13 II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1 Limbah Ternak Sapi Potong Limbah ternak sapi potong adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan sapi potong. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit, lemak, darah, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dll (Sihombing, 2000). Namun, limbah peternakan sapi potong umumnya berupa feses. Feses sapi potong merupakan buangan dari usaha peternakan sapi potong yang bersifat padat dan dalam proses pembuangannya sering bercampur dengan urine dan gas seperti metana dan amoniak. Kandungan unsur hara dalam feses sapi bervariasi tergantung pada keadaan tingkat produksinya, macam, jumlah makanan yang dimakannya, serta individu ternak sendiri (Abdulgani 1988). Kandungan unsur hara dalam feses sapi antara lain nitrogen (0,29 %), P2O5 (0,17 %), dan K2O (0,35%) (Hardjowigeno 2003). Pupuk kandang berupa feses sapi, babi, dan unggas hampir 100 % menyumbangkan unsur P dan K yang dikandungnya ke dalam tanah. Feses sapi lebih efektif dari pada feses unggas dalam menurunkan bobot isi tanah (Rahman 2007). Feses sapi yang tinggi kandungan hara dan energinya berpotensi untuk dijadikan bahan baku penghasil biogas. Menumpuknya limbah peternakan sampai dengan kapasitas tertentu akan menimbulkan dampak negatif antara lain berupa peningkatan populasi mikroba patogen sehingga mengakibatkan terjadinya pencemaran air, tanah dan pencemaran udara karena debu infektious serta bau yang kurang sedap. Banyak negara
14 berkembang menggunakan kotoran ternak sebagai bahan bakar, sehingga menimbulkan polusi asap yang mengakibatkan gangguan kesehatan. Akhir-akhir ini mulai menjadi perhatian karena terjadinya emisi gas metan dan karbondioksida yang dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya efek rumah kaca sehingga akan mempengaruhi perubahan iklim secara global. Proses digesti anaerob untuk pengolahan limbah peternakan tersebut dirasa akan memberikan beberapa keuntungan antara lain menurunkan nilai COD dan BOD, total solid, volatile solid, nitrogen nitrat, dan nitrogen organik. Di samping juga populasi bakteri coliform dan patogen, telur insekta, parasit dan bau relatif dapat diturunkan atau bahkan dihilangkan. (Yazid M, dkk 2011). Permasalahan limbah ternak, khususnya feses dapat diatasi dengan memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar biogas. Kotoran ternak ruminansia khususnya sapi potong baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biogas. (Sutarno, dkk 2007).
2.2 Biogas Biogas adalah campuran berbagai macam gas yang susunannya tergantung pada komposisi bahan baku masukan. Sahidu (1983) mengungkapkan bahwa biogas adalah suatu campuran gas-gas yang dihasilkan dalam suatu proses pengomposan bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen (proses anaerob). Definisi lain menyebutkan bahwa biogas adalah campuran beberapa gas yang tergolong bahan bakar hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi
15 anaerob dan yang dominan adalah metana (CH4) dan gas karbondioksida (CO2) (Simamora et al. 2006). Biogas merupakan energi terbarukan yang fleksibel, dapat menghasilkan panas, dan listrik sebagai pengganti bahan bakar kendaraan. Selain berupa energi terbarukan, proses perombakan anaerob menghasilkan pupuk berharga dan mengurangi emisi serta bau yang tak sedap. Biogas bersifat bersih,tidak berasap hitam seperti kayu bakar dan minyak tanah. Selain itu derajat panasnya lebih tinggi dari bahan bakar minyak tanah dan kayu bakar serta dapat disimpan untuk penggunaan yang akan datang (Darminto1984). Produksi biogas didasarkan pada perombakan anaerob feses hewan danbahan buangan organik lainnya. Selama perombakan anaerob akan menghasilkan gas metana 54 -70 %, karbondioksida 2545%, hidrogen, nitrogen, dan hidrogen sulfida dalam jumlah yang sedikit (Simamora et al.2006). Biogas
berbeda
dari
sumber-sumber
energi
terbarukan
lainnya.
Keuntungannya terkait dengan pengendalian dan pengumpulan limbah bahan organik, yaitu pada saat yang sama dihasilkan pupuk dan air untuk pemakaian kembali irigasi pertanian. Biogas dapat digunakan untuk berbagai keperluan sesuai dengan sifat gas alam. Pemanfaatan biogas dalam teknologi mesin internal (mesin berbahan bakar gas) sangat andal dan telah berkembang. Ribuan mesin berbahan bakar gas telah dioperasikan di areal pengolahan limbah dan pembangkit biogas (ACE 2005). Pemanfaatan biogas sebagai bahan bakar kendaraan digunakan mesin yang sama konstruksinya dengan kendaraan mesin berbahan bakar gas alam. Terdapat lebih dari tiga juta kendaraan berbahan bakar gas alam di dunia dan sekitar 1000 kendaraan mobil dan bus berbahan bakar biogas. Ini menunjukkan bahwa
16 konstruksi kendaraan menggunakan biogas sebagai bahan bakarkendaraan tidak bermasalah (IEA 2002).
Tabel 1. Komposisi biogas hasil fermentasi feses sapi potong Jenis Gas Metana (CH4) Karbon dioksida (CO2) Nitrogen (N2) Oksigen (O2) Propena (C3H8) Hidrogen sulfida (H2S) (Simamora et al. 2006)
Konsentrasi biogas (%) 65,7 27,0 2,3 0,1 0,7 -
2.2.1 Dasar-Dasar Teknologi Biogas Biogas adalah gas mudah terbakar (flammable) yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara). Pada umumnya semua jenis bahan organik bisa diproses untuk menghasilkan biogas, namun demikian hanya bahan organik (padat, cair) homogen seperti feses dan urine (air kencing) hewan ternak yang cocok untuk sistem biogas sederhana. Disamping itu juga sangat mungkin menyatukan saluran pembuangan di kamar mandi atau WC ke dalam sistem biogas. Di daerah yang banyak industri pemrosesan makanan antara lain tahu, tempe, ikan pindang atau brem bisa menyatukan saluran limbahnya ke dalam sistem biogas, sehingga limbah industri tersebut tidak mencemari lingkungan di sekitarnya. Hal ini memungkinkan karena limbah industri tersebut diatas berasal dari bahan organik yang homogen. Jenis bahan organik yang diproses sangat mempengaruhi produktivitas sistem
17 biogas disamping parameter-parameter lain seperti temperatur digester, pH, tekanan dan kelembaban udara (Rusdi, 1994). Salah satu cara menentukan bahan organik yang sesuai untuk menjadi bahan masukan sistem biogas adalah dengan mengetahui perbandingan Karbon (C) dan Nitrogen (N) atau disebut rasio C/N. Beberapa percobaan yang telah dilakukan oleh intial surface absorption test (ISAT) menunjukkan bahwa aktivitas metabolisme dari bakteri metanogenik akan optimal pada nilai rasio C/N sekitar 8-20. Bahan organik dimasukkan ke dalam ruangan tertutup kedap udara (disebut digester) sehingga bakteri anaerob akan membusukkan bahan organik tersebut yang kemudian menghasilkan gas (disebut biogas). Biogas yang telah terkumpul di dalam digester selanjutnya dialirkan melalui pipa penyalur gas menuju tabung penyimpan gas atau langsung ke lokasi penggunaannya (Rahman, 2005). Gas methan dapat dipergunakan untuk menggerakkan turbin yang menghasilkan energi listrik, menjalankan kulkas, mesin tetas, traktor, dan mobil. Secara sederhana, gas methan dapat digunakan untuk keperluan memasak dan penerangan menggunakan kompor gas sebagaimana halnya elpiji (Rahman, 2005) Menurut Hambali et al. (2007:57-61) bahwa ada tiga jenis bahan baku yang prospektif untuk dikembangkan sebagai bahan baku biogas, diantaranya feses hewan dan manusia, sampah organik dan limbah cair. a. Feses Hewan dan Manusia Pemanfaatan feses ternak dan manusia sebagai bahan baku biogas akan mengatasi beberapa permasalahan yang timbul akibat feses tersebut bila dibandingkan limbah lain yang menumpuk tanpa pengolahan. Feses hewan yang menumpuk akan mencemari lingkungan. Jika feses tersebut terbawa air masuk
18 kedalam tanah atau sungai. Sebagai bahan baku biogas, ketersediaan feses hewan sangat melimpah. Hewan-hewan tersebut diperlihara baik dalam jumlah besar di peternakan maupun dipelihara secara individu dalam jumlah kecil oleh rumah tangga. Berdasarkan hasil estimasi, seekor sapi dalam satu hari dapat menghasilkan feses sebanyak 10 - 30 kg, seekor ayam menghasilkan feses 25 gram per hari dan seekor babi dewasa menghasilkan feses 4,5 – 5,3 kg per hari. Berdasarkan hasil riset yang pernah ada diketahui bahwa setiap 10 kg feses ternak sapi berpotensi menghasilkan 360 liter biogas dan 20 kg feses babi menghasilkan 1,379 liter biogas. b. Sampah Organik Padat Secara garis besar, sampah dibedakan menjadi tiga jenis yaitu anorganik, organik dan khusus. Sampah organik berasal dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan, kegiatan rumah tangga, industri dan kegiatan lainnya. Sampah organik ini dengan mudah dapat diuraikan dalam proses alami. Potensi sampah di Indonesia sangat besar. Khususnya untuk rumah tangga, jumlah yang dihasilkan pada tahun 2020 diperkirakan akan meningkat 5 kali lipat. Diprediksi peningkatan tersebut bukan saja karena pertambahan penduduk, tetapi juga karena meningkatnya timbunan sampah perkapita yang disebabkan oleh perbaikan tingkat ekonomi dan kesejahteraan. Berdasarkan hasil penelitian, pembuatan biogas dari sampah organik menghasilkan biogas dengan komposisi metan 51,33 – 58,18% dan gas CO 41,82 – 48,67% campuran sampah organik tersebut dengan feses dapat meningkatkan komposisi metan dalam biogas. c. Limbah Organik Cair
19 Limbah cair merupakan sisa pembuangan yang dihasilkan dari suatu proses yang sudah tidak dipergunakan. Kegiatan-kegiatan yang berpotensi sebagai penghasil limbah cair antara lain kegiatan industri, rumah tangga, peternakan, dan pertanian. Saat ini kegiatan rumah tangga mendominasi jumlah limbah cair dengan persentase sekitar 40 % dan diikuti oleh limbah industri 30% dan sisanya limbah rumah sakit, pertanian, peternakan, atau limbah lainnya. Komponen utama limbah cair adalah air (99%) sisanya yaitu bahan padat yang bergantung pada asal buangan tersebut. Tidak semua limbah cair dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas, hanya limbah cair organik yang dapat digunakan sebagai bahan baku biogas. Limbah tersebut diantaranya urin hewan, limbah cair rumah tangga, dan limbah cair industri seperti, industri tahu, tempe, tapioka, brem dan rumah potong hewan. Pengolahan limbah cair untuk biogas dilakukan dengan mengumpulkan limbah cair dengan digester anaerob yang diisi dengan media penyangga yang berfungsi sebagai tempat hidup bakteri anaerob.
2.2.2 Proses Pembentukan Biogas Gas metana diperoleh melalui dekomposisi yang berjalan tanpa kehadiran udara (anaerob). Tingkat keberhasilan pembuatan biogas sangat tergantung pada proses yang terjadi dalam dekomposisi tersebut. Salah satu kunci dalam proses dekomposisi secara anaerob pada pembuatan biogas adalah kehadiran mikroorganisme. Biogas dapat diperoleh dari bahan organik melalui proses “kerja sama” dari tiga kelompok mikroorganisme anaerob. Pertama, kelompok mikroorganisme yang dapat menghidrolisis polimerpolimer organik dan sejumlah lipid menjadi monosakarida, asam-asam lemak, asam-asam amino, dan senyawa kimia sejenisnya.
20 Kedua, kelompok mikroorganisme yang mampu memfermentasi produk yang dihasilkan kelompok mikroorganisme pertama menjadi asam-asam organik sederhana seperti asam asetat, dikenal sebagai mikroorganisme penghasil asam (acidogen). Ketiga, kelompok mikroorganisme yang mengubah hidrogen dan asam asetat hasil pembentukan acidogen menjadi gas metan dan karbondioksida dikenal dengan nama metanogen. Metanogen terdapat dalam feses sapi. Lambung (rumen) sapi merupakan tempat yang cocok bagi perkembangan metanogen. Gas metana alami dihasilkan di dalam lambung sapi tersebut. Proses pembuatan biogas tidak jauh berbeda dengan proses pembentukan gas metan dalam lambung sapi. Pada prinsipnya, pembuatan biogas adalah menciptakan gas metan melalui manipulasi lingkungan yang mendukung bagi proses perkembangan metanogen seperti yang terjadi dalam lambung sapi. Metanogen membutuhkan kondisi lingkungan yang optimal untuk dapat memproduksi gas metana : 1. Proses pembuatan biogas dari feses sapi haru dilakukan dalam sebuah reaktor atau digester yang tertutup rapat untuk menghindari masuknya oksigen (anaerob). 2. Reaktor harus bebas dari kandungan logam berat dan sulfida (sulfides) yang dapat mengganggu keseimbangan mikroorganisme. 3. Gas metana diperoleh melalui komposisi metanogen yang seimbang. Jika jumlah metanogen dalam feses sapi masih dinilai kurang, maka perlu dilakukan penambahan metanogen tambahan berbentuk strater atau substrat ke dalam reaktor. 4. Metanogen dapat berkembang dengan baik dalam lingkungan cair (aqueous) dengan pH 6,5 sampai 7,5 dan temperatur 35oC. Metanogen cukup sensitif dengan temperatur. Temperatur 35oC diyakini sebagai temperatur optimum untuk perkembangbiakan bakteri metan. Awalnya bahan-bahan organik ditampung
21 terlebih dahulu dalam suatu kotak beton/bata/besi. Dibutuhkan waktu lebih kurang dua minggu sampai satu bulan sebelum dihasilkan gas awal. Campuran tersebut selalu ditambah setiap hari dan sesekali diaduk. Di dalam kotak ini, terjadi proses perombakan feses ternak menjadi bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob). Mikroba yang bekerja memperoleh makanan dari bahan organik berupa karbohidrat, lemak, protein, fosfor dan unsur-unsur mikro. Tahap-tahap proses pencernaan material organik: 1. Hidrolisis. Pada tahap ini, molekul organik yang komplek diuraikan menjadi bentuk yang lebih sederhana, seperti karbohidrat (simple sugars), asam amino, dan asam lemak. 2. Asidogenesis. Pada tahap ini terjadi proses penguraian yang menghasilkan amonia, karbon dioksida, dan hidrogen sulfida. 3. Asetagenesis. Pada tahap ini dilakukan proses penguraian produk acidogenesis; menghasilkan hidrogen, karbon dioksida, dan asetat. 4. Methanogenesis. Ini adalah tahapan terakhir dan sekaligus yang paling menentukan, yakni dilakukan penguraian dan sintesis produk tahap sebelumnya untuk menghasilkan gas methana (CH4). Hasil lain dari proses ini berupa karbon dioksida, air, dan sejumlah kecil senyawa gas lainnya.
2.2.3 Fermentasi Fermentasi merupakan proses penting dalam kehidupan sehari-hari manusia. Fermentasi berasal dari bahasa latin ferfere yang artinya mendidihkan, yaitu berdasarkan ilmu kimia terbentuknya gas-gas dari suatu cairan kimia yang pengertiannya berbeda dengan air mendidih. Gas yang terbentuk diantaranya karbon dioksida (Herlina 2002). Fermentasi secara umum dapat dinyatakan sebagai
22 proses katabolisme, yaitu suatu pemecahan senyawa organik yang kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana. Fermentasi terbagi menjadi dua berdasarkan kebutuhan akan oksigen, yaitu fermentasi aerob dan anaerob. Fermentasi aerob adalah fermentasi yang prosesnya memerlukan oksigen. Keberadaan oksigen membuat mikroorganisme dapat mencerna glukosa menghasilkan air, karbondioksida dan sejumlah besar energi. Fermentasi dalam proses anaerob tidak memerlukan oksigen (Pringgomulyo & Wardoyo 1980). Ada berbagai produk metabolit yang bisa dihasilkan dalam proses fermentasi, antara lain berbagai jenis asam (asam laktat, asetat, etanol, asam volatil), alkohol, protein, dan ester. Produk hasil fermentasi dapat diubah lebih lanjut melalui proses fermentasi lain untuk menghasilkan produk akhir yang lain seperti gas hidrogen (Zaborsky 1998). Fermentasi asam laktat dari satu molekul glukosa menghasilkan dua molekul ATP. Bakteri Streptococcus lactis dapat menguraikan glukosa menjadi asam laktat sedangkan bakteri Escherichia coli merupakan bakteri anaerob fakultatif yang dapat melakukan respirasi aerob dan fermentasi yang menghasilkan beberapa produk, yaitu asam laktat, asam format, (Sirait 2007).
Ilustrasi 1. Fermentasi asam laktat oleh S.lactis
23 2.3 Reaktor Biogas Instalasi biogas dapat dibuat dengan teknologi sederhana yang akan mampu dikuasai oleh rumah tangga peternak atau masyarakat setempat setelah sebelumnya diberikan sosialisasi dan pelatihan dalam membuat instalasi biogas. Instalasi inti biogas meliputi : a. digester (reaktor biogas), berfungsi untuk menampung material organik (dalam hal ini feses ternak) dan sebagai tempat terjadinya proses penguraian material organik menjadi biogas; b. penampung biogas, berfungsi untuk menampung biogas yang dihasilkan dari digester; c. pipa saluran gas, berfungsi untuk mengalirkan biogas yang dihasilkan dari digester; d. katup pengaman tekanan, berfungsi untuk mengamankan digester dari lonjakan tekanan
biogas yang berlebihan dimana bila tekanan biogas dalam tempat
penampung gas melebihi tekanan yang diijinkan maka biogas akan dibuang ke luar. Digester terdiri dari tiga komponen utama sebagai berikut: a. Saluran pemasukan (inlet) Saluran ini digunakan untuk memasukkan campuran feses ternak dan air ke dalam ruang fermentasi. b. Ruang digestion (ruang fermentasi) Ruang fermentasi berfungsi sebagai tempat terjadinya proses fermentasi yang menghasilkan biogas. Ruang ini dibuat kedap terhadap udara. c. Saluran pembuangan (outlet) Saluan ini digunakan untuk mengeluarkan feses/residu dari digester yang telah mengalami proses fermentasi oleh bakteri. Residu sudah tidak mengandung biogas.
24 Residu yang keluar pertama kali adalah feses yang pertama kali dimasukkan melalui saluran pemasukan.
Ilustrasi 2. Instalasi Biogas
Ada beberapa jenis reaktor biogas yang dikembangkan diantaranya adalah digester jenis kubah tetap (fixed-dome), digester terapung (floating drum), digester jenis balon, jenis horizontal, jenis lubang tanah, jenis ferrocement. Jenis digester biogas yang sering digunakan adalah jenis kubah tetap (fixed-dome) dan jenis drum mengambang (floating drum) (Aguilar, 2001) Dari segi konstruksi, reaktor biogas dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: reaktor kubah tetap (fixed-dome), reaktor floating drum, dan reaktor balon. Reaktor kubah (fixed-dome) disebut juga reaktor China. Dinamakan demikian karena reaktor ini dibuat pertama kali di China sekitar tahun 1930 an, kemudian sejak saat itu reaktor ini berkembang dengan berbagai model. Pada reaktor ini memiliki dua bagian yaitu digester sebagai tempat pencerna material biogas dan sebagai rumah bagi bakteri, baik bakteri pembentuk asam ataupun bakteri pembentuk gas metana. Bagian ini dapat dibuat dengan kedalaman
25 tertentu menggunakan batu, batu bata atau beton. Strukturnya harus kuat karna menahan gas agar tidak terjadi kebocoran. Bagian yang kedua adalah kubah tetap (fixed-dome). Dinamakan kubah tetap karena bentuknya menyerupai kubah dan bagian ini merupakan pengumpul gas yang tidak bergerak (fixed). Gas yang dihasilkan dari material organik pada digester akan mengalir dan disimpan di bagian kubah. Keuntungan dari reaktor ini adalah biaya konstruksi lebih murah daripada menggunakan reaktor terapung, karena tidak memiliki bagian yang bergerak menggunakan besi yang tentunya harganya relatif lebih mahal dan perawatannya lebih mudah. Kerugian dari reaktor ini adalah seringnya terjadi kehilangan gas pada bagian kubah karena konstruksi tetapnya.
Ilustrasi 3. Reaktor kubah tetap (fixed-dome)
2.3.1 Lama Waktu Penguraian (Hydraulic Retention Time) Lama proses (Hydraulic Retention Time-HRT) adalah jumlah hari proses pencernaan/digesting pada tangki anaerob terhitung mulai pemasukan bahan organik sampai proses awal pembentukan biogas dalam digester anaerob. HRT meliputi 70-80% dari total waktu pembentukan biogas secara keseluruhan. Lamanya waktu HRT sangat tergantung dari jenis bahan organik dan perlakuan
26 terhadap bahan organik (feedstoock substrate) sebelum dilakukan proses pencernaan/digesting diproses. Secara teoritis merupakan waktu material organik berada di dalam tangki digester. Selama proses ini terjadi pertumbuhan bakteri anaerob pengurai, proses penguraian matrial organic, dan stabilasi pembentukan biogas menuju kepada kondisi optimumnya. Secara keseluruhan, lama waktu penguraian (Hydraulic Retention Time-HRT) mencakup 70%-80% dari keseluruhan waktu proses pembentukan biogas bila siklus pembentukan biogas berjalan ideal yakni satu kali proses pemasukan matrial organik langsung mendapatkan biogas sebagai proses akhirnya. HRT dapat dirumuskan menjadi persamaan berikut:
HRT (days) =
Volume Digester (m3) Laju Penambahan Bahan Organik Harian ( m3/day)
Jika material padatan kering (Dry Matery-DM atau disebut juga Total SolidTS) berkisar 4-12 %, maka waktu penguraian optimum (Optimum Retention Time) berkisar 10-15 hari jika nilai DM lebih besar dari nilai persentasi matrial padatan kering di atas, berarti matrial organik memiliki konsentrasi lebih padat sehingga lama waktu penguraiain menjadi spesifik, sehingga berlaku persamaan lama waktu penguraian spesifik (specific retention time-SRT) berikut:
SRT =
Masa Padatan Organik dalam Digester Anaerob (kg) Laju Pembuangan Padatan Sisa Digester (kg/day)
27 Untuk bahan organik spesifik seperti diatas, laju penambahan limbah organik (Specific Loading Rate-SLR) dapat diketahui sebagai berikut:
SLR
(kg ODM)
=
(m3 – day)
Bahan Organik yang Ditambahkan (kg ODM/day) Volume Digester ( m3)
Kedalaman tangki digester sangat mempengaruhi nilai SLR dan bila parameter lain dapat dijaga pada kondisi ideal, nilai optimum SLR didapat berkisar 3-6 kg ODM/m3 –day.
2.4 Bakteri Coliform Bakteri coliform merupakan bakteri yang merupakan penghuni normal saluran pencernaan manusia dan hewan. Bakteri coliform adalah bakteri indikator keberadaan bakteri patogenik lain. Oleh karena itu bakteri ini digunakan sebagai bakteri indikator pencemaran oleh feses (Pelczar dan Chan, 1986). Bakteri yang termasuk ke dalam kelompok coliform adalah Escherichia coli, Edwardsiella, Citrobacter, Klebsiella, Enterobacter, Hafnia,
Serratia,
Proteus,Arizona,
Providence, Pseudomonas dan Bacil paracolon (Marlina, 2009). Selain itu, mendeteksi coliform jauh lebih murah, cepat, dan sederhana daripada mendeteksi bakteri patogenik lain. Bakteri kelompok coliform meliputi semua bakteri berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora dan dapat memfermentasi laktosa dengan memproduksi gas dan asam pada suhu 370C dalam waktu kurang dari 48 jam, untuk itu bakteri ini tidak diinginkan keberadaanya dan menganggu proses pembentukan biogas. Bakteri coliform dapat dibedakan atas dua grup yaitu: coliform fekal, misalnya: Escherichia coli dan coliform non fekal, misalnya Enterobacter aerogenes. Escherichia coli
merupakan bakteri yang
28 berasal dari feses hewan maupun manusia, sedangkan Enterobacter aerogenes ditemukan pada hewan atau tanam-tanaman yang telah mati. Oleh karena itu, coliform digunakan sebagai bakteri indikator adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi. Keberadaan jenis mikroorganisme ini dapat berbahaya baik bagi kesehatan manusia maupun hewan dan juga bakteri ini merupakan bakteri yang termasuk kedalam jenis bakteri fekal yang keberadaanya menggangu proses pembentukan biogas. Bakteri ini juga merupakan bakteri gram negatif. Selain itu, Escherichia coli merupakan bakteri yang bersifat anaerob fakultatif, yang mana dapat tumbuh baik bila tidak ada oksigen, tapi juga dapat tumbuh secara aerob. 2.4.1 Bakteri Coliform Fekal Bakteri coliform fekal adalah bakteri indikator adanya pencemaran bakteri patogen. Penentuan coliform fekal menjadi indikator pencemaran dikarenakan jumlah koloninya pasti berkorelasi positif dengan keberadaan bakteri patogen. Escherichia coli merupakan mikroba yang termasuk dalam kelompok bakteri coliform fekal. Karakteristik bakteri ini adalah batang pendek (0.5-1.0x1.0-3.0 µm), motil (adanya flagela yang merata di seluruh permukaan sel), bersifat Gram negatif, anaerobik fakultatif, oksidase negatif, katalase positif, tidak membentuk spora, dan dapat memfermentasikan glukosa (Pelczar dan Chan 1986). Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang dapat tumbuh dengan baik pada makanan. Escherichia coli dapat tumbuh pada suhu rendah (-2 oC) dan suhu tinggi (50 o
C). Bakteri ini tumbuh sangat lambat di dalam makanan pada suhu 5 oC. Namun,
ada laporan yang menyatakan bahwa bakteri ini dapat tumbuh dengan baik pada suhu 3-6 oC. Escherichia coli juga dapat tumbuh dengan baik pada media yang
29 mengandung karbon organik (glukosa), sumber nitrogen (NH, dan mineral lainnya). Bakteri ini dapat ditumbuhkan atau dikultur pada media nutrient agar. Dalam waktu 12-16 jam dengan suhu 37 oC, bakteri ini dapat membentuk koloni pada nutrient agar (Jay et al. 2005). Escherichia coli merupakan mikroorganisme indikator yang digunakan sebagai alat ukur pencemaran fekal. Escherichia coli adalah indikator yang paling spesifik untuk menilai cemaran fekal dan merupakan golongan Coliform yang paling sering ditemukan pada karkas unggas (Mead 2003). Menurut Escherich (1885) bakteri Escherichia coli dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Dwidjoseputro, 1981) : Filum : Proteobacteria Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia Spesies : Escherichia coli.
Ilustrasi 4. Escherichia coli (Mead 2003)
30 2.4.2 Bakteri Non Fekal Bakteri non fekal adalah ditemukan pada hewan atau tanam-tanaman yang telah mati. Bakteri ini dijadikan sebagai bakteri indikator adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi. Klebsiella sp. merupakan bakteri yang masuk kedalam golongan bakteri coliform non fekal. Klebsiella sp. merupakan bakteri patogen, gram negative yang berbentuk batang (basil), oportunistik, bakteri yang non motil (tidak bergerak). Berdasarkan kebutuhannya akan oksigen Klebsiella sp. merupakan bakteri fakultatif anaerob. Klebsiella sp. dapat memfermentasikan laktosa. Temperatur optimal dari Klebsiella sp. adalah 37oC. Pada test dengan indol, Klebsiella sp. akan menunjukkan hasil negatif. Klebsiella sp. dapat mereduksi nitrat. Klebsiella sp. banyak ditemukan di mulut, kulit, dan sal usus sapi, namun habitat alami dari Klebsiella sp. adalah di tanah, memiliki simpai polisakarida yang besar dan Bakteri ini berasal dari family Enterobacteriaceae.
Ilustrasi 5. Klebsiella SP (Mead 2003)