PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBSAG100

Download vaksin, antibodi, maupun peptide sintetik yang memiliki manfaat tertentu. Pada saat ini, vaksin telah dihasilkan dengan teknologi DNA rekom...

0 downloads 507 Views 5MB Size
PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBsAg100-GST SEBAGAI MODEL IMUNOGEN UNTUK MENGHASILKAN ANTIBODI PADA MENCIT

SLAMET RIYADI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Produksi Protein HBsAg Rekombinan sebagai Model Imunogen untuk Menghasilkan Antibodi pada Mencit” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Pebruari 2012

Slamet Riyadi NIM D061030061

ABSTRACT SLAMET RIYADI. Production of HBsAg100-GST Recombinant Protein as an Immunogen Model for Generating Antibody in Mice. Under direction of RARAH R.A. MAHESWARI, MIRNAWATI SUDARWANTO, FRANSISKA R. ZAKARIA, and MUHAMAD ALI. Since years ago, a new paradigm of vaccine design is emerging. Instead of attenuated virulent microorganisms or killed virulent microorganisms, effective subunit vaccines were developed using recombinant DNA technology. Biosynthesis of recombinant protein in Escherichia coli may offer an alternative procedure to generate therapeutic protein free from human protein. In this research, hydrophilic domain of S protein (aa 100-164)-encoding gene of hepatitis B surface antigen was cloned for vaccine candidate production. The gene was ligated with pGEX-4T-2 vector and sequenced. Sequences alignment of the amplified fragment with genome of hepatitis B virus indicated that the sequences were identical. In this research, cloned DNA fragment of Hepatitis B surface antigen was placed downstream from the gluthatione S-transferase (GST) proteinencoding gene in expression plasmid pGEX-4T-2 and expressed in Escherichia coli cells. A polypeptide of 34.8 kDa molecular weight was synthesized and identified as HBsAg100-GST fusion proteins. The recombinant proteins were then purified using GSTrap and HiTrap column and could be used for vaccine candidate or for antibody generation. The purified protein was tried to trigger cell immune to produce antibody in mice. Results indicated that the immunogenicity of HBsAg100-GST was higher than GST protein in elicit the levels of HBsAg100specific IgG antibody in mice. These results suggest that the HBsAg100 produced in E. coli has immunogenicity. A major result achieved from this research was clones carrying S antigens-encoding gene that could be used further for production of recombinant hepatitis B vaccine candidates. Keywords: pGEX-4T-2, recombinant, antigen, vaccine, antibodi, HBsAg100-GST.

RINGKASAN SLAMET RIYADI. Produksi Protein Rekombinan HBsAg100-GST sebagai Model Imunogen untuk Menghasilkan Antibodi pada Mencit. Dibimbing oleh RARAH R.A. MAHESWARI, MIRNAWATI SUDARWANTO, FRANSISKA R. ZAKARIA, dan MUHAMAD ALI. Kemajuan teknologi molekuler dalam beberapa dekade terakhir, terutama sejak ditemukannya sekuen genom lengkap dari mikroba-mikroba patogen, telah menemukan jalan baru bagi dihasilkannya berbagai jenis protein rekombinan, baik vaksin, antibodi, maupun peptide sintetik yang memiliki manfaat tertentu. Pada saat ini, vaksin telah dihasilkan dengan teknologi DNA rekombinan, yaitu melalui kloning gen penyandi protein tertentu pada mikroorganisme patogen yang dilanjutkan dengan ekspresi gen tersebut pada sel hewan, sel tanaman, ataupun pada bakteri. Penggunaan mikroorganisme virulen yang dilemahkan ataupun yang dimatikan telah diganti dengan penggunaan vaksin sub unit yang lebih efektif dengan teknologi DNA rekombinan. Melalui penggunaan teknologi tersebut, gen tertentu dari mikroorganisme virulen dapat dikloning, diekspresi dan dievaluasi penggunaannya sebagai vaksin. Tersedianya bioteknologi rekayasa genetika yang dilahirkan pada tahun 1973, telah memungkinkan manusia untuk mengisolasi gen (serangkaian molekul DNA) serta memanipulasinya, kemudian memindahkan gen tersebut dari satu organisme ke organisme lain. Peranan bioteknologi dirasakan semakin bertambah besar dalam menunjang kegiatan pembangunan industri di berbagai sektor, terutama sektor kesehatan dan pertanian termasuk sub sektor peternakan. Introduksi plasmid pGEX-SR100 ke dalam bakteri inang E. coli DH5α (transformasi) berhasil dilakukan dengan teknik heat shock. Koloni bakteri E. coli DH5α

pembawa

plasmid

rekombinan

pGEXSR100

hasil

transformasi

ditumbuhkan pada media seleksi (ampisilin 50 µl/ml) yang mengandung Xgal dan IPTG. Penentuan bahwa bakteri-bakteri berwarna putih adalah pembawa gen SR100, dilakukan melalui skrining dengan PCR menggunakan koloni bakteri tersebut sebagai cetakan (PCR Koloni). Primer yang digunakan untuk PCR koloni

tersebut harus dapat mengamplifikasi bagian 5’-insert dan bagian 3’-insert dari plasmid, sehingga dipastikan tidak terjadi kesalahan arah insert. Amplifikasi hanya akan terjadi pada DNA rekombinan yang tidak tersambung secara terbalik. Adanya pita tunggal DNA dari gambar hasil elektroforesis merupakan indikasi bahwa klon yang diamplifikasi mengandung plasmid rekombinan. Koloni yang mengandung plasmid rekombinan dengan hasil PCR koloni pita tunggal kemudian dikultur dari replika pada media LB pada suhu 37 oC selama 12 jam dengan shaker untuk isolasi plasmid rekombinan. Plasmid hasil isolasi

tersebut

kemudian

disekuensing.

Hasil

pensejajaran

(alignment)

sekuensing plasmid rekombinan yang diisolasi dari koloni bakteri rekombinan menunjukkan kesamaan dengan sekuen dari bagian genom virus hepatitis B. Hal ini menunjukkan bahwa gen hasil amplifikasi tersebut tidak mengalami mutasi dan dapat digunakan untuk produksi antigen hepatitis B bagian S pada bakteri. Plasmid rekombinan yang tidak memiliki mutasi pada sekuen insert selanjutnya disimpan untuk ditransformasikan pada E. coli BL21 dan produksi protein HBsAg100-GST. Pemisahan terhadap hasil sonikasi untuk mengetahui bahwa protein rekombinan dalam bentuk terlarut (soluble) menggunakan sentrifugasi dan filterisasi (filter ukuran 0.22 µm). Kelarutan protein rekombinan sangat penting untuk mempermudah proses pemurnian. Hasil yang diperoleh baik larutan maupun pelet dimasukkan ke dalam gel akrilamid. Kelarutan dari protein rekombinan diperlihatkan oleh adanya pita-pita protein target pada bagian supernatan. Sebaliknya hasil SDS-PAGE dari pelet bakteri yang tidak memperlihatkan adanya pita-pita dari protein target menjadi indikator bahwa protein rekombinan tersebut berada dalam bentuk tak larut (insoluble). E. coli BL21 yang membawa plasmid rekombinan pGEX-SR100 memiliki protein dengan ukuran sekitar 34.8 kDa karena merupakan gabungan antara GST yang memiliki berat 28 kDa dengan antigen S dengan ukuran 6.8 kDa. Penelitian ini menggabungkan fragmen DNA dari antigen permukaan virus Hepatitis B dengan gen penyandi enzim gluthation-S-transferase (GST) di dalam plasmid pGEX-4T-2 yang diekspresikan di dalam sel-sel E.coli. Polipeptida dengan berat molekul sekitar 34.8 kDa telah diproduksi dan diidentifikasi sebagai

protein gabungan HBsAg100-GST. Protein gabungan tersebut

kemudian

dimurnikan menggunakan kolum GSTrap yang disambung dengan kolum HiTrap. Hasil pemurnian fusi HBsAg100 dan GST dalam penelitian ini menunjukkan bahwa antigen rekombinan yang diperoleh setelah pemurnian relatif murni dan dalam jumlah yang cukup untuk digunakan dalam aplikasi (assay) selanjutnya. Keberhasilan isolasi ini tidak terlepas dari sifat meningkatnya kelarutan protein rekombinan karena fusi dengan GST. Berdasarkan uji antigenisitas pada mencit BALB/c, protein HBsAg100-GST hasil purifikasi dapat menghasilkan antibodi anti HBsAg100-GST yang berpotensi sebagai vaksin. Nilai optikal densiti (OD) dari serum mencit yang diperoleh dari darah mencit sebelum dan setelah dilakukan vaksinasi dengan HBsAg100-GST pada kelompok A dan dengan GST pada kelompok B menunjukkan, bahwa rerata respon humoral mencit yang diimunisasi dengan fusi protein meningkat setelah dilakukan imunisasi maupun setelah dilakukan booster. Namun, seiring dengan penambahan waktu pemeliharaan, respon humoral mencit tersebut menurun sedikit demi sedikit sampai akhir minggu ke 12. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gen SR100 berhasil diamplifikasi, kemudian diligasi dengan vektor pGEX-4T-2, dan ditransformasikan ke dalam bakteri E. coli DH5α. Hasil sekuensing menunjukkan tidak terdapat mutasi pada gen hasil kloning. Uji lanjut untuk konfirmasi imunogenisitas protein antigen HBsAg100-GST masih perlu dilakukan pada hewan lain seperti kelinci, kambing dan kuda.

Kata kunci: pGEX-4T-2, rekombinan, HBsAg100-GST, vaksin, antibodi.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBsAg100-GST SEBAGAI MODEL IMUNOGEN UNTUK MENGHASILKAN ANTIBODI PADA MENCIT

SLAMET RIYADI

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Penguji Luar Komisi Pembimbing Penguji Luar Komisi Pembimbing Ujian Tertutup (25 Januari 2012) 1. Prof. Dr. drh. Retno Damayanti Soeyoedono, MS 2. Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si Penguji Luar Komisi Pembimbing Ujian Terbuka (30 Januari 2012) 1. Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc 2. Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA.

Judul Disertasi

:

Produksi Protein Rekombinan HBsAg100-GST sebagai Model Imunogen untuk Menghasilkan Antibodi pada Mencit

Nama

:

Slamet Riyadi

NRP

:

D061030061

Program Studi

:

Ilmu Ternak

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Ketua

Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto Anggota

Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc Anggota

Muhamad Ali, S.Pt., M.Si., Ph.D Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ternak

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 30 Januari 2012

Lulus Tanggal:

PRAKATA Atas tersusunnya disertasi ini dengan judul “Produksi Protein Rekombinan HBsAg100-GST sebagai Model Imunogen untuk Menghasilkan Antibodi pada Mencit”, Penulis panjatkan puji syukur kepada Allah SWT., Tuhan yang maha mengetahui dan maha menolong sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini memuat tiga bab yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Bab 1 berjudul Kloning Gen SR100 dalam rangka Produksi Protein Rekombinan sebagai Model Imunogen untuk Menghasilkan Antibodi sedang menunggu penerbitan di Jurnal Peternakan Indonesia Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang. Bab 2 berjudul Biosintesis Antigen Permukaan HBsAg100 pada E. coli dalam rangka Produksi Protein Rekombinan sebagai Model Imunogen untuk Menghasilkan Antibodi juga sedang menunggu penerbitan di Jurnal Kedokteran YARSI Fakultas Kedokteran Universitas YARSI, Jakarta. Bab 3 berjudul Imunogenisitas Protein Rekombinan HBsAg100-GST dalam Memicu Sel Imun untuk Menghasilkan Antibodi pada Mencit sedang disiapkan untuk dikirim ke penerbit Jurnal Ilmiah. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Rarah Ratih Adji Maheswari, DEA (Ketua); Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto (Anggota); Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc. (Anggota), dan Dr. Muhamad Ali, M.Si. (Anggota). Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri dan anak-anak tercinta atas segala do’a dan kasih sayangnya. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan disertasi ini. Kritik dan saran yang sifatnya membangun demi penyempurnaan disertasi ini sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat mendukung pengembangan bioteknologi di Indonesia pada khususnya dan bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Pebruari 2012 Slamet Riyadi

RIWAYAT HIDUP Dilahirkan di Pemalang pada tanggal 29 Maret 1960 sebagai anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Kampyun (alm) dan Ibu Maryati (alm). Menikah dengan Rahma Jan dikaruniai seorang putri, Lisantiyas Nurani mahasiswi semester lima Fakultas Kedokteran UNRAM, dan dua orang putra, Abdillah Rahmadiputra mahasiswa semester tiga jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik UNRAM dan Abdul Ghoffar Triatmojo mahasiswa semester tiga Fakultas Kedokteran UNRAM. Pada saat ini, bertugas sebagai Staf Pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Mataram di Mataram. Riwayat pendidikan dimulai dengan menyelesaikan pendidikan SDN 2 Kendalsari, kecamatan Petarukan, kabupaten Pemalang, tahun 1972. SMPN Petarukan, kabupaten Pemalang, tahun 1975. SMAN Pemalang tahun 1979, dan S1 Fakultas Peternakan UNDIP tahun 1986. Selanjutnya menempuh pendidikan program S2 Ilmu Peternakan UGM, lulus 2001. Tahun 2003 melanjutkan pendidikan Program S3 pada Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana IPB. Pada tanggal 1 Maret 1987 diangkat sebagai CPNS di Fakultas Peternakan Universitas Mataram, kemudian ditetapkan sebagai PNS sejak 1 Oktober 1988 pada instansi yang sama.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..............................................................................................

xxi

DAFTAR TABEL .......................................................................................

xxiii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................

xxv

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xxvii PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................. Perumusan Masalah ......................................................................... Tujuan Penelitian .............................................................................. Manfaat Penelitian ........................................................................... Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ Kerangka Pemikiran .........................................................................

1 4 5 5 5 6

TINJAUAN PUSTAKA Virus Hepatitis B dan Antigen Permukaan ....................................... Struktur DNA dan Genome Virus Hepatitis B ................................. DNA Rekombinan dan Kloning DNA .............................................. Vaksin Hepatitis B ............................................................................ Aplikasi Rekayasa Genetik di Bidang Peternakan..............................

9 13 19 21 23

KLONING GEN SR100 DALAM RANGKA PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN SEBAGAI MODEL IMUNOGEN UNTUK MENGHASILKAN ANTIBODI Abstrak ............................................................................................. Abstract ............................................................................................ Pendahuluan ..................................................................................... Bahan dan Metode ............................................................................ Hasil dan Pembahasan ...................................................................... Simpulan .......................................................................................... Daftar Pustaka ..................................................................................

25 25 26 27 30 36 36

BIOSINTESIS ANTIGEN PERMUKAAN HEPATITIS B HBsAg100 PADA E. COLI DALAM RANGKA PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN SEBAGAI MODEL IMUNOGEN UNTUK MENGHASILKAN ANTIBODI Abstrak ............................................................................................. Abstract ............................................................................................ Pendahuluan ..................................................................................... Bahan dan Metode ............................................................................ Hasil dan Pembahasan ...................................................................... Simpulan .......................................................................................... Daftar Pustaka ..................................................................................

39 39 40 42 44 47 48

IMUNOGENISITAS PROTEIN REKOMBINAN HBsAg100-GST DALAM MEMICU SEL IMUN UNTUK MENGHASILKAN ANTIBODI PADA MENCIT Abstrak ............................................................................................... Abstract ............................................................................................... Pendahuluan ....................................................................................... Bahan dan Metode .............................................................................. Hasil dan Pembahasan ........................................................................ Simpulan ............................................................................................. Daftar Pustaka ....................................................................................

49 49 49 51 54 57 57

PEMBAHASAN UMUM ..........................................................................

59

SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................

65

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

67

LAMPIRAN ..............................................................................................

71

DAFTAR TABEL Halaman 1 Ukuran genome dari beberapa makhluk hidup dalam bentuk haploid .........

16

2 Daftar primer yang digunakan dalam penelitian ..........................................

30

3 Nilai optikal densiti (OD) serum mencit yang diperoleh dari darah mencit setelah satu minggu dilakukan vaksinasi dengan antigen HBsAg100-GST pada beberapa tingkat pengenceran .............................................................. 56

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Sekelompok virus Hepatitis B (Sumber: Stannard 1995) .................

10

2 Pembesaran dari dua buah core yang ditunjuk dengan tanda panah (Sumber: Stannard 1995) ..................................................................

10

3 Representasi diagram dari virus Hepatitis B dan komponen antigen permukaan (Sumber: Stannard 1995) ...............................................

10

4 Ilustrasi virus Hepatitis B dengan capsid dan internal density yang tampak pada irisan melintang (Sumber: Dryden et al. 2006) ...........

11

5 Diagram struktur dari bagian DNA heliks ganda (Sumber: Andre 2006) .................................................................................................

14

6 Diagram organisasi genome virus hepatitis B (Sumber: Wagner 2004) .................................................................................................

18

7 Koloni E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100 hasil transformasi yang ditumbuhkan pada media seleksi (ampisilin). Koloni berwarna putih merupakan koloni bakteri pembawa plasmid rekombinan, sedangkan koloni berwarna biru tidak membawa plasmid rekombinan ..............................

33

8 Hasil elektrophoresis dari PCR koloni. M = Marker (1000 pb), 1 dan 2 = E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100 sebagai cetakan ..............................................................................................

34

9 Pita DNA plasmid pGEX-4T-2 rekombinan hasil elektroforesis dalam 1% agrosa M : marker DNA λ. Lajur 1: Pita DNA plasmid utuh pGEX-4T-2 rekombinan. Lajur 2, 3, 4, 5, 6, 7 : pita DNA plasmid pGEX-4T-2 rekombinan yang dipotong dengan enzim HindIII ..............................................................................................

34

10 Alignment sekuen gen insert (penyandi antigen HBsAg100) dengan bagian genom virus Hepatitis B (Geneious Basics 5.4.3) ..................

35

11 Hasil ekspresi plasmid rekombinan. Kolom 1 = E.coli BL21 (tanpa membawa plasmid rekombinan), Kolom 2 = E.coli BL21 pembawa plasmid pGEX-4T-2, Kolom 3 = E. coli BL21 pembawa plasmid pGEX-SR100 terlarut, Kolom 4 = E. coli BL21 pembawa plasmid pGEX-SR100 terlarut dengan pengenceran 10x, Kolom 5 = E. coli BL21 pembawa plasmid pGEX-SR100 (pelet), Kolom 6 = E. coli BL21 pembawa plasmid pGEX-SR100 pellet dengan pengenceran 10x, Kolom 7 = E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100 terlarut, Kolom 8 = E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100 terlarut dengan 10 x pengenceran. M = Marker. Tanda panah pada Kolom nomor 2 menunjukkan enzim GST, sedangkan tanda panah pada Kolom nomor 4 menunjukkan protein fusi antara GST dan HBsAg100 .........................................................................................

44

12 Protein rekombinan hasil pemurnian. M = marker (ukuran berat molekul pada masing-masing pita dari atas ke bawah: 116 kDa, 66 kDa, 45 kDa, 31 kDa, 21,5 kDa, 14,4 kDa, 6,5 kDa), Kolom 1 = protein bakteri (unbound protein), Kolom 2 = protein bakteri (unbound protein) diencerkan 10x, Kolom 3 = protein bakteri (unbound protein) 2, Kolom 4 = protein bakteri (unbound protein) 2 yang diencerkan 10x, Kolom 5 = protein rekombinan (bound protein), Kolom 6 = protein rekombinan (bound protein) dengan pengenceran 10x, Kolom 7 = protein rekombinan (bound protein) 2, Kolom 8 = protein rekombinan (bound protein) 2 dengan pengenceran 10x ....... 46 13 Imunisasi terhadap mencit dilakukan dengan penyuntikan secara subcutaneus ......................................................................................... 52 14 Respon humoral mencit terhadap vaksinasi HBsAg100-GST (kelompok A) dan GST (kelompok B) berdasarkan nilai optikal densiti (OD) yang diukur setiap minggu setelah dilakukan vaksinasi... 56

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Topologi dan peta fisik plasmid pGEM-T Easy ....................................

73

2 Genom lengkap dari isolat virus hepatitis B “2059 Java” ..................

74

3 Program PCR yang berhasil digunakan untuk amplifikasi gen SR100..

77

4 Topologi dan peta fisik plasmid pGEX-4T-2 ......................................

78

5 Situs-situs pemotongan dan sekuen lengkap pGEX-4T-2 ...................

79

6 Hasil sekuensing gen SR100 dengan menggunakan primer pGEX-5’...

83

7 Hasil sekuensing gen SR100 dengan menggunakan primer pGEX-3’...

85

8 Mesin Thermal Cycler untuk mengamplifikasi segmen DNA

87

9 Alat elektroforesis untuk memisahkan segmen DNA .........................

87

10 Alat elektroforesis (BIO-RAD) untuk memisahkan molekul protein berdasarkan berat molekulnya (tampak depan) ..................................

88

11 Alat elektroforesis (BIO-RAD) untuk memisahkan molekul protein berdasarkan berat molekulnya (tampak atas) ......................................

88

12 Kelompok kandang mencit dalam penelitian ......................................

89

13 Keadaan mencit di dalam kandang percobaan ....................................

89

14 Proses mencampur HBsAg100-GST dengan Freund’s Adjuvant sebagai bahan vaksin ...........................................................................

90

15 Menyiapkan mencit untuk vaksinasi ...................................................

90

16 Proses vaksinasi terhadap mencit sedang berlangsung .......................

91

17 Pengambilan darah mencit melalui ujung ekor ...................................

91

18 Hasil elisa dalam penentuan konsentrasi serum mencit untuk menguji

92

19 Mesin Elisa Photoreader yang digunakan untuk membaca hasil elisa..

92

20 Printer yang terhubung dengan Mesin Elisa .......................................

93

21 Data hasil pembacaan optikal densiti (OD) terhadap serum mencit yang diperoleh dari darah mencit sebelum dan setelah dilakukan vaksinasi ..............................................................................................

93

PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak tahun 1972 telah berkembang usaha rekayasa genetika yang memberikan harapan bagi industri peternakan, baik yang berkaitan dengan masalah reproduksi, pakan maupun kesehatan hewan. Old dan Primrose (1989) menjelaskan, bahwa teknik rekayasa genetika telah ditemukan pada waktu yang hampir bersamaan, yaitu pertama kali dilaporkan pada tahun 1972 oleh Jackson et al. Selanjutnya dilaporkan pula oleh Lobban dan Kaiser pada tahun 1973 dengan melakukan pengklonan suatu fragmen DNA asing, atau DNA penumpang, atau DNA sasaran dalam suatu vektor. Winarno dan Agustinah (2007), menegaskan bahwa dengan adanya penemuan tersebut menunjukkan awal dimulainya revolusi bioteknologi modern. Bioteknologi baru atau bioteknologi modern juga disebut sebagai rekayasa genetika atau modifikasi genetika. Pada umumnya bioteknologi diasosiasikan sebagai rekayasa genetik dan biologi molekuler, namun sebenarnya lebih luas dari itu, yaitu meliputi mikrobiologi, biokimia dan pengetahuan reproduksi (Wiryosuhanto dan Sudradjat 1992). Menurut Winarno (2004), The European Federation of Biotechnology pada tahun 1982 telah memberikan definisi bahwa bioteknologi adalah aplikasi terpadu dari biokimia, mikrobiologi, ilmu teknik atau rekayasa (engineering) bagi pemanfaatan mikroba, kultur jaringan serta komponen-komponennya dalam skala industri. Wiryosuhanto dan Sudradjat (1992)

mendefinisikan

bioteknologi

sebagai

serangkaian

teknik

yang

berhubungan dengan biokimia dan kemampuan genetik dari mahluk hidup untuk tujuan praktis. Muladno (2002) menyatakan, bahwa semua teknologi yang memanfaatkan mahluk hidup sebagai salah satu komponen utamanya sering disebut sebagai bioteknologi, namun dalam arti sempit, bioteknologi diartikan sebagai teknologi rekayasa genetika yang bekerja pada level molekuler khususnya DNA. Wiryosuhanto dan Sudradjat (1992) menjelaskan, beberapa hasil penelitian bioteknologi peternakan saat ini sudah dapat diaplikasikan dan dimanfaatkan untuk meningkatkan reproduksi ternak, pakan ternak serta untuk memperbaiki

2 status kesehatan hewan. Selanjutnya dijelaskan bahwa bioteknologi reproduksi meliputi inseminasi buatan, embryo transfer dan pemuliabiakan ternak dan dalam upaya peningkatan reproduksi ternak telah dikembangkan penelitian dan aplikasi bioteknologi sampai dengan generasi keempat, yaitu hewan transgenik. Sebagai generasi pertama adalah inseminasi buatan dan embryo transfer merupakan generasi kedua, sedangkan generasi adalah kloning. Bioteknologi di bidang pakan merupakan teknologi biokimia dan mikrobiologi yang telah diaplikasikan untuk perbaikan mutu pakan, seperti manipulasi mikroba rumen maupun dengan perlakuan kimiawi dan mikrobiologi.untuk meningkatkan daya cerna dari hijauan makanan ternak, jerami dan limbah pertanian yang tinggi kadar selulosanya. Bioteknologi kesehatan hewan meliputi: (1) produksi komersial berbagai macam zat penggertak pertumbuhan (growth promotors), seperti produksi hormone dengan DNA rekombinan memanfaatkan bakteri tertentu. (2) produksi komersial substansi imunogenik untuk memproduksi vaksin dengan DNA rekombinan yang lebih baik dan lebih aman dibandingkan dengan antigen konvensional yang berasal dari bakteri atau mikroorganisme lain yang patogen. Selanjutnya Muladno (2002) menjelaskan, bahwa dengan tersedianya bioteknologi rekayasa genetika yang dilahirkan pada tahun 1973, telah memungkinkan manusia untuk mengisolasi gen (serangkaian molekul DNA) serta memanipulasinya dan kemudian memindahkan gen tersebut dari satu organisme ke organisme lain. Perbedaan teknologi ini dibanding dengan teknologi lainnya adalah bahwa teknologi ini memanfaatkan mahluk hidup sebagai komponen utamanya. Mahluk hidup yang digunakan bisa berasal dari mikroorganisme, tanaman atau hewan. Peranan bioteknologi dirasakan semakin bertambah besar dalam menunjang kegiatan pembangunan industri di berbagai sektor, terutama sektor kesehatan dan pertanian termasuk sub sektor peternakan. Cakupan bioteknologi ini sangat luas baik yang baru dalam tahap penelitian maupun yang sudah dapat diaplikasikan. Di bidang kesehatan dan kedokteran, telah ditemukan berbagai jenis obat-obatan baru hasil pengembangan bioteknologi modern, antara lain insulin bagi pasien diabetes yang kini dapat diperoleh lebih mudah dan lebih murah harganya, hormon pertumbuhan manusia dan vaksin Hepatitis B (Winarno dan Agustinah 2007). Hepatitis B ditemukan di seluruh dunia, terutama di negara-negara

3 berkembang. Virus Hepatitis B merupakan penyebab utama hepatitis akut yang dapat berlanjut menjadi kronis, sirosis dan kanker hati. Komplikasi akibat virus ini telah mengakibatkan sekitar 1 juta orang meninggal setiap tahun (Kimura et al. 2005). Selubung virus hepatitis B (hepatitis B virus envelope) terdiri dari membran glikoprotein dimana terdapat 3 bagian protein permukaan yaitu antigen pre-S1 (119 asam amino), pre-S2 (55 asam aminio) dan S (226 asam amino) (Yamada et al. 2001; Jaoude dan Sureau 2005, Barrera et al. 2005). Beberapa ahli menggolongkan ketiga protein tersebut sebagai protein kecil (small), sedang (middle) dan besar (large). Antigen S telah digunakan secara luas sampai saat ini sebagai vaksin konvensional. Menurut Hu et al. (2004a), asam amino ke 139-147 pada bagian S merupakan epitop utama pada protein S tersebut dan asam amino Pre-S1 dan Pre-S2 masih dikaji tingkat immunogenisitasnya melalui serangkaian diagnosa (Maruyama et al. 2000). Proyek immunisasi massal di Lombok menunjukkan penggunaan vaksin konvensional mampu menurunkan prevalensi Hepatitis B hanya sampai 70% (Mulyanto et al. 2002). Hasil immunisasi Hepatitis B tersebut belum optimal, kemungkinan hal ini disebabkan oleh vaksin konvensional tersebut (Korean Green Cross) berasal dari plasma darah orang asing sehingga tidak mampu menstimulasi munculnya antibodi spesifik yang mampu melawan virus Hepatitis B yang terdapat di Indonesia. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini dilaksanakan untuk melakukan rekayasa terhadap gen penyandi antigen permukaan Hepatitis B untuk menghasilkan antigen rekombinan Hepatitis B bagian S (HBsAg100) pada E. coli. Bagian gen penyandi epitop yang bersifat hidrophilik (dari asam amino nomor 100-164) dilaporkan dapat meningkatkan ekspresi pada E. coli. Selain itu, gen penyandi HBsAg100 digabung dengan gen penyandi enzim gluthation-Stransferase (GST) dapat meningkatkan ekspresi maupun solubilitas antigen yang sangat penting untuk aktivitas maupun proses purifikasi. Gen penyandi HBsAg100 adalah gen yang diisolasi dari virus Hepatitis B sub tipe adw sebagai sub tipe utama di Indonesia yang digunakan untuk membuat model dalam memproduksi antigen rekombinan. Selanjutnya model tersebut digunakan untuk menghasilkan

4 protein antibodi yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai kandidat vaksin galur lokal yang mampu memberikan respon antibodi yang spesifik sesuai dengan genetik virus Hepatitis B yang terdapat di Indonesia. Protein HBsAg100 rekombinan yang dihasilkan dengan teknologi rekayasa DNA menggunakan bakteri ini diharapkan dapat menggantikan metode produksi vaksin konvensional dari plasma yang banyak memiliki kelemahan, diantaranya, rendahnya imunogenisitas, sumber plasma yang terus berkurang (karena jumlah penderita penyakit Hepatitis B menurun sejalan dengan keberhasilan program vaksinasi), serta kekhawatiran adanya kontaminasi penyakit lain (terutama HIV) pada serum donor. Antigen ini diharapkan dapat menghasilkan kandidat vaksin rekombinan Hepatitis B yang sesuai dengan genetik virus tersebut di Indonesia, karena gen penyandi antigen tersebut diisolasi dari virus HB yang terdapat di Indonesia. Perumusan Masalah Perlunya dikembangkan bioteknologi dalam memenuhi kebutuhan manusia dalam

perkembangan

dunia

global

dapat

dipertimbangkan

berdasarkan

permasalahan sebagai berikut: 1 Bioteknologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. 2 Perkembangan bioteknologi yang sangat pesat perlu dimanfaatkan secara maksimal. 3 Aplikasi bioteknologi di Indonesia masih terbatas, sehingga perlu untuk digali dan dikembangkan,

khususnya di bidang peternakan yang

meliputi

bioteknologi reproduksi, pakan ternak dan bioteknologi molekuler di bidang produksi ternak dan kesehatan hewan seperti pembuatan bahan obat dan bahan vaksin. 4 Di bidang kesehatan hewan, penggunaan vaksin konvensional yang mempunyai banyak kelemahan bisa diatasi dengan pembuatan bahan vaksin dari protein imunogenik rekombinan.

5 Tujuan Penelitian 1 Membuat model plasmid rekombinan untuk memproduksi protein HBsAg100 rekombinan. 2 Menghasilkan klon pembawa gen penyandi HBsAg100 yang telah dikloning dengan plasmid yang khusus digunakan untuk ekspresi (pGEX-4T-2). 3 Produksi dan isolasi protein HBsAg100-GST rekombinan. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk produksi substansi antigenik dalam rangka memproduksi vaksin dengan DNA rekombinan yang lebih baik dan lebih aman dibandingkan dengan antigen konvensional yang berasal dari bakteri atau mikroorganisme lain yang patogen. Ruang Lingkup 1 Mengisolasi gen penyandi HBsAg100 dari virus Hepatitis B sub tipe adw yang merupakan sub tipe utama di Indonesia. 2 Memperbanyak HBsAg100 dengan PCR. 3 Membuat plasmid rekombinan melalui ligasi HBsAg100 dengan plasmid pGEX-4T-2. 4 Melakukan transformasi plasmid rekombinan terhadap E. coli DH5α untuk kloning,

dilanjutkan dengan skrining klon yang

membawa plasmid

rekombinan. Sekuensing dilakukan untuk memastikan tidak terdapat mutasi pada gen target, kemudian dilanjutkan lagi dengan transformasi ke dalam E. coli BL21 untuk menghasilkan protein HBsAg100-GST rekombinan. 5 Melakukan pengujian antigenisitas protein antigen S rekombinan pada mencit BALB/c dengan teknik ELISA. Melakukan pengujian imunogenisitas protein HBsAg100-GST rekombinan melalui respon mencit BALB/c yang diimunisasi dengan HBsAg100-GST, kemudian melakukan pengambilan serum dan menganalisa kandungan antibodi yang terbentuk dengan teknik ELISA.

6 Kerangka Pemikiran Indonesia merupakan daerah hiperendemik penyakit Hepatitis B. Harga obat yang digunakan untuk mengatasi penyakit tersebut sangat mahal, sehingga vaksinasi merupakan metode yang lebih murah dan efektif. Vaksin konvensional yang digunakan di Indonesia saat ini (Korean Green Cross) merupakan vaksin yang dihasilkan dari plasma darah orang asing. Virus Hepatitis B merupakan virus DNA yang memiliki enzim polymerase dengan kecermatan rendah, maka frekuensi terjadinya mutasi cukup tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan sekuen dari gen virus Hepatitis B yang ada di luar negeri dengan virus Hepatitis B yang terdapat di Indonesia. Penggunaan vaksin galur luar negeri akan menstimulasi munculnya tanggap kebal (antibodi) spesifik terhadap virus Hepatitis B yang ada di luar negeri. Sebaliknya, vaksin tersebut kemungkinan kurang efektif untuk menghasilkan antibodi yang spesifik untuk melawan virus Hepatitis B yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, produksi protein HBsAg100 rekombinan sebagai kandidat vaksin Hepatitis B yang terdapat di Indonesia sangat mendesak untuk dilakukan sehingga dihasilkan respon antibodi yang mampu melawan virus tersebut. Berkaitan dengan hal ini, maka sangat perlu dilakukan penelitian tentang “Produksi Protein Rekombinan HBsAg100-GST sebagai Model Imunogen untuk Menghasilkan Antibodi pada Mencit”. Masalah utama untuk menghasilkan antigen permukaan Hepatitis B menggunakan bakteri E. coli adalah rendahnya tingkat ekspresi. Hal ini disebabkan karena ekspresi gen penyandi antigen permukaan Hepatitis B terhambat oleh adanya bagian gen up-stream yang menghasilkan protein bagian dari antigen yang bersifat hidrophobik (Sheu dan Lo 1995). Selain itu, hasil penelitian pendahuluan dalam rangkaian penelitian ini menunjukkan bahwa antigen permukaan Hepatitis B bersifat toksik bagi inang (E. coli). Oleh karena itu, penelitian yang mengarah pada optimalisasi ekspresi antigen pada E. coli sangat perlu dilakukan. Pada penelitian ini, optimalisasi ekspresi dilakukan dengan melakukan kloning dan ekspresi gen yang menghasilkan antigen hidrophilik yang tetap mempertimbangkan utuhnya bagian-bagian epitop dari antigen tersebut. Disamping itu, sifat toksik antigen tersebut akan diatasi dengan mencegah terjadinya ekspresi dini (leacky expression) sebelum populasi bakteri

7 mencukupi untuk menghasilkan antigen yang memadai. Pencegahan ekspresi dini tersebut akan dilakukan dengan pengayaan media melalui penambahan glukosa untuk mencegah bakteri E. coli mengalami kekurangan nutrisi yang merupakan penyebab bakteri tersebut mengekspresikan berbagai jenis enzim (termasuk protein rekombinan) untuk melakukan metabolisme terhadap media. Tidak adanya protein disulfide isomerase pada bakteri E. coli menyebabkan protein rekombinan yang diekspresi menggunakan bakteri ini tidak mampu mengalami folding secara sempurna. Hal ini berdampak pada rendahnya kelarutan serta aktifitas dari protein yang dihasilkan. Strategi yang banyak dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah melakukan penggabungan dengan gluthationeS-transferase (GST) (Vikis dan Guan 2000; Koschorreck et al. 2005). Oleh karena itu, penggabungan antigen permukaan Hepatitis B yang akan diproduksi dengan GST sangat perlu dilakukan. Disamping itu, penggabungan dengan GST juga akan sangat mempermudah proses pemurnian. Adanya kolum GSTrap yang tersedia secara komersial merupakan tindak lanjut dihasilkannya plasmid pGEX4T-2 yang akhir-akhir ini sangat popular digunakan untuk produksi protein rekombinan pada bakteri E. coli. Hal ini disebabkan karena plasmid tersebut merupakan plasmid yang mampu menghasilkan protein rekombinan dalam jumlah banyak (Ali et al. 2005).

TINJAUAN PUSTAKA Virus Hepatitis B dan Antigen Permukaan Menurut Dayal dan Maldonado (1998), Virus Hepatitis B masuk dalam famili virus Hepadna dan mempunyai ukuran genome yang terkecil diantara semua virus DNA hewan, yaitu dengan ukuran panjang 3,2 kb. Menurut Stannard (1995), virus Hepatitis B menyebabkan infeksi kronis dan akut pada hati manusia. Infeksi akut biasanya sampai beberapa bulan saja, sedangkan infeksi kronis bisa mencapai bertahun-tahun bahkan bisa sampai selama hidupnya. Diameter total dari virus Hepatitis B adalah 42 nm, sedangkan diameter core atau nucleocapsidnya adalah 27 nm. Core dilapisi oleh mantel (outer coat) yang tebalnya sekitar 4 nm. Protein yang terdapat pada mantel disebut surface antigen atau HBsAg. HBsAg ini kadang-kadang berkembang memanjang membentuk ekor (tubular) pada salah satu sisi dari partikel virus tersebut. Gambaran virus Hepatitis B yang lebih jelas, diilustrasikan pada Gambar 1, Gambar 2, Gambar 3 dan Gambar 4. Virus Hepatitis B (VHB) telah menginfeksi sampai ratusan juta orang di seluruh dunia dan sekitar 20 juta orang terinfeksi setiap tahun, dan sekitar 78% penderita berdomisili di Asia (Joshi dan Kumar 2001). Di Indonesia, jumlah penderita penyakit tersebut mencapai sekitar 15 juta orang. VHB merupakan penyebab utama sirosis (pengerasan hati) dan kanker hepatoseluler (Human Hepatocellular Carcinoma) yang merupakan salah satu penyakit terganas penyebab kematian di seluruh dunia. Jenis kanker ini telah menyebabkan kematian lebih dari 1 juta orang setiap tahun (Ji et al. 2005).

10

Gambar 1. Sekelompok virus Hepatitis B (Sumber: Stannard 1995).

Gambar 2 Pembesaran dari dua buah core yang ditunjuk dengan tanda panah (Sumber: Stannard 1995).

Gambar 3 Representasi diagram dari virus Hepatitis B dan komponen antigen permukaan (Sumber: Stannard 1995).

11

Gambar 4 Ilustrasi virus Hepatitis B dengan capsid dan internal density yang tampak pada irisan melintang (Sumber: Dryden et al. 2006).

Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar infeksi virus Hepatitis B yang bersifat menetap, timbul sebagai akibat infeksi pada waktu bayi dan anak-anak. Makin muda usia seseorang terkena infeksi virus tersebut, maka akan lebih besar kemungkinannya untuk menderita infeksi virus Hepatitis B yang menetap, sehingga lebih besar jumlah resiko untuk menjadi sirosis hati dan kanker hati primer dikemudian hari (Mulyanto et al. 2002). Penelitian tentang sebaran geografis virus ini menunjukkan bahwa virus tersebut tersebar di seluruh dunia. Namun, prevalensi tertinggi ditemukan di Asia Tenggara dan Sub-sahara Afrika. Mulyanto et al. (1997) membagi zona distribusi sub tipe virus Hepatitis B di Indonesia berdasarkan perbedaan epitope pada HBsAg menjadi 4 bagian: (1) zona adw yang merupakan sub tipe utama di Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan bagian Selatan, Bali, Lombok, Ternate dan Morotai, (2) zona ayw yang meliputi bagian barat dari Nusa Tenggara dan Maluku, (3) zona adr meliputi Papua, dan (4) campuran antara berbagai sub tipe yang terdapat di Kalimantan Selatan dan Sumbawa.

12 Virus Hepatitis B merupakan virus DNA untai ganda dengan panjang genome mencapai 3.2-3.3 kilo pasangan basa (kpb). Virus yang termasuk famili hepadnaviridae tersebut memiliki genome yang terbungkus oleh glycoprotein. Siklus replikasi virus ini dimulai dengan melekatnya protein selubung tersebut pada hepatosit. Di dalam inti sel hati, sintesis DNA virus disempurnakan dimana genome virus tersebut diubah menjadi cccDNA (covalently closed circular DNA). cccDNA inilah yang akan menjadi template untuk sintesis RNA yang kemudian akan diubah menjadi DNA virus (Lok dan McMahon 2001). Selubung virus Hepatitis B (Hepatitis B virus envelope) terdiri dari membran glikoprotein dimana terdapat 3 bagian protein permukaan yaitu antigen pre-S1 (119 asam amino), pre-S2 (55 asam aminio) dan S (226 asam amino) (Jaoude dan Sureau 2005; Barrera et al. 2005). Beberapa ahli menggolongkan ketiga protein tersebut sebagai protein kecil (small), sedang (middle) dan besar (large). Antigen pre-S1 memiliki beberapa epitop yang memiliki daya immunogenik (Hu et al. 2004). Antigen bagian pre-S1 ini dibutuhkan oleh virus Hepatitis B untuk melakukan infeksi pada korban (Barrera et al. 2005). Menurut Deng et al (2005), asam-asam amino Pre-S1 pada nomor 21-47 merupakan epitop yang berfungsi untuk melekatnya virus pada jaringan hati. Oleh karena itu, protein bagian ini memiliki peranan yang sangat penting untuk siklus virus Hepatitis B. Antigen pre-S2 diduga mempunyai tingkat imunogenisitas lebih tinggi dibandingkan HBsAg (Ji et al. 2005) terutama 26 asam amino pada ujung N (Joung et al. 2004). Antigen pre-S2 mempunyai peranan sangat penting, hal ini telah dibuktikan secara nyata melalui serangkaian diagnosa (Maruyama et al. 2000). Menurut Hu et al. (2004a), HBsAg telah digunakan secara luas sampai saat ini sebagai vaksin konvensional, asam-asam amino ke 139-147 pada bagian S merupakan epitop utama pada protein S (HBsAg). Namun demikian, penghilangan epitop ini masih tetap dapat memberikan reaksi antigenisitas yang menunjukkan bahwa masih terdapat epitop lain selain epitop yang terletak pada asam-asam amino nomor 139-147 tersebut.

13

Struktur DNA dan Genome Virus Hepatitis B Menurut Winarno dan Agustinah (2007), DNA adalah deoxyribo nucleic acid, yaitu sebuah asam nukleat yang terdiri atas sejumlah nukleotida yang diatur sedemikian rupa sehingga berbentuk single strand. Biasanya dua buah utas DNA saling melingkar satu sama lain untuk membentuk sebuah double helix (heliks ganda), seperti ditunjukkan oleh Andre (2006) pada Gambar 5. Muladno (2002) menegaskan bahwa untuk membentuk rangkaian molekul DNA heliks ganda, basa nitrogen dari setiap nukleotida dalam satu rangkaian akan berpasangan dengan basa nitrogen dari setiap nukleotida pada rangkaian lainnya melalui ikatan hidrogen. Pengikatan basa nitrogen dari masing-masing nukleotida tersebut sangat spesifik. Basa A (Adenine) dari satu nukleotida selalu berikatan dengan basa T (Thymine) dari nukleotida lainnya, sedangkan basa G (Guanine) selalu berpasangan dengan basa C (Cytosine). Pasangan A dan T terbentuk dengan dua ikatan hidrogen, sedangkan pasangan G dan C terbentuk dengan tiga ikatan hidrogen. Oleh karena itu, pasangan G-C lebih stabil daripada pasangan A-T. Winarno dan Agustinah (2007) menjelaskan, bahwa gugus basa DNA terdiri atas empat senyawa berikut: sitosin, adenin, guanin atau timin. Gugus gulanya adalah deoksiribosa. DNA terdapat di dalam kromosom prokariot dan eukariot dan di dalam mitokondria eukariot. DNA merupakan materi kebakaan atau keturunan di hampir semua organisme hidup yang mampu memperbanyak dirinya sendiri dalam pembelahan inti. Winarno dan Agustinah (2007) menjelaskan bahwa hipotesa Watson dan Crick merupakan hipotesa berdasarkan X-ray crystallography yang mengusulkan bahwa DNA merupakan suatu heliks ganda dari dua uliran rantai fosfat dan gula yang saling bergantian, dengan gula yang terkait oleh sepasang basa. Selanjutnya Muladno (2002) menjelaskan, bahwa Watson dan Crick akhirnya memperoleh Nobel dalam bidang biologi modern pada tahun 1953 setelah menemukan bukti bahwa struktur DNA adalah heliks ganda. Penemuan ini merupakan tonggak sejarah yang penting terhadap munculnya teknologi rekayasa genetika yang lahir 20 tahun kemudian, yaitu tahun 1973. DNA bersama-sama protein (histone) dan molekul ribo nucleic acid (RNA), terdapat di dalam inti sel. Ketiga materi tersebut saling kait mengkait dalam suatu

14 susunan yang sangat rumit membentuk kromosom yang merupakan komponen penting dalam semua sel mahluk hidup.

Gambar 5 Diagram struktur dari bagian DNA heliks ganda (Sumber: Andre 2006). Melalui suatu proses kimia, kromosom dapat dikeluarkan dari inti sel. Selanjutnya, protein yang berikatan dengan DNA dilisiskan dengan enzim proteinase, sedangkan RNA yang masih berada di sekitar DNA dikatalisis atau diurai dengan enzim RNAse. Selanjutnya, DNA yang telah terbebas dari protein (histone) dan RNA siap direkayasa atau dimanipulasi dalam teknologi rekayasa genetika (Muladno 2002). Old dan Primrose (1989) menjelaskan, bahwa istilah manipulasi gen dapat diterapkan pada beberapa macam teknik genetika in-vivo maupun in-vitro yang canggih. Di negara-negara Barat terdapat definisi resmi

15 yang tepat untuk istilah manipulasi gen sebagai akibat adanya peraturan Pemerintah untuk mengendalikannya. Di Inggris, manipulasi gen didefinisikan sebagai pembentukan kombinasi baru materi yang dapat diturunkan dengan melakukan penyisipan (insertion) molekul-molekul asam nukleat, yang dihasilkan dengan cara apapun di luar sel, ke dalam suatu virus, plasmid bakteri atau sistem pembawa lainnya yang memungkinkan terjadinya penggabungan ke dalam organisme inang secara tidak alami tetapi selanjutnya mampu melakukan penggandaan lagi. Definisi resmi ini menekankan penggandaan molekul asam nukleat asing (asam nukleat ini hampir selalu DNA) di dalam tubuh organisme inang yang berbeda. Kemampuan untuk melintasi penghalang spesies alami dan memasukkan gen-gen dari organisme apapun ke dalam suatu organisme inang yang tidak berhubungan merupakan satu ciri penting manipulasi gen. Ciri penting kedua berupa kenyataan bahwa relatif sepotong kecil DNA tertentu digandakan dalam tubuh organisme inang. Setiap organisme mempunyai sebuah genome yang mengandung semua informasi biologik yang diperlukan untuk membangun dan memelihara kehidupan organisme tersebut. Informasi biologik yang terkandung di dalam genome dikode oleh DNA yang terkandung di dalam genome yang dibagi ke dalam unit-unit khusus yang disebut gen (Barnum 2005). Menurut Winarno dan Agustinah (2007), genome dalam arti sederhana berarti satu set lengkap mengandung informasi genetika yang dimiliki oleh suatu organisme. Selanjutnya dijelaskan oleh Muladno (2002), bahwa setiap mahluk hidup mempunyai sel yang di dalam inti selnya terdapat kromosom dengan jumlah berbeda-beda untuk setiap mahluk hidup. Manusia mempunyai 23 pasang kromosom dalam setiap intinya. Sapi mempunyai 30 pasang kromosom, lalat buah Drosophila mempunyai empat pasang kromosom, bakteri E. coli mempunyai satu kromosom. Beberapa peneliti lain menambahkan, bahwa virus hepatitis B mempunyai 1 kromosom (Dayal dan Maldonado 1998; Mason et al. 1998; Burda et al. 2001; Muljono dan Soemohardjo 2003; Anzola 2004; Wagner et al. 2004; Beck dan Nassal 2007; GenBank 2008; Nurainy et al. 2008). Menurut Muladno (2002), total kromosom dalam inti sel dinamakan genome atau lebih tepatnya disebut genome inti karena berasal dari inti sel. Jadi

16 bisa dikatakan bahwa genom manusia terdiri atas 23 pasang kromosom, genom sapi terdiri atas 30 pasang kromosom, dan seterusnya. Apabila DNA dari genom tersebut direntang secara linear, maka ukuran panjang rentangan DNA pada genom tersebut berbeda-beda pada setiap organisme seperti dijelaskan pada Tabel 1. Rentangan DNA dari genom tersebut disebut genomic DNA. Berdasarkan data pada Tabel 1, maka dapat dijelaskan bahwa besarnya ukuran genom tidak mencerminkan besarnya ukuran makhluk hidup, seperti apabila membandingkan ukuran tubuh manusia dengan ukuran tubuh tikus yang sangat jauh berbeda, tetapi keduanya mempunyai ukuran genom yang hampir sama. Demikian pula, ukuran tubuh cacing yang jauh lebih besar dari ukuran tubuh lalat buah Drosophila, tetapi ukuran genome cacing lebih sedikit daripada ukuran genome lalat buah Drosophila. Tabel 1 Ukuran genome dari beberapa makhluk hidup dalam bentuk haploid Jenis mahluk hidup Virus Hepatitis B Virus T4 Bakteri E.coli Jamur Cacing Lalat buah Drosophila Tikus Manusia

Ukuran genome (dalam pb) 3 215* 160 000** 4 200 000** 20 000 000** 80 000 000** 140 000 000** 3 000 000 000** 3 300 000 000**

Sumber: *Nurainy et al. 2008, **Lewin 1990.

Muladno (2002) menyatakan, bahwa virus dan bakteri merupakan makhluk hidup yang sederhana dan mempunyai ukuran genome yang kecil sehingga organisasi genomenya juga sederhana. Oleh karena itu, kedua makhluk hidup ini menjadi “bahan utama” untuk penelitian-penelitian dalam bidang genetika molekuler. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa virus Hepatitis B mempunyai ukuran genome yang terkecil diantara semua virus DNA, yang menurut beberapa peneliti (Dayal dan Maldonado 1998; Burda et al. 2001; Muljono dan Soemohardjo 2003; Anzola 2004; Wagner et al. 2004; Beck dan Nassal 2007; Nurainy et al. 2008), virus Hepatitis B mempunyai ukuran panjang genom sekitar

17 3.2 kb. Dayal dan Maldonado (1998) menjelaskan bahwa virus hepatitis B mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1

Genome virus hepatitis B yang menurut mereka ditemukan oleh William S. Robinson dari Stanford University School of Medicine merupakan genome yang terkecil dengan ukuran panjang 3,2 kb. Diagram organisasi genome virus Hepatitis B diilustrasikan pada Gambar 7.

2

Informasi genetik dibawa melalui DNA rantai ganda.

3

DNA penyusun genome terdiri atas rantai yang lebih panjang yang disebut rantai negatif (-) lengkap, dan rantai positif (+) tidak lengkap, terdapat sekitar 15-50% merupakan rantai tunggal.

4

Genome sirkuler dipertahankan dalam bentuk longgar oleh pasangan basa dari sekuen overlap 240 nukleotida dan Direct Repeats (DR) pendek antara kedua rantai pada ujung 5’.

5

Ujung 5’ dari rantai negatif (-) mengikat protein secara kovalen, sedangkan ujung 5’ dari rantai positif (+) mengikat oligoribonukleotida sebagai RNA primer.

6

Nukleokapsid berbentuk icosahedral.

7

Nukleokapsid dikelilingi oleh amplop lipid.

8

Diameter Nukleokapsid 27 nm.

9

Melalui gambar mikrograf elektron, virus tampak spherical (bentuk bola) dengan diameter total 42 nm.

10 Mengandung 4 Overlapping Open Reading Frames (ORF): S, C, P, dan X yang disandi pada rantai DNA (-). 11 Nomer Triangulasi=3 (T=3). 12 Gen S terdiri atas 3 bagian: yaitu pre-S1, pre-S2, dan S. Tiga macam protein yang berbeda diproduksi oleh kombinasi dari ke tiga gen tersebut dalam kombinasi yang berbeda: protein L (large protein), yaitu protein pada amplop yang dibuat berdasarkan pengkodean dari gen-gen pre-S1, pre-S2, dan S; protein M (middle-sized proteins/medium surface protein) pada amplop yang dikode oleh gen pre-S2 dan gen S; dan protein S yang merupakan komponen mayor (major component) dari HBsAg.

18

Gambar 6 Diagram organisasi genome virus hepatitis B (Sumber: Wagner 2004). Nurainy et al. (2008) melalui risetnya yang berjudul Genetic Study of Hepatitis B Virus in Indonesia Reveals a New Subgenotype of Genotype B in East Nusa Tenggara dengan menggunakan isolat Virus Hepatitis B 2059Java, berhasil menemukan sekuen genom lengkap Virus Hepatitis B (Lampiran 2). Selanjutnya dijelaskan, bahwa sekuen genome lengkap tersebut tersusun atas 4 overlapping open reading frames yang masing-masing mempunyai sekuen sebagai berikut: 1 Gen P (sekuen:2307-3215, 1-1623); yang menyandi pembentukan enzim-enzim DNA polymerase, reverse trancriptase, dan RNAse. 2 Gen S yang terdiri atas 3 bagian, yaitu: gen pre-S1, gen pre-S2, dan gen S. Tiga jenis protein amplop VHB yang berbeda diproduksi berdasarkan pengkodean dari kombinasi tiga gen-gen ini dalam kombinasi yang berbeda. (1) Protein L (large protein) dikode oleh kombinasi dari gen-gen pre-S1, pre-S2, dan S (sekuen: 2848-3215, 1-835). (2) Protein M (medium protein) dikode oleh kombinasi dari gen pre-S2 dan gen S (sekuen: 3205-3215, 1-835). (3) Protein S (HBsAg) dikode oleh gen S (155-835). 3 Gen X (sekuen: 1374-1838); yang menyandi pembentukan protein X yang peranannya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga berperan dalam aktivasi transkripsi.

19 4 Gen C (sekuen: 1814-2452); yang berperan mengkode pembentukan HBcAg (antigen core). DNA Rekombinan dan Kloning DNA DNA rekombinan adalah suatu DNA buatan atau hasil rekayasa yang berasal dari satu sumber atau lebih yang tergabung ke dalam satu molekul rekombinan (Barnum 2005). Selanjutnya, Winarno dan Agustinah (2007) menjelaskan,

bahwa

teknologi

rekayasa

genetika

merupakan

kegiatan

bioteknologi modern dengan teknologi DNA rekombinan (rDNA) untuk melakukan pemindahan atau transfer suatu sifat tertentu yang dibawa gen, yang tersusun dalam DNA, dari suatu spesies yang sama atau berbeda untuk menghasilkan spesies baru yang lebih unggul. Muladno (2002) juga menyatakan, seiring dengan kemajuan teknologi molekuler, perpindahan gen dapat terjadi antar organisme yang sama sekali tidak berkerabat dekat, misalnya gen manusia dipindahkan ke bakteri atau gen manusia dipindahkan ke hewan ternak. Perpindahan gen tersebut mengakibatkan terbentuknya molekul DNA yang berasal dari sumber yang berbeda dapat digabungkan menjadi DNA rekombinan. Teknik menggabungkan molekul DNA tersebut dikenal sebagai Teknik DNA Rekombinan. Biasanya DNA rekombinan merupakan gabungan antara DNA vektor yang merupakan molekul DNA yang dapat mereplikasi diri dan DNA asing yang biasanya berupa gen dari suatu mahluk hidup. Vektor tersebut berfungsi sebagai pembawa DNA asing yang berasal dari suatu organisme untuk dipindahkan ke dalam organisme lain. Gen yang terkandung pada DNA rekombinan di dalam organisme resipien diharapkan dapat diekspresikan untuk menghasilkan protein (Muladno 2002). Menurut Glick dan Pasternak (1994), teknologi DNA rekombinan, juga disebut kloning gen atau kloning molekuler, adalah suatu istilah yang mencakup sejumlah protokol percobaan yang bertujuan untuk transfer informasi genetik (DNA) dari suatu organisme ke organisme yang lain. Percobaan DNA rekombinan biasanya mengikuti prosedur sebagai berikut: 1 DNA target (DNA asing, DNA insert, DNA klon) dari organisme donor diekstrak, dipotong secara enzimatik, kemudian disambung dengan plasmid

20 atau DNA vektor (vektor kloning) untuk membentuk suatu bentuk baru yang disebut molekul DNA rekombinan (rDNA). 2 DNA rekombinan tersebut ditransfer ke dalam sel inang. Proses introduksi DNA rekombinan ke dalam suatu sel inang atau bakteri disebut transformasi. 3 Selanjutnya sel-sel bakteri tersebut dikultur dan diseleksi atau dimurnikan, kemudian diisolasi. 4 Sel-sel bakteri inang yang telah dimurnikan dan diisolasi, siap dikultur atau dikembangbiakkan untuk memproduksi protein spesifik yang dikode oleh DNA klon yang terkandung dalam DNA rekombinan. Pembuatan DNA rekombinan memerlukan bantuan dua macam enzim. Pertama, enzim endonuclease (restriction enzyme) berperan sebagai pemotong molekul DNA. Kedua, enzim ligase berfungsi untuk menggabungkan molekulmolekul DNA yang telah dipotong oleh enzim restriksi (Muladno 2002; Barnum 2005). Ilustrasi tahapan pembuatan DNA rekombinan pada Gambar 8 menunjukkan bahwa enzim endonuclease yang digunakan untuk memotong kedua sumber DNA adalah BamHI. Enzim restriksi ini memotong kedua molekul DNA tersebut pada lokasi yang sama dengan membentuk potongan sticky end atau kohesif. Selanjutnya enzim ligase DNA menggabungkan kedua molekul DNA tersebut dengan ikatan kovalen menjadi satu molekul DNA rekombinan. Muladno (2002) menegaskan bahwa pada prinsipnya kloning DNA adalah proses penggandaan jumlah DNA rekombinan melalui proses perkembangbiakan sel bakteri (biasanya E. coli). Hal ini dilakukan dengan memasukkan DNA rekombinan yang dihasilkan dari proses penggabungan tersebut di atas ke dalam sel E. coli. Selanjutnya sel ini diinkubasi pada suhu optimal sehingga sel dapat berkembangbiak secara eksponensial. Masuknya molekul DNA rekombinan ke dalam sel akan mengubah fenotip sel tersebut, sehingga proses pemasukan molekul DNA ke dalam sel juga disebut transformasi. Sel yang digunakan dalam proses transformasi ini biasanya disebut dengan sel kompeten. Plasmid merupakan molekul kecil yang berukuran sekitar lima ribu pasang basa yang terdapat di dalam sel bakteri Escherichia coli, posisinya terpisah dengan kromosom dan mampu mereplikasi sendiri tanpa harus bergantung kepada

21 kromosom, kebanyakan berupa rangkaian molekul DNA untai ganda dan biasanya berbentuk bulat. Selanjutnya Glick dan Pasternak (1994) menerangkan, bahwa ori adalah sekuen nukleotida yang merupakan tempat diawalinya atau dimulainya sintesis DNA pada saat replikasi. Barnum (2005) menjelaskan, ada beberapa cara dalam melakukan kloning DNA, dan metode yang digunakan bervariasi tergantung pada tipe DNA, tipe sel inang, dan tujuan akhir dari kloning DNA. Contohnya, tipe vektor yang digunakan untuk kloning akan tergantung kepada apakah DNA klon akan tetap berada di dalam vektor atau akan disisipkan ke dalam kromosom sel inang. Vaksin Hepatitis B Menurut Dayal dan Maldonado (1998), vaksin hepatitis B yang pertama kali mendapat lisensi (pada tahun 1981) adalah Heptavax-B dan telah dipasarkan oleh Merck Sharp dan Dhome. Vaksin tersebut diperoleh dari hasil ekstraksi dan pemurnian antigen HBsAG dari serum penderita hepatitis B kronis. Selanjutnya dijelaskan bahwa vaksin rekombinan atau sebagai hasil rekayasa genetika yang telah berhasil diproduksi secara komersial adalah Recombivax HB Chiron Corp dan Merck serta Engerix-B oleh SmithKline Biologicals. Vaksin rekombinan tersebut diproduksi dari hasil kloning gen HBsAg yang terdapat di dalam yeast. Joung et al. (2004) menyatakan, hampir semua vaksin hepatitis B konvensional yang sudah mendapat lisensi saat ini adalah vaksin yang dihasilkan dari plasma. Namun, keberhasilan program imunisasi menyebabkan pasien hepatitis B yang akan menjadi sumber vaksin tersebut semakin berkurang yang berakibat pada semakin terbatasnya darah yang dapat digunakan sebagai sumber vaksin. Oleh sebab itu produksi vaksin hepatitis B dengan menggunakan plasma semakin sulit dilakukan. Kekhawatiran terhadap adanya kontaminan pada darah terutama oleh virus berbahaya seperti HIV, menimbulkan kekhawatiran tersendiri untuk menggunakan vaksin yang bersumber dari plasma tersebut. Menurut Mulyanto et al. (1997), Indonesia merupakan daerah endemik sedang sampai tinggi untuk penyakit hepatitis B, sehingga WHO menghimbau untuk segera melaksanakan usaha pencegahan. Pengobatan terhadap penderita penyakit hepatitis B yang sangat mahal menyebabkan tindakan preventif melalui

22 vaksinasi merupakan tindakan yang lebih tepat. Vaksinasi secara besar-besaran dinilai efektif untuk mencegah terjadinya penyakit ini. Selanjutnya Mulyanto et al. (2002) menyatakan, bahwa pada tahun 1987, Pemerintah Indonesia menjadikan Pulau Lombok sebagai model immunisasi massal Hepatitis B pertama di dunia. Hal ini disebabkan karena tingkat endemik penyakit tersebut di Pulau Lombok sangat tinggi. Hasil proyek percontohan tersebut cukup menggembirakan sehingga pemerintah mulai memperluas program immunisasi ke 4 propinsi yang lain di tahun 1991 dan kemudian ke 6 propinsi lainnya pada tahun 1992. Saat ini pemerintah Indonesia telah mengintegrasikan vaksinasi Hepatitis B untuk balita ke

dalam

Program

Pengembangan

Imunisasi

(Extended

Program

of

Immunization). Berbagai upaya untuk menghasilkan vaksin yang mengandung antigen rekombinan

telah

dilakukan,

diantaranya

dengan

memproduksi

antigen

menggunakan sel tanaman maupun ragi. Keberhasilan ekspresi antigen tersebut telah dilaporkan melalui kultur sel tembakau (Kumar et al. 2003), maupun ragi (Maruyama et al. 2000; Lu et al. 2002; Ddeman & Zyl 2003; Hu et al. 2004). Meskipun vaksin tersebut memberikan hasil yang sangat memuaskan, sistem produksi menggunakan hewan maupun tanaman terhambat oleh lamanya waktu yang diperlukan, terjadi variasi pada produk akhir, terkontaminasi oleh bahanbahan kimia pertanian serta kesulitan dalam meningkatkan hasil produk akibat rumitnya faktor-faktor regulasi. Penggunaan bakteri E. coli menjadi pilihan terakhir karena waktu yang lebih singkat, harga media lebih murah serta teknologi pembiakan maupun komponen-komponen yang dibutuhkan untuk optimalisasi transkripsi maupun translasi telah dikuasai (Ali 2006). Produksi bagian yang sederhana dari antigen permukaan Hepatitis B dengan menggunakan bakteri E. coli bisa dilakukan, namun demikian berbeda dengan hasil ekspresi yang dilakukan dengan induk semang hewan maupun tumbuhan yang dapat menghasilkan produksi yang tinggi, ekspresi menggunakan E. coli menghasilkan produk yang sedikit. Hal ini disebabkan oleh sifat antigen permukaan Hepatitis B yang toksik bagi E. coli. Maeng et al. (2001) melakukan percobaan ekspresi gen virus Hepatitis B secara parsial yang diikuti dengan menggabungkan gen tersebut dengan gen penyandi enzim gluthathion-S-

23 transferase (GST), dengan demikian ekspresi gen dan kelarutan antigen permukaan Hepatitis B pada E. coli tersebut bisa ditingkatkan. Ekspresi gen tersebut dilakukan dibawah kontrol promoter tac. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tingkat ekspresi antigen pre-S1 yang digabung dengan GST. Koschorreck et al. (2005) juga melaporkan terjadi peningkatan solubilitas protein rekombinan yang digabung dengan GST. Terjadinya peningkatan kelarutan ini sangat penting untuk proses pemurnian antigen rekombinan dengan menggunakan kolum yang telah tersedia secara komersial. Aplikasi Rekayasa Genetik di Bidang Peternakan Menurut Winarno dan Agustinah (2007), WHO telah meramalkan bahwa populasi dunia akan berlipat dua pada tahun 2020 sehingga jumlahnya akan lebih dari 10 milyar. Oleh karena itu, produksi pangan juga harus ditingkatkan. Kendalanya adalah jumlah sisa lahan dunia yang belum termanfaatkan saat ini sangat kecil dan terbatas. Teknologi rekayasa genetika atau GMO akan memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatasi kendala tersebut. Teknologi rekayasa genetika dapat menjadi strategi yang sangat bagus untuk meningkatkan produksi pangan. Wiryosuhanto dan Sudradjat (1992) menjelaskan, bahwa teknologi rekayasa genetika merupakan alat yang dapat membantu pengusaha industri peternakan untuk meningkatkan status kesehatan ternaknya, meningkatkan feed convertion, dan memperpendek waktu pemeliharaan sampai mencapai berat badan yang sesuai dengan permintaan pasar. Teknologi rekayasa genetik memberi harapan untuk diaplikasikan di dalam pembangunan peternakan di masa datang, yaitu bioteknologi molekuler yang berkaitan dengan keberhasilan teknologi kloning, ternak transgenik, dan vaksin. Winarno (2004) menyatakan, bahwa teknologi rekayasa genetika juga mampu membantu masalah yang dihadapi oleh industri susu dalam mengatasi masalah turunnya suplai renin. Renin, yang sekarang lebih dikenal dengan nama chymosin, adalah enzim proteolitik yang digunakan dalam pembuatan keju oleh industri susu. Secara konvensional, renin diproduksi dari abomasum (lambung ke-4) anak sapi. Timbulnya kekurangan renin menyebabkan para industri keju mencari alternatif

24 lain dengan memproduksi renin mikroba yang diekstraksi dari fungi, namun sifat biokimianya tidak sama dengan renin dari abomasum anak sapi. Hal ini bisa diatasi dengan cara mentransfer gen dari anak sapi yang mengkode pembentukan renin ke dalam bakteri, selanjutnya bakteri tersebut digunakan sebagai mesin pembentuk renin yang sifat biokimianya sama dengan renin dari abomasum anak sapi.

KLONING GEN SR100 DALAM RANGKA PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN SEBAGAI MODEL IMUNOGEN UNTUK MENGHASILKAN ANTIBODI Slamet Riyadi1, Rarah R.A. Maheswari2, Mirnawati Sudarwanto 3, Fransiska R. Zakaria4, Muhamad Ali5 1

Mahasiswa Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana IPB, 2Fakultas Peternakan IPB, 3 Fakultas Kedokteran Hewan IPB, 4Fakultas Teknologi Pertanian IPB, 5 Ketua Lab. Mikrobiologi & Bioteknologi Fak. Peternakan UNRAM @ E-mail: [email protected], phone: 085217886729

Abstrak Sejak satu dekade yang lalu, muncul paradigma baru dalam teknik pembuatan vaksin. Penggunaan mikroorganisme virulen yang dilemahkan ataupun yang dibunuh telah diganti dengan penggunaan vaksin sub unit yang lebih efektif dengan teknologi DNA rekombinan. Melalui penggunaan teknologi tersebut, gen tertentu dari mikroorganisme virulen dapat dikloning, diekspresi dan dievaluasi penggunaannya sebagai vaksin. Pada penelitian ini, telah dikloning bagian gen penyandi protein hidrofilik dari protein S (aa 100-164) dari antigen permukaan virus hepatitis B untuk digunakan sebagai penghasil kandidat vaksin rekombinan. Gen tersebut kemudian diligasi dengan vektor pGEX-4T-2 dan disekuensing. Pensejajaran hasil sequensing tersebut dengan sekuen asli virus hepatitis B menunjukkan kesamaan. Hasil utama dari penelitian ini adalah klon pembawa gen penyandi protein S yang selanjutnya dapat digunakan untuk menghasilkan kandidat vaksin rekombinan hepatitis B. Kata kunci: DNA rekombinan, vaksin, pGEX-4T-2, Hepatitis B.

Abstract Since one decade ago, a new paradigm of vaccine design is emerging. Instead of attenuated virulent microorganisms or killed virulent microorganisms, effective subunit vaccines were developed using recombinant DNA technology. By using the technology, selected genes of the virulent microorganisms can be cloned, expressed, and evaluated as vaccine components. In this research, hydrophilic domain of S protein (aa 100-164)-encoding gene of hepatitis B surface antigen was cloned for vaccine candidate production. The gene was ligated with pGEX-4T-2 vector and sequenced. Sequences alignment of the amplified fragment with genome of hepatitis B virus indicated that the sequences were identical. A major result achieved from this research was clones carrying S antigens-encoding gene that could be used further for production of recombinant hepatitis B vaccine candidates. Keywords: recombinant DNA, vaccine, pGEX-4T-2, hepatitis B.

26 Pendahuluan Teknologi kloning merupakan terobosan baru di bidang rekayasa genetika. Menurut Winarno dan Agustinah (2007), kloning adalah pengembangbiakan suatu mahluk hidup yang persis sama dengan induknya tanpa melalui pembuahan, seperti stek pada tanaman, tetapi kloning melalui rekayasa genetika jauh lebih rumit. Muladno (2002) menjelaskan, bahwa pada prinsipnya kloning DNA adalah proses penggandaan jumlah DNA rekombinan melalui proses perkembangbiakan sel bakteri (biasanya E. coli). Proses penggandaan tersebut dilakukan dengan memasukkan DNA rekombinan ke dalam E.coli, diikuti dengan inkubasi sel E.coli pada suhu optimal sehingga sel berkembangbiak secara eksponensial. Selanjutnya dijelaskan pula, bahwa menggandakan jumlah molekul DNA tidak hanya dapat dilakukan dengan memanfaatkan mekanisme kehidupan mikroorganisma, tetapi dapat juga dilakukan melalui teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Perkembangan teknologi molekuler (seperti kloning) yang sangat pesat telah membuka era baru dalam menghasilkan berbagai jenis vaksin maupun obat yang dibutuhkan oleh hewan, ternak maupun manusia. Penggunaan teknologi tersebut telah memudahkan dihasilkannya berbagai sub unit vaksin yang jauh lebih efektif jika dibandingkan dengan vaksin yang dihasilkan dengan teknologi konvensional menggunakan mikroorganisme virulen yang dilemahkan ataupun telah dibunuh. Indonesia merupakan daerah endemis sedang sampai tinggi untuk penyakit hepatitis B, oleh karena itu pada tahun 1987, WHO menetapkan Pulau Lombok sebagai model imunisasi masal hepatitis B pertama di dunia. Hasil proyek tersebut menunjukkan penggunaan vaksin konvensional mampu menurunkan prevalensi hepatitis B hanya sampai 70% (Mulyanto et al. 2002). Hasil imunisasi tersebut dinyatakan belum optimal, hal ini antara lain disebabkan vaksin konvensional yang digunakan (Korean Green Cross) berasal dari plasma darah orang asing sehingga tidak mampu menstimulasi munculnya tanggap kebal (antibodi) spesifik yang mampu melawan virus hepatitis B yang terdapat di Indonesia (Joung et al., 2004). Berdasarkan permasalahan di atas, pada penelitian ini dilakukan rekayasa terhadap gen penyandi antigen permukaan hepatitis B untuk menghasilkan antigen HBsAg100 pada E. coli dengan menggunakan teknologi rekombinan. Kendala

27 utama produksi antigen tersebut pada bakteri E. coli adalah tingkat ekspresinya sangat rendah (Maruyama et al. 2000). Rendahnya tingkat ekspresi yang disebabkan oleh bagian hidrofobik (Lu et al. 2002; Kumar et al. 2005). Oleh karena itu, pada penelitian ini bagian yang dikloning adalah bagian penyandi epitop yang bersifat hidrofilik (dari asam amino 100-164). Selain itu, gen penyandi antigen permukaan hepatitis B di atas akan digabung (fusi) dengan gen penyandi enzim gluthation-S-transferase (GST) untuk meningkatkan ekspresi maupun solubilitas antigen yang sangat penting untuk aktivitas maupun proses purifikasi (Sheu dan Lo 1995; Vikis dan Guan 2000; Koschoreck et al. 2005). Gen penyandi antigen permukaan hepatitis B yang digunakan pada penelitian ini adalah gen yang diisolasi dari virus hepatitis B sub tipe adw sebagai sub tipe utama di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk membuat kandidat vaksin galur lokal yang mampu memberikan respon antibodi yang spesifik sesuai dengan genetik virus hepatitis B yang terdapat di Indonesia. Dihasilkannya kandidat vaksin hepatitis B rekombinan dengan teknologi rekayasa DNA menggunakan bakteri diharapkan dapat menggantikan metode produksi vaksin konvensional dari plasma yang memiliki kelemahan seperti rendahnya imunogenisitas, sumber plasma yang terus berkurang (karena jumlah penderita penyakit hepatitis B menurun sejalan dengan keberhasilan program vaksinasi), serta kekhawatiran adanya kontaminasi penyakit lain pada serum donor. Gen penyandi antigen tersebut diisolasi dari virus hepatitis B yang terdapat di Indonesia, sehingga antigen ini diharapkan dapat menghasilkan kandidat vaksin rekombinan hepatitis B yang sesuai dengan genetik virus tersebut di Indonesia. Bahan dan Metode Bahan Penelitian Amplifikasi fragmen S (asam amino nomor 100-164) dari gen penyandi antigen permukaan virus hepatitis B, digunakan plasmid pGET-HB (disediakan oleh Prof.Mulyanto, Laboratorum Hepatitis Mataram) yang membawa gen-gen permukaan virus hepatitis B sebagai cetakan. Amplifikasi tersebut menggunakan primer HBVS.100(f) (5’-TATCAAGGTATGTTGCCCGTTTG -3’) dan HBVADWS (r) (5’-AAGCTTCATTACTCCCATAGGTATTTTGCGAAAG-3’). Enzim

28 DNA polimerase yang digunakan adalah enzim pyrobest (Takara Bioinc., Otsu, Japan). Fragmen tersebut kemudian diligasi dengan teknik Kloning TA menggunakan vektor pGEX-4T-2 (Pharmacia & Upjohn Inc., New Jersey, USA). Plasmid rekombinan tersebut selanjutnya ditransformasi ke bakteri E. coli DH5α. Kultur bakteri dilakukan pada media Luria Bertani, sedangkan isolasi plasmid untuk sekuensing digunakan Kit Nucleospin (Macherey, Nalgen, Germany). Metode Penelitian Amplifikasi Gen SR100. Campuran PCR yang digunakan adalah 0.1 unit enzim DNA polymerase pyrobest (Takara Bioinc., Otsu, Japan) dengan bufernya; 0.5 μM primer forward (f) dan reverse (r); 0.2 mM dNTP; 1 ng/ml plasmid pGEMT-HB sebagai cetakan. Program PCR yang digunakan adalah denaturasi awal pada suhu 94oC selama 5 menit; siklus yang terdiri atas denaturasi pada 94oC selama 30 detik, annealing pada suhu 54oC selama 30 detik dan elongasi (ekstensi) pada suhu 72oC selama 30 detik; diakhiri dengan 72oC selama 5 menit dan 10o C sampai sampel diangkat untuk dilakukan elektroforesis. Konstruksi Plasmid Rekombinan dan Transformasi. Hasil PCR kemudian dimurnikan dengan DNA Gel extraction kit dan diligasi dengan plasmid pGEX-4T-2 (Pharmacia & Upjohn Inc., New Jersey, USA) yang telah dipotong dengan enzim Sma1. Campuran reaksi dari ligasi tersebut adalah produk PCR 2 μl, 25 ng/μl pGEX-4T-2, 1 μl kit ligasi, dilanjutkan dengan inkubasi pada suhu 12oC selama 18 jam. Setelah itu, transformasi dilakukan dengan E. coli DH5 yang sudah dikondisikan sebagai sel kompeten. Sel kompeten disiapkan dengan cara sebagai berikut: 1 ml starter E. coli DH5α dimasukkan ke dalam 100 ml LB cair dan diinkubasikan semalam pada temperatur 18oC, kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit dalam temperatur 4oC. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan bufer transfer dengan cara menambah 27 ml transfer bufer, kemudian dihomogenkan dan didiamkan selama 10 menit di dalam serbuk es batu. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi lagi dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit dalam temperatur 4oC dan supernatannya dibuang. Peletnya ditambah 6.4 ml transfer bufer dan dihomogenkan, kemudian didiamkan lagi 10 menit di dalam

29 es. Selanjutnya ditambah 480 µl dimethyl sulfoxide (DMSO), homogenkan lagi dan didiamkam 10 menit di dalam es. Selanjutnya didistribusikan ke tabung eppendorf dingin masing-masing 100 µl, kemudian disimpan di dalam freezer yang bersuhu -80oC sebagai sel kompeten siap digunakan untuk proses transformasi. Transformasi dilakukan dengan metode hit shock dengan cara sebagai berikut: sebanyak 50 µl sel kompeten dimasukkan ke dalam tabung eppendorf, kemudian ditambah dengan 1 µl plasmid rekombinan, kemudian didinginkan di dalam es selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan hit shock dengan cara tabung eppendorf yang berisi sel kompeten dan plasmid rekombinan dimasukkan ke dalam waterbath dengan temperatur stabil pada 42oC selama 30 detik, kemudian dipindahkan lagi ke dalam bok es selama satu menit, selanjutnya dimasukkan ke dalam falkon yang berisi 800 µl LB cair yang tidak mengandung ampisilin, dihomogenkan, kemudian dikultur selama 90 menit dalam shaker dengan kecepatan 120 rpm. Selanjutnya dipindahkan ke dalam tabung eppendorf berukuran 1.5 ml, kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama lima menit. Supernatan selanjutnya dibuang sampai tersisa sekitar 25 µl dan siap dikultur pada media seleksi (ampisilin50 µl/ml) yang mengandung X-gal dan IPTG untuk dilakukan skrining koloni yang mengandung plasmid rekombinan. Skrining dan Sekuensing. Setelah proses transformasi selesai, kemudian bakteri rekombinan yang dihasilkan ditumbuhkan pada media LB yang mengandung ampisilin pada suhu 37oC selama 14 jam. Skrining koloni dilakukan untuk penentuan koloni bakteri yang membawa plasmid rekombinan dengan teknik PCR koloni. Skrining terhadap koloni E. coli DH5α yang membawa plasmid rekombinan dilakukan dengan PCR koloni dengan campuran reaksi sebagai berikut: 0,2 mM dNTP; 0,5 U Ex Taq dan bufernya; 0,5 mM primer pGEX-5’ dan pGEX-3’, 1 μl sampel (koloni yang telah diencerkan dalam 20 μl aquadest). Replika dibuat untuk keperluan lebih lanjut, dari koloni bakteri yang diskrining pada media LB yang mengandung ampisilin dan ditumbuhkan pada suhu 37oC. Program PCR yang digunakan adalah 5 menit pada 94oC, 25 siklus untuk suhu 94oC selama 30 detik, 60oC selama 30 detik dan selama 30 detik pada

30 suhu 72oC, diakhiri dengan 72 oC selama 5 menit, kemudian didiamkan sampai temperatur 20oC dan sampel diangkat untuk dielektroforesis. Adanya pita DNA dari gambar hasil elektroforesis merupakan indikasi bahwa klon yang diamplifikasi mengandung plasmid rekombinan. Koloni yang mengandung plasmid rekombinan tersebut pada replika kemudian dikultur pada media LB pada suhu 37oC selama 12 jam dengan goyangan untuk isolasi plasmid rekombinan. Isolasi plasmid dilakukan dengan teknik standar (Sambrook et al. 1989). Sekuensing dilakukan setelah amplifikasi dengan Kit Bigdye menurut prosedur Ali (2006) dengan menggunakan primer pGEX-5’. Sekuensing tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa pada gen target tidak terdapat mutasi.

Tabel 2 Daftar primer yang digunakan dalam penelitian Deskripsi

Nama

Sekuen

Amplifikasi segmen SR100

HBV.ADWS100 (f)

5’TATCAAGGTATGTTGCCCGTTTG3’

HBV.ADWS.164 (r)

5’AAGCTTCATTACTCCCATAGGTAT TTTGCGAAAG-3’

Skrining koloni pGEX-5’

Sekuensing

5’CAGGGCTGGCAAGCCACGTTTG3’

pGEX-3’

5’CCGGGAGCTGCATGTGTCAGAG G-3’

pGEX-5’

5’CAGGGCTGGCAAGCCACGTTTG3’

pGEX-3’

5’CCGGGAGCTGCATGTGTCAGAG G-3’

Hasil dan Pembahasan Mengacu kepada Hu et al. (2004) yang menyatakan bahwa asam amino ke 139-147 pada protein bagian S merupakan epitop utama pada protein, maka pada

31 penelitian ini dilakukan amplifikasi terhadap DNA yang hanya menyandi asamasam amino ke-100 sampai 164. Adapun jumlah nukleotidanya mencapai 195 pasang basa, namun dengan penambahan adaptor yang sengaja dibuat menyebabkan total produk PCR target mencapai 206 pasang basa. Selain itu, bagian asam amino tersebut dipilih karena merupakan protein yang bersifat hidrophilik, sehingga dapat memudahkan ekspresi pada bakteri. Amplifikasi DNA melalui PCR untuk mendapatkan gen penyandi asamasam amino tersebut, berbagai upaya optimalisasi terhadap kondisi reaksi amplifikasi telah dilakukan. Langkah-langkah optimalisasi tersebut diantaranya mengatur suhu dan waktu annealing, mengatur konsentrasi DNA sebagai cetakan dan primer, serta mengatur konsentrasi enzim polimerase DNA. Campuran PCR yang berhasil digunakan untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal adalah 0.1 unit enzim DNA polymerase pyrobest (Takara Bioinc., Otsu, Japan) dengan bufernya; 0,5 μM primer forward (f) dan reverse (r); 0.2 mM dNTP; 1 ng/ml plasmid pGEMT-HB sebagai cetakan. Penggunaan DNA dengan konsentrasi kurang dari 1 ng/ml menghasilkan pita gen target yang tidak terlalu jelas. Penggunaan DNA melebihi 1 ng/ml menyebabkan munculnya beberapa pita produk PCR yang tidak sesuai dengan ukuran pita target. Program PCR yang berhasil digunakan adalah 94oC selama 5 menit, 25 siklus pada 94oC selama 30 detik, 54oC selama 30 detik dan 72oC selama 30 detik, diakhiri dengan 72oC selama 5 menit dan suhu 10oC sampai sampel diangkat untuk dielektroforesis. Penentuan suhu annealing yang ideal (54oC), telah dilakukan PCR dengan menggunakan beberapa suhu annealing mulai dari 50oC, 52oC, 54oC, dan 56oC. Pita gen target terjelas diperoleh pada saat menggunakan suhu 54 oC. Ketepatan suhu dan waktu annealing, konsentrasi DNA dan primer, serta konsentrasi enzim polymerase DNA yang digunakan sangat menentukan keberhasilan amplifikasi. Penggunaan suhu annealing 54oC selama 30 detik telah menyebabkan primer-primer yang digunakan dapat menempel pada daerah spesifik dari DNA cetakan. Waktu yang diperlukan untuk tahap extention selama 30 detik pada suhu 72oC karena enzim polymerase Pyrobest yang dipergunakan memerlukan waktu 1 menit per 1 kilo pasang basa. Berbeda dengan enzim polymerase Ex Taq yang biasanya memiliki kemampuan lebih cepat, yaitu 40

32 detik per 1 kilo pasang basa. Hal ini dikarenakan enzim polymerase Pyrobest merupakan enzim dengan tingkat kecermatan tinggi (high fidelity) yang memiliki kemampuan proof-reading. Produk PCR dimurnikan kemudian diligasi dengan plasmid pGEX-4T-2 (Pharmacia & Upjohn Inc., New Jersey, USA) yang telah dipotong dengan enzim Sma1. Enzim yang digunakan untuk proses amplifikasi di atas adalah enzim Pyrobest yang tergolong enzim yang mempunyai tingkat kecermatan tinggi (high fidelity), sehingga produk PCR yang dihasilkan berbentuk blunt-end. Teknik ligasi yang sesuai dengan demikian adalah teknik blunt-end. Introduksi plasmid pGEX-SR100 ke dalam bakteri inang E. coli DH5α (transformasi) berhasil dilakukan dengan teknik heat shock. Koloni bakteri E. coli DH5α pembawa plasmid rekombinan pGEX-SR100

hasil

transformasi

ditumbuhkan pada media seleksi (ampisilin 50 µl/ml) yang mengandung Xgal dan IPTG. Hasil kultur dari bakteri tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Koloni bakteri yang berwarna putih diduga membawa plasmid rekombinan pGEX-SR100, sedangkan koloni bakteri yang berwarna biru tidak membawa plasmid rekombinan. Penentuan bahwa bakteri-bakteri berwarna putih pembawa gen SR100, maka dilakukan skrining dengan PCR menggunakan koloni bakteri tersebut sebagai cetakan (PCR Koloni). Primer yang digunakan untuk PCR koloni tersebut harus dapat mengamplifikasi bagian 5’-insert dan bagian 3’-dari plasmid. Hal ini dilakukan untuk memastikan tidak terjadi kesalahan arah insert. Amplifikasi hanya akan terjadi pada DNA rekombinan yang tidak tersambung secara terbalik. Adanya pita tunggal DNA dari gambar hasil elektroforesis merupakan indikasi bahwa klon yang diamplifikasi mengandung plasmid rekombinan. Hasil PCR koloni tersebut ditampilkan pada Gambar 8. Hasil amplifikasi yang kedua ujungnya berbentuk tumpul (blunt end) memiliki keunggulan sekaligus kelemahan untuk ligasi. Produk PCR yang berujung tumpul akan memudahkan dalam melakukan proses ligasi, yaitu hanya dibutuhkan satu jenis enzim restriksi dengan karakteristik memotong secara langsung untuk menghasilkan ujung tumpul juga. Enzim restriksi yang memiliki kemampuan tersebut diantaranya adalah enzim SmaI. Hal ini akan mengurangi

33 biaya penggunaan untuk pembelian enzim restriksi. Kelemahan dari cara amplifikasi tersebut adalah peluang dihasilkannya gen rekombinan yang benar dan yang salah adalah 50%. Dengan kata lain, peluang ligasi ujung tumpul pada salah satu ujung produk PCR dengan ujung hasil pemotongan vektor akan sama dengan peluang ligasi dengan arah yang berlawanan. Kelemahan akibat kedua ujung tumpul produk PCR tersebut dapat diatasi melalui skrining dengan teknik PCR koloni. Primer-primer yang digunakan untuk PCR koloni tersebut harus dapat mengamplifikasi bagian 5’-insert dan bagian 3’dari plasmid. Amplifikasi hanya akan terjadi pada DNA rekombinan yang tidak tersambung secara terbalik. Jika gen target tersambung secara terbalik, maka PCR koloni tidak akan menghasilkan pita setelah elektrophoresis.

Gambar 7 Koloni E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100 hasil transformasi yang ditumbuhkan pada media seleksi (ampisilin). Koloni berwarna putih merupakan koloni bakteri pembawa plasmid rekombinan, sedangkan koloni berwarna biru tidak membawa plasmid rekombinan.

34

Gambar 8 Hasil elektrophoresis dari PCR koloni. M = Marker (1000 pb), 1 dan 2 = E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100 sebagai cetakan. Koloni yang mengandung plasmid rekombinan dengan hasil PCR koloni pita tunggal kemudian dikultur dari replika pada media LB pada suhu 37oC selama 12 jam dengan shaker untuk isolasi plasmid rekombinan. Hasil elektroforesis dari hasil isolasi plasmid rekombinan ditampilkan pada Gambar 9. Pada gambar tersebut terlihat hasil isolasi plasmid rekombinan dengan ukuran sekitar 5.106 pasang basa, yang terdiri atas vektor pGEX-4T-2 mencapai 4.900 pasang basa dan gen target 206 pasang basa.

Gambar 9 Pita DNA plasmid pGEX-4T-2 rekombinan hasil elektroforesis dalam 1% agarosa M : marker DNA λ. Lajur 1: Pita DNA plasmid utuh pGEX-4T-2 rekombinan. Lajur 2, 3, 4, 5, 6, 7 : pita DNA plasmid pGEX-4T-2 rekombinan yang dipotong dengan enzim Hind III.

35 Plasmid hasil isolasi tersebut kemudian disekuensing. Hasil sekuensing nukleotida disejajarkan dengan sekuen asli virus hepatitis B. Pensejajaran (alignment) gen insert dengan bagian genom virus Hepatitis B dapat dilihat pada Gambar 10. Hasil pensejajaran (alignment) sekuensing plasmid rekombinan yang diisolasi dari koloni bakteri rekombinan menunjukkan kesamaan dengan sekuen dari bagian genom virus hepatitis B. Hal ini menunjukkan bahwa gen hasil amplifikasi tersebut tidak mengalami mutasi dan dapat digunakan untuk menghasilkan antigen hepatitis B bagian S pada bakteri. Plasmid rekombinan yang tidak memiliki mutasi pada sekuen gen SR100 selanjutnya disimpan untuk ditransformasikan pada E. coli BL21 untuk memproduksi protein HBsAg100.

Gambar 10 Alignment sekuen gen SR100 (penyandi antigen HBsAg100) dengan bagian genom virus Hepatitis B (Geneious Basic 5.4.3).

36 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gen SR100 berhasil diamplifikasi, kemudian diligasi dengan vektor pGEX-4T-2, dan ditransformasikan ke dalam bakteri E. coli DH5α. Hasil sekuensing menunjukkan tidak terdapat mutasi pada gen hasil kloning. Penelitian lanjutan yang perlu dilakukan adalah uji ekspresi untuk menghasilkan protein rekombinan sebagai kandidat vaksin.

Datar Pustaka Ali, M. 2006. High-throughput monoclonal antibody production using cell-free protein synthesis system. Ph.D thesis. Nagoya University, Japan. Hu H et al. 2004. Yeast expression and DNA immunization of hepatitis B virus gene wiyh second-loop deletion of α determinant region. Word J Gastroenterol 10:2989-2993. Joung, YH et al. 2004. Expression of the hepatitis B surface S and preS2 antigens in tubulers of Solanum tuberosum. Plant Cell Rep 22:925-930. Koschorreck M, Fischer M, Barth S, Pleiss J. 2005. How to find soluble proteins: a comprehensive analysis of alfa/beta hydrolases for recombinant expression in E. coli. BMC Genom 6:1-10. Kumar SGB, Ganapathi TR, Revathi L, Srinivas VA, Bapat. 2005. Expression of hepatitis B surface antigen in transgenic pitaana plants. Planta 222:484-493. Lu YY et al. 2002. Cloning and expression of the preS1 gene of hepatitis B virus in yeast cells. Hepatobiliar Pancreat Dis Int 1:238-242. Maruyama J et al. 2000. Production and product quality assessment of human hepatitis B virus pre-S2 antigen in submerged and solid-state culture of Aspergillus oryzae. J Biosci Bioengineer 90:118-120. Muladno. 2002. Tekonologi Rekayasa genetikaa. Bogor Baru: Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Mulyanto et al. 2002. Hepatitis B seroprevalence among children in Mataram, Indonesia: following a seven-year mass immunization program. Report meeting of the US-Japan cooperative medical science program asian region collaboration research project 2001, Shanghai. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York. Sheu SY, Lo SJ. 1995. Deletion or alteration of hydrophobic amino acids at the firs and third transmembrane domains of hepatitis B surface antigen enhances its production in Escherichia coli. Gene 160:179-184.

37 Vikis HG, Guan KL. 2000. Glutathione-S-Transferase-Fusion Based Assays for Studying Protein-Protein Interaction. In: Methods in Molecular Biology, vol. 261. Humana Press Inc., Totowa, NJ. Winarno FG, Agustinah W. 2007. Pengantar Bioteknologi. Ed Revisi. Bogor: MBrio Press.

BIOSINTESIS ANTIGEN PERMUKAAN HBsAg100 PADA E. COLI DALAM RANGKA PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN SEBAGAI MODEL IMUNOGEN UNTUK MENGHASILKAN ANTIBODI Slamet Riyadi1, Rarah R.A. Maheswari2, Mirnawati Sudarwanto 3, Fransiska R. Zakaria4, Muhamad Ali5 1

Mahasiswa Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana IPB, 2Fakultas Peternakan IPB, 3 Fakultas Kedokteran Hewan IPB, 4Fakultas Teknologi Pertanian IPB, 5 Ketua Lab. Mikrobiologi & Bioteknologi Fak. Peternakan UNRAM @ E-mail: [email protected], phone: 085217886729

Abstrak Biosintesis protein rekombinan melalui Escherichia coli memberikan alternatif untuk menghasilkan protein antigen yang bermanfaat bagi kepentingan kesehatan yang bebas dari protein manusia. Penelitian ini menggabungkan fragmen DNA dari antigen permukaan virus Hepatitis B dengan gen penyandi enzim gluthation-S-transferase (GST) di dalam plasmid p GEX-4T-2 yang di ekspresikan di dalam sel-sel Escherichia coli. Polipeptida dengan berat molekul sekitar 34.8 kDa telah diproduksi dan diidentifikasi sebagai protein gabungan GST-SR100. Protein gabungan tersebut kemudian dimurnikan dengan kolum GSTrap yang disambung dengan kolum HiTrap. Protein hasil pemurnian tersebut diharapkan bisa digunakan sebagai bahan vaksin atau untuk menghasilkan antibodi. Kata kunci: Escherichia coli, GST, pGEX-4T-2, GST-SR100, antibodi.

Abstract Biosynthesis of recombinant protein in Escherichia coli may offer an alternative procedure to generate therapeutic protein free from human protein. In this research, cloned DNA fragment of Hepatitis B surface antigen was placed downstream from the gluthatione S-tranferase (GST) protein-encoding gene in expression plasmid pGEX-4T-2 and expressed in Escherichia coli cells. A polypeptide of 34.8 kDa molecular weight was synthesized and identified as GSTSR100 fusion proteins. The recombinant proteins were then purified using GSTrap and HiTrap column and could be used for vaccine candidate or for antibody generation. Keywords: Escherichia coli, GST, pGEX-4T-2, GST-SR100, antibody.

40 Pendahuluan Virus hepatitis B merupakan penyebab utama hepatitis akut yang dapat berlanjut menjadi kronis, sirosis dan kanker hati. Hepatitis B ditemukan di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Saat ini terdapat sekitar 400 juta orang terinfeksi kronis dan memiliki resiko untuk berlanjut menjadi sirosis dan kanker hati. Komplikasi akibat virus ini telah mengakibatkan sekitar 1 juta orang meninggal setiap tahun (Joshi dan Kumar 2001; Kimura et al. 2005). Prevalensi infeksi Virus Hepatitis B di Indonesia, seperti halnya negaranegara berkembang pada umumnya, adalah termasuk sedang sampai tinggi (Soewignjo dan Mulyanto 1984), sehingga WHO menghimbau untuk segera melaksanakan usaha pencegahan. Pengobatan terhadap penderita penyakit hepatitis B yang sangat mahal, menyebabkan tindakan pencegahan melalui vaksinasi merupakan tindakan yang paling tepat. Program vaksinasi secara luas dinilai efektif untuk mencegah terjadinya penyakit ini. Tahun 1987 pemerintah Indonesia menjadikan Pulau Lombok sebagai model immunisasi massal hepatitis B pertama di dunia. Hal ini disebabkan tingkat endemik penyakit hepatitis di Pulau Lombok paling tinggi. Hasil proyek percontohan tersebut cukup menggembirakan sehingga di tahun 1991 pemerintah mulai memperluas program immunisasi ke empat propinsi lain dan di tahun 1992, diikuti enam propinsi lainnya

lagi

pada

tahun 1992.

Saat

ini

pemerintah Indonesia

telah

mengintegrasikan vaksinasi hepatitis B untuk balita ke dalam Program Pengembangan Imunisasi (Extended Program of Immunization). Proyek immunisasi massal di Lombok menunjukkan penggunaan vaksin konvensional mampu menurunkan prevalensi hepatitis B sampai 70% (Mulyanto et al. 2002). Belum optimalnya hasil immunisasi hepatitis B ini antara lain disebabkan oleh masih rendahnya antigenisitas dan immunogenisitas vaksin konvensional (Korean Green Cross) yang digunakan. Vaksin konvensional tersebut berasal dari plasma darah orang asing sehingga tidak mampu menstimulasi munculnya tanggap kebal (antibodi) spesifik yang mampu melawan virus hepatitis B yang terdapat di Indonesia (Joung et al. 2004). Keberhasilan program imunisasi menyebabkan pasien hepatitis B yang akan menjadi sumber vaksin tersebut semakin berkurang yang berakibat pada semakin terbatasnya

41 darah yang dapat digunakan sebagai sumber vaksin, sehingga produksi vaksin hepatitis B dengan menggunakan plasma semakin sulit dilakukan. Kekhawatiran terhadap adanya kontaminan pada darah terutama oleh virus berbahaya seperti HIV, menimbulkan kekhawatiran tersendiri untuk menggunakan vaksin yang bersumber dari plasma tersebut (Joung et al. 2004). Teknologi DNA rekombinan yang memungkinkan untuk menghasilkan protein rekombinan pada bakteri sangat penting untuk mengatasi permasalahan tersebut. Produksi vaksin dengan menggunakan bakteri akan dapat memenuhi semakin tingginya permintaan vaksin dengan membutuhkan waktu yang relatif singkat dan biaya yang lebih murah. Selain itu, teknologi DNA rekombinan dan teknologi produksi pada bakteri memungkinkan dilakukan berbagai upaya rekayasa epitop dalam rangka meningkatkan kualitas vaksin yang akan dihasilkan. Escherichia coli merupakan bakteri yang menjadi pilihan utama diantara aneka bakteri yang telah digunakan sebagai inang dalam menghasilkan protein rekombinan, baik di bidang riset maupun industri. Hal ini disebabkan bakteri Escherichia coli membutuhkan biaya media yang murah, cepat berkembang biak, serta teknologinya sudah berkembang paling luas (Hu et al. 2004; Kristensen et al. 2005; Lombardi et al. 2005). Berbagai protein rekombinan dari bakteri, archaeabacteria, maupun dari eukariotik dapat diproduksi secara efisien pada E. coli (Kristensen et al. 2005). Pada penelitian ini, biosintesis bagian fragmen dari antigen permukaan hepatitis B “HBsAg100” telah dilakukan dengan Escherichia coli sebagai inang. Selain itu, gen penyandi antigen permukaan hepatitis B digabung (fusi) dengan gen penyandi enzim gluthation-S-transferase (GST) untuk meningkatkan ekspresi maupun kelarutan antigen yang sangat penting untuk aktifitas maupun proses pemurnian. Antigen ini diharapkan dapat digunakan sebagai kandidat vaksin rekombinan hepatitis B yang sesuai dengan genetik virus di Indonesia. Gen penyandi antigen tersebut diisolasi dari virus hepatitis B lokal yang terdapat di Indonesia. Antibodi yang dihasilkan juga diharapkan akan lebih efektif dalam melakukan proteksi terhadap virus hepatitis B asal Indonesia.

42

Bahan dan Metode Bahan Penelitian Penelitian ini menggunakan dua jenis bakteri E. coli sebagai inang, yaitu E. coli DH5α dan BL21. Media tumbuh menggunakan media Luria Bertani yang mengandung 50 mg/ml ampisilin. Marker protein yang digunakan adalah Marker Nakalai (Nacalai TecQue., Inc., Kyoto, Japan) dengan berat molekul 6 500 sampai 200 000 Dalton. Pemurnian protein rekombinan menggunakan kolum GSTrap yang disambung dengan kolum HiTrap (Amersham, USA) 1 ml. Bufer PBS (Phosphate Buffer Saline) pengikatan digunakan 140 mM NaCl, 2.7 mM KCl, 10 mM Na2HPO4, dan 1.8 mM KH2PO4 pH 7.3. Bufer elusi menggunakan 50 mM Tris-Hcl, 10 mM reduced Gluthatione, pH 8,0. Enzim protease inhibitor yaitu phenylmethyl sulfonil floride digunakan untuk pencegahan degradasi protein rekombinan yang dihasilkan oleh protease. Metode Penelitian Ekspresi Protein Rekombinan. E. coli DH5α dan BL21 yang membawa plasmid-plasmid rekombinan pengkode antigen dikultur pada media LB (4 ml) yang mengandung 50 mg/ml ampisilin. Kultur bakteri dieramkan pada suhu 37oC selama 14 jam dalam shaker. Setelah OD mencapai 0.3, IPTG (isopropylthiogalactoside) (0.1mM) ditambahkan pada biakan untuk merangsang produksi antigen. Setelah proses kultur selama 18 jam, biakan disentrifuse pada kecepatan 8.000 rpm selama 10 menit. Buffer PBS (1 ml) ditambahkan pada pelet untuk selanjutnya dilakukan pengujian kuantitas antigen yang dihasilkan dengan teknik

SDS-PAGE

(Sodium

Dodecyl

Sulfate-Polyacrylamide

Gel

Electrophoresis). Uji Kuantitas Protein Rekombinan yang Dihasilkan dengan SDSPAGE. Pelet biakan yang sudah diencerkan dengan buffer PBS tersebut ditambah dengan 1 mg lysozyme dan 0.1 mg phenylmethyl sulfonil floride (PMSF), dilanjutkan dengan pemecahan dinding bakteri dengan teknik sonikasi berulang berdurasi satu menit. Sentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm suhu 4oC selama 10 menit dilakukan untuk pemisahan protein rekombinan dan dinding sel bakteri.

43 Supernatan yang diperoleh (5 μl) ditambahkan dengan 5 μl sampel buffer untuk SDS-PAGE (0.5mM Tris-HCl; 10% glycerol; 1.6% SDS; 0.1% bromophenol blue), dilanjutkan dengan proses denaturasi protein dengan pemanasan pada suhu 80o-90oC selama 2-3 menit. Setelah itu, sampel siap di loading ke dalam agar acrylamide (37.82% larutan acrylamide; 22.6% separation buffer; 18.15% glycerol; 9.08% ammonium persulfate/APS dan 0.91% tetra methyl ethylene diamine/TEMED) untuk selanjutnya dilakukan elektroforesis selama 45 menit. Setelah melakukan pewarnaan dengan commassie brilliant blue dan pencucian dengan larutan asam asetat dan metanol, pita antigen yang dihasilkan dapat dilihat langsung. Pemurnian

Protein

Rekombinan.

Pemurnian

protein rekombinan

merupakan pemisahan protein rekombinan (antigen permukaan virus hepatitis BGST) dengan protein-protein yang secara alami diproduksi di dalam tubuh bakteri. Pemurnian antigen rekombinan dilakukan dengan kolum GSTrap yang disambung dengan kolum HiTrap (Amersham, USA) 1 ml. Kolum tersebut dibilas 5 kali dengan binding buffer (140 mM NaCl, 2.7 mM KCl, 10 mM Na2HPO4, dan 1.8 mM KH2PO4 pH 7.3). Setelah itu, sampel dimasukkan ke dalam kolum dan kolum tersebut ditempatkan di tempat yang lebih tinggi pada suhu 4oC, sehingga memungkinkan menetesnya buffer maupun protein rekombinan dari dalam kolum. Kolum dibilas dengan elution buffer (50 mM Tris-HCl, 10 mM reduced gluthatione, pH 8.0) untuk melepas protein rekombinan. Protein rekombinan akan terlepas dari kolum dan terlarut bersama elution buffer. Pengecekan terhadap supernatan yang keluar dari kolum dengan SDS-PAGE bertujuan untuk memastikan bahwa hanya protein rekombinan tersebut yang berhasil diikat oleh kolum. Adanya pita tunggal menunjukkan bahwa antigen yang dihasilkan adalah protein rekombinan (antigen permukaan hepatitis B-GST).

44 Hasil dan Pembahasan Hasil ekspresi protein dari E. coli inang dapat dilihat pada Gambar 11. Penampakan pita protein target diperjelas dengan melakukan pengenceran sampel 10 kali. Hasil SDS-PAGE mendapatkan bahwa protein rekombinan diproduksi paling banyak oleh E. coli BL21. Hal ini ditunjukkan oleh pita protein target pada penggunaan inang tersebut paling tebal.

Gambar 11. Hasil ekspresi plasmid rekombinan. Kolom 1 = E.coli BL21 (tanpa membawa plasmid rekombinan), Kolom 2 = E.coli BL21 pembawa plasmid pGEX-4T-2, Kolom 3 = E. coli BL21 pembawa plasmid pGEX-SR100 terlarut, Kolom 4 = E. coli BL21 pembawa plasmid pGEX-SR100 terlarut dengan pengenceran 10x, Kolom 5 = E. coli BL21 pembawa plasmid pGEX-SR100 (pelet), Kolom 6 = E. coli BL21 pembawa plasmid pGEX-SR100 pellet dengan pengenceran 10x, Kolom 7 = E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100 terlarut, Kolom 8 = E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100 terlarut dengan 10 x pengenceran. M = Marker. Tanda panah pada Kolom nomor 2 menunjukkan enzim GST, sedangkan tanda panah pada Kolom nomor 4 menunjukkan protein fusi antara GST dan HBsAg100.

45 Gambar 11 juga memperlihatkan bahwa E. coli BL21 yang tidak membawa plasmid rekombinan (sampel nomor 1) memiliki pola penampakan pita yang berbeda dengan E. coli BL21 yang membawa plasmid rekombinan pGEX-4T-2 (sampel nomor 2) maupun pGEX-SR100 (sampel nomor 3-4). E. coli BL21 yang membawa plasmid rekombinan pGEX-4T-2 menunjukkan pita yang tebal dengan ukuran protein sekitar 28 kDa sesuai dengan ukuran enzym GST yang dihasilkan. E. coli BL21 yang membawa plasmid rekombinan pGEX-SR100 (sampel nomor 3-4) memiliki protein dengan ukuran sekitar 34.8 kDa karena merupakan gabungan antara GST yang memiliki berat 28 kDa dengan antigen S dengan ukuran 6.8 kDa. Pemisahan terhadap hasil sonikasi untuk mengetahui bahwa protein rekombinan yang dihasilkan dalam bentuk terlarut (soluble) digunakan sentrifugasi dan filterisasi (filter ukuran 0.22 µm). Kelarutan protein rekombinan ini sangat penting untuk mempermudah proses pemurnian. Hasil yang diperoleh baik larutan maupun pelet dimasukkan ke dalam gel akrilamid. Kelarutan dari protein rekombinan yang dihasilkan diperlihatkan oleh adanya pita-pita protein target pada bagian supernatan. Sebaliknya hasil SDS-PAGE dari pelet bakteri yang tidak memperlihatkan adanya pita-pita dari protein target menjadi indikator bahwa protein rekombinan tersebut berada dalam bentuk tak larut (insoluble). Pre-pemurnian antigen rekombinan dilakukan dengan menggunakan kolum GSTrap yang disambung dengan kolum HiTrap (Amersham, USA) volume 1 ml. Fraksi-fraksi hasil pemurnian kemudian dielektroforesis (SDS-PAGE) untuk memastikan ada tidaknya protein target dan kemurnian protein rekombinan yang dihasilkan. Berdasarkan hasil di atas, maka untuk produksi antigen permukaan virus Hepatitis B digunakan strain E. coli BL21 dengan konsentrasi IPTG 0.1 mM. Hasil SDS-PAGE dari protein rekombinan hasil pemurnian ditampilkan pada Gambar 12. Pita pada kolom nomor 1 merupakan pita dari protein bakteri hasil pencucian dengan PBS. Demikian pula dengan sampel nomor 2-4 yang merupakan pengenceran, namun pitanya tidak terlihat. Fraksi ini merupakan protein yang tidak dapat berikatan dengan dinding kolum karena tidak mengandung protein rekombinan. Pita pada kolom nomor 5 merupakan protein

46 rekombinan fusi HBsAg100-GST, sedangkan pita pada kolom nomor 6 merupakan hasil pengenceran (10x) protein rekombinan HBsAg100-GST. Demikian pula dengan pita pada kolom nomor 7 yang merupakan cairan hasil penampungan dari protein rekombinan yang diperoleh melalui pemecahan bakteri dengan sonikasi.

Gambar 12 Protein rekombinan hasil pemurnian. M = marker. Kolom 1 = protein bakteri (unbound protein), Kolom 2 = protein bakteri (unbound protein) yang diencerkan 10x, Kolom 3 = protein bakteri (unbound protein) yang diencerkan 10x, Kolom 4 = protein bakteri (unbound protein) yang diencerkan 10x, Kolom 5 = protein rekombinan (bound protein), Kolom 6 = protein rekombinan (bound protein) dengan pengenceran 10x, Kolom 7 = protein rekombinan (bound protein) dengan pengenceran 10x, Kolom 8 = protein rekombinan (bound protein) dengan pengenceran 10x. Virus hepatitis B merupakan virus DNA untai ganda dengan panjang genom mencapai 3,2-3,3 kpb. Virus yang termasuk famili hepadnaviridae tersebut memiliki genom yang terbungkus oleh glycoprotein. Siklus replikasi virus dimulai dengan melekatnya protein selubung tersebut pada sel hati. Di dalam inti sel hati. sintesis DNA virus disempurnakan, genom virus tersebut diubah menjadi cccDNA (covalently closed circular DNA). cccDNA akan menjadi cetakan untuk sintesis RNA yang akan kemudian diubah menjadi DNA virus (Lok dan McMahon, 2001). Penelitian ini telah menguji ekpresi plasmid rekombinan dengan menggunakan E. coli DH5α serta E. coli BL21. E. coli DH5α merupakan bakteri inang yang umum dipergunakan untuk tujuan kloning dan memperbanyak

47 plasmid, sedangkan E. coli BL21 merupakan inang yang umum digunakan untuk tujuan ekspresi. Perbedaan kedua strain bakteri E. coli tersebut adalah E. coli DH5α memiliki banyak enzim protease baik di periplasma maupun sitoplasma, yang dapat mendegradasi protein rekombinan yang dihasilkan pada bakteri tersebut. Gen-gen penyandi enzim protease pada E. coli BL21 sudah dimutasi sehingga ekspresi protein rekombinan tidak akan mengalami degradasi yang intensif. Hal ini terlihat pada hasil SDS-PAGE pada Gambar 11 yang menunjukkan hal tersebut, dimana intensitas pita protein rekombinan ketika menggunakan E. coli BL21 sebagai inang lebih tebal dibandingkan dengan ketika menggunakan E. coli DH5α. Tebalnya pita protein target masih terlihat walaupun dilakukan pengenceran sampai 10x. Pengenceran 10 x pada protein yang diekspresi pada E. coli DH5α sudah tidak terlihat. Eskpresi protein rekombinan pada E. coli BL21 lebih tinggi dibandingkan pada E. coli DH5α. Hal ini dapat disebabkan oleh fusi dengan GST. Maeng et al. (2001) melakukan ekspresi gen virus hepatitis B secara parsial yang diikuti dengan menggabungkan gen tersebut (fusi) dengan gen penyandi enzim GST untuk meningkatkan ekspresi dan kelarutan antigen permukaan hepatitis B pre-S2 pada E. coli menunjukkan terjadi peningkatan tingkat ekspresi antigen yang digabung dengan GST. Berbagai macam affinity tag, seperti GST dan polyhistidin, dapat digunakan untuk meningkatkan ekspresi dan memfasilitasi pemurnian antigen rekombinan. Hasil pemurnian fusi HB-100 dan GST dalam penelitian ini menunjukkan bahwa antigen rekombinan yang diperoleh setelah pemurnian relatif murni dan dalam jumlah yang cukup untuk dapat digunakan dalam aplikasi (assay) selanjutnya (Gambar 2 pita nomor 5-7). Keberhasilan isolasi ini tidak terlepas dari sifat meningkatnya kelarutan protein rekombinan karena fusi dengan GST. Hal ini sesuai dengan pendapat Koschorreck et al. (2005) yang melaporkan terjadi peningkatan solubilitas protein rekombinan yang digabung dengan GST. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Plasmid pGEXSR100 berhasil diekspresi baik pada bakteri E. coli BL21 maupun E. coli DH5α.

48 Namun ekspresi pada bakteri E. coli BL21 menghasilkan protein rekombinan lebih tinggi. Protein rekombinan HBsAg100-GST yang telah diekspresikan oleh E. coli tersebut berhasil dipurifikasi. Selanjutnya diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui tingkat imunogenisitas antigen yang dihasilkan. Oleh karena itu, penelitian in vivo dengan menggunakan mencit sebagai hewan percobaan perlu dilakukan untuk melanjutkan penelitian ini. Daftar Pustaka Hu WG et al. 2004. Expression of overlapping Pre-S1 Fragment Recombinant Proteins for the determination of immunogenic domains in HBsAg PreS1 region. Acta Biochimic et Biophysic Sinic 36(6):397-404. Joshi N, Kumar A. 2001. Immunoprophylaxis of hepatitis B virus infection. Ind J Med Microbiol 19:172-183. Joung YH et al. 2004. Expression of the hepatitis B surface S and preS2 antigens in tubulers of Solanum tuberosum. Plant Cell Rep 22:925-930. Kimura T et al. 2005. Hepatitis B virus DNA-negative Dane particles lack core protein but contain a 22-kDa precore protein without C-terminal arginine-rich domain. J Biol Biochem 280:21713-21719. Koschorreck M, Fischer M, Barth S, Pleiss J. 2005. How to find soluble proteins: a comprehensive analysis of alfa/beta hydrolases for recombinant expression in E. coli. BMC Genomic 6:1-10. Kristensen J, Petersen HUS, Mortensen KK, Sorensen HP. 2005. Generation of monoclonal antibodies for the assesment of protein purification by recombinant ribosomal coupling. Int. J Biol Macromol 37:212-217. Lok ASF, McMahon BJ. 2001. Chronic hepatitis B. Hepatology 34:1225-1241. Lombardi A, Sperandei M, Cantale C, Giacomini P, Galeffi P. 2005. Fungtional expression of a single-chain antibody specific or the HER2 human oncogene in a bacterial reducing environment. Protein Expr Purif 44:10-15. Maeng CY, Oh MS, Park IH, Hong HJ. 2001. Purification and structural analysis of the hepatitis B virus preS1 expressed from Escherichia coli. Biochem Biophys Res Com 282:787-792. Mulyanto et al. 2002. Hepatitis B seroprevalence among children in Mataram, Indonesia: following a seven-year mass immunization program. Report meeting of the US-Japan cooperative medical science program asian region collaboration research project 2001, Shanghai. Soewignjo S, Mulyanto. 1984. Epidemiologi infeksi virus Hepatitis B di Indonesia. Acta Medic Indones 15:215-230.

IMUNOGENISITAS PROTEIN REKOMBINAN HBsAg100-GST DALAM MEMICU SEL IMUN UNTUK MENGHASILKAN ANTIBODI PADA MENCIT Slamet Riyadi1, Rarah R.A. Maheswari2, Mirnawati Sudarwanto 3, Fransiska R. Zakaria4, Muhamad Ali5 1

Mahasiswa Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana IPB, 2Fakultas Peternakan IPB, 3 Fakultas Kedokteran Hewan IPB, 4Fakultas Teknologi Pertanian IPB, 5 Ketua Lab. Mikrobiologi & Bioteknologi Fak. Peternakan UNRAM @ E-mail: [email protected], phone: 085217886729

Abstrak Gen SR100 yang difusikan dengan gen penyandi gluthatione S-transferase (GST) pada diligasi dengan plasmid pGEX-4T-2 berhasil mengekspresikan fusi protein antigen HBsAg100-GST melalui inang E. coli BL21. Fusi protein antigen HBsAg100-GST berhasil dimurnikan dengan kolum GST, kemudian diuji antigenisitasnya melalui respon humoral mencit dalam membentuk antibodi dengan cara melakukan imunisasi terhadap mencit BALB/c dengan fusi protein antigen tersebut. Respon mencit menunjukkan bahwa protein antigen HBsAg100 yang dihasilkan dalam penelitian ini bersifat antigenik. Kata kunci: Gen SR100, pGEX-4T-2, HBsAg100-GST, kolum GST, antibodi.

Abstract The expression vector pGEX-SR100, which the HBsAg100 peptide fused to gluthatione S-transferase (GST), was constructed. The fusion protein, named GST-HBsAg100, was highly expressed in E. coli and purified using GST column. The purified protein was tried to trigger cell immune to produce antibody in mice. Results indicated that the immunogenicity of GST-HBsAg100 was higher than GST protein in elicit the levels of HBsAg100-specific IgG antibody in mice. These results suggest that the HBsAg100 produced in E. coli has immunogenicity. Keywords: pGEX-SR100, GST-HBsAg100, GST column, immunogenicity. Pendahuluan Sejak Edward Jenner menemukan vaksin pada tahun 1778, vaksinasi merupakan pilihan terbaik untuk menanggulangi berbagai jenis penyakit baik pada hewan maupun manusia. Hal ini disebabkan vaksin dapat mencegah timbulnya penyakit dibandingkan dengan penggunaan obat yang ditujukan bagi penyembuhan (curative) dengan memerlukan biaya yang lebih mahal. Menurut

50 Groot dan Rappuoli (2004), vaksinasi merupakan cara yang paling murah dan paling aman untuk menurunkan angka kematian akibat infeksi beberapa jenis penyakit. Keberhasilan vaksinasi dalam memberantas berbagai jenis penyakit telah dibuktikan dengan tuntasnya pemberantasan beberapa jenis penyakit yang sangat mengkhawatirkan, seperti diantaranya cacar air maupun polio. Demikian pula dengan keberhasilan menekan beberapa penyakit seperti tetanus, rabies, tetelo, penyakit mulut dan kuku, hepatitis B, maupun tuberkulosis. Penggunaan vaksin saat ini lebih banyak dipilih dibandingkan dengan penggunaan obat. Di awal perkembangan teknologi produksi vaksin, penggunaan mikroba virulen yang telah dilemahkan (attenuating virulent microorganism) ataupun mikroorganisme virulen yang dibunuh (killing virulent microorganism) dengan bahan kimia tertentu merupakan pilihan untuk menghasilkan berbagai jenis vaksin yang dibutuhkan. Teknik tersebut memiliki banyak kelemahan terutama terhadap spesifikasi vaksin yang dihasilkan, sehingga menyebabkan para ahli terus berupaya untuk menemukan teknik baru. Penggunaan vaksin sub-unit yang dihasilkan dari molekul protein yang dimurnikan dari mikroorganisme patogen telah dapat meningkatkan kualitas vaksin yang dihasilkan. Vaksin tersebut memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin era sebelumnya. Oleh karena itu penggunaan vaksin tersebut lebih efektif untuk menangkal berbagai jenis penyakit dengan menggunakan jumlah yang lebih sedikit (Joshi dan Kumar 2001). Kemajuan teknologi molekuler dalam beberapa dekade ini, terutama sejak ditemukannya sekuen genom lengkap dari mikroba-mikroba pathogen, telah membuka jalan baru bagi dihasilkannya berbagai jenis protein rekombinan, baik vaksin, antibodi, maupun peptide sintetik yang memiliki manfaat tertentu (Thanavala 1995; Groot dan Rappuoli 2004). Pada saat ini, vaksin telah dihasilkan dengan teknologi rekombinan DNA, yaitu melalui kloning gen penyandi proteinprotein tertentu pada mikroorganisme patogen yang dilanjutkan dengan ekspresi gen tersebut pada sel hewan, sel tanaman, ataupun pada bakteri. Penggunaan teknologi tersebut telah menjembatani tingginya kebutuhan terhadap vaksin untuk menanggulangi munculnya berbagai jenis penyakit seperti pada saat ini.

51 Pada rangkaian penelitian ini, telah dikloning dan diekspresikan gen penyandi protein permukaan virus hepatitis B dari protein nomor 100 sampai protein 162 (HBsAg100) sebagai model antigen rekombinan. Langkah selanjutnya yang sangat penting dilakukan untuk mengetahui kualitas protein rekombinan yang telah dihasilkan dengan teknologi rekombinan DNA tersebut adalah menguji imunogenisitasnya pada mencit. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan uji immunogenisitas protein rekombinan HBsAg100 dalam memicu sel imun untuk menghasilkan antibodi pada mencit. Bahan dan Metode Bahan Penelitian Hewan percobaan menggunakan mencit BALB/c umur 6 minggu sebanyak 8 ekor dengan berat badan rata-rata 21,58 gram. Hewan percobaan tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan yang divaksin dengan protein rekombinan HBsAg-GST dan kelompok hewan percobaan yang hanya divaksin dengan GST saja sebagai kontrol. Imunogenisitas protein HBsAg100 rekombinan akan diukur melalui respon mencit (BALB/c) yang diimunisasi dengan antigen yang diperoleh terhadap timbulnya antibodi. Metode Penelitian Antigenisitas antigen diuji dengan ELISA menurut Chen et al (2004) dengan menggunakan kit komersial (Shanghai alfa bio-technique company, China). Plate ELISA dilapisi dengan antibodi (anti-HBsAg adw), dilanjutkan dengan penambahan antigen pada beberapa konsentrasi dan dibiarkan selama semalam pada suhu 4oC. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali menggunakan washing buffer (10% block ace dan 0.05% tween 20). Setelah itu ditambahkan anti-mouse IgG (L+H) yang berkonyugasi dengan horseradish peroxidase. Setelah inkubasi selama 2 jam, ditambahkan O-phenylenediamine (0.1%, Gibco) dan H2O2 (0.05%) untuk pewarnaan. Proses reaksi dihentikan dengan cara ditambahkan 2 M H2SO4 sebanyak 50 l, dilanjutkan dengan membaca absorban pada gelombang 492 nm menggunakan elisa photoreader. Absorban yang terbaca menggambarkan tingkat antigenisitas antigen.

52 Persiapan Hewan Coba. Hewan percobaan menggunakan mencit BALB/c umur 6 minggu sebanyak 8 ekor dengan berat badan rata-rata 21,58 gram dari kisaran berat individu 18.97 gram sampai 25.79 gram. Hewan percobaan tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan A yang divaksin dengan protein rekombinan HBsAg-GST dan kelompok hewan percobaan B yang hanya divaksin dengan GST saja sebagai kontrol. Immunisasi Hewan Coba. Imunogenisitas protein HBsAg100 rekombinan diukur melalui respon mencit (BALB/c) yang diimmunisasi dengan antigen yang diperoleh terhadap timbulnya antibodi. Protein HBsAg100 rekombinan (100g) dicampur dengan Adjuvan Freund lengkap, selanjutnya disuntikkan secara subcutaneus (Gambar 13). Booster dilakukan setelah 5 minggu dengan antigen yang sama (50 g) yang dicampur dengan adjuvan Freund tak lengkap (Chen et al. 2004).

Gambar 13 Imunisasi terhadap mencit dilakukan dengan penyuntikan secara subcutaneus.

53 Koleksi Serum. Spesimen darah diambil melalui ekor. Serum darah dapat diperoleh melalui sentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit (Lippi 2007). Kandungan antibodi serum dianalisis dengan Elisa (Camargo et al. 1987). Elisa. Coating (pelapisan plate Elisa dengan antigen HBsAg100-GST) dilakukan dengan menghaluskan masing-masing gel yang mengandung pita (antigen) dari hasil elektroforesis, kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam tabung eppendorf dan diencerkan dengan dua kali tingkat pengenceran (5 kali dan 50 kali pengenceran) dengan cara sebagai berikut: (a) Pengenceran 5 kali: 100µl gel yang mengandung antigen diencerkan dengan 400 µl coating buffer, kemudian dihomogenkan, (b) Pengenceran 50 kali: 10µl gel yang mengandung antigen diencerkan dengan 490 µl coating buffer, kemudian dihomogenkan. Selanjutnya campuran di atas didistribusikan ke dalam microplate (sumuran) pada plate Elisa dengan masing-masing sumuran diisi 100 µl, kemudian plate Elisa dibungkus dengan plastik cling wrap dan ditutup dengan aluminium foil, lalu diinkubasikan selama 1 jam pada temperatur 4oC. Larutan pencuci microplate disiapkan yaitu berupa larutan 0.05% tween 20 dalam PBS (25 µl tween 20 dilarutkan ke dalam 50 µl PBS). Pencucian hasil coating (dilakukan 4 kali pencucian), caranya dengan memasukkan 400 µl larutan pencuci (larutan 0.05% twenn 20) ke dalam masing sumuran pada microplate, kemudian dibuang sampai bersih larutan pencuci tersebut. Pencucian diulangi sebanyak empat kali dengan cara yang sama seperti tersebut di atas. Blocking. Tahapan ini bertujuan membuat larutan untuk blocking yaitu mengeblok sumuran-sumuran tersebut di atas. Tiap sumuran diblok dengan 300 µl larutan blocking. Larutan blocking sebanyak 20 ml dibuat dengan cara mencampur 1 ml skim milk ke dalam 19 ml PBS yang mengandung 0.05% tween 20 dan pH diatur menjadi 7.4. Selanjutnya larutan blocking dimasukkan ke dalam sumuran microplate yang telah di coating yaitu masing-masing sebanyak 300 µl, kemudian microplate dibungkus dengan plastik cling wrap dan ditutup dengan aluminium foil, kemudian diinkubasikan pada temperatur 37oC selama 1 jam. Pencucian sumuran setelah blocking dilakukan dua kali terhadap masing-masing sumuran yang telah diblok. Cara pencucian adalah mencampurkan 400 µl larutan

54 pencuci 0.05% tween 20 dalam PBS (pH 7.4) ke dalam masing-masing sumuran yang akan dicuci. Selanjutnya larutan pencuci dibuang sampai bersih. Penambahan Serum Antibodi (Antibodi Primer). Larutan pengencer antibodi disiapkan dengan cara pencampuran 20 ml PBS dengan 200 mg blocking solution (BS), kemudian dihomogenkan. Selanjutnya serum antibodi diencerkan dua kali tingkat pengenceran (satu bagian serum antibodi ditambah satu bagian larutan pengencer). Serum antibodi yang sudah diencerkan dimasukkan ke dalam sumuran microplate Elisa masing-masing 50 µl, kemudian dibungkus dengan plastik cling wrap dan ditutup dengan kertas aluminium foil. Selanjutnya diinkubasikan pada temperatur 37oC selama 1 jam, kemudian dicuci empat kali seperti cara di atas dengan larutan pencuci. Penambahan Antibodi Sekunder yang Mengikat HRP (Horseradish Peroxidase). Antibodi yang digunakan adalah IgG kambing anti IgG tikus. Pengenceran antibodi sekunder pengikat enzim HRP adalah 8.000 kali menggunakan pengencer buffer conjugate. Penambahan antibodi sekunder pengikat enzim HRP, pada tiap-tiap sumuran diisi 50 µl Ab sekunder yang mengikat HRP, kemudian dibungkus dengan plastik cling wrap dan ditutup dengan kertas aluminium foil. Inkubasi dilakukan pada temperatur 37oC selama 1 jam, lalu dilakukan pencucian empat kali dengan larutan 0.05% tween 20 dalam PBS seperti cara di atas, kemudian dikeringkan.

Penambahan Substrat. Substrat yang digunakan adalah TMB (Tetra Methyl Benzidine). Proses reaksi dihentikan dengan cara ditambahkan 2 M H2SO4 sebanyak 50 l, dilanjutkan dengan membaca absorban pada gelombang 450 nm menggunakan

elisa

photoreader.

Optical

Density

(OD)

yang

terbaca

menggambarkan tingkat imunogenisitas antigen yang dihasilkan. Hasil dan Pembahasan Imunogenisitas sebuah antigen merupakan kemampuan yang dimiliki oleh antigen untuk merangsang munculnya respon imun pada mahluk hidup yang divaksin dengan antigen tersebut. Menurut Tizard (1988), imunogenisitas menunjukkan kualitas sebuah materi untuk menstimulasi respon imun.

55 Selanjutnya Plotkin (2005) menyatakan bahwa imunogensitas sebuah antigen menjadi perhatian utama industri bioteknologi dalam menghasilkan berbagai protein rekombinan, karena imunogenisitas menjadi penentu kualitas protein antigen yang dihasilkan. Imunogenisitas protein permukaan virus hepatitis B yang diperoleh secara alami dari darah telah diuji baik pada hewan maupun manusia (Yamamoto et al. 1997; Milich dan Roels 2003). Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa protein tersebut memberikan respon imunogenik yang sangat tinggi sehingga disepakati penggunaannya sebagai vaksin. Upaya produksi protein permukaan virus hepatitis B pada ragi maupun tanaman juga telah melewati uji imunogenisitas yang memadai (Ritchter et al. 2000; Lu et al. 2002; Ddemann dan Zyl 2003; Kumar et al. 2005). Beberapa perbaikan terhadap kualitas protein tersebut telah dilakukan dan diuji imunogenisitasnya (Yamada et al. 2000; Kim et al. 2003; Hu et al. 2003; Hu et al. 2004; Deng et al. 2005). Penentuan konsentrasi protein rekombinan (antigen) yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan melalui percobaan vaksinasi pendahuluan dengan menggunakan beberapa konsentrasi antigen yaitu dengan tingkat pengenceran 50x, 100x, 200x, 500x, dan 1000x (Tabel 3). Nilai OD yang menunjukkan sifat antigenik dari suatu antigen diuji menurut Locarnini et al. (1979) yang merumuskan bahwa nilai rerata OD dari suatu antigen yang antigenik harus lebih besar dari nilai rerata OD kontrol negatif (serum negatif) yang telah dikalikan dengan konstanta (2,5). Berdasarkan ketentuan tersebut, maka antigen yang bersifat antigenik dalam penelitian ini adalah yang mempunyai nilai OD lebih besar dari 0,551. Tabel 3 menunjukkan bahwa HBsAg100-GST yang diencerkan sampai 1000 kali masih bersifat antigenik, oleh karena itu vaksinasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan tingkat pengenceran HBsAg100-GST 1000 kali. Rerata respon humoral mencit yang diimunisasi dengan fusi protein (HBsAg100-GST) dan GST dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil pembacaan optikal densiti (OD) dari serum mencit yang diperoleh dari darah mencit sebelum dan setelah dilakukan vaksinasi dengan HBsAg100-GST pada kelompok A dan dengan GST pada kelompok B (Lampiran 8) menunjukkan bahwa rerata respon

56 humoral mencit yang diimunisasi dgn fusi protein meningkat setelah dilakukkan imunisasi, kemudian sekitar seminggu mulai stabil dan setelah dilakukan booster meningkat lagi, tetapi seiring dengan penambahan waktu pemeliharaan maka respon humoral mencit tersebut menurun sedikit demi sedikit sampai akhir minggu ke 12. Perkembangan respon humoral mencit terhadap vaksinasi yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 14. Hal ini menunjukkan bahwa fusi protein rekombinan HBsAg100-GST bersifat antigenik. Tabel 3 Nilai optikal densiti (OD) serum mencit yang diperoleh dari darah mencit setelah satu minggu dilakukan vaksinasi dengan antigen HBsAg100-GST pada beberapa tingkat pengenceran Tingkat pengenceran HBsAg100-GST

Mencit

Kontrol Negatif 0,205 0,237 0,221

A1 A2 Rerata

50x

100x

200x

500x

1000x

1,887 1.946 1,917

1,696 1,702 1,699

1,325 1,391 1,358

1,305 1,390 1,348

1,131 1,254 1,193

2,000 1,800

1,600

OD (450 nm)

1,400 1,200 1,000 HBsAg100-GST

0,800

GST

0,600 0,400

0,200 0,000 0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

Lama pengamatan (Minggu)

Gambar 14 Respon humoral mencit terhadap vaksinasi HBsAg100-GST (kelompok A) dan GST (kelompok B) berdasarkan nilai optikal densiti (OD) yang diukur setiap minggu setelah dilakukan vaksinansi.

57 Simpulan Protein antigen rekombinan HBsAg100 yang berhasil dikloning bersifat antigenik. Respon humoral mencit dalam pembentukan antibodi meningkat cepat setelah dilakukan imunisasi dan booster, kemudian akan menurun secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya waktu. Pembentukan protein antigen dalam penelitian ini dapat dijadikan model imunogen untuk menghasilkan antibodi pada mahluk hidup yang lain seperti pada ternak, tanaman dan manusia untuk mencegah timbulnya penyakit-penyakit tertentu seperti tetelo pada unggas, penyakit mulut dan kuku pada ternak besar, rabies pada anjing dan penyakitpenyakit lainnya pada tanaman dan manusia. Selanjutnya disarankan kepada para peneliti yang menekuni bidang kesehatan hewan pada khususnya dan bidang DNA rekombinan pada umumnya agar meningkatkan motivasinya untuk mengembangkan teknologi ini demi kepentingan dunia kesehatan khususnya di bidang pencegahan penyakit pada ternak.

Daftar Pustaka Camargo, I.F., A.M.C. Gaspar, and C.F.T. Yoshida. 1987. Comparative ELISA Reagents for Detection of Hepatitis B Surface Antigens (HBsAg). Mem Inst Oswaldo Cruz 82(2):181-187. Chen X, Li M, Le X, Ma W, and Zhou B. 2004. Recombinant hepatitis B core antigen carrying preS1 epitopes induce immune response against chronic HBV infection. Vaccine 22:439-446. Ddemann AP, Zyl WH. 2003. Evaluation of Aspergillus niger as host for viruslike particle production, using the Hepatitis B surface antigen as a model. Springer-Verlag. Word J Gastroenterol 12:244-247 Deng Q, Kong YY, Xie YH, and Wang Y. 2005. Expression and purification of the complete PreS region of hepatitis B virus. World J Gastroenterol 11:30603064. Groot ASD, Rappuoli R. 2004. Genome-derived vaccines. Expert Rev Vacc 3:5976. Hu W et al. 2003. A flexible peptide linker enhances the immunoreactivity of two copies HBsAg preS1 (21-47) fusion protein. J Biotechnol 107:83-90. Hu WG et al. 2004. Expression of overlapping Pre-S1 Fragment Recombinant Proteins for the determination of immunogenic domains in HBsAg PreS1 region. Acta Biochim Biophys Sin 36 (6):397-404.

58 Joshi N, Kumar A. 2001. Immunoprophylaxis of hepatitis B virus infection. Ind J Med Microbiol 19:172-183. Kim SJ et al. 2003. Enhanced immunogenicity of DNA fusion vaccine encoding secreted hepatitis B surface antigen and chemokine RANTES. Virology 314:84-91. Kumar SGB, Ganapathi TR, Revathi L, Srinivas VA, Bapat. 2005. Expression of hepatitis B surface antigen in transgenic banana plants. Planta 222:484-493. Lippi G, Salvagno GL, Montagnana M, Guidi GC. 2007. Preparation of a Quality Sample: Effect of Centrifugation Time on Stat Clinical Chemistry Testing. Lab Med 38(3): 172-176. Locarnini SA, Coulepis AG, Stratton AM, Kaldor J, Gust ID. 1979. Solid-phase enzyme-linked immunosorbent assay for detection of hepatitis A specific immunoglobulin M. J Clin microbiol 9:459-465. Lu YY et al. 2002. Cloning and expression of the preS1 gene of hepatitis B virus in yeast cells. Hepatobiliar Pancreat Dis Int 1:238-242. Milich DR, Roels GGL. 2003. Immunogenetics of the response to HBsAg vaccination. Autoimmun Rev 2:248-257. Plotkin SA. 2005. Six revolution in vaccinology. Ped Infect Dis J 24:1-9. Richter LJ, Thanavala Y, Arntzen CJ, Mason HS. 2000. Production of hepatitis B surface antigen in transgenic plants for oral immunization. Nature 18:11671171. Thanavala Y. 1995. Novel approaches to development against HBV. J Biotechnol 44:67-73. Tizard IR. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya Yamada T et al. 2000. Physicochemical and immunological characterization of hepatitis B virus envelope particles exclusively consisting of the entire L (preS1 + pre-S2 + S) protein. Vaccine 19:3154-3163. Yamamoto H, Satoh T, Kiyohara T, Totsuka A, Moritsugu Y. 1997. Quantitation of group-specific a antigen in Hepatitis B vaccines by anti-HBs/a monoclonal antibody. Biologicals 25:373-380.

PEMBAHASAN UMUM Beberapa hasil penelitian bioteknologi peternakan saat ini sudah dapat diaplikasikan dan dimanfaatkan untuk peningkatan reproduksi ternak, pakan ternak serta untuk memperbaiki status kesehatan hewan. Selanjutnya dijelaskan, bahwa bioteknologi reproduksi meliputi inseminasi buatan (Generasi ke I), embryo transfer (Generasi ke II) dan pemuliabiakan ternak melalui kloning (Generasi ke III), dalam upaya peningkatan reproduksi ternak telah dikembangkan penelitian dan aplikasi bioteknologi sampai dengan generasi keempat, yaitu hewan transgenik. Bioteknologi di bidang pakan merupakan teknologi biokimia dan mikrobiologi yang telah diaplikasikan untuk perbaikan mutu pakan, seperti manipulasi mikroba rumen maupun dengan perlakuan kimiawi dan mikrobiologi. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya cerna dari hijauan pakan ternak, jerami dan limbah pertanian yang tinggi kadar selulosanya. Bioteknologi kesehatan hewan meliputi: (1) Produksi komersial berbagai macam zat penggertak pertumbuhan (growth promotors), seperti produksi hormone dengan DNA rekombinan memanfaatkan bakteri tertentu. (2) Produksi komersial substansi antigenik untuk memproduksi vaksin dengan DNA rekombinan yang relatif lebih baik dan lebih aman dibandingkan dengan antigen konvensional yang berasal dari bakteri atau mikroorganisme patogen yang lain. Selanjutnya Muladno (2002) menjelaskan, bahwa dengan tersedianya bioteknologi rekayasa genetika yang dilahirkan pada tahun 1973, manusia telah dapat mengisolasi gen (molekul DNA) serta memanipulasinya, kemudian memindahkan gen tersebut dari satu organisme ke organisme lain. Teknologi kloning merupakan terobosan baru di bidang rekayasa genetika. Menurut Winarno dan Agustinah (2007), kloning adalah pengembangbiakan suatu mahluk hidup yang persis sama dengan induknya tanpa melalui pembuahan, seperti stek pada tanaman, tetapi kloning melalui rekayasa genetika adalah jauh lebih rumit. Muladno (2002) menjelaskan, bahwa pada prinsipnya kloning DNA adalah

proses

penggandaan

jumlah

DNA rekombinan

melalui

proses

perkembangbiakan sel bakteri. Proses penggandaan tersebut dilakukan dengan memasukkan DNA rekombinan ke dalam E.coli, diikuti dengan inkubasi sel E.coli

60 pada suhu optimal sehingga sel berkembangbiak secara eksponensial. Selanjutnya dijelaskan pula, bahwa menggandakan jumlah molekul DNA tidak hanya dapat dilakukan dengan memanfaatkan mekanisme kehidupan mikroorganisma, tetapi dapat juga dilakukan melalui teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Teknologi DNA rekombinan yang memungkinkan digunakan untuk menghasilkan protein rekombinan pada bakteri sangat penting untuk mengatasi permasalahan tersebut. Produksi vaksin dengan menggunakan bakteri akan dapat memenuhi permintaan vaksin yang semakin tinggi dengan waktu yang relatif singkat serta biaya yang relatif lebih murah. Selain itu, teknologi DNA rekombinan dan teknologi produksi pada bakteri memungkinkan dilakukan berbagai upaya rekayasa epitop dalam rangka meningkatkan kualitas vaksin yang akan dihasilkan. Escherichia coli merupakan bakteri yang menjadi pilihan utama diantara aneka bakteri yang telah digunakan sebagai inang dalam menghasilkan protein rekombinan, baik di bidang riset maupun industri. Hal ini disebabkan bakteri Escherichia coli membutuhkan biaya media yang relatif murah, cepat berkembang biak, serta teknologinya sudah berkembang luas (Hu et al. 2004; Kristensen et al. 2005; Lombardi et al. 2005). Berbagai protein rekombinan dari bakteri, archaeabacteria, maupun dari eukariotik dapat diproduksi secara efisien pada E. coli (Kristensen et al. 2005). Biosintesis antigen HBsAg100-GST telah dilakukan dalam penelitian ini dengan menggunakan Escherichia coli sebagai inang. Selain itu, gen penyandi antigen permukaan hepatitis B tersebut digabung (fusi) dengan gen penyandi enzim gluthation-S-transferase (GST) untuk meningkatkan ekspresi maupun kelarutan antigen untuk aktifitas maupun proses pemurnian. Antigen ini diharapkan dapat menghasilkan kandidat vaksin rekombinan hepatitis B yang sesuai dengan genetik virus lokal di Indonesia, dan antibodi yang dihasilkan juga diharapkan akan lebih efektif dalam melakukan proteksi terhadap virus hepatitis B lokal. Campuran yang berhasil digunakan untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal adalah 0,1 unit enzim DNA polymerase pyrobest (Takara Bioinc., Otsu, Japan) dengan bufernya; 0,5 μM primer forward (f) dan backward (b); 0,2 mM

61 dNTP; 1 ng/ml plasmid pGEMT-HB sebagai cetakan. Penggunaan DNA dengan konsentrasi kurang dari 1 ng/ml menghasilkan pita gen target yang kurang jelas, dan penggunaan DNA melebihi 1 ng/ml menyebabkan munculnya beberapa pita produk PCR yang tidak sesuai dengan ukuran pita target. Program PCR yang berhasil digunakan adalah 94oC selama 5 menit, 25 siklus pada 94oC selama 30 detik, 54oC selama 30 detik dan 72oC selama 30 detik, diakhiri dengan 72oC selama 5 menit dan 20oC sampai sampel diangkat untuk elektroforesis. Penemuan suhu annealing yang ideal (54oC ), setelah dilakukan PCR menggunakan beberapa suhu annealing mulai dari 50oC, 52oC, 54oC dan 56oC. Pita gen target yang paling tampak jelas diperoleh pada suhu annealing 54oC. Ketepatan suhu dan waktu annealing, konsentrasi DNA dan primer, serta konsentrasi enzim polimerase DNA yang digunakan sangat menentukan keberhasilan amplifikasi. Penggunaan suhu annealing 54oC selama 30 detik telah menyebabkan primer-primer yang digunakan dapat menempel pada daerah spesifik dari DNA cetakan. Selain itu, waktu yang diperlukan untuk tahap extention adalah selama 30 detik pada suhu 72oC, karena enzim polymerase Pyrobest yang dipergunakan memerlukan waktu 1 menit per 1 kilo pasang basa. Berbeda dengan enzim polymerase Ex Taq yang biasanya memiliki kemampuan lebih cepat, yaitu 40 detik per 1 kilo pasang basa. Hal ini dikarenakan enzim polymerase Pyrobest merupakan enzim dengan tingkat kecermatan tinggi (high fidelity) yang memiliki kemampuan proof-reading. Produk PCR selanjutnya perlu dimurnikan karena ada kelebihan primerprimer maupun substrat dan enzim yang digunakan pada campuran PCR dengan teknik pemotongan gel menggunakan DNA Gel extraction kit. Hasil pemurnian digunakan pada tahap ligasi dengan plasmid pGEX-4T-2 yang telah dipotong dengan enzim Sma1. Enzim Pyrobest yang digunakan untuk proses amplifikasi di atas termasuk enzim dengan tingkat kecermatan tinggi (high fidelity). Campuran reaksi dari reaksi ligasi tersebut adalah produk PCR yang telah diphosphorilasi 2 μl, 25 ng/μl plasmid pGEX-4T-2 yang telah diphosphorilasi, 1 μl kit ligasi, kemudian diinkubasi pada suhu 12oC selama 18 jam. Selanjutnya, dilakukan transformasi dengan E. coli DH5, kemudian ditumbuhkan pada media LB yang mengandung ampisilin pada suhu 37oC selama 14 jam. Koloni bakteri

62 yang tumbuh diduga memiliki plasmid rekombinan. Skrining koloni pembawa plasmid rekombinan dengan teknik PCR koloni dilakukan untuk memastikan hal tersebut. Introduksi plasmid pGEX-SR100 ke dalam bakteri inang E. coli DH5α (transformasi) berhasil dilakukan dengan teknik heat shock. Koloni bakteri E. coli DH5α pembawa plasmid rekombinan pGEX-SR100

hasil

transformasi

ditumbuhkan pada media seleksi (ampisilin 50 µl/ml) yang mengandung Xgal dan IPTG. Hasil kultur dari bakteri tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Koloni bakteri yang berwarna putih diduga pembawa plasmid rekombinan pGEXSR100, sebaliknya koloni bakteri berwarna biru tidak membawa plasmid rekombinan. Penelitian ini telah menguji ekpresi plasmid rekombinan dengan menggunakan E. coli DH5α serta E. coli BL21. E. coli DH5α merupakan bakteri inang yang umum dipergunakan untuk tujuan kloning dan memperbanyak plasmid, sedangkan E. coli BL21 merupakan inang yang umum digunakan untuk tujuan ekspresi. Perbedaan kedua strain bakteri E. coli tersebut adalah E. coli DH5α memiliki banyak enzim protease baik di periplasma maupun sitoplasma, yang dapat mendegradasi protein rekombinan yang dihasilkan pada bakteri tersebut. Gen-gen penyandi enzim protease pada E. coli BL21 sudah dimutasi sehingga ekspresi protein rekombinan tidak akan mengalami degradasi yang intensif. Hal ini terlihat pada hasil SDS-PAGE pada Gambar 11 yang menunjukkan hal tersebut, yaitu intensitas pita protein rekombinan ketika menggunakan E. coli BL21 sebagai inang lebih tebal dibandingkan dengan ketika menggunakan E. coli DH5α. Tebalnya pita protein target masih terlihat walaupun dilakukan pengenceran sampai 10x, sedangkan pengenceran 10 x pada protein yang diekspresi pada E. coli DH5α sudah tidak terlihat. Secara umum terlihat intensitas pita protein cukup tinggi, walaupun jumlah ekspresi protein rekombinan pada E. coli BL21 lebih tinggi dibandingkan pada E. coli DH5α. Hal ini disebabkan antara lain oleh fusi dengan GST. Maeng et al. (2001) melakukan ekspresi gen virus hepatitis B secara parsial diikuti dengan penggabungan atau fusi gen dengan gen penyandi enzim GST untuk peningkatan ekspresi dan kelarutan antigen permukaan hepatitis B pre-S2 pada E. coli.

63 Hasilnya menunjukkan terjadi peningkatan tingkat ekspresi antigen pre-S1 yang digabung dengan GST. Berbagai macam affinity tag, seperti GST dan polyhistidin, dapat digunakan untuk meningkatkan ekspresi dan memfasilitasi pemurnian antigen rekombinan. Hasil pemurnian fusi HBsAg100 dan GST dalam penelitian ini menunjukkan bahwa antigen rekombinan yang diperoleh setelah pemurnian relatif murni dan dalam jumlah yang cukup untuk dapat digunakan dalam aplikasi (assay) selanjutnya (Gambar 15 pita nomor 5-7). Keberhasilan isolasi ini tidak terlepas dari sifat meningkatnya kelarutan protein rekombinan karena fusi dengan GST. Hal ini sesuai dengan pendapat Koschorreck et al. (2005) yang melaporkan terjadi peningkatan solubilitas protein rekombinan yang digabung dengan GST.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gen SR100 berhasil diamplifikasi, kemudian diligasi dengan vektor pGEX-4T-2, dan ditransformasikan ke dalam bakteri E. coli DH5α. Hasil sekuensing menunjukkan tidak terdapat mutasi pada gen hasil kloning. Plasmid pGEX-SR100 berhasil diekspresikan baik pada bakteri E. coli BL21 maupun E. coli DH5α. Ekspresi pada bakteri E. coli BL21 menghasilkan protein rekombinan lebih tinggi. Protein rekombinan HBsAg100-GST yang telah diekspresikan oleh E. coli tersebut berhasil dipurifikasi. Saran Penelitian

dengan

teknologi

DNA rekombinan

perlu

digali

dan

dikembangkan terus dalam rangka pengembangan usaha industri peternakan khususnya di bidang penyediaan bahan vaksin. Pemanfaatan E. coli sebagai inang produksi protein rekombinan lebih tepat menggunakan E. coli BL21.

DAFTAR PUSTAKA Ali M et al. 2005. Improvements in the cell-free production of functional antibodies using cell extract from protease-deficient Escherichia coli. J Biosci Bioengin 99:181-186. Ali M. 2006. High-throughput monoclonal antibody production using cell-free protein synthesis system [Ph.D thesis]. Nagoya University, Japan. Andre, S. 2006. File: DNA Overview.png. Wikimedia Commons. Retrieved on January 17, 2009 from http://en.wikipedia.org/wiki/File:DNA_Overview.png [9 Februari 2012]. Anzola M. 2004. Hepatocellular carcinoma: Role of hepatitis B and hepatitis C viruses proteins in hepatocarcinogenesis. J Viral Hepat 11(5):383-393. Barnum SR. 2005. Biotechnology an Introduction. International Student Edition. Ed ke-2. Belmont: Thmpson Brooks/Cole. Barrera A, Guerra B, Notvall L, Landford RE. 2005. Mapping of the Hepatitis B virus Pre-S1 domain involved in receptor recognition. J Virol 79:9786-9798. Beck J, Nassal M. 2007. Hepatitis B virus replication. World J Gastroenterol 13(1):48-64. Burda MR, Gunther S, Dandri M, Will H, Petersen J. 2001. Structural and functional heterogeneity of naturally occuring hepatitis B virus variants. Antiviral Res 52:125-138. Camargo, I.F., A.M.C. Gaspar, and C.F.T. Yoshida. 1987. Comparative ELISA Reagents for Detection of Hepatitis B Surface Antigens (HBsAg). Mem Inst Oswaldo Cruz 82(2):181-187. Chen X, Li M, Le X, Ma W, Zhou B. 2004. Recombinant hepatitis B core antigen carrying preS1 epitopes induce immune response against chronic HBV infection. Vaccine Word J Gastroenterol 22:439-446. Dayal M, Maldonado D. 1998. The Hepadna Virus Family. An Exclusive Interview with Baruch Blumberg, Winner of the 1976 Nobel Prize in Medicine. http://www.stanford.edu/group/virus/hepadna/Blumberg.html. [1 Februari 1998]. Ddemann AP, Zyl WH. 2003. Evaluation of Aspergillus niger as host for virus-like particle production, using the Hepatitis B surface antigen as a model. SpringerVerlag. Word J Gastroenterol 12:244-247 Deng Q, Kong YY, Xie YH, Wang Y. 2005. Expression and purification of the complete PreS region of Hepatitis B virus. World J Gastroenterol 11:30603064. Dryden KA et al. 2006. Native hepatitis B virions and capsids visualized by electron cryomicroscopy. Molecul Cell 22:843-850. GenBank. 2008. Hepatitis B Virus Isolate 2059Java, Complete Genome. GenBank: EF473971.1

68 Glick BR, Pasternak JJ. 1994. Molecular Biotechnology. Principles and Applications of Recombinant DNA. Washington DC: ASM Press. Hu H et al. 2004a. Yeast expression and DNA immunization of Hepatitis B virus gene with second-loop deletion of α determinant region. Word J Gastroenterol 10:2989-2993. Hu WG. Et al. 2004b. Expression of overlapping Pre-S1 Fragment Recombinant Proteins for the determination of immunogenic domains in HBsAg PreS1 region. Acta Biochim Biophys Sin 36(6): 397-404. Jaoude AG., Sureau C. 2005. Role of the antigenic loop of the Hepatitis B virus envelope proteins in infectivity of Hepatitis B delta virus. J Virol 79:1046010466. Ji D et al. 2005. Study of transactivating effect of pre-S2 protein of Hepatitis B virus and cloning of genes transactivated by pre-S2 protein with suppression subtractive hybridization. World J Gastroenterol 11:5438-5443. Joshi N, Kumar A. 2001. Immunoprophylaxis of Hepatitis B virus infection. Indian J Med Microbiol 19:172-183. Joung YH et al. 2004. Expression of the Hepatitis B surface S and preS2 antigens in tubulers of Solanum tuberosum. Plant Cell Rep 22:925-930. Kim SJ et al. 2003. Enhanced immunogenicity of DNA fusion vaccine encoding secreted hepatitis B surface antigen and chemokine RANTES. Virology 314:84-91. Kimura T et al. 2005. Hepatitis B virus DNA-negative Dane particles lack core protein but contain a 22-kDa precore protein without C-terminal arginine-rich domain. J Biol Biochem 280:21713-21719. Koschorreck M, Fischer M, Barth S, Pleiss J. 2005. How to find soluble proteins: a comprehensive analysis of alfa/beta hydrolases for recombinant expression in E. coli. BMC Genom 6:1-10. Kristensen J, Petersen HUS, Mortensen KK, Sorensen HP. 2005. Generation of monoclonal antibodies for the assesment of protein purification by recombinant ribosomal coupling. Int. J Biol Macromol 37:212-217. Kumar SGB, Ganapathi TR, Revathi, Srinivas VA. Bapat. 2005. Expression of Hepatitis B surface antigen in transgenic banana plants. Planta 222: 484-493. Lewin B. 1990. Genes IV. Cell Press, Cambridge, Mass. Oxford University Press, Walton Street, Oxford OX2 6DP. Lippi G, Salvagno GL, Montagnana M, Guidi GC. 2007. Preparation of a quality sample: Effect of centrifugation time on stat clinical chemistry testing. Lab Med 38(3): 172-176. Locarnini SA, Coulepis AG, Stratton AM, Kaldor J, Gust ID. 1979. Solid-phase enzyme-linked immunosorbent assay for detection of hepatitis A specific immunoglobulin M. J Clinic Microbiol 9:459-465. Lok ASF, McMahon BJ. 2001. Chronic hepatitis B. Hepatology 34:1225-1241.

69 Lombardi A, Sperandei M, Cantale C, Giacomini P, Galeffi P. 2005. Functional expression of a single-chain antibody specific or the HER2 human oncogene in a bacterial reducing environment. Protein Expr Purif 44:10-15. Lu YY et al. 2002. Cloning and expression of the preS1 gene of Hepatitis B virus in yeast cells. Hepatobiliar Pancreat Dis Int 1:238-242. Maeng CY, Oh MS, Park IH, Hong HJ. 2001. Purification and structural analysis of the Hepatitis B virus preS1 expressed from Escherichia coli. Biochem Biophys Res Com 282:787-792. Maruyama J et al. 2000. Production and product quality assessment of human Hepatitis B virus pre-S2 antigen in submerged and solid-state culture of Aspergillus oryzae. J Biosci Bioengineer 90:118-120. Mason AL, Xu L, Guo L, Kuhns M, Perrillo RP. 1998. Molecular basis for persistent hepatitis B virus infection in the liver after clearance of serum hepatitis B surface antigen. Hepatology 27(6):1736-1742. Milich DR, Roels GGL. 2003. Immunogenetics of the response to HBsAg vaccination. Autoimmun Rev 2:248-257. Muladno. 2002. Teknonologi Rekayasa Genetika. Bogor Baru: Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Muljono DH, Soemohardjo S. 2003. Hepatitis B Virus Molecular Diversity in Indonesia. Di dalam: Marzuki S, Verhoef J, Snippe H, editor. Tropical Deseases: From Molecule to Bedside.. London: Kluwer Academic/Plenum Publisher. Hlm 163-176. Mulyanto et al. 1997. Distribution of the Hepatitis B surface HBsAg100 subtypes in Indonesia: Implications for ethic heterogeneity and infection control measures. Arch Virol 142:2121-2129. Mulyanto et al. 2002. Hepatitis B seroprevalence among children in Mataram, Indonesia: following a seven-year mass immunization program. Report meeting of the US-Japan cooperative medical science program asian region collaboration research project 2001, Sanghai. Nurainy N, Muljono DH, Sudoyo H, Marzuki S. 2008. Genetic study of hepatitis B virus in Indonesia reveals a new subgenotype of genotype B in East Nusa Tenggara. J Arch Virol 153(6): 1057-1065. Old RW, Primrose SB. 1989. Prinsip-prinsip Manipulasi Gen Pengantar Rekayasa genetika. Edisi ke-4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, penerjemah; Jakarta: UIP. Terjemahan dari: Principles of Gen Manipulation. Plotkin SA. 2005. Six revolution in vaccinology. Pediatric Infect Dis J 24:1-9. Richter LJ, Thanavala Y, Arntzen CJ, Mason HS. 2000. Production of hepatitis B surface antigen in transgenic plants for oral immunization. Nature 18:11671171. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York.

70 Sheu SY, Lo SJ. 1995. Deletion or alteration of hidrofobik amino acids at the first and third transmembrane domains of Hepatitis B surface antigen enhances its production in Escherichia coli. Gene 160:179-184. Stannard LM. 1995. Hepatitis B Virus. http://web.uct.ac.za/depts/mmi/stannard/ emimages. html. Soewignjo S, Mulyanto. 1984. Epidemiologi infeksi virus Hepatitis B di Indonesia. Acta Medica Indones 15:215-230. Thanavala Y. 1995. Novel approaches to development against HBV. J Biotechnol 44:67-73. Tizard IR. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya Vikis HG, Guan KL. 2000. Glutathione-S-Transferase-Fusion Based Assays for Studying Protein-Protein Interaction. Di dalam: Methods in Molecular Biology, vol. 261. Humana Press Inc. Totowa, NJ. Wagner A, Denis F, Roges SR, Ratti VL, Alain S. 2004. Hepatitis B Virus Genotypes. Immuno-anal Biol Special 19:330-342. Winarno FG. 2004. Keamanan Pangan. Jilid 3, Cetakan 1. Bogor: M-Brio Press. Winarno FG, Agustinah W. 2007. Pengantar Bioteknologi. Ed Revisi. Bogor: MBrio Press. Wiryosuhanto SD, Sudradjat SD, editor. 1992. Aplikasi Bioteknologi Kesehatan Hewan. Hasil Semiloka Bioteknologi Kesehatan Hewan di Bogor, 20-21 Oktober 1992. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta. Worman HJ. 2002. Hepatitis B. Columbia University Medical Center. Deseases of the Liver/Howard J. Worman, M.D./[email protected] Yamada T et al. 2001. Physicochemical and immunological characterization of Hepatitis B virus envelope particles exclusively consisting of the entire L (preS1+pre-S2+S) protein. Vaccine. J Virol 19:3154-3163. Yamamoto H, Satoh T, Kiyohara T, Totsuka A, Moritsugu Y. 1997. Quantitation of group-specific a antigen in Hepatitis B vaccines by anti-HBs/a monoclonal antibody. Biologicals 25:373-380.

LAMPIRAN

73 Lampiran 1 Topologi dan peta fisik plasmid pGEM-T Easy

Sumber:

Diakses pada tanggal 13 Februari 2012 melalui: http://www.promega.com/~/media/Files/Resources/Protocols/Technical%20Manu als/0/pGEM-T%20and%20pGEMT%20Easy%20Vector%20Systems%20Protocol.ashx

74 Lampiran 2 Genom lengkap dari isolat virus hepatitis B”2059 Java”

75 Lampiran 2 (lanjutan)

76 Lampiran 2 (lanjutan)

77 Lampiran 2 (lanjutan)

Diterima melalui email dari Fak. Kedokteran UNRAM pada tanggal 2 April 2009

Lampiran 3 Program PCR yang berhasil digunakan untuk amplifikasi gen SR100

78 Lampiran 4 Topologi dan peta fisik plasmid pGEX-4T-2

Lampiran 4 (lanjutan)

79

Lampiran 5 Situs-situs pemotongan dan sekuen lengkap pGEX-4T-2

80 Lampiran 5 (lanjutan)

81

Lampiran 5 (lanjutan)

82 Lampiran 5 (lanjutan)

Diakses pada tanggal 12 Juni 2011 melalui: http://www.gelifesciences.com/aptrix/upp00919.nsf/Content/2CA907CE4753D32 BC1257628001D394F/$file/28918445AB.pdf

83 Lampiran 6 Hasil sekuensing gen SR100 dengan menggunakan primer pGEX-5’

Lampiran 6 (lanjutan)

84 Lampiran 6 (lanjutan)

Lampiran 6 (lanjutan)

85 Lampiran 7 Hasil sekuensing gen SR100 dengan menggunakan primer pGEX-3’

Lampiran 7 (lanjutan)

86 Lampiran 7 (lanjutan)

Lampiran 7 (lanjutan)

87 Lampiran 8 Mesin Thermal Cycler untuk mengamplifikasi segmen DNA

Lampiran 9 Alat elektroforesis untuk memisahkan segmen DNA

88 Lampiran 10 Alat elektroforesis (BIO-RAD) untuk memisahkan molekul protein berdasarkan berat molekulnya (tampak depan)

Lampiran 11 Alat elektroforesis (BIO-RAD) untuk memisahkan molekul protein berdasarkan berat molekulya (tampak atas)

89 Lampiran 12 Kelompok kandang mencit dalam penelitian

Lampiran 13 Keadaan mencit di dalam kandang percobaan

90 Lampiran 14 Proses mencampur HBsAg100-GST dengan Freund’s Adjuvant sebagai bahan vaksin

Lampiran 15 Menyiapkan mencit untuk vaksinasi

91 Lampiran 16 Proses vaksinasi terhadap mencit sedang berlangsung

Lampiran 17 Pengambilan darah mencit melalui ujung ekor

92 Lampiran 18 Hasil elisa dalam penentuan konsentrasi serum mencit untuk menguji antigenisitas protein rekombinan HBsAg100-GST

Lampiran 19 Mesin Elisa Photoreader yang digunakan untuk membaca hasil elisa

93 Lampiran 20 Printer yang terhubung dengan Mesin Elisa

Lampiran 21 Data hasil pembacaan optikal densiti (OD) terhadap serum mencit yang diperoleh dari darah mencit sebelum dan setelah dilakukan vaksinasi HBsAg100-GST (kelompok A) dan GST (kelompok B)