di Lok Sabha, atau bisa menduduki 3.33% dari kursi state assembly (Vidyan Sabha).
8
7
Turki
Multi Partai
Pada pemilu 2011, yang ikut pemilu 14 parpol, tetapi yang dapat menduduki kursi parlemen hanya 3 parpol. Setiap pemilu jumlah parpol yang ikut pemilu berbeda
8
Yunani
Multi Partai
7 partai dalam parlemen
21 partai (pemilu 2012)
Distorsi di dalam pelaksanaan pemilu antara lain dilihat dari tingkat kekerasan politik yang masih sering terjadi, baik berkaitan dengan persoalan etnisitas ataupun agama. Dengan perbedaan konteks politik dan sosial budaya, praktik politik uang tidak selalu dianggap negatif, karena justru hal itu merupakan bentuk politik balas budi, seperti di Filipina. Apabila pemerintah tidak bisa mengatasi/mengurangi distorsi, efektivitas pemerintahan akan terganggu, bahkan berpotensi menyebabkan kegagalan negara (failed state). Tabel 3. DISTORSI DALAM PRAKTIK PEMILU No.
Negara
1
Malaysia
Distorsi (1)Sistem politik Malaysia merupakan campuran dari karakteristik responsif dan represif. Sistem pemilu dirancang untuk menguntungkan partai pemerintah, sehingga hampir mustahil dapat dikalahkan. Di samping tidak ada mekanisme check and balances dalam praktek demokrasi, sehingga menyebabkan keistimewaan kekuasan eksekutif dari pada kekuasaan legislatif dan yudikatif. (2)KPU dikontrol pemerintah melalui parlemen dengan mengamandemen UU 1962. Partisipasi pemilih masih sangat kurang, sehingga aparat pemerintah dan KPU harus aktif mendorong pemilih untuk mendaftar. (3)Sebagian besar berkaitan dengan tindakan yang mendorong pemilih memberikan suaranya untuk kandidat dan tindakan untuk mempengaruhi para pemilih tidak memberikan suara sama sekali, bahkan menggunakan agen tertentu. (4)Setiap calon tidak boleh menghabiskan lebih dari RM 200.000 (parlemen) atau 100.000 RM (negara) untuk berkampanye. Bagian 19 dari Undang-Undang Pemilihan Pelanggaran, 1954. Koalisi BN diduga menghabiskan sekitar RM1.5 miliar dalam pemilu 2004. (6)BN terbukti melakukan berbagai pelanggaran.
9
2
Filipina
3
Timor Leste
(1)Politik kekerasan dalam pemilu, seperti penembakan dan merusak mesin penghitung suara. (2)Kredibilitas COMELEC (KPU Filipina) dalam memunculkan angka perolehan suara. (3)Booty capitalism menghasilkan kolaborasi publicprivate sebagai timbal balik atau politik balas budi (utang na loob). (1)Ketidaksesuaian antara aturan dengan praktik dalam pemilu. Prinsip bebas untuk memilih tidak sepenuhnya bisa dilaksanakan. Pada pilpres 2012, pemilih di distrik terimidasi oleh poster-poster kandidat yang memakai seragam lengkap militer. (2)Praktik politik uang di suco (daerah). (3)Pelanggaran dalam pengumpulan dana parpol. Law No. 3/2004 and Law No. 6/2008 dan Keputusan/03/ STAE/2011 tentang dana kampanye, yang antara lain melarang parpol untuk menerima donasi dari perusahaan baik nasional dan internasional, ada kuintasi untuk setiap donasi yang diterima dan donasi yang nilainya lebih dari 1,000 dolar AS harus melalui bank.
4
Korea Selatan
5
Jepang
6
India
(1)Banyak kasus pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu yang terjadi terkait black campaign, kampanye sebelum jadwal yang ditetapkan, ataupun melampaui batasan dana kampanye. (2)Pengeluaran dana kampanye sangat terkait dengan lemahnya institusionalisasi sistem parpol. (3)Partai politik sangat cair dan tidak berakar kuat pada masyarakat, akibatnya tidak bisa diandalkan sebagai mesin pemilihan ataupun kampanye yg efektif. (4)Netralitas media, bias dalam pemberitaan pemilu. (1)Dengan sistem pemilu lama (medium size election district system/ single non-transferable vote system) yg dijalankan mulai 1955 -1993, lebih bersifat individual oriented daripada party’s policy oriented. Akibatnya, mesin politik partai lemah, dan lebih berorientasi pada persaingan ketat antarfaksi dalam tubuh partai (yg saat itu dikuasai LDP/Liberal Democratic Party) daripada persaingan antarpartai. (2)LDP berkuasa secara dominan, tidak membuka peluang bagi partai-partai lain memenangkan pemilu. (1)Partisipasi belum maksimal (55-63%), sehingga mengurangi kualitas partisipasi.. (2)Keterbelahan partai secara ekstrim menyebabkan sulit terbangunnya koalisi secara kokoh. (3) Anggota parlemen sulit disterilkan dari caleg yg tidak kompeten, bahkan, pemilu 2009, sekitar 24% anggota Lok Sabha ternyata memiliki catatan kriminal. (4)Kecurangan politik (beli suara).
10
(5) Politik kekerasan karena sentimen primordial. 7
Turki
8
Yunani
(1)Penerapan ambang batas 10% suara sah nasional bagi partai politik yang masuk ke parlemen, telah menyebabkan ada banyak suara yang hilang di berbagai daerah pemilihan. (2)Partai politik yang secara nasional suaranya bertambah, bisa saja perolehan kursinya di parlemen menurun, seperti pengalaman AKP yang menang dalam pemilu 2002, 2007, dan 2011. Semestinya, dalam sistem perwakilan proporsional akan terlihat proporsionalitas antara persentase jumlah pemilih dan persentase kursi perwakilan di parlemen. (3)Ada beberapa anggota parpol yang mencalonkan diri melalui jalur independen, mereka justru menjadi anggota parlemen, misalnya calon dari Partai Sosial Demokrat (DTP) pada 2007. Pada pemilu 2011, mereka kembali mencalonkan diri melalui jalur independen dan mereka memperoleh 35 kursi parlemen. Padahal pada pemilu 2011 itu, jumlah suara mereka hanya 2.819.917 pemilih (6.57%) suara sah nasional. (`1)Tidak ada mekanisme check-and-balances, negara dan pemerintah memasuki aspek kehidupan individu. (2)Dominasi dua parpol dalam pemerintahan dan administrasi publik. (3)Clientelism dan korupsi (4)Krisis politik dan krisis ekonomi (5)Surat kabar menjadi partisipan. Sebagai anggota UE, pelaksanaan pemilu harus memenuhi kriteria Copenhagen, sehingga distorsi menjadi minimal.
Pengalaman sembilan negara dalam demokrasi dan pemilu memberikan beberapa pembelajaran bagi Indonesia, meskipun tidak semua dapat diterapkan untuk memperbaiki praktik demokrasi dan pemilu di Indonesia.
Tabel 4. PEMBELAJARAN BAGI INDONESIA No. 1
Negara Malaysia
Pembelajaran bagi Indonesia Pertama, Malaysia merupakan negara semi-demokrasi yang cenderung otoritarian, sehingga pemilu kurang fair. Pemilu diikuti 2 partai aliansi. Keunggulan sistem dua partai: partai pemerintah dan partai oposisi sama-sama memiliki peluang untuk memerintah dan tetap dapat berkompetisi secara sehat untuk menjadi partai yang paling merakyat, jujur, amanah, dan adil. Partai yang memerintah tidak akan merasa sebagai pemilik dan pewaris mutlak Negara. Karena setiap perbuatan, gerakan, kata-kata dan niatnya diperhatikan oleh partai oposisi. Partai pemerintah akan melakukan kebijakan yang baik dan merakyat karena kalau tidak, kekuasaan mereka akan diambil alih oleh partai oposisi. Jelas tujuannya adalah kebaikan rakyat. Kedua, seandainya partai oposisi yang menang, menjadi penguasa
11
dan mengatur negara, mereka hanya akan ada dua pilihan: melakukan kebijakan yang lebih baik untuk rakyat atau justru menjadi diktator, yang berakibat partai itu ditinggalkan rakyat pada pemilu akan datang.
2
Filipina
Ketiga, dengan sistem dua partai, tidak akan ada lagi pemerintah yang suka melakukan pembohongan, pencitraan, dan pengalihan isu. Karena orang-orang di partai oposisi adalah para profesional yang ahli dibidangnya dan berjuang demi masa depan bangsa dan negaranya. Mereka tidak mudah dibohongi oleh data-data fiktif dan bohong. Rakyat jelas diuntungkan. Dengan sistem ini “demokrasi sehat” akan lebih terjamin dan membawa kemajuan. Dengan multi partai Indonesia saat ini adalah mustahil akan menjadi negara maju, karena mementingkan kelompok, politisi dan individu-individu. Pertama, Filipina melakukan terobosan dalam penyelenggaraan pemilu, sebelumnya dengan mencoblos kertas suara, sekarang dengan scanning. Meskipun pengisian kertas itu lebih memakan waktu, namun sistem e-voting ini berguna untuk meminimalisir kecurangan dalam pemilu serta memepermudah merekapitulasi suara, sehingga hasil bisa secepatnya diketahui. Hal ini bisa menjadi pembelajaran bagi Indonesia yang masih menggunakan cara pemungutan suara manual. Kedua, Filipina menganut “party-list system” dengan memfokuskan pada partai ketimbang kandidat. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan representasi, khususnya sektor “marginalized and underrepresented”, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas demi menciptakan pemerintahanyang lebih efisien.
3
Timor Leste
4
Korea Selatan
Sebagai negara termuda dalam berdemokrasi, Timor Leste menjadi “best practice” (praktik terbaik) berkaitan dengan upaya meningkatkan partisipasi perempuan di dalam politik. Secara internasional, pelibatan perempuan di dalam politik di Timor Leste diperkenalkan melalui penetapan kuota bagi perempuan di dalam sistem pemilihan negara ini. Pertama, sistem deposit yang harus disetorkan oleh siapapun yang mendaftarkan diri sebagai kandidat presiden, anggota Majelis Nasional, hingga kepala daerah dan parlemen di tingkat lokal. Kedua, pemilihan umum presiden dan parlemen di Korea Selatan dilakukan terpisah dengan masa jabatan yang juga tidak sama di antara keduanya di mana masa jabatan Presiden selama lima tahun dan masa jabatan parlemen selama 4 tahun. Masa jabatan Presiden 1 kali dan tidak dapat dipilih kembali, membuat seorang Presiden bekerja dengan optimal dan tidak khawatir dengan popularitasnya pada pemilihan selanjutnya. Ketiga, National Election Commission berkuasa dan memiliki otoritas penuh , baik fungsi pelaksana maupun pengawasan, tidak terpisah sebagaimana halnya di Indonesia dengan adanya Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Keempat, dukungan terhadap keterwakilan perempuan, di mana terdapat ketentuan bagi parpol yang mengajukan kandidat untuk pemilihan anggota Majelis Nasional dengan sistem representatif proporsional, yaitu lebih dari separuh kandidat yang diajukan haruslah perempuan dan kandidat bernomor ganjil dalam daftar
12
5
Jepang
6
India
kandidat harus perempuan, serta subsidi yang diberikan bagi partai politik yang menominasikan kandidat perempuan dalam pemilihan anggota Majelis Nasional dan anggota dewan di tingkat lokal Pertama, partai tunggal - LDP, yang telah berkuasa hampir 50 tahun, akhirnya, tumbang tanpa diawali dengan kekisruhan sosial. Kedua, hubungan ‘iron triangle’/ segitiga antara birokrasi-politisipengusaha, meski sarat dengan politik uang tetap memperhatikan kepentingan rakyat/pendukungnya. Ketiga, dengan sistem pemilu baru (1994–kini) melalui sistem campuran antara single member district (SMD), plurality system dan proportional representative system diharapkan penampilan partai dan kebijakannya lebih menonjol, pengurangan finansial pemilu, kesempatan besar bagi partai-partai kecil untuk terwakili dalam parlemen. Pertama, India menggunakan EVM yang memberikan banyak nilai positif: (1). penghitungan suara bisa diselesaikan dalam satu hari, yaitu pada 16 Mei 2009 (pemilu 2009). (2). berhasil mengurangi (hampir menghilangkan) fenomena suara tidak sah. Tingkat kesalahan (invalid votes) pada pemilu India 2004 misalnya antara 0,01 – 0,44%, bahkan pada beberapa provinsi dapat mencapai 0% (no invalid votes). (3). EVM (bukan kertas suara) dapat dipakai pada pemilu-pemilu berikutnya, sehingga biayanya jauh lebih murah. (4). lebih ramah lingkungan, “Green Election” karena berkurangnya penggunaan kertas. Kedua, India menerapkan stelsel aktif, sehingga kasus penyimpangan DPT dapat miminimalkan. Apalagi, pada pemilih pendaftar diberi kartu identitas berfoto oleh KPU, sehingga kemungkinan menggunakan joki diperkecil. Ketiga, pemilu India disediakan pilihan (opsi) "None of the above" sebagai option bagi pemilih yang tidak mendukung satupun dari kandidat/partai, sekaligus bisa menjadi ajang evaluasi caleg secara umum. Keempat, setiap caleg membayar uang deposit, agar tidak setiap orang mendaftarkan diri sebagai caleg tanpa melihat potensi diri.
8
Turki
Pertama, negara yang menerapkan sistem multi partai kadang sulit “menyederhakan” jumlah parpol di parlemen. Turki menerapkan ambang batas parlemen yang cukup tinggi: 10%. Dengan demikian, tidak banyak parpol yang dapat masuk ke parlemen. Barangkali hal itu dapat menjadi pembelajaran bagi Indonesia bila ingin membatasi jumlah partai politik di parlemen. Kedua, dengan penerapan ambang batas yang cukup tinggi, akan banyak suara yang hilang di daerah pemilihan. Untuk mengatasi hal itu, Turki menyediakan ruang bagi calon independen yang tidak memerlukan 10% suara sah nasional. Mereka cukup memperoleh 10% suara sah di daerah pemilihannya. Kepada calon independen diterapkan aturan yang cukup ketat, seperti penyetoran deposito dalam pencalonan. Deposito itu bisa hangus bila caleg independen tidak memperoleh suara yang cukup. Ketiga, mungkin Indonesia dapat mempelajari bagaimana Turki melakukan perubahan Konstitusi. Perubahan itu dapat disetujui atau
13
9
Yunani
ditolak, setelah ada referendum dari warga negara. Keempat, perubahan parlemen dari bikameral menjadi unikameral, dapat dipertimbangkan. Mengingat Indonesia tidak lagi mengenal lembaga tertinggi negara (dahulu MPR). Fungsi MPR yang sekarang tidak begitu jelas, dapat dipertimbangkan lagi kemanfaatannya. Pertama, Indonesia perlu mengembangkan mekanisme check-andbalances pengelolaan keuangan negara. Kedua, Indonesia perlu menghindari parpol dominan, karena terdapatnya kursi yang gratis. Ketiga, Indonesia perlu mencegah intervensi parpol terhadap administrasi publik (staf ahli dari parpol).
Penutup Sistem pemilu bersifat kontekstual. Analisa perbandingan di sembilan negara menunjukkan tingginya variasi dalam implementasi demokrasi, terutama di dalam sistem pemilu dan kepartaian. Keberhasilan pelaksanaan pemilu cenderung diukur berdasarkan perolehan suara terbanyak dan pemenang pemilu, sementara proses politik untuk menentukan kualitas pemerintahan pasca-pemilu, tidak diperhitungkan. Satu kesalahan yang sering dilakukan dalam menilai keberhasilan praktik demokrasi dan pemilu adalah hanya mengukur perolehan jumlah suara terbanyak yang menjadi pemenang pemilu. Sedangkan distorsi di dalam proses demokrasi dan pelaksanaan pemilu cenderung diabaikan. Akibatnya, sebagian praktik demokrasi tidak sungguh-sungguh (demokrasi semu). Pengalaman demokrasi setiap negara menjadi pembelajaran bagi Indonesia, sebagai pengetahuan untuk memahami pilihan-pilihan rasional dalam berdemokrasi maupun melaksanakan pemilu sesuai dengan konteks politik, sistem dan pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk, kondisi geografis. Penyimpangan dalam proses pemilu antar negara menjadi pembelajaran bagi Indonesia, untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Demokrasi dan sistem pemilu berkorelasi kuat dengan kemampuan pemerintahan dalam mengurangi kesenjangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pemerintahan yang efektif harus mampu menyelenggarakan pemilu secara adil dan transparan. Dinamika politik, khususnya sistem pemilu di Indonesia terbilang cukup demokratis, namun tetap diperlukan perbaikan dari segi peraturan pemilu mengenai persyaratan bagi calon dan wakil yang akan mengikuti pemilu, termasuk ketentuan umur. Peran militer di dalam politik berdampak buruk di banyak negara. Untuk itu keterlibatan militer secara politik harus dihapuskan, hanya berfungsi menjaga keamanan negara terhadap ancaman dari luar (external threats). Namun demikian, faktor budaya politik sangat menentukan keterlibatan peran militer di dalam politik, seperti di Turki. Militer bukan hanya menjadi aktor politik dalam melakukan kudeta, melainkan juga sebagai penyeimbang yang sangat menentukan kemenangan atau kekalahan seorang calon politisi, khususnya di dalam pemilihan presiden. Akhirnya, demokratisasi di banyak negara harus terus-menerus diperbaiki, khususnya dengan menghentikan kekerasan politik yang dilakukan oleh aparat negara maupun masyarakat sipil. Dalam mengatasi politik uang, peraturan pemilu harus mencakup ketentuan yang tegas mengenai hubungan segitiga antara politisi-birokrat-pengusaha, terutama untuk menghindari marjinalisasi kepentingan masyarakat. 14