13 BAB II LANDASAN TEORI A. KERANGKA TEORI 1. TINJAUAN

Download (1/3), dan seperenam (1/6). 44. Di samping furudhul muqoddarah diatas masih terdapat satu furudhul muqaddarah hasil ijtihad para jumhur fuq...

1 downloads 747 Views 603KB Size
BAB II LANDASAN TEORI

A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Mengenai Kewarisan Islam. a. Pengertian Hukum Kewarisan Islam. Pengertian waris dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam bahwa kata waris itu berasal dari bahasa Arab, yaitu warisa-yarisuwarisantauirsan/turas yang berarti mempusakaiadalah ketentuanketentuan tentang pembagian harta pusaka yang meliputi ketentuan siapa yang berhak menerima harta pusaka dan berapa besar harta yang diterima masing-masing, disinggung juga hukum waris yang dibawa Nabi Muhammad SAW telah mengubah struktur hukum waris Arab pra Islam dan sekaligus merombak sistem kekerabatan, bahkan juga merombak sistem pemilikan harta di dalam masyarakat Arab pada waktu itu, hukum waris Islam juga memgandung aturan setiap pribadi baik itu laki-laki atau perempuan berhak memiliki harta warisan.1 Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan. Fiqh mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa Arab fiqh dan mawaris. Fiqh menurut bahasa berarti mengetahui, memahami, yakni mengetahui sesuatu aatau memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang sungguhsungguh.2 Prof. Daud Ali memberikan pemahaman, bahwa fiqh adalah memahami dan mengetahui wahyu (Al Qur‟an dan Al-hadits) dengan 1

Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 5, Cetakan 1, Penerbit PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993, hlm. 13 . 2 Syafi’i Karim, Fiqh, Ushulul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung , 2001, hlm. 11.

13

14

menggunakan penalaran akal dan metode tertentu, sehingga diketahui ketentuan hukumnya dengan dalil secara rinci.3 Kata Mawaris diambil dari bahasa Arab. Mawaris bentuk jamak dari Miiraats, yang berarti harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya.4 Jadi, fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian dari masing-masing ahli waris.5 Prof. T. M. Hasby As-Shiddiqi dalam bukunya Fiqhul Mawaris telah memberikan pemahaman tentang pengertian hukum waris (fiqh mawaris). Fiqh Mawaris ialah : Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang mewarisi, orang-orang yang tidak dapat mewarisi, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara pengambilannya.6 Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah Faraidh. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan dalam Al Qur‟an. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan.7 Secara etimologis, faraidh diambil dari kata fardh yang berarti taqdir atau ketentuan. Dalam istilah syara‟ bahwa kata fardh adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris.8 Apabila dihubungan dengan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya yaitu : Ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak

3

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, op.cit, hlm. 5. Ibid, hlm. 7. 5 Ibid. 6 Ibid. 7 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 355. 8 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta Selatan, 2006, hlm. 479. 4

15

menerimanya.9 Dalam hukum kewarisan

Islam di Indonesia,

pengertian hukum kewarisan Islam di atur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup.10 Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal (pewaris) dalam hubungan hukum harta kekayannya. Hubungan-hubungan hukum yang lain, misalnya hubungan hukum dalam hukum keluarga.11 Sedangkan harta waris yang dalam istilah faraidh dinamakan “tirkah” adalah harta bawaan yang ditambah dengan bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan yang meninggal dunia (pewaris) selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang, dan pemberian untuk kerabat.12 Harta waris (tirkah) adalah sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta benda dan hak-hak kebendaan atau bukan hak kebendaan. Dengan demikian, setiap sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang mati, menurut istilah jumhur fuqaha dikatakan sebagai “tirkah”.13 Harta waris atau warisan menurut sebagian besar ahli hukum Islam yaitu semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik berupa barang bergerak maupun benda tetap, 9

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, op.cit, hlm. 7-8. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 4. 11 Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2000, hlm.3. 12 Kompilasi Hukum Islam, CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2008, hlm. 54. 13 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm. 13-14. 10

16

termasuk barang dan atau uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup.14

b. Tujuan Mempelajari Hukum Kewarisan Islam Mempelajari ilmu faraidh hukumnya adalah fardhu kifayah, yaitu kalau dalam suatu masyarakat atau perkampungan tidak ada yang mempelajari ilmu faraidh maka berdosalah orang-orang di kampung itu, akan tetapi jika ada yang mempelajari walau hanya satu atau dua orang saja, maka terlepaslah semuanya dari dosa atau dari kewajibannya.15 Tujuan mempelajari ilmu faraidh atau hukum waris yaitu agar kita dapat menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama (syariat) dengan tidak ada yang dirugikan dan termakan bagiannya atau terdholimi oleh ahli waris yang lain. Selain itu, apabila hukum waris dipelajari dengan benar akan bermanfaat baik bagi dirinya maupun masyarakat, yang jelas akan dapat dimanfaatkan dalam kasus penyelesaian pembagian harta waris di lingkungan keluarga, lebih lanjut dapat membantu kasus pembagian waris di masyarakat khususnya bagi yang beragama Islam.16 Tidak jarang terjadi masalah di dalam keluarga karena persoalan tentang pembagian warisan karena sebagian di antara keluarga itu tidak mengerti dan tidak memahami tentang pembagian warisan yang telah diatur dalam syariat, sehingga seringkali sampai melalui jalur ke sidang pengadilan.

14

Masjfuk Zuhdi, Studi Islam III, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1989, hlm. 57. Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, loc.cit, hlm. 10. 16 Ibid. 15

17

c. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan Islam Dasar dan sumber utama dari hukum kewarisan Islam sebagai adalah nash atau teks yang terdapat dalam Al Qur‟an dan Al Hadits (Sunnah Nabi). Ayat-ayat Al Qur‟an dan Al Hadits (Sunnah Nabi) yang mengatur tentang kewarisan di antaranya adalah sebagai berikut : 1) Ayat-Ayat Al Qur‟an. a). QS. An-Nisaa‟ ayat 7, yang artinya : “ Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” 17 Ketentuan dalam ayat di atas, merupakan landasan utama yang menunjukkan, bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai hak waris, dan sekaligus merupakan pengakuan Islam, bahwa perempuan merupakan subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban seperti halnya laki-laki. b) Surat An-Nisaa‟ ayat 8, yang artinya : “ Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” 18 c) Surat An-Nisa‟ ayat 11, yang artinya : “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan 17

Joko Utama, Muhammad Faridh, Mashadi, Al Qur’an Al Karim dan Terjemahannya, CV. Putra Toha, Semarang, hlm. 62. 18 Ibid.

18

untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orangtuamu dan anakanakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, 19 Mahabijaksana.” d) Surat An-Nisa‟ ayat 12, yang artinya : “ Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah, dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja), atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagian masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” 20 e) Surat An-Nisa‟ ayat 33 19

Ibid. Ibid.

20

19

“ Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” 21 f) Surat An-Nisa‟ ayat 176, yang artinya : “ Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : Jika seseorang meningal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkanya dan saudarasaudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” 22 2) Hadits Rasulullah ( Sunnah Nabi ). a) Hadits Rasulullah dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Iman Al Bukhari, yang artinya : “Berikanlah bagian-bagian tertentu untuk ahli warisnya, maka yang tersisa untuk ahli waris laki-laki (yang terdekat dengan yang meninggal).” [ Disebutkan oleh Al-Bukhari pada kitab ke-85 Kitab Fara‟idh, bab ke-5 Bab Warisan Anak dari Ayah dan Ibunya]. 23 b) Hadits Rasulullah dari Jabir bin Abdullah, yang diriwayatkan oleh Iman Al Bukhari, yang artinya : 21

Ibid, hlm. 66. Ibid, hlm. 84. 23 Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ wal Marjan Fima Ittafaqa ‘Alaihi Asy-Syaikhani Al-Bukhari Wa Muslim, Judul Terjemahan “Kumpulan Hadits Shahih Bukhari-Muslim, diterjemahkan oleh Arif Rahman Hakim, Lc, Insan Kamil Solo, Sukoharjo, 2010, hlm. 467. 22

20

“ Dari Jabir bin Abdullah berkata : Aku sakit lalu Nabi dan Abu bakar datang menjengukku, mereka berdua berjalan kaki. Maka mereka mendapatiku jatuh pingsan, lalu Nabi berwudhu kemudian menuangkan air wudhunya kepada diriku, sehingga akupun siuman. Ternyata itu adalah Nabi lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan dengan hartaku, apa yang harus aku tetapkan dengan hartaku?” Maka beliau tidak mejawab sedikitpun, sampai turunayat tentang waris.” [ Disebutkan oleh Al-Bukhari pada kitab ke-75 Kitab orang sakit, bab ke-5 Bab Menengok orang yang pingsan ].24 c) Hadits Rasulullah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yang artinya : “Sesungguhnya Rasulullah pernah didatangkan kepadanya seorang laki-laki yang meninggal yang memiliki utang. Maka beliau bertanya, “Apakah ada sisa dari hartanya untuk pembayaran utangnya? “Maka jika diberitahu bahwa yang meninggal dunia meninggalkan harta untuk membayar utangnya, beliau mensholatinya. Dan jika tidak, beliau berkata kepada kaum muslimin, “Sholatilah sahabat kalian ini.” Maka ketika Allah membukakan beberapa daerah yang ditaklukan (kaum muslimin), beliau berkata, “Aku lebih berhak terhadap kaum mukminin daripada diri mereka sendiri. Maka barangsiapa yang meninggal dari kaum mukminin lalu ia meninggalkan utang, maka aku yang akan membayarnya. Dan barangsiapa yang meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.” [Disebutkan oleh Al-Bukhari pada kitab ke-39 Kitab Pemberian Jaminan, bab ke-5 Bab Utang].25 Dapat disimpulkan dari hadits tersebut adanya anjuran untuk membayar utang ketika hidup dan berusaha untuk terbebas dari utang. Kalaulah perkara utang bukan perkara yang besar, pasti Nabi tidak akan meninggalkan untuk mensholati jenazah yang masih mempunyai utang.

24

Ibid, hlm. 467-468. Ibid, hlm. 468.

25

21

3) Ijtihad Para Ulama Dan Ijma‟ Ijtihad yaitu pemikiran sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul termasuk di dalamnya tentang persoalan pembagian warisan. Ijtihad di sini merupakan penerapan hukum bukan untuk pemahaman atau ketentuan yang ada atau yang sudah diatur dengan jelas. Al Qur‟an dan Al-Hadits sudah memberikan ketentuan terperinci mengenai pembagian harta warisan, akan tetapi dalam hal beberapa masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam Al Qur‟an maupun Al-Hadits. Misalnya mengenai bagian warisan banci (waria), diberikan kepada siapa harta warisan yang tidak habis terbagi, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan suami atau istri dan sebagainya.26 Contoh lain yaitu status cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal daripada kakek yang bakal diwarisi yang mewarisi bersama-sama dengan saudara-saudara ayahnya. Menurut ketentuan mereka tidak mendapat apa-apa lantaran dihijab oleh saudara ayahnya, tetapi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir mereka diberi bagian berdasarkan atas wasiat wajibah.27 Ijma‟

yaitu

kesepakatan

kaum

muslimin

menerima

ketentuan hukum warisan yang terdapat di dalam AlQur'an dan Al Hadits (Sunnah Nabi), sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan

dalam

upaya

mewujudkan

keadilan

dalam

masyarakat atau ijma' adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid tentang suatu ketentuan hukum syara' mengenai suatu hal pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW.

26 27

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta : UII Press, 2004, hlm. 9. Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, loc.cit, hlm. 22.

22

d. Asas-Asas, Syarat-syarat dan Rukun Mewarisi dalam Hukum Kewarisan Islam. Hukum Kewarisan Islam mengandung beberapa asas yang memperlihatkan bentuk karakteristik dari Hukum Kewarisan Islam itu sendiri.28 Menurut Muhammad Daud Ali, dalam kewarisan Islam terdapat 5 (lima) asas, antara lain :29 1) Asas Ijbari, yaitu peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada yang masih hidup yang berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam berlangsung secara ijbari. Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.30 Ketentuan dari asas ijbari dapat dilihat dalam Al Qur‟an Surah An-Nisaa‟ ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi seorang laki-laki maupun perempuan ada bagian hak dari harta peninggalan bapak-ibu (orang tua) dan karib kerabatnya. Yang dimaksud bapak-ibu dan karib kerabatnya dalam hal ini yaitu pewaris. 2) Asas Bilateral, yaitu seseorang menerima warisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu baik kerabat garis keturunan laki-laki maupun dari pihak kerabat garis keturunan perempuan. Asas bilateral dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada ahli warisnya melalui dua arah (dua belah pihak). Hal ini berarti bahwa setiap orang 28

Ibid. Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Di Indonesia), Rajawali Press, Jakarta, 2000, hlm. 281-287. 30 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, loc.cit, hlm. 23. 29

23

menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.31 Asas bilateral ini dapat dilihat dalam Surat An-Nisa‟ ayat 7, 11, 12, dan 176 yang dengan tegas mengatakan bahwa kewarisan dalam seseorang menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal dunia bisa diperoleh dari dua sumber, yaitu sumber dari garis keturunan bapak dan bisa juga dari garis keturunan ibunya. 3) Asas Individual, yaitu harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris, dibagi secara individual atau secara pribadi langsung kepada masing-masing individu atau pribadi. Asas Individual, Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dalam arti harta peninggalan atau harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk memiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya masing-masing ahli waris menerima bagiannya tersendiri tanpa terkait dengan ahli waris yang lain, keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.32 Hukum

waris

Islam

memandang

bahwa

terjadinya

peralihan harta hanya semata-mata disebabkan oleh adanya kematian. Dengan perkataan lain, bahwa seseorang tidak dapat beralih dengan cara pewarisan yang sekiranya orang yang memiliki harta itu masih hidup.33

31

Rahmat Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta, Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 5. 32 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, 2004, hlm. 2. 33 Abdul Manan, Hukum Waris Islam, Kencana Prenada Media Group, Cetakan I, Jakarta, 2006, hlm. 207-210.

24

4) Asas Keadilan Berimbang, yaitu baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris, mewarisi harta peninggalan atau warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Asas

Keadilan

berimbang,

mengandung

arti

harus

senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara yang

diperoleh

seseorang

dengan

kewajiban

yang

harus

ditunaikannya.34 5) Asas Semata Akibat Kematian, yaitu peralihan harta peninggalan atau harta warisan seseorang kepada orang lain dengan nama kewarisan berlaku sesudah meninggalnya pewaris. Asas Semata Akibat Kematian, berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (keluarga) dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup.35 Asas ini mengandung pengertian bahwa harta yang beralih selama pewaris masih hidup tidak dinamakan kewarisan. Asas kewarisan akibat kematian mempunyai kaitan erat dengan asas ijbari, karena pada hakikatnya seseorang yang memenuhi syarat sebagai subyek hukum dapat menggunakan harta secara penuh untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya sepanjang hidup, tetapi dengan terjadinya kematian yang secara otomatis harta beralih kepada ahli waris. Selain asas-asas tersebut, Idris Djakfar dan Taufik Yahya, menambahkan satu asas, yaitu “Asas Personalitas” yaitu asas yang menyatakan bahwa peralihan hak harta peninggalan atau harta warisan hanya terjadi bila antara ahli waris dan pewaris sama-sama menganut agama Islam.36 Sebab-sebab pewarisan, yaitu : 1) Hubungan nasab / darah / keturunan / kekerabatan. 34

Moh.Muhibbin dan Abdul Wahid, loc.cit, hlm. 29. Ibid, hlm. 30. 36 Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, hlm. 39-40. 35

25

Hubungan kekerabatan adalah hubungan yang ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran.37 Hubungan kekerabatan dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak, cucu dan seterusnya, dalam garis lurus ke atas yaitu ayah, kakek, dan seterusnya, serta dalam garis ke samping yaitu saudara-saudara. Mereka saling mewarisi satu sama lainnya sesuai dengan ketetapan Allah dalam Al Qur‟an, baik dari garis laki-laki (ayah) maupun dari garis perempuan (ibu). 2) Hubungan Pernikahan Hak saling mewaris antara suami dan isteri yang disebabkan

adanya

hubungan

hukum

yaitu

pernikahan

(perkawinan). 3) Hubungan Wala‟ (pemerdekaan budak) Adanya hubungan antara seorang hamba (budak) dengan orang yang memerdekakan hamba dapat mewarisi harta hamba yang dimerdekakannya. 4) Hubungan ajaran Islam (Bait Al Maal). Hak

saling

mewaris

sesama

umat

Islam

yang

pelaksanaannya melalui Baitul-Maal. Hubungan ini terjadi apabila seorang yang beragama Islam meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, sehingga hartanya diserahkan ke Baitul-Maal yang digunakan untuk kepentingan umat Islam. Rukun waris mewarisi ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut : 1) Harta peninggalan (mauruts). Harta peninggalan (mauruts) ialah harta benda yang ditinggalkan pewaris oleh si mayit yang akan dipusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang dan melaksanakan wasiat.38 2) Pewaris atau orang yang meninggalkan harta waris (muwarrits). 37 38

Amir Syarifuddin, loc.cit, hlm. 175. Ibid.

26

Orang yang meninggalkan harta waris (muwarits) adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris. Di dalam kamus Indonesia disebut dengan istilah “pewaris‟, sedangkan dalam kitab fiqh disebut muwarits.39 3) Ahli waris (waarist). Ahli waris atau waarits adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si muwarits lantaran mempunyai sebab-sebab mewarisi. Pengertian ahli waris di sini adalah orang yang mendapat harta waris, karena memang haknya dari lingkungan keluarga pewaris. Namun tidak semua keluarga dari pewaris dinamakan (termasuk) ahli waris. Demikian pula orang yang berhak menerima (mendapat) harta waris mungkin saja di luar ahli waris.40 Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan, yaitu : 1) Mati atau meninggal dunianya seseorang muwaris (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiry. Matinya

pewaris

mutlak

harus

dipenuhi.

Seseorang baru

disebutmuwaris jika dia telah meninggal dunia. Itu berarti bahwa, jika seseorang memberikan harta kepada ahli warisnya ketika dia masih hidup, maka itu bukan waris. 2) Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia. Hidupnya ahli waris mutlak harus dipenuhi. Seseorang waris hanya akan mewaris jika dia masih hidup dan juga ketika pewaris meninggal dunia.

39 40

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, loc.cit, hlm. 60. Ibid, hlm. 61.

27

3) Seluruh ahli waris diketahui secara pasti degan baik bagian masing-masing.41 Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan hak mewaris atau terhalang mewarisi adalah sebagai berikut : 1) Perbedaan agama (agama berbeda dengan pewaris). Maksudnya antara pewaris (yang mewarisi) dengan ahli waris (yang diwarisi) harus seagama, yaitu sama-sama beragama Islam. Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, ra. Nabi Muhammad SAW, bersabda : “Orang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang Muslim”. (5:59 - SM).

42

[ Kitab

Faraid (Pembagian Harta warisan), Bab : orang Muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang Muslim, Nomor : 994]. 2) Pembunuhan. Maksudnya yang menghalangi seseorang ahli waris untuk mendapatkan harta peninggalan (harta warisan) dari pewaris yaitu apabila ahli waris membunuh pewaris. 3) Perbudakan (hamba sahaya) Hamba sahaya tidak dapat mewarisi harta peninggalan kerabatnya, sebab kalau ia mewarisi berarti harta warisan itu akan diminta oleh majikannya (tuannya). Prinsip-prinsip hukum waris Islam, diantaranya : 1) Warisan terbuka sejak saat matinya seseorang. 2) Anak angkat tidak berhak mendapat harta warisan. 3) Suami isteri saling mewaris. 4) Pemerataan ahli waris. 41 42

Muhammad Ali Ash Shabuni, loc.cit, hlm. 3. Zaki Al-Din ‘Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Edisi Baru Cetakan I, penerjemah Syinqithy Djamaluddin dan H.M. Mochtar Zoemi, PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2013, hlm. 566.

28

5) Hak Waris laki-laki dan perempuan dengan perbandingan 2 : 1. 6) Wasiat dibatasi maksimal 1/3 dari harta peninggalan, kecuali disepakati ahli waris. 7) Ahli waris dapat melakukan musyawarah (tashaluh) dalam pembagian warisan, dengan syarat masing-masing ahli waris mnegetahui dan menyadari hak bagiannya menurut kadar bagiannya sesuai dengan syari‟at Islam dengan penuh kerelaan dan keridlaan. e. Pembagian Warisan Menurut Ketentuan Hukum Waris Islam. Furudhul Muqoddarah adalah jumlah bagian yang akan diperoleh oleh para ahli waris.43 Jumlah bagian tersebut telah ditentukan di dalam Al Qur‟an. Ada enam macam, yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).44 Di samping furudhul muqoddarah diatas masih terdapat satu furudhul muqaddarah hasil ijtihad para jumhur fuqaha, yaitu sepertiga sisa harta peninggalan.45 Macam-macam ahli waris berdasarkan jenis kelamin, dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu ahli waris berjenis kelamin laki-laki dan ahli waris berjenis kelamin perempuan. a). Ahli waris laki-laki, jumlahnya ada 15, yaitu :

43

1)

Ayah;

2)

Kakek ke atas menueut garis laki-laki;

3)

Anak laki-laki;

4)

Cucu laki-laki;

5)

Saudara laki-laki kandung (seayah seibu);

A. Sukris Sarmadi, Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni), Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm. 27. 44 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam, PT. Fathan Prima Media, Depok Jawa Barat, 2013, hlm. 46. 45 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, loc.cit, hlm. 85.

29

6)

Saudara laki-laki seayah;

7)

Saudara laki-laki seibu;

8)

Kemenakan laki-laki kandung (anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung dan seterusnya ke bawah dari garis lakilaki);

9)

Kemenakan laki-laki seayah (anak laki-laki dari saudara lakilaki seayah) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki;

10) Paman kandung (saudara laki-laki kandung dari ayah) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki; 11) Paman seayah (saudara laki-laki seayah dari ayah) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki; 12) Saudara sepupu laki-laki kandung (anak laki-laki dari paman kandung) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki; 13) Saudara sepupu laki-laki seayah (anak laki-laki dari paman seayah); 14) Suami; 15) Laki-laki yang memerdekakan budak. Jika ahli waris yang tersebut di atas semuanya ada, yang mendapat warisan dari mereka hanya tiga saja, yaitu : 1) Anak laki-laki, 2) Bapak, dan 3) Suami. b) Ahli waris perempuan, jumlahnya ada 10 (sepuluh), yaitu : 1) Ibu; 2) Nenek dari garis ibu dan seterusnya ke atas dari garis ibu; 3) Nenek dari garis ayah dan seterusnya ke atas dari garis ayah; 4) Anak perempuan; 5) Cucu perempuan (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki; 6) Saudara perempuan kandung (seayah seibu); 7) Saudara perempuan seayah;

30

8) Saudara perempuan seibu; 9) Isteri; 10) Perempuan yang memerdekaan budak. Jika ahli waris yang tersebut di atas semuanya ada, yang mendapat warisan dari mereka hanya lima saja, yaitu : 1) Anak perempuan; 2) Cucu perempuan; 3) Isteri; 4) Ibu; 5) Saudara perempuan sekandung. Dan jika seluruh ahli waris jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang berjumlah 25 (dua puluh lima) orang tersebut semuanya ada, maka hanya 5 (lima) saja yang mendapat bagian, yaitu : 1) Suami atau isteri; 2) Anak laki-laki; 3) Anak perempuan; 4) Bapak, dan 5) Ibu. Kelima ahli waris tersebut disebut ahli waris utama. Berdasarkan besarnya hak yang akan diterima oleh ahli waris di dalam hukum Islam dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu : 46 1) Ashchabul-furudh, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tertentu, yaitu 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, atau 1/8. 2) Ashobah, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tidak tertentu, tetapi mendapatkan semuanya jika tidak ada ashchabulfurudh. 3) Dzawil-Archam, yaitu golongan kerabat yang tidak termasuk golongan pertama dan kedua (tidak termasuk Ashchabul-furudh maupun Ashobah). 46

Otje Salman S dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 51.

31

Ahli waris Dzawil Archam : 1)

Cucu laki-laki atau perempuan dari anak perempuan.

2)

Kemenakan laki-laki atau perempuan dari anak saudara perempuan kandung atau ayah atau ibu.

3)

Kemenakan perempuan, anak perempuan saudara laki-lai kandung atau seayah.

4)

Saudara sepupu perempuan anak-anak perempuan paman.

5)

Paman seibu.

6)

Paman saudara laki-laki ibu.

7)

Bibi, saudara perempuan ayah.

8)

Kakek, ayahnya ibu.

9)

Ibunya kakek.

10) Kemenakan seibu, anak-anak saudara laki-laki seibu. Bagian para ahli waris yang termasuk ke dalam golongan Ashchabul-furudh dan Ashobah, yaitu : a. Ahli waris utama. 1) Janda atau duda. Janda, bagiannya adalah : 1) 1/8 bagian, jika pewaris mempunyai anak. 2) 1/4 bagian, jika pewaris tidak mempunyai anak. 2) Duda, bagiannya adalah : 1) 1/4 bagian, jika pewaris mempunyai anak. 2) 1/2 bagian, jika pewaris tidak mempunyai anak. 3) Ibu, bagiannya adalah : 1) 1/6 bagian, jika pewaris mempunyai anak. 2) 1/6 bagian, jika pewaris mempunyai beberapa saudara. 3) 1/3 bagian, jika pewaris tidak mempunyai anak. 4) Bapak, bagiannya adalah : 1) 1/6 bagian, jika pewaris mempunyai anak.

32

2) 1/6 bagian + sisa, jika pewaris hanya mempunyai satu anak perempuan. 3) Sisa, jika pewaris tidak mempunyai anak. 5) Anak perempuan, bagiannya adalah : 1) 1/2 bagian, jika hanya seorang 2) 2/3 bagian, jika beberapa orang. 3) Masing-masing 1 bagian sisa jika mereka mewaris bersama-sama anak laki-laki. Dalam hal ini, kedudukan anak perempuan adalah sebagai ashobah bil-ghair. 6) Anak laki-laki, bagiannya adalah : 1) Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama dengan anak laki-laki lainnya. Dalam hal ini, kedudukan anak laki-laki adalah sebagai ashobah binafsih. 2) Masing-masing 2 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama dengan anak perempuan adalah sebagai ashobah bil ghair. b. Ahli Waris Utama Pengganti. Pengertian ahli waris pengganti di dalam hukum waris Islam tidak sama dengan ahli waris pengganti di dalam hukum waris Adat atau hukum waris Barat, yang pokoknya hanya mengandung ahli waris pengganti adalah keturunan dari ahli waris yang digantikan kedudukannya. Pengertian ahli waris pengganti di dalam hukum waris Islam adalah ahli waris yang haknya terbuka sebagai akibat ketiadaan ahli waris tertentu.47 Ahli waris pengganti tidak selalu merupakan keturunan ahli waris yang digantikannya. Ahli waris utama pengganti terdiri dari nenek, kakek, cucu perempuan pancar laki-laki dan cucu laki-laki pancar laki-laki. 1) Nenek

47

Ibid, hlm. 57.

33

Kedudukan nenek sebagai ahli waris baru terbuka jika tidak ada ibu. Oleh sebab itu,

maka dapatlah dikatakan

bahwa nenek mempunyai kedudukan sebagai pengganti Ibu. Bagian nenek adalah 1/6 bagian, baik sendiri maupun bersama.48 2) Kakek Kedudukan kakek sebagai ahli waris baru terbuka jika tidak ada bapak (ayah). Oleh sebab itu, maka dapatlah dikatakan bahwa kakek mempunyai kedudukan sebagai pengganti bapak.49 Pergantian kedudukan bapak oleh kakek ada yang menafsirkannya secara mutlak dan ada yang menafsirkannya secara tidak mutlak. Penafsiran tersebut dilakukan berkenaan dengan masalah kakek mewaris bersama dengan saudara sekandung atau saudara sebapak.50 Abu bakar As-Shiddiq, Ibnu „Abbas, Ibnu „Umar, Al Hasan Ibnu Sirin, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa kakek sama dengan bapak. Kedudukan saudara sebagai ahli waris baru terbuka tidak saja jika tidak ada bapak, melainkan juga jika tidak ada kakek. Dalam hal kedudukan kakek dipandang sebagai pengganti kedudukan bapak secara mutlak, maka bagian warisnya adalah sebagai berikut : 51 1) 1/6 bagian, jika pewaris mempunyai anak. 2) 1/6 bagian + sisa, jika pewaris hanya mempunyai satu orang anak perempuan. 3) Sisa, jika pewaris tidak mempunyai anak.

48

Ibid, hlm. 58. Ibid, hlm. 59. 50 Ibid. 51 Ibid. 49

34

Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas‟ud, Zaid bin Tsabit, dan jumhur ulama memandang kedudukan kakek tidak sebagai pengganti

kedudukan

bapak

secara

mutlak.

Mereka

berpendapat bahwa kakek tidak identik dengan bapak. Pergantian kedudukan bapak oleh kakek tidak boleh dianalogikan dengan pergantian anak laki-laki oleh cucu karena anak hanya punya anak (cucu) sementara bapak boleh punyak bapak (kakek) dan anak (saudara kandung dan atau saudara sebapak) memiliki derajat yang sama. Dalam hal kedudukan kakek tidak dipandang sebagai

pengganti

kedudukan bapak secara mutlak, maka bagian warisnya adalah sebagai berikut :52 4) 1/6 bagian, jika pewaris mempunyai anak. 5) 1/6 bagian + sisa, jika pewaris hanya mempunyai satu anak. 6) Sisa, jika pewaris bersama saudara. 3) Cucu perempuan. Kedudukan cucu perempuan sebagai ahli waris masih belum terbuka, jika :53 a) Ada anak laki-laki atau cucu laki-laki yang lebih derajatnya. b) Ada dua anak perempuan atau cucu perempuan yang lebih tinggi derajatnya. Kedudukan cucu perempuan sebagai ahli waris terbuka, jika :54 a) Hanya ada satu anak perempuan atau cucu perempuan yang lebih tinggi derajatnya. b) Ada cucu laki-laki yang menjadu muashib mereka.

52

Ibid, hlm. 60. Ibid, hlm. 62. 54 Ibid, hlm. 63. 53

35

Dalam hal terdapat satu anak perempuan atau cucu perempuan yang lebih tinggi derajatnya, kedudukan cucu perempuan dipandang sebagai cucu perempuan pelengkap.55 Dalam hal terdapat cucu laki-laki yang memiliki derajat yang sama atau lebih rendah, kedudukan cucu perempuan adalah sebagai ashobah bil-ghair bersama mereka (muashibnya).56 Bagian waris cucu perempuan adalah :57 a) 1/2 bagian jika seorang. b) 2/3 bagian jika beberapa orang. c) 1/6 bagian jika mewaris sebagai cucu perempuan. d) Masing-masing 1 bagian, jika mereka mewaris bersama cucu laki-laki yang menjadi muashibnya. 4) Cucu laki-laki. Kedudukan cucu laki-laki sebagai ahli waris baru terbuka jika tidak ada anak laki-laki (bapaknya). Oleh sebab itu,

maka

dapatlah

dikatakan

bahwa

cucu

laki-laki

mempunyai kedudukan sebagai pengganti anak laki-laki (bapaknya).58 Cucu laki-laki dapat mewaris bersama dengan paman (anak laki-laki atau cucu laki-laki yang lebih tinggi derajatnya), juga dapat menarik bibi (anak perempuan atau cucu perempuan yang lebih tinggi derajatnya) dan saudara perempuan (cucu perempuan yang sama derajatnta) menjadi ashobah bil-ghair.59 Dalam hal terdapat sejumlah cucu laki-laki bersama atau tidak bersama cucu perempuan yang berasal dari anak

55

Ibid. Ibid. 57 Ibid, hlm. 64. 58 Ibid, hlm. 65. 59 Ibid. 56

36

laki-laki yang sama, maka mereka berserikat menerima bagian bapaknya.60 c. Ahli Waris Pengganti. 1) Saudara seibu. Saudara seibu baru terbuka haknya, jika tidak ada bapak dan anak. Kedudukan saudara seibu, baik perempuan maupun laki-laki, adalah sama.61 Jika saudara seibu hanya 1 orang, maka bagiannya adalah 1/6, sementara jika lebih dari 1 orang maka bagiannya adalah 1/3 untuk semua.62 2) Saudara sekandung/sebapak. Saudara sekandung/sebapak baru terbuka haknya jika tidak ada bapak dan anak. Anak yang dimaksud adalah anak laki-laki, karena kedudukan laki-laki adalah ashobah maka tidak ada sisa yang dapat diberikan kepada saudara sekandung/ sebapak. Sementara jika anak yang dimaksud adalah

anak

perempuan,

maka

kedudukan

saudara

sekandung/sebapak menjadi ashobah.63 f. Al Hujub ( Penghalang Hak waris ) Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna “penghalang” atau “penggugur.” Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk menerimanya.64 60

Ibid. Ibid, hlm. 66. 62 Ibid. 63 Ibid, hlm. 67-68. 64 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam, loc.cit, hlm. 77-78. 61

37

Orang yang menjadi penghalang dinamai hajib, yaitu ahli waris yang lebih dekat pertaliannya dengan pewaris daripada orang yang terhalang. Sedangkan orang yang menjadi terhalang disebut mahjub. Al hajb atau Hijab dalam pengertian lajim dalam fiqh Islam adalah keadaan tertentu yang mengakibatkan seseorang terhalang untuk mewarisi, baik terhalangnya mengakibatkan seseorang tidak memperoleh sama sekali (terhijab hirman) atau berakibat hanya mengurangi bagian perolehan harta warisan (terhijab nuqson).65 Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang lain).66 Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang.67 Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi terbagi dua : hujub hirman dan hujub nuqshan. Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang. Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalang hak waris cucu karena ada anak, terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.68 Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris mempunyai keturunan (anak). Demikian juga seperti

65

A. Sukris Sarmadi, Hukum Waris Di Indonesia (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Sunni), Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm. 53. 66 Op.cit, hlm. 77. 67 Ibid. 68 Ibid. hlm. 78.

38

penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya. Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuqshan.69 g. Wasiat Wajibah Secara teori, wasiat wajibah didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberikan putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.70 Ketentuan wasiat wajibah di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur dalam kaidah umum tentang wasiat. Pengertian wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan di dalam Buku II Hukum Kewarisan Bab I Ketentuan Umum pasal 171 huruf e, yaitu pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Pengaturan tentang wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak dijelaskan secara rinci, namun dijelaskan secara eksplisit dalam pasal 209. Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak memberikan definisi dalam Ketentuan Umum tentang wasiat wajibah tesebut. Pasal tersebut menunjukkan bahwa ketentuan pemberian wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya diperuntukkan bagi anak angkat yang orang tua angkatnya meninggal 69 70

Ibid. Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum Tentang Wasiat dan Permasalahannya Dalam Konteks Kewenangan Peradilan Agama, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam Nomor 38 Tahun IX, 1998, hlm. 23.

39

dunia atau sebaliknya diberikan kepada orangtua angkat dari anak angkatnya yang meninggal dunia. Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempunyai ketentuan tersendiri tentang wasiat wajibah dan berbeda dalam pengaturannya dari negara-negara muslim lain. Konsep Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah memberikan wasiat wajibah terbatas pada anak angkat dan orang tua angkat sedangkan negara-negara lain seperti Mesir, Suriah, Maroko, dan Tunisia melembagakan wasiat wajibah untuk mengatasi persoalan cucu yang orang tuanya meninggal lebih dahulu dari pada kakek atau neneknya.71 Ketentuan besarnya wasiat wajibah tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu tidak boleh lebih dari 1/3 bagian harta warisan yang ditinggalkan pewaris. h. Kaidah Berhitung. 1) Asal Masalah dan cara Menghitungnya. Untuk menghitung dan menetapkan penerimaan ahli waris dapat ditempuh dengan cara sistem asal masalah, setelah diketahui bagian masing-masing ahli waris. Asal masalah merupakan suatu cara untuk menentukan porsi bagian masing-masing ahli waris dengan cara menyamakan nilai penyebut dari semua bagian masing-masing ahli waris.72 Asal masalah adalah kelipatan persekutuan bilangan yang terkecil (KPT/KPK) yang dapat dibagi oleh setiap penyebut fardh (bagian) para ahli waris.73 Misalnya

1/2, 1/3, dan 1/6

maka asal masalahnya adalah 6,

karena 6 ini merupakan angka yang terkecil yang dapat dibagi oleh masing-masing penyebut 2, 3, dan 6. 71

Destri Budi Nugraheni Haniah Ilhami, dan Yulkarnain Harahab, Pengaturan dan Implementasi Wasiat Wajibah di Indonesia, Mimbar Hukum Volume 22, Nomor 2, Juni, 2010, hlm. 312. 72 Ibid, hlm. 68-69. 73 Moh. Muhibbun dan Abdul Wahid, op.cit, hlm. 119.

40

Asal masalah (KPT atau KPK) di dalam fawid hanya ada 7 (tujuh) macam, yaitu :74 Untuk menentukan angka asal masalah dalam suatu kasus pembagian warisan yang perlu diperhatikan terlebih dahulu angka-angka penyebut masing-masing pada bagian ahli waris. Apabila angka-angka penyebut bagian para ahli waris sama besarnya dinamakan tamatsul. Apabila angka penyebut bagian para ahli waris tidak sama, tetapi bisa dibagi dengan tepat oleh angka penyebut terkecil, angka-angka tersebut dinamakan tadakhul. Apabila angka penyebut bagian para ahli waris tidak sama, dan tidak bisa dibagi oleh angka penyebut terkecil, tetapi masingmasing masih bisa dibagi oleh angka penyebut terkecil, tetapi masing-masing masih bisa dibagi oleh angka-angka yang sama maka penyebut tersebut dinamakan tawafuq. 2) „Aul. „Aul merupakan keadaan dimana jumlah bagian-bagian ahli waris lebih besar dari asal masalah. Misal asal masalahnya 24 tetapi jumlah bagian-bagian ahli waris menjadi 27, maka asal masalahnya dinaikkan menjadi 27 sehingga bagian ahli waris menjadi berkurang. Misal ahli waris ayah, ibu, isteri, dan 2 anak perempuan. Ayah 1/6, Ibu 1/6, isteri 1/8, isteri 1/8, 2 anak perempuan 2/3, maka asal masalahnya 24. Jadi Ayah 4/27, Ibu 4/27, isteri 3/27, 2 anak perempuan 16/27. 3) Radd. Radd merupakan keadaan dimana jumlah bagian warisan kurang dari asal masalah. Berarti sisa harta warisan. Misal ahli waris isteri, seorang anak perempuan, maka isteri 1/8, anak perempuan ½, asal masalahnya 8.

74

Ibid.

41

Isteri dapat 1 bagian, anak perempuan dapat 4 bagian. Jumlah bagian 5. Jadi sisa 3 dikembalikan ke anak perempuan 7 bagian (4+2).

i. Pembagian Warisan Secara Damai (Tashaluh) a) Pembagian Warisan Dengan Cara Damai Dalam Fiqh Konvensional Pembagian warisan dengan cara damai tidak diatur dalam fiqih mawaris, namun diterima dengan menggunakan pendekatan pemahaman ”takharuj”, yang dibenarkan dalam Madzab Hanafi. Secara teknis kebiasaan damai dalam terminologi fiqih disebut “Urf” atau adapt. Tidak dapat dikatakan “Urf” kalau tidak membawa manfaat atau kebaikan bagi masyarakat. Umar Ibn al Khattab menasehatkan bahwa : Bagi kaum muslim agar diantara pihak yang mempunyai urusan dapat memilih cara damai, kecuali perdamaian yang bertujuan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.75 Takharuj merupakan suatu teknis penyesuaian dalam pembagian harta warisan karena adanya kesepakatan dari dua orang atau lebih ahli waris untuk menempuh pembagian warisan di luar ketentuan syara‟. Takharuj dalam istilah, ialah para waris berdamai untuk mengeluarkan orang-orang tertentu dari pusaka dengan memberikan imbalan tertentu, baik yang diberikan itu harta peninggalan ataupun bukan.76 Takharuj merupakan perjanjian yang diadakan antara para ahli waris untuk mengundurkan diri atau membatalkan diri dari

75

76

Sukarmi, Perkembangan Hukum Positif di Indonesia (KHI) Atas Pengaruh Hukum Adat (Budaya/Kultur) Dibandingkan Dengan Fiqih Konvensional (Kajian Hukum Kewarisan DalamKHI), http://www.cyber unissula.ac.id/journal/dosen, diakses pada tanggal 20 Mei 2014, pukul 09.00. Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris Hukum Pembagian Warisan Menurut Syariat Islam, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2010, hlm. 254.

42

ahli warisnya dengan suatu pernyataan resmi (kuat) dan dilakukan dengan ikhlas, sukarela dan tanpa paksaan.77 Jadi Takharuj adalah suatu perjanjian damai dilakukan antara para ahli waris atas keluarnya atau mundurnya salah seorang ahli waris atau sebagian ahli waris untuk tidak menerima hak bagiannya dari harta warisan peninggalan pewaris dengan syarat mendapat imbalan tertentu berupa sejumlah uang atau barang dari ahli waris lain. Pembagian warisan dalam bentuk Takharuj tidak dijumpai dasar hukumnya secara jelas baik dalam Al Qur‟an maupun Sunnah (Hadits Nabi), tetapi dasar hukumnya merupakan hasil dari ijtihad. Pembagian warisan dalam bentuk Takharuj ini diperbolehkan dalam syara‟ karena merupakan suatu perdamaian dan semacam penukaran, yaitu menukar bagian waris dari harta peninggalan dengan memberikan yang lain dari padanya, baik yang diberikan itu dari harta peninggalan sendiri ataupun dari selainnya.78 Menurut syara‟, hal tersebut boleh dilakukan, jika ada kesepakatan dan kerelaan (ridlo) dari seluruh ahli waris. Dalam hal ini dikemukakan 3 macam bentuk takharuj : 79 Pertama : salah seorang waris keluar dari bagiannya untuk orang lain dengan mendapat ganti yang diberikan oleh selain dari hartanya sendiri. Apabila telah sempurna takharuj, niscaya bertempatlah orang yang kedua ditempat orang yang pertama dan berhaklah dia menerima bagiannya, karena waris yang pertama telah telah menjual bagiannya dari harta peninggalan kepada yang kedua. Maka yang kedua ini menerima dua bagian : 1) Bagian sendiri . 2) Bagian yang dibelinya.

77

Syifaul Qulub, Takharuj Dan Akdariyah, (http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010 /05/ takharuj.html), hlm. 1, diakses tanggal 02 Desember 2014, pukul 10.45. 78 Op.cit, hlm. 254-255. 79 Op.cit, hlm. 255.

43

Dalam bentuk ini harta peninggalan atau harta warisan dibagi kepada semua ahli waris menurut bagian mereka masing-masing. Kemudian apa yang diterima oleh ahli waris yang mau ditukar bagiannya diambillah oleh ahli waris yang memberi gantinya sebagai imbangan takharuj. Kedua : salah seorang waris keluar dari bagiannya untuk waris-waris yang lain dengan mengambil suatu yang tertentu dari harta peninggalan itu saja, sedang sisa harta diserahkan kepada waris-waris yang lain. Apabila telah sempurna takharuj secara ini, maka si mutakharij mengambil yang dimaksudkan itu,sedang sisa harta untuk waris-waris yang lain, sesuai dengan saham-saham (bagian-bagian) mereka sebelum terjadinya takharuj. Ketiga : salah seorang waris keluar dari bagiannya untuk waris-waris yang lain dengan mendapat ganti rugi yang dibayar oleh waris-waris itu dengan harta mereka sendiri. Apabila telah sempurna takharuj dalam bentuk ini, maka waris yang keluar itu mengambil ganti bagiannya dari harta-harta waris-waris yang lain. Dan dibagilah harta peninggalan kepada semua waris dan masingmasing waris itu menerima bagiannya selain yang keluar itu sendiri. Sedangkan bagiannya dibagikan kepada waris yang lain secara sama rata. Dan hendaklah diperhatikan bahwa pembagian sama rata ini, jika sama banyak yang dipikul oleh masing-masing mereka, kalau tidak, tentulah masing-masing mereka menerima seimbang dengan sempurna.80 Dalam

bentuk

pertama,

proses

takharuj

ditetapkan

berdasarkan akad jual beli. Dengan demikian, waris yang memberikan pengganti itu menempati posisi al-kharij (orang yang keluar) karena dia adalah pembeli, sehingga memiliki bagian warisan al-kharij ditambah bagian aslinya. 80

Op.cit, hlm. 258.

44

Dalam bentuk yang kedua, proses takharuj juga ditetapkan berdasarkan akad jual, karena al-kharij menjual bagiannya kepada waris-waris yang lain. Dengan demikian ahli waris-ahli waris itu dapat memiliki bagian al-kharij sesuai dengan perjanjian tersebut dalam akad takharuj. Jika yang dibayar itu dari harta mereka masing-masing dan tidak ditegaskan cara membagi bagian yang melepaskan haknya, maka haknya dibagi sama rata, antara waris-waris yang lain. Apabila mereka mempunyai sesuatu persetujuan terhadap cara pembagian itu, maka cara itu diikuti.81 b) Pembagian Warisan Dengan Cara Tashaluh (Damai) Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pembagian warisan dengan prinsip kesepakatan dan kekeluargaan sesungguhnya didasarkan pada keyakinan para ulama fiqh bahwa masalah waris adalah hak individu di mana yang mempunyai hak boleh menggunakan atau tidak menggunakan haknya dengan cara tertentu selama tidak merugikan pihak lain sesuai aturan standar yang berlaku dalam situasi biasa. Hal ini berbeda dengan hak Allah (atau disebut juga hak umum), seperti aturan tentang larangan mencuri, berzina, membunuh, di mana hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut sudah jelas dan harus ditegakkan. Dalam hal ini manusia tidak mempunyai hak untuk memberi toleransi dan pemaafan.82 Sebagai dasar hukum positif yang memiliki kekuatan legal, Kompilasi Hukum Islam menegaskan hal ini dalam pasal 183 yang berbunyi :

81 82

Ibid, hlm. 258-259. Salman, Calon Hakim Pengadilan Agama Cilegon, Penyelesaian Pembagian Waris Dengan Prinsip Kesepakatan (Kekeluargaan), http://www.arsip.badilag.net/data/ARTIKEL/ Salman%20Artikel%20Waris%20WebsiteBadilag.pdf, hlm.1, pukul 20.00.

45

“ Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. “ Dengan

demikian

penyelesaian

masalah

waris

dengan

menggunakan prinsip kesepakatan ini bukanlah sesuatu yang tidak mempunyai pijakan doktrinal dalam sistem hukum Islam.83 Sebagaimana dikutip Prof. Satria, Abu Zahrah, seorang ulama usul fiqh kenamaan menegaskan kemungkinan pembagian warisan secara kekeluargaan ini. Namun demikian, persyaratan paling utama yang harus dipenuhi adalah adanya kesepakatan dan kerelaan dari para ahli waris. Lebih jauh, ahli waris tersebut juga dapat menggugurkan haknya untuk tidak mendapatkan hak waris dan memberikannya kepada ahli waris yang lain. Sebaliknya, bila para ahli waris, atau di antara ahli waris tidak setuju atau tidak rela harta warisan tersebut dibagi secara kekeluargaan, maka sistem pembagiannya dilakukan sesuai aturan faraid yang telah dijelaskan oleh Al Qur‟an dan Sunnah, atau dalam konteks Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah menjelaskan hal itu. 84 Pembagian waris dengan cara kekeluargaan itu, bisa didorong oleh pertimbangan perbedaan kondisi ekonomi sebagian ahli waris yang lebih baik dibanding ahli waris lain sehingga diharapkan warisan tersebut bisa lebih membantu kondisi kehidupan ekononi ahli waris yang kurang mampu. Alasan lain boleh jadi adalah karena pertimbangan para ahli waris bahwa seorang atau lebih di antara mereka lebih banyak terlibat dalam pengurusan pewaris dan seterusnya. Dengan demikian menjadi logis apabila mereka mendapat bagian yang lebih selama para ahli waris tersebut menyepakati prinsip tersebut dan merelakan setelah 83

Ibid. Ibid, hlm. 1-2.

84

46

mengetahui hak bagian mereka masing-masing menurut hukum waris Islam .85 Dengan demikian sistem pembagian warisan dalam Islam memberi peluang kepada para ahli waris untuk membagi warisan tanpa harus mengikuti detail pembagian yang telah ditetapkan oleh Al Qur‟an dan Al Hadits (As Sunnah). Atas Dasar kesepakatan para ahli waris, besarnya bagian masing-masing ahli waris kemudian bisa berubah sesuai kesepakatan para ahli waris tersebut atas dasar kesadaran penuh dan keikhlasan setiap ahli waris dimana

masing-masing

ahli

waris

harus

terlebih

dahulu

mengetahui kadar bagian masing-masing sesuai dengan bagian yang sudah ditentukan dalam hukum waris Islam.

2. Tinjauan Mengenai Perjanjian Dalam Hukum Islam a. Pengertian Perjanjian Dalam Hukum Islam Secara etimologis, perjanjian dalam bahasa Arab sering disebut dengan istilah al-mu‟ahadah (janji), al-ittifa‟ (kesepakatan) dan al-„aqdu (ikatan atau sering disebut akad). Dari segi terminologis, perjanjian atau akad secara umum diartikan sebagaisuatu janji setia kepada Allah SWT, atau suatu perjanjian yang dibuat oleh manusia dengan manusia lainnya dalam pergaulan hidupnya sehari-hari.86 Istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia dipersamakan dengan istilah “akad” dalam hukum Islam. Kata akad berasal dari kata “al aqd” yang berarti mengikat, menyambung, atau menghubungkan (ar-rabt).87

85

Ibid, hlm. 2. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 2. 87 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 68 86

47

Kata arab untuk kontrak atau perjanjian adalah al „aqad yang secara harfiah berarti ikatan atau kewajiban. Maksudnya adalah “mengadakan ikatan untuk persetujuan”. Pada saat dua kelompok mengadakan perjanjian disebut al „aqad, yakni ikatan untuk memberi dan menerima bersama-sama dalam satu waktu, kewajiban yang timbul akibat perjanjian itu disebut al „uqud.88 Kata “perikatan” dan “perjanjian” memiliki makna yang sama dengan kata „aqd dalam bahasa Arab. Menurut Syamsul Anwar, konsep perikatan dalan khasanah ke-islaman merupakan istilah kontemporer, walaupun istilah ini sudah sering dipakai sejak jaman klasik. Dalam hukumIslam pra modern istilah perikatan secara umum biasa disebut dengan istilah “iltizam”. Hanya saya istilah “iltizam” hanya dipakai untuk menunjukkan perikatan yang timbul dari kehendak sepihak saja. Untuk menunjukkan perikatan yang timbul dari kehendak kedua belah pihak, ulama menyebutnya dengan istilah terisinya “dzimmah”, dengan menekankan pada hak dan kewajiban. “Dzimmah” secara harfiah adalah tanggungan, sedangkan secara terminologis adalah suatu wadah dalam diri setiap orang tempat menampung hak dan kewajiban. Dengan demikian istilah perikatan (iltizam) dalam hukum Islam adalah terisinya “dzimmah” seseorang atau suatu pihak dengan suatu hak yang wajib ditunaikannya kepada seseorang atau kepada pihak lain. Mustafa Az-zarqa sebagaimana dikutip oleh Syamsul Anwar, mendefinisikan perikatan (iltizam) lebih menitikberatkan pada kewajiban seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu bagi kepentingan orang lain.89

88

89

A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. V. Fajar Buana, artikel dan makalah hukum : Perikatan Dalam Hukum Islam, http: //articlelawtoday.blogspot.co.id/2012/05/perikatan-dalam-hukum, diakses pada tanggal 03 Desember 2015, pukul 02.28.

48

Akad

diartikan

sebagai

“janji”

(al-‟ahd)

sebagaimana

dijelaskan dalam Al Qur‟an Surah Ali Imron ayat 76, yang artinya sebagai berikut : “ Sebenarnya barangsiapa yang menepati janji dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.”90 Menurut Yan Pramadya Puspa, perjanjian atau persetujuan didefinisikan sebagai suatu perbuatan di mana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih”.91 Pengertian Hukum Perikatan Islam menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH, adalah merupakan seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al Qur‟an, As-Sunnah (Al-Hadits), dan Ra‟yu (Ijtihad) yang mengatur hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi.92 b. Rukun-Rukun Perjanjian Dalam Hukum Islam Dalam melaksanakan suatu perjanjian (akad), terdapat rukun yang harus dipenuhi. Menurut pendapat jumhur ulama, rukun akad atau perjanjian terdiri dari :93 1) Al „aqidain (subyek perjanjian), yaitu pihak-pihak yang melakukan akad. 2) Mahallul „aqdyaitu obyek perjanjian. 3) Sighat al „aqd yaitu pernyataan untuk mengikatkan diri, yang terdiri dari ijab dan qobul. Selain ketiga rukun tersebut di atas, Musthafa Az-Zarqa menambah satu lagi, yaitu maudhu‟ul „aqd (tujuan akad atau perjanjian). Namun ia menyebut keempat hal tersebut bukan 90

Kementerian Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahannya Juz 1 – Juz 30, Edisi Revisi, Pustaka Agung Harapan, Surabaya, 2006, hlm. 74. 91 Yan Pramudya Puspa, Kamus Hukum, C.V. Aneka, Semarang, 1977, hlm. 208. 92 Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 3. 93 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 103.

49

merupakan rukun, tetapi dengan muqawimat „aqd (unsur-unsur penegak akad atau perjanjian).94 Adapun menurut

T. M. Hasbi

Ash-Shiddieqy, keempat hal tersebut merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad.95 Di kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad hanya sighat al „aqd, yaitu ijab dan qobul. Adapun al „aqidain (subyek akad) dan mahallul „aqd (obyek akad) merupakan syarat akad.96 Sighot al „aqd merupakan akad yang terpenting, karena melalui akad inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad (transaksi). Siqhot al „aqd dinyatakan melalui ijab dan qobul, dengan suatu ketentuan : 97 1) Tujuan akad harus jelas dan dapat dipahami, yaitu bahwa lafadz yang dipakai dalam ijab dan qobul harus jelas maksud dan tujuannya menurut kebiasaan yang berlaku. 2) Antara ijab dan qobul harus dapat kesesuaian, untuk menghindari terjadinya kesalah pahaman diantara para pihak yang melakukan perjanjian di kemudian hari. 3) Pernyataan ijab dan qobul itu harus sesuai dengan kehendak masing-masing dan tidak boleh ada yang meragukan, maksudnya yaitu harus memperlihatkan kesungguhan dan keridlaan (tidak ada paksaan) dari para pihak yang terkait untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang penuh. Ijab dan qobul dapat berupa perkataan, perbuatan, isyarat dan tulisan (biasanya transaksi yang besar nilainya). Semua bentuk ijab dan qobul tersebut mempunyai nilai kekuatan yang sama.98

94

Gemala Dewi, Widyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, op.cit., hlm. 57. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah, Cetakan 1, Edisi 2, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997, hlm. 14. 96 Ibid, hlm. 56. 97 M. Ali Hasan, op.cit., hlm. 104. 98 Ibid. 95

50

c. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Dalam Hukum Islam Suatu akad atau perjanjian dapat dikatakan telah terjadi jika telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan. Rukun-rukun

akad

sebagaimana

terpenting yaitu ijab dan qobul.

disebutkan

sebelumnya

yang

99

Adapun syarat-syarat terjadinya akad dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam : 1) Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna terwujudnya dalam segala macam akad atau perjanjian. 2) Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang disyaratkan wujudnya dalam sebagian akad atau perjanjian, dan tidak dalam sebagian lainnya (tambahan), seperti adanya akad nikah, adanya saksi dalam pernikahan dan sebagainya. Syarat-syarat umum yang harus terdapat dalam segala macam syarat, ialah : 100 1) Ahliyatul „aqidaini (kedua belah pihak cakap bertindak atau berbuat). 2) Qobiliyatul mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan obyek akad dapat menerima hukumnya). 3) Al wilyatus syari‟iyah fi maudlu‟il „aqdi (akad itu diijinkan oleh syara‟, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si „aqidnya sendiri). 4) Alla yakunal „aqdu au maudlu‟uhu mamnu‟an binashshin syar‟iyin (janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara‟). 5) Kaunul ‟aqdi mufidan (akad itu memberi faedah). 6) Baqaul ijbabi shalihan ila mauqu‟il qabul (ijab itu berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi qabul) maka apabila si mujib menarik kembali ijabnya sebelum gabul maka batallah ijab). 99

Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), UII Press, Jakarta, 2000, hlm. 15. 100 Teungku Muhammad Hasbi As Shiddieqy, op.cit., hlm. 33-34.

51

7) Ittihadu majlisil „aqdi (bertemu dimajelis akad), karenanya ijab menjadi batal apabila sampai kepada berpisahnya seorang dengan yang lain. Syarat

ini disyaratkan oleh madzhab As-syafi‟i,

sedangkan madzhab lain tidak mensyaratkan. Namun secara keseluruhan, syarat-syarat umum yang harus terdapat setiap akad atau perjanjian, adalah :101 a) Yang berkaitan dengan subyek akad atau perjanjian ( Al „aqidain). Dalam dunia hukum, istilah subyek hukum yang dalam hal ini termasuk subyek hukum perjanjian atau akad, mengandung pengertian sesuatu yang memiliki hak dan kewajiban, dan tidak dapat dipisahkan dari unsur kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum (ahliyatul ada‟). Dalam hal ini bisa berupa manusia dan juga badan hukum tertentu. Pihak-pihak yang melakukan akad telah dipandang mampu bertindak menurut hukum (mukallaf). Apabila belum mampu, harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebabitu suatu akad yang dilakukan oleh orang yang tidak sehat akalnya (gila), orang yang boros dan anak di bawah umur yang belum mukhallaf secara langsung itu hukumnya tidah sah. b) Yang berkaitan dengan obyek akad atau perjanjian (Ma‟qud „Alaih). Obyek dari akad atau perjanjian bermacam-macam bentuknya. Dalam akad Jual Beli (bai‟a), obyeknya adalah barang yang diperjual belikan, dalam akad gadai yang menjadi obyeknya adalah barang gadaian, dalam akad pembagian harta warisan yang menjadi obyeknya adalah barang yang merupakan peninggalan dari pewaris (harta warisan), demikian seterusnya. Suatu akad atau perjanjian dapat dipandang sah menurut hukum, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :102

101

M. Ali Hasan, op.cit., hlm. 105-108.

52

1) Obyek telah ada pada waktu akad atau perjanjian diadakan. Persyaratan ini tidaklah menjadi kesepakatan para ulama, dan mereka membolehkan belum wujudnya obyek saat terjadinya akad atau perjanjian. Namun dengan syarat hal tersebut tidak akan menjadi sengketa di masa yang akan datang. 2) Obyek dapat dijadikan obyek hukum dan dapat menerima hukum akad atau perjanjian. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama, sebagai misal pakaian dapat dijadikan obyek dagangan. 3) Obyek akad harus dapat ditentukan dan dapat diketahui oleh kedua belah pihak (para pihak), baik bentuk, sifat, maupun kadarnya untuk mencegah timbulnya persengketaan di masa mendatang dan hal ini diserahkan pada kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat. 4) Obyek akad harus dapat diserahkan pada saat terjadinya akad atau perjanjian. Tetapi hal ini tidaklah dimaksud untuk diserahkan seketika itu, cukup diketahui bahwa obyek tersebut benar-benar diketahui berada dalam kewenangan pihak yang bersangkutan. Dari keempat ketentuan obyek akad tersebut di atas, secara garis besar haruslah dapat menerima hukum akad atau perjanjian agar tidak menjadi sengketa antara kedua belah pihak dan tidak bertentangan dengan aturan dalam hukum Islam. c) Yang berkaitan dengan tempat terjadinya akad atau perjanjian. Dalam kaitannya dengan tempat terjadinya akad atau perjanjian, tidaklah suatu keharusan untuk melakukan akad atau perjanjian disatu tempat yang sama. Akad dapat dikatakan sah jika

102

Naili Rahmawati, Perjanjian Dalam Hukum Islam, https://alkalinkworld.files.wordpress.com/ 2009/11/ perjanjian-dalam-hukum-islam-pdf, diakses pada tanggal 03 Desember 2015, hlm.8, pukul 20.28.

53

dilakukan melalui tempat yang berbeda, hal ini didukung oleh kemajuan teknologi yang dapat mempertemukan kedua belah pihak walaupun tidak secara langsung, namun yang penting adalah adanya atau terjadinya ijab dan qobul akad yang terkait, untuk mencapai tujuan akad atau perjanjian yang diinginkan, yaitu terpenuhinya hak dan kewajiban kedua belah pihak yang melakukan perjanjian dan memiliki akibat hukum yang kuat atau penuh. Pendapat lain mengenai syarat akad atau perjanjian oleh para ulama fiqih menetapkan, ada beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad, adapun syarat-syarat umum suatu akad yaitu:103 1) Pihak-pihak yang melakukan akad atau perjanjian telah dipandang mampu bertindak menurut hukum (mukallaf). Apabila belum mampu maka harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu suatu akad yang dilakukan oleh orang yang tidak sehat akalnya atau anak kecil yang belum mukallaf secara langsung hukumnya tidak sah. 2) Obyek akad itu, diakui oleh syara‟. Obyek akad ini harus memenuhi syarat yaitu berbentuk harta, dimiliki seseorang, bernilai harta menurut syara‟. Dengan demikian yang tidak bernilai harta menurut syara‟ tidak sah seperti khamar (minuman keras). 3) Akad atau perjanjian itu tidak dilarang oleh nash syara‟. Atas dasar ini seorang wali (pemelihara anak), tidak dibenarkan menghibahkan harta anak kecil tersebut. 4) Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus dengan yang bersangkutan, disamping harus memenuhi syarat umum. Syarat khusus misalnya jual-beli berbeda dengan sewa menyewa dan gadai.

103

M. Ali Hasan, op.cit., hlm. 105-108.

54

5) Akad itu bermanfaat, misalnya seorang suami mengadakan akad dengan istrinya, bahwa suami akan memberi upah kepada istrinya dalam urusan rumah tangga akad ini tidak bermanfaat karena memang kewajiban seorang suami memberikan nafkah lahiriyah kepada istrinya. 6) Ijab tetap utuh sampai terjadi kabul. Misalnya dua orang beda daerah melakukan transaksi dengan surat, pembeli barang melakukan ijabnya melalui surat yang memerlukan waktu berapa hari. Sebelum surat itu sampai kepada si penjual, pembeli telah wafat transaksi semacam ini batal sebab salah satu pihak telah meninggal. 7) Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi. Namun menurut jumhur ulama Fiqih selain mazhab Syafi‟i, tidak mengharuskan kabul segera dilaksanakan setelah ijab, sebab pihak penerima memerlukan waktu untuk berfikir dan meneliti segala persoalan yang berkaitan dengan transaksi (obyek akad). 8) Tujuan akad harus jelas dan diakui oleh syara‟. Misalnya masalah jual-beli, jelas tujuannya yaitu untuk memindahkan hak-milik penjual kepada pembeli dengan imbalan.

d. Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Hukum Islam Asas berasal dari bahasa Arab yaitu Asasun, yang berarti dasar, basis dan fondasi. Secara terminologi, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip, yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar, berpikir, bertindak, dan sebagainya.104 104

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 70.

55

Dalam kaitannya dengan hukum perjanjian Islam, Fathur Rahman Djamil mengemukakan 6 (enam) asas, yaitu : asas kebebasan, asas persamaan atau kesetaraan, asas keadilan, asas kerelaan, asa kejujuran dan kebenaran, dan asas tertulis. Namun ada asas utama yang mendasari setiap perbuatan manusia, termasuk perbuatan muamalat, yaitu asas ilahiah atau asas tauhid. Asas-asas dalam hukum perjanjian Islam secara umum, adalah sebagai berikut :105 1) Asas Ilahiah (Tauhid). Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan bisa lepas dari ketentuan Allah SWT. Kegiatan muamalah, termasuk perbuatan perjanjian atau perikatan, tentu saja berhubungan dengan nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab diri sendiri, tanggung jawab kepada pihak kedua, tanggung jawab kepada masyarakat, dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Oleh karena itu manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya pasti diketahui oleh Allah SWT dan akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. 2) Asas kebebasan (Al-Hurriyah). Dalam Islam memberikan kebebasan kepada setiap manusia (para pihak) untuk melakukan suatu perbuatan perjanjian atau perikatan. Para pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan bentuk dan isi dari perjanjian atau perikatan tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Apabila para pihak telah menyepakati bentuk dan isinya maka perjanjian atau perikatan tersebut mengikat para pihak wajib melaksanakan segala yang menjadi hak dan kewajibannya. Menurut Fathurrahman Djamil, bahwa “syariah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang

105

Gemala Dewi, Widyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, loc.cit, hlm. 30-39.

56

menentukan akibat hukumnya adalah ajaran agama.”106 Dasar hukumnya yaitu terdapat pada QS. Al Maidah [5] : 1, yang artinya sebagai berikut : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” Dalam bidang muamalah ini terdapat kaidah fiqih yang isinya bahwa, “asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”107 Isi kaidah fiqih tersebut mengandung arti dan menunjukkan bahwa segala sesuatu itu dibolehkan atau mubah dilakukan, sampai ada dasar hukum atau dalil yang melarangnya. 3) Asas persamaan atau kesetaraan (Al-Musawah). Suatu perbuatan muamalah merupakan salah satu jalan untuk memenuhi hidup manusia. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali terdapat seseorang yang memiliki kelebihan dari yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia yang satu dengan yang lainnya masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu antara manusia yang satu dengan yang lain hendaknya saling melengkapi. Dengan demikian setiap manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan perbuatan perikatan atau perjanjian. Dalam melakukan perbuatan perikatan atau perjanjian ini, para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan atau kesetaraan, tidak boleh ada suatu kecurangan atau kedholiman.108 4) Asas keadilan (Al- „Adalah) Dalam suatu perikatan atau perjanjian para pihak dituntut untuk melakukan yang benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi semua kewajiban. Perjanjian harus

106

Ibid, hlm. 31. Ibid, hlm. 32. 108 Ibid, hlm. 32-33. 107

57

senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang, serta tidak boleh mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak. 5) Asas kerelaan (Al- Ridla). Dalam mengadakan

melakukan perbuatan

perbuatan perikatan

muamalah atau

termasuk

perjanjian,

harus

berdasarkan suka sama suka atau sukarela dari para pihak yang mengadakan dan tidak dibenarkan adanya unsur pemaksaan maupun penipuan. Jika ada unsur paksaan maupun penipuan maka perikatan atau perjanjian dapat dibatalkan atau tidak sah. Kerelaan (ridla) para pihak dalam perikatan atau perjanjian menunjukkan keikhlasan dan itikad baik. 6) Asas kejujuran dan kebenaran (Ash-Shidiq). Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam segala bidang kehidupan, termasuk pelaksanaan muamalah. Jika kejujuran tidak diterapkan dalam perikatan atau perjanjian, maka akan merusak legalitas perikatan atau perjanjian itu sendiri dan bisa menimbulkan perselisihan di antara para pihak. Suatu perbuatan muamalah itu dapat dikatakan benar atau mengandung kebenaran apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perikatan dan juga bagi masyarakat dan lingkungannya. 7) Asas tertulis (Al-Kitabah). Dalam QS. Al Baqarah ayat 282 dan ayat 283, disebutkan bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia hendaknya suatu perikatan dilakukan secara tertulis, dihadiri saksi-saksi, dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perikatan, dan yang menjadi saksi. Selain itu dianjurkan pula bahwa apabila suatu perikatan dilaksanakan tidak secara tunai, maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya. Adanya tulisan, saksi dan / atau benda jaminan ini menjadi alat bukti atas terjadinya perikatan tersebut.

58

e. Ash-Shulh (Perdamaian). 1) Pengertian Ash-Shulh Ash-Shulh

berasal

dari

bahasa

Arab,

yang berarti

menghentikan perselisihan atau perselisihan, perdamaian. 109 Menurut istilah, pengertian dari Ash-Shuluh yaitu suatu akad atau perjanjian untuk menghilangkan dendam permusuhan, perselisihan, pertikaian atau perbantahan, misalnya suatu perjanjian dari kedua belah pihak yang berselisih atau bertikai untuk mengakhiri perselisihan atau pertikaiannya tersebut, sehingga tidak saling dendam diantara keduanya.110 Sayyid Sabiq berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ash-Shulhu adalah suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang berlawanan.111 Menurut Hasby Ash-Shiddiqie dalam buku Pengantar Fiqih Muamalah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ash-Shulh adalah akad yang disepakati dua orang yang bertengkar dalam hak untuk melaksanakan sesuatu, dengan akad itu dapat hilang pertengkaran.112 Imam Taqiy Al Din Abu Bakr Ibnu Muhammad Al Husaini, dalam kitabnya Kifayatul Akhyar, mendefinisikan Ash-Shulhu adalah akad yang memutuskan perselisihan dua pihak yang berselisih.113 Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa, Ash-Shulhu adalah suatu usaha untuk mendamaikan dua pihak yang berselisihan, bertengkar, saling dendam, dan 109

Tuti Alawiyah, Ash-Shulhu ( Perdamaian ), http://alawiyahtuti18.blogspot.co.id/2011/04/ ash-shulhu-perdamaian.html, hlm. 1, diakses pada tanggal 05 Maret 2016, pukul 21.00. 110 Wahid, Shulhu (Perdamaian), http://uyizae.blogspot.co.id/2011/01/makalah-tentang-shulhu. html, hlm. 1, diakses pada tanggal 05 Maret 2016, pukul 21.30. 111 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, Al Ma’arif, Bandung, 1987, hlm. 211. 112 Hasby Ash-Shiddiqie, Pengantar Fiqih Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hlm. 92. 113 Imam Taqiy Al Din Abu Bakr Bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, Toha Putra, Semarang, hlm. 271.

59

bermusuhan dalam mempertahankan hak, dengan usaha tersebut dapat diharapkan akan berakhir perselisihan. Dengan kata lain, sebagaimana pendapat dari Wahbah Zulhaily, yang mengemukakan Ash-Shulhu adalah akad untuk mengakhiri semua bentuk pertengkaran atau perselisihan.114 Perdamaian dalam syari‟at Islam sangat dianjurkan, sebab dengan perdamaian akan terhindar dari kehancuran hubungan kasih sayang (silaturrahim) sekaligus permusuhan diantara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri. Perdamaian (Ash-Shulh) disyari‟atkan oleh Allah SWT, sebagaimana yang tertuang dalam Al Qur‟an Surah Al Hujuraat ayat 10, yang arti terjemahannya : “ Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.115 Penyelesaian dengan cara perdamaian itu juga dianjurkan oleh Allah SWT, sebagaimana dalam Al Qur‟an Surah Ali Imran ayat 159, yang arti terjemahannya yaitu : “Maka berkat rahmat dari Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal (kepada-Nya)”.116 Di samping firman-firman Allah SWT tersebut,Rasulullah juga mengatur tentang kebolehan untuk melakukan perdamaian, dalam

114

Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, Beirut, Dar Al-Fikr al-Muashir, 2015, Jilid IV, hlm. 4330. 115 Kementerian Agama Republik Indonesia, loc.cit, hlm. 744 116 Ibid, hlm. 90.

60

hadits Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda bahwa : “Perdamaian di antara kaum muslimin itu boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan sesuatu yang halal, atau menghalalkan sesuatu yang haram”.117 2) Syarat dan Rukun Ash-Shulh Syarat dari Ash-Shulh yaitu :118 (1) Syarat yang berhubungan dengan Mushalih (orang atau pihak yang berdamai), yaitu disyaratkan mereka adalah orang yang tindakannya dinyatakan sah secara hukum. Di sini maksudnya subyek hukum Ash-Shulh harus cakap bertindak secara hukum yaitu dewasa dan berakal sehat. (2) Syarat yang berhubungan dengan Mushalih bih (obyek yang diperselisihkan oleh para pihak), yaitu harus berbentuk harta yang dapat dinilai, diserah terimakan dan berguna, serta diketahui secara jelas sehingga tidak ada kesamaran yang dapat menimbulkan perselisihan. (3) Syarat yang berhubungan dengan Mushalih anhu (persoalan yang diperselisihkan),

yaitu

sesuatu

yang

diperkirakan

termasuk hak manusia yang boleh diiwadkan (diganti). Jika berkaitan dengan hak-hak Allah maka tidak dapat diadakan Shulh. Sedangkan Rukun Ash-Shulh, yaitu :119 (1) Mushalih, yaitu kedua belah pihak yang melakukan akad perdamaian (Ash-Shulh) untuk mengakhiri perselisihan.

117

Hadits ini diriwayatkan HR Abu Dawud, Al Hakim dan Tirmidzi, yang dikutip Wah Bahtur Rahili dalam Kitabnya, Fiqih Islam Wa Adahatu, diterbitkan Darrul Fikri, Damsyik, 1984. 118 Ghazali Abdul Rahman, Ihsan Ghufron, Shidiq Saipudin, Fiqih Muamalat, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010, hlm. 197. 119 Fadly, Shulh (Perdamaian), http://gudangilmusyariah.blogspot.co.id/2014/09/pengertianshulh-perdamaian.html, hlm. 2, diakses pada tanggal 06 Maret 2016, pukul 10.30.

61

(2) Mushalih Anhu yaitu persoalan yang diperselisihkan. (3) Mushalih bih, yaitu sesuatu yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan. Hal ini disebut dengan istilah badal Al-shulh. (4) Shighat ijab dan qabul, yang masing-masing dilakukan oleh dua pihak yang berdamai. Sayyid Sabiq berpendapat bahwa rukun Ash-Shulh itu adalah ijab dan qobul, yakni lafadz apa saja yang dapat menimbulkan perdamaian.120 Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan sebagai berikut : (1) Menyangkut subyek (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian perdamaian). Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak menurut hukum, adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum adalah orang yang telah dewasa menurut hukum. (2) Menyangkut obyek perdamaian. Tentang obyek perdamaian

haruslah memenuhi ketentuan

sebagai berikut : (a) Berbentuk harta (dapat berupa benda berwujud seperti tanah dan dapat juga berupa benda tidak berwujud seperti hak milik atas kekayaan intelektual (HAKI) yang dapat dinilai

atau

dihargai,

dapat

diserahterimakan,

dan

bermanfaat. (b) Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan pertikaian yang baru terhadap obyek yang sama (sedangkan perdamaian memutus pertikaian untuk selama-lamanya). (3) Persoalan yang boleh didamaikan.

120

Sayyid Sabiq, op.cit, hlm. 212.

62

Tidak semua persoalan dapat didamaikan (diadakan perjanjian perdamaian). Adapun persoalan atau pertikaian yang boleh atau dapat dilakukan perdamaian hanyalah sebatas menyangkut hal-hal berikut : (a) Pertikaian itu berbentuk harta yang dapat dinilai. (b) Pertikaian itu menyangkut hak manusia, maksudnya adalah perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan muamalah (hukum privat), sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut hak Allah SWT tidak dapat diadakan perdamaian.121 3) Macam-Macam Ash-Shulh Menurut Muhibin Aman Aly dalam bukunya “Mengenal Istilah Dan Rumus Fuqaha”, membagi perdamaian menjadi 4 (empat) macam, yaitu : (1) Perdamaian antara muslim dengan kafir. Yakni membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa-masa tertentu secara bebas atau dengan cara mengganti kerugian yang diatur dalam Undang-Undang yang telah disepakati kedua belah pihak, atau biasa dikenal dengan istilah gencatan senjata). (2) Perdamaian antara Kepala Negara dengan pemberontak. Yaitu membuat perjanjian atau peraturan yang harus ditaati mengenai keamanan. (3) Perdamaian antara suami dan isteri. Yaitu membuat perjanjian dan aturan-aturan mengenai pembagian nafkah, masalah durhaka, dan dalam masalah menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.

121

Suhrawadi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafindo, Jakarta, 2000, hlm. 181-183.

63

(4) Perdamaian dalam bidang muamalah. Yaitu membentuk perdamaian dalam masalah yang ada kaitannya dalam perselisihan yang terjadi dalam masalah muamalah.122 Perdamaian dalam bidang atau urusan muamalah, misalnya: masalah utang-piutang, masalah jual beli, masalah orang yang berlaku curang dengan orang yang tidak curang, masalah pembunuhan, masalah harta termasuk harta warisan, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, membagi perdamaian (Ash-Shulh) menjadi 4 (empat), yaitu :123 (1) Perdamaian tentang ikrar (Shulhiqrar). Shulhiqrar adalah bahwa seorang mendakwa orang lain yang berhutang atau adanya materi atau manfaat pada si terdakwa. Kemudian si terdakwa mengakui hal tersebut, lalu mereka berdamai (bersulhu), bahwa si pendakwa mengambil sesuatu dari si terdakwa. Karena manusia tidak selalu berkeberatan gugurnya semua haknya atau sebagian dari haknya. (2) Perdamaian tentang ingkar (Shulh inkar). Perdamaian tentang ingkar (Shulh inkar) adalah bahwa seseorang menggugat orang lain tentang suatu materi atau hutang atau manfaat, kemudian si tergugat ingkar, mengingkari apa yang digugatkan kepadanya, lalu mereka berdamai (bershulh). (3) Perdamaian tentang Sukut (ShulhSukut). Perdamaian tentang Sukut (Shulh Sukut) adalah bahwa seseorang menggugat orang lain tentang sesuatu, kemudian yang digugat berdiam diri, tidak mengakui dan tidak mengingkari. 122

Muhibin Aman Aly, Mengenal Istilah Dan Rumus Fuqaha, Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Kediri, 2002, hlm. 65. 123 Sayyid Sabiq, loc.cit, hlm. 218-222.

64

(4) Perdamaian (Shulh) tentang hutang yang ditangguhkan dengan membayar sekarang sebagian, dan tidak boleh dalam shulh yang merupakan penyelesaian secara tuntas, dari (sesuatu yang diterima) sebagian, yang pada asalnya penangguhan sebagian karena syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah, adalah batil. Tetapi ia adalah suatu jenis tanggungan sekarang ia boleh menunggunya sesuai dengan keinginannya tanpa syarat karena merupakan perbuatan baik. 3. Tinjauan Mengenai Notaris a. Pengertian Notaris Pengertian Notaris menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yaitu :124 “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat Akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undangundang lainnya.” Notaris merupakan pejabat umum yang mempunyai tugas dan kewajiban untuk memberikan pelayanan dankonsultasi hukum kepada masyarakat yang membutuhkan. Bantuan hukum yang dapat diberikan dari seorang Notaris adalah dalam bentuk membuat akta autentik ataupun kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

124

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Psl.1 angka 1.

65

Pada mulanya pengaturan mengenai Notaris diatur dalam Reglement op het Notaris Ambt in Nederlands Indie atau Peraturan Jabatan Notaris Stb. 1860-3 (untuk selanjutnya disebut sebagai PJN). Pasal 1 PJN memuat pengertian tentang Notaris yaitu : “Notaris itu adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan agar dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan daripada itu memberikan grosse, salinan dan kutipannya kesemua itu sebegitu jauh pembuatanakta itu oleh suatu peraturan umum tidak pula ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”.125 Dari pengertian Notaris yang terdapat pada pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat Akta otentik. Penggunaan kata “satu-satunya” dalam Pasal 1 PJN dimaksudkan untuk memberi pertegasan bahwa notaris adalah satu-satunya pejabat yang mempunyai wewenang “tertentu”, artinya wewenang mereka hanya meliputi pembuatan akta autentik yang secara tegas sudah ditugaskan kepada mereka oleh Undang-Undang. Adapun pejabat lain yang dimaksud antara lain Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pegawai Pencatatan Sipil dan Ketua Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 1868 KUH Perdata, “suatu akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum (pejabat umum) yang berkuasa (berwenang) untuk itu, ditempat di mana akta itu dibuatnya.”Ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata tersebut menjelaskan definisi dari akta otentik, sedangkan apa yang disebut pejabat umum tidak dijelaskan secara rinci.

125

Komar Andasasmita, Notaris Selayang Pandang, Cetakan 2, Bandung Alumni, Bandung, 1983, hlm. 2.

66

Menurut Pasal 1 angka (1)Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris tersebut, Notaris adalah satu-satunya yang mempunyai kewenangan umum itu, artinya tidak turut para pejabat lainnya. Kewenangan Notaris adalah bersifat umum, sedangkan wewenang pejabat lain adalah pengecualian.126 Di dalam Pasal 1870 dan 1871 KUH Perdata dikemukakan bahwa akta otentik itu adalah alat pembuktian yang sempura bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik yang merupakan bukti yang lengkap (mengikat) berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.127 Namun, dengan diundangkannya UndangUndang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun2004, yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, maka Peraturan Jabatan Notaris (PJN) dan peraturan-peraturan lainnya yangmengatur tentang Notaris dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga pengertian Notaris mengalami sedikit perubahan dari yang lama atau yang telah diatur dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN). Kewenangan Notaris tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik sejauh pembuatan akta autentik tidak dikhususkan kepada pejabat umum lainnya. Pembuatan akta autentik ada yang diharuskan 126

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan ke-3, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1983, hlm. 34 127 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam AcaraPerdata, Edisi Pertama, PT. Alumni, Bandung, 2000, hlm. 49.

67

oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum. Kedudukan seorang Notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat hingga sekarang dirasakan masih disegani. Seorang Notaris biasanya dianggap sebagai pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.128 Masyarakat mengenal istilah kenotariatan itu lebih kepada profesinya, yaitu profesi Notaris. Profesi ini ada di Indonesia sejak dan merupakan peninggalan zaman penjajahan Hindia Belanda, Kenotariatan merupakan lembaga peninggalan zaman Hindia Belanda yang diatur dengan aturan perundang-undangan Pemerintah Belanda sejak tahun 1860, tetapi karena telah tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan hukum masyarakat dan pemerintahan maka selanjutnya sudah menjadi lembaga yang terus menerus dipakai dalam hubunganhubungan hukum hingga sekarang, diantaranya guna memperoleh jaminan kepastian hukum dengan diterbitkannya akta autentik sebagai alat bukti yang sempurna.129 Akta Otentik atau sekarang disebut juga dengan istilah Akta Autentik merupakan alat bukti bagi para pihak yang mengadakan hubungan hukum perjanjian. Adanya akta ini untuk kepentingan para pihak, dan dibuat oleh para pihak. Sebagai alat bukti, akta demikian mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurnna bagi para pihak yang membuatnya, Sebagai alat bukti yang sempurna maksudnya adalah kebenaran yang dinyatakan di dalam akta Notaris itu tidak perlu dibuktikan dengan dibantu kekuatan pembuktian demikian itu atas akta

128

Tan Thong Kie, Studi Notariat &Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2007, hlm. 444. 129 Putri A.R., Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Indikator Tugas-Tugas Jabatan Notaris Yang Berimplikasi Perbuatan Pidana, Cetakan Pertama, P.T. Sofmedia, Jakarta, 2011, hlm. 3.

68

tersebut karena akta itu dibuat oleh atau di hadapan Notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah.130 Pemahaman mengenai arti akta Notaris dengan demikian sangat penting dalam menciptakan ketertiban hubungan hukum di antara para pihak. Alat bukti bagi para pihak itu tentu dimaksudkan bahwa para pihak itu menghendaki hubungan hukum seperti yang telah mereka sepakati bersama. Hubungan hukum itu terjadi karena atas kehendak mereka bersama.131 Menurut Heryanto, seorang Notaris dalam menjalankan profesinya sebagai notaris dan sebagai pejabat publik, setidak-tidaknya Notaris harus memerankan 4 (empat) fungsi, yakni : Pertama, Notaris sebagai Pejabat yang membuatkan akta-akta bagi pihak yang datang kepadanya baik itu berupa akta partij maupun akta relaas. Kedua, Notaris sebagai Hakim dalam hal menentukan pembagian warisan. Ketiga, Notaris sebagai penyuluh Hukum dengan memberikan keterangan-keterangan bagi pihak dalam pembuatan suatu akta. Keempat, Notaris berusaha mempertahankan klien atau relasinya agar operasionalisasi kantornya tetap berjalan.132 Sehubungan dengan jabatan

Notaris ini,

Habib Adjie

mengemukakan sebagai berikut : Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat dan atas pelayanan itu, masyarakat yang telah merasa dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris.

130

Ibid. Ibid. 132 Ibid, hal. 4. 131

69

Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.133 Seorang Notaris di dalam menjalankan jabatannya harus dapat bersikap profesional dengan dilandasi kepribadian yang luhur dengan senantiasa melaksanakan Undang-Undang sekaligus menjunjung tinggi Kode Etik profesinya yaitu Kode Etik Notaris. Berdasarkan Pasal 16 huruf a UUJN, seorang Notaris diharapkan dapat bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Selain itu, Notaris sebagai pejabat umum harus dapat mengikuti perkembangan hukum sehingga dalam memberikan jasanya kepada masyarakat, dalam membantu mengatasi dan memenuhi kebutuhan hukum yang terus berkembang dapat memberikan jalan keluar yang dibenarkan oleh hukum. Oleh karena itu, Notaris dalam melaksanakan tugasnya tunduk dan terikat dengan peraturan-peraturan yang ada, yakni Undang-Undang jabatan Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kode Etik Notaris dan peraturan Hukum lainnya.134 Notaris adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Negara (berdasarkan ketentuan undang-undang) untuk menyatakan terjadinya hubungan hukum (recht verhouding) antara para pihak dalam sebuah akta. Atas dasar hal yang demikian, maka jelas tampak bahwa akta Notaris itu berkaitan secara langsung dengan nilai martabat para pihak yang berjanji. Janji yang telah dinyatakan di dalam akta tentu merupakan cerminan kehendak tulus dari para pihak, satu terhadap yang lain dan juga menunjukkan martabat para pihak yang dilandasi dengan nilai-nilai luhur kehidupan bersama di dalam masyarakat, bangsa, dan negara.135

133

Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Cetakan Kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 32. 134 Putri A.R., op.cit, hlm. 5. 135 Ibid.

70

Anggota masyarakat mempunyai suatu anggapan bahwa dalam pembuatan suatu akta, kalau mereka sebagai para pihak sudah memegang akta Notaris maka semuanya itu yang membuat (perjanjian mereka) adalah Notaris. Hal demikian ini sesungguhnya adalah pemahaman yang keliru, karena sesungguhnya yang berjanji satu sama lain, atau yang membuat (akta) perjanjian itu, adalah mereka para pihak sendiri dan bukan Notaris. Notaris tidaklah terikat dengan hubungan hukum (perjanjian) yang mereka adakan (sepakati). Pelurusan pemahaman yang keliru tersebut perlu terus menerus diupayakan dalam rangka posisi hukum yang benar mengenai hubungan-hubungan hukum yang terjadi, arti akta otentik itu sendiri, serta posisi dari Notaris sebagai pejabat umum yang menyatakan perbuatan hukum para pihak itu ke dalam sebuah akta. Oleh karena itu, akta yang dibuat oleh seorang Notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan agar tercapai sifat otentik dari akta itu sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN).136 b. Kewenangan Notaris Notaris

dalam

menjalankan

jabatannya

mempunyai

kewenangan tersendiri, yang diatur berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pada Bab III Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, dinyatakan bahwa : 137 (1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan / atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan 136 137

Ibid. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

71

Akta, semuanya itu sepanjang perbuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula : a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus ; b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus ; c. Membuat kopi dari surat asli dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan ; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta ; f. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan ; g. Membuat Akta risalah lelang. (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam perundang-undangan. Berdasarkan pasal tersebut di atas jelas bahwa Notaris sebagai pejabat umum yang melaksanakan tugas dan jabatan memberikan pelayanan publik atau pelayanaan kepada masyarakat untuk membuat akta autentik, disamping itu Notaris juga bertugas untuk melakukan pendaftaran dan mengesahkan surat yang dibuat di bawah tangan. Selain itu, Notaris juga bertugas untuk memberikan nasihat dan penjelasan mengenai undang-undang kepada para pihak yang bersangkutan serta memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. Kewenangan utama Notaris adalah membuat akta autentik, tapi tidak semua pembuatan akta autentik menjadi kewenangan Notaris, misalnya akta kelahiran, akta kematian, akta perkawinan, dan perceraian yang dibuat oleh pejabat lain selain Notaris. Akta yang dibuat Notaris tersebut hanya akan menjadi akta autentik, apabila

72

Notaris mempunyai kewenangan yang meliputi 4 (empat) hal, yaitu : 138 1) Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuatnya itu. Hal ini sesuai dengan pasal 15 ayat (1) UUJN, yang memuat ketentuan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang dapat membuat akta yang ditugaskan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan. 2) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Pasal 52 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. Maksud dan tujuan dari ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya tindakan memihak dan penyalahgunaan jabatan. 3) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat. Menurut Pasal 18 UUJN, Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah Kabupaten/Kota. Wilayah Jabatan Notaris meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Akta yang dibuat di luar jabatannya adalah tidak sah. 4) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris tidak boleh membuat akta selama ia masih cuti atau dipecat dari jabatannya, demikian juga Notaris tidak boleh membuat akta sebelum ia memangku jabatannya. 138

G.H.S. Lumban Tobing, op. cit., hlm. 49-50.

73

Mengenai Kewenangan Notaris yang tersebut dalam pasal 15 ayat (1) sampai dengan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, dapat dibagi menjadi : 1) Kewenangan Umum Notaris. Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, menegaskan bahwa salah satu kewenangan Notaris yaitu membuat akta secara umum, hal ini disebut kewenangan umum Notaris dengan batasan sepanjang : a) Tidak dikecualikan lain kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang. b) Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan. c) Mengenai subyek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan. 2) Kewenangan khusus Notaris. Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, mengatur tentang kewenangan khusus Notaris untuk melakukan tindakan tertentu. 3) Kewenangan Notaris yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Pasal 15 ayat (3) Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, merupakan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

74

c. Akta Notaris Pengertian dari Akta Notaris tercantum dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 7 dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor

2

Tahun

2014

Tentang

Perubahan

Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah Akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini, (maksudnya yaitu UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Mengenai akta Notaris, ada 2 (dua) jenis akta yang dibuat oleh Notaris dalam prakteknya, yaitu : 139 1) Akta yang dibuat oleh (door) Notaris disebut akta relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. 2) Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan)Notaris, disebut akta pihak (akta partij), yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan notaris, di mana para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. Sebagaimana fungsi akta pada umumnya, maka akta notaris memiliki dua fungsi yaitu : 1) Fungsi Formil (Formalitas Causa) Fungsi formil suatu akta berarti bahwa untuk lengkap atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, maka harus dibuatkan suatu akta atas perbuatan hukum tersebut. Para 139

Ibid, hlm. 51.

75

pihak yang melakukan suatu perbuatan hukum tersebut. Para pihak yang melakukan suatu perbuatan hukum harus membuatnya dalam bentuk tertulis, baik akta otentik maupun akta di bawah tangan. 2) Fungsi Alat Bukti (Probationis Causa) Sejak semula para pihak dengan sengaja membuat akta (autentik ataupun di bawah tangan) untuk suatu pembuktian di kemudian hari. Sifat tertulis suatu perjanjian tidaklah membuat sahnya suatu perjanjian, akan tetapi agar akta yang dibuat dapat dipergunakan sebagai alat bukti apabila timbul perselisihan di kemudian hari. Sebagai suatu akta yang otentik maka akta Notaris itu memiliki kekuatan pembuktian yang lengkap. Bukti lengkap ialah bukti yang sedemikian, sehingga hakim memperoleh kepastian yang cukup (genoegzaam) untuk mengabulkan akibat hukum

yang

dituntut

oleh

penggugat,

tanpa

mengurangi

kemungkinan ada bukti tentang kebalikannya. Akta Notaris sebagai akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah, formil dan materil, dimana hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 140 1)

Kekuatan pembuktian lahiriah mengandung arti bahwa akta itu sendiri mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta autentik, karena kehadirannya sesuai dan menurut peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Demikian pula akta-akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah karena akta-akta itu sendiri mempunyai kekuatan untuk membuktikan dirinya sebagai akta autentik yaitu karena kelahirannya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, dari pejabat yang membuatnya, jenis akta yang dibuatnya, kewenangan pembuat aktanya, bentuk aktanya dan sifat aktanya semuanya diatur dalam peraturan perundang-undangan.

140

Putri A.R., loc.cit., hlm. 38-39.

76

2)

Kekuatan pembuktian formil itu mempermasalahkan mengenai benar atau tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu, jadi Notaris menyatakan dalam tulisan itu bahwa apa yang dinyatakan dalam akta itu, sehingga kekuatan pembuktian formil akta autentik menjamin kebenaran tentang tanggal akta, tempat akta tersebut dibuat, komparan dan tanda tangan yang berlaku terhadap setiap orang. Demikian juga pada akta Notaris sebagai akta autentik yang merupakan akta para pihak, bagi siapapun telah pasti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan menyatakan seperti apa yang tertulis di atas tanda tangan mereka. Dari hal yang diuraikan di atas, memberikan kepastian bahwa akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian formil.

3)

Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pembuktian tentang materi atau isi suatu akta dan memberikan kepastian tentang peristiwa atau kejadian bahwa pejabat dan para pihak melakukan atau melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu. Terhadap akta yang dibuat oleh Notaris atau akta relaas, sebagai akta autentik, tidak lain hanya membuktikan apa yang disaksikan yakni yang dilihat, didengar dan dilakukan sendiri oleh Notaris itu dalam menjalankan jabatannya. Sedangkan akta para pihak menurut undang-undang merupakan bukti bagi mereka dan ahli warisnya dan sekalian orang-orang yang mendapat hak darinya. Demikian pula pada akta-akta yang dibuat dihadapan Notaris, mempunyai kekuatan pembuktian materil oleh karena peristiwa atau perbuatan hukum yang dinyatakan oleh para pihak dan dikonstatir oleh Notaris dalam akta itu adalah benar-benar terjadi dan akta notaris sebagai akta autentik yang berupa akta para pihak (akta partij), maka isi dan keterangan ataupun perbuatan hukum yang tercantum dalam akta itu berlaku terhadap orang-orang yang

77

memberikan keterangan itu dan untuk

keuntungan serta

kepentingan siapa akta itu diberikan. Menurut Habib Adjie, Akta Notaris itu mempunyai karakter yuridis sebagai berikut : 141 1)

Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh UUJN.

2)

Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak dan bukan keinginan Notaris.

3)

Meskipun dalam Akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam hal ini Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum di dalam akta.

4)

Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapapun terikat dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta tersebut.

5)

Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.

d. Kedudukan Hukum Akta Notaris Kedudukan hukum Akta Notaris adalah sebagai alat bukti yang sempurna. Dalam proses penyidikan, akta notaris dapat digunakan sebagai alat bukti. Suatu akta notaris agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, hendaknya dalam pembuatannya harus memenuhi semua ketentuan prosedur dan tata cara pembuatan akta notaris yang sudah diatur dan sesuai dengan Undang-Undang Jabatan 141

Habib Adjie, loc.cit, hlm. 71-72.

78

Notaris. Jika prosedur dan tata cara mengenai pembuatan akta notaris ada bisa dibuktikan ada yang tidak memenuhi ketentuan dalam UndangUndang Jabatan Notaris, maka kedudukan akta notaris tersebut sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Dengan demikian akta notaris yang terdegradasi menjadi akta di bawah tangan tersebut sudah tidak lagi menjadi akta autentik dan sudah tidak mempunyai pembuktian yang sempurna sebagaimana akta notaris. Menurut Hukum Acara Perdata pada akta notaris melekat nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat, artinya apabila akta notaris yang diajukan telah memenuhi syarat formil dan materiil serta tidak ada bukti sebaliknya, maka akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, sehingga kebenaran isi yang tercantum di dalamnya harus dianggap benar oleh Hakim. Dengan nilai kekuatan pembuktian yang sempurna, akta notaris dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan alat bukti lainnya. Menurut Hukum Acara Pidana pada akta notaris melekat nilai pembuktian bebas, artinya pada akta notaris tidak melekat kekuatan yang mengikat. Di sini Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktian pada akta notaris, karena batal minimal pembuktian dalam Hukum Acara Pidana adalah sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam proses penyidikan alat bukti surat (akta notaris) dari segi formal, akta notaris adalah alat bukti yang sah dan sempurna, sedangkan dari segi materiil alat bukti surat (akta notaris) harus dibantu lagi dengan dukungan paling sedikit 1 (satu) alat bukti yang lain guna memenuhi apa yang sudag ditentukan oleh asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam pasal 183 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Akibat hukum terhadap akta notaris yang memuat keterangan palsu, apabila pihakyang mendalilkan dapat membuktikannya maka akta

79

notaris tersebut batal demi hukum. Adapun perjanjian yang tertulis di dalam akta tersebut juga batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat objektif yaitu sebab (causa) yang halal atau dapat dibatalkan karena tidak memebuhi syarat subyektif suatu perjanjian.

4. Teori Penerapan Hukum Teori Maqasid Al-Syari’ah dikemukakan dan dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi, yaitu tujuan akhir hukum adalah maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan manusia. Semua hukum Allah pasti ada tujuan, tidak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Hukum-hukum Allah yang terdapat di dalam Al Qur‟an dan Al Hadits mengandung kemaslahatan.142 Hukum Islam merupakan sistem hukum yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia di dunia sekaligus juga di akhirat. Maqasid Al-Syari’ah dapat diartikan sebagai tujuan hukum Islam. Tujuan hukum Islam yang diturunkan oleh Allah SWT, yaitu kemaslahatan umat manusia. Bagaimana kandungan hukum Allah itu dapat diekspresikan dengan aspirasi hukum manusia yang manusiawi. Bahkan

kandungan

Maqasid

Al-Syari’ah

adalah

kemaslahatan.

Kemaslahatan itu melalui analisis Maqasid Al-Syari’ah tidak hanya dilihat dalam arti teknis belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum dilihat sebagai suatu yang mengandung nilai filosofis dari hukum-hukum yang disyariatkan Allah terhadap manusia.143 Teori Maqasid Al-Syari’ah biasanya dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan masyarakat yang mengetahui dan memahami bahwa yang menciptakan manusia adalah Allah SWT. Demikian juga yang 142

Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqasid Al-Syari’ah, (Disertasi Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1994), hlm. 96. 143 Ibid.

80

menciptakan hukum-hukum yang termuat di dalam Al Qur‟an adalah Allah SWT. Berdasarkan pemahaman tersebut, akan muncul kesadaran bahwa yang paling mengetahui semua hukum yang dibutuhkan manusia adalah Allah SWT, baik yang berhubungan dengan kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Kesadaran hukum pihak pemerintah dan masyarakat tersebut,

akan

dapat

melahirkan

keyakinan

untuk

menerapkan

hukum Allah SWT, apabila menginginkan terwujudnya kebaikan dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia.144

B. Penelitian Yang Relevan Berdasarkan riset yang telah dilakukan penulis, ada beberapa penelitian yang relevan dengan tema atau topik akan akan penulis teliti. Penelitian yang relevan dengan apa yang hendak di teliti penulis diantaranya : 1) Penelitian Hukum yang dilakukan oleh Susiawati, dengan judul Pelaksanaan Tashaluh Dalam Pembagian Warisan Pada Masyarakat Muslim Banjarsari Ciamis, berupa Tesis dari Magister Kenotariatan Universitas Gajah Mada Yogyakarta, tahun 2008. Ringkasan isi : -

Penelitian

ini membahas tentang pelaksanaan pembagian warisan

yang dilakukan pada masyarakat muslim Banjarsari Ciamis, yang dilakukan dengan tashaluh. Penelitian ini berupa tesis yang merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis empiris, yang menitikberatkan pada penelitian lapangan (data yang diperoleh di lapangan). Selain itu juga memanfaatkan data-data dari kepustakaan. Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Banjarsari, Ciamis. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat muslim di Kecamatan Banjasari, Ciamis yang pernah melaksanakan pembagian waris Islam

secara

tashaluh. 144

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Edisi 1, Cetakan ke- 4, 2013, hlm. 107.

81

-

Hasil dari penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa pelaksanaan tashaluh dalam pembagian warisan pada masyarakat muslim Banjarsari, Ciamis belum sepenuhnya sesuai dengan Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Perbedaan penelitian hukum ini dengan penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis : -

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Susiawati

tersebut jenis

penelitiannya yaitu penelitian hukum Empiris (Yuridis Empiris) dengan obyek penelitiannya mengenai pelaksanaan pembagian warisan pada masyarakat Muslim Banjarsari Ciamis dengan cara Tashaluh (damai) dengan hasil belum sesuai dengan Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sedangkan jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu penelitian hukum Normatif (Yuridis Normatif) dengan obyek yang diteliti yaitu Akta autentik yang dibuat di hadapan Notaris (akta Notaris) yang isinya mengenai pembagian warisan yang dilakukan oleh para ahli waris dengan cara damai (Ash-Shulh atau Tashaluh) berdasarkan hukum Islam. 2) Penelitian Hukum yang dilakukan oleh Maryani, dengan judul : Akta Notariil Sebagai Salah Satu Bukti Penyelesaian Kewarisan Bagi OrangOrang Islam, berupa Tesis dari Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), tahun 2002. Ringkasan isi : -

Penelitian hukum tersebut membahas tentang penyelesaian perkara kewarisan bagi orang-orang beragama Islam. Islam telah mengatur tentang tata cara pembagian harta peninggalan atau harta warisan tersebut dari pewaris kepada ahli warisnya sedemikian rupa sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan agar hak-hak yang seharusnya diterima ahli waris dapat dilaksanakan sesuai dengan bagian masingmasing. Pelaksanaan pewarisan tersebut memerlukan bukti-bukti yang otentik yang sah, yang dibuat Notaris. Notaris berdasarkan peraturan perundang-undangan adalah merupakan satu-satunya pejabat umum

82

yang berwenang untuk mengeluarkan akta autentik, salah satunya dalam hal ini adalah dengan membuat akta pemisahan dan pembagian Harta Peninggalan atau Harta Warisan. -

Hasil penelitian yang diperoleh adalah dalam menyelesaikan perkara warisan bagi orang-orang beragama Islam tidak harus dengan melalui jalur

pengadilan

tapi

bisa

melalui

Notaris

untuk

meminta

penyelesaian perkara kewarisan tersebut dengan cara mengadakan pembagian terhadap harta peninggalan atau harta warisan pewaris yang dituangkan ke dalam sebuah akta autentik yang dibuat oleh Notaris. Akta Notaris atau akta notariil yang dibuat tersebut yaitu akta pemisahan dan pembagian harta peninggalan. Akta ini biasanya berlaku dan dikenal bagi orang-orang yang tunduk pada Hukum Perdata Barat. Namun bisa juga diperuntukkan bagi orang-orang yang beragama Islam dalam menyelesaikan perkara pewarisan menurut hukum Islam. Hanya saja belum begitu banyak orang-orang Islam yang belum mengetahui. Perbedaan penelitian hukum ini dengan penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis yaitu : -

Mengenai permasalahan yang diteliti. Penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis mengkaji permasalahan tentang kewenangan Notaris dalam membuat akta autentik mengenai pembagian warisan yang dilakukan para ahli waris menurut hukum Islam berdasarkan kesepakatan damai, sedangkan penelitian hukum yang dilakukan oleh Maryani dalam tesisnya tersebut mengkaji tentang fungsi akta Notariil sebagai

salah

satu

bukti

dan

upaya

untuk

menyelesaikan

permasalahan atau perkara kewarisan bagi orang-orang yang beragama Islam melalui jalur di luar Pengadilan. 3) Penelitian Hukum yang dilakukan oleh Risanti Rosalina, S.H., dengan judul : Akta Notariil Pembagian Waris Sama Rata Antara Anak Laki-Laki Dan

Perempuan

Menurut

Hukum

Islam,

Tesis

Program

Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, tahun 2011.

Studi

83

Ringkasan isi : -

Penelitian ini membahas tentang pembagian warisan yang dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam menurut hukum Islam dengan pembagian sama rata antara ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan, yang dilaksanakan atas dasar kesepakatan, para ahli waris mengadakan

upaya

perdamaian

pembagian

waris

berdasarkan

kehendak bersama, yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah akta autentik

yang

dibuat

di

hadapan

Notaris.

Tugas

Notaris

menformulasikan keinginan para pihak ke dalam akta otentik berupa akta Notaris dengan memperhatikan aturan dan norma hukum yang berlaku. -

Hasil dari penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik sesuai dengan tugas jabatannya menformulasikan keinginan atau kehendak para pihak yang dalam hal ini ahli waris anak laki-laki dan perempuan dalam membagi warisan dengan pembagian sama rata ke dalam akta notaris (Notariil). Akta Notaris yang subtansinya tentang perdamaian pembagian waris adalah kehendak para pihak yang harus dihormati dan merupakan intisari dari tujuan syariah yaitu kemaslahatan. Perbedaan penelitian hukum ini dengan penelitian hukum yang diteliti oleh penulis : -

Penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis subtansinya tentang analisis akta Notaris mengenai pembagian warisan menurut hukum Islam dihubungkan dengan kewenangan Notaris dalam membuat akta autentik mengenai pembagian warisan tersebut, sedangkan penelitian hukum yang dilakukan oleh Risanti Rosalina, S.H., dalam tesisnya tersebut subtansinya hanya mengenai perdamaian pembagian warisan sama rata antara anak laki-laki dan anak perempuan menurut hukum Islam.

84

C. Kerangka Berpikir

Dalam kajian ini, Penulis telah menetapkan suatu kerangka berpikir yang diharapkan nantinya dapat menjadi panduan dalam melakukan analisis terhadap rumusan permasalahan yang telah ditetapkan, sehingga akan dapat menghasilkan kajian yang tepat. Adapun kerangka berpikir tersebut adalah sebagai berikut :

PEWARIS (MENINGGAL DUNIA) PRIBUMI, BERAGAMA ISLAM

MENINGGALKAN HARTA PENINGGALAN ( WARISAN ) BERUPA TANAH DAN BANGUNAN RUMAH

AHLI WARIS BERAGAMA ISLAM ( MENGAJUKAN PERMOHONAN PENETAPAN PENGADILAN AGAMA ) )

MUSYAWARAH PEMBAGIAN HARTA WARISAN

PEMBAGIAN WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DI HADAPAN NOTARIS

AKTA PEMBAGIAN WARISAN YANG DIBUAT DIHADAPAN NOTARIS ( AKTA NOTARIS )

TERCIPTANYA MASLAHAH (TEORI MAQASID AL-SYARI‟AH ) ( TERCIPTANYA MASLAHAH )

ANALISIS AKTA NOTARIS

85

Keterangan kerangka pemikiran :

Dari bagan di atas, penulis ingin menjelaskan secara sederhana, bahwa penelitian ini diawali dengan melihat suatu peristiwa hukum di dalam kehidupan sehari-hari yaitu kematian seseorang (pewaris) yang beragama Islam yang meninggalkan harta peninggalan (harta warisan) berupa tanah dan bangunan, kepada ahli warisnya yang kesemuanya beragama Islam juga. Penentuan atau penetapan sebagai ahli waris yang berhak mewaris atas harta peninggalan (harta warisan) dari pewaris yaitu dengan mengajukan permohonan penetapan ahli waris ke Pengadilan Agama dengan mengajukan bukti-bukti sebagai ahli waris. Setelah

Pengadilan

Agama

mengeluarkan

Salinan

Penetapan

Pengadilan Agama yang isinya menetapkan mengenai siapa saja yang berhak dan sah menjadi ahli waris dari pewaris, kemudian para ahli waris bermusyawarah dalam melaksanakan pembagian terhadap harta peninggalan (harta warisan) yang telah ditinggalkan oleh pewaris. Para ahli waris bersepakat membagi harta warisan dengan hukum waris Islam, dengan tujuan agar tercipta

keadilan berdasarkan

maslahah dan kemudian

menghendaki pembagian warisan tersebut bisa dituangkan ke dalam sebuah akta autentik agar bisa menjadi pedoman para ahli waris atau para pihak serta dapat menjadi alat bukti di kemudian hari jika terjadi masalah atau perselisihan diantara para ahli waris. Akta autentik tesebut dibuat di hadapan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuatnya sesuai dengan jabatannya sesuai yang telah diatur dalam undang-undang tentang jabatan notaris. Para ahli waris datang ke Notaris untuk minta dibuatkan sebuah akta notaris mengenai pembagian warisan terhadap harta warisan yang ditinggalkan pewaris dengan dasar salinan resmi penetapan sebagai ahli waris dari Pengadilan Agama Surakarta. Kemudian Notaris menformulasikan dan menuangkan kehendak para ahli waris mengenai pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris dengan obyek berupa tanah dan bangunan

86

tersebut ke dalam sebuah Akta Notaris berupa Akta Pemisahan dan Pembagian Harta Warisan. Dalam penelitian ini penulis akan menganalisis dan mengkaji akta pembagian warisan tersebut menurut hukum Islam, dengan judul Akta Pemisahan dan Pembagian Harta Warisan, Nomor : 03, tanggal 15 Desember 2014, yang dibuat di hadapan salah satu Notaris di Kota Surakarta.