11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KONSEP DASAR CITRA TUBUH 2.1.1

Download TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Konsep Dasar Citra Tubuh. 2.1.1 Pengertian Citra Tubuh. Citra tubuh (Body image) didefinisikan dan dihubungkan dalam...

0 downloads 359 Views 231KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Dasar Citra Tubuh

2.1.1

Pengertian Citra Tubuh Citra tubuh (Body image) didefinisikan dan dihubungkan dalam dua cara.

Definisi citra tubuh secara psikologis yaitu gambaran psikis terhadap keadaan fisik seseorang, yang menyangkut tingkah laku dan persepsi terhadap penampilan fisiknya, kondisi kesehatan, kemampuan, serta seksualitas. Citra tubuh adalah persepsi seseorang terhadap tubuhnya dan interaksinya dengan orang lain, serta memiliki rasa kepemilikan dan batasan-batasan tubuhnya, sebuah citra yang yang terbangun secara psikologis dan melalui sistem neurologis otak, melalui propiosepsi, penglihatan, dan sistem vestibular. Citra tubuh juga dapat diasumsikan sebagai proses maupun hasil, dan citra tubuh seseorang mempengaruhi fungsi fisik dan psikologisnya (Larsen & Lubkin, 2009). Grogan (1999) dalam Faircloth (2003), mengemukakan definisi citra tubuh sebagai persepsi seseorang, pikiran, dan perasaan terhadap tubuhnya. Citra tubuh seseorang juga dapat mempengaruhi kemampuannya dalam berhubungan dengan orang lain dan akan berpengaruh pula terhadap bagaimana orang lain berespon terhadapnya. Menurut Honigman dan Castle (2007), citra tubuh adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang dipikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan atas penilaian orang lain terhadap

11

12

dirinya. Citra tubuh adalah gagasan kompleks dan meliputi kesadaran, emosi, dan tindakan seseorang yang berkenaan dengan tubuhnya (Cash & Pruzinsky, 1990). Menurut Fallon (1990) dalam Kim & Lennon (2007), Citra tubuh adalah gambaran mental yang dimiliki pada tubuhnya sendiri. Citra tubuh tidak hanya tentang bagaimana seseorang menilai dirinya, namun juga mengenai bagaimana perasaan mereka terhadap persepsi tersebut (Kim & Lennon, 2007). Citra tubuh merupakan suatu pencitraan dari tubuh seseorang yang dilihat melalui pikiran yang membebaskan seseorang untuk mengetahui emosi, sensasi, kebutuhan tubuh, dan selera, serta untuk berkompromi dengan lingkungan fisik. Citra tubuh juga digambarkan sebagai sebuah area psikologis dimana tubuh, pikiran, dan kebudayaan bergabung menjadi satu. Area ini mencakup pemikiran-pemikiran, perasan, persepsi, tingkah laku, nilai-nilai, dan anggapan seseorang mengenai tubuhnya (Hutchinson, 1994 dalam Juntunen & Atkinson, 2002). Menurut Davidson & McCabe (2005) istilah citra tubuh didefinisikan sebagai persepsi dan sikap seseorang terhadap tubuhnya sendiri. Hal yang serupa dikemukakan oleh Schilder yang mendefinisikan citra tubuh sebagai gambaran tentang tubuh individu yang terbentuk dalam pikirannya, atau gambaran tubuh individu menurut dirinya sendiri (Frith & Glesson, 2006). Rudd dan Lennon (2001) mengemukakan bahwa citra tubuh adalah gambaran mental yang dimiliki individu tentang tubuhnya meliputi dua komponen, yaitu komponen perseptual (ukuran, bentuk, berat, karakteristik, gerakan, dan performa tubuh) dan komponen sikap (apa yang kita rasakan tentang tubuh kita dan bagaimana perasaan ini mengarahkan pada tingkah laku).

13

2.1.2

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Citra Tubuh Menurut Close dan Giles (2008), citra tubuh pada remaja mulai terbentuk

seiring dengan pertumbuhan fisik dan kematangan mentalnya. Cara pandang remaja terhadap tubuhnya sendiri dipengaruhi antara lain pertumbuhan fisiknya yang masih tengah berubah dan berkembang, tayangan dan tampilan media massa yang menampilkan bentuk tubuh model yang ideal, juga kecenderungan untuk membandingkan bentuk tubuhnya dengan bentuk tubuh orang lain seusianya. Hal ini menyebabkan terjadinya fenomena hypercare, yaitu suatu gejala upaya perawatan dan penyempurnaan daya kerja serta penampilan tubuh secara berlebihan, lewat bantuan kemajuan teknologi kosmetik dan medis (Kasiyan, 2008). Dalam perkembangannya, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan citra tubuh, antara lain: a.

Jenis Kelamin Chase (2001) menyatakan bahwa jenis kelamin adalah faktor paling

penting dalam perkembangan citra tubuh seseorang. Dacey & Kenny (2001) mengemukakan bahwa jenis kelamin mempengaruhi citra tubuh. Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan menyatakan bahwa wanita lebih negatif memandang citra tubuh daripada pria (Cash & Brown, 1989; Davison & McCabe, 2005; Demarest & Allen, 2000; Furnham & Greaves,1994; Janelli,1993; Rozin & Fallon, 1988 dalam Hubley & Quinlan, 2005). Thompson dalam Sucita (2008) yang mengungkapkan bahwa semua perempuan memperhatikan berat badannya dan takut mengalami kelebihan berat badan. Wanita ingin memiliki tubuh kurus

14

menyerupai ideal yang digunakan untuk menarik perhatian pasangannya dan memiliki kecenderungan untuk menurunkan berat badan disebabkan oleh media massa yang mempromosikan penurunan berat badan (Andersen & Didomenico, 1992). b.

Usia Pada usia remaja, citra tubuh menjadi aspek yang penting untuk

diperhatikan. Hal ini berdampak pada usaha berlebihan untuk mengontrol berat badan. Umumnya hal ini terjadi pada remaja putri daripada remaja putra. Remaja putri mengalami kenaikan berat badan yang normal pada masa pubertas dan menjadi tidak bahagia tentang penampilan dan citra tubuh negatif ini dapat menyebabkan gangguan perilaku makan. Ketidakpuasan remaja putri pada tubuhnya meningkat pada awal hingga pertengahan usia remaja (Papalia & Olds, 2003). Ketakutan untuk menjadi gemuk sangat umum terjadi pada remaja putri sehingga hal ini disebut sebagai ketidakpuasan normatif bagi kelompok usia dan gender ini (Gibney, Margetts, Kearney, & Arab, 2004). c.

Media Massa Media massa berperan di masyarakat (Cash & Pruzinsky, 2002). Majalah

wanita terutama majalah fashion, film dan televisi (termasuk tayangan khusus anak-anak) menyajikan gambar model-model yang kurus sebagai figur yang ideal sehingga menyebabkan banyak wanita merasa tidak puas dengan dirinya. Media massa mempengaruhi citra tubuh manusia melalui tiga proses, yaitu persepsi, kognitif dan tingkah laku yang dikaitkan dengan pembandingan sosial dimana wanita cenderung membandingkan diri dengan model-model kurus yang

15

dikategorikan menarik. Akibat pembandingan sosial ini, terjadi distorsi persepsi pada wanita dimana mereka merasa tubuh mereka gemuk padahal sebenarnya mereka tidak gemuk. Pada kognitif mereka telah tergambar bagaimana wanita yang dianggap menarik sehingga menjadikannya landasan untuk melakukan evaluasi diri terhadap penampilan. Dari segi tingkah laku dimana wanita ingin memiliki tubuh yang kurus seperti para model di media, mereka rela melakukan diet atau cara lain yang dapat mengurangi berat tubuh. d.

Keluarga Menurut teori pembelajaran sosial, orang tua merupakan model yang

penting dalam proses sosialisasi sehingga mempengaruhi citra tubuh anakanaknya melalui umpan balik, dan instruksi (Cash & Pruzinsky, 2002). e.

Hubungan Interpersonal Seseorang cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain dan

umpan balik yang diterima mempengaruhi konsep diri termasuk bagaimana perasaannya terhadap penampilan fisik. Hal inilah yang sering membuat seseorang cemas terhadap penampilan dan gugup ketika orang lain melakukan evaluasi terhadap dirinya. Rosen menyatakan bahwa umpan balik terhadap penampilan dan kompetisi teman sebaya dan keluarga dalam hubungan interpersonal mempengaruhi bagaimana pandangan dan perasaan seseorang terhadap tubuhnya (Cash & Pruzinsky, 2002). Budaya kesan pertama di masyarakat menunjukkan bahwa lingkungan sering kali menilai seseorang berdasarkan kriteria luar, seperti tampilan fisik, karena tampilan fisik yang baik

16

sering diasosiasikan dengan status yang lebih tinggi, kesempatan yang lebih luas untuk dapat menarik pasangan, dan kualitas positif lainnya (Melliana, 2006).

2.1.3

Pengukuran Citra Tubuh Terdapat beberapa jenis pengukuran citra tubuh, antara lain The Body

Image States Scale (BISS), The Body-Image Ideals Questionnaire (BIQ), The Situational Inventory of Body-Image Dysphoria (SIBID), The Body Image Disturbance Questionnaire (BIDQ), The Body Image Quality of Life Inventory (BIQLI), The Appearance Schemas Inventory-Revised (ASI-R), The Body Image Coping Strategies Inventory (BICSI), The Multidimensional Body-Self Relations Questionnaire-Appearance Scale (MBSRQ-AS), dan The Body Exposure during Sexual Activities Questionnaire (BESAQ) (Cash & Pruzinsky, 2002). Pengukuran mengenai citra tubuh pada umumnya menggunakan Multidimensional Body Self Relation Questionnaire-Appearance Scales (MBSRQ-AS) yang dikemukakan oleh Cash dalam Seawell dan Danorf-Burg (2005). Alat ukur ini umum diguakan karena dianggap lebih mudah dimengerti dan lebih mudah digunakan pada kelompok berisiko maupun remaja pada umumnya. Citra tubuh dalam MBSRQAS dibagi menjadi lima dimensi, yaitu: a.

Appearance Evaluation (Evaluasi Penampilan) Dimensi yang diukur berhubungan dengan evaluasi penampilan dan

keseluruhan tubuh, apakah menarik atau tidak menarik serta memuaskan atau tidak memuaskan.

17

b.

Appearance Orientation (Orientasi Penampilan) Dimensi yang diukur adalah tingkat perhatian individu terhadap

penampilan dirinya dan usaha yang dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan penampilan dirinya c.

Body Area Satisfaction (Kepuasan Terhadap Bagian Tubuh) Mengukur tingkat kepuasan terhadap bagian tubuh secara spesifik seperti

wajah, rambut, tubuh bagian bawah (pantat, pinggul, kaki), tubuh bagian tengah (pinggang, perut), tubuh bagian atas (dada, bahu, lengan), dan penampilan secara keseluruhan. d.

Overweight Preoccupation (Kecemasan Menjadi Gemuk) Mengukur kecemasan terhadap kegemukan, kewaspadaan individu

terhadap berat badan, kecenderungan melakukan diet untuk menurunkan berat badan dan membatasi pola makan. e.

Self-Classified Weight (Pengkategorian Ukuran Tubuh) Mengukur bagaimana individu mempersepsikan dan menilai berat

badannya, dari sangat kurus sampai sangat gemuk. Chairiah (2012) dalam penelitian yang berjudul “Hubungan Gambaran Body Image dan Pola Makan Remaja Putri” memodifikasi kuesioner ini untuk dapat digunakan di Indonesia. Kuesioner ini terdiri dari sebelas pertanyaan berbentuk skala likert.

18

2.2

Konsep Dasar Perilaku Makan pada Remaja Putri

2.2.1

Definisi Perilaku Makan Definisi perilaku makan adalah tanggapan atau reaksi individu yang

terwujud di gerakan atau aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yang ditunjukkan individu untuk bertahan hidup dimana aktivitas tersebut untuk menyediakan kebutuhan nutrisi terutama untuk energi dam pertumbuhan yang dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan genetika (Ie, 2013). Tan dalam Fradjia (2008) menyebutkan bahwa perilaku makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan perilaku yang berhubungan dengan tata karma makan, frekuensi makan, pola makan, kesukaan makan, dan pemilihan makanan. Perilaku makan pada remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: a.

Faktor Biologis Model biologis dari perilaku makan berfokus pada pusat regulasi nafsu

makan di hipotalamus yang mengontrol mekanisme neurokimiawi untuk makan dan perasaan kenyang. Penurunan kadar dopamine yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam perilaku makan seseorang diduga sebagai suatu cara untuk mengkompesasi penurunan aktivasi area penghargaan yang di rangsang oleh dopamin (Wang, et al, 2001 dalam Stuart & Laraia, 2005). Leptin, sebuah protein yang meningkatkan asupan makanan, dan gliserin, juga mempengaruhi perilaku makan seseorang (Jimerson, D, 2002; Tanaka et al., 2002 dalam Stuart & Laraia, 2005).

19

b.

Faktor Psikologis Perpisahan

dini,

konflik

individu,

perasaan

ketidakbergunaan,

ketidakberdayaan, kesulitan menginterpretasikan perasaan dan bertoleransi terhadap fase emosional dan ketakutan terhadap kedewasaan dapat mempengaruhi peilaku makan pada remaja. (Greeno, Wing, dan Shiffman, 2000; Stein dan Core, 2003 dalam Stuart & Laraia, 2005) c.

Faktor Lingkungan Berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi perilaku makan

seseorang. Keluarga dengan penyalahgunaan obat, bunuh diri, pembolosan, dan masalah emosional lainnya, dapat mempengaruhi perilaku makan anggota keluarga tersebut. Orang tua yang menunjukkan penolakan tehadap orang-orang dengan kelebihan berat badan dapat mempengaruhi perilaku makan anak-anaknya (Brink, Ferguson, & Sharma, 1999, dalam Stuart & Laraia, 2005). Orang tua yang terus-menerus menghindari makanan apabila mengalami stress dan menunjukkan perilaku makan buruk, serta tidak mengajarkan anak-anak tentang nilai yang pantas mengenai makanan, juga dapat berpengaruh dalam perilaku makannya sehari-hari. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan termasuk mengedukasi orang tua dari anak-anak tentang perilaku makan yang sehat (White, 2000 dalam Stuart & Laraia, 2005). d.

Faktor Sosiokultural Pengaruh teman sebaya cukup besar di kalangan remaja. Menurut

Newman dan Shichor dalam Hurlock (1994), remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman sebayanya sebagai kelompok sehingga berpengaruh

20

besar pada sikap, minat, penampilan, dan perilakunya, termasuk perilaku makan remaja.

2.2.2

Gangguan Perilaku Makan Gangguan perilaku makan adalah suatu permasalahan yang serius, kadang

sulit untuk disembuhkan dengan terapi, disertai banyak komplikasi medis dan angka mortalitas yang tinggi sejalan dengan tingkat komorbiditas psikiatri yang tinggi pula (Striegel-Moore, Wonderlich, Walsh, & Mitchell, 2011). Gangguan perilaku makan diartikan suatu sindrom psikiatrik yang ditandai oleh pola makan yang menyimpang terkait dengan karakteristik psikologik yang berhubungan dengan makan, bentuk tubuh, dan berat badan (Lisal, 2008). Thompson dalam Sucita (2008) yang mengungkapkan bahwa semua perempuan memperhatikan berat badannya dan takut mengalami kelebihan berat badan sehingga cenderung untuk mengalami gangguan dalam perilaku makan. Remaja putri merupakan kelompok masyarakat yang paling berisiko, dan diestimasikan hingga 70% remaja putri terkena permasalahan ini (Gibney, Margetts, Kearney, & Arab, 2004).

2.2.3

Klasifikasi Gangguan Perilaku Makan Klasifikasi dari gangguan perilaku makan sebagai suatu gangguan mental

dimulai dengan anorexia nervosa pada sekitar tahun 1970, diikuti dengan bulimia nervosa pada sekitar tahun 1980, dan klasifikasi untuk gangguan perilaku makan yang berbeda dari dua klasifikasi tersebut (Levin & Becker, 2010). Berdasarkan panduan diagnostik dan statistik untuk gangguan mental edisi keempat (DSM-IV),

21

gangguan perilaku makan dibagi menjadi tiga, yaitu AN, BN, dan EDNOS (Lemberg, 1991). a.

Anorexia Nervosa (AN) Anorexia Nervosa adalah sebuah gangguan perilaku makan yang ditandai

dengan adanya penurunan berat badan, jauh dari rentang normal, yang dilakukan dengan sengaja (Lemberg, 1991). Menurut diagnosis DSM-IV, AN didefinisikan sebagai ketakutan yang berlebihan terhadap pertambahan berat badan, meskipun telah mengalami kekurangan berat badan. Terdapat gangguan dengan cara seseorang

memandang

tubuhnya

dan

terdapat

suatu

penolakan

untuk

mempertahankan bentuk tubuh diatas berat badan normal minimal. Pada wanita, siklus menstruasi dapat terhambat sekurangnya tiga siklus berturut-turut. Terdapat dua jenis AN, tipe restricting type dan tipe binge/purging type (American Psychiatric Association, 2000 dalam Stuart & Laraia, 2005). AN jenis restrictingtype anorexia terlihat individu menurunkan berat badan dengan melakukan diet tanpa

disertai

perilaku

makan

berlebihan

atau

memuntahkan

kembali

makanannya. Sedangkan pada tipe binge-eating/purging, individu tersebut makan secara berlebihan kemudian memuntahkannya kembali secara sengaja (APA, 2005). Sebagian besar individu dengan AN melihat diri mereka sebagai orang dengan kelebihan berat badan, walaupun sebenarnya mereka menderita kelaparan atau malnutrisi. Seseorang dengan AN akan sentiasa mengukur berat badannya berulang kali, menjaga porsi makanan dengan berhati-hati, dan makan dengan jumlah yang sangat kecil (Wonderlich, et al, 2005).

22

Kebanyakan pasien dengan AN juga akan memiliki masalah psikiatri dan berbagai penyakit fisik, termasuk depresi, ansietas, penyalahgunaan zat, komplikasi kardiovaskular dan neurologis, dan perkembangan fisik yang terhambat (Becker, et al, 2002). Gejala lain yang mungkin terlihat antara lain penipisan tulang (osteopenia atau osteoporosis), rambut dan kuku yang rapuh, kulit yang kering dan kekuningan, pertumbuhan rambut halus pada tubuh (misalnya, lanugo), anemia ringan, kelemahan dan kehilangan otot, konstipasi berat, tekanan darah rendah, penurunan suhu tubuh, dan kelemahan (Wonderlich, 2005). Pada anak-anak yang prapubertas, pubertasnya lambat dan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya terhambat (Chavez & Insel, 2007). Gejala metabolik lainnya, seperti lelah dan intoleransi terhadap kedinginan juga disebabkan oleh gangguan aksis hipotalamus-pituitari-gonad (Kiyohara, et al, 1987). Pengurangan densitas tulang diobservasi pada pasien dengan AN meningkatkan risiko untuk mengalami fraktur dan berkaitan dengan defisiensi berbagai nutrisi, penurunan steroid gonad dan peningkatan kortisol (Karlsson, et al, 2000). b.

Bulimia Nervosa (BN) Menurut diagnosa DSM-IV, bulimia nervosa adalah episode berulang dari

BED dengan kurangnya control terhadap perilaku makan dan perhatian berlebihan terhadap

bentuk

tubuh

dan

berat

badan.

Seseorang

yang

dikatakan

mengalamibulimia nervosa juga memuntahkan kembali makanannya secara regular, menggunakan obat-obatan pencahar tanpa indikasi, berpuasa, maupun melakukan olahraga secara berlebihan (American Psychiatric Association, 2000

23

dalam Stuart & Laraia, 2005). DSM-IV membagi BN kepada dua bentuk yaitu purging dan nonpurging. Pada tipe purging, individu tersebut memuntahkan kembali makanan secara sengaja atau menyalahgunakan obat pencahar, diuretik atau enema. Pada tipe nonpurging, individu tersebut menggunakan cara lain selain cara yang digunakan pada tipe purging, seperti berpuasa secara berlebihan. Tidak seperti AN, penderita BN masih dapat memiliki berat badan yang normal sesuai dengan umur mereka. Akan tetapi, seperti AN, mereka juga mempunyai ketakutan akan pertambahan berat badan, dan menjalani tindakan ekstrim untuk mengurangi berat badan, serta merasa sangat tidak puas atas ukuran dan bentuk tubuh (APA, 2005). Mirip dengan AN, orang yang menderita BN juga mempunyai penyakit psikologis seperti depresi, ansietas, maupun permasalahan penyalahgunaan zat. Akibat fisik dari BN antara lain, ketidakseimbangan elektrolit, masalah gastrointestinal, dan masalah yang berkaitan dengan rongga mulut dan gigi (APA, 2005). c.

Eating Disorder Not Otherwise Specified (EDNOS)

1)

Binge Eating Disorder (BED) Individu yang mengalami BED mengonsumsi kalori dalam jumlah yang

besar namun tidak memiliki keinginan untuk mencegah kenaikan berat badan. Penyakit ini memiliki prevalensi rata-rata 2-4% dari populasi yang ada. Terdapat sekitar 19%-40% dari penderita obesitas yang mencari terapi untuk mengontrol berat badan memiliki riwayat BED. Hal ini menunjukkan bahwa mengkaji tentang gangguan perilaku makan seharusnya menjadi bagian yang penting pada program

24

manajemen berat badan (Grilo, 1998 dalam Stuart & Laraia, 2005). Obesitas semasa kecil dan orang tua yang mengalami obesitas merupakan faktor risiko spesifik untuk terjadinya BED (Abraham & Stafford, 2007). Binge Eating Disorder digolongkan pada orang dengan episode bingeeating yang rekuren sewaktu seseorang merasakan hilangnya penguasaan terhadap perilaku makannya. Tidak seperti BN, episode binge-eating ini tidak diikuti dengan proses pengontrolan, olahraga yang berlebihan, atau puasa. Mereka juga merasa bersalah, malu, maupun distress dengan binge-eating yang dapat menyebabkan terjadinya lebih banyak episode binge-eating. Mereka juga sering mempunyai penyakit psikologis termasuk ansietas, depresi, dan kekacauan kepribadian (APA, 2005). 2)

Night Eating Syndrome (NES) Sindrom makan di malam hari adalah gangguan makan berat yang sedang

dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam DSM-IV-TR sebagai gangguan perilaku makan yang terpisah. Individu yang memiliki sindrom makan di malam hari memiliki gejala anoreksia di pagi hari dan mengalami kesulitan dalam mempertahankan tidur serta mengalami depresi sebagian besar di malam hari. Individu biasanya akan terbangun dua kali setiap malam dan hal ini berkaitan dengan pengonsumsian makanan. Prevalensi dari sindrom ini diperkirakan 1,5% pada populasi umum, 8,3% pada populasi obesitas, dan 27% diantara populasi obesitas berat yang mencari penanganan bedah (Strunkard & Allison, 2003 dalam Stuart & Laraia, 2005).

25

2.2.4

Pengukuran Perilaku Makan Mengukur perilaku makan seeorang dapat dilakukan dengan berbagai cara,

antara lain dengan Eating Disorder Inventory 3 (EDI-3), Eating Disorders Quality of Life Scale (EDQLS), Quality of Life Enjoyment and Satisfaction Quetionnaire (Q-LES-Q), serta State Trait Anxiety Inventory (STAI) (Maine, McGilley, & Bunnel, 2010). Identifikasi kecenderungan terjadinya gangguan perilaku makan pada umumnya menggunakan instrumen Eating Attitudes Test (EAT-26). EAT-26 tidak

digunakan

untuk

mendiagnosis

gangguan

makan,

namun

untuk

mengidentifikasi individu-individu yang memiliki kecenderungan gangguan dalam berperilaku makan dan membutuhkan penanganan lebih lanjut (Anderson, 2004). Menurut Garner et al. (1998) dalam Anderson (2004), EAT-26 telah digunakan sebagai alat skrining untuk menilai risiko gangguan perilaku makan di sekolah, kampus, hingga sampel berisiko seperti atlet dan sebagainya. Kuesioner EAT-26 disusun oleh Garner & Garfinkel (1982) dan terdiri atas 26 pertanyaan yang mencakup tiga aspek, yaitu : a.

Dieting (Perilaku Diet) Komponen ini terdiri dari aspek menghindari makanan berlemak dan

keinginan kuat untuk memiliki tubuh kurus b.

Bulimia and Food Preoccupation (Bulimia dan Makna Makanan) Komponen ini terdiri dari aspek pemikiran dan pemaknaan terhadap

makanan.

26

c.

Oral Control (Kontrol Oral) Komponen ini terdiri dari aspek control diri dalam perilaku makan serta

aspek tekananan yang diterima oleh orang lain atas kelebihan berat badan. Devi (2010) dalam penelitian yang berjudul “Hubungan Sikap terhadap Thin

Ideal

dan

Kecenderungan

Gangguan

Makan

pada

Mahasiswi”,

memodifikasi kuesioner ini untuk penggunaan di Indonesia. Kuesioner ini terdiri dari 16 pertanyaan berbentuk skala likert.

2.3

Remaja Remaja (adolescent) merupakan individu yang berkembang dari masa

kanak-kanak menuju kedewasaan (Neufeldt & Guralnik, 1996 dalam Valentini & Nisfiannoor, 2006). Masa remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa anak dan dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial. Menurut WHO (1974), disebutkan bahwa remaja adalah individu yang berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat mencapai kematangan seksual, individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menuju dewasa, dan individu yang mengalami peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menjadi suatu kemandirian. Menurut Turner & Helms (1995), masa remaja (adolescence) berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti berkembang menuju kedewasaan. Masa remaja berarti tahap kehidupan yang berlangsung antara masa kanak-kanak (childhood) dan masa dewasa (adulthood) (Valentini & Nisfiannoor, 2006). Menurut Konopka (1973) dalam Gunarsa & Gunarsa (2008), masa remaja

27

merupakan fase yang paling penting dalam pembentukan nilai. Rentang usia individu yang tergolong remaja berbeda-beda. Dalam mayoritas budaya, remaja dimulai pada sekitar umur 10-13 tahun dan berakhir sekitar usia 18-22 tahun (Santrock, 2003). Menurut Soetjiningsih (2004), masa remaja dimulai antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu menjelang masa dewasa muda. Salah satu dimensi dari perkembangan psikologis remaja adalah citra tubuh. Remaja menunjukkan perhatian yang lebih besar dan kurang puas terhadap gambaran tubuh yang mereka miliki (Santrock, 1996). Menurut Harrison (1997), tahap perkembangan psikologis remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu usia remaja dini (usia 10-13 tahun), usia remaja pertengahan (usia 14-16 tahun), serta usia remaja lanjut (usia 17 – 21 tahun). Pada usia remaja dini, remaja cenderung lebih memperhatikan perubahan fisik pada tubuhnya dan menunjukkan perhatian pada proses maturasi. Usia remaja pertengahan merupakan periode pertumbuhan kognitif yang cepat pada saat proses berpikir operasional formal muncul. Remaja dalam usia ini mulai memahami konsep yang bersifat abstrak dan dapat mempertanyakan cara orang dewasa melakukan penilaian (judgement). Individu tersebut kemudian beralih dari dunia egosentris yang terdapat dalam dunia remaja dini kepada dunia sosiosentris dalam usia remaja pertengahan serta remaja lanjut dan mulai mengontrol perilakunya yang impulsif. Usia remaja lanjut merupakan periode terbentuknya identitas personal, dengan hubungan yang akrab dan suatu fungsi dalam masyarakat. Remaja dalam usia remaja lanjut akan memandang kehidupan dengan sudut pandang yang lebih sosiosentris, karakteristik masa dewasa, serta dapat

28

bersifat altruistik, sehingga konflik dengan keluarga dan masyarakat dapat berpusat pada masalah moral dibandingkan pertimbangan egosentris. Santrock (1996) menyebutkan beberapa teori perkembangan remaja, antara lain: a.

Teori Psikoanalisis Dua teori psikoanalisis penting antara lain dari Freud dan dari Erikson.

Freud mengatakan bahwa kepribadian terdiri dari tiga struktur, id, ego, dan superego, dan bahwa kebanyakan pikiran remaja bersifat tidak disadari. Tuntutan yang saling bertentangan dari struktur kepribadian remaja menimbulkan rasa cemas. Freud yakin bahwa masalah berkembang karena pengalaman di masa kecil. Erikson mengembangkan teori

yang menekankan delapan tahap

perkembangan psikososial; percaya versus tidak percaya, otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu, inisiatif versus rasa salah, industry versus inferioritas, identitas versus kekacauan identitas, intimasi versus isolasi, generativitas versus stagnasi, dan integritas versus rasa putus asa (Santrock, 1996). b.

Teori Kognitif Dua teori kognitif yang penting adalah teori perkembangan kognitif Piaget

dan teori pemrosesan informasi. Piaget mengatakan bahwa remaja termotivasi untuk memahami dunia dan menyesuaikan berpikirnya untuk mendapatkan informasi baru. Piaget mengatakan bahwa kita melalui empat tahap perkembangan kognitif: sensorimotorik, pra-operasional, operasional konkrit, operasional formal. Teori pemrosesan informasi berkaitan dengan bagaimana individu memproses

29

informasi, dan bagaimana informasi dikeluarkan kembali untuk memungkinkan berpikir dan pemecahan masalah (Santrock, 1996). c.

Teori Tingkah Laku dan Belajar Sosial Behaviorisme menekankan bahwa kognisi tidaklah penting dalam

memahami tingkah laku remaja. Perkembangan adalah tingkah laku yang diobservasi, yang ditentukan oleh ganjaran dan hukuman dalam lingkungan, menurut B.F. Skinner. Teori belajar sosial, dikembangkan oleh Albert Bandura dan lainnya, menyatakan bahwa lingkungan merupakan determinan tingkah laku yang penting. Tetapi begitu pula proses kognitif. Remaja mempunyai kemampuan untuk mengontrol tingkah laku mereka sendiri, menurut pandangan teori belajar sosial (Santrock, 1996). d.

Teori Ekologis Dalam teori ekologis Bronfenbenner, lima sistem lingkungan merupakan

faktor penting dalam perkembangan remaja, yaitu mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem (Santrock, 1996). Menurut Stanley Hall dalam Gunarsa & Gunarsa (2008), perkembangan psikis remaja banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiologis yang ditentukan oleh genetika, disamping proses pematangan yang mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan. Terdapat beberapa tugas perkembangan remaja menurut Hurlock (2001), antara lain :

30

a.

Mencapai Hubungan Baru dan yang Lebih Matang dengan Teman Sebaya

baik Pria maupun Wanita Tugas perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan besar dalam sikap dan perilaku anak. Akibatnya, hanya sedikit anak laki-laki dan anak perempuan yang dapat diharapkan untuk menguasai tugas-tugas tersebut selama awal masa remaja, apalagi mereka yang matangnya terlambat (Hurlock, 2001). b.

Mencapai Peran Sosial Pria, dan Wanita Perkembangan masa remaja yang penting akan menggambarkan seberapa

jauh perubahan yang harus dilakukan dan masalah yang timbul dari perubahan itu sendiri. Pada dasarnya, pentingnya menguasai tugas-tugas perkembangan dalam waktu yang relatif singkat sebagai akibat perubahan usia kematangan sehingga menyebabkan banyak tekanan yang menganggu para remaja (Hurlock, 2001). c.

Menerima Keadaan Fisiknya dan Menggunakan Tubuhnya Secara Efektif Seringkali sulit bagi para remaja untuk menerima keadaan fisiknya bila

sejak kanak-kanak mereka telah mengagungkan konsep mereka tentang penampilan diri pada waktu dewasa nantinya. Diperlukan waktu untuk memperbaiki konsep ini dan untuk mempelajari cara-cara memperbaiki penampilan diri sehingga lebih sesuai dengan apa yang dicita-citakan (Hurlock, 2001). d.

Mengharapkan dan Mencapai Perilaku Sosial yang Bertanggung Jawab Menerima peran sebagai orang dewasa yang diakui masyarakat tidaklah

menjadi masalah bagi laki-laki yang telah didorong dan diarahkan sejak awal masa kanak-kanak, tetapi berbeda bagi anak perempuan. Karena adanya

31

pertentangan dengan lawan jenis yang sering berkembang selama akhir masa kanak-kanak dan masa pubertas, maka mempelajari hubungan baru dengan lawan jenis berarti harus mulai dari awal dengan tujuan untuk mengetahui lawan jenis dan bagaimana harus bergaul dengan mereka. Sedangkan pengembangan hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya sesama jenis juga tidak mudah (Hurlock, 2001). e.

Mencapai Kemandirian Emosional dari Orang Tua dan Orang-Orang

Dewasa Lainnya Bagi remaja yang sangat mendambakan kemandirian, usaha untuk mandiri secara emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lain merupakan tugas perkembangan yang mudah. Namun, kemandirian emosi tidaklah sama dengan kemandirian perilaku. Banyak remaja yang ingin mandiri, namun juga ingin dan membutuhkan rasa aman yang diperoleh dari ketergantungan emosi pada orang tua atau orang-orang dewasa lain. Hal ini menonjol pada remaja yang kurang diterima dalam kelompok sebayanya (Hurlock, 2001). f.

Mempersiapkan Karier Ekonomi Kemandirian ekonomi tidak dapat dicapai sebelum remaja memilih

pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja. Meskipun remaja memilih pekerjaan yang memerlukan periode pelatihan yang lama, tidak ada jaminan untuk memperoleh kemandirian ekonomi bilamana mereka secara resmi menjadi dewasa nantinya. Secara ekonomi mereka masih harus tergantung selama beberapa tahun sampai pelatihan yang diperlukan untuk bekerja selesai dijalani (Hurlock, 2001).

32

g.

Mempersiapkan Perkawinan dan Keluarga Kecenderungan perkawinan muda menyebabkan persiapan perkawinan

merupakan tugas perkembangan yang paling penting dalam tahun-tahun remaja. Meskipun tabu sosial mengenai perilaku seksual yang berangsur-ansur mengendur dapat mempermudah persiapan perkawinan dalam aspek seksual, tetapi aspek perkawinan yang lain hanya sedikit yang dipersiapkan. Kurangnya persiapan ini merupakan salah satu penyebab dari masalah yang tidak terselesaikan, yang oleh remaja dibawa ke masa dewasa (Hurlock, 2001). h.

Memperoleh Perangkat Nilai dan Sistem Etis sebagai Pegangan untuk

Berperilaku Mengembangkan Ideologi Sekolah dan pendidikan tinggi mencoba untuk membentuk nilai-nilai yang sesuai dengan nilai dewasa, dimana orang tua berperan banyak dalam perkembangan ini. Remaja biasanya memilih untuk melakukan hal-hal yang dianggap tidak bertanggung jawab bagi orang dewasa demi dapat diterima oleh kelompok sebayanya (Hurlock, 2001). Selain perkembangan psikologis, remaja juga mengalami pertumbuhan fisik. Pertumbuhan fisik remaja memiliki tiga aspek yang menonjol, yaitu perubahan berat dan tinggi badan, kematangan seksual, serta keragaman individual

(Santrock,

1996).

Pertumbuhan

fisik

menyebabkan

remaja

membutuhkan asupan nutrisi yang lebih besar dari pada masa anak-anak. Pada saat remaja mengalami peningkatan berat badan dan penyimpanan lemak sebagai bagian dari pertumbuhan yang normal, remaja putri sering memaksakan diri untuk menjadi ramping dan mulai melakukan tindakan menurunkan asupan nutrisi yang

33

mengakibatkan terjadinya defisiensi nutrisi yang esensial bagi pertumbuhan remaja tersebut. Remaja harus menjaga status gizinya dalam rentang normal agar pertumbuhannya tersebut tidak terganggu karena kelebihan maupun kekurangan makanan selama masa remaja menimbulkan masalah khusus (Dedeh, dkk, 2010). Menurut Proverawati (2010), nutrisi yang penting untuk remaja antara lain: a.

Energi Faktor yang perlu diperhatikan untuk menentukan kebutuhan energi

remaja adalah aktivitas fisik, seperti olahraga yang diikuti, baik dalam kegiatan di sekolah maupun diluar sekolah. Widyakarya Nasional Pangan Gizi VI (WKNPG VI) menganjurkan angka kecukupan gizi (AKG) energi untuk remaja dan dewasa muda perempuan 2000-2200 kkal, sedangkan untuk laki-laki antara 2400-2800 kkal setiap hari. AKG energi ini dianjurkan sekitar 60% berasal dari sumber karbohidrat (Proverawati, 2010). b.

Protein Kecukupan protein bagi remaja adalah1,5-2,0 gr/kg BB/hari. AKG protein

remaja dan dewasa muda adalah 48-62 gr per hari untuk perempuan dan 55-66 gr per hari untuk laki-laki (Proverawati, 2010). c.

Kalsium AKG kalsium untuk remaja dan dewasa muda adalah 600-700 mg per hari

untuk perempuan dan 500-700 mg untuk laki-laki. Sumber kalsium yang paling baik adalah susu dan hasil olahannya. Sumber kalsium lainnya ikan, kacangkacangan, sayuran hijau, dan lain-lain (Proverawati, 2010).

34

d.

Besi Kebutuhan zat besi pada remaja laki-laki meningkat karena ekspansi

volume darah dan peningkatan konsentrasi hemoglobin (Hb). Setelah dewasa, kebutuhan besi menurun. Pada perempuan, kebutuhan yang tinggi akan besi terutama disebabkan

kehilangan zat

besi

selama menstruasi.

Hal

ini

mengakibatkan perempuan lebih rawan terhadap anemia besi dibandingkan lakilaki. Perempuan dengan konsumsi besi yang kurang atau mereka dengan kehilangan besi yang meningkatkan, akan mengalami anemia gizi besi. Sebaliknya defisiensi besi mungkin merupakan faktor pembatas untuk pertumbuhan pada masa remaja, mengakibatkan tingginya kebutuhan mereka akan zat besi (Proverawati, 2010). e.

Seng (Zinc) Seng diperlukan untuk pertumbuhan serta kematangan seksual remaja,

terutama untuk remaja laki-laki. AKG seng adalah 15 mg per hari untuk remaja dan dewasa muda perempuan dan laki-laki (Proverawati, 2010).

2.4

Hubungan antara Citra Tubuh dengan Perilaku Makan pada Remaja

Putri Remaja memiliki beberapa tugas perkembangan, salah satunya adalah menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif (Hurlock, 2001). Remaja putri biasanya ingin memiliki tubuh kurus yang digunakan untuk menarik perhatian pasangannya dan memiliki kecenderungan untuk menurunkan berat badan disebabkan oleh media massa yang mempromosikan penurunan berat badan (Anderson & Didomenico, 1992). Konten-konten pada media massa

35

menyebabkan remaja membandingkan tubuhnya dengan tubuh model sehingga dapat menyebabkan terjadinya depresi, kemarahan, gangguan citra tubuh (Heinberg & Thompson, 1995), dan rendahnya kepercayaan diri (Martin & Kennedy, 1993). Penelitian yang dilakukan oleh Yuliana (2013), menunjukkan bahwa sebanyak 42 subyek penelitian (46,2%) mengalami ketidakpuasan citra tubuh, dimana masih merasa dirinya gemuk atau kelebihan berat badan, padahal sebanyak 27 subyek yang mengalami ketidakpuasan citra tubuh tersebut sudah berstatus gizi normal. Penelitian yang dilakukan oleh Setijowati, Karunia, dan Magdalena (2010) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara citra tubuh dengan status gizi remaja putri. Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh (Almatsier, 2005). Berdasarkan penelitian tersebut, apabila citra tubuh seseorang rendah, maka status gizi remaja tersebut juga rendah, begitupun sebaliknya. Namun, sebuah penelitian yang dilakukan di Jakarta menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara status gizi dengan perilaku makan yang berupa asupan energi maupun protein dari remaja putri (Sari, Jus’at, & Priyo, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Nisa dan Uyun (2007), membuktikan bahwa terdapat hubungan signifikan antara harga diri dengan perilaku makan tidak sehat pada remaja putri. Harga diri adalah penilaian secara global terhadap diri sendiri yang bersifat khas mengenai kemampuan, keberhasilan, serta penerimaan yang dipertahankan oleh individu yang berasal dari interaksi individu

36

dengan orang lain. Semakin tinggi harga diri maka semakin rendah perilaku makan tidak sehat, dan sebaliknya, semakin rendah harga diri maka semakin tinggi perilaku makan tidak sehat. Namun, pada penelitian tersebut dibuktikan pula bahwa tidak terdapat hubungan antara citra tubuh dengan asupan makanan pada remaja. Terlihat bahwa citra tubuh positif maupun negatif tidak berpengaruh pada asupan makan sehari-hari pada remaja, khususnya asupan energi dan protein.