23 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KEADAAN UMUM PT. UPBS

Download Ternak produktif meliputi sapi laktasi, laktasi bunting ... Manajemen Pemberian Pakan ... tersebut (sapi sakit, transisi, dan dry). Berikut...

0 downloads 273 Views 311KB Size
IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Keadaan Umum PT. UPBS Pangalengan PT. Ultra Peternakan Bandung Selatan (UPBS) merupakan salah satu

industri yang bergerak di dalam bidang perdagangan susu sapi segar. PT. UPBS terletak di Dusun Cieurih, Desa Margamekar di tepi Situ Cileunca, berlokasi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Perusahaan ini merupakan anak cabang dari PT. Ultra Jaya Milk Industry Tbk. yang berada di Cimareme, Padalarang, Jawa Barat.

4.1.1. Kondisi Lingkungan Perusahaan PT. UPBS berada di ketinggian 1.486 mdpl dan memiliki batasan wilayah Gunung Wayang Windu di sebelah timur, Perkebunan Teh Malabar di sebelah selatan, Rancabolang di sebelah barat, dan Perkebunan Teh Rius di sebelah utara. Kondisi fisik lingkungan perusahaan ini memiliki kontur tanah tidak rata karena pada awalnya merupakan lokasi perkebunan teh yang berbukit-bukit. Kandang sapi perah PT. UPBS ditempatkan di puncak bukit, sehingga kondisi seperti ini cukup nyaman untuk hidup sapi perah yang terbiasa di suhu dingin. Iklim lingkungan perusahaan ini memiliki suhu rata-rata 20°C dengan rata-rata kelembaban 80%. Suhu ideal atau comfort zone yang ideal untuk sapi perah FH adalah 6-18°C, namun pada Temperature Humidity Indeks <72 atau setara dengan 23°C dan kelembaban 80% sapi perah masih dapat hidup nyaman (Moran, 2012). Bangsa sapi perah yang dikembangkan di PT. UPBS adalah jenis sapi perah Fries Holland (FH) yang diimpor secara bertahap oleh Wellard yang merupakan 23

24 perusahaan eksportir sapi perah asal Australia. Sapi yang pertama kali didatangkan adalah sapi dara bunting dengan umur kebuntingan 6-7 bulan. Populasi ternak sapi perah di PT. UPBS yang tercatat sampai tanggal 20 Januari 2017 adalah sebagai berikut :

Tabel 4. Populasi Sapi Perah PT. Ultra Peternakan Bandung Selatan (UPBS) No. Klasifikasi Sapi Populasi Satuan (ekor) Ternak (ST) 1. Sapi Jantan 11 11 2. Pedet 271 67,75 3. Sapi Dara 836 418 4. Sapi Dara Bunting 394 197 5. Sapi Kering Kandang 278 278 6. Sapi Laktasi 1086 1086 7. Sapi Laktasi Bunting 713 713 Total Populasi 3589 2770,75 Sumber : PT. Ultra Peternakan Bandung Selatan (2017) Komposisi ternak yang dipelihara di perusahaan ini terdiri dari ternak produktif dan non-produktif.

Ternak produktif meliputi sapi laktasi, laktasi

bunting, dan kering kandang, yaitu sebesar 1086 ST, 713 ST, dan 278 ST. Sementara ternak non-produktif terdiri dari pedet 67,75 ST, sapi dara 418 ST, dan sapi dara bunting 197 ST. Sesuai dengan tujuan PT. UPBS yakni mempertahankan sapi-sapi dengan genetik unggul agar menjadi lebih baik, perusahaan ini menerapkan teknologi, sarana prasarana yang baik dan modern. Selain itu, sistem pemeliharaan yang diterapkan yaitu sistem pemeliharaan intensif untuk mempermudah penanganan dan pengawasan.

4.1.2. Manajemen Pemberian Pakan Sapi perah di PT. Ultra Peternakan Bandung Selatan (UPBS) diberi pakan dalam bentuk TMR (Total Mixed Ratio) atau complete feed. TMR merupakan ransum pakan campur yang terdiri dari konsentrat dan hijauan (sesuai dengan

25 ketersediaan bahan pakan yang ada) dan pemberiannya satu kali setiap harinya. Sistem pemberian pakan dengan TMR memiliki berbagai keuntungan, diantaranya adalah mampu memberikan kualitas pakan dengan nutrisi yang seimbang sesuai tahapan perkembangan sapi perah. Pemberian pakan di perusahaan ini dibagi ke dalam beberapa grup berdasarkan produksi susunya, antara lain grup high, medium, dan low. Selain itu pemberian pakan juga didasarkan pada umur (pedet dan heifer), serta kondisi sapi tersebut (sapi sakit, transisi, dan dry). Berikut merupakan formulasi TMR (Total Mixed Ratio) untuk sapi perah laktasi berdasarkan produksi susunya.

Tabel 5. Formulasi TMR (Total Mixed Ratio) pada Sapi Perah Laktasi No. Material Produksi Produksi Produksi Tinggi Medium Rendah …..........Kg/ekor/hari…………. 1. Bypass fat 0,18 2. Konsentrat High 15,37 3. Kinggras 14,00 12,00 14,0 4. Molases 2,20 2,20 2,00 5. Silage Jabon 17,50 14,50 18,00 6. Tanin 0,03 7. Urea 0,05 0,06 0,10 8. Wheat Straw 0,20 9. Konsentrat Medium 12,93 6,47 10. Hay Napier Gras 0,20 0,20 11. Rumput Laut 0,05 12. Kopra 2,50 49,53 41,89 43,32 Jumlah Crude Protein (%) 19,00 19,40 17,10 DM (%) 44,80 44,80 38,90 Energy/Kg DM (MJ) 12,50 12,40 11,80 Sumber : PT. Ultra Peternakan Bandung Selatan (2017)

26 4.1.3. Manajemen Reproduksi Manajemen reproduksi pada PT. Ultra Peternakan Bandung Selatan (UPBS) meliputi pemberian tail chalking, deteksi birahi, pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB), sinkronisasi estrus, Pemeriksaan Kebuntingan (PKB), serta recording. Kegiatan reproduksi dilaksanakan di jalur atau rel IB. Deteksi birahi dilakukan secara visual dengan menggunakan tail chalking. Sapi mulai diberi tanda crayon pada hari ke-21 setelah beranak. Apabila tanda tersebut hilang, maka diduga sapi tersebut birahi. Sistem ini baru diterapkan sejak bulan Mei 2013. Sebelum menggunakan sistem tail chalking, PT. UPBS menggunakan sistem Activity Tag.

Activity Tag merekam pergerakan sapi dan mengirimkan data

aktivitas sapi secara nirkabel ke dalam software yang bernama ALPRO. Sistem ini memantau pergerakan tiap ekor sapi. Aktivitas tinggi merupakan indikasi birahi dan aktivitas rendah merupakan indikasi sapi sakit. Namun sistem ini diberhentikan karena memiliki tingkat akurasi yang rendah dan boros tenaga kerja. Pelaksanaan kegiatan IB dilakukan dengan menggunakan semen impor yang berasal dari World Wide Sire (WWS) dan semen lokal yang berasal dari Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang. IB pertama kali dilakukan pada sapi berusia 12-14 bulan dengan berat badan 310 kg dan tinggi badan 135-150 cm. Penggunaan semen impor hanya tiga kali saja, apabila sapi tidak bunting maka dilanjutkan menggunakan semen lokal. Pelaksanaan IB setelah beranak dilakukan pada hari ke 40-50. Selain deteksi birahi dan program IB, program pemeriksaan kebuntingan (PKB) dan sinkronisasi estrus dilakukan dengan teratur. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan 3 kali, yaitu pada usia kebuntingan 40 hari, 90 hari, dan 7,5 bulan.

27 Sementara sinkronisasi estrus dilakukan secara rutin setiap hari senin menggunakan suntikan PGF2α dan GnRH. Pencatatan status reproduksi sapi perah PT. UPBS langsung terhubung ke dalam sistem ALPRO dan Radio Frequency Identification (RFID) untuk identitas ternak.

Sistem ini memuat semua data informasi sapi seperti produksi susu,

pencatatan birahi, kebuntingan, kelahiran, riwayat penyakit, status produksi dan reproduksi yang diperbaharui setiap harinya oleh petugas maupun sistem.

4.2.

Performa Reproduksi Performa sifat reproduksi yang diamati untuk mengetahui seberapa besar

tingkat performa reproduksi sapi perah impor dan keturunannya di PT. UPBS Pangalengan adalah umur beranak pertama, kawin pertama setelah beranak, periode kawin, jumlah kawin per kebuntingan (S/C), masa kosong, dan selang beranak pada masa laktasi satu. PT. UPBS Pangalengan mengimpor sapi perah Fries Holland (FH) dari Australia, dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 6. Jumlah Sapi Impor PT. UPBS Tahun 2009-2015 Jumlah No. Tanggal Impor (ekor) 1. 11 April 2009 150 2. 13 Juni 2009 228 3. 20 Juni 2009 202 4. 16 Juni 2010 199 5. 14 Juli 2010 203 6. 1 Juni 2011 213 7. 8 Juni 2011 220 8. 24 Juni 2011 664 9. 6 Juli 2011 195 10. 18 Februari 2013 4 11. 10 Mei 2015 218 12. 26 Mei 2015 212 Jumlah 2708 Sumber : PT. Ultra Peternakan Bandung Selatan

Jenis Kelamin Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Jantan Betina Betina

28 Namun pada saat penelitian dilakukan, jumlah sapi impor betina yang masih tersisa berjumlah 464 ekor. Hal tersebut dapat disebabkan oleh pengafkiran, penjualan, dan sapi mati. Data sapi impor sebanyak 464 ekor, discreening sehingga didapatkan hasil akhir berjumlah 280 ekor yang memiliki catatan reproduksi lengkap laktasi satu dan dua. Sapi-sapi yang tidak lolos screening merupakan sapi yang memiliki kekurangan pada catatannya seperti tidak adanya jumlah inseminasi, tidak adanya data tanggal beranak, dan tidak ada data anak. Hasil penelitian performa reproduksi sapi perah impor dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Performa Reproduksi Laktasi 1 Sapi Perah Impor PT. UPBS Pangalengan Koefisien Nilai Nilai Standar Variasi Parameter Rataan Maksimum Minimum Deviasi (%) Umur Beranak 1014 521 718,95 82,53 11,48 Pertama (Hari) Kawin Pertama Setelah Beranak 203 30 76,60 34,32 44,80 (Hari) Periode Kawin 377 0 55,46 73,48 132,50 (Hari) S/C (Kali) 18 1 3,11 3,03 97,21 Masa Kosong 465 34 132,05 78,72 59,61 (Hari) Selang Beranak 744 302 406,53 78,40 19,28 (Hari)

Sapi perah keturunan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sapi perah turunan pertama (F1) dari sapi perah impor di PT. UPBS Pangalengan. Identitas sapi keturunan tersebut ditelusuri berdasarkan catatan kelahiran induk. Berdasarkan hasil penelusuran dari 280 data induk, didapatkan 130 ekor sapi perah keturunan impor (F1). Hal tersebut dikarenakan banyaknya sapi impor yang

29 melahirkan pedet jantan, kematian pedet, freemartin, serta catatan reproduksi anak yang tidak lengkap. Adapun hasil penelitian ditunjukkan oleh Tabel 8. Tabel 8. Performa Reproduksi Laktasi 1 Sapi Perah Keturunan Impor (F1) PT. UPBS Pangalengan Koefisien Nilai Nilai Standar Variasi Parameter Rataan Maksimum Minimum Deviasi (%) Umur Beranak 979 603 744,04 64,01 8,60 Pertama (Hari) Kawin Pertama Setelah Beranak 180 32 67,16 24,99 37,21 (Hari) Periode Kawin 246 0 49,78 60,21 120,95 (Hari) S/C (Kali) 10 1 2,67 2,06 77,25 Masa Kosong 345 39 116,95 65,85 56,31 (Hari) Selang Beranak 626 311 390,52 65,61 16,80 (Hari)

4.2.1. Umur Beranak Pertama Umur beranak pertama merupakan umur yang akan mempengaruhi produktivitas sapi perah pada masa laktasi seumur hidupnya.

Umur beranak

pertama dihitung sebagai selisih dari tanggal beranak dengan tanggal lahir ternak tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rataan umur beranak pertama sapi impor PT. UPBS Pangalengan sebesar 718,95±82,53 hari atau sekitar 23 bulan (Tabel 7). Sementara rataan umur beranak pertama sapi keturunan impor PT. UPBS Pangalengan sebesar 744,04±64,01 hari atau sekitar 24 bulan (Tabel 8). Hasil tersebut dikatakan cukup ideal berdasarkan USDA (United States Department of Agriculture) (1993) bahwa umur beranak pertama sapi perah FH adalah umur 24 bulan.

30 Nilai koefisien variasi umur beranak pertama pada sapi impor sebesar 11,48% menandakan populasi cukup beragam. Nilai tersebut berkisar antara 5211.014 hari. Nilai umur beranak pertama terkecil pada penelitian ini yaitu 512 hari atau sekitar 16 bulan. Hal tersebut dapat disebabkan perkawinan yang terlalu cepat pada sapi dara. Sapi-sapi yang beranak terlalu dini atau kurang dari 2 tahun belum mencapai kematangan tubuhnya. Dikhawatirkan sapi tersebut belum cukup kuat untuk bunting, sehingga menyebabkan tingginya kasus abortus. Sapi-sapi tersebut masih membutuhkan nutrisi bukan hanya untuk pertumbuhan tapi juga untuk beranak sehingga akan mempengaruhi laktasi (Dewhurst, dkk., 2002). Sementara nilai umur beranak tertinggi pada penelitian ini adalah 1.014 hari atau sekitar 33 bulan. Terlambatnya umur beranak sapi betina dipengaruhi oleh keberhasilan bunting pada saat dikawinkan. Hal lain yang dapat memperpanjang umur beranak pertama yaitu karena sapi terlambat pubertas. Pubertas pada sapi perah umumnya terjadi pada usia 9-10 bulan. Cepat lambatnya pubertas pada sapi perah akan mempengaruhi kawin pertama sapi dara dan akan mempengaruhi umur beranak pertama pada sapi tersebut. Selain itu, kondisi tersebut diduga disebabkan oleh faktor bobot tubuh yang diinginkan belum tercapai pada saat umur kawin pertama. Suhu dan kelembaban yang tinggi juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi umur kawin pertama menjadi lebih tua. Nilai koefisien variasi umur beranak pertama sapi keturunan impor sebesar 8,60% dengan kisaran 603-979 hari atau 19-32 bulan. Hal tersebut menunjukkan bahwa umur beranak pertama sapi keturunan impor dikatakan cukup seragam. Nilai koefisien variasi dibawah 10% menandakan bahwa populasi cukup seragam. Umur beranak pertama sapi impor dan keturunannya di PT. UPBS lebih rendah dibandingkan dengan rataan umur beranak pertama sapi dara FH yang dipelihara

31 pada stasiun bibit BPTU Baturraden dan peternakan rakyat binaan di Kabupaten Banyumas, masing – masing 28,9 dan 31,3 bulan (Anggraeni, 2006). Selain itu hasil penelitian ini juga masih rendah jika dibandingkan dengan rataan umur beranak pertama sapi FH di beberapa peternakan di pulau Jawa, meliputi Pangalengan, Bogor, dan Cirebon masing-masing 42, 36, dan 33 bulan (Sudono, 2002). Sesuai dengan pernyataan Toharmat, dkk., (2007) bahwa rata-rata umur beranak pertama sapi perah di Indonesia adalah di atas 30 bulan, sehingga perlu adanya perbaikan manajemen sapi perah. Sejalan dengan pernyataan Gabler, dkk., (2000) bahwa umur beranak pertama yang ekonomis adalah pada umur kurang dari 30 bulan karena sapi yang lebih tua akan menambah biaya ekstra dan kehilangan masa produksi. Penelitian ini menunjukkan bahwa sapi impor memiliki umur beranak pertama yang lebih cepat yaitu 23 bulan, sementara sapi keturunnya memiliki umur beranak pertama pada 24 bulan. Sapi Bos taurus yang berada di daerah beriklim sedang umumnya mencapai umur beranak pertama lebih awal daripada di daerah tropis (Hoffman, 1997 ; Pirlo, dkk., 2000 ; Ettema dan Santos, 2004). Perbedaan umur beranak pertama yang tidak terlalu jauh menunjukkan bahwa walaupun terdapat perbedaan kondisi lingkungan dan manajemen antara sapi impor yang berasal dari Australia dengan sapi keturunannya di Indonesia, namun sapi-sapi impor tersebut dapat mencapai umur beranak pertama yang ideal. Hal ini berarti manajemen pemeliharaan sapi perah di PT. UPBS Pangalengan telah dilakukan dengan baik.

32 4.2.2. Kawin Pertama Setelah Beranak Kawin pertama setelah beranak (Post partum mating) adalah jangka waktu yang menunjukkan perkawinan atau inseminasi buatan pertama kali setelah induk melahirkan. Kawin pertama setelah beranak dihitung dari saat sapi tersebut beranak sampai saat dikawinkan untuk pertama kalinya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rataan nilai kawin pertama setelah beranak sapi impor di PT. UPBS sebesar 76,60±34,32 hari (Tabel 7). Nilai rataan dari penelitian ini termasuk nilai yang cukup baik, karena menurut menurut Makin (1990) periode waktu yang baik setelah sapi beranak dikawinkan kembali yaitu pada 60-90 hari. Nilai rataan Koefisien Variasi sebesar 44,80% menunjukkan tingginya keragaman kawin pertama setelah beranak di perusahaan ini. Nilai kawin pertama setelah beranak pada sapi impor bervariasi antara 30-203 hari. Beragamnya nilai kawin pertama setelah beranak ini dapat disebabkan oleh gangguan reproduksi. Nilai terendah pada penelitian ini adalah 30 hari. Meskipun sapi memiliki interval kawin pertama setelah beranak yang singkat, kemungkinan sapi tersebut memiliki kondisi tubuh relatif baik saat melahirkan dan selama awal laktasi sehingga mempercepat aktivitas ovari, namun organ reproduksi secara keseluruhan belum siap untuk memulai konsepsi kembali. Perkawinan setelah beranak yang terlalu dini dapat menurunkan angka konsepsi. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Hafez (2000) bahwa fertilitas maksimum pada sapi terjadi pada hari ke 60-90 setelah kelahiran. Hal ini karena diperlukan waktu minimal 50-60 hari untuk mencapai involusi uteri yang sempurna pada sapi. Memberikan waktu jeda 60 hari setelah beranak diperkirakan organ reproduksi sudah mencapai masa pemulihan memadai dari proses kebuntingan dan kelahiran sebelumnya.

33 Sementara itu, nilai tertinggi pada penelitian ini adalah 203 hari. Kawin pertama setelah beranak yang tinggi dapat disebabkan oleh lamanya anestrus post partus.

Hal ini disebabkan karena pada awal laktasi terjadi pembongkaran

cadangan energi untuk produksi susu.

Faktor nutrisi sangat dominan

mempengaruhi aktivitas reproduksi pasca beranak pada sapi perah, terutama kondisi nutrisi pada periode waktu tiga bulan pertama pasca beranak apabila dilihat pengaruhnya terhadap lama periode anestrus post partus (Yusran dan Mariyono, 1994). Hasil rataan kawin pertama setelah beranak sapi impor di perusahaan ini lebih singkat jika dibandingkan dengan nilai rataan kawin pertama setelah beranak sapi perah FH di Amerika yaitu 85 hari (Norman, dkk., 2009), FH di Australia yaitu 77 hari (Haile-Mariam, dkk., 2003), dan FH impor di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Baturraden yaitu 86 hari (Anggraeni dan Dwiyanto, 2009). Selanjutnya, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa rataan nilai kawin pertama setelah beranak sapi keturunan impor di PT. UPBS adalah 67,16±24,99 hari (Tabel 8). Nilai rataan kawin pertama setelah beranak ini berada pada kisaran yang disarankan oleh Mitchell, dkk. (2005), yaitu 85,6 hari pada laktasi 1 dan 85,9 hari pada laktasi 2. Nilai koefisien variasi sebesar 37,21% menunjukkan bahwa kawin pertama setelah beranak pada sapi keturunan impor cukup bervariasi. Kawin pertama setelah beranak sapi keturunan impor di PT. UPBS bervariasi antara 38180 hari. Hasil penelitian ini masih lebih singkat jika dibandingkan dengan rataan jarak waktu kawin pertama setelah beranak induk sapi di BBPTU yaitu 87,1±45,7 hari dengan kisaran 36-282 hari. Berdasarkan hasil penelitian ini, jarak kawin pertama setelah beranak pada sapi impor lebih panjang 9,44 hari dibandingkan dengan sapi keturunannya. Sapi impor memiliki jarak kawin pertama setelah beranak yang panjang dapat

34 disebabkan oleh adanya proses adaptasi terhadap lingkungan baru. Iklim Indonesia yang tropis berbeda dengan negara asal sapi impor yang beriklim subtropis, sehingga menyebabkan adanya proses adaptasi. Berbeda dengan sapi keturunan impor yang dilahirkan di negara beriklim tropis, sehingga tidak perlu adanya penyesuaian atau adaptasi. Suhu dan kelembaban lingkungan Indonesia yang relatif lebih tinggi menyebabkan terjadinya cekaman panas pada sapi perah impor. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Pramono, dkk (2008) bahwa rendahnya reproduktivitas sapi perah dapat diakibatkan karena terjadinya stres panas, karena stres panas dapat menimbulkan berbagai gangguan fisiologis dan gangguan sistem hormonal dalam tubuh ternak termasuk hormon-hormon reproduksi. Cepat atau lambatnya kawin pertama setelah beranak dilaksanakan dipengaruhi oleh kembali normalnya siklus ovarium setelah beranak, timbulnya birahi, deteksi birahi, kesehatan, dan kebijakan manajemen. Nilai kawin pertama setelah beranak pada sapi impor dan keturunannya di PT. UPBS berada pada kisaran 60-75 hari sehingga dapat dikatakan baik, berdasarkan pernyataan Nebel (2009) tentang hubungan antara waktu pelaksanaan kawin pertama setelah beranak dengan status reproduksi sapi perah.

Hal ini

menandakan bahwa manajemen perusahaan tersebut sudah cukup baik.

4.2.3. Periode Kawin Periode kawin berkaitan dengan jumlah kawin per kebuntingan. Periode kawin dihitung dengan cara tanggal IB atau kawin terakhir yang menghasilkan kebuntingan dikurangi tanggal IB atau kawin pertama.

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa rataan nilai periode kawin sapi FH impor di perusahaan ini

35 sebesar 55,46±73,48 hari (Tabel 7). Sementara itu periode kawin sapi keturunan impor memiliki rataan 49,78±60,21 hari (Tabel 8). Nilai tersebut cukup singkat, karena menurut Cilek (2009) bahwa waktu periode kawin ideal pada sapi perah berada pada 60-90 hari setelah beranak. Nilai koefisien variasi periode kawin sapi impor di PT. UPBS adalah 132,50% (Tabel 7). Hal tersebut menunjukkan bahwa periode kawin sapi impor di PT. UPBS sangat beragam. Nilai tersebut berkisar antara 0-377 hari. Hal serupa terjadi pada sapi keturunan impor di PT. UPBS. Nilai koefisien variasi sapi keturunan impor adalah 120,95% dengan kisaran 0-246 hari (Tabel 8). Panjang pendeknya periode kawin sangat bergantung kepada jumlah kawin per kebuntingan (S/C). Semakin tinggi nilai S/C, maka periode kawin semakin lama. Selain itu, perkawinan berulang juga mempengaruhi panjangnya periode kawin.

Sesuai

dengan pernyataan Hastono dan Adiati (2008), bahwa perkawinan berulang terhadap sapi perah akan memperpanjang periode kawin (service period) dan lama laktasi yang pada akhirnya memperpanjang selang beranak dari sapi tersebut. Penyebab lainnya adalah adanya pelaksanaan kawin pertama setelah beranak yang dilaksanakan kurang dari 60 hari, sehingga fertilitasnya masih rendah dan tidak terjadi kebuntingan, namun periode kawin telah berjalan. Nilai periode kawin tertinggi pada sapi FH impor adalah sebesar 377 hari (Tabel 7) dengan jumlah kawin per kebuntingan sebanyak 18 kali. Sementara periode kawin tertinggi pada sapi FH keturunan impor sebesar 246 hari (Tabel 8) dengan jumlah kawin perkebuntingan sebanyak 10 kali. Periode kawin yang lama dengan jumlah inseminasi yang sedikit dapat disebabkan oleh kurangnya ketepatan deteksi birahi sehingga banyak birahi yang terlewat. Apabila fase birahi sudah terlewat, maka inseminasi tidak dapat dilakukan dan harus menunggu siklus birahi

36 selanjutnya. Selain kurangnya ketepatan deteksi birahi, silent heat juga dapat menyebabkan periode kawin semakin panjang. Birahi yang tidak nampak dapat menyulitkan proses deteksi birahi secara visual sehingga ternak tidak dapat diinseminasi. Deteksi birahi secara visual akan sulit untuk menduga silent heat, sehingga harus dilakukan palpasi rektal.

Ketepatan deteksi birahi sangat

mempengaruhi keberhasilan inseminasi sehingga dapat meningkatkan angka konsepsi. Periode kawin yang panjang tentu akan memperpanjang masa kosong dan selang beranak. Periode kawin sapi impor lebih panjang 5,68 hari dibandingkan dengan keturunannya. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor genetik dan lingkungan. Nilai heritabilitas sifat reproduksi menunjukkan angka berkisar 5%. Hal ini berarti bahwa faktor non genetik, seperti adaptasi, lingkungan klimat, tata laksana pemeliharaan, ketersediaan pakan dan kondisi fisiologis ternak lebih berperan. Hal tersebut berpengaruh terhadap keadaan hormonal sapi dan menyebabkan tingginya S/C. Nilai S/C yang tinggi berbanding lurus dengan lamanya periode kawin. Hasil rataan periode kawin perusahaan ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai rataan periode kawin sapi perah FH di Amerika yaitu 69 hari (Norman, dkk., 2009), dan sapi FH yang dipelihara di Australia yaitu 63 hari (Haile-Mariam, dkk., 2003). Memperpendek periode kawin sangat penting untuk memaksimalkan keberhasilan terjadinya kebuntingan pada inseminasi yang dilakukan serta kemampuan untuk mendeteksi sapi yang tidak bunting secepatnya sehingga perkawinan berulang dan periode kawin yang panjang dapat dikurangi.

37 4.2.4. Jumlah Kawin Per Kebuntingan (S/C) Jumlah kawin per kebuntingan (S/C) adalah angka yang menunjukkan jumlah inseminasi untuk menghasilkan kebuntingan dari sejumlah pelayanan inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh ternak betina sampai terjadi kebuntingan (Toelihere, 1993). Nilai S/C dapat menunjukkan produktivitas seekor ternak, semakin rendah nilai S/C maka semakin tinggi kesuburan seekor ternak, begitu pun sebaliknya semakin tinggi nilai S/C maka semakin rendah tingkat kesuburan ternak. Hasil penelitian ini menunjukkan rataan nilai S/C sapi impor di PT. UPBS sebesar 3,11±3,03 (Tabel 7). Sementara ratan nilai S/C sapi keturunan impor di PT. UPBS adalah 2,67±2,06 (Tabel 8). Nilai S/C sapi impor dan keturunannya di PT. UPBS menunjukkan perbedaan yang cukup jauh. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya proses adaptasi, karena terdapat perbedaan kondisi lingkungan. Suhu dan kelembaban negara tropis yang tinggi, menyebabkan sapi perah mengalami cekaman panas. Cekaman panas tersebut dapat mempengaruhi performa reproduksi sapi perah, karena stres panas dapat menimbulkan berbagai gangguan fisiologis dan gangguan sistem hormonal dalam tubuh ternak termasuk hormon-hormon reproduksi. Selain perbedaan lingkungan, sapi perah impor juga beradaptasi dengan perbedaan manajemen, terutama manajemen perkawinan. Nilai S/C perusahaan ini bisa dikatakan cukup tinggi jika dibandingkan dengan lokasi lain. Nilai rataan S/C sapi impor di Pasir Salam Sukabumi yaitu 2,21 ± 1,04, sementara nilai rataan S/C sapi keturunan impor 2,24 ± 1,19 (Sugiarti dan Hidayati, 1997). Secara umum pencapaian rata-rata nilai S/C di PT. UPBS Pangalengan baik pada sapi impor maupun keturunannya lebih tinggi dibandingkan nilai optimal S/C yang berkisar antara 1,6 sampai 2,0 (Toelihere, 1981). Hal ini dibuktikan dengan pencapaian nilai S/C tertinggi pada sapi impor yaitu 18 kali

38 (Tabel 7), dan sapi keturunan impor sebanyak 10 kali (Tabel 8). Namun apabila dilihat modus atau frekuensi nilai yang sering muncul, nilai S/C 1 merupakan nilai yang sering muncul pada sapi impor yaitu sebanyak 40,36% dan pada sapi keturunannya sebanyak 37,69%. Lebih lanjut dijelaskan pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai S/C Sapi FH Impor dan Keturunannya di PT. UPBS Sapi FH Impor Sapi FH Keturunan Impor (F1) Nilai S/C Persentase Nilai S/C Persentase …%... …%... 1 40,36 1 37,69 2 19,29 2 24,62 3 13,93 3 13,08 4 6,43 4 9,23 5 4,29 5 3,08 6 2,14 6 5,38 7 3,57 7 3,08 8 2,14 8 1,54 9 2,86 9 0,77 10 0,71 10 1,54 11 0,71 12 1,79 13 0,71 14 0,36 16 0,36 18 0,36 Jumlah 100 Jumlah 100

Sapi FH Impor (%)

Sapi Keturunan Impor (%)

45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Ilustrasi 1. Grafik Persentase Nilai S/C Sapi Impor dan Keturunannya

16

18

39 Berdasarkan Tabel 9 dan visualisasi grafik Ilustrasi 1, terlihat variasi nilai S/C pada sapi impor dan keturunannya. Nilai S/C pada sapi impor lebih bervariasi dan lebih banyak dibandingkan sapi keturunannya. Nilai S/C sapi impor yang lebih tinggi dapat disebabkan oleh adanya proses adaptasi, baik terhadap manajemen maupun lingkungan. Berbeda dengan sapi keturunan impor yang sejak lahir berada di PT. UPBS dengan manajemen dan lingkungan yang relatif sama. Tingginya nilai S/C pada sapi perah dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Menurut Gatius, dkk (2005) beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai S/C antara lain deteksi estrus, kondisi ternak sendiri serta keterampilan dan ketepatan inseminator dalam menginseminasi sapi perah. Deteksi estrus yang kurang tepat menyebabkan terlewatnya fase estrus pada sapi, sehingga dapat menggagalkan inseminasi. Selain itu, silent heat yang tidak terdeteksi dapat menyebabkan gagalnya inseminasi sehingga inseminasi harus diulang kembali pada siklus estrus berikutnya.

4.2.5. Masa Kosong Masa kosong atau days open adalah jarak waktu beranak sampai terjadi kebuntingan atau hari-hari dari setelah beranak sampai bunting. Masa kosong secara langsung dapat mempengaruhi panjangnya calving interval, semakin lama masa kosong tercapai, maka calving interval semakin panjang akibat tertundanya kebuntingan. Besarnya rataan masa kosong sapi perah impor PT. UPBS adalah 132,05±78,72 hari dengan koefisien variasi sebesar 59,61% (Tabel 7). Sedangkan rataan masa kosong sapi perah keturunan impor PT. UPBS adalah 116,95±65,85 hari dengan koefisien variasi sebesar 56,31% (Tabel 8).

40 Periode masa kosong adalah 85-115 hari setelah beranak (Izquierdo, dkk., 2008). Ali dkk., (2000) menambahkan bahwa tidak ada masa kosong yang kurang dari 30 hari. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian di lapangan yang menghasilkan nilai minimal masa kosong tidak kurang dari 30 hari, nilai minimal untuk sapi impor adalah 34 hari sementara untuk sapi keturunan impor adalah 39 hari. Nilai maksimal masa kosong pada sapi impor sebesar 465 hari. Hal tersebut disebabkan oleh waktu periode kawin yang panjang dan nilai S/C yang cukup tinggi. Periode kawin dan S/C sangat mempengaruhi lamanya masa kosong. Pada sapi keturunan impor, nilai maksimal masa kosong sebesar 345 hari dikarenakan waktu periode kawin yang panjang dan S/C yang cukup tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh banyaknya birahi yang terlewat atau terdapat silent heat pada ternak, serta adanya gangguan reproduksi dan kesehatan ternak. Panjangnya masa kosong juga dapat disebabkan oleh adanya abortus yang tidak tercatat. Terutama pada tri semester pertama kebuntingan, kemungkinan terjadinya abortus cukup tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masa kosong sapi impor dan keturunannya di PT. UPBS lebih singkat dibandingkan dengan rataan masa kosong sapi di BBPTU yaitu 138,8±67,9 hari, dengan kisaran 71-207 hari. Masa kosong sapi impor di perusahaan ini lebih panjang 15,1 hari dibandingkan sapi keturunannya (F1). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Sugiarti dan Hidayati (1997) yang menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata antara masa kosong sapi FH impor dan sapi keturunan FH, dengan masa kosong sapi FH impor 112,42 ± 57,47 hari, sedangkan untuk masa kosong sapi keturunan FH adalah 117,82 ± 46,31 hari.

41 Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh adanya proses adaptasi oleh sapi impor. Selain itu dapat pula disebabkan oleh adanya gangguan reproduksi. Menurut Izquierdo, dkk., (2008), periode masa kosong adalah 85-115 hari setelah beranak yang merupakan masa untuk deteksi awal kelainan reproduksi dan indikator efisiensi reproduksi. Semakin lama masa kosong maka akan semakin sering siklus estrus yang dialami sapi tersebut sebelum bunting. Variasi suhu yang tinggi dengan kombinasi kelembaban mempengaruhi masa kosong dan kesuburan karena menimbulkan kelainan fisiologis, sistem pencernaan, dan hormon di dalam darah.

4.2.6. Selang Beranak Selang beranak (calving interval) adalah periode waktu antara dua jarak beranak yang berdekatan. Selang beranak pada perusahaan peternakan sapi perah merupakan komponen utama yang harus diperhatikan dalam manajemen induk agar efisien reproduksi dan ekonomi dapat tercapai. Hasil penelitian ini menunjukkan besarnya rataan selang beranak sapi perah impor di PT. UPBS adalah 406,53±78,40 hari (Tabel 7). Sementara besarnya rataan selang beranak sapi perah keturunan impor di PT. UPBS adalah 390,52±65,61 hari (Tabel 8). Nilai koefisien variasi pada sapi impor di perusahaan ini sebesar 19,28% dengan kisaran 302-744 hari. Sementara nilai koefisien variasi sapi keturunan impor di perusahaan ini adalah 16,80% dengan kisaran 311-626 hari. Koefisien variasi lebih dari 10% menunjukkan bahwa populasi tersebut beragam. Panjangnya jarak beranak pada induk-induk sapi perah disebabkan oleh kegagalan dalam mengawinkan sapi induk tersebut yang berakibat terjadinya kawin berulang. Nilai maksimal selang beranak pada penelitian ini disebabkan oleh panjangnya masa kosong dan periode kawin. Selang beranak ditentukan oleh penampilan days open

42 dan lama kebuntingan. Selain itu, panjangnya selang beranak juga dapat disebabkan oleh adanya abortus pada sapi. Rataan selang beranak sapi impor di PT. UPBS masih lebih lama jika dibandingkan dengan jarak beranak sapi perah FH impor dan PFH di Usaha Peternakan Pasir Salam Sukabumi yang masing-masing 394, 60 hari dan 399,55 hari. Sementara selang beranak sapi keturunan impor PT. UPBS tidak jauh berbeda dengan jarak beranak sapi perah FH impor dan PFH di Usaha Peternakan Pasir Salam Sukabumi. Hasil penelitian ini masih lebih singkat jika dibandingkan dengan selang beranak sapi FH impor di Grati-Pasuruan yaitu 526,9±143,7 hari (Affandhy, dkk., 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata selang beranak sapi perah di PT. UPBS Pangalengan jauh melebihi selang beranak ideal untuk sapi yaitu 12 bulan atau 365 hari (Hafez, 2000). Hardjopranoto (1995) menyebutkan bahwa gangguan reproduksi dari seekor induk dapat dilihat dari lama waktu selang beranak yang mencapai lebih dari 400 hari. Lama selang beranak sapi impor lebih panjang 16,01 hari dibandingkan sapi keturunannya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya proses adaptasi. Bukan hanya disebabkan oleh makanan (kuantitas dan kualitas hijauan/ konsentrat) yang kurang baik, tetapi dapat pula oleh perbedaan kondisi lingkungan yang kurang sesuai bagi pengembangan sapi perah yang berasal dari daerah subtropis. Perbedaan yang tidak terlalu besar tersebut menunjukkan bahwa manajemen PT. UPBS cukup baik.