35 SALURAN, MARGIN DAN KEUNTUNGAN LEMBAGA

Download bahwa terdapat 2 bentuk saluran pemasaran sapi potong dari Kabupaten Bone ke Makassar, yaitu: saluran I .... dianalisis secara deskriptif. ...

0 downloads 396 Views 373KB Size
SALURAN, MARGIN DAN KEUNTUNGAN LEMBAGA PEMASARAN SAPI POTONG DARI KABUPATEN BONE KE KOTA MAKASSAR (Channels, Margin and Profit Beef Cattle Marketing Agencies from Bone District To Makassar City) Hastang dan Aslina Asnawi Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar, 90245 E-mail : [email protected]

ABSTRACT This study aimed to determine the channel marketing types, margin and profit of beef cattle marketing agency from Bone Regency to Makassar. The population of the study covered all beef cattle marketing agencies of Bone Regency to Makassar. Determination of the samples was done by snowball sampling method. Data were collected through direct observation and interviews. Data were then analyzed descriptively. The results showed that there were two forms of beef cattle marketing channel from Bone District to Makassar, the first channel: farmers to traders and then to the inter-area merchant and next to the slaughterhouse businessman, the second channel: farmers to inter-regional traders and next businessmen to the slaughterhouse. The marketing agency that received the largest margin was the cattle traders on the second channel, followed by the inter area cattle traders in the first channel, and the lowest was for the collector. However, the marketing agency that got the most benefit was the collector traders, followed by the inter area traders of the second channel, and the lowest was for inter area traders of the channel I. The longer the beef cattle marketing channel, the greater the margin and profits. The margin and Profit of marketing channel I (two levels) were much greater than those of marketing channel II (one level). Key words: Marketing channels, Margins, Profits, Marketing agencies, Beef cattle ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk saluran pemasaran, margin dan keuntungan lembaga pemasaran sapi potong dari Kabupaten Bone ke Kota Makassar. Populasi penelitian meliputi seluruh lembaga pemasaran sapi potong dari Kabupaten Bone ke Makassar. Penentuan sampel dilakukan secara snowball sampling. Data dikumpulkan melalui pengamatan langsung dan wawancara. Analisa data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 2 bentuk saluran pemasaran sapi potong dari Kabupaten Bone ke Makassar, yaitu: saluran I dari peternak ke pedagang pengumpul kemudian ke pedagang antar daerah dan selanjutnya ke pengusaha jagal; saluran II dari peternak ke pedagang antar daerah dan selanjutnya ke pengusaha jagal. Lembaga pemasaran yang memperoleh margin terbesar adalah pedagang sapi potong antar daerah pada saluran II, kemudian pedagang sapi potong antar daerah pada saluran I dan terendah adalah pedagang pengumpul. Akan tetapi lembaga pemasaran yang memperoleh keuntungan terbesar adalah pedagang pengumpul, kemudian pedagang antar daerah pada saluran II dan terendah adalah pedagang antar daerah pada saluran I. Makin panjang saluran pemasaran sapi potong maka margin dan keuntungan pemasaran semakin besar. Margin dan keuntungan saluran pemasaran I (dua tingkat) lebih besar dibanding margin dan keuntungan pemasaran saluran II (satu tingkat). Kata kunci: Saluran pemasaran, Margin, Keuntungan, Lembaga pemasaran, Sapi potong

35

JITP Vol. 4 No. 1, Januari 2015

PENDAHULUAN Sapi potong merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging, sehingga sering disebut sebagai sapi pedaging (Santoso, 1995). Sapi potong yang banyak dipelihara di Sulawesi Selatan adalah sapi Bali (Syamsu dan Ali, 2006). Sapi Bali memiliki persentase karkas tertinggi (54%) dibanding sapi Madura (47%), PO (44%) dan Australian Commercial Cross atau ACC (51%) (Wiyatna 2009), demikian pula yang dikemukakan Hafid dan Rugaya (2009) bahwa sapi potong sebagai penghasil daging, memiliki rata-rata persentase karkas berkisar antara 53 – 56%; Bowker et al. (1978) rata-rata persentase karkas sapi Bali jantan dewasa adalah 45-55%. Camoens (1976) melaporkan bahwa berat karkas seekor ternak sapi terdiri dari rata-rata berat daging 75% dan tulang 25%. Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Indonesia. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, pada tahun 2008 silam telah mencanangkan Gerakan Pencapaian Populasi Sejuta Sapi (GPPSS) pada tahun 2013. Program-program tersebut secara efektif telah memberikan hasil yang sangat signifikan pada pertumbuhan populasi sapi di Sulawesi Selatan yaitu dari 637.128 ekor tahun 2006 menjadi 1.021.110 ekor pada pendataan April tahun 2012. Dengan kata lain bahwa target populasi sejuta sapi mampu dicapai satu tahun lebih awal (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Selatan, 2012). Salah satu daerah pengembangan sapi potong yang memiliki populasi terbesar di Sulawesi Selatan adalah Kabupaten Bone, yaitu tahun 2011 adalah 275.571 ekor dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 304.140 ekor (27% dari total populasi sapi Sulawesi Selatan 1.112.893 ekor), sedangkan masing-masing kabupaten lain dalam lingkup Sulawesi Selatan dibawah 10% (Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2013). Berdasarkan hal tersebut, maka Kabupaten Bone merupakan pemasok sapi potong ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan dan bahkan pemasok sapi potong antar provinsi (Kalimantan, Gorontalo, Sulawesi Barat/ Mamuju, dan lain-lain). Pengeluaran sapi potong dari Kabupaten Bone dalam lingkup provinsi, sebagian besar dipasarkan ke Makassar, yaitu 34% pada tahun 2012 dan 57% pada tahun 2013 dari total sapi yang keluar dari Kabupaten Bone. Tujuan utama sapi yang dibawa ke Makassar 36

adalah ke Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan (PD RPH) Kota Makassar. Dengan kata lain bahwa Kabupaten Bone merupakan pemasok utama sapi potong PD. RPH Kota Makassar. Kota Makassar merupakan konsumen daging terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan (sekitar 15 ton/hari). Sistem pemasaran sapi potong dari Kabupaten Bone ke Kota Makassar sangat menentukan ketersediaan daging di kota Makassar. Salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian dalam pemasaran adalah bentuk saluran, margin dan keuntungan lembaga pemasaran yang terlibat, karena hal tersebut sangat menentukan harga di tingkat konsumen. Yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk saluran pemasaran sapi potong dari Kabupaten Bone ke Kota Makassar dan bagaimana margin serta keuntungan tiap lembaga pemasaran yang terlibat?. METODE PENELITIAN Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2013 di Kabupaten Bone dan Kota Makassar. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (Purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupeten Bone merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Sulawesi Selatan dan pemasok utama sapi potong ke kota Makassar yang merupakan konsumen daging sapi terbesar di Sulawesi Selatan. Sasaran pemasaran sapi potong di Kota Makassar dipilih PD RPH Kota Makasar sebagai satu-satunya rumah potong hewan yang memproduksi daging sapi sekitar lima ton per hari (pemotongan sapi sekitar 50-60 ekor/ hari). Jenis penelitian Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif yaitu menggambarkan atau menguraikan bentuk saluran pemasaran sapi potong dari Kabupaten Bone Ke Kota Makassar dan margin serta keuntungan lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran sapi potong. Populasi dan sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh lembaga pemasaran sapi potong dari Kabupaten Bone ke PD RPH Kota Makassar. Penelusuran dimulai dari pengusaha jagal di PD RPH Kota

Hastang, dkk

Makassar. Populasi pengusaha jagal di PD RPH Makassar sekitar 30 orang, namun yang rutin melakukan pemotongan sapi hanya sekitar 13 orang. Dari 13 orang ini diambil sampel secara acak 10 orang. Penentuan responden pedagang dilakukan secara sampling rujukan berantai atau bola salju (snowball), yaitu Peneliti mendapatkan responden dari responden yang lain, demikian seterusnya (Blernacki and Waldorf, 1981 dalam Daymon dan Holloway, 2008). Penentuan responden dimulai dari 10 orang pengusaha jagal di PD RPH Kota Makassar, kemudian pengusaha jagal tersebut menunjuk responden selanjutnya yaitu pedagang sapi potong dari Kabupaten Bone yang melakukan penjualan langsung kepadanya (pemasok sapi potong), demikian seterusnya penelusuran sampai ke produsen (peternak). Jenis data dan metode pengumpulan data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode pengamatan lansung dan wawancara dengan menggunakan seperangkat kuesioner yang sudah dipersiapkan, meliputi: identitas responden, sumber pembelian sapi potong dan siapa pelanggannya, kegiatan yang dilakukan, biaya-biaya yang dikeluarkan, harga beli dan harga jual sapi potong, komponen-komponen investasi, harga dan usia ekonomisnya. Data sekunder diperoleh dari Dinas Peternakan Kabupaten Bone dan PD. RPH Makassar. Analisis data Pengkajian bentuk saluran dan lembaga pemasaran sapi potong dilakukan dengan cara menelusuri mata rantai saluran pemasaran dari pengusaha jagal di PD RPH Kota Makassar ke arah hulu sampai ke produsen, kemudian dianalisis secara deskriptif. Untuk menghitung margin dan keuntungan lembaga pemasaran sapi potong digunakan rumus: MLp πLp MP MP

= Hj – Hb = MLp - BLp = Mlp.1 + Mlp.2 + …. + Mlp.n = He - Hp

Keterangan: MLp : margin lembaga pemasaran sapi potong (Rp/ekor) Hj : harga jual sapi potong pada tiap tingkatan lembaga pemasaran (Rp/ekor)

Hb : harga beli sapi potong pada tiap tingkatan lembaga pemasaran (Rp/ekor) πLp : keuntungan lembaga pemasaran sapi potong (Rp/ekor) BLp : biaya lembaga pemasaran sapi potong (Rp/ekor) Mp : margin pemasaran (Rp/ekor) HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden Sebagian besar responden lembaga pemasaran sapi potong berpendidikan SMA sampai S1 (46% dari 37 orang), kemudian SD (30% dari 37 orang). Hal tersebut menunjukkan bahwa partisipan tersebut memiliki pendidikan formal yang cukup dalam menjalankan usahanya masing-masing. Menurut Hernanto (1989), tingkat pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir, mencari dan mencoba hal–hal yang baru. Tingkat pendidikan memiliki hubungan yang cukup kuat (positif dan nyata) dengan efektifitas komunikasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka komunikasi yang terjadi semakin efektif (Saidah, 2008). Dalam pemasaran diperlukan komunikasi yang bagus, baik kepada pelanggan maupun kepada pemasok. Selanjutnya menurut Dewi (2013) bahwa semakin baik pendidikan, semakin banyak pengalaman dalam menjalankan usaha, dan semakin mendukung lingkungan wirausaha dari seseorang akan berbanding lurus dengan keberhasilan usaha yang dijalani. Sebagian besar respoden lembaga pemasaran sapi potong berusia dibawah 51 tahun atau berada pada usia produktif (86% dari 37 orang). Salah satu faktor dalam karakteristik enterpreuner adalah umur mempengaruhi perkembangan usaha (Dewi, 2013). Umur bisa terkait dengan keberhasilan bila dihubungkan dengan lamanya seseorang menjadi wirausaha. Dengan asumsi bahwa usia kronologis seseorang terkait dengan entrepreneurial age (lamanya seseorang menjadi wirausaha). Ini berarti, dengan bertambahnya usia seorang wirausaha maka semakin banyak pengalaman di bidang usahanya (Staw dalam Riyanti, 2003). Umur 44 tahun relatif muda dan energik dan cenderung membuat keputusan yang tegas dalam hal manajemen. Sedangkan menurut (Kinyua et al., 2011). Jika ditinjau dari aspek umur dan pengalaman maka semakin tua umur akan semakin berpengalaman, sehingga akan semakin baik dalam mengelola usahanya, 37

JITP Vol. 4 No. 1, Januari 2015

tetapi di sisi lain semakin tua umurnya akan semakin turun kemampuan fisiknya, sehingga mereka akan membutuhkan bantuan tenaga kerja terutama dari keluarga (Suratiyah 2006). Jumlah anggota keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan dalam keluarga, termasuk kepala keluarga. Anggota keluarga dapat merupakan beban yang harus ditanggung keluarga untuk memenuhi kebutuhan, tetapi dapat pula menjadi sumber tenaga kerja dalam usaha. Sebagian besar responden lembaga pemasaran sapi potong memiliki jumlah anggota keluarga 2–5 orang (76% dari 37 orang) dan hanya sebagian kecil yang memiliki jumlah anggota keluarga diatas 10 orang (3%). Saluran pemasaran sapi potong Saluran pemasaran merupakan rute atau jalur perjalanan suatu produk (Swastha, 1997) dan menurut Kotler (1992) bahwa saluran pemasaran merupakan saluran distribusi yang terdiri dari seperangkat pedagang yang melakukan semua kegiatan (fungsi) yang digunakan untuk menyalurkan produk dari produsen ke konsumen. Saluran pemasaran sapi potong dari Kabupaten Bone ke PD RPH Kota Makassar melalui beberapa bentuk saluran, yaitu: Saluran pemasaran pertama Sistem pemasaran sapi potong pada saluran pertama dapat diuraikan sebagai berikut: pedagang pengumpul membeli sapi potong langsung ke peternak. Pedagang pengumpul menjual sapi potong ke pedagang antar daerah atau ke pembeli lainnya. Pedagang pengumpul ini ada yang mempunyai ikatan kerjasama tidak tertulis (pelanggan tetap) dengan pedagang antar daerah dan ada pula yang tidak. Ternak sapi yang dibeli oleh pedagang pengumpul yang mempunyai kerjasama dengan pedagang antar daerah, langsung diambil oleh pedagang antar daerah pada saat akan diantar ke PD RPH Kota Makassar. Sedangkan pedagang pengumpul yang tidak mempunyai ikatan kerjasama dengan pedagang antar daerah, sebagian besar ternak sapi yang dibeli dilakukan pemeliharaan

beberapa hari sampai bulanan sebelum dijual dan pembelinya bukan hanya pedagang antar daerah tetapi juga pedagang antar provinsi, peternak lain yang ingin membeli ternak sapi untuk dipelihara, konsumen akhir yang ingin melakukan acara-acara tertentu, pembeli bibit, dan lain-lain. Frekuenasi pedagang antar daerah yang melakukan penjualan sapi potong ke PD RPH Kota Makassar sangat bervariasi. Demkian pula frekuensi tiap pedagang/ bulan bervariasi. Ada pedagang yang frekuensinya tinggi (diatas 15 kali dalam sebulan) dan ada juga yang hanya 1 – 2 kali sebulan karena tergantung dari kemampuannya untuk mendapatkan pasokan sapi potong yang akan dijual oleh peternak. Pedagang antar daerah ada yang mempunyai ikatan kerjasama dengan pengusaha jagal (tidak tertulis) dan ada pula yang tidak. Sapi potong yang dibawa oleh pedagang antar daerah yang mempunyai ikatan kerjasama dengan pengusaha jagal, langsung dipotong oleh pengusaha jagal untuk menentukan harga beli sapi tersebut. Sedangkan sapi potong yang dibawa oleh pedagang antar daerah yang tidak mempunyai ikatan kerjasama dengan pengusaha jagal dipasarkan di areal RPH. Sapi tersebut dibeli oleh pengusaha jagal melalui tawar menawar untuk mencapai kesepakatan harga. Sapi potong yang dibeli pengusaha jagal ini, ada yang langsung dipotong untuk memenuhi order daging yang masuk dan jika ada lebihnya akan disimpan untuk pemotongan hari berikutnya. Saluran pemasaran kedua Aliran barang pada saluran pemasaran ke dua yaitu pedagang antar daerah yang langsung membeli sapi potong ke peternak dengan cara keliling desa-desa, lintas desa, lintas kecamatan dan bahkan lintas kabupaten serta ada yang menggunakan peluncur (informan pedagang jika ada sapi potong mau dijual oleh peternak dan mendapat komisi apabila terjadi transaksi). Sapi potong yang sudah dibeli oleh pedagang antar daerah, dipasarkan ke PD RPH Kota Makassar dengan sistem yang sama dengan saluran pertama.

Gambar 1. Saluran pemasaran pertama 38

Hastang, dkk

Gambar 2. Saluran pemasaran kedua Analisis margin, keuntungan lembaga dan saluran pemasaran sapi potong Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa lembaga pemasaran sapi potong dari Kabupaten Bone ke Makassar meliputi peternak, pedagang pengumpul sapi potong di daerah, pedagang sapi potong antar daerah dan pengusaha jagal. Namun demikian yang akan dihitung Margin dan keuntungannya adalah lembaga pemasaran sapi potong yang merupakan perantara antara produsen (peternak) dan pengusaha jagal (konsumen antara sapi potong). Margin, keuntungan lembaga dan saluran pemasaran sapi potong pada Saluran I Lembaga pemasaran sapi potong yang akan dihitung margin dan keuntungannya pada saluran pertama adalah lembaga perantara antara peternak dan pengusaha jagal, yaitu pedagang pengumpul, pedagang antar daerah yang menjual sapi ke PD RPH Kota Makassar. Margin, nilai tambah dan keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul dan pedagang antar daerah, serta margin saluran pemasaran sapi potong dapat dilihat pada Tabel 1. - Pedagang Pengumpul Sapi Potong Tabel 1. menunjukkan, bahwa pedagang pengumpul membeli sapi potong dengan harga rata-rata Rp 5.381.481/ekor. Harga beli sapi potong bervariasi sesuai taksiran berat daging mulai dari harga Rp 2.500.000/ekor sampai Rp 10.500.000/ekor. Penentuan harga sapi potong berdasarkan taksiran berat daging, masih penuh dengan spekulasi dan kekuatan tawar menawar antara pedagang dan peternak. Sebagian besar pedagang pengumpul (75%) mengeluhkan masalah harga yang tinggi di tingkat peternak, mereka berpendapat bahwa ternak sapi cukup banyak tetapi susah mendapatkan sapi dengan harga yang menguntungkan. Peternak memasang harga tinggi jika belum terlalu membutuhkan uang tunai/cash dalam jumlah besar. Hal ini sejalan dengan laporan Deblitz (2011) bahwa di Asia Tenggara, Rata-rata biaya yang dikeluarkan pedagang pengumpul selain nilai pembelian sapi potong

adalah Biaya tenaga kerja Rp 44.444/ ekor (38%), biaya input lainnya sebesar Rp 72.410/ ekor, yang mencakup: biaya pra transaksi (biaya telepon dan biaya transport pencarian sapi potong) Rp 12.556/ekor (11%), biaya operasional pembelian (biaya transport sapi yang sudah dibeli dan biaya surat ternak dari Kapala Desa) Rp 38.704/ ekor (33%) , biaya pemeliharaan sapi sebelum dijual kembali Rp 21.150/ ekor (18%). Tabel 1 menunjukkan rata-rata harga jual sapi potong di tingkat pedagang pengumpul Rp 5.696.296/ekor. Harga jual ini juga bervariasi tergantung taksiran berat daging sapi dan kekuatan tawar-menawar (bargaining position) antara pedagang pengumpul dan pedagang antar daerah (pihak pembeli). Harga jual berkisar Rp 3.000.000 – 12.000.000/ekor tergantung taksiran berat daging. Berdasarkan harga beli, harga jual dan biaya sapi potong tersebut, maka diperoleh rata-rata margin Rp 314.815/ekor, rata-rata keuntungan Rp 197.961/ekor. Persentase margin pedagang pengumpul 5,53 % dan keuntungan 3,48%, yang berarti bahwa setiap nilai penjualan sapi potong oleh pedagang pengumpul maka akan diperoleh margin 5,53 % dan keuntungan 3,48%. Persentase keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul tersebut lebih tinggi dibanding hasil penelitian Heriyadi (2011) yaitu persentase keuntungan pedagang pengumpul kecil dan pedagang pengumpul sedang di Pulau Madura sebesar 1,3% dan 1,5%. Nilai R/C ratio yang diperoleh pedagang pengumpul adalah 1,04 yang berarti setiap pengeluaran biaya Rp 1000, akan diperoleh penerimaan dari usaha tersebut sebesar Rp 1.040. Nilai R/C ratio = 1,04 > 1 menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan pedagang pengumpul, secara finansial layak untuk dijalankan. - Pedagang sapi potong antar daerah Pedagang sapi potong antar daerah yang dimaksud disini adalah pedagang yang membeli sapi pada pedagang pengumpul sapi didaerah (Kabupaten Bone) dan menjual sapi tersebut ke PD RPH Kota Makassar. Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata harga beli sapi potong oleh pedagang sapi antar daerah adalah Rp 5.696.296/ekor. Penentuan 39

40

2

Ped. Sapi Antar Daerah (ke Makassar)

Sumber: Data primer setelah diolah, 2013

II

Pedagang Sapi Antar Daerah (ke Makassar)

1

I

Total

Pedagang Pengumpul Sapi potong

No

Saluran

Status Lembaga pemasaran

4.808.156,03

5.696.296,30

5.381.481,48

Harga Beli sapi (Rp)

5.291.127,66

6.066.814,81

5.696.296,30

Harga jual sapi (Rp)

482.971,63

685.333,33

370.518,52

314,814.81

Margin (Rp)

298.203,.37

357.669,51

240,815.42

116,854.09

Total biaya pemasaran (Rp)

184.768,26

327.663,82

129.703,10

197.960,72

Keuntungan (Rp)

9,13

6,11

5,53

Persentase Margin (%)

3,49

2,14

3,48

Persentase Keuntungan (%)

Tabel 1. Rata-rata harga beli, harga jual, margin, biaya dan keuntungan berdasarkan status lembaga pemasaran sapi potong dan jenis saluran

1,04

1,02

1,04

R/C

JITP Vol. 4 No. 1, Januari 2015

Hastang, dkk

harga beli sapi oleh pedagang antar daerah berdasarkan taksiran berat daging dan tawarmenawar yang penuh spekulasi. Biaya yang dikeluarkan pedagang sapi antar daerah relatif besar yaitu rata-rata Rp 226.090,55/ ekor, yang meliputi biaya pra transaksi (telepon, biaya pencarian sapi), biaya pembelian (surat pengantar ternak dari Desa), Biaya penjualan (biaya transport ke Makassar, surat ternak dari dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan dan biaya ilegal di jalan). Pedagang antar daerah menjual sapi potong dengan harga rata-rata Rp 6.066.815/ ekor. Metode penetapan harga jual berdasarkan taksiran berat daging, tetapi ada pula yang berdasarkan berat daging setelah dipotong. Penentuan harga jual berdasarkan berat daging setelah dipotong kurang diminati oleh pedagang sapi antar daerah kecuali pedagang yang sudah mempunya ikatan kerja sama dengan pengusaha jagal, dengan alasan bahwa:1) penentuan harga dirasa kurang adil karena yang diperhitungkan dalam penentuan harga sapi hanya produksi daging dan hati, sedangkan produk sampingannya (side product) tidak diperhitungkan; 2) butuh pengawasan pada saat proses pemotongan sapi dan daging karena ada kehawatiran mereka, bahwa potongan daging mudah diselewengkan; 3) jika penentuan harga sapi ditaksir hidup, maka sapi bisa dibawa pulang (tidak dijual) jika taksiran harga oleh pengusaha jagal jauh lebih rendah dibanding harga beli sedangkan kondisi sapi tersebut masih memungkinkan untuk ditingkatkan berat badannya melalui pemeliharaan, serta tidak ada sapi lain yang bisa menutupi kerugian tersebut. Di sisi lain, penentuan harga melalui taksiran berat daging tersebut penuh spekulasi. Sebagian besar pedagang sapi antar daerah terkadang mengeluh karena salah taksir atau ada perbedaan penaksiran berat daging antara pedagang antar daerah dengan pengusaha jagal yang dapat menyebabkan kerugian. Cara penentuan harga jual sapi potong tersebut sesuai dengan hasil penelitian Rindayati dan Cyrilla (2010) bahwa penentuan harga sapi di Kabupaten Pamekasan Madura Jawa Timur berdasarkan sistem taksiran (jagrog) berat dengan melihat penampilan sapi. Cara tersebut berbeda dengan hasil penelitian Daroini (2013), bahwa penentuan harga jual sapi di Kabupaten Kediri, selain ditentukan oleh bobot badan sapi juga ditambahkan kriteria performance (penampilan) fisik sapi, misalnya kurus, warna tidak plus ataupun ada cacat, maka harga sapi lebih rendah dari nilai hasil penimbangan.

Rata-rata margin yang diperoleh pedagang sapi antar daerah pada saluran ini adalah Rp 370.519/ekor, dan rata-rata keuntungan Rp 129.703/ekor, dengan kisaran negatif Rp 213.428/ekor sampai Rp 575.678/ekor. Dari kisaran nilai tambah dan keuntungan yang diperoleh pedagang antar daerah tersebut dapat diketahui bahwa pedagang sapi potong antar daerah ini terkadang rugi sampai Rp 213.428/ekor. Besarnya variasi nilai tambah per ekor sapi disebabkan karena tidak adanya standar harga pembelian dan penjualan sapi yang akurat, semua berdasarkan taksiran berat daging sehingga jika terjadi salah taksir maka dapat menyebabkan kerugian dan keuntungan relatif besar. Menurut pedagang sapi potong bahwa salah taksir dapat mencapai 5 kg per ekor. Menurut hasil penelitian Sumitra, dkk (2013) bahwa terdapat selisih antara berat sapi potong berdasarkan penaksiran oleh pedagang perantara dengan berat sapi berdasarkan penimbangan sebesar 3,47 kg untuk sapi jantan dan 4,23 kg untuk sapi betina, secara keseluruhan selisih berat kurang dari 5 kg/ekor. Persentase margin dan keuntungan yang diperoleh pedagang antar daerah adalah masingmasing 6,11% dan 2,14%, yang berarti bahwa setiap penjualan sapi potong akan diperoleh margin sebesar 6,11% dan keuntungan 2,14% dari nilai penjualan. Nilai R/C ratio yang diperoleh pedagang antar daerah adalah 1,02 yang berarti setiap pengeluaran biaya Rp 10.000, akan diperoleh penerimaan dari usaha tersebut sebesar Rp 10.200. Nilai R/C ratio = 1,04 > 1 menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan pedagang antar daerah, secara finansial layak untuk dijalankan. Tabel 1 menunjukkan bahwa margin yang diperoleh pedagang pengumpul lebih kecil dibanding margin yang diperoleh pedagang antar daerah. Akan tetapi keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul lebih besar dibanding pedagang antar daerah. Hal tersebut disebabkan karena biaya yang dikeluarkan pedagang antar daerah lebih besar dibanding pedagang pengumpul. Margin pemasaran yang sering pula disebut sebagai margin total pada bentuk saluran I sebesar Rp 685.333/ekor (Tabel 1). Margin pemasaran tersebut terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan dari lembaga pemasaran. Total biaya pemasaran sapi potong mulai dari pedagang pengumpul sampai penjualan ke pengusaha jagal adalah Rp 357.669,51/ekor. Dengan demikian maka keuntungan pemasaran pada saluran I adalah Rp 327.663,82/ekor. 41

JITP Vol. 4 No. 1, Januari 2015

Margin, keuntungan lembaga dan saluran pemasaran sapi potong pada saluran II Bentuk saluran pemasaran II, hanya terdapat satu lembaga perantara, yaitu pedagang sapi potong antar daerah. Pedagang sapi antar daerah melakukan pembelian sapi potong lansung ke peternak dan menjual ke PD RPH Kota Makassar. Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata margin yang diperoleh pedagang sapi antar daerah pada bentuk saluran II adalah Rp 482.971/ ekor dan rata-rata keuntungan Rp 184.768 / ekor. Persentase margin dan keuntungan yang diperoleh pedagang antar daerah pada bentuk saluran II adalah 9,13% dan 3,49% yang berarti bahwa setiap nilai penjualan sapi potong akan diperoleh margin 9,13% dan keuntungan 3,49%. Secara finansial usaha tersebut layak dijalankan yang ditinjau dari nilai R/C = 1,04 >1, yang berarti bahwa setiap pengeluaran biaya Rp1000 maka akan diperoleh penerimaan sebesar Rp 1040. Analisis perbandingan margin dan keuntungan lembaga dan saluran pemasaran Tabel 1 menunjukkan bahwa lembaga pemasaran yang memperoleh margin terbesar adalah pedagang sapi potong antar daerah pada saluran II (Rp 482.971,63/ekor), kemudian pedagang sapi potong antar daerah pada saluran I (Rp 370.518,52/ekor) dan terendah adalah pedagang pengumpul (Rp 314.814,81/ekor). Hal tersebut disebabkan karena aktivitas yang dilakukan pedagang sapi potong antar daerah pada saluran II lebih banyak, yaitu lansung mencari sapi potong ke peternak dan menjual lansung ke Kota Makassar. Akan tetapi lembaga pemasaran yang memperoleh keuntungan terbesar adalah pedagang pengumpul (Rp 197.960,72/ekor), kemudian pedagang antar daerah pada saluran II (Rp 184.768,26/ekor) dan terendah adalah pedagang antar daerah pada saluran I (Rp 129.703,10/ekor). Hal tersebut disebabkan karena biaya pemasaran yang dikeluarkan pedagang pengumpul (Rp 116.854,09/ekor) lebih kecil dibanding biaya pemasaran yang dikeluarkan pedagang antar daerah pada saluran II (Rp 298,203.37/ekor) dan pedagang antar daerah pada saluran I (Rp 240.815,42/ekor). Tabel 1 menunjukkan bahwa Margin dan keuntungan saluran pemasaran I lebih besar dibanding saluran pemasaran II. Hal tersebut terjadi karena saluran pemasaran I lebih banyak melibatkan pedagang perantara (dua tingkat) 42

dibanding saluran II (satu tingkat), dimana setiap pedagang perantara mengeluarkan biaya pemasaran dan mengharapkan keuntungan yang maksimal. Hal inilah yang menyebabkan margin pemasaran menjadi besar. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa makin panjang saluran pemasaran maka margin dan keuntungan pemasaran semakin besar. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Arinto (2004); Sumitra, dkk. (2013) bahwa semakin panjang rantai pemasaran maka semakin besar pula margin pemasarannya. KESIMPULAN Bentuk saluran pemasaran sapi potong dari Kabupaten Bone ke Makassar adalah (1) dari peternak ke pedagang pengumpul kemudian ke pedagang antar daerah dan selanjutnya ke pengusaha jagal; (2) dari peternak ke pedagang antar daerah dan selanjutnya ke pengusaha jagal. Lembaga pemasaran yang memperoleh margin terbesar adalah pedagang sapi potong antar daerah pada saluran II (Rp 482.971,63/ ekor), kemudian pedagang sapi potong antar daerah pada saluran I (Rp 370.518,52/ekor) dan terendah adalah pedagang pengumpul (Rp 314.814,81/ekor). Akan tetapi lembaga pemasaran yang memperoleh keuntungan terbesar adalah pedagang pengumpul (Rp 197.960,72/ekor), kemudian pedagang antar daerah pada saluran II (Rp 184.768,26/ekor) dan terendah adalah pedagang antar daerah pada saluran I (Rp 129.703,10/ekor). Makin panjang saluran pemasaran sapi potong maka margin dan keuntungan pemasaran semakin besar. Margin dan keuntungan saluran pemasaran I (masing-masing Rp 685,333.33/ekor dan Rp 327,663.82) lebih besar dibanding margin dan keuntungan pemasaran saluran II (masingmasing Rp 482,971.63/ekor dan Rp 184,768.26/ kg) DAFTAR PUSTAKA Arinto. 2004. Usaha dan Efisiensi Pemasaran sapi potong di wilayah pembibitan dan pembesaran (Studi Kasus di Kabupaten Grobogan). Disertasi S3. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Bowker, W.A.T., R.G. Dumsday, J. E. Frisch, R.A. Swan and N.M. Tulloh. 1978. Beef Cattle Management and Economics. AVCC-AACC, Camberra.

Hastang, dkk

Camoens, J.K. 1976. The Buffalo in Malaysia. Ministry of Agriculture, Malaysia Daroini, A. 2013. Pola Pemasaran Sapi Potong pada Peternakan Skala Kecil Di Kabupaten Kediri. Jurnal Manajemen Agribisnis. 13(1): 55-62. Daymon, C., Holloway, I. 2008. Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Public Relations And Marketing Communications. Penerjemah Wiratama, C. Penerbit Bentang. Yogyakarta. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Selatan. 2012. Business Plan, Gerakan Pencapaian Dua Juta Sapi Dan Kerbau Di Sulawesi Selatan Tahun 2016. Makassar. Hafid, H dan Rugaya, N. 2009. Persentase Karkas Sapi Bali Pada Berbagai Berat Badan Dan Lama Pemuasaan Sebelum Pemotongan. Makalah Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari. Online. http://peternakan.litbang. deptan.go.id/fullteks/semnas/pro09-13.pdf (diakses tanggal 10 April 2013)

Rindayati, W dan Cyrilla, L. 2010. Analisis efisiensi pemasaran ternak potong sapi Madura di kabupaten pemekasan. Jurnal Media Peternakan. Vol. 24 (1) p: 81-86. Santoso, U. 1995. Tatalaksana Pemeliharaan Ternak Sapi Potong. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Sumitra, J., Kusumastuti, T.A. dan Widiati, R. 2013. Pemasaran Ternak Sapi Potong Di Kabupaten Organ Komering Ilir, Sumatera Selatan. Buletin Peternakan, 37(1): 49-58. Syamsu, J.A., Ali, H.M. 2006. Harga Dan Informasi Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Ternak Sapi Di Sulawesi Selatan. Makalah, Ikatan Sarjana Peternakan. Wiyatna, M.F. 2007. Perbandingan Indek Perdagingan Sapi-sapi Indonesia (Sapi Bali, Madura, PO) dengan Sapi Australian Commercial Cross (ACC). Jurnal Ilmu Ternak. 7(1) : 22-25.

Heryadi, A.Y. 2011. Pola Pemasaran Sapi Potong di Pulau Madura. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian (J-SEP), 5(2): 38-46.

43